• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISOLASI ALKALOID DARI TEPUNG GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DENGAN TEKNIK EKSTRAKSI BERBANTU GELOMBANG MIKRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISOLASI ALKALOID DARI TEPUNG GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DENGAN TEKNIK EKSTRAKSI BERBANTU GELOMBANG MIKRO"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ISOLASI ALKALOID DARI TEPUNG GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DENGAN TEKNIK EKSTRAKSI BERBANTU GELOMBANG MIKRO

Tesis

untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2

Magister Teknik Kimia

Indah Hartati L4C008013

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG Agustus

(2)

Tesis

ISOLASI ALKALOID DARI TEPUNG GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DENGAN TEKNIK EKSTRAKSI BERBANTU GELOMBANG MIKRO

Disusun oleh Indah Hartati L4C008013

telah dipertahankan didepan Tim Penguji pada tanggal 19 Agustus 2010

dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima

Menyetujui Menyetujui Ketua Penguji Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bakti Jos, DEA Dr. Andri Cahyo Kumoro, ST, MT NIP.196005011986031003 NIP. 197405231998021001

Mengetahui

Pembantu Dekan 1 Fakultas Teknik

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri dan didalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan didalam tulisan dan daftar pustaka

Semarang, 26 Juli 2010

Indah Hartati NIM. L4C008013

(4)

KATA PENGANTAR

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan guna mencapai derajat sarjana S-2. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan barokah-Nya sehingga laporan penelitian tesis ini dapat terselesaikan.

Dengan selesainya laporan penelitian tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Ketua Program Studi Magister Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang, yang telah mendorong, mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan penyusunan tesis

2. Pembimbing tesis, Dr. Andri Cahyo Kumoro, ST, MT, yang dengan penuh sabar telah membimbing melalui diskusi-diskusi yang menyenangkan

3. Laboratororium Biokimia Jurusan Biologi FMIPA UNNES 4. Dirjen DIKTI, atas BPPS yang telah saya terima

5. Kawan-kawan mahasiswa Program Studi Magister Teknik Kimia UNDIP angkatan 2008, atas doa dan dukungan tulus

6. Rekan-rekan dosen dan karyawan Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang, atas pengertian, doa, dan dukungan tulus

7. Keluarga, atas doa, senyum, dan cinta

Penulis menyadari laporan penelitian tesis ini masih ada kekurangan, oleh sebab itu, kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan dan kesempurnaan laporan ini. Penulis berharap laporan penelitian tesis ini dapat memberikan kontribusi positif bagi dunia keilmuan.

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul i

Halaman Pengesahan ii

Halaman Pernyataan iii

Kata pengantar iv

Daftar Isi v

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix Daftar Lampiran x Abstrak xi Abstract xii BAB I. PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 3 1.3 Tujuan Penelitian 4 1.4 Manfaat Penelitian 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Alkaloid 5

2.1.1 Klasifikasi senyawa alkaloid 6

2.1.2 Sifat fisika dan kimia alkaloid 7

2.1.3 Alkaloid gadung 7

2.2 Ekstraksi 8

2.2.1 Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses ekstraksi 8

2.2.2 Pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi 9

(6)

2.3.1 Radiasi gelombang mikro 12

2.3.2 Pemanasan gelombang mikro 13

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi berbantu gelombang mikro 15

2.4 Perpindahan Massa Pada Ekstraksi 17

2.4.1 Model perpindahan massa ekstraksi padat cair 17 2.4.2 Model perpindahan massa ekstraksi alkaloid gadung 18

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 21

3.1 Rancangan Penelitian 21

3.2 Rancangan Variabel Dan Optimasi 21

3.3 Bahan Penelitian 24

3.4 Alat Penelitian 24

3.5 Prosedur Percobaan 24

3.5.1 Ekstraksi pada penentuan kondisi optimum 24 3.5.2 Ekstraksi pada penentuan data perpindahan massa 25

3.6 Analisis Data 25

3.7 Prosedur Analisis 26

BAB 1V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27

4.1 Analisis Bahan Baku 27

4.2 Pemilihan Pelarut 28

4.3 Pengaruh Waktu Ekstraksi 30

4.4 Pengaruh Konsentrasi Etanol 34

4.5 Pengaruh Rasio Pelarut-Bahan Baku 37

4.6 Pengaruh Daya 38

4.7 Model Perpindahan Massa Ekstraksi Alkaloid Tepung Gadung 41

4.8 Perbandingan Metode Ekstraksi 42

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 46

5.1 Kesimpulan 46

(7)

BAB VI. RINGKASAN 47

DAFTAR PUSTAKA 49

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Nilai Fd, Fp dan Eh komponen kontribusi gugus fungsional 11 Tabel 2. Nilai konstanta dielektrik beberapa pelarut 15 Tabel 3. Distribusi percobaan optimasi konsentrasi etanol dan rasio pelarut-bahan

baku pada ekstraksi alkaloid 23

Tabel 4. Distribusi percobaan optimasi daya pada ekstraksi alkaloid 23

Tabel 5. Komposisi proksimat bahan baku 27

Tabel 6. Nilai konstanta dielektrik dan nilai parameter kelarutan Hildebrand

pelarut alkaloid gadung 29

Tabel 7. Hasil ekstraksi pada berbagai waktu ekstraksi 33 Tabel 8. Selektivitas ekstraksi pada berbagai konsentrasi etanol 36 Tabel 9. Rendemen pada beberapa metode ekstraksi 43 Tabel 10. Komponen parameter kelarutan pada alkaloid gadung 54 Tabel 11. Data percobaan pada ekstraksi dengan variasi waktu ekstraksi 55 Tabel 12. Data percobaan pada ekstraksi dengan variasi konsentrasi etanol 55 Tabel 13. Data percobaan pada ekstraksi dengan variasi rasio pelarut-bahan baku 56 Tabel 14. Data percobaan pada ekstraksi dengan variasi daya 56 Tabel 15. Data percobaan pada ekstraksi dengan kondisi optimum 57

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman gadung dan umbi gadung 6

Gambar 2. Struktur molekul dioskorin 7

Gambar 3. Spektrum elektromagnetik 13

Gambar 4. Profil suhu pemanasan konvensional dan gelombang mikro 14

Gambar 5. Skema tahapan penelitian 22

Gambar 6. Ekstraktor berbantu gelombang mikro 24

Gambar 7. Pengaruh waktu ekstraksi terhadap rendemen 31 Gambar 8. Pengaruh waktu ekstraksi terhadap berat alkaloid yang hilang 32 Gambar 9. Pengaruh konsentrasi etanol terhadap rendemen 34 Gambar 10. Nilai parameter kelarutan Hildebrand etanol 36 Gambar 11. Pengaruh rasio pelarut-bahan baku terhadap rendemen 37

Gambar 12. Pengaruh daya terhadap rendemen 39

Gambar 13. Alkaloid yang hilang pada ekstraksi dengan berbagai daya 40 Gambar 14. Perbandingan profil konsentrasi solut hasil percobaan dan perhitungan 42 Gambar 15. Hasil analisis SEM pada perbesaran 2000 kali terhadap tepung gadung

yang telah mengalami proses ekstraksi (a) dengan pemanasan listrik (b)

dengan pemanasan gelombang mikro 43

Gambar 16. Hasil analisis SEM pada perbesaran 5000 kali terhadap tepung gadung yang telah mengalami proses ekstraksi (a) dengan pemanasan listrik (b)

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Perhitungan Parameter Kelarutan Hildebrand 54

Lampiran 2. Hasil-hasil Percobaan 55

Lampiran 3. Prosedur Analisis 58

(11)

ABSTRAK

Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder terbanyak yang memiliki atom nitrogen yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan. Alkaloid dilaporkan memiliki beberapa fungsi medis dalam bidang kesehatan. Gadung (Dioscorea hispida Dennst.) diketahui memiliki kandungan alkaloid, nutrisi dan kadar karbohidrat yang tinggi. Oleh karena itu, dalam rangka pemanfaatannya sebagai bahan pangan dilakukan proses pemisahan alkaloid dari tepung gadung menggunakan proses ekstraksi berbantu gelombang mikro. Proses ekstraksi padat cair senyawa alkaloid tepung gadung melibatkan proses pemilihan pelarut, perpindahan massa, panas serta dipengaruhi oleh beberapa variabel proses seperti waktu, konsentrasi etanol, rasio pelarut-bahan baku dan daya listrik. Penelitian ini bertujuan memilih pelarut yang sesuai, mengkaji pengaruh variabel-variabel proses yang meliputi konsentrasi etanol, rasio pelarut-bahan baku dan daya listrik terhadap rendemen ekstraksi serta menyusun persamaan perpindahan massa pada proses ekstraksi alkaloid tepung gadung. Tahapan penelitian meliputi: persiapan bahan baku, ekstraksi alkaloid gadung serta kajian perpindahan massa. Hasil pelarut yang sesuai dipilih berdasarkan nilai parameter kelarutan Hildebrand (δt) yang telah diprediksi menggunakan metode kontribusi gugus fungsional. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan waktu yang relatif baik bagi proses ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan variabel percobaan meliputi rasio pelarut-bahan baku (10:1-20:1), konsentrasi etanol (96%-75%) dan daya (100-400W). Nilai koefisien perpindahan massa Kla pada model perpindahan massa dievaluasi melalui optimasi satu variabel dengan bantuan piranti lunak hitungan MATLAB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelarut yang sesuai guna isolasi alkaloid dari tepung gadung melalui esktraksi berbantu gelombang mikro adalah campuran antara etanol dan air. Kondisi optimum operasi dicapai pada ekstraksi pada waktu 20 menit, konsentrasi etanol 85%, rasio pelarut-bahan baku 12,5:1, dan daya 100W dengan rendemen mencapai 86,66%. Model matematika perpindahan massa ekstraksi alkaloid tepung gadung telah berhasil disusun dengan bentuk akhir , dengan nilai koefisien perpindahan masa 0,10061 s

t

e C=0,0008−0,0008. −0,10061.

