• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budi. Pengantar Kuratorial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Budi. Pengantar Kuratorial"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Budi.

Pengantar Kuratorial

“ We all know that Art is not truth. Art is a lie that makes us realize truth, at least the truth that is given us to understand ” ~ Pablo Picasso (1. Patung Budi Kustarto

Karya Budi Kustarto yang pertama kali mengejutkan perhatian saya adalah sebuah patung. Budi memang belajar dan terlatih sebagi pematung di Jurusan Seni Patung ISI Yogyakarta. Karya yang saya lihat saat itu adalah patung resin hasil cetakan tubuh Budi Kustarto sendiri. Betapa pun memang masuk akal, saat Budi menceritakan pengalamannya jadi model untuk membuat cetakan gips sebelum kemudian dibuat dicetak dalam bahan resin. Seluruh kondisi tubuhnya mesti melawan sifat bahan gips yang bereaksi secara kimiawi mengeluarkan hawa panas, menyusut; atau juga saat ia menghirup udara secara terbatas, ketika kepala dan wajahnya tertutup bahan gips secara lengkap. Pengalaman dan kondisi semacam itu sungguh berkesan bagi Budi; lebih jauh bahkan berkait dan seakan turut coba menjawab beberapa pertanyaan yang sering muncul dalam sikap dan keyakinan personalnya secara diam-diam. Tak mudah, tapi Budi Kustarto memang ingat soal kematian, saat itu.

Jika kita perhatikan, patung-patung Budi Kustarto menunjukkan gesture tubuh dalam posisi tertentu; tak jarang bahkan ia juga memisahkan, untuk kemudian menghubungkannya lagi, bagian-bagian tertentu dari anggota tubuhnya itu dengan cara yang mengejutkan. Karya-karya patung tubuh Budi nampak seolah tengah menunjukkan peristiwa dialog yang terjadi melalui dan terhadap dirinya sendiri. Tapi di situ, jelas, Budi tak sedang menikmati tubuhnya sendiri; ia justru menimbang-nimbang, menguji, dan menjadikan tubuhnya sebagi lokasi bagi terjadinya proses penilaian kritis tentang sikap dan pengalaman hidup (manusia). Meski hasilnya hanya nampak seperti tubuh seorang Budi Kustarto, karya itu dimaksudkan bukan soal diri-sendiri; sebaliknya diarahkan untuk menyorot ihwal soal di luar ‘diri’. Cara Budi membuat patung memang menyimpang dari kebiasaan umum pembuatan patung realis atau figuratif. Ia tidak meniru, membentuk atau menyusun ulang bentuk figur model yang dijadikan titik tolak pengamatan atau pembentukkan patung, tapi dengan cara mencetak kondisi tubuh (sebagai model) secara langsung. Dalam cara pembuatan patung sejenis ini, hilang lah jejak-jejak penciptaan seorang seniman yang biasanya dibuktikan dalam jejak keterampilan tangan maupun kepekaan rasa yang terjadi selama proses pembentukan. Padahal dalam tradisi seni patung figuratif yang umum dikenal dan dipraktekkan, ihwal jejak-jejak penciptaan semacam itu sangat penting, jika bukan jadi yang utama. Misalnya, saat menjelaskan karya-karya pematung Perancis, Rodin, kritikus dan pemerhati seni rupa Rossalind E. Krauss mengatakan: “ . . . makna (sebuah patung) tidak mendahului pengalaman, melainkan berlangsung dalam proses pengalaman (akan patung) itu sendiri. (Dalam hal ini) proses eksternalisasi gestur patung (tersebut) bertemu dengan jejak tanda dari aksi sang seniman saat ia membentuk karyanya” (2. Dengan demikian patung-patung Budi Kustarto memang kehilangan —atau tepatnya, menghilangkan— apa yang disebut Krauss sebagai ‘the imprint of the artist’s act’. Cara Budi untuk tidak lagi meniru-niru atau menimbang alih bentuk si model —tapi justru dengan mencetak ‘apa adanya’ itu— membawa pesoalan ‘peniruan’ (copy) dalam kerangka pemaknaan yang vulgar, jadi bersifat subversif jika terus kita kaitkan dengan pembahasan wacana ‘peniruan alam’ (mimesis). Jelas, cara ‘peniruan’ yang dilakukan Budi ini akan lebih condong membuka implikasi perdebatan masalah ‘duplikasi’ (duplicity) ketimbang soal mimesis (peniruan

