• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI POPULASI TAPIR ASIA (Tapirus indicus) DENGAN BANTUAN KAMERA JEBAK DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO, PROVINSI RIAU ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI POPULASI TAPIR ASIA (Tapirus indicus) DENGAN BANTUAN KAMERA JEBAK DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO, PROVINSI RIAU ABSTRACT"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Repository FMIPA 1

STUDI POPULASI TAPIR ASIA (Tapirus indicus)

DENGAN BANTUAN KAMERA JEBAK

DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO, PROVINSI RIAU

Antika Fardilla1*, Ahmad Muhammad2, Sunarto3

1

Mahasiswa Program S1 Biologi, FMIPA, Universitas Riau 2

Dosen Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Riau 3

Wildlife Specialist, WWF Indonesia *Antika_fardilla@yahoo.com

ABSTRACT

Asian tapir (Tapirus indicus Desmarest 1819) represents one of the largest mammal species on the island of Sumatera and Tesso Nilo National Park (TNTN) in Riau Province demonstrates one of its remaining primary habitats. The present study attempted to assess the status of this elusive animal in this park (<200 m asl) using camera traps, with the specific objectives: (1) to estimate of the individual number and composition in the existing population; (2) to estimate the population density. A total of 50 camera traps (Reconyx and Bushnell, USA) were operated as pairs in 25 cells of 2x2 km2 over an area of 349 km2 for 1974 effective days-camera (July-October 2013). Tapir was captured in 262 (1.96%) out of a total of 13,374 images. Analysis of 57 independent tapir images indicated that the population consisted of at least 24 individuals comprising 7 adult males, 2 subadult males, 10 adult females, and 5 individuals of unknown sexes, which suggested that the proportion of the adults was 70,83 % and the sex ratio was 1:1. Estimation using DENSITY version 4.4 showed that the population density was 9,42 ± 2,36 (D±SE) individuals/100km2.

Keywords: DENSITY, estimation, large mammal, population, Sumatra,

ABSTRAK

Tapir Asia (Tapirus indicus Desmarest 1819) mewakili salah satu mamalia besar yang ada di pulau Sumatera dan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Provinsi Riau menunjukkan salah satu dari habitatnya yang tersisa. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji status dari hewan elusive ini di Taman Nasional ini (<200 m dpl) menggunakan kamera jebak, dengan tujuan khusus: (1) Mengestimasi jumlah individu dan komposisi dari populasi yang ada; (2) Mengestimasi kepadatan populasi. 50 kamera jebak (Reconyx & Bushnell, USA) telah dioperasikan segera berpasangan dalam 25 sel 2x2 km2 dalam area seluas 349 km2 dengan 1974 hari-kamera efektif (July – Oktober 2013). Gambar yang terdapat gambar tapir berjumlah 262 (1,96%) dari total 13.374 gambar. Analisis dari 57 gambar independen tapir mengindikasikan bahwa populasi tersebut terdiri dari setidaknya 24 individu yang berisikan 7 jantan dewasa, 2 jantan remaja, 10 betina dewasa, dan 5 individu yang tidak diketahui jenis kelaminnya, yang

(2)

Repository FMIPA 2 menunjukkan bahwa proporsi tapir dewasa adalah 70,83 %, dengan rasio seks 1:1. Estimasi menggunakan DENSITY Versi 4.4 menunjukkan bahwa kepadatan populasi adalah 9,42 ± 2,36 (D ± SE) individu/100 km2.

Kata kunci: DENSITY, estimasi, mamalia besar, populasi, Sumatera

PENDAHULUAN

Kegiatan pembalakan dan konversi lahan hutan menjadi perkebunan dan pemukiman telah menyebabkan berkurangnya luas tutupan hutan di Pulau Sumatera secara dramatis dalam tiga dasawarsa terakhir. Di Provinsi Riau misalnya, luas tutupan hutan yang ada telah mengalami penurunan dari 78% pada tahun 1982, menjadi hanya 33% pada tahun 2005 (WWF 2006). Hal ini telah mengakibatkan banyaknya hutan alam yang menjadi habitat berbagai jenis satwa liar mengalami fragmentasi atau bahkan hilang sama sekali. Oleh karenanya banyak diantara spesies satwa liar yang ada di pulau ini sekarang terdesak ke ambang kepunahan, yang salah satu diantaranya adalah tapir (IUCN 2014).

