• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbaikan Performans Produksi dan Reproduksi Sapi Jabres

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbaikan Performans Produksi dan Reproduksi Sapi Jabres"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Perbaikan Performans Produksi dan Reproduksi Sapi Jabres

Muchamad Luthfi, Yudi Adinata dan Dian Ratnawati

Loka Penelitian Sapi potong Jl. Pahlawan 02 Grati Pasuruan E-mail: luthfi.m888@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan performans produksi dan reproduksi melalui pemilihan pejantan hasil seleksi dan perbaikan pakan pada plasma nutfah sapi Jabres. Penelitian dilakukan di kelompok ternak kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes (Jawa Tengah). Materi yang digunakan sapi betina bunting tua (8 – 9 bulan) sebanyak 40 ekor dibagi menjadi 2 yaitu kelompok betina I, setelah birahi pertama sesudah melahirkan dikawinkan dengan pejantan I, tanpa pakan tambahan; sedangkan kelompok betina II, induk setelah birahi dikawinkan dengan pejantan II serta diberikan pakan tambahan dedak padi 2 kg/ ekor/ hari selama 3 minggu. Pemeriksaan kebuntingan 3 bulan pasca perkawinan. Pakan diperoleh dengan digembalakan pagi (pukul 09.00) hingga sore (16.00), untuk malam disediakan jerami padi. Perbaikan pakan sapi jantan berupa pakan tambahan 3 kg/ekor selama 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan performans tubuh kelompok I PBBH 0,24 kg/hari, panjang badan 123,05±5,19 cm, lingkar badan 147,5±6,44 cm dan tinggi gumba 115,35±4,68 cm; kelompok II PBBH 0,46 kg/hari, panjang badan 120,7±6,21 cm, lingkar badan 145,65±10,39 cm dan tinggi gumba 112,275±4,51 cm; untuk performans reproduksi kelompok I jarak beranak 12,79±1,33 hari, birahi pasca beranak 85,63±26,40 hari, persentase kebuntingan 60 % dan % NRR nya 66,67%; kelompok II untuk jarak beranak 12,71±1,25 hari, birahi pasca beranak 96±46,67 hari, persentase sapi bunting 70% dan NRRnya 92,86% ; kapasitas tampung padang penggembalaan yaitu 0,7 UT/ha. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa performans produksi (PBBH) dan reproduksi (jarak beranak, persentase kebuntingan dan NRR) sapi induk Jabres yang diberikan pakan tambahan lebih baik.

Kata kunci: Produksi, Reproduksi, Sapi Jabres

Pendahuluan

Latar Belakang

Salah satu potensi Indonesia dalam mendukung subsektor peternakan adalah sumber daya genetik sapi lokal. Sumber daya genetik sapi potong Indonesia sangat beranekaragam (Sihombing, 2000), salah satu diantaranya adalah sapi Jabres. Kelestarian sapi potong lokal ini terancam yang terindikasi dengan populasi 1200 ekor pada tahun 2006. Kondisi sebagai akibat semakin maraknya perkawinan sapi Jabres betina melalui program inseminasi buatan (Aryogi dan Romjali, 2006). Keberadaan sapi potong lokal harus dilestarikan tidak hanya sebagai kekayaan sumber daya genetik sapi potong lokal di Indonesia, namun juga sebagai salah satu bagian yang menguatkan sub sektor peternakan melalui peningkatan populasinya. Performans reproduksi yang optimal mendukung peningkatan populasi sapi potong lokal indonesia. Aryogi dan Romjali (2006) menyatakan bahwa performans reproduksi sapi Jabres adalah anoestrus post partus 3 – 5 bulan; service/conception 1,3 kali dan calving interval 11 – 14 bulan.

Manajemen pemeliharaan sapi potong lokal sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Beberapa faktor manajemen tersebut adalah seleksi dalam pemilihan bibit, suplementasi pakan, kenyamanan kandang serta manajemen kesehatan dan perkawinan yang tepat (Ratnawati, 2012).

(2)

manajemen yang dapat mendukung produktifitas sapi potong lokal tersebut, salah satu diantaranya kandang model Litbangtan.