(2)

alam). Di situ, tak ada intensi soal ‘alam yang seolah-olah telah dilahirkan-kembali’ lewat daya kecakapan tangan serta kepekaan rasa sang seniman (sebagai ‘karya seni’).

Ihwal soal ‘yang vulgar’ dalam karya Budi tentu mengandung maksud. Patung-patung Budi Kustarto memang menunjukkan tanggapan kritis tentang persoalan ‘batas’. Tentang ‘menjadi diri seseorang dalam batas (suatu cetakan)’ adalah persoalan yang dipikirkan Budi. Maksud Budi: setiap ‘diri seseorang’ adalah juga suatu ‘hasil cetakan’; hasil dari kerangka batas tertentu yang beroperasi memberi ketetapan, sebutlah: suatu identitas, nama, sebutan, arti, tempat, kondisi atau situasi tertentu, dll. Artinya, seseorang tidak bisa seolah-olah menjadi dirinya sendiri secara alamiah, memiliki ke-ada-annya yang a priori. Maka, misalnya, pertanyaan tentang “Siapakah seseorang?”, adalah juga pertanyaan tentang: “Siapakah seseorang, menurut kepentingan Apa / Siapa?”. Demikian lah, perkara ‘batas’, di sini, bagi Budi Kustarto memang bukan soal yang mesti disesali; sebaliknya berlaku sebagai situasi yang semestinya disadari. Bagi Budi, soal ‘batas’ itu lah yang membuat seorang manusia jadi awas, memiliki kesadaran hidup, jadi ‘manusiawi’.

Budi Kustarto Menimbang Lukisan

Soal ‘cetakan diri’ dan ‘batas’ ini lah yang dipertimbangkan oleh Budi saat ia mengerjakan lukisan. Di sini, ia mengalihkan situasi pematungan (sculpturing) jadi persoalan dalam lukisan (painting). Ada pergeseran masalah, memang. Dalam hal ini, Budi taat melihat persoalan bahwa sebuah lukisan memang memiliki perbedaan masalah dengan penciptaan karya dalam pengertiannya yang bersifat sebagai patung (a sculptural sense). Makna dari karya-karya seni patung memang lebih dikaitkan pada masalah kehadirannya, tempatnya, pada suatu ruang (space) tertentu; berbeda, misalnya, dengan hasil karya dalam tradisi seni keramik yang lebih mempertimbangkan kualitas bentuk volumenya secara keseluruhan. Dalam pertimbangan kehadiran ‘yang me-ruang’ itu, karya patung bersifat sebagai suatu nilai (bisa bersifat sebagai nilai positif atau negatif) berbanding terhadap ruang yang ditempatinya. Demikian lah, makna sebuah patung memiliki kaitan terhadap bagaimana / dimana / seperti apa ruang yang ditempatinya. Sementara itu, makna sebuah lukisan tentu akan dinyatakan secara berbeda dengan cara pematungan setidaknya, hal ini juga diyakini Budi Kustarto. Yang utama, makna sebuah lukisan tentu saja tidak bergantung pada soal tempat dimana ia ditunjukkan. Realitas makna sebuah lukisan tidak menghitung perihal aspek kehadiran ruang secara konkrit. Realitas itu berada di dalam bidang / bingkai lukisan itu sendiri. Sebidang kanvas, misalnya, jadi realitas hidup seluruh perhatian dalam proses penciptaan karya seni lukis. Dalam pengertian seperti itu, Budi menggeser ihwal masalah ‘batas’ (cetakan) pada karya-karya patungnya itu jadi persoalan batas dalam proyeksi perhatian seni lukis: bidang kanvas.