Spesies tapir yang terdapat di Sumatera adalah Tapir Asia (Tapirus

indicus Desmarest 1819). Menurut

IUCN, sejak tahun 2008 spesies satwa ini terancam kepunahan, sehingga diperlukan berbagai upaya konservasi untuk mempertahankan keberadaannya, terutama dalam hutan-hutan alam yang menjadi habitat aslinya. Secara alamiah tapir sebenarnya tersebar di hampir seluruh Pulau Sumatera, meskipun demikian mengingat banyaknya tutupan hutan alam yang telah mengalami kerusakan atau hilang sama sekali maka sekarang satwa ini hanya dapat ditemukan di kawasan-kawasan tertentu. Salah satu kawasan dimana tapir masih dapat ditemukan adalah

Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) (WWF 2014) yang berada dalam wilayah Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kabupaten Kampar di Propinsi Riau.

Upaya konservasi satwa liar sering menghadapi berbagai kendala dan terdapat kecendrungan kendala ini semakin kompleks dari waktu ke waktu. Salah satu kendala dalam perencanaan upaya konservasi satwa liar adalah tidak atau kurang tersedianya data atau informasi yang akurat tentang populasi satwa liar yang dimaksud. Data atau informasi tentang jumlah dan komposisi anggota serta sebarannya dalam ruang dan waktu sangat penting artinya untuk perumusan strategi konservasi satwa liar tersebut.

Spesies-spesies satwa liar yang terdapat dalam ekosistem hutan tropis umumnya bersifat elusive (tidak suka menampakkan diri) dan berpenampilan

cryptic (tersamar) sehingga sulit dilihat

secara lansung (Novarino et al. 2005). Ciri-ciri ini sering diperumit oleh waktu aktif mereka yang bersifat nokturnal (hanya aktif pada malam hari) (Novarino et al. 2005).

Tapir adalah salah satu contoh satwa liar yang memiliki semua ciri-ciri tersebut dan oleh karenanya sangat sulit untuk diamati secara langsung di lapangan. Hal ini menyebabkan data tentang populasi-populasinya masih sangat terbatas. Selain itu, data populasi yang hanya diperoleh melalui pengamatan-pengamatan sederhana, seperti terhadap jejak kaki (Francis

(3)

Repository FMIPA 3 2008) atau melalui wawancara dengan

masyarakat (Gay & Diehl 1992), memiliki banyak kelemahan baik dari segi presisi maupun akurasinya. Kelemahan semacam ini dapat dikurangi dengan penggunaan kamera jebak (“camera traps”). Meskipun bukan merupakan teknologi yang sama sekali baru, teknologi ini cukup banyak mengalami perkembangan dalam dua dasawarsa terakhir dan semakin banyak digunakan dalam penelitian populasi satwa liar (Carbone et al. 2001).

WWF Indonesia Program Riau telah melaksanakan pemantauan populasi harimau Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dengan menggunakan kamera jebak. Selain harimau yang menjadi satwa sasaran utama juga tertangkap berbagai spesies satwa lain, termasuk tapir.

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengetahui profil populasi tapir yang ada dalam kawasan TN Tesso Nilo sejauh yang dapat terpotret oleh kamera-kamera jebak yang telah dipasang untuk pemantauan populasi harimau Sumatera dan menaksir densitas populasi tapir yang ada berdasarkan data pemotretan yang diperoleh. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi tentang kondisi populasi tapir yang terdapat dalam TN Tesso Nilo dan informasi ini dapat dipergunakan sebagai salah satu dasar bagi pengelolaan populasi-populasi satwa liar yang ada, khususnya populasi tapir, dalam kawasan lindung yang diteliti.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang sebagian besar berada dalam wilayah Kabupaten Pelalawan, Provinsi

Riau dengan luas area 349 km2. TNTN merupakan sebuah kawasan yang berada di dataran rendah dengan ketinggian <200 m dpl.

