• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Produksi Kayu Bulat

Produksi kayu bulat Indonesia saat ini jumlahnya terus menurun. Pada tahun 2009 produksi kayu bulat dari hutan alam hanya mencapai rata-rata sekitar 5 juta m3 per tahun. Produksi kayu bulat dari hutan alam pernah mencapai lebih dari 20 juta m3 sebelum tahun 1998 dan lebih dari 10 juta m3 pada periode tahun 1997- 2000. Pada masa lalu, satu perusahaan (Hak Pengusahaan Hutan/ HPH) bisa memiliki luas wilayah kelola ratusan ribu Ha, namun pada saat ini ada perusahaan yang yang hanya memiliki luas 10 000 Ha sampai 20 000 Ha saja.

Sumber: Departemen Kehutanan, 2006a dan Departemen Kehutanan, 2007;

Kementerian Kehutanan, 2011 Gambar 4. Produksi Kayu Bulat HPH

Produksi kayu bulat sebagian besar berasal dari hutan produksi yang dikelola oleh perusahaan melalui sistem Hak Pengusaha Hutan (HPH) dan Hak

Tahun

(2)

Pengusaha Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Selain berasal dari HPH dan HPHTI, kayu bulat juga berasal dari hasil land clearing konversi hutan, produksi perum perhutani dan hutan rakyat. Saat ini produksi kayu bulat yang bersumber dari HTI menunjukan peningkatan dibanding kayu bulat dari sumber lainnya.

Kayu bulat yang berasal dari HTI umumnya digunakan sebagai bahan baku untuk kebutuhan industri pengolahan pulp. Perkembangan produksi kayu bulat yang berasal dari selain HPH dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber: Departemen Kehutanan, 2006a dan Departemen Kehutanan, 2007;

Kementerian Kehutanan, 2011 Gambar 5. Produksi Kayu Bulat Non HPH

Pada tahun 2005 produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam, hutan tanaman industri, izin sah lainnya, dan yang berasal dari areal konversi berjumlah 24.19 juta m3, dimana produksi dari HPH memberikan kontribusi sebesar 5.69 juta m3, HTI sebesar 12.82 juta m3, Perum Perhutani 0.76 juta m3, dan yang berasal dari konversi/IPK sebesar 3.61 juta m3, serta dari Izin Sah Lainnya sebesar 1.31 juta m3. Produksi kayu bulat yang berasal daru HTI mulai menunjukan kenaikan setelah tahun 2003. Untuk kegiatan IPK juga masih cukup besar

Juta m3

Tahun

(3)

menghasilkan produk kayu pada tahun 2009 dan tahun 2010. Berdasarkan data FAO, produksi rata-rata kayu bulat Indonesia dalam rentang tahun 1975 sampai tahun 2009 berjumlah 34 juta m3 (FAO, 2011).

Sebagai penyedia kayu bulat untuk kebutuhan industri pengolahan berbasis kayu, kualitas hutan menjadi faktor kunci penentu penyediaan kayu bulat. Luas penutupan hutan (forest cover) Indonesia mencapai sekitar 133.6 juta Ha atau sebesar 71 persen luas daratan Indonesia, dimana 60.9 juta Ha merupakan hutan alam produksi, terdiri dari hutan alam produksi primer sebesar 14.8 juta Ha (24.3 persen), hutan alam produksi sekunder 21.6 juta Ha (35.5 persen) dan hutan tanaman seluas 2.4 juta Ha (3.9 persen), dan wilayah bukan-hutan seluas 18.4 juta Ha (30.2 persen).

Sampai Juni 2005, jumlah perusahaan pemilik izin HPH/IUPHHK sebanyak 281 unit, mengelola hutan 27.1 juta Ha yang kemudian mengalami peningkatan menjadi 303 unit dengan luas wilayah kelola 28.1 juta Ha pada Agustus 2006.

Namun dari jumlah itu, yang aktif hanya sekitar 149 unit dengan luas 14.6 juta Ha. Adapun jumlah HPH/ IUPHHK yang tidak aktif beroperasi sejumlah 154 unit dengan luas 17.3 juta ha. Produksi kayu bulat yang dihasilkan pada tahun 2006 berasal dari 16 provinsi, dimana produksi terbesar dihasilkan oleh Provinsi Kalimantan Timur, sebesar 3.9 juta m3, dengan komposisi dari HPH sebesar 1.9 juta m3, IPK sebesar 1.4 juta m3, HTI sebesar 535 305 m3. Daerah Penghasil terbesar kayu bulat dari HTI yaitu Provinsi Riau sebesar 6.7 juta m3.