Keputusan untuk menggeser persoalan semacam itu menunjukkan arah perhatian yang lain. Di situ, Budi seperti menemukan perkara ‘grid’, seperti berlaku dalam penjelasan Rossalind E. Krauss. Dalam hal ini, ‘grid’ (garis batas, saringan, jejaring) adalah batas bidang kanvas itu sendiri. Sebuah (bingkai) lukisan ibarat sebuah saringan —atau, setidaknya jadi bagian darinya— yang dinyatakan untuk menunjukkan sekaligus memberi batas, pada kita yang melihatnya, segala urusan tentang ‘apakah / seperti apakah realitas’ yang hendak digambarkannya (seperti ‘apa yang nampak’ dalam lukisan itu). Dalam penjelasan Krauss selanjutnya, soal grid adalah perkara abstrak, atau abstraksi; sesuatu yang diciptakan di luar alam. Griddibuat untuk membantu manusia menyatakan relasinya dalam atau terhadap alam; dengan demikian, grid adalah juga semacam ukuran yang mengesahkan pengetahuan dan pengertian kita (manusia modern) tentang

(3)

situasi dan keberadaan alam. Bahkan lebih jauh, berkembangnya kecanggihan dalam pemanfaatkan prinsip grid itu pula lah yang digunakan manusia untuk menaklukkan alam (lewat kalkulasi dan ramalan saintifik). Grid, dengan demikian, memberi sifat modernitas. Menurut kesimpulan Krauss pula, dikatakan bahwa: ihwal grid itu, bersama situasi modernitas, telah menyatakan semacam bentuk otonomi dalam wilayah perbincangan seni. Maka, perkara modernitas, sepertihalnya juga permasalahan kesenian yang otonom, itu akan mengandung maknanya saat (keduanya) berpaling dari alam (3. Jika kita perhatikan, lukisan-lukisan Budi Kustarto memang menunjukkan gambaran tentang dirinya sendiri, —nampak seperti lukisan self-portrait. Namun perhatian Budi bukan terutama karena soal potret-diri; bagi dia, justru lebih pada urusan menimbang, meneruskan, lalu mengubah masalah karakter pematungan yang telah dikerjakannya ke dalam bentuk lukisan. Di situ, tentu bukan soal cetakan tubuh yang kemudian ia lukis, tapi soal yang berpijak lewat rencana tentang gambar dirinya yang dihayati, dicermati melalui bantuan hasil fotografi. Budi lalu mensituasikan gambaran (tentang) dirinya itu terhadap (batas) bidang kanvas. Pada kanvas, memang nampak berbagai pose tubuh yang lebih ‘kaya’ dibanding bentuk gesture tubuh yang dicetaknya dalam karya patung. Toh, Budi tetap memperagakan masalah pernyataan pose tubuh ini sebagai karakter gesture yang bersifat politis (political) —baik sebagai patung maupun lukisan. Budi yang terlibat jauh dalam praktek seni patung, tak jarang menunjukkan pose tubuh itu dalam pertimbangan sikap tubuh seseorang yang seolah berada pada kondisi ruang berketetapan gravitasi (alamiah). Dalam hal ini, Budi memang seperti tengah memperhitungkan adanya hukum keseimbangan yang berlaku atas sikap gestural tubuh tadi. Dengan cara semikian, Budi seperti ingin menyatakan semacam pembedaan. Soal tubuh-tubuh yang digambarnya itu tak dimaksudkan ‘cuma’ sebagai gambar yang menempel pada sebuah bidang datar. Budi lebih ingin menunjukkan bahwa: bidang kanvas itu justru adalah semacam situasi ruang ilusif yang berlaku sebagai lokasi tempat ia meletakkan (menempatkan) berbagai gambaran dirinya. Dibayangkan, gambaran itu berlaku ibarat sebuah patung yang berupaya mencapai karakternya yang me-ruang. Dengan cara seperti itu lah, kita akan sampai pada persoalan bagaimana pose tubuh-tubuh itu membentuk relasi dengan ‘ruang’ (bidang gambar, bidang kanvas) yang membatasinya.

