• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA KONSEPTUAL"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

16

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL

Di dalam penelitian sosial, pemilihan dan penempatan teori secara benar dan memadai dianggap telah merampungkan hampir separoh pekerjaan penelitian. Oleh sebab itu, pengembangan kerangka teori penelitian menjadi suatu keharusan dalam melakukan penelitian, dengan maksud mengarahkan dan sekaligus membatasi ruang lingkup permasalahan yang hendak diteliti.

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka kontribusi teoritiknya akan diakomodir dalam beberapa konsep dan teori yang dibingkai menjadi kerangka konseptual. Sehingga, tidak terkesan kalau masing-masing berdiri sendiri melainkan satu dengan lainnya memiliki keterkaitan dan perpaduan menjadi ‘teori tunggal’ yang akan menjadi ‘alat’ untuk menganalisis peranan pemerintah sebagai fokus permasalahan dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi kerangka konseptualnya adalah sebagai berikut:

A. Pengertian Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial dalam disiplin ilmu adalah sebuah cabang ilmu yang relatif muda. Disiplin ilmu tersebut merupakan perpaduan disiplin ilmu sosiologi dan psikologi. Pengaruh dua disiplin ini memberikan pengertian mengenai kesejahteraan sosial. Akan tetapi dalam perubahan masyarakat dan segala permasalahannya, perkembangan ilmu kesejahteraan sosial bertransformasi sesuai konteks masyarakat sekarang. Sub bab ini akan membahas tentang pengertian dasar kesejahteraan sosial yang terdiri dari dua kata yaitu: kesejahteraan dan sosial.

(2)

17 Menurut Kamus Bahasa Indonesia,sejahtera berarti aman, bahagia, damai, makmur,

senang, dan sentosa.1 Dalam Kamus Bahasa Indonesia tersebut, kata dasar sejahtera

ini mengalami perubahan bentuk menjadi kesejahteraan setelah diberi prefiks (ke)

dan sufiks (an). Keadaan atau kondisi yang dimaksudkan di sini menunjuk pada hal sejahtera, yakni keselamatan, kemakmuran, dan ketentraman. Yang berarti terlepas

dari segala kesukaran dan gangguan.2 Maka kesejahteraan adalah kondisi sejahtera

atau keadaan selamat yang meliputi seluruh aspek hidup manusia. Karena itu, maksud dari kebutuhan tidak terbatas pada aspek ekonomi atau sesuatu yang bersifat jasmani misalnya uang, beras, dan benda lain. Keadaan sejahtera tidak diukur dengan skala anggaran pembiayaan hidup sebagai salah satu indikator kesejahteraan, tetapi harus mencakup juga kebutuhan lainnya yang termasuk dalam kebutuhan rohani dan sosial. Dalam artian kebutuhan manusia bukan cuma urusan perut atau soal makan dan minum saja, sehingga dalam kondisi kekurangan bukan miskin materi. Maka keadaan kemiskinan tidak cukup ditanggulangi dengan

memberi bantuan yang bersifat ‘charity’ seperti uang, beras, pakaian, sembako, dan

sebagainya. Konsep ini menyatakan aspek ekonomi dan aspek sosial yang menjadi kebutuhan manusia. Jadi aspek ekonomi bukan satu-satunya melainkan hanya merupakan salah satu parameter dari kesejahteraan itu sendiri. Sebab pengertian dari kesejahteraan adalah aspek sosial pula dalam perspekstif kesejahteraan sosial.

Istilah sosial berasal dari bahasa Latin; socius yang berarti kawan atau

teman. Manusia lahir apa adanya, yang memulai hidup dengan berkawan dan saling

1

T. Sumarnonugroho, Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial (Yogyakarta: PT Hanindita, 1984), 27.

(3)

18

membina kesetiakawanan. J. A. Ponsioen dalam buku ‘Sistem Intervensi

Kesejahteraan Sosial’ memberikan dua arti yang berbeda mengenai istilah sosial:3 Sosial diartikan sebagai suatu indikasi daripada kehidupan bersama makhluk manusia, umpamanya dalam kebersamaan rasa, berpikir, bertindak, dan dalam hubungan antar manusia, dan yang bersangkut paut dengan pembaharuan masyarakat yang bertujuan menanggulangi kemiskinan dan keterlantaran. Conyers,

di dalam Soetomomengelompokkan kata sosial ke dalam lima pengertian: Pertama,

kata sosial dihubungkan dengan dengan hiburan atau sesuatu yang menyenangkan. Kedua, kata sosial ditempatkan sebagai lawan kata individual. Dalam pengertian ini kata sosial cenderung ke arah pengertian sebagai kelompok orang, sehingga dapat

ditafsirkan sebagai society atau community. Ketiga, kata sosial diartikan sebagai

lawan menghasilkan objek fisik yang bersifat kebendaan, tetapi lebih berat pada

aspek manusianya. Keempat, kata sosial diartikan sebagai lawan kata ekonomi.