-1

. Model tersebut menunjukkan kesesuaian yang bagus dengan data percobaan dengan rata-rata standar deviasi absolut sebesar 2.96%.

(12)

ABSTRACT

Alkaloid constitutes the largest group among nitrogen-containing secondary metabolites. Alkaloid presents in plant and animal kingdom. Alkaloid exibits many biological and medical functions. Gadung (Dioscorea hispida Dennst) has been known for its high carbohydrate and alkaloid content. In order to utilize gadung as food source, hence the alkaloid was separated by microwave assisted extraction. Solid-liquid extraction of gadung’s alkaloid involved the selection of solvent, mass transfer process, heat transfer process and also being influenced by several process variables such as extraction time, solvent concentration, solvent-materia ratio and microwave power. Thus this research objectives were to choose the suitable solvent, study the influence of the process variables which is comprised of ethanol concentration (96%-75%), solvent-material ratio (10:1-20:1) and microwave power (100-400W) to the extraction yield, and also to develop mass transfer model of the gadung alkaloid extraction. The research was conducted in three major steps i.e raw material preparation, microwave assisted extraction of gadung alkaloid and mass transfer modelling. The solvents were chosen based on Hildebrand solubility parameter, which was predicted by group contribution methods. A pre-experiment was conducted to determine the best extraction time. The mass transfer coefficient was evaluated by using MATLAB program. The result showed that the selected solvents for microwave assisted extraction of alkaloid from gadung was ethanol-water mixture. The highest extraction yield achieved when the alkaloid was extracted using 85% of ethanol as solvent at solvent-material ratio of 12.5:1, using microwave power of 100W for 20 minutes. The final mathematical mass transfer model of the alkaloid extraction was

and the mass transfer coefficient was 0.10061 s t

e

C =0.0008−0.0008. −0.10061. -1. The model

showed a good agreement with the experimental data with average absolute relative deviation of 2.96%.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder terbanyak yang memiliki atom nitrogen, yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan. Sebagian besar senyawa alkaloid bersumber dari tumbuh-tumbuhan, terutama angiosperm. Lebih dari 20% spesies angiosperm mengandung alkaloid (Wink, 2008). Alkaloid dapat ditemukan pada berbagai bagian tanaman, seperti bunga, biji, daun, ranting, akar dan kulit batang.

Ekstrak alkaloid beberapa jenis tanaman maupun hewan dilaporkan memiliki fungsi medis dalam bidang kesehatan. Taksol, alkaloid dari Taxus brevifolia

merupakan suatu bahan aktif yang mempunyai aktivitas antitumor (Zhou dkk., 2005). Alkaloid dari Hunteria umbellata dapat berfungsi sebagai zat antipiretik dan

analgesik (Igbe dkk., 2009). Sementara itu, campothechin, alkaloid dari Nothapodytes nimmoniana Graham dan alkaloid dari Gelsemium sempervirens dapat berfungsi

sebagai zat anti kanker (Phadmanabha dan Chandrashekar, 2006; Srivastava dkk., 2005; Bhattacharyya dan Mandal, 2008).

Salah satu jenis tanaman yang mengandung akaloid adalah tanaman dari suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae. Alkaloid beberapa spesies dioscorea seperti

Dioscorea batatas, Dioscorea alata dan Dioscorea pseudojaponica dilaporkan dapat

berfungsi sebagai zat antikanker (Hou dkk., 2000), sedangkan alkaloid dari

Dioscorea dumetorum dapat berfungsi sebagai zat hipoglikemik (Iwu, 1991).

Salah satu spesies dioscoreceae yang banyak dijumpai di Indonesia adalah gadung (Dioscorea hispida Dennst.). Umbi gadung mengandung 77% air, 1,81%

protein, 1,6% lemak, 18% karbohidrat, 1,9% serat, 0,7% abu, dan 0,12 % alkaloid (Setyowati dan Siagian, 2004; Webster dkk., 1984).

(14)

Keberadaan alkaloid yang bersifat racun dalam gadung merupakan kendala terbesar pemanfaatan gadung sebagai bahan pangan. Sementara itu, jika dikonsumsi dalam jumlah yang aman, alkaloid merupakan bahan bioaktif yang sangat bermanfaat dalam bidang pengobatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses pemisahan alkaloid dari tepung gadung.

Proses pemisahan alkaloid dari tepung gadung dapat dilakukan melalui ekstraksi padat-cair. Dewasa ini teknik ekstraksi yang banyak digunakan dalam pengambilan senyawa pitokimia adalah ekstraksi berbantu gelombang mikro.

Ekstraksi berbantu gelombang mikro pertama kali dilakukan oleh Ganzler dan Salgo (1986). Mereka mengekstrak berbagai senyawa dari tanah, bahan makanan, biji-bijian dan menyatakan bahwa ekstraksi berbantu gelombang mikro lebih efektif dibandingkan dengan ekstraksi menggunakan soxhlet. Penelitian-penelitian mengenai ekstraksi berbantu gelombang mikro terus bermunculan, diantaranya Raman dan Gaikar (2002) yang mengekstraks piperin dari lada hitam (Piper ningrum). Mereka

meneliti pengaruh rasio bahan baku-pelarut dan daya terhadap rendemen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selektivitas ekstraksi piperine menggunakan gelombang mikro mencapai 94% pada rasio bahan baku-pelarut 1:50 dan daya 150W. Mereka menyatakan bahwa prosedur ekstraksi menggunakan gelombang mikro sederhana, cepat dan handal. Xiao dkk. (2005) mengekstrak polisakarida dari

Solanum ningrum. Kondisi optimum proses diperoleh pada waktu ekstraksi 15 menit,

daya radiasi gelombang mikro 455 W dan rasio berat material-volume pelarut 1:20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan ekstraksi menggunakan soxhlet, ekstraksi berbantu gelombang mikro menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Bai dkk. (2007) mengekstrak triterpenoid dari akar Actinidia deliciosa. Hasil penelitian Bai dkk. (2007) menunjukkan bahwa

ekstraksi berbantu gelombang mikro optimum pada penggunaan etanol dengan konsentrasi 72,67 %, rasio pelarut-padatan 15:1, dan waktu ekstraksi 30 menit. Proses ekstraksi berbantu gelombang mikro menghasilkan rendemen ekstrak triterpenoid

(15)

yang lebih besar dibandingkan proses ekstraksi menggunakan soxhlet dan ekstraksi ultrasonik. Untuk menghasilkan rendemen yang sama, ekstraksi berbantu gelombang mikro membutuhkan waktu 30 menit, sedangkan ekstraksi menggunakan soxhlet membutuhkan waktu 8 jam. Konsumsi pelarut juga dapat direduksi hingga setengah dari jumlah yang dibutuhkan pada proses ekstraksi konvensional.

Hasil penelitian-penelitian tersebut diatas menunjukkan bahwa ekstraksi berbantu gelombang mikro memiliki kelebihan dibandingkan esktraksi dengan pemanasan konvensional. Kelebihan tersebut diantaranya, waktu ekstraksi yang lebih cepat, kebutuhan pelarut lebih sedikit dan rendemen ekstraksi yang lebih tinggi.

Guna memanfaatkan gadung sebagai sumber karbohidrat dan alkaloid sebagai bahan bioaktif dalam bidang pengobatan, maka akan dilakukan penelitian mengenai pemisahan alkaloid tepung gadung melalui ekstraksi berbantu gelombang mikro.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian mengenai ekstraksi berbantu gelombang mikro terhadap senyawa pitokimia telah banyak dilakukan, namun penelitian mengenai ekstraksi gelombang mikro dengan bahan baku tepung gadung belum pernah ada.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa ekstraksi gelombang mikro melibatkan proses pemilihan pelarut, perpindahan panas dan perpindahan massa serta dipengaruhi oleh variabel proses seperti waktu, konsentrasi pelarut, rasio pelarut-bahan baku, dan daya.

Penelitian mengenai pemisahan alkaloid menggunakan ekstraksi berbantu gelombang mikro yang pernah dilakukan adalah pada lada (Raman dan Gaikar, 2002). Namun demikian penelitian tersebut belum melibatkan proses pemilihan pelarut, belum mengkaji pengaruh konsentrasi pelarut serta belum mengkaji fenomena perpindahan massa dan panas.

Penelitian mengenai ekstraksi berbantu gelombang mikro terhadap bahan berupa umbi sudah pernah dilakukan, yakni ekstraksi polisakarida dari kentang (Xiao

(16)

dkk., 2005). Penelitian tersebut telah mengkaji pengaruh variabel proses seperti waktu, rasio bahan baku-pelarut, dan daya. Namun demikian kajian mengenai pengaruh konsentrasi pelarut belum dilakukan. Jika dibandingkan dengan ekstraksi konvensional, rendemen ekstraksi berbantu gelombang mikro jauh lebih tinggi, namun kondisi tersebut dicapai pada daya dan rasio pelarut yang cukup tinggi. Penelitian tersebut juga belum melibatkan proses pemilihan pelarut dan belum ada kajian fenomena perpindahan massa ekstraksi berbantu gelombang mikro.

Menimbang hal-hal diatas, maka dalam penelitian ini akan dilakukan proses pemilihan pelarut, kajian fenomena perpindahan massa serta kajian pengaruh variabel proses pada pemisahan alkaloid tepung gadung melalui ekstraksi berbantu gelombang mikro.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Memilih pelarut yang tepat berdasarkan parameter kelarutan Hildebrand

2. Mengkaji pengaruh variabel ekstraksi yang meliputi: konsentrasi pelarut, rasio pelarut-bahan baku, dan daya terhadap rendemen ekstraksi

3. Menyusun model perpindahan massa pada proses ekstraksi alkaloid gadung.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian eksperimental yang menghasilkan data kondisi optimum serta data koefisien perpindahan massa pada proses ekstraksi alkaloid umbi gadung dengan teknik ekstraksi berbantu gelombang mikro. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan pada industri pengolahan umbi gadung berskala menengah dan besar, sehingga dapat menghasilkan tepung gadung dengan kadar alkaloid maksimal yang aman untuk dikonsumsi manusia, serta alkaloidnya dapat digunakan sebagai produk farmasi.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alkaloid

Alkaloid merupakan kelompok terbesar dari metabolit sekunder yang memiliki atom nitrogen. Sebagian besar atom nitrogen merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Alkaloid pada umumnya bersifat basa. Sebagian besar alkaloid mempunyai aktivitas biologis tertentu. Beberapa alkaloid dilaporkan memiliki sifat beracun, tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan (Lenny, 2006).

