• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP AL-IMAN DAN AL-ISLAM: ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN AL-‘IZZ IBN ‘ABD AS-SALAM (577-660 H. atau 1181-1262 M)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP AL-IMAN DAN AL-ISLAM: ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN AL-‘IZZ IBN ‘ABD AS-SALAM (577-660 H. atau 1181-1262 M)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP

AL-IMAN

DAN

AL-ISLAM:

ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN

AL-‘IZZ IBN ‘ABD AS-SALAM

(577-660 H. atau 1181-1262 M)

Husnel Anwar Matondang

Dosen Program Studi Ilmu Aqidah Fakultas Ushuluddin Dan Studi Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

Email: husnelanwar_mtd@yahoo.com

Abstrak

Term imân yang berarti percaya selalu diposisikan berada di dalam hati (qalb) manusia. Berbeda dengan itu, kata islâm selalu diposisikan berada pada aspek lahiriah. Sebab, seseorang baru dapat disebut muslim, jika ia tunduk, pasrah dan patuh kepada perintah Allah. Namun karena imân sukar atau tidak bisa diukur eksistensinya tanpa melihat ekspresi lahiriah dari seorang mu‟min, maka terjadi ekspansinya tanpa melihat ekspresi lahiriah dari seorang mu‟min, maka terjadi ekspansi makna dari kata ini. Dalam perluasan dalam makna itu, kata imân bersentuhan dengan makna yang termasuk dalam term islâm. Penulis artikel ini mengargumenkan bahwa paradox dalam memahami makna imân dan islâm bisa mengakibatkan kerancuan dalam menilai amal-amal lahir manusia. Untuk itu, dengan menggunakan metode studi tokoh artikel ini coba menawarkan suatu analisis pemikiran Al-„Izz Ibn „Abd al-Salâm dalam memahami konsep imân dan islâm.

Kata Kunci: imân, islâm, al-„izz ibn „Abd al-Salâm

Pendahuluan

Iman yang dalam bahasa Arab disebut dengan imân merupakan inti ajaran semua agama.1 Dalam teologi Islam, diskursus tentang imân ditemukan pada ajaran dasarnya (ushûl al-dîn). Kata ini dipakai dalam Bahasa Arab secara leksikal dengan arti „percaya.” Sejalan dengan makna ini, maka orang yang percaya disebut mu'mîn (Ind. mukmin). Ketika Rasulullah saw. menjawab pertanyaan seorang laki-laki berbaju putih yang datang menghampirinya ia bersabda, “Imân

adalah percaya kepada Allah…”2

Karena kata kuncinya adalah percaya, maka kedudukan imân selalu diposisikan –pada ajaran teologis- berada di dalam hati (qalb),3 yaitu sesuatu yang menjadi unsur batin (esoteris) manusia. Unsur batin tersebut sukar –atau tidak bisa- untuk diukur eksistensinya tanpa melihat ekspresi lahiriah dari imân seorang yang beriman (mu'min).4

(2)

Term islâm berbeda dari imân, aksentuasinya terletak pada aspek-aspek lahiriah. Seseorang yang memeluk agama Islam disebut muslim (Ind. muslim), karena ketundukan, kepasrahan, dan kepatuhannya kepada titah (syariat) Allah.5 Rasulullah saw. –di dalam riwayat Muslim.6 menjelaskan bahwa islâm adalah hal-hal yang terhubung dengan ketundukan dan kepatuhan pada amal lahiriah, seperti melafalkan syahadah, salat, mengeluarkan zakat, puasa, dan melaksanakan haji. Atas dasar inilah pengarang „Aun al-Ma„b­d menyebutkan bahwa redaksi islâm

dipahami sebagai ajaran tentang al-arkân al-zhâhiriyyah, yakni tonggak-tonggak dari ajaran-ajaran lahiriah.”7

Sebagai asas atau fondasi, maka imân seyogiaya tidak bersifat fluktuatif sebab ia merupakan dasar keyakinan yang harus stabil. Inilah yang dipahami oleh Murji`ah, yakni imân tidak menerima ihwal naik-turun, tetapi harus permanen. Dalam pada itu, dasar-dasar keyakinan selalu memiliki implikasi yang “hitam-putih”, yaitu antara imân dan kâfir (kafir). Ketika imân berkurang maka yang muncul adalah kufr (kekafiran) dan tatkala imân muncul maka kekafiran akan sirna. Secara historis, pemahaman ini kerap dinisbahkan kepada Ab- Han³fah Nu„mân ibn Tsâbit (w. 150 H. /767 M.), sehingga dikenal dengan sebutan

Murji`ah al-Fuqaha`. Ia mengajukan argumentasi, “Bagaimana hal ini [imân bisa

bertambah dan berkurang] dapat terjadi dalam diri seseorang: Imân dan kufr

menyatu pada dirinya, padahal keduanya saling kontradiksi.”8

Sunah menjelaskan lain, imân adalah sesuatu yang fluktuatif, dapat bertambah dan berkurang.9 Imân akan bertambah karena taat kepada Allah dan berkurang disebabkan maksiat kepada-Nya.10 Al-Bukhâri (w. 256 H./870 M.) memberikan bab khusus di dalam kitab shahîhnya tentang dasar fluktuatif keyakinan tersebut.11 Dalam korelasi ini, terlihat bahwa imân bukan hanya kepercayaan semata tetapi juga mencakup aspek amaliah (perbuatan) dari anggota tubuh. Karena itu, makna imân dalam perspektif ini telah merambah ke lingkup pengertian semula dari islâm, yaitu amal-amal lahiriah.

Disebabkan telah terjadi ekspansi makna di dalam penggunaan term imân

dari makna asalnya -yang diistilahkan Toshihiko Izutsu dalam kajian semantiknya dengan kompetisi dan persaingan makna kata,12 maka penyebutan imân tidak lagi

an sich pada makna dasarnya, yaitu batin. Disebabkan persaingan makna itu,

maka tidak terhindarkan adanya kesan paradoks antara ajaran batin dan ajaran lahir dan dua kata tersebut. Tatkala ajaran-ajaran lahiriah dijadikan sebagai bagian

(3)

imân maka penilian keberimanan seseorang tidak lagi terpusat pada batin tetapi telah merambah pada ranah amal-amal lahir. Konsekuensi logis dari elaborasi dan ekspansi makna tersebut, terjadilah keberhimpitan cakupan pengertian dua term,

imân dan islâm; yaitu antara ajaran lahir (islâm) dan ajaran batin (imân). Kenyataan ini menjadikan term imân sebagai sesuatu yang problematik di kalangan ulama.

Paradoks dalam memahami kedua makna imân dan islâm terkadang mengakibatkan kerancuan dalam menilai amal-amal lahir. Lebih dari itu, perambahan makna imân pada aspek-aspek lahir secara ekstrim telah menempatkan Khawarij menjadi kelompok takfîrî. Menurut mereka, pelaku dosa besar, seperti tidak berhukum dengan hukum Allah, tidak salat, dan tidak mengeluarkan zakat, adalah kafir, sebab mereka telah mencederai imân. Demikian juga dengan Muktazilah, mereka menempatkan amal sebagai bagian dari imân, namun mereka juga berada dalam problema serius untuk mengafirkan seluruh pelaku dosa besar yang mencederai imân lahirnya. Oleh sebab itu, mereka mengemukakan konsep al-manzilah bain al-manzilatain (posisi tidak mukmin dan tidak kafir) yang tidak dikenal pada generasi awal kaum Muslim.

Ajaran problematik itu terlihat pula pada pemikiran „Izzudd³n „Abdissalâm al-Maqdisî al-Wâ„izh (w. 678 H./1280 M.) yang mendudukkan –doktrin-doktrin seperti ittihâd (menyatunya Allah dengan makhluk) yang dikafirkan oleh sejumlah teolog- kepada ajaran kategoris, yaitu ajaran syariat dan hakikat. Di sini ungkapan seseorang yang fanâ' seperti, “subhânî (maha suci aku), anâ Allâh (Aku adalah Allah), mâ fî al-jubbah illâllâh (tidak ada di dalam baju jubah ini kecuali Allah)” –sebagaimana yang diucapkan oleh al-Hallâj dilihat dari dua perspektif, yaitu hakikat (haqîqah) dan syariat (syarî„ah), mukmin (mu'min) dan kafir (kâfir). Ia disebut kâfir karena telah melanggar syariat dengan ucapannya tersebut dan disebut mu'min karena berdasarkan haqîqah ia tidak lagi merepresentasikan tentang dirinya sebagai makhluk tetapi telah berbicara atas nama keesaan Allah. Oleh sebab itu, dalam pandangan „Izzudd³n Abd as-Salâm al-Maqdis³ al-Wâ„izh,

kâfir dalam syariat belum mengindikasikan kâfir dalam haqîqah.13 Dengan,

kategorisasi ini, maka terjadi dikotomi antara ajaran haqîqah dan syarî'ah. Oleh sebab itu, seseorang dapat dinilai mu'min dan kâfir sekaligus dalam dua sudut pandang yang berbeda.

