• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Karagenan Rumput Laut (Eucheuma spinosum) Menggunakan Metode Long Line

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Karagenan Rumput Laut (Eucheuma spinosum) Menggunakan Metode Long Line"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Karagenan

Rumput Laut (

Eucheuma spinosum

)

Menggunakan

Metode Long Line

The Effect of Planting Distance on Growth and Carragenan Content of Seaweed (Eucheuma spinosum) using Long Line Method

Abdan *), Abdul Rahman **), dan Ruslaini ***)

Program Studi Budidaya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Tridarma Anduonohu Kendari 93232

E-mail:dadan_001abdan@ymail.com *), rahman_uh@yahoo.co.id **), dan ruslaini08@yahoo.co.id ***)

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan dan kandungan karagenan rumput laut (Eucheuma spinosum) menggunakan metode long line. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-September 2012. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ranooha Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan jarak tanam yaitu 10 cm, 20 cm, 30 cm dan 40 cm dengan berat bibit awal 50 g. Parameter uji pertumbuhan dan kadar karagenan adalah Pertumbuhan Mutlak (PM), Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) dan Kadar Karagenan dengan dianalisis menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji Duncan. Berdasarkan hasil penelitian ini, nilai rata-rata pertumbuhan mutlak (PM) tertinggi diperoleh pada jarak tanam 30 cm yaitu 46,57 g, diikuti pada jarak tanam 40 cm yaitu 44,10 g, pada jarak tanam 20 cm yaitu 41,89 g dan terendah pada jarak tanam 10 cm yaitu 41,51 g. LPS tertinggi berada pada jarak tanam 30 cm yaitu 3,01 %, diikuti jarak tanam 40 cm yaitu 2,49 %, pada jarak tanam 20 cm yaitu 2,22 % dan terendah terdapat pada jarak tanam 10 cm yaitu 2,07 %. Kadar karagenan tertinggi ditemukan pada jarak tanam 20 cm, yaitu 49,4493%, diikuti oleh jarak tanam 40 cm yaitu 48,7877%, diikuti oleh jarak tanam 30 cm yaitu 48,1970% dan terendah pada jarak tanam 10 cm yaitu 47,5723%. Hasil pengukuran parameter kualitas air menunjukkan bahwa kualitas air dilokasi penelitian masih dalam kisaran toleransi untuk pertumbuhan rumput laut E.spinosum.

Kata Kunci : E. spinosum, jarak tanam, long line

Abstract

The purpose of this study was to determine effect of planting distance on growth and carrageenan content of seaweed (Eucheuma spinosum) using the long line method. This study was conducted at July - September 2012 in Ranooha Village, Moramo South Konawe Southeast Sulawesi. This study consisted of four treatments of planting distance i.e 10 cm, 20 cm, 30 cm and 40 cm with 50 g of initial weight. Test parameters of growth and carrageenan content were absolute growth, Specific Growth Rate (SGR) and carrageenan content analyzed using ANOVA and Duncan Test respectively. Based on the results, the highest of absolute growth was found on 30 cm and 46.57 g of planting distance and weight, followed by 40 cm, 20 cm, and 10 cm with 44.10 g, 41.89 g, and 41.51 g respectively. The highest SGR was found on 30 cm planting distance with 3.01%, followed by 40 cm, 20 cm, and 10 cm with 2,49%, 2.22% and 2.07% respectively. The highest carrageenan content was found on 20 cm the of planting distance i.e 49.4493%, followed by 40 cm, 30 cm, and 10 cm with 48.7877%, 48.1970% and 47.5723 % respectively. Water quality measurements showed the tolerance range for growth of seaweed E.spinosum.

Keywords : E. spinosum, plant distance, long line

Pendahuluan

Rumput laut banyak dikembangkan di pesisir pantai Indonesia, mengingat panjangnya garis pantai Indonesia (81.000 km), maka peluang budidaya rumput laut sangat menjanjikan. Jika menilik permintaan pasar dunia ke Indonesia yang setiap tahunnya mencapai rata-rata 21,8% dari kebutuhan dunia, sekarang ini

pemenuhan untuk memasok permintaan tersebut masih sangat kurang, yaitu hanya berkisar 13,1%. Rendahnya produksi rumput laut Indonesia disebabkan karena kegiatan budidaya yang masih kurang optimal (Aslan, 2011).

Salah satu jenis rumput laut yang dibudidayakan di Sulawesi Tenggara (Eucheuma spinosum) merupakan salah satu alternatif untuk

(2)

meningkatkan pendapatan petani atau nelayan serta pemanfaatan lahan di pesisir pantai dan memiliki nilai ekonomis penting yang mana sebagai komoditas hasil perikanan yang sumber utama penghasil agar-agar, alginat dan karagenan yang banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, kosmetik, farmasi, dan industri lainnya seperti industri kertas, tekstil, fotografi, pasta dan pengalengan ikan. Dengan demikian, prospek rumput laut sebagai komoditas perdagangan semakin cerah, baik dalam memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri maupun kebutuhan ekspor.

Salah satu kawasan pesisir yang mempunyai potensi untuk dikembangkan budidaya E. spinosum yaitu di Desa Ranooha Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan. Diketahui sebagian besar wilayah Desa Ranooha merupakan wilayah pesisir, sehingga masyarakat pada umumnya merupakan nelayan dan berprofesi sebagai petani rumput laut yang memanfatkan luas laut yang dimiliki sebagai mata pencaharian utama.

Teknik budidaya rumput laut mencangkup cara penanaman yang berkaitan dengan jarak tanam. Selama ini masyarakat yang membudidayakan rumput laut E. spinosum belum mengetahui jarak tanam yang tepat sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan dan kadar karagenan yang belum optimal (Aslan, 1998). Jarak tanam merupakan salah satu faktor teknis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut karena hubungannya dengan penyerapan unsur hara.