Dalam pengertian ini sosial dilihat sebagai salah satu aspek pembangunan yang berbeda dengan aspek atau pembangunan ekonomi, yang dicirikan sebagai hal-hal yang tidak langsung memengaruhi produktivitas dan memberikan manfaat ekonomi. Kelima, kata sosial diartikan dalam kaitannya dengan hak asasi dari seseorang sebagai anggota masyarakat. Apabila dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan,

berarti terpenuhinya kebutuhan sesuai harkat dan martabat serta hak asasi manusia.4

Dari beberapa uraian dasar di atas, meskipun di antaranya memiliki perbedaan namun substansi yang terkandung di dalamnya menjadi dasar terbentuknya pokok pikiran yang memberi pengertian lengkap mengenai

3 Ibid., 7-8.

4 Soetomo, Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 311.

(4)

19 kesejahteraan sosial. Dalam hal ini konsep kesejahteraan sosial dipahami sebagai kondisi sejahtera karena terpenuhinya kebutuhan dalam berbagai dimensinya dan

bagaimana cara memenuhi kebutuhan. Midgley5 menjelaskan secara sistematis

bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu keadaan sejahtera yang mencakup tiga unsur yakni pertama, setinggi apa masalah-masalah sosial dikendalikan. Kedua, seluas apa kebutuhan-kebutuhan dipenuhi, dan ketiga, setinggi apa kesempatan-kesempatan untuk maju tersedia. Ketiga unsur ini berlaku bagi individu-individu, keluarga-keluarga, komunitas-komunitas, dan bahkan seluruh masyarakat.

Masyarakat di Lirung memiliki pengertian yang serupa tentang konsep dimaksud, tetapi cara pendekatan yang beda. Menurut masyarakat kesejahteraan sosial bukan urusan makan, punya pakaian, dan rumah sebagai tempat tinggal. Hal-hal tersebut yang utama dibutuhkan, namun ada kebutuhan dasar lain yakni hak untuk melakukan usaha. Masyarakat tidak puas bila kebutuhan yang diterima hanya berbasis pada anggaran yang sifatnya sementara dalam mengatasi masalah kesejahteraan. Masyarakat Lirung memerlukan program yang memiliki investasi sosial dalam rangka perwujudan kesejahteraan sosial. Dari sini dalam konsep kesejahteraan sosial masyarakat Lirung adalah terarah pada suatu kegiatan terorganisir yang dirancang oleh individu dan kelompok agar kesejahteraan hidup dapat meningkat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Maka kesejahteraan sosial dimaksudkan sebagai kumpulan kegiatan yang bermaksud untuk memungkinkan

5

James Midgley, Social Development; The Development Perspective in Social Welfare (London: SAGE Publications Inc, 1995), 14.

(5)

20 individu-individu, keluarga-keluarga, dan komunitas-komunitas agar mencapai hubungan-hubungan personal dan sosial yang memberikan kesempatan kepada individu dan komunitas untuk mengembangkan kemampuan dalam usaha sebahai investasi sosial bersama dalam masyarakat.

Di Indonesia konsep kesejahteraan sosial telah dirumuskan dalam Undang-undang RI Nomor 6 tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, sebagai berikut :

Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjungjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.

Konsep kesejahteraan sosial ini merujuk pada pembangunan kesejahteraan sosial sebagai usaha terencana dan melembaga yang meliputi berbagai pelayanan

sosial dengan maksud untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan manusia.6

Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok masyarakat, terutama kelompok

yang kurang beruntung (disadvantaged groups). Penyelenggaraan berbagai skema

perlindungan sosial (social protection) baik yang bersifat formal maupun

informal adalah aktivitas kesejahteraan sosial. Perlindungan sosial yang bersifat formal adalah berbagai skema jaminan sosial (social security) yang

diselenggarakan oleh negara yang umumnya berbentuk bantuan sosial (social

assistance) dan asuransi sosial (social insurance), tunjangan bagi orang cacat

atau miskin (social benefits atau doll), tunjangan pengangguran (unemployment

(6)

21 benefits), tunjangan keluarga (family assistance, di Amerika Serikat dikenal dalam

singkatan TANF: Temporary Assisstance for Needy Families). Beberapa skema yang

dapat dikategorikan sebagai perlindungan sosial informal antara lain usaha ekonomi

produktif, kredit mikro, arisan dan berbagai skema jaringan pengaman sosial (social

safety nets) yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat, organisasi sosial lokal, atau lembaga swadaya masyarakat.

Pengertian dalam istilah kesejahteraan sosial yang dihubungkan dengan bidang sosial, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan lain-lain, sebagai berikut : 1. Kesejahteraan Sosial menurut Arthur Dunham 7

Dunham mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial dan waktu senggang, serta standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial memberi perhatian utama terhadap individu-individu, kelompok-kelompok, komunitas-komunitas, dan kesatuan-kesatuan penduduk yang lebih luas; pelayanan ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan pencegahan. Ia menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial merupakan suatu bidang usaha kemanusiaan yang luas dan mencakup jenis-jenis badan organisasi dan bermacam-macam pelayanan. Menurut Dunham menyebutkan karakteristik pelayanan atau usaha kesejahteraan sosial di masa kini yaitu terorganisasi dan ekstensif. Usaha-usaha

(7)

22 tersebut merupakan respon terhadap kebutuhan manusia dan pelayanan ini menitikberatkan kepada kepentingan individu-individu, kelompok, komunitas

atau suatu kelompok yang lebih luas.8

2. Kesejahteraan Sosial menurut Harold Wilenski dan Charles N. Lebeaux Wilensky dan Lebeaux mengemukakan dua konsepsi kesejahteraan sosial

yakni, residual dan institusional.9

(1). Konsepsi residual didasarkan kepada dua saluran alami (natural chanels),

yaitu: keluarga dan ekonomi pasar (market economy). Kedua saluran ini

dapat menjamin pemenuhan kebutuhan individu, kelompok, dan masyarakat. Keluarga merupakan lembaga utama yang dipandang sebagai sistem untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Sedangkan ekonomi pasar dianggap sebagai wadah pemenuhan kebutuhan manusia yang diperoleh dengan cara membeli pelayanan yang tersedia atau apa yang diperlukan dari penghasilan yang dimilikinya. Konsep ini memandang bahwa kesejahteraan sosial adalah residu (sisa) yang

mengandung stigma sebagai ‘dole’ atau ‘charity’ (sedekah atau amal).