Secara umum, gambaran tubuh pada bidang kanvas yang dikerjakan Budi dinyatakan dalam dua karakter, jadi semacam: gambaran tubuh yang tengah berada dalam ruang positif, serta dalam ruang negatif. Tapi soal karakter positif dan negatif tentang ‘tubuh dan ruang’ di sana juga mengalami perubahan, tak sama persis berlaku seperti dalam proses pematungan. Kondisi ruang positif pada lukisan Budi menyiratkan semacam situasi ‘penampakan-hadir’, suatu ‘appearance’; sedangkan ruang negatif jadi ihwal yang sebaliknya: kondisi ‘disappearance’. Kedua situasi itu masing-masing dibentuk dan dilengkapi oleh semacam ‘a politic of gesture’, yang menunjukkan perihal alasan sekaligus kondisi hasil pose tubuh itu pada bidang kanvas yang kita lihat. Terdapat soal yang menghubungkan kedua karakter ruang negatif dan positif ini, yaitu bidang kosong; bisa kita sebut sebagai ‘ekspresi (ke)kosong(an)’ (blank expression). ‘Ekspresi (ke)kosong(an)’ itu jadi penting tak hanya karena menunjukkan ‘ruang tempat kehadiran (tubuh)’; tapi juga berlaku sebagai bagian yang menentukan makna perkara ‘appearance’ dan ‘disappearance’ tubuh secara keseluruhan. Di situ, “istilah ‘blank expression’ menyatukan persoalan. Hal itu menyatakan semacam bentuk komunikasi melalui (ekspresi) non-komunikasi, sebuah pengenalan kita pada soal ‘ketidak-menyeluruhan’ (incomprehension)” (4. Artinya, di sana, terdapat semacam bentuk penyampaian makna yang tak sepenuhnya lengkap. Ketidak-lengkapan itu lah yang memberi kita kesempatan untuk melampaui berbagai kesimpulan yang kita peroleh ‘hanya’ karena melihat. Terhadap kita, yang menatap karya itu, ditawarkan semacam cara untuk menghidupkan situasi penghayatan.

(4)

Menarik. Pada seluruh karya-karyanya itu, Budi Kustarto memanfaatkan karakter warna yang bersifat monokromatik: hijau. Hijau, di sini, tak hanya berlaku sebagai warna. Atau setidaknya, Budi hendak menyatakan intensitas suatu warna bisa untuk melampaui pengertiannya sebagai suatu simbol tertentu. Demikian lah, warna ‘hijau’ tak mudah kemudian disebut telah menunjukkan ‘suatu arti’ tertentu. Digunakannya karakter warna monokromatik pada gambaran figur secara realistik dalam lukisan (atau karya patung) Budi juga bukan dimaksudkan sebagi usaha untuk menarik batas yang membedakannya dengan realitas atau pengalaman kita sehari-hari. ‘Warna hijau’ itu justru bermakna tidak dengan cara merumuskannya sebagai suatu arti tertentu. Warna itu bersifat metonimik (metonymic): merangsang aktivitas kita untuk menunjukkan berbagai asosiasi, persilangan berbagai referensi tentang ‘warna hijau’ dengan berbagai artinya, sesuai pengalaman melihat dan penghayatan seseorang. Intinya, ‘hijau’ adalah sebuah kualitas warna sekaligus adalah juga perihal pengalaman seseorang —menyangkut soal nature atau juga culture. Pemaknaan ‘hijau’, dengan demikian, lebih berlaku sebagai suatu ‘text’ (teks, bacaan). Sebuah teks justru mendapatkan maknanya melalui proses penundaan arti. Dengan demikian, dalam ketetapannya, sebuah teks bersifat simbolik secara radikal, menghubungkan jaringan berbagai arti tentangnya, bagi seseorang, dari apa yang pernah ada (atau, diketahuinya) hingga yang akan ada (yang akan diketahuinya) (5. Makanya, tentu (warna) ‘hijau’nya karya-karya Budi Kustarto bukan sebagai usaha untuk menyatakan semacam identitas yang hendak khas (untuk membentuk julukan, misalnya: ‘Budi si Hijau’). Pilihan Budi pada karakter warna yang bersifat monokromatik itu adalah usahanya untuk tetap menjadi fokus dan intens; sementara di balik pilihan itu, berlaku sekaligus kehendak untuk melebarkan sikap apresiasi dan penghayatan(nya) terhadap kehidupan.