(4)

Berbeda al-„Izz ibn „Abdissalâm Sulthân al-'Ulamâ`(w. 660 H./1262 M.), ia merespons persoalan di atas (imân dan islâm), tidak pada kategori haqîqahdan

syar³'ah sebagaimana yang dilakukan „Izzuddîn „Abdissalâm Maqdis³

al-Wâ„izh (w. 678 H./1280 M.). Menurutnya imân tidak hanya tasdîq (pembenaran) di dalam hati, tetapi juga diekspresikan dengan aktivitas anggota tubuh. Namun demikian, ia juga tidak menghendaki ketercerabutan makna imân dari pengertian dasarnya, yaitu keyakinan di dalam hati. Oleh sebab itu, -dalam menyelesaikan paradoks pemaknaan di seputar term imân dan islâm-, ia mencarikan atribut-atribut yang dapat diadaptasikan dan disandarkan kepada term imân. Istilah-istilah yang dimaksud adalah al-imân al-haqîqî (imân hakiki), al-imân al-majâzî (imân

metaforis), sebagaimana Ahl al-Hadîs menggunakan istilah a¡l al-imân (asal

imân) dan far„ al-imân (cabang imân) untuk penyelesaian problem yang sama. Tujuan atributisasi ini adalah agar makna imân tetap dalam aksentuasi batin, namun tidak menafikan kemungkinan hubungannya yang erat dengan aspek lahiriahnya. Disebabkan atributisasi tersebut maka implikasi teologisnya juga akan berbeda. Namun bagaimana istilah-istilah itu dipahami untuk dapat menyelesaikan paradoks pemaknaan imân dan islâm maka perlu penelitian mendalam terhadap pemikiran al-„Izz ibn „Abdissalâm tersebut.

Berdasarkan deskripsi di atas, ditemukan adanya problem teologis di seputar penggunaan term imân dan islâm dalam ajaran batin (imân) dan ajaran lahir (islâm) yang membutuhkan penjelasan yang tuntas. Kebutuhan atas penafsiran tersebut didasarkan pada kebutuhan untuk menemukan batas penggunaan term mu'min dan muslim. Mendudukkan kriteria mu'min dan muslim

beserta antonimnya. Dalam konteks kajian ini, al-„Izz ibn „Abdissal±m merupakan tokoh yang memiliki upaya-upaya konseptual yang dapat dijadikan sebagai alternatif pemecahan dan jembatan untuk menemukan jawaban ajaran-ajaran yang teranggap paradoks tersebut. Di samping itu, kajian yang dirambah tokoh ini dalam karya-karyanya yang terkait dengan imân dan islâm lebih konprehensif karena dipengaruhi berbagai disiplin keilmuan Islam, seperti fikih (hukum), teologi (kalam), tafsir, dan tasawuf.

Mengenal Al-‘Izz ibn ‘Abdissalam

Al-„Izz atau „Izzuddîn ibn „Abdissalâm adalah seorang ulama yang hidup pada akhir Abad Keenam hingga pertengahan akhir Abad Ketujuh Hijriyah (577

(5)

H./1181 M. hingga 660 H./1262 M.). Selain disebut dengan „Izzuddîn, ia juga

dijuluki dengan Sulthân al-„Ulamâ' (penguasa ulama), Ba'i„ al-Mulûk (penjual para raja), dan shâni„ al-Mujaddid³n (pencetak para pembaharu).

Era 577-660 H. di Syam dan Mesir ditandai dengan heterogenitas masyarakat, baik suku-bangsa, warna kulit, agama, aliran pemikiran, mazhab teologi, hukum, maupun corak kehidupan dan stratifikasi sosial. Dilihat dari keragaman suku bangsa di mana al-„Izz hidup, masyarakat didominasi oleh bangsa Arab, Kurdi, Turki, Persia, Tartar, dan Frank.14 Dalam hal keragaman kepercayaan yang dianut oleh penduduk negeri, seperti Islam aliran Ahli Sunah Waljamaah, sisa-sisa Muktazilah, Syî„ah Ismâ„îliyyah, Syî„ah lainnya, dan kelompok Ahl al-Zimmah, yaitu Yahudi dan Nasrani.15 Namun demikian, agama mayoritas masyarakat adalah Islam, khususnya Ahli Sunah Wal jamaah yang terdiri dari aliran Asy„ariyyah, Mâtûridiyyah, dan Ahl az-zâhir dari ¦anabilah16 yang mengasosiasikan diri sebagai Salâfiyyah. Al-„Izz diketahui mengikut Asy„ariyyah dan menjadi bagian dari mata rantai penyebaran aliran ini.17

Kondisi objektif perpolitikan pada masa al-„Izz ditandai dengan banyaknya peristiwa politik. Hal itu disebabkan persoalan internal dan eksternal kaum Muslim. Pada masa itu peristiwa penting yang bergolak di Syam dan Mesir adalah peperangan dengan pasukan Salib dan Tartar. Gerakan tentara Salib relatif lebih mengancam kawasan yang berdekatan dengan wilayah kaum Muslim sekaligus menjadi jalur-jalur perjalanan ke Eropa. Sementara itu, di bagian Timur, tentara Tartar telah memporakporandakan sejumlah wilayah sehingga mengakibatkan runtuhnya Khilâfah al-Islâmiyyah di Bagdad ( 656 H./1258 M). Peperangan ini juga menjalar sampai ke berbagai daerah hingga memasuki Syam dan Mesir. Inilah yang menjadi issu ekternal terbesar dalam bidang politik.

Dilihat dari sudut pandang sejarah politik Islam, era kehidupan al-„Izz berada pada kekuasaan Daulah Ayy-biyyah dan awal-awal Daulah Mamâlik. Dalam masa percaturan politik inilah al-„Izz tumbuh dan dibesarkan. Al-„Izz menjadi saksi tatkala Palestina direbut dari cengkraman tentara Salib. Setelah beberapa waktu muncullah kekuasaan Mamâlik Bahriyah dan al-„Izz berada di tengah-tengah kekuasaan Mamâlik tersebut.18 Ia juga hidup pada era Khilâfah „Abbâsiyyah diporak-porandakan Bangsa Mongol di Bagdad dan sekaligus tentara Mongol dikalahkan di Ain Jalut, Palestina, oleh tentara Saifudd³n Qutz (w. 658

(6)

H./1260 M.), Sultan Mesir.19 Semua peristiwa itu membentuk al-„Izz menjadi ulama yang responsif atas kondisi sosial dan politik umat Islam.

Pada zaman pemerintahan al-Asyraf Mûsâ, kemudian dilanjutkan al-Malik al-Shâlih „lmâduddîn Ismâ„îl dari Ban³ Ayy-b, al-„Izz mendapat kedudukan yang tinggi dari Sultan dan menjadi rujukan dalam ilmu keislaman. Lebih dari itu, ia juga diangkat sebagai khatib di Masjid Agung Bani Umayyah di Damaskus. Namun, era harmonis itu berakhir dengan sejumlah masalah yang meretakkan relasi mereka. Al-Malik as-Shâlih Ismâîl mengobarkan peperangan terhadap keponakannya al-Malik al-Shâlih Najmuddîn Ayy-b yang menjadi penguasa Mesir serta melakukan kerja sama dengan Tentara Salib. Hal ini tidak disetujui oleh al-'Izz, sehingga ia dipenjarakan dan selanjutnya hijrah ke Mesir.

Pada tahun 639 H. al-„Izz sampai di Mesir. Al-Malik al-Shâlih Najmuddîn menyambut kedatangannya dengan hangat dan mendudukkannnya pada posisi yang mulia. Al-„Izz diangkat sebagai khatib di Masjid „Amr ibn al-Ash dan qâdi

di wilayah yang baru didatanginya. Ulama Mesir juga menyambutnya dengan antusias, bahkan asy-Syaikh Zaky al-Dîn al-Munzirî melarang ulama Mesir berfatwa setelah kehadiran al-„Izz. Ungkapannya yang terkenal adalah, “Kami berfatwa sebelum kehadirannya, tetapi setelah ia hadir kedudukan fatwa berada di pundaknya.”20

Namun, di Mesir pun Syaikh al-„Izz juga kerap diterpa berbagai permasalahan yang terkait dengan respons dan fatwanya atas kebijakan dan tradisi pemerintahaan saat itu. Di antara issu politik yang terpenting di Mesir yang ditanggapinya adalah kasus Syajarah ad-Durr (w. 655 H.) yang mengangkat dirinya sebagai Sultanah dan penebusan atas kemerdekaan para raja yang berasal dari budak.

Sebenarnya, al-„Izz baru memulai pendidikannya ketika beranjak dewasa. Penyebabnya karena ketidakmampuan sanak familinya untuk membiayai pendidikannya. Kemiskinan itu pula yang mengharuskan al-„Izz untuk ikut memenuhi nafkah keluarga. Sehingga, pada suatu saat, ia terpaksa bermalam di Kallâsah Universitas Damaskus, yaitu salah satu pojok pintu sebelah kanan masjid Damaskus untuk berteduh.21 Sesuatu yang mendorongnya untuk merebahkan badan dan memejamkan mata di Kallâsah adalah karena kondisi cuaca Damaskus yang sangat dingin dan membuatnya tidak kuat untuk bergelandangan di pinggir-pinggir jalan kota. Di dalam Tabaqât asy-Syâfi„î al-Kubrâ diriwayatkan bahwa semangat al-„Izz menuntut ilmu berawal dari dalam Kallâsah masjid tersebut,

(7)

semangat yang sarat dengan mistis.22 Al-„Izz belajar kepada imam-imam terpercaya di dalam mazhab asy-Syâfi„î. Sebagaimana yang dikatakan oleh ad-Dâwûdî (w. 945 H.), ia tidak meninggalkan seorang syaikh kecuali syaikh itu mengatakan, “Engkau telah cukup [belajar] denganku, maka sibukkanlah dirimu dengan urusanmu sendiri.”23 Ia mempelajari hadis dari al-Hâfizh Abû Muhammad Qâsim ibn Hâfiz Kabîr ibn „Asâkir (w. 603 H./1206 M.) dan „Abd al-Lathîf ibn Ismâ„il al-Bagdâdî (w. 526 H./1131 M.). Ia belajar fikih asy-Syâfi„î kepada Fakhr al-Dîn ibn „Asâkir (w. 620 H./1223 M.) dan belajar usul fikih kepada Syaifuddîn al-Amidî (w. 631 H./1234 M.). Ia juga menekuni kitab

al-Bidâyah kepada Syaikh Barakât Ibrâhîm Khusyû„î (w. 598 H. /1202 M.) dan

al-Qâdhî Jamâl al-Dîn al-Harastânî (w. 605 H./1208 M.).

Pada tahun 597 H./1201 M. al-„Izz melakukan perjalanan ilmiah ke Bagdad dan belajar hadis kepada Abu Hafs „Umar ibn °abarzad (w. 607 H./1210 M.) dan Hanbal ibn „Abdillah ar-Rashshafî (w. 604 H./1207 M.). Namun, di Bagdad ia hanya tinggal dalam waktu yang tidak lama dan kembali lagi ke Damaskus. Mereka yang disebutkan di atas inilah yang banyak mempengaruhi pola pikir dan perilaku al-„Izz di dalam bidang fikih, usul fikih, biografi, ilmu sosial, dan peradilan (al-qadhâ). Berikut ini dikemukakan sejumlah tokoh yang paling berpengaruh dan pernah menjadi gurunya.

Orang yang belajar kepada al-„Izz sangat banyak, sebab ia adalah ulama terkemuka pada eranya. Ia adalah sumber mata air ilmu pengetahuan, ia ahli dalam ilmu akidah, usul, tafsir, akhlak, dan fikih. Tidak sedikit orang yang datang ke Mesir hanya untuk menimba ilmu darinya. Sebagaimana yang dikatakan „Abd al-Faqîr bahwa tidak kurang dari 34 ulama terkemuka pada zaman itu pernah menjadi muridnya. Enam orang di antaranya telah sampai kepada tingkat mujtahid dalam ilmu fikih, sebagian menjadi ahli hadis, dan sebagian lagi menjadi ahli dalam ilmu kalam. Namun, dari sekian banyak murid, yang paling dikenal dan berpengaruh setelah kewafatannya adalah sebagai yang disebutkan berikut ini. Pertama, Taqiyuddîn ibn Daqîq al-„Id, yaitu Taqiyuddin Ab- al-Fath Muhammad ibn Majduddîn „Ali ibn Wahb ibn Muti„ ibn Abî al-Tha„ah al-Qusyairî yang lahir pada tahun 625 H./1227 M.24 Kedua, Ahmad ibn Idrîs al-Qarâfi (w. 684 H./1285 M.). Dia adalah Syihâb al-Dîn al-„Abbâs Ahmad ibn „Abd al-Alâ' Idrîs ibn „Abdirrahmân ibn „Abdillah ibn Yallîn al-Shanhajî al-Bahnasî al-Mishrî. Al-Qarâfi merupakan „allâmah yang oleh Ibn Farhûn (w. 769 H./1368 M.) disebutkan

(8)

sebagai fâqih yang ilmunya telah santak (menjulang) mencapai kepemimpinan di dalam mazhab Malikî.25 Ketiga, Nâsiruddîn ibn al-Munayyir al-Iskandaranî yang lahir pada tahun 610 H./1214 M., ia juga dikenal dengan sebutan Ibn Munayyir al-Jarwî al-Jazhâmî al-IskandarI yang menulis catatan terhadap Tafsîr al-Kasysyâf

az-Zamakhsyarî, yaitu al-Intishâf min al-Kasysyâf.26 Keempat „Alâ'uddîn al-Bâjî.

Ia adalah „Ali ibn Muammad ibn „Abdurrahmân ibn Khathâb „Alâ'uddîn al-Bâjî. Tâjuddîn as-Subkî menyebutnya sebagai Imâm al-Ushuliyyîn pada zamannya, ahli dalam perdebatan, seorang yang warak dan taqwa.27 Kelima, al-hâfiz Ab- Syâmah al-Maqdisî yang lahir pada tahun 599 H./1203 M. Ia adalah 'Abdurrahmân ibn Ismâ„il ibn Ibrâhîm ibn „Usmân asy-Syaikh Syihâbuddîn al-Maqdisî ad-Dimasyqî Ab- Syâmah.28 Ia merupakan salah seorang imam pada zamannya.29 Keenam, Tâjuddîn ibn al-Firkâh yang nama lengkapnya „Abdurrahmân ibn Ibrâhîm ibn dhiyâ' ibn Sibâ„ al-Fazzârî. Namanya lebih dikenal dengan Ibn Firkâh, seorang fâqih di Syam.

Keistimewaan al-„Izz dibandingkan ulama lain sezamannya adalah karena ia bukan hanya mampu menempatkan diri sebagai seorang yang penting dalam ritme sejarah keagamaan, sosial, dan politik umat Islam, tetapi juga ia telah memposisikan diri sebagai penulis produktif yang mampu merekam kondisi sosial, politik, dan keagamaan. Hal itu menjadi kelebihan tersendiri baginya jika dilihat dari kesibukannya yang tinggi sebagai seorang qâdhI, muftî, imam, guru, dan dai umat. Lebih dari itu, tulisan-tulisannya menjadi karya yang penting dan rujukan dalam setiap bidang yang ditulisnya. Lebih menakjubkan lagi, tidak terlihat adanya kesan penyaduran dan pengulangan yang tanpa makna dari karya-karyanya. Kendatipun sejumlah kitab itu ditulis dalam uraian yang ringkas, tetapi dapat dilihat bahwa karya-karyanya memberikan kontribusi dan informasi penting sebagai dasar dan landasan untuk kajian lanjutan. Dalam pada itu, karya-karya singkat tersebut justru menggambarkan kepada pembaca dan peniliti betapa al-„Izz memiliki kemampuan yang tinggi dalam merumuskan kata-kata yang padat, singkat, dan tepat (jawâmi„ al-kalim). Sebagai contoh dapat dilihat di dalam tulisannya Risâlah fî at-Tauhîd, al-Mulhah fî I„tiqâd Ahl al-Haqq, dan al-Anwâ„ fî

„Ul­m at-Tauhîd. Jika penulis sejarah usul fikih menempatkan penghargaan yang

tinggi kepada kitab al-Muwâfaqât karya asy-Syâtibî (w. 790 H./1388 M.) tentang

maslahah dan maqâsîd asy-Syar„iyyah, maka sesungguhnya kerangka kajian ini

(9)

al-Anâm dan al-Fawâ'id fi Ikhtishâr al-Maqâshîd. Kendatipun Abu Bakr al-Qaffâl asy-Syâsyî (w. 365 H./975 M.) di dalam Mahâsin asy-Syari„ah, Imam al-Juwainî (w. 478 H./1085 M.) di dalam al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh, al-Gazâlî (w. 505 H./1111 M.) di dalam al-Mustafâ, ar-Râzî (w. 606 H./1209 M.) di dalam

al-Mahshûl fî Ushûl al-Fiqh, dan al-Amidî (w. 631 H./1234 M.) di dalam al-Ihkâm fî

Ushul al-Ahkâm telah merintis pembahasan mashlâhah, namun dua karya al-„Izz

yang disebutkan telah memberikan sitematisasi dan kaidah-kaidah yang terumus di seputar maslahâh dan maqâshîd al-ahkâm. Demikian juga tentang majâz di dalam Alquran, dengan sangat menakjubkan ia menuangkan kecerdasan dan kemahirannya terhadap Bahasa Arab, ilmu-ilmu „arabiyyah, dan keislaman sehingga menepis kesaraman manusia tentang eksistensi ungkapan-ungkapan metaforis di dalam Alquran. Kitab yang dimaksud adalah Majâz. al-Qur'ân atau disebut juga dengan nama al-Isyârah ilâ al-´jâz fî ba„dh Anwâ„ al-Majâz. kitab berharga lainnya adalah Syajarah al-Ma„arif dan sejumlah karya lainnya.

Usia kehidupan al-„Izz ibn „Abdissalâm berakhir pada masa pemerintahan al-zhâhir Baibaras (w. 676 H./1277 M.). Ditemukan satu ungkapan yang dikemukakan oleh al-zhâhir Baibaras tatkala kewafatan al-„Izz, “Sekaranglah kekuasaanku baru benar-benar utuh. Sungguh, jika ia memerintahkan manusia terhadap eksistensiku tentu mereka akan segera untuk memenuhi perintahnya.”30

Makna Imân Menurut al-‘Izz ibn ‘Abdissalâm

Kitab yang representatif menggambarkan pemikiran al-„Izz tentang imân

dan islâm adalah karyanya yang berjudul Ma„nâ al-Imân wa al-Islâm. Kitab ini

ditulis oleh al-„Izz untuk menjelaskan hakikat kedua term tersebut. Oleh karena itu, kitab Ma„nâ al-Imân wa al-Islâm akan menjadi rujukan utama dalam pembahasan ini di samping karya-karya lainnya yang terkait, seperti Syajarah

al-Ma„ârif, al-Majâz. fi al-Qur`an, al-Fatawâ, dan Qawâ„id al-Kubrâ.

Ketika menjelaskan makna imân, al-„Izz merumuskannya dalam dua sudut pandang. Pertama, dari sudut kebahasaan (lugah) dan kedua dari sudut syariah

(syara„). Dari sudut kebahasaan imân adalah:

"... suatu ungkapan secara hakikat tentang pembenaran di dalam hati (tashdiq al-qalb), dan secara Majâzî tentang amal yang merupakan konsekuensi dari pemebenaran (tasd³q al-qalb) tersebut. Sebab amal dalam hubungannya dengan

(10)

Dalam nukilan di atas ditemukan bahwa imân secara hakikat kebahasaan adalah suatu ungkapan tentang pembenaran di dalam hati (tashdîq al-qalb) terhadap apapun. Namun, secara Majâzî dipakaikan untuk makna amal, sebagai akibat dari tashdîq. Dalam kaitan ini amal merupakan pengejawantahan dari imân.

Dengan kata lain, amal adalah buah, faedah, cabang, dan musabbab dari imân

yang ada di dalam hati. Berdasarkan telaahan al-„Izz, pemaknaan seperti ini, kerap digunakan orang Arab dalam komunikasi tulis dan lisan, yaitu menggunakan

musabbab (akibat) sebagai ganti dari musababbib (sesuatu yang menyebabkan).

Term imân juga dipakaikan untuk pengertian ketenangan hati (tuma'ninah

al-qalb) dan ketenteramannya (wa sâkinatuh); serta diterapkan pula untuk makna

iqrâr bi al-lisân, yaitu pengakuan seseorang dengan lisannya.32

Imân dalam pengertian (istilah) syariah dapat dilihat dari ungkapan al-„Izz berikut, "Sungguh Pembuat syariah telah mengkhususkan penggunaan kata „tashdîq‟ (pembenaran) –yakni tashdîq dalam hati- terhadap tashdîq atas ajaran-ajaran syar„iyah. Ukuran minimal tashdîq adalah [membenarkan] dua kalimah syahadah dan selanjutnya diiringi oleh informasi yang disebutkan di dalam hadis Jibril, yaitu tashdîq terhadap Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, dan qadar dari Allah. Semua ini merupakan hakikat dalam sudup pandang bahasa (lugawi), yaitu ditinjau dari sisi keberadaaannya sebagai tashdîq; dan dari sisi kekhususan maknanya terhadap ajaran-ajaran syariah ia adalah Majâz.. Perbandingannya, hakikat kata dâbbah menurut bahasa, adalah untuk setiap yang melata dan berjalan, dan pengkhususannya terhadap sebagian yang melata (yakni untuk yang berkaki empat)

merupakan Majâz. dalam urf. 33

Dalam kutipan di atas ditemukan bahwa syariah penggunaan istilah

tashdîq bi al-qalb dikhususkan tashdîq terhadap ajaran-ajaran syariah (al-um-r

asy-syar„iyyah). Ukuran minimal tashdîq al-qalb tersebut adalah tashdîq terhadap

syahâdatain dan tashdîq sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadis Jibril,34

yaitu tashdîq terhadap Allah, para malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, para rasul-Nya, Hari Kiamat, dan qadar Allah swt.

Pengertian tashdîq dalam makna imân di atas merupakan Majâz. tatkala dinisbatkan kepada hakikat lugawiyah. Sebab, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-„Izz, pengertian imân sesungguhnya adalah tashdîq yang mencakup seluruh pembenaran, baik yang berhubungan dengan syariah maupun selainnya. Namun jika ditinjau pengertian imân dari Pembuat syariah maka imân yang dimaksud adalah tashdîq yang terkhusus dalam ajaran-ajaran syariah. Imân dalam pengertian ini adalah makna hakikat pada imân-syariah, namun sebagai majazi

(11)

dalam sudut pandang bahasa. Artinya, ketika Pembuat syariah menegaskan kata

imân maka yang dimaksud adalah imân dalam sudut pandang syar„³, bukan imân

dalam sudut pandang lugawî. Dengan demikian, makna imân di sini adalah

tashdîq terhadap ajaran-ajaran syariah semata.

Keberadaan imân sebagai tashdîq –yakni pembenaran di dalam hati

(tashdîq qalbi)- merupakan pendapat umum di dalam aliran Asy„ariyyah.

Berdasarkan kajian literatur yang dilakukan, kelihatannya, al-„Izz sebagai seorang

Asy„ariyyah, menjadi penerus ajaran tersebut. Sehingga, apa yang

didefinisikannya tentang imân tidak berbeda dari definisi yang diutarakan oleh ulama Asy„ariyyah sebelumnya. Karena itu, keberadaan amal (al-„amal) bagi al-„Izz tidak termasuk dalam hakikat imân. Walaupun demikian, hal itu tidak berarti bahwa amal tidak penting dan tidak dituntut untuk dilakukan. Untuk menjamin eksistensi amal sebagai sesuatu yang penting di dalam syariah, maka amal harus masuk ke dalam pengertian imân kendatipun dari sudut pandang lainnya, yaitu

Majâzî.

Amal dapat dinisbahkan sebagai imân secara Majâzî disebabkan keberadaannya menjadi faedah dan buah dari ke-imân-an yang tersemat di dalam hati. Al-„Izz mengatakan bahwa syari„ lebih sering menggunakan redaksi imân

sebagai pembenaran (tashdîq) terhadap ajaran-ajaran syariah ketimbang menggunakannya dalam pengertian buah atau faedah dari imân. Kelihatannya, amal-amal ketaatan dalam pandangan al-„Izz tidak saja bersifat lahiriah tetapi juga batiniah. Atas dasar inilah ia mengatergorisasikan amal ketaatan tersebut kepada amal-amal hati (a„mâl al-qulûb), amal lisan (al-alsinah), amal anggota tubuh (

al-jawârih), dan amal badan (al-abdân). Hal ini ia jelaskan ketika memberikan

contoh terhadap bentuk-bentuk ketaatan di dalam sejumlah firman Allah. Namun, dari empat pembagian itu akhirnya tereduksi menjadi dua kategorisasi, yaitu a„ml

al-qulûb dan a„mâl al-jawârih. Penjelasan ini ditemukan ketika al-„Izz

memberikan pemisalan di dalam surah al-Anfâl ayat 3:

ْمُهْتَدا َز ُهُتاَيآ ْمِهْيَلَع ْتَيِلُت اَذِإ َو ْمُهُبوُلُق ْتَلِج َو ُ َّاللَّ َرِكُذ اَذِإ َنيِذَّلا َنوُنِم ْؤُمْلا اَمَّنِإ

ىَلَع َو اًناَميِإ

َنوُلَّك َوَتَي ْمِهِّبَر

(2)

َنْق َز َر اَّمِم َو َة َلََّصلا َنوُميِقُي َنيِذَّلا

َنوُقِفْنُي ْمُها

(3)

اًّق َح َنوُنِم ْؤُمْلا ُمُه َكِئَلوُأ

ٌمي ِرَك ٌق ْز ِر َو ٌةَرِفْغَم َو ْمِهِّبَر َدْنِع ٌتاَجَرَد ْمُهَل

(4)

(Sesungguhnya orang-orang yang ber-imân itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah imân mereka (karenanya) dan kepada

(12)

Rabblah mereka bertawakkal, (QS. 8:2) (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. 8:3) Itulah orang-orang yang ber-imân dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rejeki (nikmat) yang mulia. (QS. 8:4)

Menurut al-„Izz getaran hati dan tawakkal merupakan amal hati, sementara mendirikan salat dan mengeluarkan zakat adalah amal anggota tubuh.35 Dalam konteks ayat ini, kata innamâ mengindikasikan imân nihil bagi orang yang tidak memiliki karakter ketaatan sebagaimana yang ditegaskan di dalam ayat. Sebab, kata innamâ dalam Bahasa Arab menghasilkan penidakaan (nafy) pada satu sisi dan penetapan (isbat) pada sisi yang lain, yaitu menidakkan imân bagi orang yang tidak bergetar hatinya ketika disebutkan nama Allah dan menetapkan sebaliknya. Demikian juga keberadaannya bagi orang yang tidak bertawakkal, tidak melaksanakan salat, dan tidak mengeluarkan sebagian hartanya. Di sini ada dua kategori amal, yaitu amal hati (batin) dan amal anggota tubuh (lahir).

Menurut al-„Izz penafsiran sederhana terhadap ayat di atas bisa menimbulkan permasalahan. Letak persoalannya bukanlah pada kedudukan

innamâ yang berfungsi sebagai adat al-hashr (nafy dan ithbât) di dalam kalimat,

tetapi pada pemaknaan imân di dalam ayat. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa secara hakikat imân adalah pembenaran di dalam hati (tashdîq bi al-qalb) dan secara Majâzî merupakan perbuatan anggota tubuh (a„mâl bi al-jawârih). Penafian imân di sini bisa disalahpahami, yaitu penafian secara keseluruhan atau sebagian yang tergolong ke dalam penafian imân al-haq³q³. Padahal penafian

imân dalam konteks ayat ini adalah penafian imân dalam ranah imân al-Majâzî, yaitu perbuatan anggota tubuh, bukan pada hakikatnya, yaitu tashdîq al-qalb. Dengan demikian, ketika seseorang meninggalkan atau tidak memenuhi karakter Mukmin di dalam ayat ini, maka sesungguhnya ia tidaklah Mukmin secara

Majâzî, namun tetap diakui sebagai mukmin haqîqî, yakni ketika ia melakukan

atau memelihara tashdîq bi al-qalb. Penjelasan tentang hal ini dapat dilihat di dalam kutipan berikut:

"Jika dikatakan, “Sungguh sesuatu itu akan ternafi disebabkan ternafi

syaratnya, sebagaimana ternafi sesuatu disebabkan ternafi juzu‟-nya. Lalu

bagaimana pendapatmu (jika dikatakan) imân akan ternafi di sini disebabkan ternafi juzu‟-nya? Kami menjawab bahwa Ahli Sunnah sepakat bahwa amal

(13)

Demikian pula dengan firman Allah Ta„ala, “ (terjemahnya) Allah tidak akan menyia-nyiakan imân kamu”, yakni salat kamu. Salat disebut Allah sebagai

imân disebabkan salat merupakan buah dan faedah dari imân. Demikian juga sabda Nabi saw. terhadap kelompok „Abd al-Qais,”Apakah kamu mengetahui tentang imân kepada Allah?” “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui!” Nabi bersabda, "Imân adalah kesaksian bahwa tiada ilâh yang hak untuk diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan salat, membayar zakat, dan menunaikan seperlima dari harta rampasan perang." Di sini, Nabi saw. menjadikan salat, membayar zakat, dan menunaikan seperlima harta rampasan perang sebagai imân.37

Menurut al-„Izz, pernyataan bahwa amal bukan syarat bagi imân

merupakan kesepakatan Ahli Sunnah Waljamaah, yaitu amal hanya sebagai buah dari ke-imân-an. Dalam kaitan ini, Ahli Sunnah yang dimaksudkan oleh al-„Izz tentu aliran Asy„ariyyah. Sebab, Ahli Hadis, kendatipun mereka tidak menggunakan term syarat dalam ranah imân, tetapi mereka mengakui bahwa amal adalah bagian (juz') dari imân. Dengan kata lain, amal adalah susunan dari tubuh

imân itu sendiri. Dalam pada itu, pendapat Asy„ariyyah pada ukuran tertentu mirip dengan sejumlah sekte Murji'ah yang menetapkan amal bukanlah imân atau bagian dari imân. Atas dasar inilah sejumlah penulis teologi Islam mengkritisi ajaran Asy„ariyyah dalam konsep imân dan memposisikannya sebagai saudara karib bagi Murji'ah.