Sebagian besar senyawa alkaloid bersumber pada tumbuh-tumbuhan. Namun demikian alkaloid juga dapat ditemui pada bakteri, artopoda, amfibi, burung dan mamalia. Alkaloid dapat ditemui pada berbagai bagian tanaman seperti akar, batang, daun, dan biji. Alkaloid pada tanaman berfungsi sebagai: racun yang dapat melindunginya dari serangga dan herbivora, faktor pengatur pertumbuhan, dan senyawa simpanan yang mampu menyuplai nitrogen dan unsur-unsur lain yang diperlukan tanaman (Wink, 2008).

Salah satu spesies tanaman yang memiliki kandungan alkaloid adalah gadung (Dioscorea hispida Dennst.). Gadung (Gambar 1.a) merupakan tanaman semak yang

menjalar, mempunyai permukaan batang halus, berduri dan berwarna hijau keputihan. Tanaman ini dapat tumbuh menjalar setinggi 5 sampai 10 meter. Daunnya merupakan daun tunggal, lonjong, berseling, ujung lancip, pangkal tumpul dan berwarna hijau. Perbungaannya berbentuk tandan, tumbuh di ketiak daun, kelopaknya berbentuk corong dan mahkotanya berwarna hijau kemerahan. Bagian tanaman yang bisa dimanfaatkan adalah umbinya (Gambar 1. b). Keunggulan dari tanaman gadung adalah bahwa ditinjau dari teknik budidayanya, gadung tidak memerlukan pemeliharaan yang rumit dibandingkan dengan tanaman lainnya serta gadung dapat tumbuh di mana saja.

(18)

a b Gambar 1. Tanaman Gadung (a) dan Umbi Gadung (b)

2.1.1 Klasifikasi senyawa alkaloid

Alkaloid tidak mempunyai tatanan sistematik, oleh karena itu, suatu alkaloid dinyatakan dengan nama trivial, misalnya kuinin, morfin dan stiknin. Hampir semua nama trivial ini berakhiran –in yang mencirikan alkaloid (Lenny, 2006). Klasifikasi alkaloid dapat dilakukan berdasarkan beberapa cara yaitu:

1. Berdasarkan jenis cincin heterosiklik nitrogen yang merupakan bagian dari struktur molekul. Berdasarkan hal tersebut, maka alkaloid dapat dibedakan atas 14 jenis alkaloid yakni:

a. pyrol atau pirrolidin h. norlupinan

b. pirrolizidin i. indol

c. piridin atau piperidin j. indolizidin

d. tropan k. imidazol

e. quinolin l. purine

f. isoquinolin m.steroid

g. aphorphin n. terpenoid

2. Berdasarkan jenis tumbuhan asal alkaloid. Cara ini digunakan untuk menyatakan jenis alkaloid yang pertama-tama ditemukan pada suatu jenis tumbuhan.

3. Berdasarkan asal-usul biogenetik. Biosintesa alkaloid menunjukkan bahwa alkaloid berasal dari hanya beberapa asam amino tertentu saja. Berdasarkan asal usul biogenetiknya, alkaloid dibedakan dalam tiga jenis alkaloid, yaitu:

(19)

a. Alkaloid alisiklik yang berasal dari asam-asam amino ornitin dan lisin b. Alkaloid aromatik jenis fenilalanin yang berasal dari fenil alanin, dan tirosin c. Alkaloid aromatik jenis indol yang berasal dari triptofan.

2.1.2 Sifat fisika dan kimia alkaloid

Kebanyakan alkaloid berupa padatan kristal dengan titik lebur yang tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Alkaloid dapat juga berbentuk cair, misalnya nikotin dan koniin. Selain itu, kebanyakan alkaloid juga tidak berwarna. Pada umumnya alkaloid hanya larut dalam pelarut organik. Alkaloid umumnya bersifat basa. Kebasaan pada alkaloid menyebabkan senyawa tersebut mudah mengalami dekomposisi terutama oleh panas dan sinar dengan adanya oksigen. Hasil dekomposisi seringkali berupa N-oksida (Lenny, 2006)

2.1.3 Alkaloid gadung

Gadung mengandung alkaloid yang disebut dengan dioskorin (C13H19NO2). Struktur molekul dioskorin tersaji pada Gambar 2. Dioskorin dilaporkan memiliki sifat sebagai antioksidan, antiinflamatori, anti serangga, antipatogen serta memperlihatkan aktivitas inhibisi terhadap tripsin (Ko dkk., 2009).

Gambar 2. Struktur Molekul Dioskorin

Dioskorin berupa padatan berwarna kuning kehijauan dengan titik leleh 54-550C. Dioskorin dapat larut dalam air, alkohol, acetone dan kloroform serta sedikit larut dalam ether, benzene dan petroleum ether (Merck, 1999).

(20)

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu metode pemisahan suatu komponen solut dari campurannya dengan menggunakan sejumlah massa pelarut. Proses ekstraksi dipilih terutama jika umpan yang akan dipisahkan terdiri dari komponen-komponen yang mempunyai titik didih yang berdekatan, sensitif terhadap panas dan merupakan campuran azeotrop.

Berdasarkan fase solut dan pelarut, ekstraksi dibedakan atas ekstraksi cair-cair, ekstraksi padat-cair-cair, dan ekstraksi gas-cair. Ekstraksi padat cair sering disebut dengan pelindian atau leaching. Jika komponen zat terlarut yang tidak diinginkan hendak dihilangkan dari padatan dengan menggunakan air maka proses leaching tersebut dinamakan pencucian (Ibarz dan Canovas, 2003). Proses ekstraksi padat cair banyak digunakan pada industri bahan makanan, obat-obatan dan ekstraksi minyak nabati. Pelarut organik yang banyak digunakan dalam ekstraksi padat-cair adalah heksan, alkohol, kloroform dan aseton (Ibarz dan Canovas, 2003).

2.2.1 Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses ekstrasi

Proses ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor (Gertenbach, 2002), yakni: 1. Jenis pelarut

Jenis pelarut sangat berpengaruh terhadap jumlah solut yang terekstrak serta mempengaruhi laju ekstraksi. Secara umum etanol, air dan campuran keduanya merupakan pelarut yang sering dipilih dalam proses ekstraksi produk farmasi karena dapat diterima oleh konsumen.

2. Temperatur

Secara umum, temperatur yang lebih tinggi akan meningkatkan kelarutan solut didalam pelarut. Temperatur dibatasi oleh titik didih pelarut yang digunakan. 3. Rasio pelarut-bahan baku

Rasio pelarut-bahan baku yang semakin besar akan memperbesar konsentrasi solut yang terlarut pada permukaan partikel, sehingga akan memperbesar gradien

(21)

konsentrasi didalam dan di permukaan patikel padatan. Akibatnya laju ekstraksi akan semakin meningkat. Namun demikian, semakin banyak pelarut yang digunakan maka proses hilirnya akan semakin mahal.

4. Ukuran partikel

Secara umum, laju ekstraksi akan meningkat bila ukuran partikel umpan pada proses ekstraksi semakin kecil.

2.2.2 Pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi

Berdasarkan interaksi antara solut-pelarut, pelarut yang baik bagi proses ekstraksi dapat dipilih menggunakan:

1. Tabel Robin (Robin Chart)

Tabel Robin menyajikan interaksi kelompok solut-pelarut. Tabel Robin menyajikan sistem pemilihan pelarut bagi suatu solut berdasarkan komposisi kimianya. Tabel Robin menyajikakan deviasi negatif, positif, atau netral dari interaksi solut-pelarut terhadap larutan ideal. Deviasi negatif dan netral mengindikasikan interaksi yang bagus diantara kelompok solut dan pelarut, sehingga kelarutan solut dalam pelarut adalah tinggi (Gertenbach, 2002) .

2. Parameter kelarutan Hildebrand

Parameter kelarutan merupakan suatu konsep yang penting, yang dapat digunakan sebagai parameter pemilihan pelarut. Penggunaan parameter kelarutan dalam pemilihan pelarut adalah berdasar aturan kimia yang telah dikenal yakni “like dissolved like”. Jika gaya antar molekul antara molekul pelarut dan solut memiliki kekuatan yang mirip, maka pelarut tersebut merupakan pelarut yang baik bagi solut tersebut. Parameter kelarutan total Hildebrand (

δ

t) didefinisikan sebagai akar dari densitas energi kohesif, yang dinyatakan dalam persamaan 1 (Stefanis dan Panayiotou, 2008):

V E

δt= coh (1)

(22)

Ecoh = ∆Hv,298 – RT (2) dimana adalah enthalpy penguapan standar pada 298 K, R adalah

konstanta gas universal, dan T adalah temperatur. Pada temperatur sembarang persamaan (1) dapat dinyatakan dalam bentuk:

298 , v H Δ V RT v H t= Δ ,298− δ (3)

Untuk senyawa polar dan senyawa yang memiliki ikatan hidrogen, parameter kelarutan total Hildebrand tidak cukup dalam menggambarkan sifat kelarutannya. Oleh karena itu diperkenalkan parameter kelarutan parsial Hansen. Hubungan antara parameter kelarutan total Hildebrand dengan parameter kelarutan parsial Hansen dinyatakan dalam persamaan 4 (Stefanis dan Panayiotou, 2008):

δt= δd2+δ2phb2 (4) dimana adalah parameter kelarutan Hansen komponen dispersi, adalah

parameter kelarutan Hansen komponen polar, dan adalah parameter kelarutan Hansen komponen ikatan hidrogen.

d

δ δp

hb

δ

Nilai parameter kelarutan Hansen , dan dapat diestimasi menggunakan metode kontribusi gugus fungsional berdasar persamaan 5-7 (Stefanis dan Panayiotou, 2008): d δ δp δhb ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛∑ = V d F d δ (5) V p F p ) 2 (∑ = δ (6) ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛∑ = V h E hb δ (7)

dimana Fd adalah kontribusi gugus fungsi komponen dispersi, Fp adalah kontribusi gugus fungsi komponen polar dan Eh adalah kontribusi gugus fungsi parameter ikatan hidrogen. Nilai Fd, Fp dan Eh komponen kontribusi gugus fungsional disajikan pada Tabel 1.