(2). Konsepsi institusional memandang pelayanan sosial sebagai fungsi yang tepat dan sah dalam masyarakat modern, karena dianggap sebagai hak warga negara. Negara dipandang dapat merefleksikan kepentingan-kepentingan masyarakat melalui perwakilan kelompoknya masing-masing,

8Ibid.; lihat http://www.dilibrary.net/images/topics/dunham.pdf diunduh 20 Oktober 2011.

9 Fadhil Nurdin, Pengantar Studi Kesejahteraan Sosial, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1990),

34-37; lihat uraian Suharto yang mengkaji konsep pembangunan kesejahteraan sosial, Edi Suharto,

Membangun Masyarakat…, 10-11; bandingkan Rukminto Adi yang mengutip pandangan Elliot dalam

paradigma kesejahteraan sosial, Isbandi Rukminto Adi, Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2002), 132; Ibid.

(8)

23 sehingga diharapkan kepada pemerintah untuk mengatur dan memberikan pelayanan sosial. Tetapi kebijakan pemerintah tak jarang menyebabkan sebagian warga masyarakat menjadi malas, manja dan tidak mau bekerja agar dapat memberi kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat.

Uraian di atas memberi dasar pemikiran bahwa tidak setiap individu dapat memenuhi semua kebutuhannya, tanpa harus berhubungan dengan suatu sistem yang berfungsi memberikan pelayanan agar kebutuhannya dapat terpenuhi. Dalam UU No. 11 Tahun 2009 pasal 1 ayat (2) menerangkan hal ini merupakan upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga masyarakat. Dengan pemahaman ini, maka kesejahteraan sosial di dalam berbagai bentuk kegiatannya meliputi

semua bentuk intervensi sosial10 terutama ditujukan untuk meningkatkan

kebahagiaan atau kesejahteraan kelompok, maupun masyarakat sebagai keseluruhan. Dari pengertian tersebut di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

 Kegiatan lembaga-lembaga sosial yang terorganisasi;

 Membantu individu atau kelompok;

 Mencapai standar hidup yang memuaskan;

 Mengembangkan kemampuan secara penuh, dan;

 Meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kebutuhan keluarga dan

masyarakat.

10

Istilah Kesejahteraan Sosial diberi batasan arti bahwa intervensi merupakan tindakan yang bertujuan untuk mengadakan perubahan dalam sistem-sistem sosial.

(9)

24 Dengan demikian maka dalam konsep kesejahteraan sosial adalah suatu sistem

atau ‘organized system’ yang berintikan lembaga-lembaga dan pelayanan sosial.

Dengan tujuan sistem tadalah mencapai tingkat kehidupan yang sejahtera dalam arti tingkat kebutuhan pokok, seperti: pangan, sandang, papan, kesehatan, dan juga relasi-relasi sosial dengan lingkungannya. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara meningkatkan kemampuan individu, baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam pemenuhan kebutuhannya.

Berdasarkan latar belakang yang mendasari pemikiran-pemikiran dalam pengertian kesejahteraan sosial tersebut. Maka tampak fungsi kesejahteraan sosial bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi tekanan-tekanan yang diakibatkan perubahan-perubahan sosial ekonomi, menghindarkan terjadinya konsekuensi-konsekuensi sosial yang negatif terhadap pembangunan serta

menciptakan kondisi-kondisi yang mampu mendorong peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Fungsi kesejahteraan sosial meliputi tujuan pembangunan kesejahteraan sosial dalam meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang mencakup peningkatan standar hidup melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat yang kurung beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial. Peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan. Penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksebilitas dan pilihan-pilihan kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.

(10)

25 Dari situ tampak bahwa dalam keadaan sejahtera yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohani dan sosial. Dalam hubungannya dengan institusi melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial. Dalam aktivitas yaitu suatu kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera. Sebagai suatu aktivitas, maka kesejahteraan sosial terkait dengan tindakan atau perbuatan manusia dalam menjalin kehidupan bersama dengan orang lain. Dalam konteks seperti ini maka interaksi sosial menjadi yang utama dari kehidupan bersama. Karena interaksi sosial merupakan pola pergaulan yang dipengaruhi oleh peranan, kedudukan, identitas dan citra diri seseorang. Peranan yang dimaksud adalah perbuatan atau cara bertindak dari pemerintah dalam mewujudkan kehidupan yang sejahtera bagi masyarakat.

Artinya pemerintah adanya bersama-sama masyarakat melaksanakan

kesejahteraan sosial di dalam peran dan fungsi masing-masing yang senergis dalam rangka kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dalam artian pemerintah tersebut yang menjadi fokus adalah pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial, yang dijelaskan pada bagian selanjutnya. B. Peranan Pemerintah dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial

Sejak dimulainya reformasi di Indonesia pada tahun 1998 berdampak pada perubahan struktur kekuasaan menuju demokrasi dan desentralisasi terhadap pelayanan yang sentral dari pemerintah (pemerintah daerah) menjadi tantangan pekerjaan yang mendesak untuk mengatur dan membangun masyarakat lokal. Ada beberapa peraturan undang-undang yang telah

(11)

26 mengalami perubahan dalam rumusan-rumusannya tentang fungsi kelembagaan yang sentral kepada pemerintah pusat kepada fungsi kelembagaan yang otonom dalam pemerintah daerah. Perubahan tersebut dalam peraturan perundang-undangan yaitu; Undang-Undang No 22 Tahun 1999, yang direvisi menjadi

Undang-Undang No 32 Tahun 2004 jo menjadi Undang-Undang No 12 Tahun

2008 adalah landasan yuridis dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 Tahun 2008 tentang pemerintahan kecamatan. Inti dari peraturan tersebut adalah penyelenggaraan pemerintahan lokal pada prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh daerah masing-masing. Demikian pula peranan dan fungsi pemerintah kecamatan dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pasal 33 UUD 1945 di dalam Bab XIV UUD 1945 berjudul “Kesejahteraan Sosial”. Menurut Sri-Edi Swasono (2001) “ penempatan Pasal 33 UUD 1945 di bawah judul bab ‘Kesejahteraan Sosial’ berarti pembangunan ekonomi nasional pada peningkatan kesejahteraan sosial.