Jumlah HPH/IUPHHK dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan, dimana pada tahun 2008 jumlah HPH yang aktif beroperasi sebanyak 308 unit, mengelola areal seluas 26.1 Ha, kemudian pada tahun 2009 menurun jumlahnya

(4)

menjadi 304 unit, mencakup luas areal kelola 25.7 Ha. Jumlah HTI mengalami peningkatan menjadi 165 unit pada tahun 2008 dan 206 unit pada tahun 2009.

Dari 45 perusahaan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman Kayu Pulp, sebanyak 12 perusahaan berkontribusi 73 persen dari total produksi. Sementara, dari 166 perusahaan IUPHHK-Hutan Tanaman Kayu Perkakas, hanya 32 perusahaan dengan luas tanaman masing-masing sekitar 9 000 Ha, berkontribusi sekitar 61 persen dari total produksi. Produksi kayu perkakas yang berasal dari hutan tanaman yang dikelola Perum Perhutani menurun sangat tajam pada periode 1994-2005, dari produksi sebesar 1.87 juta m3 pada tahun 1994 menjadi 0.76 juta m3 pada tahun 2005.

4.2. Industri Pengolahan Berbasis Kayu

Ekspor hasil hutan terbesar tahun 2006 adalah kayu lapis yang mencapai nilai US$ 1.5 milyar, dan kemudian disusul oleh ekspor pulp, sebesar US$ 1.1 milyar. Selain melakukan kegiatan ekspor hasil industri pengolahan kayu, Indonesia juga melakukan impor kayu bulat, dan impor terbesar mencapai sekitar US$ 542 juta.

Pemerintah Indonesia sangat mendorong peningkatan pertumbuhan industri perkayuan. Data mengenai hasil industri perkayuan, menyebutkan bahwa produksi kayu gergaji (sawn timber) meningkat dari 4.8 juta m3 pada tahun 1980 menjadi 7.1 juta m3 pada tahun 1985. Hasil produksi kayu gergaji terbesar yaitu sejumlah 10.4 juta m3 pada tahun 1989 dan kemudian produksi kayu gergaji menurun kembali menjadi 4.3 juta m3 pada tahun 2005. Pada tahun 2008 produksi kayu gergaji 0.53 juta m3, dan pada tahun 2009 produksi kayu gergaji sebesar 0.71 juta

(5)

m3, yang berasal dari IPHHK dengan kapasitas di atas 6 000 m3 per tahun (Kementerian Kehutanan, 2010).

Hampir 90 % anggota Indonesia Sawmill and Woodworking Association (ISWA) merupakan perusahaan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan tidak mempunyai HPH. Jumlah perusahaan yang terdaftar di BRIK dan berorientasi ekspor saat ini berkisar 1 600 perusahaan, namun yang aktif dari tahun ke tahun menurun, dimana pada tahun 2006 hanya berjumlah 602 perusahaan. Total ekspor tahun 2006 berjumlah 2.3 juta m3 dengan nilai US$ 1.29 milyar. Angka ini hampir sama dengana ekspor total tahun 2005 berjumlah 2.4 juta m3 dengan nilai US$

1,27 milyar. Negara tujuan utama ekspor woodworking adalah Jepang disusul China (Kementerian Kehutanan, 2007).

Produksi kayu lapis dan vinir juga mengalami peningkatan dari 1 juta m3 pada tahun 1980 menjadi 8.3 juta m3 pada tahun 1990. Puncaknya mencapai produksi sebesar 9.7 juta m3 pada tahun 1997 yang kemudian turun menjadi hanya sebesar 4.7 juta m3 pada tahun 2005.

Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) mencatat bahwa jumlah anggotanya per 6 Oktober 2006 adalah 130 perusahaan, namun yang aktif hanya berjumlah 68 perusahaan dengan kapasitas produksi 6.1 juta m3/tahun dimana hanya 19 unit yang berproduksi normal (1.54 juta m3/tahun). Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan (2010), total ekspor kayu lapis tahun 2009 berjumlah 1.5 juta ton (atau setara dengan 2.4 juta m3) dengan nilai US$ 1.31 milyar. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan total ekspor pada tahun 2005, yaitu sebesar 2.2 juta ton (atau setara dengan 3.4 juta m3) dengan nilai US$ 1.37 milyar. Negara tujuan utama ekspor kayu lapis adalah Jepang, Amerika Serikat dan Inggris.