Lukisan Menimbang Budi

Menatap lukisan-lukisan Budi Kustarto. Kita sepertinya tengah menyaksikan bagaimana sebuah lukisan menimbang alasan dan persoalan ‘budi’. Di sini, istilah ‘budi’ bermakna sebagi “alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk”, atau sebagai “tabiat; ahlak; watak” (6. Berbagai proposal soal tentang: ‘batas’, ‘keterbatasan’, ‘ a politic of gesture’, atau masalah ‘blank expression’, seperti hendak dikerahkan untuk menandai makna ‘budi’. Pertanyaannya: Seperti apa sih, pada prakteknya, ihwal ‘budi’ itu berlaku?; jika pun seseorang tahu, tentu soal ‘yang baik’ atau ‘yang buruk’ itu tetap bisa jadi masalah: “Baik atau buruk menurut (kepentingan) siapa ?”. Saya rasa, Budi Kustarto pun tak hendak memaparkan jawaban akhir bagi persoalan di atas. Toh kita, maupun Budi Kustarto, tetap boleh yakin soal ke-ada-an masalah ‘budi’ itu, sebagai kualitas nilai bagi ahlak atau moralitas seseorang. Masalahnya adalah ‘bagaimana’. Jika kita bisa membayangkan soal ke-ada-an masalah ‘budi’ itu sebagai ‘kenyataan’ yang bersifat universal, maka hampir seluruh persoalannya adalah ketidak-mungkinan hadirnya seseorang yang seolah-olah bersifat otonom, a priori, untuk bisa mutlak menafsirkan dan menyatakannya. Selalu akan ada batas. Di situ kita sadar soal ‘manusia yang manusiawi’ itu adalah juga persoalan tentang re-presentasi (dalam image dan bahasa).

Dalam berbagai penjelasan teoritis telah sering dinyatakan, bahwa setiap subyektivitas individual itu dihasilkan dalam hubungan terhadap aturan kultural yang bersifat simbolik, serta juga aturan representasi yang juga bersifat kultural. Dalam relasi persoalan seperti itu, peran seorang seniman adalah menjadi significant untuk menanyakan persoalan tentang posisi si-subyek (dirinya) dalam hubungan produksi kultural tersebut, serta dalam berbagai efek perubahan yang terjadi akibat berlangsungnya transformasi bentuk representasi dan berbagai pemakainya secara instrumental. Maka sejatinya, bagi seorang

(5)

seniman, berbagai bentuk representasi yang telah menjadi kode secara kultural itu jadi suatu wilayah persoalan. Soal-soal seperti masalah tentang: suatu gambaran, soal luas dan posisi bidang, gestur, bentuk, warna, bobot, dll, bisa jadi manifestasi tanda-tanda bagi proses pemaknaan dan memaknai persoalan hidup. Dengan cara seperti itulah, berbagai masalah serta tafsir pengertian tentang pengalaman hidup (manusia, atau milik seseorang) diperbincangkan. Dalam perbincangan itu termasuk di dalamnya adalah juga urusan tentang posisi subyektivitas individual —soal ke-ada-an seseorang yang ternyatakan dalam image dan bahasa (7.