Menurut Prihaningrum, dkk., (2001) bahwa pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh jarak tanam bibit, semakin luas jarak tanam maka semakin luas pergerakan air yang membawa unsur hara sehingga pertumbuhan rumput laut dapat meningkat.

Sehingga berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis melakukan penelitian mengenai pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan dan kandungan karagenan rumput laut E. spinosum dengan menggunakan metode long line.

Jarak tanam merupakan salah satu faktor teknis yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut karena hubungannya dengan penyerapan unsur hara. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Tiar, (2012) bahwa perbedaan jarak tanam rumput laut pada metode long line memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan spesifik dan kadar karagenan rumput laut. Djai (2010) mengatakan ada pengaruh jarak tanam bibit terhadap pertumbuhan rumput laut dan kadar karagenan pada metode long line. Berdasarkan

hal tersebut diduga jarak tanam yang berbeda dapat mempengaruhi laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan mutlak serta kadar karagenan rumput laut E. spinosum.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan dan kandungan karagenan Eucheuma spinosum menggunakan metode long line.

Kegunaan dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat untuk pengembangan Eucheuma spinosum dengan menggunakan metode long line.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-September 2012. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ranooha Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara dan analisis kualitas air dan kandungan karagenan dilaksanakan di Laboratorium Unit Nutrisi Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo Kendari.

Alat-alat yang digunakan di lapangan pada penelitian ini yaitu thermometer, pH meter, secchi disk, handrefraktometer, layangan arus, perahu, bola pelampung, botol bekas (500 ml), tali utama 8 mm, tali ris 5 mm, tali bibit 2 mm, meteran, dan jangkar.

Bahan yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah: Rumput laut Eucheuma spinosum dari petani budidaya rumput laut, Desa Ranooha Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.

Alat yang digunakan dalam penelitian di laboratorium yaitu: labu erlenmeyer, kertas penyaring, oven, timbangan analitik, gelas ukur, pengaduk, autoclave, tabung reaksi, rak tabung, blender, pipet volum, Talang dan spektrofotometer.

Bahan yang digunakan dalam penelitian di laboratorium adalah : ammonium monovanadat, H2SO4, NaCl dan Iso-propanol.

A. Persiapan Bibit

Bibit rumput laut yang digunakan adalah E. spinosum hasil budidaya petani rumput laut di Desa Ranooha Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan. Bibit rumput laut tersebut baru di ambil dari lokasi penanaman rumput laut selama 35 hari. Bibit rumput laut yang sudah disiapkan terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran-kotoran atau organisme penempel. Kondisi rumput laut yang dipilih adalah yang

(3)

muda, segar, bersih serta bebas dari jenis rumput laut lainnya. Selanjutnya bibit tersebut dipotong-potong dan ditimbang sesuai dengan bobot bibit rumput laut yang menjadi perlakuan dalam penelitian ini yaitu 50 g, dan diikat pada tali sepanjang 30 meter yang sudah dipasangkan tali bibit sebanyak 120 dengan jarak tanam masing-masing 30 tali bibit dalam setiap perlakuan jarak tanam 10 cm, 20 cm, 30 cm, dan 40 cm. Penanaman dilakukan pada pagi hari.

B. Metode Penanaman

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode long line. Bibit rumput laut diikat pada tali yang panjang, selanjutnya dibentangkan di perairan. Teknik budidaya rumput laut dengan metode ini adalah

menggunakan tali sepanjang 30 meter yang pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar. Pada setiap jarak 1 meter diberi pelampung berupa botol bekas dan pada jarak 5 m diberi pelampung berupa bola. Pada saat pemasangan tali utama harus diperhatikan arah arus pada posisi sejajar atau sedikit menyudut untuk menghindari terjadinya belitan tali satu dengan lainnya. Bibit rumput laut sebanyak 50 gram diikatkan pada sepanjang tali dengan jarak tanam rumput laut 10 cm, 20 cm, 30 cm, dan 40 cm dengan banyaknya bibit masing-masing jarak ikat tanam yaitu 30 bibit.

Metode rumput laut yang digunakan yaitu metode long line tertera pada Gambar 1 dibawah ini:

Gambar 1. Budidaya Rumput Laut Metode Long Line.

C. Ekstraksi Karagenan

Kadar karagenan sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio antara berat karagenan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering yang digunakan. Analisis kadar karagenan mengikuti prosedur kerja laboratorium

(SNI, 01-26-1998) yaitu sebelum dilakukan pengujian, rumput laut dicuci dan dibersihkan dari pasir, kotoran dan benda-benda asing lalu dikeringkan. Kemudian mengambil rumput laut pada 2 bagian yaitu pada bagian pangkal dan bagian ujung. Analisa kadar karagenan tersebut tertera pada Gambar 2 berikut:

Pelambung Kecil (Botol Aqua)

Tali Jangkar

Jangkar Bibit Rumput Laut 15 cm

10 cm

20 cm 30 cm 40 cm 1 Meter

10 cm

20 cm

30 cm

40 cm

Pelampung Utama

10 cm

20 cm

30 cm

40 cm

Banyak bibit setiap jarak tanam yaitu 30 bibit

(4)

Gambar 2. Bagan Proses Ekstraksi Karagenan Rumput Laut E. Spinosum (Thamrin, 2011).

D. Parameter yang Diamati

Tabel 1. Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian

No. Parameter Alat Waktu Pengukuran

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Suhu (o C) Kecerahan (m) Arus (cm/s) Kedalaman (m) Salinitas (ppt) Nitrat (mg/L) Fosfat (mg/L) Thermometer Secchi disk

Botol aqua, stop wach Meteran

Hand-refraktometer Spektrofotometer Spektrofotometer

Setiap kali penimbangan Setiap kali penimbangan Setiap kali penimbangan Setiap kali penimbangan Setiap kali penimbangan Awal dan akhir penelitian Awal dan akhir penelitian

E. Analisis Data

1. Pertumbuhan Mutlak

Pertumbuhan mutlak rumput laut diamati dari awal hingga berakhirnya penelitian, pertumbuhan mutlak diukur menggunakan rumus pertumbuhan mutlak (Effendy 2003).

G = 𝑊 t - 𝑊0

Dengan :

G = Pertumbuhan Mutlak Rata-Rata (%); Wt = Berat Bibit Pada Awal Penelitian (gr); W0 = Berat Bibit Pada Akhir Penelitian (gr). 2. Laju Pertumbuhan Spesifik

Laju pertumbuhan Spesifik (LPS) diperoleh dengan menimbang bibit basah rumput laut setiap 9 hari selama 45 hari. Untk menghitung Laju Pertumbuhan Spesifik digunakan turunan dari persamaan Huisman (Dawes, 1994).

LPS = 𝐿𝑛 𝑊𝑡−𝐿𝑛 𝑊𝑜

𝑡 X 100 % Dengan :

LPS = Laju Pertumbuhan Spesifik rata-rata (%); Wt = Berat rata-rata bibit pada ti (g) (I = minggu I, minggu II…t);

W0 = Berat rata-rata bibit pada ti-1(g); t = Periode Pengamatan (hari). 3. Kadar Karagenan

Rumus untuk menentukan kadar karagenan adalah sebagai berikut (SNI, 1998):

Kadar Karagenan = 𝑊𝑑𝑠𝑊𝑐 X 100% Dengan :

Wc = Berat karagenan yang di ekstraksi (g); Wds = Berat rumput laut yang di ekstraksi (g).

F. Rancangan Percobaan

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) menurut Gasperz (1994) sebagai berikut :

Ytj = u + ti + Eij

Dengan :

µ : Nilai tengah populasi;

ti : Pengaruh aditif dari perlakuan ke- i;

Eij : Galat percobaan dari perlakuan ke- I pada pengamatan ke – j;

I : Jumlah perlakuan ( i = 1 , 2 ,3, …n ) ; J : Jumlah ulangan pada perlakuan

( j = 1, 2, 3,.n ) atau jumlah suatu percobaan. Rumput laut kering ± 5 g Pencucian dengan air tawar

Perendaman dengan aquadest selama 12 jam Sterilisasi di Autoclave 30

menit dengan suhu 1210C Pemanasan 200 ml air, filtrat

sampai 100ml

Penghalusan dalam blender Penyaringan dengan menggunakan

saringan Pengendapan dengan

isopropanol 100 ml

Pengeringan di bawah sinar matahari ± 7 hari

(5)

Hasil

A. Pertumbuhan Mutlak (PM)

Hasil pertumbuhan mutlak (PM) rumput laut E. Spinosum berdasarkan pengaruh jarak

tanam tertera pada Gambar 3. Nilai rata-rata pertumbuhan mutlak tertinggi diperoleh pada jarak tanam 30 cm yaitu 46,57 g, diikuti pada jarak tanam 40 cm yaitu 44,10 g, pada jarak tanam 20 cm yaitu 41,89 g dan terendah pada jarak tanam 10 cm yaitu 41,51 g.

Gambar 3. Histogram Pertumbuhan Mutlak Rumput Laut Eucheuma spinosum Selama Penelitian. Hasil analisis ragam (ANOVA) terhadap

pertumbuhan mutlak diperoleh bukti bahwa ada perbedaan secara signifikan diantara perlakuan jarak tanam yang di definisikan per perlakuan. Berdasarkan analisis uji lanjut (Uji Duncan) menunjukan bahwa keempat perlakuan jarak tanam yang diuji memberikan pertumbuhan mutlak yang berbeda-beda.

B. Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS)

LPS tertinggi berada pada jarak tanam 30 cm yaitu 3,01 %, diikuti jarak tanam 40 cm yaitu 2,49 %, pada jarak tanam 20 cm yaitu 2,22 % dan terendah terdapat pada jarak tanam 10 cm yaitu 2,07 %.

Gambar 4. Grafik Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) Rumput Laut E. spinosum Selama Penelitian

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 9 18 27 36 45 L P S ( %)

Masa Pemeliharaan (Hari)

jarak 10 cm jarak 20 cm jarak 30 cm jarak 40 cm

c

c

a

b

0 10 20 30 40 50 60 10 20 30 40 P M (g ) Jarak Tanam (cm)

(6)

Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa LPS rata-rata rumput laut pada masing-masing perlakuan menunjukan adanya pengaruh nyata antara perlakuan 30 cm terhadap perlakuan 10 cm, 20 cm dan 40 cm serta perlakuan 40 cm berpengaruh nyata terhadap perlakuan 10 cm dan 20 cm. Berdasarkan analisis uji lanjut (Uji Duncan) diperoleh bahwa keempat

perlakuan jarak tanam yang diuji memberikan respon LPS yang berbeda-beda.

C.Kadar Karagenan

Kadar karagenan tertinggi ditemukan pada jarak tanam 20 cm, yaitu 49,44%, diikuti oleh jarak tanam 40 cm yaitu 48,78%, diikuti oleh jarak tanam 30 cm yaitu 48,19% dan terendah pada jarak tanam 10 cm yaitu 47,57%.

Gambar 5. Histogram Kandungan Karagenan Rumput Laut E. spinosum Selama Penelitian. Berdasarkan sidik ragam (ANOVA)

terlihat bahwa karagenan setiap perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata.

D.Kualitas Air

Parameter kualitas air diamati setiap 9 hari, meliputi: kecepatan arus, kedalaman,

kecerahan, suhu, salinitas, nitrat dan fosfat yang diamati 2 kali selama penelitian dimana dilakukan selama 45 hari selama proses penelitian. Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian, sebagaimana tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Penelitian.

Parameter Kisaran Pembanding

Suhu ( 0C) Kecerahan ( m ) Arus (m/s) Salinitas (ppt) Nitrat (mg/l) Phospat (mg/l) 28-30 5 – 11 0,38-0,68 32-34 0,0056-0,0013 0,0391-0,0132 20-28 ( Puslitbangkan, 1991) 1-7 (Pong-Masak 2010) 0,33-0,66 cm/s (Atmadja,1996) 28-35 ppt ( Ditjenkanbud, 2005) 0,0071-0,0169 rendah (Aslan, 2011) 0,01-0,067 ( Edward, dkk, 2001) Pembahasan A. Pertumbuhan Mutlak (PM)

Hasil penelitian ini, jarak tanam bibit yang berbeda memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan mutlak yang berbeda pula. Jarak yang lebih tinggi cenderung menghasilkan pertumbuhan mutlak yang lebih tinggi, sungguh

demikian jarak bibit rumput laut diatas 30 cm relatif memperlihatkan pertumbuhan mutlak yang cenderung menurun. Hal ini didukung oleh pernyataan Winarno (1990) yang menyatakan bahwa pertumbuhan rumput laut juga dipengaruhi oleh jarak bibit yang diikat pada tali. Pertumbuhan mutlak rumput laut (E. spinosum) tetinggi dapat dilihat pada (Gambar 3).

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 10 20 30 40 K ara gena n (%) Jarak tanam (cm)

(7)

Jarak tanam rumput laut dapat mempengaruhi persaingan dalam mendapatkan unsur hara atau nutrien. Unsur hara/nutrien yang diperoleh rumput laut untuk pertumbuhannya diantaranya: klor, kalium, natrium, magnesium, belerang, silikon, fospor, kalsium, besi, iodium dan brom. Selain itu salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah arus dan ombak yang berkekuatan besar dapat menyebabkan kerusakan pada thalus rumput laut seperti patah atau terlepas dari substratnya, hal ini sesuai dengan pernyataan Rusman (2009) menyatakan bahwa kelulushidupan rumput laut tergantung dari intensitas cahaya matahari dalam fotosintesis dan besarnya arus serta ombak yang dapat menyebabkan thalus rontok atau patah.

Pemeliharaan rumput laut (E. spinosum) selama 45 hari pada jarak tanam 30 cm, dengan berat awal 50 g nilai rata-rata 46,5767 g selanjutnya diikuti jarak tanam 40 cm dengan selisi berat 2,4767 g dari jarak tanam 30 cm, pada jarak tanam 20 cm dengan selisi berat 4,6867 g jari jarak tanam 30 cm, kemudian jarak tanam 10 cm terendah dengan selisih berat 2,59 g dari jarak tanam 40 cm. Hal ini disebabkan adanya persaingan dalam mendapatkan unsur hara dan nutrien, sesuai pendapat (Sudjiharno, 2001) yang mengemukakan bahwa jarak tanam berhubungan dengan persatuan luas lahan. Jarak tanam yang digunakan selain mempengaruhi lalu lintas pergerakan air juga akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thalus yang akan membantu pengudaraan sehingga proses fotosintesis yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut dapat berlangsung serta mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air. Supit, (1989) menambahkan bahwa persaingan antara thalus dalam hal kebutuhan matahari, zat hara dan ruang gerak sangat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut.

Penelitian ini jarak tanam terbaik yang menghasilkan biomasa tertinggi yaitu jarak tanam 30 cm disusul dengan jarak tanam 40, 20 dan 10 cm. Hal ini serupa dengan Djai (2010) bahwa yang memiliki pertumbuhan mutlak tertinggi terdapat pada jarak tanam 40 cm dengan berat awal 50 g nilai rata-rata 284,67 g selanjutnya diikuti jarak tanam 50 cm dengan selisi berat 34,67 g dari jarak tanam 40 cm, selanjutnya jarak tanam 20 cm dengan selisi berat 68 g dari jarak tanam 40 cm, kemudian jarak tanam 30 cm terendah dengan selisih berat 121,34 g dari jarak tanam 50 cm.

Penelitian ini diduga bahwa semakin luasnya jarak tanam tidak menjamin dapat memberikan pertumbuhan rumput laut yang semakin baik, hal ini berbeda dengan pernyataan

Prihaningrum, dkk (2001) yang menyatakan semakin luas jarak tanam maka semakin luas pergerakan air yang membawa unsur hara sehingga pertumbuhan rumput laut dapat meningkat. Afrianto dan Liviawati (1993) menyarankan agar bibit tidak kurang dari 20 cm, sedangkan Indriani dan Sumiarsi (2003) mengemukakan bahwa jarak tanam yang terbaik untuk metode rakit adalah 20 cm, sedangkan untuk metode lepas dasar bibit diikat pada jarak 30 cm.

Selama penelitian pada jarak tanam 10 cm yang memiliki berat rata-rata paling rendah diantara semua perlakuan. Jarak tanam sangat banyak dijumpai tumbuhan mikro (lumut) serta terdapatnya hewan-hewan yang menempel yang akan menyebabkan bercak-bercak putih pada thallus E. spinosum hal ini akan memudahkan thallus rumput laut mudah jatuh dibanding dari semua perlakuan sehingga memiliki pertumbuhan yang sangat lambat, sebab adanya persaingan unsur hara antara tumbuhan mikro (berupa lumut) dengan tanaman rumput laut, hal ini didukung oleh Anggadiredja (2006) bahwa tumbuhan disekitar tanaman budidaya merupakan competitor, sehingga mengganggu pertumbuhan rumput laut. Selama penelitian kualitas air sangat menurun sebab banyaknya curah hujan, pergerakan air (arus) sangat rendah, sebagaimana Santelices (1999) mengemukakan bahwa ditemukan pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh sinar matahari, radiasi suhu, nutrien, gelombang dan kecepatan arus yang saling mempengaruhi sehingga parameter lingkungan perairan yang rendah mempengaruhi pertumbuhan rumput laut.

B. Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS)

LPS tertinggi terdapat pada jarak 30 cm yaitu 3,01 %, kemudian pada jarak tanam 40 cm yaitu 4,49 %, jarak tanam 20 cm yaitu 2,22 % dan yang terendah terdapat pada jarak tanam 10 cm yaitu 2,07 %. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan perbedaan jarak tanam yang digunakan memberikan respon yang berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik.

Hasil analisis uji Duncan dapat dilihat pada grafik LPS rumput laut menunjukan bahwa semakin hari LPS semakin menurun hal ini menunjukan bahwa telah terjadi persaingan dalam memperoleh unsur hara, dan adanya kotoran-kotoran yang menempel pada pada thallus rumput laut sehingga dapat menghambat rumput laut untuk berfotosintesis. Selain itu, terdapatnya hewan-hewan yang menempel pada

(8)

thallus E. spinosum ditandai dengan terpotongnya bagian ujung thallus tanaman rumput laut yang menyebabkan pertumbuhan rumput laut tiap minggunya semakin menurun. Selanjutnya Yulianto danMira (2009). Pada sisa thallus setelah 3-5 hari tumbuh percabangan baru pada sisi lateral thallus.

Selain itu, menurunnya laju pertumbuhan spesifik dikarenakan rendahnya tingkat pertumbuhan yaitu adanya penambahan bobot thallus yang lebih rendah seiring dengan pertambahan usia pemeliharaan rumput laut yang menyebabkan terjadinya persaingan dalam memperoleh unsur hara dan penyerapan sinar matahari dalam proses fotosintesis, sehingga laju pertumbuhan rumput laut semakin menurun. Menurut Yusnaini dkk., (2000) bahwa penurunan laju pertumbuhan spesifik diduga akibat cepatnya terjadi kejenuhan pembelahan sel. Rumput laut yang telah mengalami proses adaptasi kemudian mengalami fase pertumbuhan yang cepat dan kemudian terjadi penurunan kemampuan pertumbuhan sel menyebabkan pertumbuhan lambat.

C. Kadar Karagenan

Hasil penelitian ini kandungan karagenan yang tertinggi pada masing-masing perlakuan ditemukan pada jarak tanam 20 cm yaitu 49,44 %, jarak tanam 40 cm yaitu 48,78 % pada jarak 30 cm yaitu 48,19 % dan yang terendah terdapat pada jarak tanam 10 cm yaitu 47,57 %. Kandungan karagenan pada jarak tanam 20 lebih tinggi dibandingkan dengan jarak tanam 10 cm, 30 cm, dan 40 cm.

Kadar karagenan tertinggi pada penelitian ini yaitu pada perlakuan 20 cm (49,4493 %). Shalun (2011) mendapatkan kadar karagenan tertinggi pada rumput laut yaitu (44,068 %). Hasil ini juga berbeda dengan yang didapatkan Erpin (2012), dimana karagenan rumput laut E. spinosum yaitu (47,59 %). Perbedaan kadar karagenan tersebut diduga dipengaruhi oleh waktu pemeliharaan, jarak tanam, metode ekstraksi dan bahan mentah ekstraksi. Hayashi dkk., (2007) menyatakan bahwa kondisi karagenan terbaik dapat dicapai bila rumput laut dibudidayakan selama 45 hari dan Freile-Pelegrin (2006), menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas karagenan adalah benda asing, musim, cahaya, nutrien, suhu dan salinitas yang dapat menurunkan kualitas dari rumput laut. Jumlah dan kualitas karagenan yang berasal dari budidaya laut bervariasi, tidak hanya berdasarkan

varietas, tetapi juga umur tanaman, sinar, nutrien, suhu dan salinitas.

D. Kualitas Air

Kualitas air dalam penelitian dilakukan untuk mengetahui kisaran kualitas air yang ditolerir dan dapat mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut Eucheuma spinosum.

Suhu yang optimal meningkatkan proses penyerapan nutrien sehingga mempercepat pertumbuhan rumput laut karena akan memberikan kelancaran dan kemudahan dalam metabolisme (Effendi, 2003). Berdasarkan hasil pengamatan selama 45 hari rata-rata suhu di perairan Desa Ranooha berkisar antara 28-300C dengan rata-rata 300C.

Hasil pengukuran menunjukan kecenderungan peningkatan suhu mulai hari pertama sampai hari ke-45 (29-30,80C). Suhu perairan relatif stabil dengan peningkatan yang tidak terlalu drastis antara pagi (09.30-10.30 WITA) dan sore (15.30-16.30 WITA). Kondisi tersebut terjadi karena lokasi pengamatan perairan laut yang memiliki paparan sinar matahari sebagai dampak kecerahan yang sangat tinggi (mencapai dasar laut). Kisaran suhu hasil pengukuran (28-300C) sesuai dengan yang dibutuhkan oleh E. spinosum agar dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu melalui evaluasi suhu perairan menunjukan bahwa Desa Ranooha layak untuk budidaya E. spinosum karena mempunyai fluktuasi suhu kurang dari 20C (Munoz et al., 2004).