Secara konseptual pembangunan kesejahteraan sosial menekankan pada

keberfungsian sosial (social functioning) manusia dalam kehidupan sosial

masyarakatnya. Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial adalah tercapainya kondisi kesejahteraan sosial yang adil dan merata serta berjalannya suatu sistem kesejahteraan sosial yang mapan dan melembaga sebagai salah satu piranti kehidupan masyarakat Indonesia dalam upaya menjadi bangsa yang maju, mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan

(12)

27 standar kemanusiaan. Sebagai salah satu sektor dari bidang kesejahteraan rakyat, sektor kesejahteraan sosial melaksanakan amanat UUD 1945 melalui pelayanan sosial yang diwujudkan dengan Usaha Kesejahteraan Sosial (yang disingkat UKS). UKS dilaksanakan melalui penyuluhan dan bimbingan sosial, pembinaan, rehabilitasi sosial, pemberian bantuan dan santunan, serta pencegahan munculnya permasalahan sosial yang baru dan pengembangan potensi sumber kesejahteraan sosial dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat. Sebab penanganan masalah sosial masih belum menyentuh persoalan mendasar.

Dari keterangan di atas maka kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi individu maupun kelompok dalam memenuhi kebutuhan hidup dan sosial dimana kondisi masyarakat dan pemerintah setempat sama-sama meningkatkan kesejahteraan sosial. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial, pemerintah kecamatan mesti melakukan tersedianya pemberdayaan masyarakat dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya. Istilah pemberdayaan meliputi kekuatan diri, kontrol, kekuasaan, kepercayaan diri, pilihan, martabat hidup terkait dengan nilai-nilai, kemampuan untuk memperjuangkan hak, kemandirian, pengambilan keputusan secara mandiri, bebas, dan kapabilitas (Narayan, 2002:10).

Pemberdayaan sebagai sebuah intervensi merupakan suatu upaya untuk memperkuat aset masyarakat berdasarkan lembaga, dan mengubah peraturan institusional yang mengatur perilaku dan interaksi antarmanusia. Dalam arti yang lebih luas, pemberdayaan merupakan perluasan dari kebebasan untuk

(13)

28 memilih dan bertindak. Ini dapat diartikan meningkatkan otoritas dan kontrol seseorang yang memiliki sumber daya yang terbatas. Keterbatasan ini dapat terjadi akibat kurangnya aset yang dimiliki ataupun ketidakmampuan untuk bernegosiasi guna meningkatkan ‘kemampuan’ mereka dengan institusi formal. Berdasarkan perundang-undangan tersebut maka peranan pemerintah kecamatan melaksanakan kebijakan, strategi dan program pada potensi lokal atau regional menjadi fokus pembangunan kesejahteraan sosial bersama-sama masyarakat kecamatan setempat. Pemerintah kecamatan yang dimaksud di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2008 menyebutkan kecamatan, atau wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota. Perangkat daerah kabupaten/kota adalah terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Dalam organisasi pemerintah kecamatan dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, dimana kecamatan memiliki kedudukan yang strategis dan memainkan peranan fungsional dalam pelayanan dan administrasi pemerintahan, pembangunan serta kemasyarakatan.

Kecamatan bukan sebagai wilayah administrasi pemerintahan melainkan wilayah kerja dari perangkat daerah. Peran dan fungsi Camat beralih menjadi perangkat daerah dalam lingkungan wilayah kecamatan. Camat secara teknis operasional dan administratif adalah bertanggung jawab kepada bupati. Demikian camat bertanggung jawab kepada bupati sebagai pimpinan dari tim kerja perangkat wilayah kecamatan. Peranan dan fungsi camat di dalam pemerintah kecamatan menjalankan fungsi kelembagaannya untuk pelaksanaan

(14)

29 program dan mengatasi masalah masyarakat dapat bekerja sama dengan instansi-instansi yang berhubungan dengan masalah-masalah setempat. Sebagai contoh misalnya; Departemen Sosial melaksanakan kegiatan sosial budaya lokal dan budidaya hasil alam. Departemen Kesehatan melaksanakan pembangunan kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional melaksanakan

pembangunan pendidikan, dan Departemen Agama melaksanakan

pembangunan moral. Keempat departemen ini berada di bawah koordinasi Menteri Koordinasi Kesejahteraan Sosial (Menko Kesra). Berarti pembangunan kesejahteraan sosial yang dihubungkan dengan peranan dan fungsi pemerintah adalah yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan, kebudayaan, dan agama. Pembangunan kesejahteraan sosial tersebut dapat dilaksanakan secara bertahap, terarah, terpadu, berencana, berkelanjutan, terorganisasi dan melembaga. C. Telaah Singkat Teori Fungsionalisme-Struktural

Dalam konteks peranan dan fungsi pemerintah dalam perwujudan kesejahteraan sosial tersebut ada satu bingkai paradigma teoritis yang relavan dengan hal tersebut dalam fungsionalisme struktural mengenai dari perspektif Robert Merton. Fungsionalisme struktural atau sering disebut aliran fungsionalisme adalah dalam ilmu sosial yang kemudian dikembangkan oleh Robert Merton, Talcott Parsons dan Neil Smelser. Teori ini tak secara langsung menjelaskan mengenai pemerintahan. Tetapi penganut aliran ini menyatakan bahwa masyarakat (yang di dalamnya terdapat pemerintah) adalah suatu sistem yang memiliki struktur dan terdiri dari banyak lembaga, di mana masing-masing lembaga memiliki fungsi sendiri-sendiri. Menurut penganut aliran ini,

(15)

30 masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik, keluarga sampai pemerintah) dan

masing-masing bagian selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan (equilibrium).