(23)

Tabel 1. Nilai Fd, Fp dan Eh komponen kontribusi gugus fungsional (Kang dkk., 2001) Struktur gugus fungsi Fd(J1/2cm3/2/mol) Fp(J1/2cm3/2/mol) Eh (J/mol)

-CH3 420 0 0 -CH2- 270 0 0 >CH- 80 0 0 >C< -70 0 0 =CH2 400 0 0 =CH- 200 0 0 =CH< 70 0 0 1620 0 0 1430 110 0 1270 110 0 -F 220 0 0 -Cl 450 550 400 -CN 430 1100 2500 -OH 210 500 20000 -COH 470 800 4500 -CO- 290 770 2000 -COOH 530 420 10000 -COO- 390 490 7000 -O- 100 400 3000 -NH2 280 0 8400 -NH- 160 210 3100 -N< 20 800 5000 -NO2 500 1070 1500 -S- 440 0 0 =PO4 740 1890 13000 Ring 190 0 0

(24)

Selain menggunakan parameter kelarutan atau Tabel Robin, pemilihan pelarut juga dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa kriteria pemilihan pelarut seperti:

1. Selektivitas

Pemilihan pelarut dapat mempengaruhi kemurnian ekstrak. 2. Kestabilan kimia dan panas

Pelarut yang dipilih harus stabil pada kondisi operasi ekstraksi dan proses hilir 3. Kecocokan dengan solut

Pelarut yang dipilih adalah pelarut yang tidak bereaksi dengan solut 4. Viskositas

Viskositas pelarut yang rendah akan meningkatkan koefisien difusi sehingga laju ekstraksi juga meningkat.

5. Rekoveri pelarut

Guna meningkatkan nilai ekonomis proses, pelarut perlu direkoveri sehingga dapat digunakan kembali. Pelarut dengan titik didih yang rendah lebih ekonomis untuk direkoveri dan digunakan kembali.

6. Tidak mudah terbakar

Guna alasan keamanan, hendaknya dipilih pelarut yang tidak mudah terbakar 7. Tidak beracun

Pelarut yang tidak beracun penting bagi keamanan produk serta bagi pekerja. 8. Murah dan mudah diperoleh

Pelarut yang dipilih hendaknya pelarut yang murah dan mudah diperoleh.

2.3 Ekstraksi Berbantu Gelombang Mikro 2.3.1 Radiasi gelombang mikro

Gelombang mikro adalah radiasi elektromagnetik dengan frekuensi berkisar antara 300 MHz hingga 300 GHz. Kisaran tersebut merupakan batas yang diperbolehkan guna memposisikan gelombang mikro dalam spektrum

(25)

elektromagnetik, yakni diantara spektrum RF dan IR (Mandal dkk, 2007). Spektrum elektromagnetik disajikan pada Gambar 3. Energi radiasi gelombang elektromagnetik berbanding terbalik dengan panjang gelombangnya. Pada frekuensi antara 300 MHz dan 300 GHz, energi photon gelombang mikro terletak diantara 1.2. 10-6 eV dan 1.2. 10-3 eV (Mandal dkk, 2007).

Gambar 3. Spektrum elektromagnetik

2.3.2 Pemanasan gelombang mikro

Prinsip pemanasan menggunakan gelombang mikro adalah berdasarkan tumbukan langsung dengan material polar atau pelarut dan diatur oleh dua fenomena yaitu konduksi ionik dan rotasi dipol. Dalam sebagian besar kasus, kedua fenomena tersebut berjalan secara simultan.

Konduksi ionik mengacu pada migrasi elektroforetik ion dalam pengaruh perubahan medan listrik. Resistansi yang ditimbulkan oleh larutan terhadap proses migrasi ion menghasilkan friksi yang akan memanaskan larutan. Rotasi dipol merupakan pengaturan kembali dipol-dipol molekul akibat medan listrik yang terus berubah dengan cepat. Gelombang mikro bekerja dengan melewatkan radiasi

(26)

gelombang mikro pada molekul air, lemak, maupun gula yang sering terdapat pada bahan makanan. Molekul-molekul ini akan menyerap energi elektromagnetik tersebut. Proses penyerapan energi ini disebut sebagai pemanasan dielektrik. Molekul-molekul pada makanan bersifat dipol elektrik, artinya molekul tersebut memiliki muatan negatif pada satu sisi dan muatan positif pada sisi yang lain. Akibatnya, dengan kehadiran medan elektrik yang berubah-ubah yang diinduksikan melalui gelombang mikro, masing-masing sisi akan berputar untuk saling mensejajarkan diri satu sama lain. Pergerakan molekul ini akan menciptakan panas seiring dengan timbulnya gesekan antar molekul. Energi panas yang dihasilkan oleh peristiwa inilah yang berfungsi sebagai agen pemanasan (Mandal dkk., 2007).

Gambar 4. Profil suhu pemanasan konvensional dan gelombang mikro Pemanasan gelombang mikro melibatkan tiga konversi energi, yaitu konversi energi listrik menjadi energi elektromagnetik, energi elektromagnetik menjadi energi kinetik, dan energi kinetik menjadi energi panas. Poin kunci yang menjadikan energi gelombang mikro menjadi alternatif yang menarik guna menggantikan pemanasan konvensional adalah: pada pemanasan konvensional, pemanasan terjadi melalui gradien suhu, sedangkan pada pemanasan gelombang mikro, pemanasan terjadi melalui interaksi langsung antara material dengan gelombang mikro. Hal tersebut mengakibatkan transfer energi berlangsung lebih cepat, dan berpotensi meningkatkan kualitas produk (Zhang dan Hayward, 2006; Das dkk., 2009). Perbedaan profil suhu pemanasan konvensional dan gelombang mikro disajikan pada Gambar 4.

(27)

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi berbantu gelombang mikro Ekstraksi berbantu gelombang mikro dipengaruhi oleh:

1. Jenis pelarut

Penggunaan pelarut yang tepat merupakan hal fundamental guna mencapai hasil ekstraksi yang optimal. Pelarut dipilih berdasarkan pada kelarutan senyawa target, interaksi antara pelarut dengan matriks bahan serta kemampuan pelarut dalam menyerap energi gelombang mikro (Brachet dkk., 2002; Mandal dkk., 2007, Kauffman dkk., 2007). Ukuran kemampuan pelarut untuk menyerap energi gelombang mikro dan mengubahnya menjadi panas dinyatakan sebagai faktor disipasi (tanδ ). Faktor disipasi dinyatakan dalam persamaan 8 (Mandal dkk., 2007):

tanδ =ε ''/ε' (8)

dimana adalah dielectrik loss yang mengindikasikan efisiensi pelarut dalam mengkonversi energi gelombang mikro menjadi panas dan adalah konstanta dielektrik yang merupakan ukuran kemampuan pelarut untuk menyerap energi gelombang mikro. Nilai konstanta dielektrik dan faktor disipasi beberapa pelarut disajikan pada Tabel 2.

'' ε

' ε

Tabel 2. Nilai konstanta dielektrik beberapa pelarut (Mandal dkk., 2007) Pelarut Konstanta dielektrik ε'

Aceton Acetonitril Etanol Heksan Metanol 2-propanol Air 20,7 37,5 24,3 1,89 32,6 19,9 78,3

(28)

Tabel 2 menunjukkan bahwa kemampuan etanol dan metanol dalam menyerap energi gelombang mikro adalah lebih rendah daripada air karena nilai konstanta dielektriknya yang lebih rendah. Sementara itu, heksan dan pelarut lain yang kurang polar hanya akan melewatkan gelombang mikro sehingga tidak akan menghasilkan panas.

2. Volume pelarut

Volume pelarut merupakan faktor yang mempengaruhi ekstraksi berbantu gelombang mikro. Secara umum, volume pelarut harus cukup guna meyakinkan bahwa bahan yang akan diektrak terendam seluruhnya didalam pelarut. Volume pelarut yang lebih banyak dapat meningkatkan perolehan ekstrak dalam ekstraksi konvensional, namun demikian dalam ekstraksi berbantu gelombang mikro, volume pelarut yang lebih banyak dapat menghasilkan rendemen yang lebih rendah (Mandal dkk., 2007; Kaufmann dkk., 2007; Mandal dkk., 2009).

3. Waktu ekstraksi

Secara umum, dengan semakin meningkatnya waktu ekstraksi, maka jumlah analit terekstrak akan semakin tinggi. Namun bila dibandingkan dengan metode yang lain, ekstraksi dengan pemanasan gelombang mikro membutuhkan waktu yang jauh lebih singkat. Seringkali waktu ekstraksi 15-20 menit memberikan hasil yang baik. Bahkan pada ekstraksi pektin dari apel hanya membutuhkan waktu 40 detik untuk memperoleh hasil ekstraksi yang optimum (Wang dkk., 2007).

4. Daya

Daya mikrowave dan waktu merupakan dua faktor yang saling mempengaruhi. Kombinasi daya yang rendah dan waktu ekstraksi yang panjang merupakan pilihan yang bijak mengingat kombinasi tersebut dapat menghindari terjadinya degradasi termal produk. Secara umum, efisiensi ekstraksi dengan waktu ekstraksi yang singkat akan meningkat seiring dengan meningkatnya daya mikrowave dari 30-150 W (Shu dan Ko, 2003). Namun demikian pada daya yang

(29)

lebih tinggi (400-1200W), variasi daya tidak memberikan pengaruh yang nyata pada rendemen ekstraksi (Gao dkk., 2006).