Kandang model Litbangtan merupakan salah satu model perkandangan kelompok dimana dalam satu ruangan ditempati oleh beberapa ekor ternak secara bebas tanpa diikat. Kandang kelompok ini dapat berfungsi sebagai kandang kawin, pembesaran dan induk bunting (Rasyid et al., 2012). Sebagai kandang kawin, sapi jantan dan induk dicampurkan dan hidup bersama dalam periode waktu tertentu. Model kandang ini tidak memerlukan pengamatan birahi sapi betina karena keberadaan sapi jantan tersebut selain sebagai pemacek, juga berfungsi sebagai detektor birahi. Perkawinan yang tepat meningkatkan angka kebuntingan pada induk. Pejantan pemacek maupun sebagai sumber semen seharusnya adalah pejantan yang memiliki libido dan kualitas semen yang baik serta secara morfologis unggul dibanding pejantan di lingkungan sekitarnya. Kualitas dan kuantitas semen segar antara lain dipengaruhi oleh faktor bangsa, individu, metode penampungan dan managemen pemeliharaan. Sebagai contoh, frekuensi penampungan yang optimal akan mampu mengoptimalkan produksi semen beku (Setioko et al., 2002). Oleh sebab itu dengan pemilihan pejantan dan perbaikan pakan sapi Jabres diharapkan dapat meningkatkan performans produksi dan reproduksi plasma nutfah sapi Jabres sehingga populasi dan keberlangsungan sapi potong lokal dapat semakin menguatkan sub sektor peternakan guna memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.

Metodologi

Penelitian dilakukan di Kabupaten Brebes (Jawa Tengah) dengan menggunakan sapi lokal Jabres, terdiri atas: 2 ekor sapi jantan dan 40 ekor sapi induk. Penelitian dilakukan selama 3 bulan. Materi penelitian berupa induk sapi betina bunting tua (8 – 9 bulan) sebanyak 40 ekor dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: kelompok I (20 ekor) dan II (20 ekor). Kelompok betina I, setelah menunjukkan birahi pertama setelah melahirkan dikawinkan secara alam dengan pejantan I, tanpa diberikan pakan tambahan; sedangkan kelompok betina II setelah birahi dikawinkan secara alam dengan pejantan II selanjutnya diberikan pakan tambahan sebanyak 2 kg/ekor dilakukan selama 3 bulan dimulai setelah beranak. Pengamatan birahi dilakukan secara intensif dimulai 2 minggu pasca beranak. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan setelah 3 bulan perkawinan.Pakan diperoleh dengan jalan digembalakan pada pagi (pukul 09.00) hingga sore (16.00), selanjutnya untuk malam disediakan pakan jerami. Perbaikan pakan pada sapi jantan berupa pemberian pakan tambahan sebanyak 3 kg/ekor dilakukan selama 3 bulan

Parameter yang diamati yaitu ukuran tubuh (bobot badan, lingkar dada, tinggi gumba dan panjang badan), Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH), performans reproduksi (jarak beranak/

calving interval, birahi lagi setelah beranak/ anestrus post partus (APP), non return rate (NRR),

(3)

Hasil dan Pembahasan

Profil Peternak di Desa Kebandungan, Kec. Bantarkawung, Kab. Brebes

Data populasi Sapi Jabres yang ada di desa Kebandungan, kecamatan Bantarkawung, kabupaten Brebes, jumlah Sapi Jabres sebanyak 462 ekor dengan komposisi pedet jantan (14,94%), pedet betina (17,1%), jantan muda (16,45%), betina muda (8,44%), jantan dewasa (5,41%) dan betina dewasa (37,66%).

Model pemeliharaan sapi Jabres umumnya secara ekstensif, yaitu pada pagi hari hingga sore hari sapi diangon di areal hutan jati atau dibekas tanaman padi dan jagung di areal sungai besar, dan pada malam hari sapi dikandangkan. Pada musim hujan sapi Jabres tidak diangon karena alasan teknis dan pada musim kemarau sapi diangon.

Manajemen pemeliharaan yang diterapkan masih sederhana. Pakan yang diberikan berdasarkan potensi pakan lokal yang tersedia, diantaranya: jerami padi, kulit jagung (kelobot jagung), jerami kulit dan batang kacang tanah. Sejauh pengamatan belum ada sentuhan teknologi perbaikan pakan (suplementasi) untuk sapi Jabres sehingga skor kondisi tubuh sapi Jabres rendah. Manajemen pakan yang baik mendukung skor kondisi tubuh induk dan pertumbuhan pedetnya.