Mula-mula dibuat grid secara virtual pada wilayah sasaran studi dengan bantuan program ArcGIS Versi 10.1. Sel-sel dalam grid ini berukuran 2x2 km. Dilakukan pemilihan 25 sel dalam grid secara sistematis, dimana setiap sel yang dipilih berada diantara satu sel lain yang tidak dipilih.

Jumlah kamera jebak yang dipasang dalam setiap sel yang dipilih adalah dua buah kamera, yang terdiri dari satu kamera foto dan satu kamera video. Keduanya sebisa mungkin dipasang dalam posisi berhadapan. Kamera dipasang pada posisi dimana diperkirakan peluang satwa-satwa yang lewat akan terpotret paling besar. Semua kamera yang dipasang merupakan kamera digital (bermerk Bushnell & Reconyx, USA).

Data rekaman yang berupa foto maupun video dari masing-masing kamera dipindahkan kedalam komputer. Kemudian dilakukan pemilihan dan pemisahan foto dan video tapir yang dikategorikan sebagai gambar independen.

Gambar diidentifikasi secara manual, dimana antara foto satu dan foto yang lainnya dibandingkan dan dicatat perbedaan-perbedaan yang ada. Ciri utama pembeda antar individu dalam hal ini adalah ukuran tubuh, jenis kelamin, karakteristik pola warna tubuh, karakteristik belang pelana dan ada-tidak adanya bekas luka (Holden et al. 2003; Novarino et al. 2005; dan Asmita 2014). Ciri pembeda lainnya adalah waktu dan tempat dimana foto atau video suatu individu terekam.

Dalam penelitian ini penaksiran densitas populasi tapir dilakukan

(4)

Repository FMIPA 4 dengan menggunakan program

DENSITY (Efford 2013). Program DENSITY versi 4.4 dengan permodelan

Spatially Explicit Capture-Recapture

(SECR). Dalam hal ini kepadatan populasi diperkirakan dengan model menggunakan asumsi bahwa populasi yang diperiksa merupakan sebuah populasi tertutup, dilihat dari basis data WWF yang mengacu pada penelitian harimau

Hasil identifikasi tersebut diinputkan kedalam program DENSITY, data-data yang diinputkan berupa tiga file, yaitu Traps.txt, Capture.txt dan Habitat Mask. Input file dibuat dalam Microsoft Excel dan disimpan dalam format file text tab

delimited. Setelah semua selesai,

dilakukan pengiputan file kedalam program DENSITY (Efford 2013)

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Tinjauan secara umum

Penelitian ini secara keseluruhan telah dilakukan dengan jumlah usaha 1974 hari-kamera efektif, yang menghasilkan 13.374 gambar satwa. Dari semua gambar yang diperoleh ternyata tapir hanya ditemukan dalam 262 gambar (1,96%), yang terdiri dari 214 foto dan 48 video, walaupun hanya 57 gambar diantaranya yang merupakan gambar independen. Semua gambar ini diperoleh pada 20 lokasi atau sel (80%) dari 25 sel tempat pemasangan kamera. frekuensi kehadiran tapir sangat bervariasi antar sel, yaitu antara 0 hingga 11 gambar independen.

b. Hasil identifikasi individu

Dari 262 gambar tapir yang diperoleh ternyata hanya 172 gambar

(65,65%) saja yang dapat diidentifikasi. Sisanya, yaitu 90 gambar (34,35%), tidak dapat diidentifikasi dikarenakan beberapa hal, seperti pencahayaan yang terlalu lemah, kekaburan, tertutupinya tapir oleh benda lain dan tertangkapnya tubuh tapir secara parsial.

