commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peristiwa sejarah selalu berhubungan dengan masalah dekonstruksi
dan rekonstruksi dalam membangun fakta sejarah yang objektif. Fenomena
seperti ini selalu mewarnai sejarah historiografi di Indonesia, yang
mengkondisikan kurang dinamisnya penulisan-penulisan sejarah kontemporer
terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah politik. Nuansa demikian
merupakan sebagian dari langkah politik para pemegang kekuasaan dan
pemegang otoritas, ataupun “pemberengusan” terhadap lawan-lawan politik
serta pandangan-pandangan yang berbeda secara ideologis maupun politis
(Aman, 2011: 51).
Pengendalian sejarah dalam konteks historiografi tergantung pada
“dapur” tempat sejarah itu diolah, siapa sejarawannya, di lembaga mana dia
bekerja. Makin independen lembaga/pribadi yang menulis, makin otonom
hasil karyannya. Kalau “dapur” sejarahnya itu partai, sejarah adalah urusan
negara. Jika “dapurnya” institusi militer, maka yang ditekankan adalah
stabilitas dan keamanan negara, kalau perguruan tinggi dan lembaga
penelitian, orientasinya akan lebih panjang (Adam, 1999: 568).
Sejalan dengan pendapat diatas, menurut Henk Schulte Nordholt,
Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (2008: 1-2) untuk historiografi di
Indonesia, terutama sejarah nasional, bukan sekedar kegiatan intelektual atau
commit to user
akademis, melainkan kegiatan yang bernuansa politis. Jika melihat sejarah
tentang “apa yang terjadi” dan sejarah tentang apa yang “dikatakan telah
terjadi” adalah dua dimensi dalam sejarah, ada dua faktor utama yang turut
membentuk situasi, yang pertama, pembentukan pengetahuan sejarah
(historical knowledge) yang tergantung pada penguasa terhadap sejumlah
sumber daya institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi, dan
sirkulasi pengetahuan tentang masa lalu, kemudian yang kedua, tantangan
terhadap narasi besar (grand narratives) tentang masyarakat dan masa lalu
juga merupakan bagian dari dinamika hubungan kekuasaan.
Kondisi tersebut, sebenarnya sudah berlangsung sejak sebelum
kemerdekaan, dimana historiografi sangat sarat dengan berbagai kepentingan
penguasa. Persoalan semacam itu biasanya terkait dengan
kecenderungan-kecenderungan tertentu yang bersifat subjektif. Subjektifitas semacam ini
sangat banyak ditemukan di lingkungan sosial yang sangat nyata, dimana hal
demikian sangat dipengaruhi oleh dua kemungkinan, pertama, adanya
kecenderungan semakin luasnya pengaruh dari kekuasaan yang semakin tidak
terbendung atau terkontrol akibat adanya dominasi ataupun hegemoni politik.
Sedangkan yang kedua, apabila dari kemampuan dari komunitas-komunitas
independen dan pemikiran-pemikiran bebas yang ada dalam masyarakat
semakin lemah, sehingga ketidak berdayaan untuk menjadi kekuatan
pembanding, atau memang telah semakin terbawa arus ke dalam kekuasaan itu
commit to user
Menurut Asvi Warman Adam (1999: 568-569) setidaknya ada dua cara
pengendalian sejarah, pertama, dengan menambah unsur tertentu dalam
sejarah, cara yang kedua dan ini biasanya lebih umum, yaitu “kebiusan
sejarah” (le silence de i’historie), yang menurut Marc Ferro, paling sedikit ada
dua jenis kebiusan sejarah, pertama, prakteknya berkaitan dengan prinsip
legitimasi, yang kedua, berkaitan dengan kondisi dan pandangan tertentu
masyarakat.
Praktek pengendalian sejarah dengan cara yang kedua ini lebih luas
dan umum, baik berupa pemalsuan, penambahan, penghilangan dan
pendistorsian suatu peristiwa dalam periode-periode tertentu atau salah satu
dan beberapa aspek dari peristiwa tersebut. Pengendalian sejarah pada
umumnya dilakukan oleh negara, tetapi kalangan masyarakat, sejarawan,
sutradara film dan lain-lain kadang juga terlibat didalamnya. Terutama jika
kelompok-kelompok masyarakat atau individu-individu ini memiliki
kepentingan-kepentingan tertentu atas suatu versi sejarah atau telah
terkontaminasi oleh ideologi pengendalian sejarah yang dibangun oleh negara.