Manajemen perkawinan yang diterapkan belum terarah. Perkawinan dilakukan secara alam dan perhatian peternak terkait dengan hal ini sangat kurang. Sapi jantan dan betina kawin dengan sendirinya tanpa bantuan atau monitor dari peternak. Pemanfaatan pejantan pemacek dengan menggunakan pejantan yang tersedia di lokasi tanpa mempertimbangkan kualitas pejantan itu sendiri. Manajemen pemeliharaan pejantan juga masih sederhana dengan mengoptimalkan kondisi yang ada. Ragam Pakan Selama Penelitian

Tingkat konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi ternak itu sendiri. Beberapa faktor tersebut antara lain faktor ternak (bobot badan, jenis kelamin, umur, faktor genetik dan tipe bangsa sapi), faktor pakan (kecernaan dan kualitas pakan) dan faktor lingkungan. Pakan yang berkualitas baik, tingkat konsumsinya lebih tinggi dibandingkan dengan pakan berkualitas rendah (Parakkasi, 1999).

Tabel 1. Ragam pakan yang diberikan selama penelitian

No Jenis Pakan

Hijauan (kg) Pakan Tambahan (kg)

I II I II 1 Jerami jagung 4,5 4,5 - -2 Rumput lapangan 3 3 - -3 Dedak padi - -A Jantan - - - 3 B Betina - - - 2 4 Kapur - - - 0,1 5 Garam - - - 0,1

(4)

Tabel 2. Konsumsi zat makanan sapi selama penelitian Kdg Konsumsi BK (kg/ekor/hr) Konsumsi PK (kg/ekor/hari) Konsumsi LK (kg/ekor/hari) Konsumsi SK (kg/ekor/hari) Konsumsi TDN (kcal/ekor/hari) Kelompok I (20 ekor) 3,05 0,16 0,04 0,95 2,02 Kelompok II (20 ekor) 4,86 1,58 0,13 1,28 3,21 Pejantan I (1 ekor) 6,21 1,03 0,10 1,26 3,89 Pejantan II (1 ekor) 6,57 1,34 0,18 1,69 4,33 Keterangan :

Kelompok I : Sapi induk tanpa diberikan pakan tambahan Kelompok II : Sapi induk diberikan pakan tambahan BK : Bahan Kering; PK: Protein Kasar; LK: Lemak Kasar SK : Serat Kasar; TDN : Total Digestible Nutrient

Standart kebutuhan nutrien sapi jantan BB 300 kg dengan PBBH 0,5 kg/ekor/hari BK (kg) = 7,90; PK (kg) = 0,731; TDN(kg) = 4,1 (Kearl, 1982)

Standart kebutuhan nutrien sapi induk bunting 3 bulan terakhir BB 300 kg dengan PBBH 0,4 kg/ekor/hari

BK (kg) = 7,4; PK (kg) = 0,614; TDN(kg) = 3,9 (Kearl, 1982)

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa konsumsi zat makanan pada induk kelompok II, pejantan I dan II lebih baik dikarenakan diberikan pakan tambahan yang berupa dedak padi (Tabel 1.) akan tetapi masih jauh dari standart kebutuhan nutrien baik untuk sapi induk kelompok I, sapi induk kelompok II, pejantan I dan II. Menurut Tillman et al, (1991) bahwa tidak tercapainya bobot badan optimal dikarenakan ketidakstabilan ketersediaan bahan pakan sebagai penyusun formulasi pakan sehingga ternak harus sering menyesuaikan dengan bahan pakan baru. Selain itu juga keterbatasan bahan pakan yang ada dilapangan menyebabkan ternak harus digembalakan ke area hutan. Hasil beberapa pengambilan cuplikan dan perhitungan dengan rumus Voisini, diperoleh kapasitas tampung padang penggembalaan (mini ranch) pada lokasi pengamatan rata – rata sebesar 0,7 UT pada musim kemarau. Dapat dikatakan bahwa kapasitas tampung padang penggembalaan alami di Kec. Bantarkawung, Kab. Berbes tergolong sangat rendah. Hal ini didasarkan atas pendapat Mc Ilroy (1977), bahwa kapasitas tampung daerah tropik umumnya sebesar 2 - 7 UT per hektar. Salah satu faktor yang diperlukan untuk menganalisis kapasitas tampung ternak ruminansia di suatu wilayah adalah dengan menghitung potensi hijauan pakan. Hijauan pakan untuk ternak ruminansia terdiri dari rerumputan, dedaunan, dan limbah pertanian. Estimasi potensi hijauan pada masing-masing wilayah dipengaruhi oleh keragaman agroklimat, jenis dan topografi tanah, dan tradisi budidaya pertanian

(Ma’sum, 1999). Masalah utama yang ditemui pada usaha peternakan khususnya ternak ruminansia

adalah tidak tersedianya pakan yang kontinyu dengan kualitas yang baik. Upaya yang dilakukan adalah melakukan penyimpanan, pengawetan dan peningkatan kualitas/nilai nutrisi melalui sentuhan teknologi pakan (Zulbardi et al., 2000).