Dengan menggabungkan antara identifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologis dan kesesuaian antara waktu dan tempat terpotretnya, akhirnya dapat diperoleh taksiran bahwa populasi tapir yang dipelajari terdiri dari 24 individu yang berbeda. Jumlah individu yang didapatkan relatif besar apabila dibandingkan dengan temuan-temuan penelitian lain. Selain itu, laju tertangkapnya tapir oleh kamera jebak dalam penelitian ini juga cukup tinggi, yaitu 0,13 gambar/ hari-kamera. Laju ini jauh lebih tinggi dibanding temuan Holden et al. (2003) di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) (Jambi-Bengkulu) dan temuan Novarino et al. (2005) di kawasan Teratak (Sumatera Barat), tetapi kurang lebih sama dengan temuan Asmita (2014) di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling (SMBRBB) (Riau). Hal ini mengindikasikan bahwa densitas populasi tapir di TNTN tampaknya masih cukup tinggi.

c. Struktur Populasi

Salah satu parameter populasi adalah struktur dari anggota-anggotanya yang antara lain dapat dilihat dari komposisi menurut jenis kelamin dan umurnya (Krebs 2001). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa populasi tapir yang dipelajari terdiri dari tujuh individu (29%) jantan dewasa, dua individu (8%) jantan remaja, sepuluh individu (42%) betina dewasa dan 5 individu (21%) yang belum diketahui jenis kelaminnya. Dengan demikian, proporsi tapir dewasa jauh lebih besar (70,83%) dibanding proporsi tapir remaja dan anak.

(5)

Repository FMIPA 5 Sementara ini dapat diperkirakan

bahwa rasio kelamin dalam populasi ini 9:10 atau kurang lebih 1:1. Rasio kelamin memiliki arti yang sangat penting dalam proses reproduksi hewan khususnya mamalia. Secara umum diketahui bahwa apabila jumlah individu berkelamin betina lebih banyak, artinya rasio kelamin populasi <1, biasanya keberlanjutan proses reproduksi lebih terjamin dibanding apabila sebaliknya (Montenegro 1998; Subiarsyah 2014). Dalam populasi tapir yang dipelajari ditemukan dua individu jantan remaja dan setidaknya satu individu anak (meskipun tidak teridentifikasi jenis kelaminnya). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam populasi ini proses reproduksi tetap berlangsung, meskipun rasio kelamin yang ditemukan kemungkinan tidak terlalu ideal.

d. Taksiran densitas individu

Selain dari strukturnya, karakteristik suatu populasi satwa liar juga dapat dilihat dari densitas individu-individu yang menjadi anggotanya. Hal ini dapat berkaitan dengan besar-kecilnya populasi satwa yang dimaksud, pola sebaran individu-individu yang menjadi anggotanya, pola hubungan antar individu-individu ini dan/atau pola sebaran sumberdaya yang dibutuhkan (Krebs 2001).

Tabel 1 Perbandingan nilai estimasi populasi tapir di TNTN menggunakan dua kategori berbeda

Kategori D (individu/10 0 km2) SE g0 Sigma Tidak menggunakan buffer area 9,41 2,36 0,00225 53,06 Menggunakan buffer area 3.43 km 9,42 2,36 0,00225 53,06

Dalam penelitian ini hasil yang diperoleh menunjukan bahwa densitas tapir di TNTN adalah 9,4 individu/100 km2. Sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 1, ternyata tidak dijumpai perbedaan yang berarti antara taksiran yang menggunakan “buffer area” dan yang tidak menggunakannya. “Buffer area” yang dimaksud merupakan penambahan area mengelilingi “core area,” yaitu poligon keberadaan tapir dalam wilayah penelitian, dengan sebuah “buffer belt” selebar 3,43 km. Adapun lebar ini ditentukan berdasarkan taksiran Rayan et al. (2012) tentang jarak jelajah tapir yang terjauh di luar habitat intinya, yaitu hutan.