Kisaran suhu sangat spesifik dalam pertumbuhan rumput laut, disebabkan adanya enzim pada rumput laut yang tidak berfungsi pada suhu yang terlalu dingin maupun terlalu panas (Dawes, 1981 dalam Amiluddin, 2007). Suhu perairan yang tinggi dapat menyebabkan kematian pada rumput laut seperti dalam proses fotosintesis, kerusakan enzim dan membran yang bersifat labil. Sedangkan pada suhu rendah, membran protein dan lemak dapat mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal di dalam sel, sehingga mempengaruhi kehidupan rumput laut (Luning, 1990).

Setiap organisme laut memiliki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas termasuk E. spinosum, sehingga salinitas merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisme. Hasil pengukuran salinitas selama 45 hari di perairan Desa Ranooha diperoleh kisaran salinitas antara 32-34 ppt dengan rata-rata 33 ppt.

Salinitas di perairan Desa Ranooha menunjukan kisaran yang relatif baik yaitu antara

(9)

32-34 ppt, diduga karena saat penelitian dilaksanakan masih termasuk musim kemarau yang secara umum dan mempunyai intesitas curah hujan relatif rendah. Selain itu, disebelah Timur Desa Ranooha masih berbatasan langsung dengan laut bebas sehingga pengaruh kegiatan didaratan sangat sedikit. Menurut Kadi (2006) disebutkan bahwa kisaran pertumbuhan rumput laut dapat tumbuh subur pada daerah tropis yang memiliki salinitas perairan 32-34 ppt.

Kisaran salinitas di perairan Desa Ranooha relatif baik dan merupakan kisaran yang dibutuhkan untuk pertumbuhan E. spinosum (rata-rata 33 ppt). Menurut DKP (2006) budidaya E. spinosum dapat tumbuh dengan baik pada perairan laut dengan salinitas antara 28-35 ppt, serta salinitas optimum adalah 33 ppt (Mubarak et al., 1990). Hal tersebut membuktikan bahwa kisaran salinitas perairan laut Desa Ranooha layak digunakan untuk budidaya rumput laut E. spinosum.

Arus laut memiliki pengaruh yang besar terhadap aerasi, transportasi nutrien dan pengadukan air, sehingga berpengaruh terhadap kecepatan tumbuh E. spinosum. Arus yang terlalu kuat juga dapat menyebabkan thallus rumput laut patah, sehingga lokasi budidaya E. spinosum harus terlindung dari arus dan hempasan ombak yang terlalu kuat (lebih 50 cm/detik (Richohermoso et al., 2006). Data yang diperoleh selama penelitian kecepatan arus perairan laut Desa Ranooha berkisar 0,34-0,41 cm/detik.

Perairan laut Desa Ranooha mempunyai sirkulasl air yang relatif baik. Arus dari laut bebas mengalir di antara pulau membawa nutrien dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi (0,34-0,41 cm/detik). Menurut DKP (2006) kecepatan arus laut yang ideal untuk kegiatan budidaya E. spinosum yaitu antara 0,28 cm/detik sampai 0,40 cm/detik. Oleh karena itu, berdasarkan analisis kecepatan arusnya maka perairan laut Desa Ranooha layak digunakan untuk budidaya E. spinosum.

Kecerahan perairan laut terkait erat dengan sejauh mana penetrasi cahaya matahari dapat masuk ke perairan yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Hasil pengukuran kecerahan perairan laut di Desa Ranooha di ketahui bahwa, cahaya matahari dapat menembus hingga ke dasar perairan bahkan hingga kedalaman 5-11 meter.

Hasil penelitian di atas, menunjukkan bahwa kondisi kecerahan di perairan laut Desa Ranooha sangat baik untuk pertumbuhan rumput laut, diduga karena kondisi perairan yang belum tercemar dan sedikit rusaknya terumbu karang. Menurut Khan dan Satam (2003) kecerahan

perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah lebih 1 meter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi kecerahan di perairan laut Desa Ranooha sangat baik untuk pertumbuhan rumput laut E. spinosum.

Fluktuasi rata-rata kedalaman perairan laut pada pengamatan dari hari pertama sampai hari ke-45 relatif sama. Rata-rata kedalaman yaitu 8-17 m merupakan hasil pengukuran saat pagi dan sore selama 45 hari sehingga fluktuatif karena dipengaruhi oleh siklus pasang surut. Menurut Khan dan Satam (2003) ketika air di lokasi budidaya surut terendah maka agar rumput laut masih dapat tumbuh dengan baik kedalaman minimal adalah 4 m sampai 17 m, sehingga penyerapan nutrisi masih dapat berlangsung dan rumput laut tidak rusak akibat terpapar cahaya matahari secara langsung. Kondisi tersebut dapat mencegah rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari untuk fotosintesis.

Perlu juga di perhatikan pola pasang surut terutama saat surut terendah, karena rambatan pasang surut yang bergelombang panjang dari laut menyebabkan gerakan mengalir suatu massa air. Pasang surut mendukung sirkulasi air dan distribusi unsur hara yang dibutuhkan oleh rumput laut untuk hidup dan tumbuh maksimal, serta mencegah pengedapan kotoran (Munoz et al., 2004). Perairan laut Desa Ranooha memiliki fluktuasi pasang surut berkisar 200 cm sampai 400 cm, kedalaman saat surut terendah adalah 4 meter. Oleh karena itu bedasarkan kedalamannya, perairan laut Desa Ranooha layak untuk budidaya E. spinosum.