(5)

Hasil Perbaikan Performans Tubuh Sapi Pejantan dan Induk Jabres

Produktivitas ternak sapi dipengaruhi oleh genetik, pakan dan tatalaksana. Ternak-ternak sapi yang dipelihara pada peternakan rakyat secara umum akan mengalami kekurangan pakan karena jumlah pakan yang diberikan biasanya tidak sesuai dengan kebutuhan ternak, kualitasnya rendah, dan jarang sekali yang memberikan pakan tambahan seperti konsentrat (Fatah et al., 2012).

Tabel 3. Performans tubuh sapi pejantan Jabres

Parameter Performans Tubuh

Pejantan I Pejantan II

Awal Akhir Awal Akhir

Bobot Badan (kg) 334 349 288 303 Panjang Bada n (cm) 127,5 130 132 139 Lingkar Dada (cm) 148 157 150 154 Tinggi Depan (cm) 124,5 130 122 124 Tinggi Belakang (cm) 122 123 123 124,5 SKT 3,00 3,5 2,88 3 Keterangan :

- PBBH : Pertambahan bobot harian - PPB : Pertambahan panjang badan - PLT : Pertambahan lingkar tubuh - PTG : Pertambahan tinggi gumba - PTB : Pertambahan tinggi belakang - SKT : Skor kondisi tubuh

(6)

Hasil pengamatan pada Tabel 3 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa pemberian pakan tambahan pada pejantan tidak berpengaruh terhadap performans tubuh pejantan, hal ini dikemungkinan karena jumlah pakan tambahan yang terlalu sedikit (3 kg/ekor/hari selama 90 hari) hal ini sesuai dengan pendapat Tillman et al., (1991) bahwa sapi jantan muda yang sedang tumbuh, mudah terdeteksi perubahan performannya akibat kekurangan gizi daripada hewan yang telah dewasa. Defisiensi protein lebih mempengaruhi hewan muda daripada hewan yang telah dewasa.

Tabel 4. Performans tubuh sapi induk Jabres

Parameter

Performans Tubuh

Kelompok I Kelompok II

Awal Akhir Awal Akhir

Bobot badan (kg) 201,70±22,93 215,85±23,87 189,02±33,88 216,5±34,47 Panjang Badan (cm) 114,39±3,62 123,05±5,19 115,10±4,70 120,70±6,21 Lingkar Tubuh (cm) 143,51±5,80 147,50±6,44 138,82±7,89 145,65±10,39 Tinggi Depan (cm) 114,65±4,48 115,35±4,68 111,65±4,90 112,27±4,51 Tinggi Belakang (cm) 117,87±3,77 118,07±3,42 115,85±4,67 116,15±5,01 SKT 2,42±0,38 2,90±0,31 2,20±0,49 2,67±0,31 Keterangan:

- PBBH : Pertambahan bobot harian - PPB : Pertambahan panjang badan - PLT : Pertambahan lingkar tubuh - PTG : Pertambahan tinggi gumba - PTB : Pertambahan tinggi belakang - SKT : Skor kondisi tubuh

(7)

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 4 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa sapi induk yang diberikan pakan tambahan (kelompok II) memiliki PBBH 0,46 kg/ekor/hari yang lebih tinggi dari pada sapi induk yang tidak diberikan pakan tambahan (kelompok I) dengan PBBH 0,24 kg/ekor/hari. Menurt Tillman et al., (1991) bahwa kebutuhan protein untuk ternak bunting biasanya lebih tinggi. Kebutuhan protein tersebut adalah untuk janin, jaringan membran, hidup pokok dan kenaikan jaringan kelenjar susu. Kebanyakan ternak dikawinkan semasa masih tumbuh, sehingga protein masih dibutuhkan pula untuk pertumbuhannnya. Seperti diketahui bahwa kebanyakan hewan pada awal masa laktasi berada dalam keadaan imbangan nutrien yang negatif, pemberian protein yang berlebihan diperlukan untuk memungkinkan hewan bunting menimbun protein guna menjaga pengurasannya nanti pada awal laktasi. Selanjutnya Anggorodi (1990) melaporkan bahwa kebutuhan protein terbesar terdapat pada sepertiga bagian terakhir dari kebuntingan. Pada waktu ini pertumbuhan fetus paling cepat

Rendahnya produktivitas ini akibat terbatasnya konsumsi pakan secara kualitas maupun kuantitas, terbatasnya pengetahuan peternak dan perhatian lembaga/instansi seperti dinas peternakan, koperasi atau pemodal, serta kelompok peternak belum terlibat secara optimal dalam proses produksi.