Teori ini berkembang untuk menganalisis tentang struktur sosial masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen meskipun dalam fungsi yang berbeda. Perbedaan fungsi tersebut diperlukan untuk saling melengkapi sehingga suatu sistem yang seimbang dapat terwujud. Oleh karena itu, tradisi berpikir fungsionalisme ini dibentuk menurut pembagian peran dan fungsi masing-masing dari setiap unit yang ada dalam suatu sistem agar tercipta keharmonisan hidup. Masyarakat, dalam pandangan penganut teori ini berubah secara evolusioner sehingga konflik dalam masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan. Teori ini memandang harmoni dan integrasi sebagai fungsional, bernilai tinggi dan harus ditegakkan, sedangkan konflik mesti dihindarkan. Jadi, teori ini menentang setiap upaya

yang akan mengguncang statusquo, termasuk hubungan yang terbangun dalam

masyarakat.

Teori struktural fungsional dalam menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat mendasarkan pada 7 (tujuh) asumsi.

1. Masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari berbagai bagian yang saling berinteraksi.

2. Hubungan yang ada bisa bersifat satu arah atau hubungan yang bersifat timbal balik.

(16)

31 3. Sistem sosial yang ada bersifat dinamis, di mana penyesuaian yang ada tidak

perlu banyak merubah sistem sebagai satu kesatuan yang utuh.

4. Integrasi yang sempurna di masyarakat tidak pernah ada, oleh karenanya di masyarakat senantiasa timbul ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan. Tetapi ketegangan dan penyimpangan ini akan dinetralisir lewat proses pelembagaan.

5. Perubahan-perubahan akan berjalan secara gradual dan secara perlahan-lahan sebagai suatu proses adaptasi dan penyesuian.

6. Perubahan adalah merupakan hasil penyesuaian dari luar, tumbuh oleh adanya diferensiasi dan inovasi.

7. Sistem dintegrasikan lewat pemilikan nilai-nilai yang sama.

Struktur dan fungsi, dengan kompleksitas yang berbeda-beda, ada pada setiap masyarakat, baik pada masyarakat modern maupun masyarakat primitif. Misalnya, lembaga sekolah mempunyai fungsi mewariskan nilai-nilai yang ada kepada generasi baru. Lembaga keagamaan berfungsi membimbing pemeluknya menjadi anggota masyarakat yang baik dan penuh pengabdian untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Lembaga ekonomi memiliki fungsi untuk mengatur proses produksi dan distribusi barang dan jasa di masyarakat. Lembaga politik berfungsi menjaga tatanan sosial agar berjalan dan ditaati sebagaimana mestinya. Lembaga keluarga berfungsi menjaga keberlangsungan perkembangan jumlah penduduk. Kesemua lembaga yang ada di masyarakat akan senantiasa saling berinteraksi daan satu sama lain akan melaksanakan penyesuaian sehingga masyarakat senantiasa berada pada

(17)

32 keseimbangan. Memang ketidakseimbangan akan muncul, tetapi ini hanya bersifat sementara. Karena adanya ketidakseimbangan di suatu lembaga, sehingga fungsi lembaga tersebut terganggu, maka akan mengundang lembaga lain untuk menyeimbangkan.

Asumsi dasar teori fungsional terletak pada cara pandang yang menyatakan bahwa masyarakat (sebagai sistem sosial) terintegrasi oleh adanya

kesepakatan bersama, collective consciousness. Kebersamaan dan kohesi sosial

dimungkinkan karena adanya hubungan fungsional antarbagian pembentuk

sistem, interdependency. Dengan demikian, kondisi masyarakat akan selalu

dalam keadaan equilibrium. Seandainya ada perubahan-perubahan-baik karena

faktor internal maupun eksternal-perubahan itu diyakini tidak akan sampai mengganggu integritas sosial atau keseimbangan sosial, sebab sifat perubahan yang terjadi lebih bersifat gradual ketimbang mendasar.

D. Kepemimpinan yang Melayani (Servant Leadership)

Masalah kepemimpinan selalu berkaitan dengan kuasa dan seorang pemimpin. Meskipun tidak semua pemimpin memiliki orientasi kepemimpinan yang tertuju kepada kekuasaan, namun dalam pengamatan masih ditemukan pemimpin yang mengaitkan kepemimpinannya dengan mengandalkan kuasa (power), kelimpahan kewenangan, pusat instruksi, powerfulness, yaitu sebagai master leadership yang menempatkan diri sebagai mental berkuasa yang kuat. Pemimpin lebih berperan sebagai ‘tuan yang dilayani’ daripada ‘pemimpin

yang melayani’. Demikian pemimpin selalu dikaitkan dengan kuasa (power),

(18)

33 untuk mempengaruhi orang lain. Cara bertindak seperti ini merupakan bentuk kepemimpinan konvensional yang ciri-cirinya tampak pada semangat tinggi untuk mengendalikan dan menekan orang lain sehingga hubungan yang dibangun bercorak transaksional dan mudah menimbulkan kompetisi tak sehat untuk mencapai puncak kepemimpinan. Pemimpin di sini lebih berperan sebagai penguasa tunggal yang berada di tangga teratas piramida sedangkan individu-individu yang menempati tangga piramida di bawahnya merupakan pelayan-pelayan yang patuh guna menjaga keseimbangan sistem.

Dalam isi dan arti kata ‘pemimpin’ dan’ kepemimpinan’ mempunyai corak yang beraneka ragam dalam pengertian dan pemakaian sehari-hari. Namun demikian, pada pokoknya tiap-tiap kepemimpinan akan menampakkan karakter pemimpin yang baik melalui sikap perilaku yang benar, baik, jujur, setia dalam pengabdian. Karakter baik dari seorang pemimpin seperti ini akan membuahkan kebaikan moral yang menjadi fondasi untuk membangun relasi sosial, baik secara horizon maupun vertikal. Kelebihan dari pemimpin yang memiliki karakter moral sedemikian itu selalu memiliki dasar tumpuan pada

konsep “ servant leadership” (kepemimpinan yang melayani).11

Gagasan dari konsep kepemimpinan yang melayani tersebut menurut Greenleaf terinspirasi dari keteladanan kepemimpinan Yesus yang berfokus pada kuasa namun kuasaNya tidak disalahgunakan untuk mencari keuntungan pribadi sehingga harus menekan dan memperalat pihak lain. Yesus menggunakan kuasaNya untuk menolong dan membantu banyak orang melalui

11 Konsep kepemimpinan yang melayani ini merupakan gagasan awal Robert Greenleaf

yang muncul sebagai bentuk tandingan dari corak kepemimpinan klasik yang berorientasi pada kuasa dan hirarki.

(19)

34 pelayanan, misalnya menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, dan lain-lain. Greenleaf menyatakan bahwa pemimpin besar mula-mula harus melayani orang lain, sebab kepemimpinan yang sejati timbul dari mereka yang memiliki motivasi utama untuk melayani orang lain. Menurutnya pembentukan jiwa dari kepemimpinan yang melayani, harus dimulai dari adanya perasaan alami untuk memiliki keinginan melayani lebih dulu, sebab pemimpin yang melayani adalah orang yang mula-mula menjadi pelayan. Konsep ini memanifestasikan diri dalam kepedulian yang diambil oleh pelayan, yang mula-mula menentukan bahwa kebutuhan prioritas tertinggi orang lain adalah dilayani. Pemimpin yang melayani memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, karena itu selalu ada keinginan untuk meningkatkan harga diri dan kebanggaan orang-orang yang dilayani. Hal ini semata-mata bukan melayani supaya mendapatkan hasil melainkan dampak dari perilaku untuk melayani itulah merupakan hasilnya.

Gagasan yang paradoksal ini12 sebenarnya telah menjadi perhatiannya

sejak tahun 1960, ketika ia diinspirasi oleh sebuah novel karya Hermann Hesse

berjudul ‘Journey of the East’. Kisah ini bagi Greenleaf sangat inspiratif, dan

menurutnya model kepemimpinan yang melayani ini menjadi pilihan yang tepat dalam memenuhi tuntutan akan kehadiran seorang pemimpin yang melayani. Ia bahkan menghadirkan sebuah perspektif baru dalam praktek kepemimpinan dengan memunculkan seorang pemimpin yang memiliki karakter sebagai pemimpin-pelayan. Namun, dalam realitanya sekarang ini banyak pemimpin yang memiliki konsep dan aksi kepemimpinan yang sangat

12 Konsep pemimpin dan pelayan sesungguhnya dua konsep yang bertentangan. Namun,

menurut Greenleaf, bila kedua konsep bertentangan ini diramu secara kreatif, maka akan memberi hasil yang luar biasa, selain mendorong timbulnya wawasan baru.

(20)

35 beda dengan keteladanan kepemimpinan yang diajarkan dan didemonstrasikan Yesus Kristus.

Konsep kepemimpinan Yesus Kristus sangat beda dalam menerapkan ajaranNya, Yesus yang tidak berfokus pada kuasa seorang pemimpin, namun kerendahan hati seorang pelayan. Pemimpin harus melayani daripada dilayani, sehingga paradigma bahwa pemimpin sebagai pelayan merupakan sebuah model kuat bagi pemimpin zaman sekarang yang dibangun atas model kepemimpinan Yesus. Pendekatan model kepemimpinan Yesus ini terutama menitikberatkan pada fungsi melayani dari pemimpin, atau pemimpin sebagai pelayan dalam model kepemimpinan yang melayani. Kepemimpinan yang melayani merupakan suatu pendekatan kepemimpinan yang meneropong fungsi pemimpin dari sisi yang menekankan penyebaran kewenangan ke semua titik, mendesain struktur, dan mendefinisikan kembali mengenai konsep

kepemimpinan yang sejati. Menurut Eka Darmaputera13 bahwa tanpa unsur

pelayanan, unsur-unsur kepemimpinan yang lain hanya memungkinkan orang

menjadi seorang pemimpin yang terampil (a skilled leader), atau seorang

pemimpin yang mampu (a capable leader), tetapi belum dapat memberinya

kualifikasi sebagai seorang pemimpin yang sejati (a true leader). Pemimpin

sejati adalah pemimpin yang punya sikap mental seorang pelayan. Ia adalah pemimpin yang menghamba sekaligus hamba yang memimipin. Seorang pemimpin dapat menjadi pemimpin yang melayani hanya bila ia menghayati

13

Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab (Yogyakarta: Kairos Books, 2005), 69.

(21)

36

makna perannya sebagai orang yang melayani.14 Dengan kata lain

kepemimpinan yang melayani hanya mungkin terjadi jika pemimpin memiliki hati yang melayani. Hati yang melayani mungkin dimiliki bila orang merasa berutang atas kasih Tuhan dalam hidupnya. Jika para pemimpin menghayati kepemimpinan yang melayani, maka tidak ada birokrasi yang berbelit-belit dan sentralisasi kekuasaan. Sebaliknya yang ada, ialah kedekatan relasi pemimpin dengan anggota; sebab pemimpin menyadari perannya sebagai pelayan yang melayani semua anggota dengan hati penuh kasih. Pelayanan kepemimpinan bukan sekedar pelayanan organisasional dan ritual, tetapi juga pelayanan pastoral (penggembalaan). Ini berarti pemimpin memandang setiap anggota jemaat sebagai pribadi yang perlu didekati dengan penuh penghargaan dan kasih, mau mendengarkan keluhan-keluhan dan kritik-kritik mereka. Dalam kepemimpinan yang melayani dibutuhkan peran pemimpin sebagai gembala. Model Peran Pemimpin sebagai Gembala di dalam Alkitab

Berbicara tentang pemimpin tak dapat dipungkiri bahwa ada pemimpin yang baik dan ada juga pemimpin yang jahat. Pemimpin yang baik adalah bersungguh-sungguh berupaya menciptakan kesejahteraan bagi orang yang dipimpinnya. Artinya, pemimpin tersebut tidak mencari keuntungan dari kepemimpinannya dengan memperkaya diri sendiri. Sebaliknya, pemimpin yang jahat hanya mencari keuntungan diri sendiri tanpa mau peduli dengan keadaan orang-orang yang dipimpinnya. Dalam konteks Alkitab tentang pemimpin tidak beda dengan arti pemimpin pada umumnya yakni ada yang

(22)

37 baik dan ada yang jahat. Seorang pemimpin di dalam alkitab akan dikenali melalui beberapa sebutan yang menggambarkan sosok pemimpin. Gembala, adalah salah satu sebutan yang diperuntukkan bagi seorang pemimpin di dalam alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Sebagai contoh misalnya dalam I Samuel 16:11 diceritakan bahwa pekerjaan Daud sebelum menjadi raja adalah sebagai gembala. Mazmur pasal 23 pun Allah disebut sebagai gembala yang memelihara domba-dombaNya, sehingga mereka tidak kekurangan suatu apapun. Tokoh gembala pun sering muncul dalam kitab-kitab Injil, seperti dalam Yohanes 10:1-14 yang menekankan Yesus sebagai Gembala yang baik dan mengenal setiap domba kawananNya. Penekanan yang ada memperlihatkan adanya hubungan antara Gembala dan kawanan domba, bahkan setiap domba.

Pada zaman Alkitab ditulis pekerjaan sebagai seorang gembala di negeri Israel adalah hal biasa yang sering terlihat. Di Israel pemimpin sering disebut sebagai gembala, sedangkan umat disebut kawanan domba. Tugas seorang gembala sungguh berat. Dari pagi sampai malam gembala berjalan bersama kawanan dombanya mencari sumur untuk mengambil air minum pada siang hari. Di tempat yang kurang subur, dimana sedikit rumput yang dapat dimakan oleh domba-domba, seorang gembala harus membimbing kawanan dombanya ke tempat yang hijau, yang banyak rumputnya. Tanpa pertolongan gembala, tentulah domba-domba jadi kelaparan dan kehausan. Peranan dan fungsi gembala yang harus menembus jalan sulit dan menuntun domba-dombanya agar tidak tersesat, dan kembali ke kandangnya dengan aman.

(23)

38 Dalam Alkitab Perjanjian Lama I Samuel 17:34-36, bahwa Daud merupakan gembala yang tangguh dalam menghadapi singa dan beruang. Daud berjuang sampai ia berhasil menyelamatkan domba atau kambing yang mau dirampas dan dibunuh. Keberadaan umat ditentukan oleh pemimpin atau gembala mereka, apakah umat hidup dalam damai sejahtera atau hidup dalam kehancuran? Sebagaimana keadaan yang dialami oleh umat Israel pada zaman Nabi Yehezkiel berkarya. Para pemimpin umat di Israel tidak melaksanakan tugas dengan baik untuk melindungi umat, malahan akibat dari perbuatan merekalah akhirnya umat dimangsa oleh binatang buas (bangsa lain). Dalam penggambaran tentang gembala, Yehezkiel mempunyai gambaran suram terhadap gembala-gembala korup, yang hanya memikirkan keuntungan diri sendiri (Yehezkiel 34:1-10). Pada zaman Yehezkiel umat Tuhan mengalami kepahitan hidup karena mereka harus menerima kenyataan terbuang dari negeri sendiri. Dan, keberadaan umat ini tidak lepas dari peran pemimpin di Israel. Pemimpinlah yang menyebabkan umat Tuhan hidup dalam penderitaan. Sebab, pemimpin tidak lagi memperhatikan keadaan umat melainkan mereka lebih menyibukkan diri dengan mencari keuntungan pribadi melalui kuasa yang mereka miliki. Sikap yang tidak bertanggung jawab dari para pemimpin ini mengakibatkan umat mengalami penderitaan. Karena itu, Tuhan menugaskan Yehezkiel untuk menegur para pemimpin tersebut. Dengan berlatar belakang masa sesudah kehancuran Yerusalem, Yehezkiel tampil untuk menyampaikan hukuman Tuhan kepada gembala yang ceroboh, sebab telah membiarkan domba-domba terserak. Ia

(24)

39 menyalahkan raja-raja yang dulu berkuasa. Karena kesalahan merekalah, maka bangsa Israel kini menderita. Para penguasa bukan saja tidak melindungi rakyatnya, tetapi malah merampok, menekan dan menyiksanya sampai mati agar mereka memperoleh harta dari rakyat yang telah mereka tindas. Terhadap gembala yang demikian bahwa Tuhan sendiri akan menjadi lawan dari gembala gembala itu (ayat 10) dan Dia akan menuntut juga domba-dombaNya dari tangan para gembala serta akan memberhentikan mereka pula. Tuhan bahkan tidak segan-segan untuk melakukan ancaman terhadap gembala yang tidak setia dan tidak becus dalam melakukan pekerjaan (bandingkan Yeremia 23:1-4). Yehezkiel menekankan kesalahan-kesalahan tersebut agar pemerintah seperti ini tidak akan muncul lagi di tengah-tengah Israel. Mulai sekarang Yahweh sendirilah yang akan mengurusi domba-dombaNya, terutama mereka yang lemah dan terluka. Ia akan kembali mengumpulkan kawanan domba-Nya, dan membawanya pulang ke asalnya. Ia akan membawa kawananNya itu ke padang rumput subur (ayat 11-16). Tetapi, tidak semua domba akan dipulangkan oleh Yahweh. Dalam ayat 17 ada nuansa baru. Allah menjelaskan hubungan baik di antara dombaNya, yang harus dipatuhi oleh kawanan itu. Peraturan itu terutama menyangkut hubungan antara domba yang kuat dan yang lemah. Yang kuat tidak boleh menekan yang lemah. Allah akan menyingkirkan mereka yang selalu bersikap jahat.

Gambaran ini pula yang diperoleh gereja yang mula-mula sebagai warisan. Yesus dilihat sebagai gembala dan penuntun (I Petrus 2:25).

(25)

40 Penekanan yang ada memperlihatkan adanya hubungan antara Gembala dan kawanan domba, bahkan setiap domba. Relasi setara yang terjadi diantara Gembala dan kawanan dombanya menciptakan suasana keakraban. Sebagai Gembala yang baik, domba-dombaNya dipanggil menurut nama masing-masing dan dikenal satu per satu, misalnya ada yang disebut kaki putih, telinga hitam, moncong coklat, dsb. Domba-domba itu pun sangat mengenal dan akan mendengar suara dari Gembala yang mempunyai seruan dan panggilan tertentu. Dengan sendirinya domba akan mengikuti suara dan gaya gembala (ayat 3,4). Bila ada domba yang kebetulan kurang memperhatikan, maka lemparan bandil atau acungan tongkat akan menyadarkan domba itu untuk kembali berkumpul dengan kawanan domba lainnya. Bilamana keadaan dan kondisi yang tercipta ini karena cara perlakuan gembala kepada domba sangat baik, dengan sendirinya pun para domba ini memiliki kepekaan apabila ada suara orang asing yang mengejutkan dan menimbulkan kecurigaan bagi para domba. Hal ini oleh Yohanes dilukiskan sebagai perbedaan antara gembala sejati dan upahan (ayat 12-13).

Gambaran tentang cara pemimpin melayani tersebut di atas bukan hal yang sulit terkait dengan pribadi dari pemimpin itu sendiri. Namun, hal ini masih jauh perwujudannya bila diamati dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kecamatan Lirung. Keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat masih rendah. Sejauh ini pelayanan yang diberikan masih bersifat karitatif, belum ada tindakan yang lebih selain pengadaan ‘proyek-proyek sosial’. Padahal sesungguhnya masyarakat memiliki harapan

(26)

41 kepada pemerintah setempat agar dalam melakukan upaya perbaikan terhadap taraf hidup warga masyarakat bukan sudah memberi bantuan dalam berbagai program pembangunan kesejahteraan sosial, melainkan lebih pada jaminan untuk mendapat kesempatan yang sama dalam memfungsikan peranan dan fungsi sosial dari warga di dalam masyarakat setempat.

Referensi

Dokumen terkait

Terbentuknya kecerdasan bersama pada penonton 7MH terlihat dari beberapa indikasi yang telah dibahas, yaitu (1) terbentuknya inisiatif individu untuk terhubung dengan

terhadap penerapan model pembelajaran levels of inquiry dalam materi termokimia. Tahapan pada Levels of Inquiry yang diterapkan pada penelitian ini

a) Literasi : Peserta didik diberi motivasi dan panduan untuk melihat, mengamati, membaca dan menuliskannya kembali. Mereka dibagikan teks bahan bacaan terkait

Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol, fraksi metanol, fraksi n-heksan, dan fraksi kloroform Bintang Laut Linckia laevigata terhadap bakteri Escherichia

kinerja di keseluruhan sistem, maka dapat mengetahui kemampuan dari sistem untuk mencari ketepatan atau kebenaran dari informasi yang diminta oleh pengguna dengan

Berikut struktur SQL untuk pencarian data menggunakan LIKE : select * from nama_tabel where nama_kolom like ‘operator’; Contoh : Mencari data pegawai yang mempunyai nama dengan

Suharta dan Luthan, P.L.A., 2013, Pengembangan Model Pembelajaran dan Penyusuan Bahan Ajar dengan pendekatan PAKEM PLUS untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan

ABSTRAK : Tujuan penelitian, ialah untuk mengetahui kinerja keuangan pada perusahaan semen yang terdaftar di BEI yaitu PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, PT Holcim Tbk,