2.4 Perpindahan Massa Pada Ekstraksi 2.4.1 Perpindahan massa ekstraksi padat-cair

Mekanisme perpindahan massa dalam proses ekstraksi suatu solut yang terdapat dalam suatu padatan oleh suatu zat cair hingga dicapai kondisi kesetimbangan berlangsung dalam tiga tahapan yang berkesinambungan, yakni:

1. Perubahan fase solut terjadi saat solut berubah dari fase padat ke fase cair. Pelarutan solut terjadi muncul melalui interface padat-cair. Fenomena ini dianggap terjadi secara cepat dan tidak mempengaruhi laju ekstraksi secara keseluruhan

2. Solut terdifusi ke dalam pelarut yang terdapat dalam pori-pori padatan. Proses perpindahan solut dari dalam partikel padat ke permukaan berlangsung karena adanya gradien konsentrasi antara interface padat-cair dan permukaan luar padatan. Pelarut yang ada dalam pori tetap berada pada keadaan stasioner, sehingga proses perpindahan solut dari zona dengan konsenstrasi yang lebih besar ke bagian luar akan terjadi melalui proses difusi molekular. Laju perpindahan massa tahap ini dinyatakan dalam persamaan 9 (Ibarz dan Canovas, 2003):

dr dC A D NAS=− e. . (9) dengan AS N = fluks massa (kg. s-1) De = difusifitas solut (m2.s-1)

A = luas permukaan kontak secara difusi (m2) C = konsentrasi solut dalam larutan (kg.m-3) r = jarak perpindahan massa (m)

(30)

3. Ketika solut mencapai permukaan partikel, solut berpindah ke dalam larutan karena ada gradien konsentrasi. Laju perpindahan massa di fase larutan dinyatakan dalam persamaan 10 (Ibarz dan Canovas, 2003):

dt dM C C V K NAS = La ( S− )= (10) Dengan: M = massa solut yang berpindah (kg)

V = volume pelarut (m3) t = waktu (s)

Cs = konsentrasi solut pada permukaan padat, yang setimbang dengan konsentrasi solut dalam larutan jenuh (kg.m-3)

KLa = koefisien perpindahan massa volumetrik (s-1)

2.4.2 Model perpindahan massa ekstraksi alkaloid gadung

Peristiwa ekstraksi alkaloid dari tepung gadung dianggap sebagai rangkaian peristiwa perpindahan massa yang meliputi:

1. Difusi alkaloid dari dalam padatan ke permukaan padatan.

2. Perpindahan massa alkaloid dari permukaan padatan ke cairan pelarut dalam pori-pori padatan.

3. Difusi alkaloid di dalam cairan pelarut.

Kecepatan ekstraksi padat cair tergantung pada dua tahapan pokok yaitu difusi dari dalam padatan ke permukaan padatan dan perpindahan massa dari permukaan padatan ke cairan. Jika perbedaan kecepatan kedua tahap hampir sama, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh kedua proses tersebut. Jika perbedaan kecepatan kedua tahapan cukup besar, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh kecepatan proses yang paling lambat (Sediawan dan Prasetya, 1997).

Pada ekstraksi alkaloid dari tepung gadung ini, ukuran butir padatan dibuat sangat kecil. Akibatnya, proses difusi alkaloid dari dalam permukaan padatan dapat dianggap sangat cepat sehingga dapat diabaikan. Oleh karena itu, proses transfer

(31)

massa dari permukaan padatan ke cairan menjadi proses yang menentukan (Smith, 1981; Sediawan dan Prasetya, 2007).

Kecepatan transfer massa volumetris alkaloid dari permukaan padatan ke cairan mengikuti persamaan 10, dengan CS adalah konsentrasi alkaloid pada permukaan padatan yang setimbang dengan konsentrasi solut dalam larutan jenuh, *. Persamaan 10 juga dapat dinyatakan dalam bentuk:

C ) (C* C V K NAS= La − (11)

Hubungan antara konsentrasi solut dalam larutan jenuh dengan kadar awal solut dalam padatan kadar solut dalam sisa sampel pada waktu tak hingga dan massa sampel awal (m) dapat dinyatakan dalam persamaan:

), ( 0 C ) (C∞ (12.a) * 0 ) .(C C VC m − ∞ = * 0 ) .( C V C C m − ∞ = (12.b)

Neraca massa alkaloid total di larutan dinyatakan dalam persamaan: dt VC d NAS ) ( = (13) Diferensial total dari persamaan (13) adalah :

dt C d V dt V d C NAS= ( )+ ( ) (14)

Karena tidak terjadi perubahan volume pada pelarut, maka persamaan (14) dapat disederhanakan menjadi: dt C d V NAS ) ( = (15)

Persamaan (15) dan (12.b) disubstitusikan ke persamaan (11) untuk memperoleh: ( ) ( .( 0 ) C) V C C m V K dt C d V La − − = ∞ (16)

Persamaan (16) dapat disusun ulang menjadi :

⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ = + ∞ V C C m K C K dt C d La La ) .( . ) ( 0 (17)

(32)

Jika A = KLa dan B = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ V C C m KLa )

.( 0 , maka persamaan (17) dapat diubah menjadi :

AC B dt

dC+ = (18)

Persamaan (18) merupakan persamaan diferensial ordiner orde 1. Penyelesaian secara analitis dengan kondisi batas saat t = 0, C = 0 dan saat t = t, C = C diperoleh :

( At) e A B A B C= − − (19)

Nilai Kladapat diperoleh melalui optimasi satu variabel dengan bantuan piranti lunak

hitungan MATLAB. Optimasi dilakukan untuk memperoleh sum square of errors (SSE) atau jumlah kuadrat selisih antara C hitungan (Chit) dengan C percobaan

(Cperc.) yang terkecil.

− = ( )2 perc hit C C SSE (20)

(33)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Secara garis besar rangkaian penelitian yang dilakukan meliputi 3 tahapan yakni persiapan bahan baku, proses ekstraksi dan kajian perpindahan massa. Persiapan bahan baku meliputi proses penepungan terhadap umbi gadung hingga diperoleh tepung gadung dengan ukuran 100 mesh serta analisis proksimat terhadap tepung gadung. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air kesetimbangan, kadar lemak, kadar protein, kadar mineral dan kadar alkaloid total bahan baku. Proses ekstraksi yang dilakukan meliputi proses pemilihan pelarut berdasarkan perhitungan parameter kelarutan Hildebrand yang diestimasi menggunakan metode kontribusi gugus fungsional (Kang dkk., 2001; Stefanis dan Panayiotou, 2008), ekstraksi guna menentukan kondisi optimum dan ekstraksi guna mendapatkan data pada penentuan koefisien perpindahan massa. Penelitian pendahuluan dilakukan guna mendapatkan waktu yang relatif baik bagi ekstraksi alkaloid tepung gadung. Kajian perpindahan massa meliputi optimasi satu variabel terhadap persamaan perpindahan massa yang dilakukan dengan menggunakan bantuan piranti hitung Matlab. Rangkaian penelitian disajikan pada Gambar 5.

3.2. Rancangan Variabel dan Optimasi

Variabel proses yang dikaji dan dioptimasi meliputi konsentrasi etanol, rasio pelarut-bahan baku dan daya. Percobaan ekstraksi pada penentuan kondisi optimum variabel proses terdiri dari 13 run percobaan dengan distribusi perlakuan sebagaimana tertera pada Tabel 3 dan Tabel 4.

(34)
(35)

Tabel 3. Distribusi percobaan pada optimasi konsentrasi etanol dan rasio pelarut-bahan baku Variabel Proses Run Konsentrasi etanol (%) Rasio Pelarut-bahan baku Pengukuran/analisis Hasil 1 96 1:10 2 90 1:10 3 85 1:10 4 80 1:10 5 75 1:10

- Kadar alkaloid tepung - Berat ekstrak - Kadar alkaloid ekstrak

Konsentrasi etanol optimum (Kopt) 6 Kopt 1:10 7 Kopt 1:12,5 8 Kopt 1:15 9 Kopt 1:17,5 10 Kopt 1:20

- Kadar alkaloid tepung - Berat ekstrak - Kadar alkaloid ekstrak

Rasio pelarut-bahan baku optimum (Ropt) Tetapan Daya : 100W Tekanan : 1 atm Kecepatan pengadukan : 120 rpm Waktu ekstraksi : 20 menit Ukuran tepung : 100 mesh Kadar air kesetimbangan : 6,81 ± 0,3 %.

Tabel 4. Distribusi percobaan pada optimasi daya

Tetapan Konsentrasi etanol : Kopt

Run Daya (W) Pengukuran/analisis Hasil

1 100 2 200 3 400

- Kadar alkaloid tepung - Berat ekstrak - Kadar alkaloid ekstrak

Daya optimum (Dopt)

Rasio pelarut-bahan baku : Ropt

Tekanan : 1 atm

Kecepatan pengadukan : 120 rpm Waktu ekstraksi : 20 menit Ukuran tepung : 100 mesh

(36)

3.3 Bahan Penelitian

Bahan utama penelitian ini adalah umbi gadung yang diperoleh dari kebun rakyat di daerah Gunungpati. Bahan lain yang digunakan adalah bahan kimia yang berfungsi sebagai pelarut yakni etanol teknis 96% dan air serta bahan guna keperluan analisis berupa asam asetat, etanol PA dari Merck dan amonium hidroksida. Bahan-bahan kimia dibeli dari toko penyalur Bahan-bahan kimia yakni CV Jurus Maju. Air suling diambil dari reverse osmosis unit di Jurusan Teknik Kimia, FT-UNDIP.

3.4 Alat Penelitian

Alat utama penelitian ini adalah alat ekstraksi berupa mikrowave merk MAXIM Electric tipe MXMC-01 yang telah dimodifikasi dengan dilengkapi labu alas bulat, pengaduk dan pendingin (Gambar 6). Alat lain yang dipergunakan meliputi: oven, alat penyaring, hot plate stirrer, timbangan digital merk Ohaus Pioneer tipe AV213R dan peralatan gelas.