Hasil Perbaikan Performans Reproduksi Sapi Induk Jabres

Faktor penting untuk mengetahui efesiensi reproduksi sekelompok ternak dapat diketahui dengan mengadakan evaluasi terhadap munculnya birahi kembali setelah melahirkan (anoestrus post partum), persentase kebuntingan dan tidak meminta kawin lagi NRR (non return rate). Tampilan reproduksi (estrus ) lebih baik bila sapi betina dalam kondisi bobot badan ideal, tidak terlalu gemuk dan tidak kurus, pada pemberian pakan tambahan dengan komposisi yang tepat dan ekonomis sangat dibutuhkan untuk meningkatkan penampilan reproduksi sapi betina (Hendri et al., 2006).

Tabel 5. Performans reproduksi sapi induk Jabres

Parameter Kelompok I Kelompok II

Jarak beranak (bulan) 12,79±1,33 12,71±1,25

Anoestrus Post partus/ APP (hari) 85,63±26,40 96,00±46,67

Deteksi Kebuntingan (%)

- Bunting 60 70

- Tidak Bunting 40 30

Non return rate/ NRR (%) 66,67 92,86

Hasil perhitungan performans reproduksi sapi induk Jabres pada Tabel 5 menunjukkan bahwa sapi induk Jabres yang diberikan pakan tambahan (kelompok II) memilki jarak beranak, persentase kebuntingan dan NRR yang lebih baik dibandingkan sapi induk Jabres yang tidak diberikan pakan tambahan (kelompok I). Affandhy et al.,(2002) melaporkan bahwa sapi induk pada kondisi pemeliharaan rakyat mengalami APP pada hari ke 88 hingga ke 117 setelah terjadinya kelahiran, sedangkan masa kosongnya adalah 153 hari hingga 64 hari. Waktu tersebut tergolong sangat lama karena APP dapat muncul pada hari ke 36 - 40 setelah kelahiran. Selanjutnya menurut Susilawati

(8)

yang kurang, juga dipengaruhi oleh kematian embrio dini atau waktu pelaksanaan IB yang kurang tepat karena informasi yang kurang tepat dari laporan peternak.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Produktivitas sapi Jabres rendah akibat keterbatasan pakan (kualitas maupun kuantitas). Performans produksi (PBBH) dan reproduksi (jarak beranak, persentase kebuntingan dan NRR) sapi induk Jabres yang diberikan pakan tambahan lebih baik dari pada yang tidak diberikan pakan tambahan.

Saran

Diharapkan ada perhatian lembaga/instansi seperti dinas peternakan, koperasi atau pemodal, serta kelompok peternak untuk secara rutin memberikan penyuluhan guna menambah pengetahuan peternak agar proses produksi dapat berjalan secara optimal.

Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Dicky Pamungkas selaku Kepala Loka Penelitian Sapi potong yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat melakukan kegiatan penelitian dan Drs. Lukman Affandhy S selaku Ketua Peneliti Reproduksi dan Pemuliaan Ternak yang telah memberikan saran dan masukkannya sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik.

Daftar Pustaka

Aryogi dan Romjali, E. 2006. Potensi, Pemanfaatan dan Kendala Pengembangan Sapi Potong Lokal Sebagai Kekayaan Plasma Nutfah Indonesia. Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional.

Anggorodi, R., 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia. Jakarta.

Affandhy, L., P. Situmorang, D. B. Wijono, Aryogi, dan P. W. Prihandini. 2002. Evaluasi dan Alternatif Pengelolaan Reproduksi Usaha Ternak Sapi Potong pada Kondisi Lapang. Laporan Akhir. Loka Penelitian Sapi Potong.