(6)

Produksi pulp meningkat dari sekitar 0.5 juta ton pada tahun 1989 menjadi 3.1 juta ton pada tahun 1997, dan menjadi 5.4 juta ton pada tahun 2005 (APKI, 2005). Total produksi hasil hutan lainnya yaitu woodworking, blockboard, particleboard dan chips berkisar antara 0.1 juta m3 sampai 2.3 juta m3 selama rentang tahun 1983-2005 (Departemen Kehutanan, 2006b). Produksi pulp tahun 2009 mencapai 4.6 juta ton (Kementerian Kehutanan, 2010). Data selengkapnya dari perkembangan industri pulp dapat dilihat pada Gambar 6.

Berdasarkan Simangunsong, at al. (2007) dalam Road Map Revitalisasi Kehutanan Indonesia, terdapat 10 pabrik pulp dan kertas yang terintegrasi dan 3 pabrik pulp tidak terintegrasi dengan total kapasitas terpasang 6.4 juta Adt (air- dried ton) pada tahun 2005, dan 86 persen dari kapasitas terpasang tersebut

berlokasi di Sumatera. Sementara itu, 53 persen dari pabrik pulp dan kertas merupakan perusahaan swasta PMA (Private Company Foreign Investments).

Sumber: Food Agriculture Organization, 2011

Gambar 6. Perkembangan Industri Pulp Indonesia Periode Tahun 2000-2009 Tahun

(7)

Total produksi pulp Indonesia pada tahun 2005 mencapai 5.4 juta Adt dengan jumlah ekspor sebesar 2.5 Adt. Sementara, jumlah impor pulp pada tahun tersebut adalah 0.89 juta Adt. Pada tahun 2005 tersebut, Indonesia merupakan negara produsen pulp nomor 9 dan produsen kertas nomor 12 di dunia. Selama periode tahun 2000-2005, kapasitas terpasang industri pulp meningkat dari 5.2 juta Adt pada tahun 2000 menjadi 6.4 juta Adt pada tahun 2005. Peningkatan kapasitas terpasang juga diiringi dengan peningkatan pemanfaatan kapasitas tersebut (installed capacity utilization rate) sebesar 6.6 persen, sehingga produksi pulp meningkat tajam pada periode tersebut, sebesar 33.8 persen.

Lebih lanjut, meskipun konsumsi pulp meningkat dengan laju pertumbuhan yang rendah (7.7 persen) namun karena impor juga meningkat sebesar 15.8 persen, maka ekspor pada tahun 2005 sebesar hampir dua kali lipat daripada ekspor tahun 2000. Pada periode tahun 2000 sampai tahun 2005 kapasitas terpasang industri pulp yang beroperasi di Indonesia sekitar 80 persen. Pada tahun 2005 kapasitas terpasang kemudian meningkat menjadi 84.8 persen. Pada tahun 2009 ekspor pulp dari Indonesia mencapai angkat 2.4 juta ton dengan nilai sebesar US$ 0.9 Milyar.

Negara importir utama pulp Indonesia adalah China sebanyak 44 persen, diikuti Republic of Korea sebanyak 24 persen, Perancis sebanyak 7 persen, Italy sebanyak 6 persen, serta Jepang sebanyak 6 persen. Pada periode 1996-2003, sebanyak 73 persen dari pertumbuhan kapasitas industri pulp dunia merupakan kontribusi dari tiga negara, yaitu Brazil, Indonesia, dan China, meskipun kapasitas industri pulp dari tiga negara tersebut hanya 10 persen dari total kapasitas.

(8)

4.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi

Sejak awal tahun 1970-an, Hak pengusahaan hutan (HPH) merupakan penopang utama yang digunakan untuk memproduksi kayu bulat guna pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu bulat bagi industri berbasis kayu. Sejak saat itu, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970, perusahaan diberikan kewenangan untuk mengelola hak selama 20 tahun dan hak ini dapat diperbaharui kembali berdasarkan konsep hak pengusahaan (utilization right) (Seve, 1999;

Gautam, et.al, 2000) dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan yang merevisi ketentuan pemohon HPH yang selama ini banyak dikelola oleh perusahaan asing.