Densitas tapir yang telah ditemukan tersebut sangat mirip dengan yang ditemukan di tempat-tempat yang berbeda (Tabel 2). Dalam hal ini usaha sampling dan luas area tampaknya tidak memberikan pengaruh yang jelas terhadap hasil taksiran densitas. Meskipun demikian, harus diakui bahwa jumlah penelitian yang diperbandingkan terlalu sedikit untuk menetapkannya sebagai sebuah kesimpulan. Apabila diasumsikan bahwa ketiga penelitian ini memiliki upaya sampling dan luas area “setara,” maka kemungkinan populasi tapir di TNTN memiliki densitas yang cukup “normal.”

Tabel 2 Perbandingan nilai penaksiran populasi tapir di tiga kawasan yang berbeda Lokasi Usaha Sampling (hari-kamera) Luas Area (km2) Densitas* Sumber SM Gunung Basor, Malaysia 2496 120 9,49 Rayan et al. (2012) SM BRBB 1710 160 7,96 Asmita (2014) TNTN 1974 349 9,42 Penelitia n ini *Dalam setiap 100/km2

(6)

Repository FMIPA 6 Menurut Foster & Harmsen

(2011), sebenarnya luas area cenderung berpengaruh positif terhadap taksiran densitas. Artinya, semakin luas area yang disurvei maka biasanya akurasi taksiran juga meningkat, demikian pula sebaliknya. Apabila area yang disurvei “terlalu kecil,” maka sering terjadi bias yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, individu-individu dari populasi yang dipelajari mungkin bergerak lebih jauh dari jarak maksimum antara kamera-kamera jebak yang dipasang sehingga tidak bisa tertangkap kamera. Kedua, individu-individu mungkin berkumpul pada suatu tempat karena “kebetulan” di tempat yang dimaksud terdapat sumberdaya tertentu yang dibutuhkan bersama, seperti sumber air ataupun sumber mineral (“salt lick”). Ketiga, apabila area yang disurvei “terlalu kecil,” maka kemungkinan tidak dapat meliput keanekaragaman habitat yang sebenarnya ada dan sangat mempengaruhi sebaran individu-individu dari populasi yang dipelajari. Sebagaimana dikemukakan Naranjo (2009) dalam kasus tapir Baird di Meksiko, sebaran individu dalam populasi tapir ini dalam habitatnya sangat tidak merata dan hal ini dipengaruhi oleh perbedaan topografi, tingkat kelembaban, tipe vegetasi yang dominan dan ketersediaan sumberdaya, selain keberadaan hewan domestik dan aktifitas manusia.

Selain luas area, tentu saja jumlah usaha sampling juga sangat berpengaruh terhadap hasil taksiran densitas. Semakin besar jumlah usaha sampling yang dilakukan maka peluang ditemukannya satwa yang menjadi sasaran juga semakin besar. Meskipun demikian pengaruh ini akan dibatasi oleh jumlah individu satwa yang

bersangkutan yang benar-benar ada di kawasan yang disurvei. Pada titik tertentu penambahan jumlah usaha sampling tidak akan memberikan pengaruh lagi terhadap akurasi taksiran densitas.

KESIMPULAN

Di dalam wilayah studi setidaknya terdapat 24 individu tapir, yang terdiri dari tujuh jantan dewasa, dua jantan remaja, sepuluh betina dewasa, dan lima individu lain yang tidak diketahui jenis kelaminnya. Diperkirakan densitas tapir dalam wilayah yang dimaksud adalah 9,42 individu/100 km2 atau masih relatif tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Riau dan WWF-Indonesia Program Riau yang telah bersedia memberikan penulis kesempatan untuk melakukan kerjasama dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Asmita, Nuri. 2014. Penaksiran populasi tapir asia (Tapirus

indicus) di Suaka Margasatwa

Bukit Rimbang Baling Dengan Bantuan Kamera Jebak. Universitas Riau, FMIPA Biologi. Carbone C., Coulson T., Christie S., Conforti K.,Seidensticker J., Franklin N. 2001. The use of photographic rates to estimate densities of tigers and othercryptic mammals. Animal Conservation 4: 75–79.

(7)

Repository FMIPA 7 Efford M. 2013. SECR-spatially explicit

capture-recapture in University of Otago, Dunedin, New Zealand.

Avaible from URL:

http://www.otago.ac.nz/density/S ECRinR.html

Foster R.J and Harmsen B.J. 2011. A critique of density estimation from camera trap data. The

journal of wildlife management.

New york 9999: 1-13

Francis, C. M. 2008. A Field Guide To The Mammals of Thailand and South East Asia. New Holland Publishers (UK) Ltd. Bangkok Gay, L.R. dan Diehl, P.L. 1992.

Research Methods for Business and Management. MacMillan Publishing Company, New York. Holden J, Yanuar A, Martyr DJ. 2003.

The Asian tapir in Kerinci Seblat National Park, Sumatra: evidence collected through photo-trapping.

Oryx 37: 34–40

IUCN. 2014. The IUCN Red List of Threatened Spesies. Version 2014. 2. <www. Iucnredlist.org> download 4 oct 2014

Krebs JC. 2001. Ecology analysis of distribution and abudance 5th Ed. ISBN 0-321-04289-1. Benjamin Cummings, Addison Wesley Longman. United state of America

Montenegro OL. 1998. The Behavior Of Lowland Tapir (Tapirus Terrestris) at A Natural Mineral Lick Dl The Peruvian Amazon.

Unpublished Thesis. University of Florida.

Naranjo EJ. 2009. Ecology and conservation of Baird’s tapir in Mexico. Research article. 2: 140-158.

Novarino W, Kamilah SN, Nugroho A, Janra MN, Silmi M, Syafri M. 2005. Habitat use and density of the Malayan tapir (Tapirus

indicus) in the Taratak forest

reserve, Sumatra, Indonesia. Tapir

Conservation 14: 28-30

Rayan DM, SW. Mohamas, L. Dorward, SA. Azis, GP . Clements, WCT. Christoper, C. Traeholt & D. Magintan. 2012. Estimating the population of the Asian tapir (Tapirus indicus) in a selectively logged forest in penisular Malaysia. Integrative

zoology 7: 373-380

Subiarsyah. 2014. Struktur populasi monyet ekor panjang di kawasan Pura batu pageh, Ungasan badung Bali. Indonesia medicus veterinus 3: 183-191

WWF Indonesia. 2006. The eleventh hour for Riau’s forest. Two global pulp and paper companies will decide. Assets. wwfid. panda. org/ downloads/ brg_ 06_ 2006_1.pdf WWF Indonesia- Riau Programme.

2014. Unpublished Report, Laporan hasil survei pemantauan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. hal 1-30

Gambar

Tabel  1      Perbandingan  nilai  estimasi  populasi  tapir  di  TNTN  menggunakan  dua  kategori berbeda

Referensi

Dokumen terkait

[r]

dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak. Uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau pihak yang dihukum mematuhi dan melaksanakan

1. Lokasi objek wisata bahari yang prioritas dikembangkan di Kabupaten Natuna dari delapan objek wisata bahari daerah adalah Pantai Teluk Selahang dengan nilai rata-rata

Gempabumi yang sering terjadi berdasarkan peta seismisitas dari bulan Juli 2016- Maret 2017 adalah gempabumi dangkal yang ditunjukan oleh titik berwarna merah pada

Dari penilaian panel ahli, indeks kualitas sampel program infotainment yang dipilih secara random menunjukkan angka yang jauh dibawah standar program berkualitas yang ditetapkan

Data hasil belajar membaca permulaan Al Qur’an siswa tunarungu kelas III SDLB-B Karya Mulia II Surabaya sebelum dilaksanakan intervensi menggunakan metode shautiayyah

Dapat ditunjukkan pada hasil analisis uji t yang telah dilakukan, dimana secara parsial berada pada tingkat signifikan 0,000&lt;0,05 yang berarti secara signifikan dapat

Untuk menghindari ruang lingkup yang luas, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti. Adapun dalam penelitian ini penulis hanya membahas pada sikap masyarakat