Gambar 6. Ekstraktor berbantu gelombang mikro

3.5. Prosedur percobaan

3.5.1 Ekstraksi pada penentuan kondisi optimum

Sebanyak 50 gram tepung gadung kering dengan ukuran 100 mesh dimasukkan ke dalam labu dan ditambahkan 500 mL etanol dengan konsentrasi 96%. Ekstraksi berbantu gelombang mikro pada daya 100 W, kecepatan pengadukan 120

(37)

rpm dan waktu ekstraksi 20 menit mulai dijalankan. Setelah ekstraksi berakhir, tepung gadung di fasa rafinat dipisahkan dari fasa ekstrak melalui proses penyaringan dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 500C. Setelah kering, tepung gadung tersebut dianalisis kadar alkaloidnya. Fasa ekstrak didistilasi pada suhu 800C untuk merekoveri pelarut. Selanjutnya ekstrak dikeringkan dalam oven pada suhu 500C dan dicatat beratnya serta dianalisis kadar alkaloidnya. Percobaan-percobaan selanjutnya dilakukan dengan prosedur yang sama, dengan variabel sesuai Tabel 3 dan 4.

3.5.2 Ekstraksi pada penentuan data perpindahan massa

Ekstraksi pada penentuan data perpindahan massa dilakukan pada kondisi optimum proses. Proses ekstraksi dimulai dengan memasukkan 50 gram tepung gadung berukuran 100 mesh ke dalam labu. Kemudian, ditambahkan pelarut dengan rasio pelarut-bahan baku optimum (Ropt) dan konsentrasi etanol optimum (Kopt). Ekstraksi berbantu gelombang mikro pada daya optimum (Dopt), kecepatan pengadukan 120 rpm dan waktu ekstraksi 20 menit mulai dijalankan. Setiap interval waktu 2,5 menit diambil sampel untuk dianalisis kadar alkaloidnya. Pengambilan sampel dilakukan hingga waktu ekstraksi mencapai 35 menit.

3.6 Analisis data

Data yang diperoleh dari hasil percobaan akan berupa data: berat alkaloid bahan, berat ekstrak, berat alkaloid ekstrak dan berat alkaloid pada rafinat. Data tersebut akan diolah guna mendapatkan data olah berupa: rendemen, selektivitas dan berat alkaloid hilang. Rendemen, selektivitas, dan berat alkaloid hilang dihitung berdasarkan rumus: % 100 . Re bahan alkaloid berat ekstrak alkaloid berat ndemen= (21) % 100 . ekstrak berat ekstrak alkaloid berat as Selektivit = (22) ) (

(alkaloidbahan alkaloidekstrak alkaloidrafinat hilang

(38)

Data hasil ekstraksi pada penentuan kondisi optimum dianalisis dengan cara deskriptif. Sedangkan pada kajian perpindahan massa, nilai koefisien perpindahan massa Kla pada persamaan (17) tidak dapat dihitung langsung berdasarkan data CA dan t. Nilai Kla diperoleh melalui optimasi satu variabel dengan bantuan piranti lunak

hitungan MATLAB. Optimasi dilakukan untuk memperoleh sum square of errors (SSE) atau jumlah kuadrat selisih antara C hitungan (Chit) dengan C percobaan (Cperc.) yang terkecil .

3.7 Prosedur analisis

Analisis kadar air dilakukan menggunakan metode gravimetri, analisis kadar protein menggunakan metode Kjeldahl, analisis kadar lemak menggunakan metode soxhlet (exhautsive extraction), analisis alkaloid dilakukan dengan metode gravimetri (Adeniyi, 2009) dan analisis kadar mineral dilakukan menggunakan spektroskopi serapan atom (AAS) model AA-646 dari Shimadzu Corp.

(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung gadung, yang diolah dari umbi gadung yang berasal dari perkebunan rakyat di Gunungpati. Hasil analisis proksimat tepung gadung disajikan pada Tabel 5.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar karbohidrat dan kadar protein tepung gadung yang digunakan pada penelitian ini lebih rendah dari kadar karbohidrat tepung gadung yang dilaporkan oleh peneliti lain. Adapun kadar abu tepung gadung yang digunakan dalam penelitian ini jauh lebih besar dibandingkan kadar abu tepung gadung yang dilaporkan peneliti lain. Secara kuantitatif nilai kadar abu dapat berasal dari mineral dalam umbi segar, pemakaian pupuk, dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan (Richana dan Sunarti, 2004). Komposisi proksimat suatu bahan dari spesies yang sama bisa berbeda-beda karena dipengaruhi oleh iklim, kondisi tanah tempat tumbuh, umur panen umbi, dan waktu pemanenan (Richana dan Sunarti, 2004).

Tabel 5. Komposisi proksimat tepung gadung

Komponen Surhaini dkk., 2009 Penelitian ini

Air 5,50 6,81

Karbohidrat 88,30 81,04

Lemak 0,20 0,22 Protein 5,30 2,12

(40)

Analisis kadar mineral terhadap tepung gadung meliputi analisis kadar kadmium, tembaga, dan besi. Kadar kadmium pada tepung gadung mencapai 0,2 mg/kg. Nilai tersebut masih dibawah batas cemaran logam berat yang diperbolehkan ada dalam bahan pangan. Sebagai contoh batas cemaran kadmium pada beras dan tepung beras adalah 0,4 mg/kg (SNI 7387, 2009). Kadar tembaga pada tepung gadung mencapai 5 mg/kg. Nilai tersebut jauh dibawah batas maksimal kadar tembaga yang diperbolehkan pada tepung, sebagai contoh kadar tembaga maksimal yang diperbolehkan ada pada tepung sagu adalah 10 mg/Kg (SNI 01-3729, 2005). Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar besi tepung gadung adalah 22 mg/kg. SNI 3751 tahun 1995 mengenai fortifikasi tepung terigu menyebutkan bahwa kadar besi minimal pada fortifikasi tepung terigu adalah 50 mg/kg. Oleh karena itu tepung gadung dapat dijadikan sebagai pangan pembawa fortikan khususnya senyawa besi.

Analisis kadar alkaloid bahan dilakukan menggunakan metode gravimetri (Adeniyi, 2009). Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar alkaloid tepung gadung mencapai 0,1036%. Kadar alkaloid gadung pada penelitian ini 10 kali lebih banyak dibandingkan kadar alkaloid gadung dari Thailand yang dilaporkan oleh Webster dkk. (1984). Perbedaan kadar senyawa metabolit sekunder dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya waktu pemanenan, usia umbi, kondisi tanah, agroklimat dan distribusi geografis (Richana dan Sunarti, 2004; Mishra dkk., 2010).

4.2 Pemilihan Pelarut

Pemilihan pelarut merupakan hal yang fundamental guna mencapai proses ekstraksi yang optimal. Dasar pemilihan pelarut pada proses ekstraksi gelombang mikro adalah kelarutan senyawa target proses ekstraksi, interaksi antara pelarut dengan dengan matriks bahan serta sifat atau kemampuan pelarut dalam menyerap energi gelombang mikro yang ditandai dengan nilai konstanta dielektrik bahan ( ) (Brachet dkk., 2002; Mandal dkk., 2007, Kauffman dkk., 2007).

' ε

(41)

Parameter kelarutan merupakan suatu konsep yang dapat digunakan sebagai parameter pemilihan pelarut. Penggunaan parameter kelarutan dalam pemilihan pelarut adalah berdasar aturan kimia yang telah dikenal yakni “like dissolved like”. Jika gaya antar molekul antara molekul pelarut dan solut memiliki kekuatan yang mirip, maka pelarut tersebut merupakan pelarut yang baik bagi solut tersebut. Parameter kelarutan Hildebrand bagi senyawa polar dan senyawa yang memiliki ikatan hidrogen dinyatakan sebagai akar penjumlahan kuadrat dari parameter kelarutan parsial Hansen (Stefanis dan Panayiotou, 2008). Nilai parameter kelarutan Hansen komponen dispersi ( ), komponen polar ( ) dan komponen ikatan hidrogen ( ) diestimasi menggunakan metode kontribusi gugus fungsional berdasar persamaan 5-7 (Stefanis dan Panayiotou, 2008; Kang, dkk., 2001).

d

δ δp

hb

δ

Hasil estimasi parameter kelarutan Hildebrand menunjukkan bahwa nilai parameter kelarutan Hildebrand alkaloid gadung adalah 28,34 MPa1/2. Nilai beberapa pelarut bagi alkaloid gadung disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai konstanta dielektrik dan parameter kelarutan Hildebrand pelarut alkaloid gadung (Mandal dkk., 2007; Kang dkk., 2001)

Pelarut Parameter kelarutan Hildebrand (MPa ½) Konstanta dielektrik ε' Air Metanol Etanol 2-propanol Aceton Chloroform Methyl Ether Diethyl ether Benzene Petroleum ether 48,0 29,7 26,1 23,8 19,7 18,7 18,6 15,4 18,6 15,8 78,3 32,6 24,3 19,9 20,7 4,81 5,0 4,3 2,3 4,3

(42)

Alkaloid gadung diketahui dapat larut dalam air, alkohol, aceton dan kloroform serta sedikit larut dalam ether, benzene dan petroleum ether (Merck, 1999). Berdasarkan nilai parameter kelarutan alkaloid gadung dan pelarut, maka pelarut yang mungkin bisa digunakan dalam ekstraksi alkaloid gadung adalah air, metanol, etanol, 2-propanol, aceton dan kloroform.

Nilai konstanta dielektrik suatu bahan merupakan ukuran kemampuan pelarut dalam menyerap energi gelombang mikro (Tabel 6). Semakin tinggi nilai konstanta dielektrik bahan, maka kemampuan bahan untuk menyerap energi gelombang mikro semakin besar. Nilai konstanta dielektrik air adalah yang tertinggi dibandingkan etanol, metanol, aceton dan kloroform, sehingga dibawah pengaruh gelombang mikro, laju pemanasan air adalah yang paling cepat. Konstanta dielektrik kloroform adalah yang terendah, oleh karena itu kloroform tidak berpotensi sebagai pelarut yang baik bagi ekstraksi alkaloid gadung. Oleh karena itu, kandidat pelarut yang tersisa bagi ekstraksi alkaloid adalah air, metanol, etanol, 2-propanol dan aceton.

Metanol merupakan bahan kimia yang dapat mengakibatkan kebutaan, koma dan kematian. Sedangkan aceton dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan, pusing, lemah, dan gangguan sistem reproduksi. Berdasarkan pertimbangan keamanan bagi manusia, maka metanol dan aceton tidak lagi menjadi pilihan sebagai pelarut yang baik bagi ekstraksi alkaloid gadung.

Berdasar pertimbangan bahwa jika dibandingkan dengan 2-propanol maka air dan etanol adalah pelarut yang lebih murah, mudah diperoleh, dan disukai konsumen (Gertenbach, 2002), maka pelarut terpilih mengerucut kearah air dan etanol.

4.3 Pengaruh Waktu Ekstraksi

Limapuluh gram tepung gadung diekstraks alkaloidnya menggunakan etanol 96% dengan rasio pelarut-bahan baku 10:1 pada daya 100 W. Pengaruh waktu ekstraksi berbantu gelombang mikro terhadap rendemen ditunjukkan pada Gambar 7.

(43)

Gambar 7 memperlihatkan bahwa rendemen semakin besar seiring dengan semakin lamanya waktu ekstraksi. Rendemen mampu mencapai 82,69% dari jumlah alkaloid awal pada waktu ekstraksi 20 menit. Rendemen pada waktu lebih dari 20 menit tidak menunjukkan perubahan yang berarti, sehingga 20 menit dapat dianggap sebagai waktu terbaik bagi proses ekstraksi alkaloid tepung gadung.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sejenis yang dilaporkan di literatur. Secara umum, waktu optimum dalam ekstraksi gelombang mikro berkisar antara 15-20 menit (Mandal dkk., 2007). Rostagno dkk. (2007) mengekstrak isoflavone pada tepung kedelai menggunakan etanol 50% pada suhu 500C. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai rendemen optimum adalah 20 menit. Hasil senada juga ditunjukkan oleh Chen dkk. (2007). Mereka mengekstrak triterpenoid alkaloid dari Ganoderma atrum dengan pelarut etanol 95% pada suhu 700C. Rendemen triterpenoid saponin meningkat seiring dengan meningkatnya durasi pada awal-awal ekstraksi dan mencapai titik maksimum yakni 1,066% pada waktu 20 menit.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 5 10 15 20 25 30 35 40 waktu (menit) re n d e m e n ( % )

(44)

Beberapa proses ekstraksi menggunakan gelombang mikro membutuhkan waktu yang lebih lama dari 20 menit. Bai dkk. (2006) mengekstrak triterpenoid dari akar Actinidia deliciosa menggunakan ekstraksi berbantu gelombang mikro. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa proses ekstraksi menggunakan gelombang mikro optimum pada waktu ekstraksi 30 menit dengan persentase triterpenoid yang terekstrak mencapai 84,69%. Namun demikian, tidak sedikit peneliti yang melaporkan bahwa waktu optimum proses ekstraksi dengan gelombang mikro adalah jauh lebih singkat. Dhobi dkk. (2009) menyatakan bahwa waktu optimum proses ekstraksi silybinin dalam 6 menit dengan rendemen ekstraksi mencapai 0,72% b/b. Hal senada juga dinyatakan oleh Wang dkk. (2007), dimana ekstraksi pektin dari apel membutuhkan waktu 40 detik untuk memperoleh hasil ekstraksi yang optimum.

Gambar 7 menunjukkan bahwa rendemen pada waktu ekstraksi lebih dari 20 menit adalah konstan. Namun demikian bila dilihat dari berat alkaloid pada rafinat maka seiring dengan meningkatnya waktu ekstraksi, maka berat alkaloid yang hilang adalah semakin besar (Gambar 8).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Waktu (menit) p er sen tase al kal o id h il an g ( % )

(45)

Berat alkaloid yang hilang pada ekstraksi dengan gelombang mikro semakin besar setelah waktu ekstraksi lebih dari 20 menit. Hilangnya alkaloid pada waktu ekstraksi yang lama disebabkan alkaloid gadung mengalami dekomposisi akibat panas yang ditimbulkan oleh paparan gelombang mikro.

Bahwa waktu ekstraksi gelombang mikro yang lama mengakibatkan turunnya rendemen dan mengakibatkan terjadinya dekomposisi senyawa fitokimia juga dilaporkan oleh beberapa peneliti, diantaranya Chen dkk. (2007) dan Pan dkk. (2001). Chen dkk. (2007) menyatakan bahwa pada ekstraksi triterpenoid saponin dengan durasi esktraksi melebihi waktu operasi optimumnya yakni melebihi waktu 20 menit, rendemen triterpenoid saponin turun seiring dengan semakin meningkatnya waktu ekstraksi. Hal tersebut disebabkan triterpenoid saponin mudah terdegradasi termal bila berada pada suhu yang tinggi dan waktu yang lama, oleh karenanya pada waktu ekstraksi yang lebih lama, triterpenoid saponin terdekomposisi. Hasil penelitian oleh Pan dkk. (2001) menunjukkan bahwa jika waktu ekstraksi berbantu gelombang mikro lebih dari 2 menit, persentase ekstraksi tanshiones cenderung turun karena tanshiones mudah terdekomposisi pada suhu tinggi dan waktu paparan yang lama.

Tabel 7. Hasil ekstraksi pada berbagai waktu ekstraksi Waktu ekstraksi

(menit)

Berat ekstrak (g)

Berat alkaloid ekstrak (g) Selektivitas (%) 5 0,6041 0,2048 33,90 10 0,7450 0,3296 44,24 15 0,9297 0,3932 42,29 20 0,9662 0,4563 47,22 25 0,9953 0,4601 46,23 30 1,0047 0,4685 46,63 35 1,0171 0,4679 46,00

(46)

Hasil analisis terhadap berat ekstrak menunjukkan bahwa selektivitas ekstraksi berbantu gelombang mikro dengan lama ekstraksi 20 menit mencapai 47,22% (Tabel 7). Setelah waktu ekstraksi diatas 20 menit, selektivitas ekstraksi cenderung turun, hal itu disebabkan setelah mencapai waktu optimum, alkaloid terdekomposisi. Hal tersebut sesuai dengan data yang ditunjukkan oleh Gambar 8 dimana alkaloid yang hilang pada waktu ekstraksi lebih dari 20 menit adalah semakin besar.

4.4 Pengaruh Konsentrasi Etanol

Limapuluh gram tepung gadung diekstraksi mengunakan pelarut etanol dengan rasio pelarut-bahan baku 10:1 pada daya 100 W selama 20 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen tertinggi yakni 85,37% dicapai oleh proses ekstraksi dengan penggunaan pelarut etanol 85% (Gambar 9).

50 55 60 65 70 75 80 85 90 70 75 80 85 90 95 100 Konsentrasi etanol (%) R e nde m e n ( % )

Gambar 9. Pengaruh konsentrasi etanol terhadap rendemen

Adanya sejumlah kecil air dapat meningkatkan proses perpindahan massa dengan jalan meningkatkan polaritas relatif pelarut sehingga dapat meningkatkan

(47)

kapasitas pelarutan, dan melalui pembengkakan material tanaman (effective swelling) akan berakibat terjadinya peningkatan luas permukaan bagi terjadinya interaksi antara pelarut dan solut (Pan dkk., 2001; Dhobi dkk., 2009; Wang dkk., 2010). Namun demikian, bila air berlebih maka akan terjadi pembengkakan berlebih. Pembengkakan berlebih akan menyebabkan terjadinya thermal stress yang berlebih akibat timbulnya panas yang cepat pada larutan. Akibatnya pada konsentrasi etanol yang lebih kecil, rendemen cenderung turun karena dengan terjadinya pembengkakan dan thermal stress yang berlebih maka semakin banyak pula alkaloid yang terdekomposisi.

Hasil senada disampaikan oleh Pan dkk. (2001), Kwon dkk. (2003), dan Chen dkk. (2007). Chen dkk. (2007) mengekstrak triterpenoid dari Ganoderma atrum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen triterpenoid meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi etanol. Kwon dkk. (2003) meneliti mengenai pengaruh konsentrasi etanol terhadap rendemen saponin jahe. Hasil penelitian menunjukan bahwa rendemen saponin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi etanol dari 60-75%. Pan dkk. (2001) melakukan kajian terhadap pengaruh konsentrasi etanol dalam ekstraksi tanshiones dari akar Salvia miltiorrhiza bunge. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa rendemen tertinggi dicapai dalam ekstraksi menggunakan etanol dengan konsentrasi 95%. Mereka menyatakan bahwa air dapat merasuki akar Salvia miltiorrhiza bunge dengan mudah, sehingga meningkatkan

kemampuannya dalam menyerap energi gelombang mikro.

Selain mengakibatkan pembengkakan berlebih pada material tanaman dan mengakibatkan turunnya rendemen, semakin rendahnya konsentrasi etanol juga menyebabkan turunnya selektivitas ekstraksi (Tabel 8). Hal itu disebabkan pada konsentrasi etanol yang rendah, senyawa selain alkaloid seperti glukosida, protein dan pati semakin mudah larut. Hal senada disampaikan oleh Xiang dkk. (2010), dimana dinyatakan bahwa pada konsentrasi etanol yang rendah, protein, pati dan glukosida semakin mudah larut sehingga mengakibatkan turunnya perolehan ekstrak sapogenin.

(48)

Tabel 8. Selektivitas ekstraksi pada berbagai konsentrasi etanol Konsentrasi etanol (%) Berat ekstrak

(g)

Berat alkaloid ekstrak (g) Selektivitas (%) 96 0,9662 0,4563 47,22 90 0,9642 0,4691 48,65 85 0,9450 0,4711 49,85 80 0,9182 0,3242 35,30 75 0,9137 0,3179 34,79

Berdasarkan data parameter kelarutan Hildebrand pelarut serta hasil perhitungan parameter kelarutan Hildebrand alkaloid gadung yang bernilai 28,34 MPa½, maka secara teoritis konsentrasi pelarut yang paling optimum adalah etanol dengan konsentrasi 89,74% (Gambar 10). Bila dibandingkan dengan data percobaan, dimana konsentrasi optimum adalah pada konsentrasi etanol 85%, maka perbedaan tersebut disebabkan oleh pengaruh adanya bahan lain selain alkaloid dan pelarut didalam sistem ekstraksi seperti adanya lemak, protein, sapogenin dan (Setyowati dan Siagian, 2004). y = -0.219x + 48 20 25 30 35 40 75 80 85 90 95 100 konsentrasi etanol (%) p a ra m e te r k e la ru ta n Hi ld e b ra n d (M P a )

(49)

4.5 Pengaruh Rasio Pelarut-Bahan Baku

Volume pelarut merupakan hal yang harus diperhatikan dalam suatu proses ekstraksi. Volume pelarut harus cukup guna meyakinkan bahwa seluruh bahan terendam dalam pelarut (Mandal dkk., 2007). Umumnya dalam teknik ekstraksi konvensional, rasio pelarut-bahan baku yang lebih besar akan meningkatkan perolehan ekstrak, namun dalam ekstraksi gelombang mikro rasio pelarut-bahan baku yang lebih besar dapat mengakibatkan turunnya perolehan ekstrak (Mandall dkk., 2007; Chen dkk., 2007; Pan dkk., 2001; Wang dkk., 2010). Selain berakibat pada turunnya rendemen, dari segi ekonomis, jumlah pelarut yang berlebih juga tidak menguntungkan karena berakibat pada tingginya biaya bahan baku dan pemurnian.

Guna mengetahui pengaruh rasio pelarut-bahan baku terhadap rendeman ekstraksi alkaloid tepung gadung, percobaan dilakukan dengan meningkatkan rasio pelarut-bahan baku dari 10:1-20:1. Data pengaruh rasio pelarut-bahan baku terhadap rendemen disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Pengaruh rasio pelarut-bahan bakuterhadap rendemen

5 0 6 0 7 0 8 0 9 0 1 0 0 7 . 5 1 0 1 2 . 5 1 5 1 7 . 5 2 0 2 2 . 5 ra s io p e la ru t-b a h a n b a k u re nde m e n ( % )

(50)

Gambar 11 menunjukkan bahwa rendemen tertinggi yakni 86,66% dicapai pada ekstraksi dengan rasio pelarut-bahan baku 12,5:1. Ekstraksi dengan rasio pelarut-bahan baku lebih besar dari 12,5:1 menghasilkan rendemen yang lebih rendah. Hal itu mungkin disebabkan pada rasio pelarut-bahan baku yang lebih tinggi, volume pelarut jauh lebih banyak, demikian juga dengan volume air yang terdapat didalam campuran pelarut. Adanya air yang berlebih mengakibatkan terjadinya pembengkakan berlebih (excessive swelling) pada material yang diekstraksi yang berakibat timbulnya thermal stress yang berlebih yang disebabkan oleh timbulnya panas yang cepat pada larutan akibat dari penyerapan gelombang mikro oleh air Thermal stress yang berlebih akan berakibat negatif terhadap senyawa-senyawa fitokimia (Chen dkk., 2007; Wang dkk., 2010).

Hasil senada disampaikan beberapa peneliti, diantaranya Chen dkk. (2007) dan Wang dkk. (2010). Chen dkk. (2007) melaporkan bahwa pada ekstraksi triterpenoid saponin dari Ganoderma atrum dengan menggunakan etanol 70%, rendemen optimum dicapai pada rasio pelarut-bahan baku 25:1. Wang dkk. (2010) melaporkan bahwa pada rasio pelarut-bahan baku lebih dari 30:1, rendemen flavanoid dari ekstraksi berbantu gelombang mikro adalah cenderung semakin turun.

4.6 Pengaruh Daya Pada Alat Pembangkit Gelombang Mikro

Daya pada alat pembangkit gelombang mikro serta lama waktu ekstraksi merupakan dua faktor yang saling mempengaruhi. Kombinasi daya yang rendah dan waktu ekstraksi yang panjang merupakan pilihan yang bijak mengingat kombinasi tersebut dapat menghindari terjadinya degradasi termal produk (Mandal dkk., 2009). Secara umum, efisiensi ekstraksi meningkat seiring dengan meningkatnya daya mikrowave dari 30-150 W (Shu dan Ko, 2003). Meningkatnya efisiensi pada daya rendah dicapai pada ekstraksi dengan durasi yang singkat. Namun demikian pada daya yang lebih tinggi (400-1200W), variasi daya tidak memberikan pengaruh yang nyata pada rendemen ekstraksi (Gao dkk., 2006).

(51)

Pada penelitian ini hasil terbaik diberikan pada ekstraksi dengan daya mikrowave yang rendah yakni 100 W. Semakin tinggi daya yang digunakan, maka rendemen semakin rendah (Gambar 12).

Hasil yang senada dilaporkan oleh Fernandes dkk. (2001). Mereka mengesktrak senyawa organoklorin dari sedimen laut. Ekstraksi senyawa organoklorin pada daya yang lebih tinggi mengakibatkan turunnya perolehan ekstrak. Fernandes dkk. (2001) menyatakan bahwa energi gelombang mikro mempengaruhi laju ekstraksi dan juga berpengaruh terhadap penguapan senyawa analit. Turunnya perolehan ektrak pada ekstraksi senyawa organoklorin mungkin disebabkan terjadinya penguapan senyawa organoklorin akibat kenaikan temperatur yang tinggi selama proses ekstraksi pada daya tinggi.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 re n d e m e n ( % ) Daya (W)

Gambar 12. Pengaruh daya terhadap rendemen

Ada tiga kemungkinan yang menyebabkan turunnya rendemen pada daya yang lebih tinggi. Kemungkinan tersebut adalah pada daya tinggi dan waktu paparan yang lama alkaloid gadung terdekomposisi dan atau turun solubilitasnya.

(52)

Mandal dkk. (2007) menyatakan bahwa sebagian besar senyawa fitokimia mudah terdekomposisi oleh panas. Demikian halnya dengan alkaloid. Alkaloid umumnya bersifat basa. Kebasaan alkaloid menyebabkannya mudah mengalami dekomposisi terutama oleh panas (Lenny, 2006). Hal senada dikemukakan oleh Chen dan Lin. (2007). Mereka melakukan penelitian mengenai pengaruh panas terhadap alkaloid beberapa spesies dioscorea. Alkaloid dioscorea merupakan simpanan protein utama yang mencapai 80-85% dari protein total. Pemanasan terhadap ekstrak dioscorea pada suhu 500C mengakibatkan turunnya konsentrasi protein. Pemanasan pada suhu 600C mengakibatkan turunnya solubilitas protein dan pada suhu 800C intensitas alkaloid susah dideteksi. Sedangkan pemanasan pada suhu lebih dari 900C, alkaloid telah terdenaturasi atau terdekomposisi.

0 2 4 6 8 10 12 14 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 Daya (W) P e rs e n ta s e a lk a lo id h ila n g ( % )

Gambar 13. Alkaloid yang hilang pada ekstraksi dengan berbagai daya Apabila daya tinggi dan waktu paparan yang lama hanya menyebabkan turunnya solubilitas dari alkaloid gadung, maka dengan semakin besarnya daya yang digunakan, perolehan ekstrak akan semakin rendah, alkaloid yang hilang tetap kecil dan kadar alkaloid pada tepung gadung dirafinat tetap besar. Apabila daya tinggi dan waktu paparan yang lama hanya menyebabkan alkaloid terdekomposisi, maka

Gambar

Tabel 1. Nilai F d , F p  dan E h  komponen kontribusi gugus fungsional (Kang dkk., 2001)  Struktur gugus fungsi  F d (J 1/2 cm 3/2 /mol) F p (J 1/2 cm 3/2 /mol) E h  (J/mol)
Gambar 3. Spektrum elektromagnetik
Gambar 4. Profil suhu pemanasan konvensional dan gelombang mikro  Pemanasan gelombang mikro melibatkan tiga konversi energi, yaitu konversi  energi listrik menjadi energi elektromagnetik, energi elektromagnetik menjadi energi  kinetik, dan energi kinetik m
Tabel 2. Nilai konstanta dielektrik beberapa pelarut (Mandal dkk., 2007)  Pelarut  Konstanta dielektrik  ε '
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan diselenggarakannya tutorial ini tentunya adalah untuk membantu mengatasi masalah belajar mahasiswa khususnya masalah dalam mempelajari materi pelajaran yang tidak

Posisi strategis Selat Malaka bukanlah cerita manis dongeng sebelum tidur manusia- manusia Nusantara yang hanya berakhir se- bagai satu bab di buku pelajaran

Hasil penelitian menunjukan bahwa : 1 Perencanaan kegiatan ekstrakurikuler untuk meningkatkan prestasi belajar Ekstrakurikuler yaitu melalui program rutin, dan prioritas yang

Panggung komedi masih menjadi tema fovorit program acara televisi sampai saat ini, bahkan acara yang tidak berbasi panggung komedi seperti talk show hingga ceramah agama sekalipun

Salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi belajar agama Islam pada mahasiswa adalah penetapan tujuan (goal setting)yaitu sebuah perlakuan yang diberikan kepada

Apabila injap 1V dalam kedudukan bekerja maka saluran 1 akan bersambung dengan saluran 2 yang akan membawa udara masuk ke dalam ruang dalaman silinder

3 (Anda diminta menyediakan bukti identitas akan tetapi Anda tidak membawa paspor.) Berikan penjelasan dan katakan paspor Anda ada di mana.. 4 Katakan bahwa Anda akan kembali

Menurut UU No.7 tahun 1971, fungsi arsip dibedakan atas dua yaitu arsip dinamis dan arsip statis.Arsip dinamis adalah arsip yang masih secara langsung