Dengan konsep ini maka perusahaan diminta untuk mengelola areal pengelolaannya berdasarkan rencana jangka panjang (Rencana Karya Pengusahaan Hutan/RKPH) selama 20 tahun, rencana jangka menengah (Rencana Karya Lima Tahun/RKL) selama 5 tahun dan rencana jangka pendek (Rencana Tahunan/RKT). Sistem pengelolaan hutan (silvikultur pengelolaan hutan) atau dikenal dengan nama Tebang Pilih Tanam (TPTI), diperkenalkan sejak tahun 1989, dan menjadi dasar didalam pelaksanaan penebangan kayu dari hutan alam produksi. Atas dasar ini, maka perusahaan menggunakan rotasi penebangan selama 35 tahun, dengan melakukan penebangan pohon yang berdiameter setinggi dada (diameter breath height) lebih dari 50 cm. Sistem TPTI ini menggantikan sistem penebangan yang digunakan sebelumnya, Tebang Pilih Indonesia (TPI).

Sejak tahun 1985 dilakukan ekspansi industri pengolahan kayu, dan untuk menyediakan kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu di dalam negeri, pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat. Sejak saat itu

(9)

pembangungan industri pengolahan kayu semakin meningkat. Surat Keputusan Tiga Menteri tanggal 8 Mei 1980 mengharuskan pemilik HPH untuk mengkaitkan diri dengan industri pengolahan kayu. Kondisi ini kemudian menciptakan perdagangan log secara internal dari pemilik HPH ke industri pengolahnya dalam satu kelompok (group) perusahaan. Kebijakan ini kemudian menyebabkan terjadinya penurunan ekspor kayu bulat secara bertahap dari tahun ke tahun hingga tahun terakhir PELITA III, sebesar 1.5 juta m3, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tidak diperbolehkan. Walaupun bisa bebas menjual kayu bulat ke perusahaan industri pengolah kayu, namun perusahaan HPH memprioritaskan kepada perusahaan industri kayu dalam satu perusahaan induk, dan apabila terdapat kelebihan produksi kayu bulat baru dijual ke perusahaan lainnya. Pada saat itu, walaupun tidak ada harga dunia untuk kayu bulat Indonesia, tetapi terdapat harga domistik yang belum sempurna (Timotius, 2000).

Untuk menghindari klaim internasional yang mengangap kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat dari Indonesia sebagai non-tariff barrier, pemerintah kemudian mencabut kebijakan tersebut pada tanggal 27 Mei 1992 dan menggantinya dengan menerapkan pajak ekspor yang tinggi (prohibitive export tax) sebesar USD 500 – USD 4 800 per m3 kayu bulat, dan berlaku mulai Juni 1992 (Simangunsong, 2004).

Food Association Organization (FAO) dan Departemen Kehutanan

melaporkan bahwa produksi hasil hutan utama Indonesia tahun 1980 adalah kayu bulat, diikuti kayu gergajian dan kayu lapis demikian pula dengan hasil hutan yang diekspor. Produksi kayu bulat menurun drastis pada tahun 1985, sementara produksi dan ekspor kayu gergajian dan kayu lapis meningkat sangat tajam pada

(10)

tahun yang sama. Ekspor kayu lapis pada saat itu bahkan melebihi ekspor kayu gergajian. Sejak tahun 1985 Departemen Kehutanan tidak melaporkan data ekspor kayu bulat (Simangunsong, 2004).

Justianto (2005) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, beberapa kebijakan pemerintah yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat, yaitu:

1. Pengurangan Jatah Produksi Tahunan dari Hutan Alam (Soft landing);

Kebijakan ini dilakukan dengan melakukan pengurangan Jatah Produksi Tahunan (Annual Allowable Cut/AAC) pada hutan alam secara bertahap, sampai pengurangannya sekitar 50 persen dari tebangan pada tahun 2002.

Kebijakan ini mempunyai implikasi terhadap penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam dan mengurangi pasokan kayu bagi industri pengolahan kayu.

Pengurangan AAC dimaksudkan agar industri pengolahan kayu dapat melakukan penyesuaian kapasitasnya, sehingga apabila terjadi pengurangan pasokan bahan baku maka tidak mengakibatkan “shock landing” pada industri tersebut.