Kembali ke soal ‘lukisan (untuk) menimbang (persoalan) budi’. Dimana, bagaimanakah persoalannya?. Kita telah memisahkan posisi tentang ke-ada-an ‘nilai yang universal’ (ihwal ‘budi’ itu), dengan persoalan ‘subyek individual’ yang berusaha menetapkan hubungan terhadapnya, terus menrus coba menafsirkan dan memahaminya. Kita pun juga akan sampai pada kaitan antara masalah posisi subyek (seniman) yang mengerjakan karya, dengan berbagai karya yang dihasilkannya. Karya-karya Budi Kustarto secara jelas menunjukkan persoalan ‘batas’ tentang dan dalam penggambaran (figur, tubuh) diri(nya). Perkara batas itu jadi cara penyampaian tentang gambaran terbatasnya posisi dan ke-ada-an subyek individual terhadap nilai universal dalam kenyataannya secara keseluruhan (in its comprehensiveness). Dari keadaan seperti itu pula, kita bisa belajar untuk bersikap dalam menghadapi hasil usaha Budi Kustarto melalui karya-karyanya. Patung-patung atau lukisan-lukisan Budi memang tak dihasratkan memenuhi artinya secara penuh. Sebaliknya, karya-karya itu hadir dalam ‘ketidak-menyeluruhan’nya; berlaku sebagai suatu ‘text’ (bacaan). Ini tentu bukan soal keraguan, atau memilih menjadi ragu-ragu; masalahnya adalah soal merayakan cara penundaan makna untuk alasan proses penghayatan. Dalam hal ini, adalah juga masalah daya kreativitas (kita); tak hanya untuk merasa bebas, tapi juga menjadikan diri jadi mawas. Sampai di sini, saya teringat apa yang dikatakan Goenawan Mohamad: “ . . . ketika kita membaca sebuah teks dan mengakui integritas teks itu, tetapi sementara itu juga membubuhkan suatu suplemen ke sana, dan itu berarti kita menciptakan suatu dialog –yakni dialog yang merupakan suatu kelanjutan kreativitas” (8.

Bandung, Februari 2005. Rizki A. Zaelani

Kurator CATATAN:

1. Pablo Picasso (1881-1973), “Picasso Speaks”, dlm. ART IN THEORY 1900-1990: An

Anthology of Changing Ideas, Charles Harrison & Paul Wood, ed. 1992, Blackwell Publisher, hlm.211.

2. Lht. Rossalind E. Krauss, Narrative Time: the question of the Gates of Hell, dlm. Passages in Modern Sculpture, 1981, MIT Press, Cambridge, Massachusetts and London, England, hlm.30.

3. Lht. Rossalind E. Krauss, Grids, dlm. The Originality of the Avant-Garde and Other

Modernist Myths, 1997, MIT Press, Cambridge, Massachusetts and London, England, hlm.9-10.

(6)

4. Jeremy Gilbert-Rolfe, The Beauty and the Contemporary Sublime, 1999, Allworth Press, New York, hlm.114.

5. Lht. Roland Barthes, From Work to Text, dlm. ART AFTER MODERNISM: Rethinking

Representation, Brian Wallis,ed. 1984, The New Museum of Contemporary Art, New York – David R. Godine, Publisher, Inc. Boston. hlm. 171. Judul asli tulisan adalah “De l’oeuve au texte,” dlm Revue d’Esthétique 3 (1971); hlm.225-232.

6. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Purwadarminta, 2004), kata ‘budi’, diterangkan sebagai: n. 1. Alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk: pendidikan untuk memperkembangkan badan dan --manusia; 2. tabiat; ahlak; watak: orang yang baik--; 3. perbuatan baik; kebaikan; 4. daya upaya; ikhtiar: mencari --untuk mengalahkan lawan; 5. akal (dalam arti kecerdikan menipu atau tipu daya): bermain

--7. Lht. Johanna Drucker, Subject and Modernity, dlm. THEORIZING MODERNISM: Visual Art and The Critical Tradition, 1994, Columbia University Press, New York, hlm.124-5.

8.

Goenawan Mohamad, Eksotopi, dlm. EKSOTOPI: Tentang Kekuasaan, Tubuh dan Identitas, 2002, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. hlm. 6.

Referensi

Dokumen terkait