Salah satu unsur hara yang penting dan dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut adalah nitrat. Hasil analisis konsentrasi nitrat berada pada kisaran 0,0013-0,0056 ppm. Tingginya konsentrasi nitrat banyak di pengaruhi oleh kegiatan di daratan yang menghasilkan sampah organik dan rumah tangga. Arus dari pinggir Desa Ranooha membawa zat organik terurai sehingga mempengaruhi tinggat kesuburan rumput laut. Hodgkiss dan Lu (2004), secara alami nitrogen yang masuk ke perairan pesisir di bawah oleh aliran permukaan sungai, sebagai hasil fiksasi nitrogen, presipitation, dan upweling. Tingkat kesuburan perairan Desa Ranooha masih belum dikategorikan sebagai perairan eutrofik, sehingga tidak berpotensi terjadi blooming algae. Hasil pengukuran menunjukan bahwa perairan Desa Ranooha cukup baik untuk budidaya rumput laut E. spinosum.

(10)

Fosfat merupakan salah satu parameter penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan E. spinosum, dan umumnya berbentuk ortofosfat.

Fosfat yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu berkisar 0,0132-0,0391 mg/l. Kesuburan rumput laut dipengaruhi oleh kandungan nitrat dan fosfat. Kisaran nilai kandungan nitrat dan fosfat yang layak bagi kesuburan rumput laut ialah 0,1–3,5 ppm dan 1,0–3,5 ppm, Effendi (2003) menyatakan bahwa unsur fosfor dan nitrogen diperlukan rumput laut bagi pertumbuhannya. Umumnya unsur fosfor yang dapat diserap oleh rumput laut adalah orthofosfat, sedangkan nitrogen diserap dalam bentuk nitrat maupun ammonium. Menurut (Patadjai 2007). Kebutuhan fosfat untuk pertumbuhan optimum algae dipengaruhi oleh bentuk senyawa nitrogen. Batas tertinggi konsentrasi fosfat akan lebih rendah jika nitrogen berada dalam bentuk garam amonium. Sebaliknya jika nitrogen dalam bentuk nitrat, konsentrasi fosfat yang diperlukan akan lebih tinggi. Batas terendah konsentrasi fosfat untuk pertumbuhan optimum algae berkisar antara 0,18-0,90 ppm dan batas tertinggi berkisar antara 8,90-17,8 ppm.

Fosfat dapat berasal dari pencemaran industri sehingga dapat dikatakan unsur yang esensial, limbah domestik, hancuran bahan organik dan mineral-mineral fosfor, sehingga unsur hara menjadi komponen penting bagi pertumbuhan rumput laut adalah nitrat (NO3-) dan fosfat (PO4-). Senyawa fosfat merupakan penyusun fosfolipida yang penting sebagai penyusun membran dan terdapat dalam jumlah besar. Energi yang dibebaskan dari hidrosis pirofosfat dan berbagai ikatan fosfat organik digunakan untuk mengendalikan berbagai reaksi kimia (Patadjai, 2007).

Simpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

Perbedaan jarak tanam memberikan pengaruh pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan spesifik rumput laut yang berbeda.

Pertumbuhan rumput laut E.spinosum lebih

baik pada jarak tanam yang lebar (30 cm dan 40 cm) dibanding pada jarak tanam

yang sempit (10 cm dan 20 cm).

Kadar karagenan rumput laut E.spinosum tidak berbeda nyata pada jarak tanam 10 cm, 20 cm, 30 cm dan 40 cm.

Hasil pengukuran parameter kualitas air

menunjukan bahwa kualitas air dilokasi

penelitian masih dalam kisaran toleransi

untuk pertumbuhan rumput laut

E.spinosum

.

Persantunan

Ucapan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. La Ode Muh. Aslan, M.Sc sebagai Dekan FPIK yang selalu memberikan motivasi dan dorongan demi kesuksesan penulis dan juga kepada Bapak Ir. Abdul Rahman, M.Si sebagai pembimbing I dan Ruslaini, S.Pi., M.P sebagai pembimbing II yang selalu ikhlas dalam memberikan petunjuk, arahan dan bimbingannya.

Daftar Pustaka

Afrianto E., dan Liviawaty, E., 2003. Budidaya Laut dan Cara Pengolahannya Bharata Jakarta. 84 hal.

Amiluddin, NM. 2007. Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit Ice-Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor.

Anggadiredja TJ, Zatnika A, Purwoto H,

Istini S. 2006.

Rumput Laut

. Jakarta

:Penebar Swadaya. Jakarta. 147 Jml.

Aslan, L. M. 1998. Budidaya Rumput Laut

Kanisius. Yogyakarta. 96 hal.

Aslan, L. M. 2011. Strategi Pengembangan Budidaya Rumput Laut Di Indonesia. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Dalam Bidang Budidaya Perairan. Disampaikan Pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Haluoleo Tanggal 22 Januari 2011.

Dawes, CJ., 1994. Laboratory and Field Growth Studies of Commercial Strains of Eucheuma denticulatum and Kappaphycus alvarezii in The Philippines. J. Appl. Phycol. 6, 21-24 Hal.

Dinas Kelautan dan Perikanan. 2006. Profil Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar. Takalar.

Djai S., 2010. Pengaruh Jarak Tanam Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kadar Karagenan Rumput Laut Varietas Hijau Kappaphycus alvarezii dengan Menggunakan Metode Long Line di Desa Toli-Toli Kecamatan lalonggasumeeto Kabupaten Konawe. Skripsi Fakultas Perikanan dan Imu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari. 50 hall.

Effendy, H., 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisisus. Yogyakarta. 52-55 Hal.

(11)

Erpin. 2012. Pengaruh Berat Bibit Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Karagenan Rumput Laut E. Spinosum Menggunakan Metode Long Line.

Freile-Pelegrin Y., 2006. Caragenan Of

Eucheuma Isiforme Conditions.

Botanica Marina 49 : 65-71 Hal.

Gasperz., 1994. Metode Perancangan Percobaan ;

untuk Ilmu – Ilmu Pertanian, Ilum-Ilmu Tekhnik dan Biologi. CV. Armico. Bandung. 8-13 Hal.