2. Pelarangan ekspor kayu bulat; Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah terhadap kayu bulat dengan terlebih dulu diolah melalui industri- industri pengolahan kayu domestik seperti industri kayu lapis, industri kayu gergajian, industri pulp dan industri kertas. Implikasi dari kebijakan ini adalah meningkatnya pasokan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu domestik.

3. Restrukturisasi sektor (industri) kehutanan; Restrukturisai industri kehutanan ditujukan untuk meningkatkan efesisensi dan efektifitas pengelolaan sumberdaya hutan yang meliputi restrukturisasi sub-sistem sumberdaya seperti

(11)

sistem pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman serta sub-sistem pemanfaatan yaitu industri pengolahan hasil hutan. Dalam kaitannya dengan restrukturisai industri pengolahan kayu, penurunan kapasitas dan penutupan industri pengolahan kayu, dilakukan dalam kerangka meningkatkan dayasaing industri kehutanan tersebut.

4. Pemberian insentif untuk pembangunan hutan tanaman; Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong pembangunan hutan tanaman yang produksi kayunya diharapkan dapat mengganti produksi kayu dari hutan alam melalui pemanfaatan Dana Reboisasi (DR) untuk pembiayaan hutan tanaman.

Setelah terjadi krisis ekonomi, pemerintah menurunkan pajak ekspor kayu bulat menjadi maksimum 10 persen sebelum Desember 2000 dan 0 persen pada tahun 2003. Setelah pajak ekspor kayu bulat diturunkan, ekspor kayu bulat berlangsung kembali namun volumenya sangat kecil (Simangunsong, 2004 dan Sukmananto, 2007). Sementara itu, muncul keluhan dari pengusaha industri pengolahan kayu mengenai kesulitan mendapatkan bahan baku kayu bulat untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri. Merespon keluhan tersebut, pemerintah kembali melarang ekspor kayu bulat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan Nomor: 1132/Kpts- II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 292/MPP/Kep/10/2001, tertanggal 8 Oktober 2001 (Simangunsong, 2004). Penerapan kebijakan cukup kontroversial adalah kebijakan soft landing, kebijakan pengurangan jatah produksi tahunan sebesar 30 persen dari tahun sebelumnya pada tahun 2003, dan dilanjutkan masing-masing sebesar 10 persen pada tahun 2004 dan 2005 (Sukmananto, 2007).

(12)

Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) atau dulu dikenal sebagai Iuran Hasil Hutan (IHH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai instriktik atas hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Sedangkan, Dana Reboisai (DR) adalah dana yang dipungut atas hasil hutan yang dipungut dari hutan alam.

Besarnya PSDH bervariasi tergantung jenis kayunya, ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Pada tahun 1968-1971 ditetapkan berdasarkan mata uang dollar Amerika per m3 yaitu antara US$ 0.5 - US$ 3 per m3, kemudian pada tahun 1971-1976 ditetapkan dengan mata uang rupiah yaitu Rp 250 - 800 per m3, kemudian pada tahun 1976-1979 ditetapkan sebesar Rp 900 - Rp 5 000 per m3. Mulai Juni 1979 sampai sekarang besarnya PSDH ditetapkan berdasarkan persentase dari harga patokan kayu bulat dalam negeri (Sukmananto, 2007).

Kebijakan Dana Reboisasi (DR) dikenakan mulai tahun 1968, dan sampai tahun 1979 merupakan Dana Jaminan Reboisasi (DJR) yang dapat diminta kembali seluruhnya oleh pemegang HPH apabila HPH yang bersangkutan telah melaksanakan kewajiban reboisasi dan rehabilitasi di areal kerjanya. Sejak tahun 1980 pelaksanaan reboisasi diambil alih oleh pemerintah dan DJR diganti dengan DR, dimana besarnya DR yang harus dibayar tergantung jenis kayunya. Untuk kayu kelompok meranti pada tahun 1980-1988 ditetapkan sebesar US$ 4 per m3, pada tahun 1996-1999 sebesar US$ 15 per m3, dan mulai 1999, berdasarkan PP 5/1999 ditetapkan tarif DR sebesar US$ 13 – 16 untuk kelompok jenis meranti, tergantung wilayah produksinya.