Pada masa rezim Orde Baru, pemerintah sedemikan rupa melakukan
upaya pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang seragam
dan sesuai dengan versi pemerintah. Upaya pembentukan pengetahuan sejarah
telah menyebabkan tidak adanya apresiasi terhadap tulisan dan pemikiran
sejarah yang bersifat alternatif, serta memunculkan kecenderungan rekayasa
sejarah untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Henk Schulte Nordholt,
commit to user
sejarawan kritis telah menunjukan bahwa sejarah versi Orde Baru telah
membungkam suara dari pihak-pihak yang dianggap mengganggu dan
mengancam pemerintah yang berkuasa. Sejarah Indonesia ditetapkan sebagai
hasil dari mesin politik rezim Orde Baru daripada hasil daripihak akademisi.
Dominasi penguasa terhadap pendidikan sejarah pada masa rezim Orde
Baru memunculkan dampak yang negatif. Slamet Soetrisno (2006: 54-56)
menyebutkan sebagai “teror sejarah” yang ditandai dengan pergeseran sejarah
kearah mitos dan penggunaan sejarah untuk kepentingan-kepentingan
individual. Pada masa rezim Orde Baru kisruh kepemimpinan Soeharto
tergeser atau digeser kearah mitos sebagai godfather, penyelamat bangsa,
pengaman Pancasila, pengamal UUD „45, sampai kemudian mendapatkan
gelar yang cukup agung, yaitu “Bapak Pembangunan”.
Kecenderungan tersebut tampak pada sosok Soeharto sebagai tokoh
sentral sejarah Indonesia, terutama semenjak “Serangan Oemoem” 1 Maret
1949 sampai memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun
1965 dan sampai kepada keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar)
tahun 1966. Selain itu, tema sentral yang sering dimunculkan adalah tentang
keberhasilan-keberhasilan yang dicapai pada masa Orde Baru dan hal-hal yang
dianggap menjadi „aib‟ masa Orde Baru ditutup rapat-rapat. Salah satu alat
legitimasi bagi Soeharto untuk mengokohkan kekuasaanya sangat terlihat dari
tiga film yang dijadikan alat legitimasinya, yaitu film “janur kuning”, film
“serangan fajar” dan film “pembrontakan G30S/PKI”. Film “janur kuning”
commit to user
peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang saat ini masih jadi kontroversi,
kemudian film “pembrontakan G30S/PKI” untuk meligitimasi peran Soeharto
dalam peristiwa tersebut sebagai penyelamat negara (Syamdani, 2001: 9-13).
Sebenarnya para saksi hidup pun sudah mengatakan bahwa film pembrontakan
G30S/PKI adalah pembohongan publik (Kompas, 25 Juli 2012).
Peristiwa-peristiwa inilah yang senantiasa ditampilkan secara berlebihan dan tidak
seimbang dalam pendidikan sejarah selama kurang lebih 30 tahun.
Beriringan dengan jatuhnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998
muncul bayak kritikan bahwa selama ini rezim Orde Baru banyak melakukan
“pengendalian sejarah”. Oleh sebab itu, historiografi pascareformasi terjadi
kecederungan adanya keinginan untuk membersihkan upaya penulisan sejarah
dari kedekatannya dengan rezim Orde Baru dan adanya upaya mengubah
paradigma yang telah lama berkembang bahwa sejarah identik dengan sejarah
politik (Curaming, 2006. Dalam
http://kyotoreview.cseas.kyoto-u.ac.jp/issue/issue2/article_245.html/Diunduh pada 30 Oktober 2012 pukul
17:40 WIB).
Sejarah seharusnya dihadirkan apa adanya, dan penerimaan warga
negara terhadap sejarah yang apa adanya tersebut, akan menjadi indikasi
kedewasaan suatu bangasa. Ada pepatah “menguasai masa lalu berarti
menguasai masa kini”, mungkin karena ingin menguasai inilah maka rezim
Orde Baru sangat berkepentingan dengan sejarah dan sekaligus
mengendalikan atasnya. Apalagi jika diingat, legitimasinya memang banyak
commit to user
tumbangnya rezim Orde Baru berarti juga deligitimasi sejarah yang menjadi
sandaranya (Soewarsono, 2008: i; Adam, 2009a: x). Pada awal berdirinya
rezim Orde Baru, strategi pengendalian sejarah mencakup dua aspek, pertama
mereduksi peran Soekarno, dan kedua, membesar-besarkan jasa Soeharto
(Adam, 1999: 572).
Dalam perkembangannnya, pendidikan sejarah pun mengalami
perubahan, dari kurikulum 1994 kemudian direvisi tahun 1999 yang dianggap
terlalu muatan politik telah diperbaiki dengan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) yang kemudian disebut kurikulum 2004. Dalam beberapa
hal Kurikulum 2004 lebih demokratis dari kurikulum sebelumnya. Dengan
alasan yang masih diperdebatkan, Kurikulum 2004 kemudian diganti dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 (Rosyid, 2009:
309-310) dan pada tahun ajaran baru 2013/2014 rencanaanya pemerintah
dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan
menerapkan Kurikulum 2013 sebagai perbaikan KTSP tahun 2006.