Fatah W.M., E. Gurnadi dan K. Mudikdjo.2012.Produktivitas Sapi Peranakan Ongole pada Peternakan Rakyat di Kabupaten Sumedang.Jurnal Ilmu Ternak.Vol 12. No.2 : 22-25

Hendri, Y dan D. Azawardi.2006. Pengaruh Penggunaan Pakan Tambahan pada sapi betina terhadap pertambahan berat badan dan lama timbulnya berahi. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Kementan. Bogor. hal: 128-132

Mc Illroy, RJ. 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya Paramitha. Jakarta

Ma’sum, M. 1999. Kemungkinan Penggunaan Data Satelit untuk Mengestimasi Produksi Pakan

Ruminansia. Wartazoa, Buletin Ilmu Peternakan Indonesia 8 (1): 15-19. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan. Bogor:15-19

(9)

Parakkasi, A., 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press. Jakarta.

Rasyid, A; Mariyono dan J. Efendy. 2012. Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok

“Model Grati”. Loka Penelitian Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian.

Ratnawati, D; M. Luthfi and L. Affandhy. 2012. The Effect of Traditional Suplementation to the Performans of PO Bull. Proceeding of International Conference on Livestock Production and Veterinary Technology. Bogor.

Setioko, A. R; P. Situmorang; E. Triwulaningsih; T. Sugiarti dan D. A. Kusumaningrum. 2002. Pengaruh Krioprotektan dan Waktu Equilibrasi Terhadap Kualitas dan Fertilitas Spermatooa Itik dan Entog. JITV Vol. 7 No. 4 tahun 2002.

Susilawati, T. 2005. Tingkat Keberhasilan Kebuntingan dan Ketepatan Jenis Kelamin Hasil Inseminasi Buatan Menggunakan Semen Beku Sexing pada Sapi Peranakan Ongole. Jurnal Animal Production, 7 (3): 161-167.

Sihombing, D. T. H. 2000. Teknologi Peternakan dan Kelestarian Lingkungan. Bahan Ajar Pelatihan Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak dalam Sistem Usaha Tani. Bogor dan Surakarta, 20 Februari-8 Maret 2000. Puslitbangnak, Bogor.

Tillman, A. D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo, 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Zulbardi, M., Kuswandi., M. Martawidjaya., C.Talib dan D.B. Budiwiyono. 2000. Daun Gliricidia sebagai Sumber Protein pada Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional. Pulitbang Peternakan. Bogor :233 -241

Gambar

Tabel 1. Ragam pakan yang diberikan selama penelitian
Tabel 2. Konsumsi zat makanan sapi selama penelitian Kdg Konsumsi BK (kg/ekor/hr) Konsumsi PK (kg/ekor/hari) Konsumsi LK (kg/ekor/hari) Konsumsi SK (kg/ekor/hari) Konsumsi TDN (kcal/ekor/hari) Kelompok I (20 ekor) 3,05 0,16 0,04 0,95 2,02 Kelompok II (20 e
Tabel 3. Performans tubuh sapi pejantan Jabres
Tabel 4. Performans tubuh sapi induk Jabres
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya pada bagian awal, seyogyanya kepada Notaris sebagai jabatan kepercayaan yang diwajibkan menjaga rahasia jabatannya

Rendahnya tingkat indeks demokrasi di Sumatera barat dipengaruhi oleh tiga aspek yang diukur dengan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), yakni kebebasan Sipil

Terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kebaikan yang dianugerahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Hari ini, seramai 300 Person Under Surveillance (PUS) telah mendaftar masuk di hotel untuk menjalani kuarantin, menjadikan jumlah keseluruhan PUS di 38 buah hotel dan

Bagi Guru Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai penambahan wawasan dalam mengelola pembelajaran fisika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered

Hasil SEM pada variasi massa ferrocene dalam 10 ml benzene ditampilkan pada Gbr. Gambar 2a dan 2b menampilkan hasil SEM untuk massa ferrocene 0,2 gram dan 0,4 gram dalam 10 ml

Penyertaan Modal Daerah kepada Perusahaan Daerah harus berdasar pada ketentuan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dimana

,QGRQHVLD PHQMDGLNDQ 3DQFDVLOD VHEDJDL VDWX VDWXQ\D DVDV GDODP NHKLGXSDQ EHUPDV\DUDNDW EHUEDQJVD GDQ EHUQHJDUD 3HUPLQWDDQ 3UHVLGHQ 6RHKDUWR LQL WHQWX EHUVHQWXKDQ ODQJVXQJ GHQJDQ