(13)

4.4. Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian

Berdasarkan perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang berlaku di Indonesia, kehutanan termasuk salah satu sub-sektor yang berada di dalam lingkup sektor pertanian. Dalam sistem perhitungan PDB dan PDRB yang berlaku saat ini, yang diperhitungkan PDB sub-sektor kehutanan terfokus pada sektor hulu dan industri primer pengolahan hasil hutan. Sedangkan, kegiatan di sektor hilir dan industri pengolahan hasil hutan lanjutan tidak termasuk nilai tambah yang diperhitungkan dalam sub-sektor kehutanan. Perkembangan PDB sektor kehutanan atas dasar harga nominal dan harga riil disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto Sektor kehutanan Sumber: Kementerian Kehutanan, 2011

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa PDB sektor kehutanan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. PDB sektor kehutanan tahun 1993 nilai nominalnya kurang dari Rp 5 Trilyun, sepuluh tahun kemudian, tahun 2003 meningkat lebih dari dua kali mendekati angka Rp 20 Trilyun. Rata-rata PDB

(14)

sektor kehutanan mengalami peningkatan 20 persen per tahun. Sianturi (2007) menyebutkan terdapat peranan HPH yang cukup besar dalam ekonomi kayu.

Tabel 4. Kontribusi Sub-Sektor Kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Selama 13 tahun Terakhir

Sumber : Departemen Kehutanan, 2008 dan Kementerian Kehutanan, 2011

Produk Domestik Bruto Indonesia dari waktu ke waktu terus meningkat, namun kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB justru menurun, sebagaimana data pada Tabel 4. Sejak tahun 2002 kontribusi kehutanan terhadap PDB mengalami kenaikan karena berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2002 disebutkan bahwa pengelolaan kegiatan industri yang mengolah hasil hutan seperti industri kayu lapis, industri kayu gergajian, dan veneer dialihkan dari Departemen Perindustrian ke Departemen Kehutanan. Walaupun telah menjadi kontribusi sektor kehutanan pada PDB Indonesia, angkanya masih relatif kecil dibandingkan kontribusi sektor-sektor lain terhadap PDB nasional. Rata-rata kontribusi sub-sektor kehutanan terhadap PDB kurang dari 2 persen.

No. TAHUN

PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) (Miliar Rupiah)

Kontribusi Sub Sektor Kehutanan terhadap PDB Kehutanan Total PDB ( persen)

1 1998 11 700.5 955 753.9 1.22

2 1999 13 803.8 1 099 731.8 1.26

3 2000 16 343.0 1 389 769.9 1.18

4 2001 16 962.1 1 646 322.0 1.03

5 2002 17 602.4 1 821 833.0 0.97

6 2003 18 414.6 2 013 674.6 0.91

7 2004 20 290.0 2 295 826.2 0.88

8 2005 22 561.8 2 774 281.1 0.81

9 2006 30 065.7 3 339 216.8 0.90

10 2007 36 154.1 3 950 893.2 0.92

11 2008 40 375.1 4 951 356.7 0.82

12 2009 44 952.1 5 613 441.7 0.80

13 2010 48 050 5 6 422 918 2 0.75

Gambar

Gambar 6. Perkembangan Industri Pulp Indonesia Periode Tahun 2000-2009  Tahun
Gambar 7.  Pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto Sektor kehutanan   Sumber: Kementerian Kehutanan, 2011
Tabel 4. Kontribusi Sub-Sektor Kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto Atas        Dasar Harga Berlaku Selama 13 tahun Terakhir

Referensi

Dokumen terkait

penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan yang signifikan peningkatan penguasaan kosakata sebelum dan sesudah mengunakan metode

Anggota Komisaris, Dewan Pengawas, Direksi, karyawan BUMN dilarang untuk memberikan atau menawarkan atau menerima, baik langsung maupun tidak langsung, sesuatu yang

Pada algoritma ini, piksel dikelaskan sebagai objek tertentu tidak karena jarak euklidiannya, melainkan oleh bentuk, ukuran dan orientasi sampel pada feature space

Tujuan program ini untuk mengajak para mahasiswa peduli dengan lingkungan yang ada, di samping untuk menanamkan kebiasaan bagaimana berdialog yang baik, juga

63 Intan Darlina 615130154 Perancangan Interior Kantor Perpustakaan Kota Jakarta Barat Fabianus Kusumadinata, S.Sn, M.Sn. 64 Jennyfer 615140044 Perancangan Interior Museum

Meditasi hanya akan menjadi bahaya apabila orang yang melaksanakan tidak mempunyai tujuan yang benar, misalnya ingin melarikan diri dari masalah kehidupan yang

Dalam rangka penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada desa sebagai tindak lanjut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan