• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KASUS VERTIGO ET CAUSA POST TRAUMATIC MENIERE S DISEASE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KASUS VERTIGO ET CAUSA POST TRAUMATIC MENIERE S DISEASE"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

VERTIGO ET CAUSA POST TRAUMATIC MENIERE’S DISEASE

Disusun Oleh:

Siti Rafidah Yunus 1920221108

Pembimbing:

dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc, M.H

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA TAHUN 2021

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Telah dipresentasikan dan disetujui laporan kasus yang berjudul

VERTIGO ET CAUSA POST TRAUMATIC MENIERE’S DISEASE

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Ambarawa

Disusun Oleh :

Siti Rafidah Yunus 1920221108

Telah disetujui

Ambarawa, Februari 2021

Mengetahui, Dokter Pembimbing

(3)

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Ny. S

Usia : 52 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Status Perkawinan : Menikah Pendidikan : SD Pekerjaan : Penjahit

Alamat : Ngempon, Bergas

No CM : 198xxx-20xx

Tangggal masuk RS : 31 Januari 2021 pukul 11.20 WIB

B. ANAMNESIS

Anamnesa diperoleh dari autoanamnesis yang dilakukan pada tanggal 4 Februari 2021, pukul 14.00 di bangsal Dahlia RSUD Ambarawa.

1. Keluhan Utama

Pusing berputar sejak sebelum masuk RS

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Dua tahun SMRS pasien merasakan pusing berputar yang membuat pasien jatuh terduduk. Pusing menetap selama kurang lebih 1 menit. Diperparah saat pasien menggerakkan kepala dan melihat cahaya terang. Karena tidak dapat menahan pusing, pasien berobat ke puskesmas terdekat. Pasien merasa membaik setelah diberikan obat.

Empat hari SMRS pasien mengeluh nyeri kepala dan mual. Pasien pergi berobat ke poli penyakit dalam RSUD Ambarawa. Saat di RSUD Ambarawa GDS pasien 300, pasien diberikan obat untuk dirumah lalu pasien pulang.

Dipagi hari HMRS pasien merasakan pusing berputar seperti mau jatuh. Pusing terasa lebih berat pada kepala bagian kanan. Pusing yang dirasakan pasien hilang timbul dengan durasi kurang lebih 1 menit. Pusing mereda saat pasien memejamkan mata dan

(4)

diperjalanan menuju rumah sakit, pasien sempat muntah hingga 3 kali dalam kurun waktu 1 jam. Pasien mengeluhkan terkadang telinga berdenging dan hilang timbul.

Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa pada Minggu 31/01/2021 pada pukul 11.20 WIB dengan keluhan pusing berputar. Pada pemeriksaan awal didapatkan kesadaran pasien compos mentis, pada pemeriksaan tanda – tanda vital didaptkan tekanan darah 109/68 mmHg, nadi 101 kali/menit, frekuensi nafas 20 kali/menit. BAB dan BAK lancar. Kemudian pasien diberi penatalaksanaan awal di IGD berupa obat Betahistine per oral 6 mg, injeksi Ranitidin, injeksi Mecobalamin, dan injeksi Ondansentron. Keluhan pasien sempat mereda namun masih sering kambuh saat di lakukan perawatan di Dahlia.

Pada hari kedua perawatan, pasien masih mengeluhkan pusing berputar yang diperpara dengan perubahan posisi kepala dan melihat cahaya. Pasien masih merasa mual namun sudah tidak muntah – muntah. Keluhan telinga berdenging terkadang.

3. Riwayat penyakit dahulu

a. Riwayat keluhan serupa sebelumnya: pada Pasien mengatakan pernah mengalami keluhan berupa rasa pusing berputar saat perubahan posisi dan saat melihat cahaya, namun hanya sebentar dan tidak seberat ini pada 2 tahun yang lalu. Keluhan pusing berputar disertai mual. Pasien berobat ke puskesmas untuk mengatasi keluhan tersebut. Keluhan membaik setelah diberikan obat.

(5)

b. Riwayat trauma : Pada tahun 2013 pasien pernah kecelakaan jatuh dari motor. Pada saat kecelakaan tersebut pasien mengalami luka pada wajah bagian kanan.

c. Riwayat stroke : disangkal

d. Riwayat sakit jantung : disangkal e. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

f. Riwayat DM : pasien DM sejak 2010.

g. Riwayat sakit telinga : diakui, terkadang pasien merakan telinganya berdenging.

h. Riwayat sakit gigi : diakui, pasien pernah ekstraksi molar

i. Riwayat sinusitis : disangkal

j. Riwayat kolesterol tinggi : disangkal k. Riwayat gangguan psikiatri : disangkal

l. Riwayat alergi : disangkal

4. Riwayat penyakit keluarga

a) Riwaat keluhan serupa : disangkal

b) Riwayat stroke : disangkal

c) Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

d) Riwayat DM : Ibu dan 2 kakak pasien menderita DM e) Riwayat sakit jantung : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien bekerja sebagai penjahit dan bekerja dari rumah sedangkan suami pasien bekerja sebagai buruh pabrik. Pasien memilik 3 orang anak. Dua orang anak pasien sudah berkeluarga, anak terakhir pasien duduk di kelas 6 SD. Pasien tinggal di lingkungan perkampungan dengan sosial ekonomi menengah.

(6)

C. ANAMNESIS SISTEM

1. Sistem cerebrospinal : pusing berputar

2. Sistem kardiovascular : tidak ada keluhan

3. Sistem repiratorius : tidak ada keluhan

4. Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (+)

5. Sistem muskuloskeletal : kesemutan pada jari tangan (+)

6. Sistem urogenital : tidak ada keluhan

7. Sistem indera : telinga berdenging (+)

8. Sistem integume : tidak ada keluhan

D. RESUME PASIEN

Pasien perempuan berusia 52 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan pusing berputar, muncul saat beraktivitas. Keluhan dirasakan sejak pagi HMRS. Rasa pusing berputar berlangsung selama kurang lebih 1 menit, dan semakin berat saat pasien membuka mata dan berdiri. Pasien mengeluh mual dan muntah. Pasien juga mengeluhkan telinga berdenging dan nyeri pada daun telinga. Keluhan membaik saat pasien mendapat terapi awal di IGD. Riwayat keluhan serupa pada 2 tahun yang lalu (+), riwayat DM (+), riwayat trauma (+).

E. DISKUSI PERTAMA

Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan pusing berputar, hilang timbul, dengan durasi selama kurang lebih 1 menit, dipengaruhi perubahan posisi dan cahaya. Pusing berputar merupakan gejala khas dari Vertigo, pengertian vertigo adalah sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi (memutar) tanpa sensasi perputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau badan yang berputar. Kondisi ini merupakan gejala yang menandakan adanya gangguan pada sistem vestibuler atau non vestibuler. Pada vertigo vestibuler, keluhan yang muncul adalah rasa berputar, serangan episodik, adanya mual, muntah, dicetuskan oleh gerakan kepala. Sedangkan pada vertigo non-vestibuler keluhan yang timbul yaitu rasa melayang, hilang keseimbangan, serangan bersifat kontinyu, keluhan mual muntah tidak ada, dicetuskan oleh gerakan objek visual dan dapat dicetuskan oleh situasi ramai. Pada pasien didapatkan gambaran klinis vertigo vestibular tipe perifer dan sentral (mixed type)

(7)

VERTIGO

a) Definisi

Vertigo adalah sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi (memutar) tanpa sensasi perputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau badan yang berputar. Vertigo berasal dari Bahasa latin “vertere” yang artinya memutar. Vertigo

termasuk kedalam gangguan keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing, pening, sempoyongan, rasa seperti melayang.

b) Etiologi

Vertigo merupakan suatu gejala, penyebabnya antara lain adalah akibat kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain. Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ keseimbangan (vestibular) yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri.

Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat informasi tentang posisi tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah dan mata. Penyebab umum dari vertigo:

1) Keadaan lingkungan: mabuk darat, mabuk laut. 2) Obat-obatan: alkohol, gentamisin.

3) Kelainan telinga: endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam telinga bagian dalam yang menyebabkan benign paroxysmal positional 4) Vertigo, infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintis, penyakit

maniere,

5) Peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.

6) Kelainan Neurologis: Tumor otak, tumor yang menekan saraf vestibularis, sklerosis multipel, dan patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin, persyarafannya atau keduanya.

7) Kelainan sirkularis: Gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak (transient ischemic attack) pada arteri vertebral dan arteri basiler.

c) Klasifikasi

(8)

sekitar penderita, dimana sistem vestibulum, mata, dan somatosensorik berfungsi baik. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain:

• Mabuk gerakan (motion sickness)

Mabuk gerakan ini dapat terjadi bila pandangan sekitar (visual surround) berlawanan dengan gerakan tubuh yang sebenarnya. Keadaan yang memperovokasi antara lain duduk di jok belakang mobil, atau membaca sewaktu mobil bergerak.

• Vertigo ketinggian (height vertigo)

Vertigo ketinggian adalah suatu instabilitas subjektif dari keseimbangan postural dan lokomotor (kemampuan untuk melakukan gerakan anggota tubuh) oleh karena induksi visual, disertai gejala-gejala vegetatif.

2) Patologik

Vertigo patologik diklasifikasikan lagi menjadi dua jenis, yaitu vertigo sentral dan vertigo perifer, dengan perbedaan umum sebagai berikut:

Tabel 1. Perbedaan Vertigo Sentral dan Vertigo Perifer

Ciri-ciri Vertigo Perifer Vertigo Sentral

Lesi Sistem vestibular (telinga dalam, saraf perifer)

Sistem vertebrobasiler dan

gangguan vaskular (otak, batang otak, serebelum)

Penyebab Vertigo posisional paroksismal jinak (BPPV), penyakit maniere, neuronitis

vestibuler, labirintis, neuroma akustik, trauma

iskemik batang otak, vertebrobasiler insufisiensi, neoplasma, migren basiler

Masa laten 3-40 detik Tidak ada

Habituasi Ya Tidak

Intensitas vertigo

(9)

Tabel 2. Perbedaan Klinis Vertigo Perifer dan Vertigo Sentral

Gejala Vertigo Perifer Vertigo Sentral

Bangkitan Lebih mendadak Lebih lama

Beratnya vertigo Berat Ringan

Pengaruh gerakan kepala ++ +/- Mual/muntah/kering at + + Gangguan pendengaran +/- -

Gejala gangguan SSP - Diantaranya: diplopia,

parestesi, gg.

sensibilitas dan fungsi motorik, disartria, gg.sereberal Telinga berdenging

dan atau tuli

Kadang-kadang Tidak ada

Nistagmus spontan + -

• Sentral

Vertigo sentral paling sering disebabkan oleh berbagai penyakit berikut:

❖ Migraine

Vertigo ditemukan pada 27-33% kasus pasien migraine. Pada basilar migraine sendiri telah dikenal aura yaitu gejala yang meliputi pandangan kabur, penglihatan ganda dan dysarthria serta keluhan sakit kepala sebelah. Vertigo yang muncul pada migraine biasanya lebih lama dibandingkan aura lainnya, dan seringkali membaik dengan terapi yang digunakan untuk migraine.

Vertebrobasilar insufficiency

Vertebrobasilar insufficiency biasanya terjadi dengan episode rekuren dari suatu vertigo dengan onset akut dan spontan pada kebanyakan pasien (detik-beberapa menit). Banyak terjadi pada usia tua dan pada pasien dengan faktor resiko cerebrovascular disease. Sering juga berhungan dengan gejala visual meliputi inkoordinasi, jatuh dan lemah.

❖ Tumor Intrakranial

Tumor intracranial jarang memberi manifestasi klinik vertigo dikarenakan tumor biasanya tumbuh secara progresif dan lambat sehingga sudah terjadi kompensasi sentral. Gejala yang lebih sering

(10)

• Perifer

Vertigo sentral dapat disebabkan oleh kelainan pada telinga bagian dalam ataupun nervus cranialis vestibulocochlear (N. VIII), dimana vertigo perifer yang paling sering dialami yaitu:

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

BPPV merupakan penyebab utama vertigo. Onsetnya lebih seriang terjadi pada usia rata-rata 51 tahun, yang mana disebabkan oleh pergerakan otolit dalan kanalis semisirkularis pada telinga dalam. Hal ini terutama akan mempengaruhi kanalis posterior dan menyebabkan gejala klasik tapi juga dapat mengenai kanalis anterior dan horizontal. Otolit mengandung kristal-kristal kecil kalsium karbonat yang berasal dari utrikulus telinga dalam. Pergerakan dari otolit distimulasi oleh perubahan posisi dan menimbulkan manifestasi klinik vertigo dan nistagmus. BPPV umumnya idiopatik, namun dapat terjadi akibat trauma kepala, infeksi kronik telinga, operasi dan neuritis vestibular sebelumnya.

Meniere’s Disease

Ménière’s disease ditandai dengan vertigo yang intermiten yang diikuti dengan keluhan pendengaran, berupa tinnitus (nada rendah), dan tuli sensoris pada fluktuasi frekuensi yang rendah, dan sensasi penuh pada telinga. Ménière’s disease terjadi pada sekitar 15% pada kasus vertigo otologik. Ménière’s disease merupakan akibat dari hipertensi endolimfatik akibat dilatasi dari membrane labirin bersamaan dengan kanalis semisirularis telinga dalam dengan peningkatan volume endolimfe. Selain itu juga dapat terjadi idiopatik atau sekunder akibat infeksi virus atau bakteri telinga atau gangguan metabolic.

❖ Vestibular Neuritis

Vestibular neuritis ditandai dengan vertigo, mual, ataxia dan nystagmus. Hal ini berhubungan dengan infeksi virus lada nervus vestibularis. Labirinitis terjadi dengan kompleks gejala yang sama disertai dengan tinnitus atau penurunan fungsi pendengaran, keduanya terjadi pada sekitar 15% kasus vertigo otologik.

(11)

3) Berdasarkan onset Disertai Keluhan Telinga Tidak Disertai Keluhan Telinga Timbul Karena Perubahan Posisi Vertigo paroksismal (mendadak atau eksaserbasi akut) Penyakit Meniere, tumor fossa cranii posterior,

transient ischemic attack (TIA) arteri Vertebralis TIA arteri vertebro-basilaris, epilepsi, vertigo akibat lesi lambung Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV)

Vertigo kronis Otitis media kronis, meningitis tuberkulosa, tumor serebelo- pontine, lesi labirin akibat zat ototoksik Kontusio serebri, sindroma paska komosio, multiple sklerosis, intoksikasi obat- obatan Hipotensi ortostatik, vertigo servikalis

Vertigo akut Trauma labirin, herpes zoster otikus, labirinitis akuta, perdarahan Labirin Neuronitis vestibularis, ensefalitis vestibularis, multipel sclerosis –

(12)

d) Diagnosis Vertigo

1) Anamnesis

• Karakteristik Pusing

Perlu ditanyakan mengenai sensasi yang dirasakan pasien apakah sensasi berputar, atau sensasi non spesifik seperti dizziness atau light headness, atau hanya suatu perasaan yang berbeda (kebingungan).

• Keparahan

Keparahan dari suatu vertigo juga dapat membantu, misalnya: pada acute vestibular neuritis, gejala awal biasanya parah namun berkurang dalam beberapa hari kedepan. Pada Ménière’s disease, pada awalnya keparahan biasanya meningkat dan kemudian berkurang setelahnya. Sedangkan pasien mengeluh vertigo yang menetap dan konstan mungkin memiliki penyebab psikologis • Onset dan durasi

Durasi tiap episode memiliki nilai diagnostic yang signifikan, semakin lama durasi vertigo maka kemungkinan kearah vertigo sentral menjadi lebih besar. Vertigo perifer umumnya memilki onset akut dibandingkan vertigo sentral kecuali pada cerebrovascular attack.

• Faktor pencetus

Faktor pencetus dapat mempersempit diagnosis banding pada vertigo vestibular perifer. Jika gejala terjadi hanya ketika perubahan posisi, penyebab yang paling mungkin adalah BPPV. Infeksi virus yang baru pada saluran pernapasan atas kemungkinan berhubungan dengan acute vestibular neutritis atau acute labyrhinti.

(13)

Vertigo dapat disebabkan oleh fistula perilimfatik Fistula perimfatik dapat disebabkn oleh trauma baik langsung ataupun barotrauma. Bersin atau gerakan yang mengakibatkan telinga ke bawah akan memprovokasi vertigo pada pasien dengan fistula perilimfatik. Adanya fenomena Tullio’s (nistagmus dan vertigo yang disebabkan suara bising pada frekuensi tertentu) mengarah kepada penyebab perifer.

• Gejala penyerta

Gejala penyerta berupa penurunan pendengaran, nyeri, mual, muntah dan gejala neurologis dapat membantu membedakan diagnosis penyebab vertigo. Sebagian besar penyebab vertigo dengan gangguan pendengaran berasal dari perifer, kecuali pada penyakit serebrovaskular yang mengenai arteri auditorius interna atau arteri anterior inferior cebellar. Nyeri yang menyertai vertigo dapat terjadi bersamaan dengan infeksi akut telinga tengah, penyakit invasive pada tulang temporal, atau iritasi meningeal. Vertigo sering bersamaan dengan muntah dan mual pada acute vestibular neuronitis dan pada meniere disease yang parah dan BPPV. Pada vertigo sentral mual dan muntah tidak terlalu parah. Gejala neurologis berupa kelemahan, disarthria, gangguan penglihatan dan pendengaran, parestesia, penurunan kesadaran, ataksia atau perubahan lain pada fungsi sensori dan motoris lebih mengarahkan diagnosis ke vertigo sentral misalnya penyakit cerebrovascular, neoplasma, atau multiple sklerosis. Pasien denga migraine biasanya merasakan gejala lain yang berhubungan dengan migraine misalnya sakit kepala yang tipikal (throbbing, unilateral, kadnag disertai aura), mual, muntah, fotofobia, dan fonofobia. 21-35% pasien dengan migraine mengeluhkan vertigo.

2) Pemeriksaan Vertigo

• Fungsi Vestibular atau Serebral

❖Test Romberg

Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Pada kelainan vestibular hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah dan kemudian kembali. Pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Pada kelainan serebelar badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun

(14)

❖Tandem Gait

Penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri atau kanan diletakkan pada ujung jari kaki kanan atau kiri bergantian. Pada kelainan vestibular perjalanannya akan menyimpang dan pada kelainan serebelar penderita akan cenderung jatuh.

❖Uji Unterberger

Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang atau berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.

❖Past Pointing Test

Jari telunjuk penderita ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh mengangkat lengannnya ke atas kemudian ditrunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibular akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.

• Pemeriksaan Neurotologi

Pemeriksaan terutama untuk tentukan letak lesi di perifer atau sentral.

❖ Uji Dix Hallpike

Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang dengan cepat, sehingga kepalanya menggantung 45º di bawah garis horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral. Perifer (benign positional vertigo): vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).

(15)

❖ Tes Kalori

Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30o, sehingga kanalis semisirkularis lateralis dalam posisi vertical. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin (30oC) dan air hangat (44oC) masing-masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi selama 5 menit. Nystagmus yang timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya nystagmus tersebut (normal 90-150 detik). Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke kanan. Canal paresis ialah jika abnormalitas diteukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah jika abnormaliras ditemukan pada arah nystagmus yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau N.VIII, sedangkan directional preponderance

menunjukan lesi sentral.

❖ Audiometry

Pemeriksaan audiometric berguna untuk memeriksa jenis dan tingkat keparahan pendengaran dan juga menentukan kira- kira organ yang berpengaruh terhadap gangguan. Kehilangan Pendengaran dalam kasus ini adalah jenis sensorineural. Namun, pasien dengan kelaianan malformasi telinga dalam (yaitu, perbesaran vestibular aqueduct) mungkin akan mempunyai gejala klinis yang sama.

F. DIAGNOSIS SEMENTARA 1. Diagnosis klinis

Pusing berputar, mual, telinga berdenging, onset kronik eksaserbasi akut

2. Diagnosis topis

Organ vestibular: perifer dd/ sentral, organ non-vestibular 3. Diagnosis etiologi

Central : - SOP Intrakranial

-Insufisiensi vertebrobasiler Perifer : - Otogenik

(16)

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaaan fisik dilakukan pada hari Kamis 4 Februari 2021 jam 14.30 di bangsal Dahlia. 4. Status generalis

a. Keadaan umum : tampak sakit sedang b. Kesadaaran : compos mentis c. Vital sign Tekanan darah : 120/80 mmHg Nadi : 84x menit Pernapasan : 20 x/menit Suhu : 360C SpO2 : 99% d. Situs Internus

Kepala : mesocephal, rambut distribusi merata Wajah : simetris, nyeri tekan maxilla (-)

Mata : OD = pupil bulat ø 3mm, reflek cahaya langsung (+), ptosis (-), eksoftalmus (-), katarak (-),nystagmus (+)

OS = pupil bulat ø 3mm, reflek cahaya langsung (+), ptosis (-), eksoftalmus (-), katarak (-), nystagmus (+)

Hidung : rhinorea (-)

Mulut : mukosa hiperemis (-) Gigi : karies (-)

Telinga : otorhea (-/-) tinnitus (+) tragus pain (+/-) Leher : nyeri tekan trakea (-), pembesaran limfonodi (-/-) Thoraks :

Pulmo : Inspeksi : simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-) Palpasi : vocal fremitus lobus superior kanan sama dengan kiri, vocal fremitus lobus inferior kanan sama dengan kiri

Perkusi : Sonor

(17)

Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V linea axilaris anterior Perkusi : batas jantung kanan atas SIC II LPSD, batas

jantung kanan bawah SIC V LPSD, batas jantung kiri atas SIC II LPSS, batas pinggang jantung SIC III LPSS

Auskultasi: S1>S2, Murmur (-) Gallop (-) Abdomen : Inspeksi : datar, supel

Auskultasi Palpasi Perkusi

: BU (+) normal

: Hepar & lien tidak membesar, nyeri tekan (-) : timpani Ekstremitas : Superior Inferior Akral hangat -/- -/- Edema -/- -/- Sianosis -/- -/-

Gerak Normal Normal

Motorik 5/5 5/5

Nyeri -/- -/-

5. Status Neurologis a. Umum

Sikap tubuh : normoaktif Gerakan abnormal : tidak ada

Cara berjalan : pasien belum dapat berdiri dengan seimbang Kepala : pusing berputar

b. Status Psikiatri

Tingkah laku : Normoaktif Perasaan hati : Normoritmik

Orientasi : Orientasi orang, waktu, dan tempat baik Kecerdasan : Dalam batas normal

(18)

c. Fungsi motorik :

Tonus Normal Normal

Trofi Eutrofi Eutrofi

Refleks Fisiologis + +

Refleks Patologis - -

Anggota gerak bawah Kanan Kiri

Gerakan Bebas Bebas

Kekuatan 5 5

Tonus Normal Normal

Trofi Eutrofi Eutrofi

Refleks Fisiologis + +

Refleks Patologis - -

d. Nervus Kranialis

Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri

N. I. Olfaktorius Daya penghidu Dbn Dbn

N. II. Optikus Daya penglihatan Dbn Dbn

Pengenalan warna Dbn Dbn

Lapang pandang Dbn Dbn

N. III.

Okulomotor

Ptosis - -

Gerakan mata ke medial Dbn Dbn

Gerakan mata ke atas Dbn Dbn

Gerakan mata ke bawah Dbn Dbn

Ukuran pupil 3mm 3mm

Bentuk pupil Bulat Bulat

Refleks cahaya langsung + +

Refleks cahaya konsensual + +

N. IV. Troklearis Strabismus divergen - -

Gerakan mata ke lat-bwh Dbn Dbn

Strabismus konvergen - Dbn N. V. Trigeminus Menggigit Dbn Dbn Membuka mulut Dbn Dbn Sensibilitas muka Dbn Dbn Refleks kornea + + Trismus - -

N. VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral Dbn Dbn

Strabismus konvergen Dbn Dbn

N. VII. Fasialis Kedipan mata Dbn Dbn

Lipatan nasolabial Simetris Simetris

Sudut mulut Simetris Simetris

(19)

Menutup mata Dbn Dbn

Meringis Dbn Dbn

Menggembungkan pipi Dbn Dbn

Daya kecap lidah 2/3 ant Dbn Dbn N. VIII.

Vestibulokoklearis

Mendengar suara bisik + +

Mendengar bunyi arloji + +

Tes Rinne + +

Tes Schwabach Memendek

Tes Weber Lateralisasi kiri

N. IX.

Glosofaringeus

Arkus faring Simetris Simetris

Daya kecap lidah 1/3 post Dbn

Refleks muntah Dbn

Sengau -

Tersedak -

N. X. Vagus Denyut nadi 84x/menit

Arkus faring Simetris

Bersuara Dbn

Menelan Dbn

N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala Dbn Dbn

Sikap bahu Dbn Dbn

Mengangkat bahu Dbn Dbn

Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi

N. XII.

Hipoglossus

Sikap lidah Dbn

Artikulasi Dbn

Tremor lidah -

Menjulurkan lidah Simetris

Trofi otot lidah -

Fasikulasi lidah -

e. Pemeriksaan Sistem Otonom Miksi : BAK lancar Defekasi : BAB lancar f. Pemeriksaan Rangsang Meningeal

Kaku kuduk : (-) Kernig sign : (-) Brudzinsky I : (-) Brudzinsky II : (-) Brudzinsky III : (-) Brudzinsky IV : (-)

(20)

g. Pemeriksaan Fungsi Koordinasi Tes Romberg : (+) Tes Fukuda : (+) Tes Past Pointing : (+) Lhermitte’s test : (-)

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

DARAH LENGKAP Hemoglobin 13.0 11,7 – 15,5 g/dl Leukosit 6.38 3600 – 11.000 • Limfosit 1.16 1,0 – 4,5 x 103/mikro • Monosit 0.838 0,2 – 1,0 x 103/mikro • Eosinofil 0.005 L 0,04 – 0,8 x 103/mikro Basofil Neutrofil 0.066 4.30 0 – 0,2 x 103/mikro 1,8 – 7,5 x 103/mikro Eritrosit 4.54 3,8 – 5,2 juta Hematokrit 38.5 35 – 47 % Trombosit 181 150 – 400 ribu MCV 84.7 82 – 98 fL MCH 28.6 27 – 32 pg MCHC 33.7 32 – 37g/dl SGPT 25 0 – 35 U/L SGOT 22 0 – 35 U/L Ureum 6 L 10 – 50 mg/dl Kreatinin 0.7 0,45 – 0,75 mg/dl HDL Direct 37 37 – 92 mg/dl LDL Cholesterol 84.0 <150 mg/dl Asam urat 4.18 2 – 7 mg/dl Cholesterol 173 <200 mg/dl Trigliserida 260 H 70 – 140 mg/dl Glukosa Sewaktu 225 H 70 – 110 mg/dl

(21)

2. X-Foto Cervikal AP/Lateral/Oblique

Kesan :

• Alignment lurus

• Osteofit VC 5,6

• Tak tampak kompresi maupun listesis

(22)

H. DISKUSI KEDUA

Dari hasil pemeriksaan diatas, pada pemeriksaan fungsi koordinasi ditemukan nystagmus (+), Rhomberg test (+), Fukuda test (+), Past pointing test (+). Pada pemeriksaan telinga didapatkan tinnitus (+), nyeri tragus (+). Pemeriksaan nervus cranialis pada telinga tes Rinne +/+, Webber lateralisasi kiri, dan Schwabach memendek. Temuan – temuan tersebut kemungkinan dapat menjadi penyebab vertigo pada pasien yaitu otogenik. Diperkuat juga dari hasil pencitraan cervical dimana tidak terlihat adanyanya kompresi maupun listesis dan penyempitan diskus maupun foramen intervertebralis.

Dari hasil seluruh pemeriksaan, pada pasien ini lebih mengarah ke vertigo otogenik; Meniere’s disease karena terdapat keluhan pusing berputar disertai nyeri telinga, telinga berdenging, dan tuli sensori.

Berikut ini tabel untuk membedakan vertigo perifer dari vertigo sentral.

Vertigo Perifer Pasien Vertigo Sentral

Serangan Intermiten Intermiten Konstan Pusing

berputar

Hebat hebat Tidak terlalu

hebat

Mual muntah Hebat Sedang Ringan

Nistagmus Selalu ada Ada Ada/tidak ada

Ciri Nistagmus

tidak pernah vertikal

Horizontal sering vertikal Kurang

pendengaran / tinitus

Sering ada Ada Tidak ada

Tanda Lesi batang otak

Tidak ada Tidak ada Ada

Disartria Tidak ada Tidak ada Ada

Defek Visual Tidak ada Tidak ada Ada

Diplopia Tidak ada Tidak ada Ada

Drop attack Tidak ada Tidak ada Ada

Ataksia Tidak ada Tidak ada Ada

Gaya berjalan Lambat, tegak dan berhati-hati Lambat, tegak dan berhati- hati Bergerak menyimpang ke satu arah, ataksik

(23)

Tabel Perbandingan Karakteristik BPPV, Neuritis Vestibular, Penyakit Meniere

I. DIAGNOSIS AKHIR

1. Diagnosis klinis

Pusing berputar, mual, telinga berdenging, gangguan pendengaran, onset kronik eksaserbasi akut

2. Diagnosis topis Organ vestibular 3. Diagnosis etiologi

Otogenic; Post Traumatic Meniere’s disease

Karakteristik BPPV Neuritis Vestibular Labirinitis Meniere Disease Pasien Durasi serangan Detik (10-60 detik), berulang Hari-minggu. Serangan hebat, 1 kali Berat, meningkat dalam beberapa jam. Berakhir dalam beberapa hari terakhir. Di dahului infeksi THT menit-jam, berulang Pusing berputar, beberapa rmenit, berulang

Mual-muntah Ya, saat serangan Ya Ya, hebat Ya Ya, muntah

(-) Gangguan

telinga

Tidak ada Tidak ada Tuli

ringan/sedang Tinitus, gangguan pendengaran Ya, tinnitus, gangguan pendengaran

Nistagmus Torsional Torsional

horizontal, spontan ke arah lesi Horizontal Nistagmus spontan Horizontal Dipengaruhi posisi

Ya, posisi kepala tertentu

(mendongak/menoleh)

Ya, semakin

memberat

Tidak Ya Ya, gerakan

kepala

Gangguan neurologi

(24)

J. TERAPI

Pada pasien ini diberikan terapi berupa:

o Infus RL 20 Tpm

o Injeksi Ranitidin 2x1 amp

o Injeksi Ceftriakson 2x1 o PO Betahistin 3x2 tab o PO Clobazam 2x5 mg o PO Paracematol 2x650 mg

o

PO Sucralfat syr 3x10 ml Terapi Diagnostik

• Konsul THT untuk pemeriksaan BERA

• Konsul Rehab Medik untuk menuver terapi vertigo • CT Scan os Mastoid

K. DISKUSI KETIGA

VERTIGO POST TRAUMATIC

Vertigo merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien pasca mengalami trauma pada kepala, leher atau craniovertebral junction. Trauma bisa terjadi karena cedera akibat jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera kontak saat olah raga dan trauma akibat ledakan. Telinga bagian dalam dan otak rentan terhadap benturan sehingga gejala bisa timbul walaupun tanpa cedera yang substansial. Vertigo pasca trauma diklasifikasikan menjadi perifer dan sentral tergantung pada struktur yang terkena (Taneja, 2014).

Frekuensi dizziness dan disekuilibrium pasca trauma kepala sekitar 14% pada pasien rawat jalan namun beberapa studi menyatakan insiden sekitar 40-60% (Kolev et al, 2016). Insiden vertigo pasca trauma yang tercatat di Amerika Serikat adalah sebesar 15-78% dari keseluruhan trauma kepala, termasuk trauma kepala ringan (Benson, 2016). Vertigo pasca trauma tidak berakibat fatal namun berhubungan dengan morbiditas yang tinggi. Sebagian besar pasien tidak dapat bekerja kembali ke pekerjaan sebelum kecelakaan atau pekerjaan yang setara dengan itu. Vertigo dilaporkan terjadi dalam rentang 1 minggu pasca trauma kepala ringan pada 53% pasien dan keluhan bertahan hingga 2 tahun pada 18% pasien (Ernst et al, 2005)

(25)

maupun sentral sangat rentan dan dapat mengalami gangguan meskipun hasil pemeriksaan pencitraan (CT scan atau MRI) tidak menunjukkan perubahan anatomi yang patologis. Daerah yang harus dievaluasi pada pencitraan vertigo pasca trauma adalah intrakranial, basis kranium dan sambungan kranioservikal (Taneja, 2014; Perdossi, 2012)

Disfungsi kanalis semisirkularis horisontal terjadi pada 32%-71% pasien vertigo pasca trauma. Benturan kepala akan menyebabkan keluarnya otokonia dari membran otolitik utrikulus. Partikel otokonia tersebut bersifat free floating didalam cairan endolimfatik kanalis semisirkularis (kanalitiasis). Benturan berulang pada kepala yang diam menyebabkan kerusakan dinding utrikulus dan sakulus serta perubahan degeneratif pada makula sakular. Akselerasi dan deselerasi linear kepala akibat trauma merusak organ otolith yang berfungsi sebagai indera akselerasi linear. Hasil pemeriksaan kanalis semisirkularis (tes kalori) dan fungsi auditorik yang normal pada pasien vertigo pasca trauma perlu diduga adanya keterlibatan sentral. Stabilitas postural yang abnormal pada pasien cedera kepala mengarahkan pada penyebab gangguan keseimbangan multisensorik atau sentral (Brandt et al, 2005; Fife et al, 2013).

Manifestasi Klinis Vertigo Pasca Trauma

Manifestasi klinis berdasarkan letak gangguannya dikelompokkan menjadi vertigo vestibular perifer dan sentral pasca trauma. Kelompok perifer lebih sering dijumpai dan berdasarkan onsetnya dikelompokkan lagi menjadi early (segera) dan delayed (lambat) (Taneja, 2014). Beberapa kasus vertigo pasca trauma tidak berkaitan dengan gangguan labirin, seperti cedera struktural pada sistem saraf pusat atau kondisi psikologis, akan dikelompokkan tersendiri (Gordon et al, 2004)

Early Post Traumatic Peripheral Vertigo

Manifestasi klinis vertigo yang terjadi dalam waktu 24 jam pasca trauma meliputi BPPV, konkusio labirin, disfungsi labirin traumatik dan fistula perilimfatik (Taneja, 2014).

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

Bentuk vertigo tipe vestibuler perifer pasca trauma yang paling sering dijumpai adalah

benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) mencapai 28% (Brandt et al, 2005). Keluhan BPPV ini muncul dalam beberapa hari atau minggu setelah cedera kepala dan terjadi bilateral. Cedera kepala menyebabkan lepasnya otokonia dari makula utrikulus.

(26)

memposisikan kepala menghadap telinga yang sakit atau mendorong kepala ke belakang. BPPV pasca trauma lebih sering terjadi secara bilateral (25%) dibandingkan BPPV idiopatik (2%). Memerlukan fase terapi yang lebih panjang, manuver rehabilitasi harus diulang dan dimulai pada telinga dengan gejala lebih berat sampai keluhan menghilang (Fife et al, 2013;Gordon et al, 2004)

Konkusio Labirin

Disfungsi labirin terjadi akibat fraktur pada tulang temporal. Ada 2 jenis fraktur yaitu fraktur longitudinal (temporoparietal impact) dan transversal (occipital impact). Fraktur longitudinal terjadi pada 80% kasus melibatkan struktur telinga tengah dengan dislokasi osikular namun umumnya labirin dan nervus vestibulokoklearis tidak terganggu. Sekitar 20% kasus berupa fraktur transversal (tegak lurus dengan sumbu tulang petrosa) yang sering melibatkan labirin tulang atau nervus fascialis dan nervus vestibulokoklear pada meatus akustikus interna, tergantung lokasi fraktur lebih ke lateral atau medial. Nervus fascialis dan vestibulokoklearis mengalami gangguan pada 50% kasus fraktur transversal. Sistem vestibular tampaknya kurang rentan dibandingkan sistem pendengaran sehingga fungsi vestibular tetap baik dengan gangguan pendengaran total lebih sering terjadi daripada kombinasi sebaliknya. Disfungsi vestibulokoklear bilateral akut dilaporkan terjadi setelah fraktur oksipital (Ernst et al, 2005).

Konkusi labirin pasca trauma dapat terjadi tanpa adanya fraktur. Konkusi labirin dengan gangguan vestibular menyebabkan tuli sensorineural bilateral dengan nada tinggi disertai gambaran perdarahan mikroskopis pada koklea dan labirin. Disfungsi labirin ditandai oleh adanya vertigo rotasional yang kontinyu, mual dan muntah. Gejala ini berkurang setelah 2-3 minggu. Tirah baring dan obat antivertigo (dimenhidrinat, benzodiazepine) diberikan dalam beberapa hari pertama atau ada mual muntah yang berat. Rehabilitasi vestibular harus dimulai sesegera mungkin untuk mempercepat dan meningkatkan kompensasi sentral. Pengobatan kortikosteroid (metilprednisolon) diindikasikan selama beberapa hari karena adanya edema pasca trauma pada kebanyakan kasus (Fife et al, 2013; Gordon et al, 2004)

Disfungsi Organ Otolit

Ketidakseimbangan postur dan osilopsia yang terjadi segera setelah trauma kepala dan diperberat oleh gerakan kepala serta ketidakseimbangan seperti berjalan diatas bantal air

(27)

ketidakseimbangan beban otolit pada sisi kanan dan kiri serta ketidakseimbangan tonus diantara keduanya. Perbedaan berat otolit di kedua sisi mengakibatkan gangguan orientasi spasial sementara. Gejala ataksia, ketidakseimbangan dan instabilitas postural saat gerakan kepala dapat dikoreksi dengan kompensasi sentral dalam beberapa hari sampai minggu (Fife et al, 2013; Gordon et al, 2004)

Fistula Perilimfatik

Tekanan udara pada telinga tengah sama dengan udara luar karena adanya penyesuaian tekanan melalui tuba eustachius. Cedera kepala menyebabkan ruptur atau terbukanya labirin membranosa yang berisi cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan udara tiba-tiba pada telinga tengah yang menyebabkan kebocoran perilimfe pada fenestra ovalis dan rotundum serta pergeseran pijakan stapes. Keluhan yang terjadi adalah pusing dengan gangguan pendengaran, rasa penuh ditelinga dan tinitus yang hilang timbul. Keluhan muncul tergantung pada posisi kepala, pergerakan atau tekanan udara yang diperberat oleh penekanan (manuver Valsalva, mengangkat benda berat atau bersin) sama seperti fistula perilimfatik oleh penyebab lain (Ernst et al, 2005).

Secara klinis dibedakan sebagai tipe kanal dengan gejala vertigo rotasional dan nistagmus, atau tipe otolitik dengan gejala instabilitas, ataksia gait dan osilopsia, terutama selama akselerasi linear kepala (saat berdiri atau berjalan). Tipe otolitik juga dapat disebabkan oleh pergeseran pijakan stapes tanpa disertai kebocoran perilimfe yang kontinyu sehingga merangsang otolit selama refleks stapedius. Pada saat bersamaan, suara juga dapat mencetuskan gejala otolitik paroksismal (pergerakan mata dan head tilt, osilopsia dan kecenderungan jatuh) yang disebut dengan Tullio’s phenomenom (Fife et al, 2013).

Terapi konservatif dengan tirah baring dan elevasi kepala selama beberapa hari serta pemberian sedatif ringan memberikan kesembuhan spontan. Jika terapi konservatif gagal dan gangguan pendengaran serta gejala vestibular memberat, dapat dilakukan timpanotomi eksploratif (Fife et al, 2013; Gordon et al, 2004).

(28)

Vertigo akibat barotrauma

Vertigo alternobarik (alternobaric vertigo) terjadi karena perubahan tekanan secara cepat di telinga tengah terkait dengan paparan terhadap perubahan tekanan sekitar, baik peningkatan tekanan (menyelam, pressure chamber, ledakan) atau penurunan tekanan (penerbangan dan ketinggian). Kemungkinan terjadinya kerusakan pada tuba Eustachius dan telinga tengah dan telinga dalam seiring meningkatnya laju perubahan tekanan eksternal. Terjadi pada sekitar 10-25% awak pesawat dan penyelam. Onset vertigo dan nistagmus didahului rasa penuh di telinga. Kondisi ini bisa berlangsung beberapa detik sampai berjam- jam dan sembuh secara spontan akibat tidak mampu menyamakan tekanan satu atau kedua telinga saat perubahan tekanan (lemahnya fungsi tuba eustachius) dan adanya pergeseran posisi yang cepat dari fenestra ovalis dan rotundum (pergeseran pijakan stapedius). Sering terjadi pada orang dengan gangguan saluran pernapasan bagian atas yang dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius (Ernst et al, 2005).

Penyakit dekompresi (decompression sickness) paling sering terjadi selama scuba diving atau paparan ketinggian. Faktor predisposisi meliputi kelelahan, cedera, dingin, dehidrasi, konsumsi alkohol, menyelam berulang, penerbangan setelah menyelam, usia dan obesitas. Selama dekompresi, nitrogen yang terlarut dalam darah dan jaringan dilepaskan kemudian membentuk gelembung di pembuluh darah atau jaringan. Gejala penyakit dekompresi jarang terjadi pada ketinggian di bawah 5400 m dan memerlukan waktu setelah tiba di ketinggian (umumnya setelah 4 jam). Bubble (gelembung) yang ada di jaringan saraf atau pembuluh darah menyebabkan perubahan mikrosirkulasi pada end arteri labirin sehingga terjadi stasis kapiler lokal, perubahan osmotik dan edema dinding pembuluh darah. Gejala kokleovestibular yang muncul bersifat sementara atau permanen berupa vertigo, tinnitus dan gangguan pendengaran sensorineural (Ernst et al, 2005).

Penyakit dekompresi akibat scuba diving atau paparan ketinggian paling efektif ditangani dengan rekompresi segera (oksigen hiperbarik) di chamber compression. Deteksi dini dan rekompresi segera sangat penting untuk pemulihan tanpa ada gejala sisa, namun tetap bermanfaat juga bila dilakukan beberapa hari atau minggu setelah barotrauma (Ernst et al, 2005).

(29)

Penggunaan heparin dapat direkomendasikan untuk trombosis sekunder. Gejala vestibular akibat pembentukan gelembung dekompresi harus dibedakan secara klinis dengan fistula barotrauma yang memerlukan timpanotomi diagnostik (Ernst et al, 2005).

Delayed Post Traumatic Peripheral Vertigo

Vertigo yang terjadi 3 minggu hingga 3 bulan pasca trauma, angka kejadiannya cukup jarang. Yang termasuk dalam vertigo pasca trauma tipe lambat meliputi penyakit Meniere dan vertigo servikogenik (Taneja, 2014).

Penyakit Meniere

Penyakit Meniere disebabkan oleh disfungsi regulasi homeostasis cairan endolimpatik yang menyebabkan hidrop endolimfatik periodik. Penyakit Meniere dicurigai apabila terjadi episode dizziness yang disertai dengan tinnitus, rasa penuh di telinga atau perubahan pendengaran. Serangan biasanya berlangsung antara 20 menit hingga 4 jam. Mekanisme yang terjadi diduga akibat adanya perdarahan di telinga bagian dalam. Gejala awal penyakit Meniere pasca trauma dapat muncul segera hingga 1 tahun pasca trauma (Brandt et al, 2005; Gordon et al, 2004).

Vertigo Cervicogenik

Vertigo cervicogenik terjadi akibat teregangnya reseptor para vertebra di daerah leher. Secara fisiologis ada berbagai penyebab vertigo cervicogenik, yang paling penting adalah akibat kompresi dari arteri vertebralis. Keluhan nyeri, trauma whiplash, kecemasan dapat menyebabkan hiperlordosis pada cervical bawah dan kifosis pada cervical atas sehingga terjadi aktivitas berlebih pada otot ekstensor dan berkurangnya aktivitas otot fleksor leher. Trauma leher ringan, manipulasi leher, atau spondilosis cervical spontan menyebabkan iskemia yang bersifat sementara akibat berkurangnya flow dari arteri vertebralis (Taneja, 2014;Fife et al, 2013).

Vertigo cervicogenik dikaitkan dengan kekakuan leher dan terbatasnya gerakan akibat adanya mediator inflamasi dari muscle spindle dan myofascial trigger point, sehingga terjadi ketidaksesuaian antara input vestibular dan proprioseptif. Vertigo cervicogenik ditandai oleh adanya ataksia, rasa goyang dan mengambang saat berjalan, dan bukan sensasi vertigo rotasional atau linear. Perlu disingkirkan kelainan vestibular,

(30)

Vertigo Sentral Pasca Trauma

Vertigo vestibular tipe sentral pasca trauma disebabkan oleh cedera langsung atau terjadi sekunder akibat iskemi karena diseksi traumatik dari arteri vertebralis. Diagnosis dibuat berdasarkan adanya gejala klinis gangguan vestibular sentral, gejala okulomotor dan disfungsi serebelum. Konkusio atau perdarahan di sepanjang jaras vestibular mulai dari nukleus vestibular di medulla oblongata menuju ke nukleus okulomotor dan pusat integrasi di mesensefalon ke vestibuloserebelum, talamus dan area korteks sensorik pada korteks temporo-parietal dapat menimbulkan gejala vertigo sentral. Disfungsi batang otak sering disertai gejala vertigo persisten yang berat dan biasanya disertai dengan gejala-gejala batang otak. Diseksi arteri vertebralis akibat manipulasi leher, torsi atau trauma minor menunjukkan gejala nyeri kepala, vertigo dan gejala disfungsi batang otak (Taneja, 2014; Fife et al, 2013).

Vertigo Psikogenik Pasca Trauma

Dizziness dan disekuilibrium kronik pasca trauma yang muncul selama beberapa bulan hingga tahun tanpa ada kelainan neurootologi dan neurooftalmologi kemungkinan besar adalah vertigo psikogenik, terutama bila disertai dengan nyeri kepala kronis (tipe tension atau cervicogenic) dan depresi. Bentuk vertigo psikosomatis yang paling sering adalah vertigo fobia postural akibat gangguan somatis. Vertigo ini sering terjadi setelah vertigo organik (Taneja, 2014;Fife et al, 2013).

Diagnosis

Perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk menegakkan diagnosis dan mengelompokkan vertigo pasca trauma, dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang apabila diperlukan. Menegakkan jenis vertigo sangat diperlukan agar dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien (Taneja, 2014).

Anamnesis mengenai mekanisme terjadinya cedera kepala atau leher seperti adanya trauma (trauma tumpul atau penetrasi), luka ledakan atau patah tulang temporal. Onset vertigo setelah terjadinya trauma sangat penting diketahui. Onset vertigo yang cepat dan berhubungan dengan perubahan posisi kepala mengarah pada BPPV, sementara penyakit Meniere pasca trauma bisa muncul hingga 1 tahun pasca trauma dengan gejala vestibular yang menonjol.

(31)

Kadang ditemukan gejala yang mirip pada masing-masing kelompok vertigo pasca trauma. Konkusio batang otak dan konkusio labirin sama-sama memiliki gejala ketidakseimbangan konstan yang diperburuk dengan gelap, kelelahan dan pergerakan, sehingga diperlukan tes lanjutan untuk membedakan kedua jenis konkusio ini. Fistula perilimfatik menunjukkan gejala serupa dengan penyakit Meniere namun berbeda dalam onset gejala vertigo. Fistula perilimfatik bermanifestasi dalam 24-72 jam pasca trauma, sementara penyakit Meniere pasca trauma memiliki onset bulan-tahun. Pasien dengan vertigo cervikogenik juga memiliki gejala tinitus, kehilangan pendengaran dan nyeri leher (Benson, 2016).

Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan status generalis, pemeriksaan neurologik lengkap serta pemeriksaan neurootologi. Pemeriksaan neurootologi meliputi pemeriksaan vestibular ocular reflex (VOR) bedside, tes Romberg, manuever Dix-Hallpike, tes serebelar dan tes koordinasi. Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada beberapa kasus berupa pemeriksaan imaging seperti CT scan kepala atau MRI kepala untuk mengevaluasi adanya fraktur tulang temporal. Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi electro-oculography (EOG), video-oculography (VOG), audiogram, tes kalori, posturography, vestibular-evoked myogenic potentials (VEMP) dan brainstem auditory evoked potential (BAEP) (Benson, 2016; Brandt et al, 2005).

Penatalaksanaan

Tujuan umum penatalaksanaan vertigo adalah untuk mengeliminasi gejala vertigo, meningkatkan kompensasi sistem vestibular dan mengontrol gejala neurovegetatif atau psikoafektif yang menyertai vertigo. Secara umum prinsip penatalaksanaan vertigo terdiri dari terapi medikamentosa dan terapi rehabilitatif. Obat vestibular supresan dan antiemetik berperan penting dalam terapi medikamentosa vertigo seperti antikolinergik, antihistamin, benzodiaepin, antiemetik, calcium channel blocker dan agonis histamin. Terapi rehabilitasi vestibular bertujuan untuk meningkatkan kompensasi organ vestibular terhadap gangguan keseimbangan. Mekanisme kerja terapi ini adalah adaptasi, kompensasi dan habituasi. Beberapa bentuk terapi rehabilitasi vestibular yang dapat dilakukan antara lain latihan visual vestibular, manuver Epley dan metode Brandt-Daroff (Perdossi, 2012; Brandt et al, 2005)

(32)

sosial pasien dan menurunkan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penatalaksanaannya berbeda-beda pada tiap pasien tergantung penyebab dan manifestasi klinis yang muncul. Faktor psikologis dan budaya dapat mempengaruhi gejala-gejala vestibular dan menghambat pemulihan fungsional pasien seperti adanya faktor depresi, kecemasan dan ambang nyeri rendah dapat memperpanjang gejala-gejala vertigo pasca trauma (Gordon et al, 2004).

MENIERE’S DISEASE

Meniere’s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang dari vertigo yang berlangsung dari menit sampai hari, disertai dengan tinnitus dan tuli sensorineural yang progresif.

Penyakit Meniere pertama kali dijelaskan oleh seorang ahli dari Perancis bernama Prospere Meniere dalam sebuah artikel yang diterbitkannya pada tahun 1861. Definisi penyakit Meniere adalah suatu penyakit pada telinga dalam yang bisa mempengaruhi pendengaran dan keseimbangan. Penyakit ini ditandai dengan keluhan berulang berupa vertigo, tinnitus, dan pendengaran yang berkurang ssecara progresif, biasanya pada satu telinga. Penyakit ini disebabkan oleh peningkatan volume dan tekanan dari endolimfe pada telinga dalam.

Endolimph atau cairan Scarpa adalah cairan yang berada di dalam labirin telinga dalam. Kation utama yang berada di cairan ekstraselular ini adalah kalium. Ion yang terdapat di dalam endolimfe lebih banyak dari perilimfe. Sedangkan perilimfe adalah cairan ekstraseluler yang terletak di koklea, tepatnya pada bagian skala timpani dan skala vestibuli. Komposisi ionik perimlife seperti pada plasma dan cairan serebrospinal. Kation terbanyak adalah natrium. Perilimfe dan endolimfe memiliki komposisi ionik yang unik yang sesuai untuk menjalankan fungsinya yaitu mengatur rangsangan elektrokimiawi dari sel- sel rambut di indera pendengaran. Potensoal listrik dari endolimfe ~80-90 mV lebih positif dari perilimfe.

Canalis semisirkularis (saluran setengah lingkaran), merupakan suatu struktur yang terdiri dari 3 buah saluran setengah lingkaran yang tersusun menjadi satu kesatuan dengan posisi yang berlainan, yaitu: canalis semisirkularis horizontal, canalis semisirkularis vertikal superior, canalis semisirkularis vertikal posterior. Masing-masing canalis semisirkularis berisi cairan endolympha dan pada salah satu ujungnya yang membesar disebut ampula, berisi reseptor keseimbangan yang disebut cristac

(33)

kelembamannya, maka endolymph yang terdapat di dalam canalis semisirkularis akan bergerak ke arah yang berlawanan dengan arah putaran. Aliran endolymph akan mendorong cupula melengkungkan cillia-cillia dari sel-sel rambut, dengan demikian maka sel bercillia tersebut terangsang dan merubahnya menjadi impuls sensori yang untuk selanjutnya ditransmisikan ke pusat keseimbangan di otak. Canalis semisirkularis merupakan organ keseimbangan dinamis yaitu memberikan respons terhadap pemutaran tubuh.

Etiologi

Penyebab pasti dari penyakit Meniere sampai sekarang belum diketahui secara pasti, banyak ahli mempunyai pendapat yang berbeda. Sampai saat ini dianggap penyebab dari penyakit ini disebabkan karena adanya gangguan dalam fisiologi sistem endolimfe yang dikenal dengan hidrops endolimfe, yaitu suatu keadaan dimana jumlah cairan endolimfe mendadak meningkat sehingga mengakibakan dilatasi dari skala media. Tetapi, penyebab hidrops endolimfe sampai saat ini belum dapat dipastikan. Ada beberapa anggapan mengenai penyebab terjadinya hidrops, antara lain :

1. Meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri 2. Berkurangnya tekanan osmotik di dalam kapiler 3. Meningkatnya tekanan osmotik ruang ekstrakapiler

4. Jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat, sehingga terjadi penimbunan endolimfa

5. Infeksi telinga tengah

6. Infeksi traktus respiratorius bagian atas 7. Trauma kepala

8. Konsumsi kafein dan makanan yang mengandung garam tinggi 9. Konsumsi aspirin, alkohol, dan rokok yang berkepanjangan 10. Infeksi virus golongan herpesviridae

11. Herediter

Berikut akan dijelaskan mengenai penyebab yang dianggap dapat mencetuskan penyakit Meniere:

1. Virus Herpes (HSV)

(34)

terdapat perbaikan. Tetapi anggapan ini belum dapat dibuktikan seluruhnya karena masih perlu penelitian yang lebih lanjut.

2. Herediter

Pada penelitian didapatkan 1 dari 3 orang pasien mempunyai orang tua yang menderita penyakit Meniere juga. Predisposisi herediter dianggap mempunyai hubungan dengan kelainan anatomis saluran endolimfatikus atau kelainan dalam sistem imunnya.

3. Alergi

Pada pasien Meniere didapatkan bahwa 30% diantaranya mempunyai alergi terhadap makanan. Hubungan antara alergi dengan panyakit Meniere adalah sebagai berikut :

• Sakus endolimfatikus mungkin menjadi organ target dari mediator yang dilepaskan pada saat tubuh mengadakan reaksi terhadap makanan tertentu.

• Kompleks antigen-antibodi mungkin menggangu dari kemampuan filtrasi dari sakus endolimfatikus

• Ada hubungan antara alergi dan infeksi virus yang menyebabkan hidrops dari sakus endolimfatikus

4. Trauma kepala

Jaringan parut akibat trauma pada telinga dalam dianggap dapat menggangu aliran hidrodinamik dari endolimfatikus. Anggapan ini diperkuat dengan adanya pasien Meniere yang mempunyai riwayat fraktur tulang temporal.

5. Autoimun

Ada pula anggapan dari ahli yang menyatakan bahwa hidrops endolimfe bukan merupakan penyebab dari penyakit Meniere. Ini dikatakan oleh Honrubia pada tahun 1999 dan Rauch pada tahun 2001 bahwa pada penelitian otopsi ditemukan hidrops endolimfe pada 6% dari orang yang tidak menderita penyakit Meniere. Penelitian yang banyak dilakukan sekarang difokuskan pada fungsi imunologik pada sakus endolimfatikus. Beberapa ahli berpendapat penyakit Meniere diakibatkan oleh gangguan autoimun. Brenner yang melakukan penelitian pada tahun 2004 mengatakan bahwa pada sekitar

25 % penderita penyakit Meniere didapatkan juga penyakit autoimun terhadap tiroid. Selain itu Ruckenstein pada tahun 2002 juga mendapatkan pada sekitar 40 % pasien penderita penyakit Meniere didapatkan hasil yang positif pada pemeriksaan autoimun darah seperti Rheumatoid factor, Antibodi antiphospholipid dan Anti Sjoegren.

(35)

bervariasi lamanya yang diselingi dengan periode remisi yang lebih panjang dan juga bervariasi lamanya. Pola serangan dan remisi pada individu tidak dapat diramalkan, walaupun gejala berkurang setelah beberapa tahun. Pada saat serangan biasanya terdapat trias Meniere yaitu vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran. Biasanya terdapat adanya suatu periode rasa penuh atau tertekan pada telinga yang dirasakan penderita selama berjam-jam, berhari- hari, atau berminggu-minggu. Namun sensasi ini terlupakan karena adanya serangan vertigo yang hebat yang timbul tiba-tiba disertai mual dan muntah. Terdapat adanya kurang pendengaran yang hampir tidak dirasakan pada telinga yang bersangkutan karena genuruh tinitus yang timbul bersamaan dengan vertigo. Episode awal biasanya berlangsung selama 2-4 jam, setelah itu vertigo mereda, meskipun pusing (dizziness) pada gerakan kepala menetap selama beberapa jam. Pendengaran membaik dan titnitus berkurang, tetapi tidak menghilang dengan redanya vertigo.

Kemudian ada periode bebas vertigo. Selama periode ini penderita mungkin hanya merasakan tinitus yang bergemuruh. Gejala-gejala ini kemudian diselingi oleh episode vertigo spontan lain yang mirip dengan yang pertama dengan derajat yang lebih ringan. Frekuensi serangan ini bervariasi, tetapi biasanya timbul sebanyak satu atau dua kali dalam seminggu, atau sekurang- kurangnya satu kali dalam satu bulan. Pada kasus-kasus berat dapat timbul serangan setiap hari. Biasanya setelah periode tersebut, yang dapat berlangsung beberapa minggu, terjadi remisi spontan atau akibat pengobatan, yang pada waktu itu gejala hilang sama sekali, kecuali gangguan pada pendengaran pada telinga yang bersangkutan. Namun fase remisi tersebut ternyata tidak permanen, dapat terjadi pengulangan fase akut seperti sebelumnya yang timbul dalam beberapa bulan. Sementara pola aktif dan remisi berjalan, gejala pada periode akut melemah oleh karena hilangnya secra bertahap kemampuan organ akhir dalam memberikan respon akibat degenerasi elemen-elemen sensorik.

Variasi dalam simtomatologi telah di uraikan dan kadang-kadang dapat ditemukan. Sindrom Lermoyes merupakan satu contoh dimana gangguan pendengaran terjadi berbulan-bulan atau bertahun-tahun sebelum timbulnya serangan vertigo pertama.

Ada 3 tingkat derajat keparahan penyakit Meniere :

1. Derajat I, gejala awal berupa vertigo yang disertai mual dan muntah. Gangguan vagal seperti pucat dan berkeringat dapat terjadi. Sebelum gejala vertigo menyerang, pasien dapat merasakan sensasi di telinga yang berlangsung selama 20 menit hingga beberapa

(36)

3. Derajat III, gangguan pendengaran tidak lagi berfluktuasi namun progresif memburuk. Kali ini mengenai kedua telinga sehingga pasien seolah mengalami tuli total. Vertigo mulai berkurang atau menghilang.

Patofisiologi

Pada pemeriksaan histopatologi tulang temporal didapatkan pelebaran dan perubahan pada morfologi pada membran Reissner. Terdapat penonjolan ke dalam skala vestibuli, terutama di daerah apeks koklea (helikotrema). Sakulus juga mengalami pelebaran yang dapat menekan utrikulus. Pada awalnya pelebaran skala media dimulai dari apeks koklea, kemudian dapat meluas mengenai bagian tengah dan basal koklea.

Secara patologis, penyakit Meniere disebabkan oleh pembengkakan pada kompartemen endolimfatik, bila proses ini berlanjut dapat terjadi ruptur membran Reissner sehingga endolimfe bercampur dengan perilimfe. Hal ini meyebabkan gangguan pendengaran sementara yang kembali pulih setelah membrana kembali menutup dan cairan endolimfe dan perilimfe kembali normal. Hal ini yang menyebabkan terjadinya ketulian yang dapat sembuh bila tidak terjadinya serangan.

Terjadinya Low tone Hearing Loss pada gejala awal yang reversibel disebabkan oleh distorsi yang besar pada daerah yang luas dari membrana basiler pada saat duktus koklear membesar ke arah skala vestibuli dan skala timpani.

Mekanisme terjadinya serangan yang tiba-tiba dari vertigo kemungkinan disebabkan terjadinya penonjolan-penonjolan keluar dari labirin membranasea pada kanal ampula. Penonjolan kanal ampula secara mekanis akan memberikan gangguan terhadap krista. Tinitus dan perasaan penuh di dalam telinga pada saat serangan mungkin disebabkan tingginya tekanan endolimfatikus.

Penatalaksanaan Terapi

a. Terapi Medis Profilaksis

Terapi medis diarahkan untuk mengatasi proses penyakit yang mendasarinya atau mengontrol serangan vertigo selama eksaserbasi penyakit.

- Vasodilator

Vasidilator yang sering digunakan adalah Betahistin HCl 8 mg 3 kali sehari, jika tidak terdapat ulkus peptikum. Alternatif lain adalah asam nikotinat, histamine dan siklandelat. Vasodilator digunakan akibat gangguan pada endolimfe oleh kelainan vaskuler.

(37)

endolimfatik disebabkan oleh disfungsi susunan saraf autonom di telinga dalam. - Penggunaan Hormon Tiroid

Penggunan hormone tiroid didasrkan atas teori bahwa hipotiroidisme ringan adalah termasuk penyebab hidrops endolimfatik.

- Pemberian Vitamin

Pemberian vitamin berdasarkan atas teori bahwa penyakit meniere akibat defisiensi vitamin. Vitamin yang biasa diberikan adalah vitamin B kompleks, asam askorbat dan senyawa sitrus bio-flavonoid (Lipoflavonoid).

TATALAKSANA KASUS

1. Ranitidin

Ranitidin merupakan antagonis reseptor H2 (AH2) yang bekerja menghambat sekresi asam lambung. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung, dengan pemberian ranitidin maka reseptor tersebut akan dihambat secara selektif dan reversible sehingga sekresi asam lambung dihambat. Ranitidin diberikan sebagai gastroprotektor dan mencegah efek samping dan interaksi obat lain.

2. Mecobalamin

Mecobalamin adalah salah satu bentuk kimia dari vitamin B12 (cobalamin), yaitu vitamin larut air yang memegang peranan penting dalam pembentukan darah serta menjaga fungsi sistem saraf dan otak.

3. Betahistin

Bekerja dengan dua mekanisme. Pertama, obat ini merangsang reseptor histamin H1 yang terletak pada pembuluh darah di telinga bagian dalam. Rangsangan ini mengakibatkan terjadinya vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas sehingga bisa mengurangi tekanan endolimfatik. Kedua, sebagai antagonis reseptor histamin H3 yang sangat kuat, obat ini meningkatkan kadar neurotransmiter histamin, asetilkolin, norepinefrin, serotonin, dan GABA yang dilepaskan dari ujung saraf. Peningkatan kadar histmain dapat menyebabkan efek vasodilatasi di telinga bagian dalam.

4. Clobazam

Merupakan golongan benzodiazepine yang bekerja berdasarkan potensial inhibisi neuron dengan asam gama-aminobutirat (GABA) sebagai mediator. Clobazam memiliki efek antikonvulsi, ansiolitik, sedative, dan relaksasi otot. Pemberian obat ini diindikasikan untuk mengatasi asietas da psikoneuroti yang

(38)

PROGNOSIS

Death : Dubia ad bonam Disease : Dubia ad bonam

Dissability : Dubia ad bonam Discomfort : Dubia

Dissatisfaction : Dubia

(39)

FOLLOW UP

Tanggal S O A P

1/2/2021 Pusing berputar

(+)

Saat menggerakan kepala dan melihat cahaya, durasi ± 1 menit, hilang timbul. Mual (+) Muntah (-) Ku/Kes : sedang / CM TD : 113/72 N : 88x RR: 20x SpO2 : 99% Suhu : 36.7 C Nystagmus +/+ Tinnitus (+) Vertigo mixed type dd/ otogenik dd/ servikogenik Infus RL 20 Tpm

Injeksi Ranitidin 2x1 amp Injeksi Mecobalamin 1x1 amp PO Betahistin 3x1 tab P/ Rontgen cervical AP-lat-obl

2/2/2021 Pusing berputar

(+)

Saat menggerakan kepala dan melihat cahaya, Mual (+) Muntah (-) Ku/Kes : sedang / CM TD : 119/89 N : 82x RR: 20x SpO2 : 99% Suhu : 36 C Nystagmus +/+ Tinnitus (+) Webber memendek Schwabach lateralisasi ke kiri Vertigo Otogenik; Post Traumatic Meniere’s disease Infus RL 20 Tpm

Injeksi Ranitidin 2x1 amp Injeksi Ceftriakson 2x1 Injeksi Ketorolac extra PO Betahistin 3x2 tab PO Clobazam 2x5 mg PO Paracematol 2x650 mg PO Sucralfat syr 3x10 ml Rontgen cervical (-) 3/2/ 2021 Pusing berputar mulai berkurang saat pasien menggerakan kepala dan melihat cahaya, Mual (+) Muntah (-) Ku/Kes : sedang / CM TD : 120/80 N : 88x RR: 20x Suhu : 36.5 C Nystagmus +/+ Tinnitus (+) Vertigo Otogenik; Post Traumatic Meniere’s disease Infus RL 20 Tpm

Injeksi Ranitidin 2x1 amp Injeksi Ceftriakson 2x1 PO Betahistin 3x2 tab PO Clobazam 2x5 mg PO Paracematol 2x650 mg PO Sucralfat syr 3x10 ml 4/2/2020 Pusing berputar (+) berkurang saat menggerakan kepala dan melihat cahaya. Mual (+) Ku/Kes : sedang / CM TD : 120/80 N : 88x RR: 20x Suhu : 36.8 C Vertigo Otogenik; Post Traumatic Meniere’s disease Infus RL 20 Tpm

Injeksi Ranitidin 2x1 amp Injeksi Ceftriakson 2x1 PO Betahistin 3x2 tab PO Clobazam 2x5 mg PO Paracematol 2x650 mg

(40)

5/2/2020 Pusing berputar sudah membaik, Mual (-) Muntah (-) Ku/Kes : sedang /CM TD : 120/8 N : 88x RR: 20x Suhu : 36.6 Nystagmus +/+ Tinnitus (+) Vertigo Otogenik; Post Traumatic Meniere’s disease Infus RL 20 Tpm

Injeksi Ranitidin 2x1 amp Injeksi Ceftriakson 2x1 PO Betahistin 3x2 tab PO Clobazam 2x5 mg PO Paracematol 2x650 mg PO Sucralfat syr 3x10 ml Rencana BLPL

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Benson EB. Posttraumatic Vertigo Treatment and Management. Otolaryngology and Facial Plastic Surgery. Medscape. 2016.

Brandt T, Dieterich M, Strupp M. Traumatic form of vertigo. In: Vertigo and Dizziness: common complaints. 2005. London. Springer.

Brandt T. Traumatic Vertigo. In: Vertigo Its Multisensory Syndromes. 2nd Edition. 2003. London, Springer

Ernst A, Basta D, Seidl RO, Todt I, Scherer H, Clarke A. Management of posttraumatic vertigo. Otolaryngol Head Neck Surg 2005;132:554‐8.

Fife TD, Giza C. Post traumatic vertigo and dizziness. Semin Neurol. 2013; 33: 238- 243. Gordon CR, Levite R, Joffe V, Gadoth N. Is Posttraumatic Benign Paroxysmal Positional

Vertigo Different From the Idiopathic Form?. Archives of Neurology. 2004;61:1590-1593.

Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada university Press

Joesoef AA., 2003, Tinjauan Neurobiologi Molekuler dari Vertigo, Makalah Konas V Perdossi, Bali

Keith, Marill, 2001, Central Vertigo, @NEUROLOGY\Neurotoksikologi dan Vertigo\ eMedicine – Central Vertigo.htm

Kelompok Studi Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012. Pedoman Tata Laksana Vertigo.

Kolev OI, Sergeeva M. Vestibular disorders following different types of head and neck trauma. Functional Neurology 2016; 31(2): 75-80.

Mardjono, 2008, Neurologi Klinis Dasar, Jakarta: Dian Rakyat

Perdossi, 2000, Vertigo Patofisiologi, Diagnosis dan Terapi, Jansen Pharmaceiuticals Sherwood, Lauralee, 2012, Fisiologi Manusia, Jakarta: EGC

Soepardi EA, Inskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi 6, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Sura, DJ, Newell, S, 2010, Vertigo - Diagnosis and management in primary care, BJMP Taneja MK. Post-traumatic Vertigo. Indian J Otol. 2014; 20: 95-98.

(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Vertigo Sentral dan Vertigo Perifer
Tabel 2. Perbedaan Klinis Vertigo Perifer dan Vertigo Sentral
Tabel  Perbandingan  Karakteristik  BPPV,  Neuritis  Vestibular,  Penyakit  Meniere

Referensi

Dokumen terkait