Kecenderungan sikap pemerintah yang represif terutama tampak pada
pembelajaran sejarah yang masih mengandung isu kontroversial di sekolah.
Pelaksanaan pembelajaran sejarah isu kontroversi masih belum maksimal.
Materi yang diajarkan masih sebatas pada materi yang tidak memberikan
pengaruh dan bersinggungan langsung dengan masyarakat, seperti materi dari
sejarah nonkontemporer. Sementara itu, materi sejarah kontemporer yang
bersifat sensitif dan politis belum sesuai dengan perkembangan historiografi
commit to user
Keadaan tersebut bertentangan dengan tahapan pembelajaran sejarah
yang diungkapkan oleh Bambang Purwanto. Menurut Bambang Purwanto
(2009: 9) bahwa pada jenjang pendidikan di SD pembelajaran sejarah
diajarkan secara estetis, di SMP secara etis dan di SMA pembelajaran sejarah
sudah diberikan secara kritis, mereka diharapkan sudah bisa berpikir mengapa
sesuatu terjadi, apa yang sebenarnya terjadi dan kemana arah
kejadian-kejadian itu bermuara.
Pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial sebagai satuan dari
pendidikan sejarah inimemiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat.
Hal ini dikarenakanpendidikan sejarah pada intinya memberikan pengertian
kepada masyarakat tentang pelajaran-pelajaran dan makna dari peristiwa pada
masa lampau. Dengan demikian, pendidikan sejarah yang dilaksanakan
berdasarkan kebenaran dankearifan maka dapat terwujud masyarakat yang
sadar sejarah dan arif dalammenanggapi masa lampau, dan dapat menata masa
depannya secara lebih baik lagi.
Dari pemikiran di atas, penelitain ini mencoba untuk menganalisis
proses perencanaan, pelaksanaan, kendala apa saja yang dihadapi oleh guru
dalam pembelajaran, serta bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik
terhadap pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial. Secara lebih sepesifik,
penelitian ini dilakukan di Kabupaten Banyumas, tepatnya di SMA Negeri 1
Banyumas. Sehingga dari kesimpulan diatas, peneliti membuat judul untuk
penelitain ini, yaitu “Analisis Pembelajaran Sejarah Isu-Isu Kontroversial di
commit to user
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah yang
diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana perencanaan pelaksanaan pembelajaran sejarah isu-isu
kontroversial yang ada di SMA Negeri 1 Banyumas?
2. Bagaimana proses pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial yang ada di
SMA Negeri 1 Banyumas?
3. Kendala apa saja yang ditemui oleh guru sejarah dalam mengajarkan
sejarah isu-isu kontroversial?
4. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh guru sejarah untuk mengatasi
kendala-kendala dalam pengajaran sejarah isu-isu kontroversial?
5. Bagaimana apresiasi peserta didik dalam pembelajaran sejarah isu-isu
kontroversial?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Memaparkan perencanaan pelaksanaan pembelajaran sejarah isu-isu
kontroversial yang ada di SMA Negeri 1 Banyumas.
2. Menjelaskan pembelajaran sejarah yang berkaitan dengan isu-isu
kontroversial di SMA Negeri 1 Banyumas.
3. Mengidentifikasi kendala yang ditemui oleh guru sejarah dalam
commit to user
4. Menganalisis upaya yang dilakukan oleh guru sejarah untuk mengatasi
kendala-kendala dalam pengajaran sejarah isu-isu kontroversial.
5. Mengetahui pandangan dan apresiasi peserta didik dalam pembelajaran
sejarah isu-isu kontroversial.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik
manfaat teoritis maupun manfaat praktis bagi peserta didik dan guru serta bagi
para pengajar dalam pembelajran isu-isu kontroversial. Manfaat yang
diperoleh antara lain:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini memberikan suatu kajian ilmiah tentang
analisis pembelajaran sejarah isu-isu kontroversial di SMA. Kajian tentang
pembelajaran sejarah kontroversial di Indonesia masih jarang, sehingga
penelitaan ini dapat digunakan sebagai perbandingan dan acuan dalam
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Acuan bagi guru untuk memberikan khasanah baru tentang
gambaranpembelajaran sejarah yang masih menjadi isu-isu
kontroversial, sehingga dapat menemukan solusi yang dirasa tepat.
b. Bagi pihak sekolah dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan
dalam menentukan kebijakan dalam pembelajaran sejarah, terutama