Dalam kaitannya dengan syahâdah, al-„Izz mengemukakan bahwa

syahdaatain dimungkinkan untuk dipahami dalam pegertian pembenaran dan

kesaksian di dalam hati (syahâdahal-qalb). Namun, pada kenyataannya yang dimaksudkan adalah syahâdahlisan (syahâdahbi al-lisân). Sebab, makna seperti itulah yang diinginkan dengan term syahâdahpada lahirnya, baik menurut bahasa

(lugah) maupun kebiasaan penggunaannya („urf) dalam masyarakat Arab. Alasan

lain yang dikemukakan al-„Izz adalah, “Andaikan lafal syah±datain digunakan untuk makna tashdîq niscaya berhimpunlah makna haqîqîdan Majâz. di dalam lafal imân sekaligus, padahal kemungkinan seperti ini diperselisihkan (mukhtalaf fîh).”38 Ia menambahkan, “Jika penggunaan makna haqîqî dan Majâz. itu disepakati dalam struktur sekalipun, hal itu tetap memberikan pengertian bahwa makna Majâz. murni (mahdah) lebih utama diaplikasikan dalam konteks kalimat disebabkan penggunaan makna Majâz. lebih dominan.”39 Dalam hal ini, susunan

(14)

kalimat makna Majâz.-nya menjadi pilihan mutlak. Karena itu, syahâdatain yang dimaksud di sini adalah pelafalan dua kalimah syahâdah, bukan sekedar pengakuan hati. Di sini konteks pembicaraan tidak lagi pada kategori haqîqîdan

Majâzî dalam terminologi an sich, tetapi mengacu kepada dominasi penggunaan

Majâz. murni yang diistilahkan oleh al-„Izz dengan ligalabah isti„mâl lafz fî

al-Majâz. al-mahdh.

Dalam pandangan al-„Izz, imân Majâzî tidak saja pada amal-amal yang harus dilakukan tetapi juga termasuk amal-amal yang mesti ditinggalkan. Maksudnya, ditemukan larangan-larangan dari Syâri„ yang wajib tidak dilakukan karena akan mencederai imân. Jika larangan-larangan tersebut ditinggalkan maka hal itu sebagai indikasi seseorang telah memiliki karakter mukmin. Misalnya hadis Nabi saw.

نِم ْؤُم َوُه َو ُق ِرْسَي َنيِح ُق ِرْسَي َلَ َو ٌنِم ْؤُم َوُه َو يِن ْزَي َنيِح يِناَّزلا يِن ْزَي َلَ ...

ُب َرْشَي َلَ َو

ٌنِم ْؤُم َوُه َو ُب َرْشَي َنيِح َرْم َخْلا

40

(... Tidaklah seorang pezina ketika ia berzina dalam keadaan mukmin, tidaklah seorang pencuri ketika ia mencuri dalam keadaan mukmin, tidaklah seorang peminum khamar ketika ia meminumnya dalam keadaan mukmin.)

Di dalam hadis ini ditegaskan bahwa meninggalkan perbuatan yang diharamkan adalah bagian dari imân. Ketika seseorang tidak meninggalkan larangan, maka ternafilah imân di dalam dirinya. Sebab, ia telah menafikan bagian dari ke-imân-an. Namun yang dinafikan di sini adalah imân Majâzî bukan imân

haqîqîsebagaimana telah dijelaskan pada kasus amal-amal ketaatan. Oleh sebab

itu, menurut al-„Izz, boleh menggunakan kata imân terhadap sesuatu yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang, baik itu amal hati, amal lisan, amal anggota tubuh, maupun amal badaniah, yakni sebagai imânMajâzî.

Antonim dari imân adalah kufr. Dalam pandangan al-„Izz, sebagaimana

imân, kufr juga menghasilkan buah dari kekafiran, yaitu amal-amal maksiat. Demikian juga tanda-tanda tashdîq (am±rat at-tashdîq) sebagai imân, maka tanda-tanda keingkaran disebut dengan kufr. Di dalam hadis banyak ditemukan penggunaan kata kufr untuk menggambarkan suatu keingkaran, misalnya sabda Nabi saw., "... Dua hal yang ditemukan pada manusia yang mengindikasikan

(15)

Perbandingan antara imân dan kufr yang dilakukan oleh al-„Izz mengindikasikan bahwa kekufuran tidak selamanya menyebabkan seseorang keluar dari Islam jika kekufuran itu tidak membatalkan imânhaqîqî.

Menempatkan amal lahir sebagai imân Majâzî mengundang persoalan. Namun diskusi di seputar hal ini kurang mendapat perhatian al-„Izz. Kendatipun demikian, ia tetap meresponsnya dalam porsi yang sedikit. Permasalahan yang dimaksud adalah terkait dengan pertanyaan, “Apakah seseorang telah dinyatakan sebagai Muslim atau Mukmin hanya mengakui di dalam hati tentang sesuatu yang wajib di-imân-inya, tanpa melafalkannya?” Diketahui bahwa tindakan melafalkan merupakan perbuatan lahir, bukan amal batin. Jika dikatakan tindakan itu memadai, maka seseorang tidak perlu masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahâdah, cukup hanya mengakui (tashdîq) di dalam hati. Jika ini dibenarkan maka tentu akan menimbulkan persoalan lain. Misalnya, Abu thâlib ibn „Abd al-Muthalib adalah seorang yang mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw., dan membelanya hingga akhir hayatnya, namun ia tidak melafalkan

syahâdatain. Jika amal hati memadai untuk menetapkan status ke-imân-an, maka

„Abu Tâlib adalah orang yang ber-imân. Lalu, jika ia dinisbatkan sebagai Mukmin dengan pengakuan hati semata, mengapa Rasul saw. menganggapnya tidak

ber-imân dan Allah menurunkan ayat tentang hidayah bukan milik Nabi saw? Ini adalah problem teologis yang seyogiannya harus dijawab oleh al-„Izz.

Di dalam kaitan ini ditemukan sejumlah penjelasan. Di antaranya adalah di dalam kitab Musykil al-Qurâ±n sebagai berikut:

"… Firman Allah Azza wa Jalla, “Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan (imân) ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar (tashdîq). Dan kalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu). Sesungguhnya yang dimaksud dengan al-khair (kebaikan) di sini adalah imân. Allah mengungkapkan dalam ayat ini [lafal] as-sama„ adalah untuk menjelaskan tashdîq terhadap segala yang dibawa oleh Rasulullah saw. Lalu muncul pertanyaan dari orang yang bertanya tentang maksud ayat, “Jika Allah Taala telah mengakui adanya tashdîq bagi mereka terhadap segala yang datang dari Rasul saw., lalu mengapa mereka tidak [digolongkan] sebagai orang ber-imân dan mereka justru berpaling? Jawaban terhadap masalah ini: Mereka

berpaling pada lahiriahnya tidak berpaling pada hatinya, Sebagaimana Abu Talib

dan orang Yahudi.” 42

Di sini al-„Izz menegaskan adanya pengakuan dalam hati (tashdîq) bagi sejumlah orang, namun mereka tidak ditetapkan sebagai Mukmin dalam

(16)

pandangan syariah. Sebab, mereka berpaling dan menyombongkan diri dilihat dari ketidakmauan mereka mengikrarkannya. Karena itulah mereka tidak mengungkapkan ke-imân-annya dan tunduk kepada kebenaran. Menurut al-„Izz orang yang mengakui dalam hati (tashdîq) tentang kebenaran tanpa mengungkapkannya (iz„ân), maka ia tidak dianggap telah memenuhi imân syar„i. Atas dasar inilah Abu Thalib dan sejulah orang Yahudi tidak dimasukkan ke dalam orang-orang yang ber-imân kendatipun mereka membenarkan di dalam hati ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Dari penjelasan ini ditemukan bahwa al-„Izz menjadikan iz„ân sebagai syarat diterimanya keber-imân-an seseorang. Namun ia tidak menjelaskan secara literal di dalam sejumlah karyanya. Al-„Izz justru mengemukakan konsep, " Menetapkan sesuatu yang tidak ada ke dalam hukum sesuatu yang ada."

Sebagaimana yang dikemukakan oleh „Abdussalâm Mâzin bahwa al-„Izz menjadikan keberadaan seseorang yang tidak mau melaksanakan hukum Islam dan tidak mengungkapkannya dengan lisan menjadi bukti bahwa seseorang itu berpaling dari tashdîq (yang ada di dalam hatinya).43 Namun demikian, al-„Izz tidak mengatakan bahwa mengikrarkan (al-iqrâr) dengan lisan merupakan syarat bagi imân. Dalam pada itu, ia menetapkan ketiadaan melakukan hukum Islam dan (minimalnya) ikrar sebagai suatu pencegah adanya imân. Sebab, hal tersebut sebagai bukti tidak adanya pengakuan (iz„ân).

Dalam kaitan ketiadaan iz„ânmembuktikan ketiadaan imân merupakan petunjuk bahwa al-„Izz menganut paham bahwa ketiadaan (ma„dûm) dapat dihukumkan ada (al-maujûd) dan sebaliknya. Kepenganutannya terhadap kaidah ini dapat dilihat di dalam kitabnya Qawâ„id al-Ahkâm:

ِم ْوُدْعَمْلا َمْكُح ُد ْوُج ْوملا وأ ِد ْوُج ْوملا َمْكُح ِم ْوُدْعَمْلا ُءاطْعإ

(Menetapkan sesuatu yang tidak ada ke dalam hukum sesuatu yang ada atau [sebaliknya] menetapkan sesuatu yang ada ke dalam hukum yang tidak ada.)44

Untuk membuktikan keberadaan kaidah ini al-„Izz memberikan sejumlah contoh di antaranya adalah terkait dengan imân anak-anak. Menurutnya, imân

anak-anak [dari ibu yang Muslimah] ketika ia masih anak-anak (a¯-¯uf-lah) tidak memenuhi imân haq³q³, –al-„Izz mengakui ke-imân-an dari dua sisi, yaitu

(17)

anak-anak hanya dihukumkan ada (quddira wujuduh) dan diberlakukanlah baginya hukum orang-orang yang ber-imân.45 Padahal, sebagaimana yang diketahui dalam standar penerimaan imân menurut al-„Izz, imân anak-anak yang belum balig tidak memenuhi standar imân sebenarnya, yaitu imân yang didasari na§r dan keyakinan. Di sini terlihat bahwa ketiadaan imân anak-anak dianggap ada dan diberlakukan padanya hukum ada, kendatipun tidak ada. Karena itu, jika anak-anak tersebut wafat, maka ia dikebumikan di pekuburan orang-orang Muslim. Sebab ia dihukumkan memiliki imân. Demikian juga diberlakukan hukum tiada terhadap imân anak-anak orang kafir, padahal mereka belum memiliki akal sempurna untuk menetapkan ber-imân atau kufur, namun bagi mereka diberlakukan hukum kafir.46 Oleh sebab itu, anak-anak orang kafir dikebumikan di pekuburan Nonmuslim karena dianggap tidak memiliki imân. Dari penjelasan ini dapat dipahami jalan pemikiran al-„Izz bahwa sesuatu yang tiada dapat dihukumkan ada. Dalam konteks melafalkan syahadah, maka ketiadaan

iz„ânmenjadi bukti bahwa seseorang itu tidak ber-imân,47 bukan karena

melafalkan syahadah bagian dari imân hakiki. Sesungguhnya, ketika al-„Izz menetapkan kemestian iz„ândan mengikuti hukum-hukum syariah serta tidak memadai hanya tashdîq (pengakuan dalam hati), maka sesungguhnya ia kehilangan konsistensi dalam penggunaan amal-amal lahiriah sebagai imân

Majâzî atau bukan imân sebenarnya (haq³q³). Di sini pendapat Ahl al-Had³£ yang

menetapkan imân adalah qaul wa „amal berhasil tegak di atas konsistensi pemikiran teologisnya. Mereka berpendapat bahwa tidak semua kasus meninggalkan amal-amal lahir menafikan keberadaan imân, sebab mereka membagi imân kepada a¡lal-imân dan far„al-imân. Baik a¡lal-imân maupun far„

al-imân adalah bagian dari kesatuan imân. Mereka hanya menyepakati yang

keluar dari imân secara mutlak adalah orang yang tidak melaksanakan a¡l imân, sementara far„imân hanya mengakibatkan kefasikan. Namun demikian, baik Ahli Hadis maupun al-„Izz sama-sama sampai pada suatu kesimpulan bahwa seseorang yang tidak melaksanakan amal lahir (syariah) tidak mengeluarkannya dari Islam.

Berkenaan dengan dengan fluktuasi imân, al-„Izz menjelaskan tentang probiblitasnya.48 Kemungkinan fluktuasi imân tashdîq tersebut terkait dengan

ta„alluq (korelasi) kepada objeknya. Jika yang menjadi objek ta„alluqimân adalah

sesuatu yang tidak berbilang (imân yata„allaq bi muttahid wa haq³qah

(18)

imân terhadap sifat Allah tersebut tidak menerima pertambahan (ziy±dah) dan pengurangan (nuqs±n). Dengan kata lain, imân terhadap wujud Allah tidak berbilang disebabkan objek ta„alluq imân di sini adalah wujud yang Esa, sementara esa tidak berbilang. Karena itu, al-„Izz mengatakan bahwa akal tidak menerima adanya pertambahan atau pengurangan dalam hal ini. Istilah yang digunakan oleh al-„Izz di dalam kitabnya adalah, “Lâ yatasawwar fih ziyâdah wa

la nuqsân.”49 Karena itu tidak dapat dibenarkan bahwa imân seseorang terhadap

wujud Allah yang Esa lebih banyak dari imân seseorang lainnya. Sebab wujud merupakan satu hakikat (haqîqah wâhidah), sementara itu sesuatu yang „satu‟

tidak mungkin lebih banyak dari dirinya (satu). Dengan demikian, sesuatu yang lebih dari satu, maka ia bukan hakikat yang satu tetapi sesuatu yang berbilang. Sementara itu, Pencipta alam ini tetap satu dan tidak mengalami keadaan bertambah dan berkurang. Berdasarkan hal ini, maka imân terhadap-Nya tetap satu dan tidak berbilang atau tidak bertambah dan berkurang. 50

Dalam kaitan ziyâdah dan nuqsân di atas harus dipahami bahwa objek tersebut adalah satu dan memiliki hakikat yang satu. Berbeda kasusnya dari contoh berikut, yaitu imân kepada wujud Allah, wahdaniyyah-Nya, dan sifat-sifat-Nya yang lain, maka ini sebagai sesuatu yang berbilang, sebab wujud adalah satu sifat, wahdaniyyah satu sifat, dan begitulah seterusnya terhadap sifat-sifat yang lain. Dalam hal ini, ditemukan objek yang berbilang, yaitu antara sifat-sifat Allah, maka imân terhadapnya dapat menerima fluktuasi di antara yang satu dan lainnya.51

Dalam konteks keterbilangan objek di atas al-„Izz mengatakan bahwa jika objek ta„alluq berbilang, maka kemungkinan imân untuk berfluktuasi dapat diterima.52 Sebab, sesuatu yang berbilang dapat menerima pengurangan dan pertambahan dalam cakupan bilagan tersebut. Berdasarkan hal ini maka imân di sini menerima kemungkinan untuk bertambah (ziyâdah) dan berkurang (nuqsh ân). Namun demikian, ungkapan ini juga harus dipahami bahwa sesuatu yang berbilang itu terkait dengan keterbilangannya bukan dalam kesatuannya. Maksudnya, jika ada dua puluh sifat misalnya, maka sifat pertama dipahami satu sifat, sifat kedua dipahami satu sifat, sifat ketiga satu sifat, dan begitulah seterusnya hingga sifat ke dua puluh. Namun dua puluh sifat ini adalah satu kesatuan. Artinya, seseorang tidak akan bertambah imân-nya lebih dari kesatuan

(19)

itu (dua puluh sifat itu). Inilah yang dimaksud dengan ungkapan al-„Izz, “al-„ilm

bi al-mufradât lâ yatasawwar fîh ziyâdah wa lâ nuqshân.53

Dalam kaitannya dengan ucapan masyî'ah (isyâ' Allah) terhadap imân, al-„Izz tergolong sebagai salah satu ulama yang memperbolehkannya. Ia merumuskan sembilan kemungkinan penggunaan kata masy³'ah di dalam ucapan. Dua dari sembilan kemungkinan itu terkait dengan imânhaqîqî dan tujuh sisanya terkait dengan imân Majâzî. Al-„Izz memberikan contoh kalimat masîy'ah seperti, "Aku ber-imân jika Allah menghendaki." Menurutnya, ungkapan ini dapat dibenarkan, baik dari sudut pandang bahasa maupun syariah, dengan penjelasan bahwa dalam akidah, siapapun tidak bisa memastikan keberadaan imân-nya pada masa yang akan datang, keberadaan imân yang mendatangkan pahala, kesempurnaan dalam ketataan kepada Allah yang dilakukan seseorang, kerusakan ibadahnya, keyakinan yang keliru atau syubhat yang membatalkan ke-imân -annya, terkait dengan masy³'ah Allah pada akhir hayat seseorang, kepastian diterimanya ibadah, hal hal yang merusak ibadah, ibadah hanya berdasarkan

zannî, bukan qath'i.54

Menurut al-„Izz, islâm menurut bahasa adalah tunduk dan patuh (inqiyâd) serta menyerahkan diri (istislâm). Terkadang kata islâm dipakaikan untuk makna

khulûhs sebagaimana yang ditemukan di dalam ungkapan, “Salima lahu kazâ, ay

khala¡a lahu.” Hal ini ditemukan juga di dalam surah az-Zumar ayat 29, “

ًلَُج َر َو

ٍلُج َرِل اًمَلَس

,” yakni, khâli¡an (terlepas).

Di dalam penjelasan selanjutnya, al-„Izz mengatakan bahwa syariah mengkhususkan makna islâm dalam pengertian ketundukan dan kepatuhan untuk melafalkan dua kalimah syahâdahdengan lisan. Dalam pengertian inilah ia menanggungkan makna islâm secara mutlak. Dengan demikian, islâm dalam pengertian syariah adalah melafalkan dua kalimah syah±dah. Ini merupakan islâm

dipahami dari sudut pandang (pengertian) hakikat syariah. Sementara islâm dalam pengertian Majâz. adalah kepatuhan (inqiyâd) atau ketaatan kepada semua tuntutan syariah. Hal ini dapat dilihat di dalam kutipan berikut ini:

"Sesungguhnya, syarak telah mengkhususkan makna islâm dengan kepatuhan [untuk mengucapkan] secara lisan dua kalimah syahâdah. Inilah makna yang kami pakaikan secara mutlak terhadapnya dengan alasan bahwa ketika seseorang bersumpah, "Aku tidak berkata-kata dengan seorang Muslim", maka ia

(20)

dihukumkan telah melanggar sumpahnya dengan berkata-kata terhadap orang yang hanya mengucapkan dua kalimah syahâdah, namun tidak [melanggar sumpah] berkata-kata terhadap orang yang tidak mengucapkan dua kalimah tersebut. Siapa yang bersumpah, "Aku tidak melihat seorang Muslim," maka ia melanggar sumpah sewaktu melihat orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahâdah), sekalipun orang itu meninggalkan semua cabang-cabang ajaran

Islam.55

Syariah menggunakan term islâm dalam kepengikutan seseorang terhadap amal-amal ketaatan. Misalnya, di dalam hadis Jibril riwayat Muslim yang menetapkan islâm adalah bersaksi bahwa tiada tuhan yang hak untuk diibadahi selain Allah dan Mu¥ammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa Ramadan, melaksanakan haji ke Baitillah, jika engkau mampu untuk sampai ke sana.56 Al-„Izz mengemukakan satu hadis lagi yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim, Sufyân ibn Abdillâh a£-tsaqafî berkata, "Aku bertanya, „Wahai Rasulullah, katakanlah untukku satu perkataan di dalam Islam yang akau tidak perlu untuk bertanya lagi kepada seseorang setelah Engkau." Di dalam hadis Abu Usâmah, [menggunakan redaksi] selain Engkau], Nabi bersabda, "Katakan Aku ber-imân kepada Allah, kemudian istiqamah-lah.")

Dalam kaitan dengan hadis ini, menurut l-Izz, istiqamah adalah lafal yang dapat mencakup setiap ketaatan.

Kontribusi al-Izz terhadap Konsep Imân dan Islâm

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya ditemukan bahwa konsep imân dan islâm yang dikemukakan al-„Izz bukanlah secara mutlak sebagai keunikan pemikirannya. Konsep tersebut telah dikemukakan oleh

anteseden al-„Izz dari ulama-ulama Asy„ariyah. Namun demikian, hal itu tidak

berati bahwa al-„Izz tidak memiliki kontribusi apa pun tentang konsep teologis tersebut. Kendatipun tidak sepenuhnya orisinal sebagai “penemu,” tetapi pada bagian tertentu, pemikirannya mengandung kadar keaslian tersendiri. Misalnya, tentang eksistensi iz„ândan hubungannya dengan penggunaan majaz murni yang diistilahkan oleh al-„Izz dengan ligalabah isti„mali al-lafz fî al-Majâz. al-mahdh

ketika menempatkan eksistensi syahâdah sebagai suatu kemestian, menempatkan perolehan ma„rifah dari nazar bagi orang yang mampu melakukannya. Sementara bagi orang yang tidak mampu melakukan na§ar maka untuk mencapai ma„rifah,

(21)

seseorang cukup dengan keyakinan semata (i„tiqâd). Al-Izz juga memiliki keunikan pendapat terkait fluktuasi imân. Di dalam penelitian Ibn „Athiyyah ibn „Ali al-Gamidî dijelaskan bahwa ada tiga pendapat di dalam aliran As„yariyyah

tentang masalah ini. Pertama, imân adalah tashdîq yang tidak menerima kemungkinan dapat bertambah atau berkurang. Sebab, imân adalah suatu pembenaran yang pasti. Kedua, imân adalah tashdîq yang menerima fluktuasi. Hal itu dilihat dari dari imân itu sendiri (zât nafsih), yakni tashdîq dan juga dilihat dari korelasinya (al-muta„allaq), yakni hal-hal yang dibawa oleh Rasulullah saw. yang wajib untuk di-imân-i. Imân dapat bertambah dan berkurang dilihat dari sisi zât

tashdîq tersebut. Ketiga, imân adalah tashdîq, dapat bertambah dan tidak dapat

berkurang.57 Dalam kaitan ini al-„Izz memiliki keunikan pendapat sendiri, ia menghubungkan konsep fluktuasi tersebut dengan objek ta„alluq sebagaimana kelompok pendapat kedua. Namun „Izz membaginya ke dalam dua bagian. Pertama, jika yang menjadi objek ta„alluq imân adalah sesuatu yang tidak berbilang.58 Kedua, dalam konteks keterbilangan objek, al-„Izz mengatakan bahwa jika objek ta„alluq tersebut berbilang, maka kemungkinan imân untuk berfluktuasi dapat diterima keberadaannya.59 Al-„Izz juga memiliki kontribusi dalam mengidentifikasi makna imân dan islâm dalam hubungan keumuman dan kekhususan maknanya.

Signifikansi Konsep al-‘Izz tentang Imân dan Islam

Kenyataan adanya aksentuasi makna imân dan islâm pada ranah tertentu telah menjadi problem teologis sehingga turut memiliki kontribusi mendorong munculnya aliran-aliran di dalam Islam. Aliran yang paling ekstirm dalam hal ini adalah aliran takfîrî, yaitu kelompok yang memfonis kafir orang-orang yang telah bersyahadat disebabkan meninggalkan ajaran-ajaran yang wajib atau melakukan sesuatu yang dilarang atau diharamkan.

Aliran teologi yang paling rentan terjebak ke dalam paham takfîrî adalah aliran yang memahami bahwa imân secara haqîqî mencakup ajaran batin dan lahir sekaligus. Sebab, dalam pandangan sederhana bahwa ketika amal-amal lahir dianggap sebagai bagian dari akidah (ajaran dasar), maka meninggalkannya atau melanggarnya tentu berimplikasi kepada pencederaan keyakinan. Ketika amal dipahami sebagai bagian utama dalam keyakinan akidah, maka mereduksinya akan mengakibatkan kerusakan imân tersebut atau justru sirna sama sekali. Imân

(22)

yang rusak atau sirna akan mengakibatkan kekafiran dan mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Dasar pemikirannya cukup jelas, imân adalah fondasi yang tidak boleh sedikitpun rusak atau hilang sebagaimana ajaran-ajaran akidah lainnya. Inilah yang terjadi pada kasus Khawarij, sebagian pengikut Muktazilah,

dan sejumlah Ahli Hadis.60 Kendatipun Muktazilah menggunakan ajaran

al-manzilah bain al-manzilatain untuk menghindarkannya dari memonis kafir,

namun pada intinya mereka mengeluarkan pelaku dosa besar dari ke-imân-an. Kelompok yang paling ekstrim adalah Khawârij, mereka mengafirkan kaum Muslim yang melakukan dosa besar secara mutlak, bahkan bagi para sahabat Nabi saw. Paham-paham seperti ini kerap memanipulasi term-term keagamaan seperti jihad, amar makruf dan nahyi munkar, penegakan hukum qishashudud, penduduk

dâr al-harb, sebagai legitimasi kekerasan dan teror. Pemahaman seperti ini

dikenal dengan kelompok ifrâth (terlalu ketat) yang berseberangan dengan kelompok tafrîth (terlalu liberal).

Murji'ah adalah representasi dari kelompok tafrîth yang ekstrim dalam

menilai amal-amal lahir sebagai sesuatu yang tidak memiliki hubungan dan konsekuensi dengan ke-imân-an. Sehingga kelompok ini menjadi kelompok yang menihilkan peran amal di dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Paham irjâ'î

pada tataran praktis dapat dilihat dalam masyarakat yang mengakui sebagai Muslim namun tidak menganggap penting ibadah-ibadah mah«ah seperti menegakkan salat, berzakat, berpuasa pada bulan Ramadan, menegakkan ajaran (syariah) Islam dan kewajiban-kewajiban diniyyah lainnya. Ini adalah suatu problem ketika amal-amal lahir tidak menjadi bagian dalam konstruksi ke-

imân-an. Hal yang paling ekstrim yang dapat terjadi dari bias pemahaman ini adalah menetapkan batasan yang terlalu longgar terhadap pemberian identitas Mukmin dan kafir atau Muslim dan kafir. Salah satu contohnya adalah apa yang dikemukakan oleh Jahm ibn ¢afwan, salah seorang perintis aliran ini. Baginya, amal dari anggota tubuh (a„mâl al-jawârih) bukanlah bagian dari imân.61 Karena itu, sekalipun seseorang tidak melakukan iqrâr dan tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban syariah (farâ'iz) tetapi ia telah mencapai ma„rifah, maka ia adalah Mukmin.62 Sementara itu, kufr adalah kebodohan (jahl) terhadap Allah. Apabila seseorang telah memperoleh ma„rifah, lalu ia menolak (juhd) secara verbal terhadap apa yang diketahuinya, maka penolakan itu tidak menjadikannya kafir. Sebab ia tidak bisa mengingkari ma„rifah-nya. Oleh sebab itu, ketika

(23)

seseorang mengatakan dengan lisannya bahwa Allah memiliki serikat, atau memiliki anak, dan lainnya, namun di dalam hatinya menyelisihi apa yang disebutkannya, maka ia adalah Mukmin dan ucapan itu tidak memiliki implikasi apapun terhadap ke-imân-annya.63 Pemikiran seperti ini tentu akan mengacaukan pemberian identitas dan batasan-batasan kepada seseorang sebagai Mukmin atau kafir atas apa yang diucapkan dan dilakukannya.

Di dalam rentang sejarah Islam selalu saja terindikasi adanya paham-paham ekstrim tersebut walaupun terkadang tidak menisbatkan diri ke dalam kelompok-kelompok yang telah diinisiasikan di dalam sejarah teologi. Hal yang sama juga tidak menutup kemungkinan terjadi di Nusantara. Tindakan kekerasan yang ditampilkan oleh kelompok-kelompok takfîrî di negeri ini pada tataran tertentu memiliki kesamaan dengan paham-paham ifrâthyang telah disebutkan. Karena itulah konsep pemikiran al-„Izz tentang imân dan islâm atau tentang ajaran lahir dan batin atau tentang ajaran hakikat dan syariah yang dipahami sebagai satu kesatuan ajaran dapat dijadikan solusi secara konseptual. Al-„Izz memposisikan amal-amal lahir menjadi sesuatu yang penting disebabkan ia merupakan bagian dari imân dalam pengertian Majâzî. Sebaliknya, amal-amal lahir tidak memiliki nilai kebaikan apapun ditinjau dari syariah tanpa dilandasi oleh imân yang mendasarinya. Amal-amal lahir adalah kumpulan dari buah keyakinan yang ditanam di dalam hati. Karena itulah amal-amal lahir dinyatakan di dalam sejumlah ayat dan Sunah sebagai imân. Dengan demikian, seorang Mukmin adalah orang meyakini segala yang wajib untuk diyakini di dalam hati dan mengekspresikan ke-imân-an itu dengan amal-amal lahir. Berdasarkan hal tersebut, baik ajaran lahir maupun ajaran batin dibutuhkan untuk menjadi hamba yang diridai oleh Allah.

Baik secara eksplisit maupun implisit al-Izz tidak menempatkan antara

imân dan islâm atau antara ajaran lahir dan batin atau ajaran syariah dan hakikat secara paradoks. Diakui bahwa tidak sedikit term imân di dalam Alquran dan Sunah yang menegasikan maknanya di luar ajaran batin. Dengan bahasa sederhana, ditemukan di dalam nas redaksi imân dipakaikan untuk ajaran lahir dan demikian juga sebaliknya, yakni ditemukan pula di dalam nas redaksi islâm yang merambah ke dalam pengertian ajaran batin.

Kendatipun hakikat imân-syar„i adalah tashdîq di dalam hati terhadap ajaran-ajaran syariah, namun amal dapat dinisbahkan sebagai imân berdasarkan

(24)

sudut pandang Majâzî sebagaimana yang ditemukan dalam pengertian kebahasaan. Amal tercakup dalam pengertian imân karena keberadaannya sebagai akibat dan pengejawatahan dari pembenaran di dalam hati (tashdîq al-qalb) terhadap ajaran-ajaran syariah. Dalam hubungannya dengan imân, amal merupakan faedah dan buah dari ke-imân-an tersebut yang menjadi sama-sama penting. Dengan demikian pada esensinya tidak ada ekspansi makna antara imân

dan islâm atau antara ajaran batin dan lahir atau antara syariah dan hakikat.

Konsekuensi logis dari pandangan ini, maka meninggalkan amal-amal lahir seperti puasa, zakat, dan amal-amal lahir lainnya atau melakukan hal-hal yang dilarang seperti mencuri, dan minum khamar tidak menyebabkan seseorang itu menafikan ke-imân-an yang menyebabkannya menjadi kafir atau keluar dari agama Islam. Sebab, hakikat imân masih dimiliki para pelaku dosa tersebut.

Dari seluruh bangunan pemikiran teologi al-„Izz ditemukan bahwa sumber pemikiran teologinya adalah Alquran dan Sunnah. Dari sinilah ia membangun pemikirannya tentang ajaran lahir dan batin atau tentang ajaran imân dan islâm. Kendatipun adanya pembagian ajaran lahir dan batin di dalam teologinya tersebut tetapi tidaklah dipahami secara dikotomis. Seluruh ajaran Islam adalah satu kesatuan. Karena itu, tidak dapat berdiri ajaran lahir tanpa ajaran batin dan sebaliknya tidak berarti apapun ajaran batin tanpa ajaran lahir. Kesatuan ajaran itu terwujud di dalam ihsân, yakni suatu keterpaduan dan kesempurnaan pada penerapan ajaran lahir dan batin atau ajaran syariah dan hakikat atau ajaran imân

dan islâm. Tujuan dari diterapkannya ajaran lahir dan batin tersebut adalah untuk

mendatangkan kemaslahatan manusia dan menjauhkannya dari mafsadah.

Maslahah yang terbesar adalah mentauhidkan Allah dan mematuhi segala

titah-Nya. Sebab, dengan tauhid dan mematuhi-Nya lah diperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Mafsadah yang terbesar adalah kesyirikan dan pembangkangan terhadap titah-titah-Nya. Sebab kesyirikan dan pembangkangan akan mendatangkan mafsadah manusia di dunia dan di akhirat. Wallahu a„lam.

Penutup

Dalam kajian ini ditemukan bahwa problem teologis yang telah lama mencuat di tengah kaum Muslim dan ditanggapi oleh banyak aliran adalah tentang

imân dan islâm. Di antranya Salaf al-Ummah, Khawârij, Murji'ah, Ahli Sunah Waljamaah yang dalam tulisan ini mencakup tiga kelompok, yaitu Salafîyyah Ahli

(25)

Hadis, Asy„ariyyah, dan Mâtûridiyyah-, Muktazilah, dan Syi„ah. Secara umum aliran-aliran tersebut selalu menempatkan imân sebagai ajaran batian atau hakikat

dan islâm sebagai ajaran lahir atau syariat.

Di antara aliran-aliran di atas ditemukan kelompok yang berfaham terlalu ketat (ifrâth) dan pada kelompok lain terlalu longgar (tafrîth). Murji'ah adalah refresentasi dari kelompok tafrîth yang ekstrim dalam menilai amal-amal lahir sebagai sesuatu yang tidak memiliki hubungan dan konsekuensi dengan keimanan. Sehingga, kelompok ini menjadi aliran yang menihilkan peran amal di dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Khawârij adalah representasi dari kelompok ifrâthyang menjadikan amal-amal lahir atau ajaran-ajaran cabang

(furu„) sebagai bagian dalam hakikat imân. Sikap ekstrim dalam ranah ini selalu

mengategorisasikan umat Muhammad saw. secara hitam putih antara Mukmin dan kafir. Karena para pelaku dosa besar dihukumkan keluar dari Islam, maka pada tataran tertentu mereka memerangi dan menghalalkan darah para peninggal ajaran-ajaran lahir tersebut. Paham-paham seperti ini telah bermutasi dalam berbagai nisbat penyebutan dan kerap memanipulasi term-term agama seperti jihad, al-amr bi al-ma„rûf dan nahyi munkar, penegakan hukum qishâs, hudûd, penduduk dâr al-harb, sebagai legitimasi kekerasan dan terror. Karena itulah pemahaman ini cukup berbahaya tidak saja pada era-era awal kemunculannya tetapi juga sepanjang sejarah manusia.

Al-„Izz atau „Izzuddîn ibn „Abdissalâm (577 H.-660 H.) adalah seorang ulama yang memberikan perhatian kepada masalah imân dan islâm sekaligus mengemukakan konsep enyelesaian teologis. Konsep pemikiran al-„Izz tentang masalah ini, atau tentang ajaran lahir dan batin, atau tentang ajaran hakikat dan syariat dipahami sebagai satu kesatuan ajaran. Ia menempatkan ajaran imân dan

islâm sebagai bagian inti dari bagunan teologi Islam yang dilandasi Alquran dan

Sunah. Iman adalah ajaran batin yang memiliki buah dan faedah, yaitu islâm, yang terekspresi pada ajaran lahir. Karena itu, iman yang baik tentu menghasilkan amal yang baik. Kesempurnaan bangunan ajaran itu terwujud di dalam ihsân, yakni suatu keterpaduan dan kesempurnaan pada penerapan ajaran lahir dan batin atau ajaran syariat dan hakikat atau ajaran imân dan islâm. Tujuan diterapkannya ajaran lahir dan batin tersebut adalah untuk mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menjauhkannya dari mafsadât. Dengan demikian, baik secara eksplisit maupun implisit al-„Izz tidak menempatkan antara imân dan islâm atau

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Ahmad Sabri (2005:1) strategi pembelajaran ialah politik atau taktik yang digunakan pendidik dalam proses pembelajaran yang tersusun secara rapi dan

Kesimpulan : 1) Terdapat hubungan positif antara lingkungan kerja dengan kepuasan kerja. Hal ini menandakan bahwa akan terjadi kepuasaan kerja jika lingkungan kerja nyaman serta

“Ada seseorang yang masuk sorga karena seekor lalat, dan ada lagi yang masuk neraka karena seekor lalat pula, para sahabat bertanya : bagaimana itu bisa terjadi ya

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dengan penerapan model kooperatif tipe TGT ( Teams Games Tournamnet ) pada siswa kelas XI

Oleh karena itu, skripsi dengan judul “Mempelajari Rasionalitas Penetapan Nisbah Bagi Hasil Produk Pembiayaan Mudharabah (Studi Kasus PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang

Pembongkaran 40 bangunan liar di atas saluran penghubung (Phb) di Jalan Hadiah RT 010/03 Kelura- han Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Senin (27/7)

Selain itu hampir semua kategori sosioprofesional yang ada di Prancis tidak pernah membaca koran nasional sebagai bentuk loisirs mereka, bahkan angka populasi aktif yang tidak

Berdasarkan nilai penjanaan perjalanan yang dikira dalam (a), kira perjalanan yang ditarik dan dihasilkan oleh pembangunan yang dicadangkan di Persimpangan A dan