Hayashi L., Paula E.J.D and Chow F., 2007. Growth rate and carrageenan analyses in four strains of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Gigartinales) farmed in the subtropical waters of Sao Paulo StateBrazil. Journal of Applied Phycology. 19: 393-399 Hal.

Hodgkiss, l.J. & S. Lu. 2004. The effects of Nutrients and their ratio on phytoplankton abudance in Jun Bay, Hon gkon g. Hyd robiolo gia, 572 : 275-289 Hal.

Indriani, H., Sumiarsih, E., 2003. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput laut. Anggota Ikapi. PT. Penebar swadaya. Jakarta. 45-65 Hal.

Kadi, A. dan Atmadja, S. 2006. Beberapa Catatan Kehadiran Marga Sargassum di Perairan Indonesia. LIPI. Lampung. 76 hal.

Khan, S.1., & S.B. Satam. 2003. Seaweed Marikulture Scope and Potential in lndia. Aquaculture Asia 8(4):26-29 Hal. Luning K. 1990. Sea Weeds Their Environment, Biogeography,and Ecophysiology. A Wiley Interscience Publication, John Wiley and Sons, Inc.

Mubarak H., Sulistijo, dan Soegiarto. A., 2001. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Puslitbangkan. IDRC-INFIS. 34 hal. Munoz, J., Pelegrin, Y.F., & Robledo, D., 2004.

Mariculture of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) Color Strains in Tropical Waters of Yucatan, Mexico. Aquaculture, 167-777 Hal.

Patadjai R., S. 2007. Pertumbuhan Produksi

dan

Kualitas

Rumput

Laut

Kappaphycus alvarezii

(Doty) Pada

Berbagai Habitat Budidaya yang

Berbeda. Program Pascasarjana.

Universitas Hasanuddin. Makasar.

Prihanigrum A., M. Meiyana dan Evalawati. Tahun 2001, Biologi Rmput laut; Teknologi Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii). Petunjuk Tekhnis. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Laut. Lampung. 66 hal.

Ricohermoso, M.A., Bueno, P.B., & Sulit, V.T., 2007. Maximizing Opportunities in

Seaweeds Farming

MCPI/NACA/SEAFDEC. 8 pp.

Rusman. 2009. Teknis Demplot Budidaya Rumput Laut. DKP-Balai Budidaya. 67 hal.

SNI, 1998. Rumput Laut Kering. Direktorat Jenderal Perikanan dan Kelautan. Jakarta. 7 hal.

Sudjiharno, 2001. Teknologi Budidaya Rumput Laut. Balai Budidaya Laut. Lampung. 35-46 Hal.

Supit D.S. 1989. Karakteristik Pertumbuhan dan Kandungan Rumput Laut Eucheuma cotonii (Doty) yang Berwarna Abu-abu, Coklat dan Hijau yang Ditanam di Coba Lambangan Pasir Pulau Pari. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Syahlun. 2011. Uji Pertumbuhan Rumput Laut

Strain Coklat Dengan metode Vertikultur.

Tiar. S., 2012. Pengaruh Jarak Tanam Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) Strain Coklat melalui Seleksi Klon Menggunakan Metode Longline Periode I dan II. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari.

Winarno, F.G., 1996, Teknologi Pengolahan Rumput Laut, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Yulianto. K., dan Mira. S. 2009. Budidaya Makroalga K. alvarezii (Doty) Secara Vertikal Dengan Gejala Penyakit Ice-Ice Diperairan Pulau Pari. UPT. Loka Pengembangan Kompetensi SDM Oseanografi Pulau Pari-LIPI. 334 hal. Yusnaini, Ramli, U.K. Pangerang. 2000.

Budidaya Intensif Teripang Pasir Holothuria scabra dengan Menggunakan Alga Eucheuma cottoni Sebagai Shelter. Laporan HasilPenelitian Lembaga Penelitian. Universitas Haluoleo. Kendari.

Gambar

Gambar 1. Budidaya Rumput Laut Metode Long Line.
Gambar 2. Bagan Proses Ekstraksi Karagenan Rumput Laut E. Spinosum (Thamrin, 2011).
Gambar 3. Histogram Pertumbuhan Mutlak Rumput Laut Eucheuma spinosum Selama Penelitian
Gambar 5. Histogram Kandungan Karagenan Rumput Laut E. spinosum Selama Penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

dan Eucheuma cottoni yang dibudidayakan dengan metode long line dan mengetahui rumput laut yang cocok untuk di budidayakan di perairan pantai bulu jepara..

Pengamatan pertumbuhan rumput laut dilakukan setiap minggu selama 45 hari dengan cara mengambil sampel secara acak pada rakit dan tali panjang (long line) (Gambar

Hasil rata-rata diatas menunjukan bahwa ada perbedaan pertumbuhan antara rumput laut dari bibit hasil F2 dan rumput laut hasil dari kontrol, karena menggunakan bibit

Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini ialah penggunaan metode budidaya long-line vertical dan horizontal memberikan pengaruh terhadap laju pertumbuhan harian rumput laut

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi yang nyata antara perlakuan jarak tanam rumput odot dan jarak tanam

hasil penerimaan panelis terhadap uji organoleptik menunjukkan bahwa konsentrasi rumput laut memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa, kesukaan dan aroma

Penggunaan level pupuk organik cair (POC) genetika plus dan jarak tanam memberikan pengaruh nyata pada pertumbuhan rumput gajah ( Pennisetum purpureum) terhadap

Tampak dari atas desain penelitian Parameter Pengamatan Adapun parameter yang diamati pada penelitian pengaruh perbedaan kedalaman tanam terhadap pertumbuhan rumput laut Kappaphycus