• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL PENGAJARAN PENGALAMAN-LANGSUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMAHAMI DAN MEMERAGAKAN DRAMA:Kuasi Eksperimen terhadap Siswa kelas V SD di Kota Ternate.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN MODEL PENGAJARAN PENGALAMAN-LANGSUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMAHAMI DAN MEMERAGAKAN DRAMA:Kuasi Eksperimen terhadap Siswa kelas V SD di Kota Ternate."

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

vii

BAB II PENGAJARAN DRAMA DAN MODEL PENGAJARAN PENGALAMAN-LANGSUNG 27

A. Pengajaran Drama 30

1. Ihwal Drama 31

2. Drama Anak-Anak 45

3. Pembelajaran Drama di SD 48

B. Teori tentang Model Pengajaran Pengalaman-Langsung pada Pengajaran Drama 49

1. Teori Model Pengajaran Pengalaman-Langsung (DEL) 55

2. Teori Metode Drill dalam Model Pengajaran Pengalaman-Langsung 58

3. Pengajaran Drama menggunakan model Pengajaran Pengalaman -Langsung 60

C. Kemampuan Memahami dan Memeragakan Drama 63

1. Kemampuan Memahami Drama 63

2. Kemampuan Memeragakan Drama 63

(2)

vii

2. Gambaran Kemampuan Penguasaan Drama Sebelum dan Setelah Penerapan Model Pengajaran-Langsung 107

3. Gambaran Kemampuan Memahami Drama Sebelum dan Setelah Penerapan Model Pengajaran Pengalaman-Langsung 110

3. Kemampuan Memeragakan Drama melalui Penerapan Model Pengajaran Pengalaman-Langsung 141

4. Efektifitas Penerapan Model Pengajaran Pengalaman-Langsung Untuk Meningkatkan Kemampuan Penguasaan Drama 145

5. Aktifitas Guru dalam Proses Pengajaran Pengalaman-Langsung 150

6. Aktifitas Siswa dalam Proses Pengajaran Pengalaman-Langsung 154

(3)

vii

B. Saran-saran 170

(4)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan merupakan sebuah fenomena antropologis yang usianya

hampir setua dengan sejarah manusia itu sendiri. Nicolo Machiavelli (dalam

Koesoemo A, 2007:52) memahami pendidikan dalam kerangka proses

penyempurnaan diri manusia secara terus menerus. Ini terjadi karena manusia

secara kodrati memiliki kekurangan dan ketidaklengkapan. Pendidikan

melengkapi ketidaksempurnaan dalam kodrat alamiah.

Dalam kaitannya dengan perkembangan kehidupan dan kebudayaan

manusia, Trianto (2010:4) berpendapat, bahwa:

Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus-menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan akan kekurangan dan

ketidaklengkapan itu serta konsekwensi dinamika kehidupan manusia berbudaya,

pendidikan hendaknya terus dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan

manusia, selalu terhubung dengan perkembangan ilmu dan teknologi, tak

tertinggal dari konsekwensi dan tuntutan budaya, serta dapat diwujudkan dalam

bentuk-bentuknya yang nyata dan tertanggung jawab. Pelaksanaan pendidikan

(5)

ditinggalkan masyarakatnya. Kebutuhan manusia itu sangat berkaitan dengan

standar pendidikan yang memperhatikan output, bukan hanya input dan proses.

Perhatian pada output diharapkan menghasilkan siswa yang memiliki standar

kompetensi dimana seorang lulusan sekolah memiliki sejumlah hasil kegiatan

yang dapat didemonstrasikan atau ditunjukkan dalam bentuk nyata dan praktis

sebagai penerapan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya.

Fokus pendidikan yang hanya mengarah pada input dan proses dipandang

kurang dinamis, kurang efisien, dan mengarah pada stagnasi pedagogik. Dalam

hal ini kendali pendidikan diwujudkan oleh pemerintah terhadap input dan proses

berupa standardisasi kurikulum nasional, buku, alat, pelatihan guru, sarana dan

fasilitas sekolah yang harus berlangsung di dalam sistem. Fokus pendidikan pada

input dan proses terkesan sebagai usaha memenuhi syarat-syarat pelaksanaan

pendidikan secara administratif belaka.

Mencermati kenyataan tersebut, berikut dikemukakan pandangan Mulyasa

(2008:24) dibawah ini.

Semua komponen input dan proses, dari hulu sampai hilir, mulai dokumen kurikulum, pelatihan guru, sampai lembar kerja peserta didik, harus diubah. Hal tersebut telah mengakibatkan system pendidikan cenderung tidak efisien dan sulit beradaptasi dengan perkembangan masyarakat. Tantangan masyarakat dalam millennium ketiga antara lain akselerasi teknologi dan sains, tren politik, kekuatan ekonomi, tren sosial budaya modern, perubahan peta pengetahuan, dan era post-modern, yang berbagai perubahan pendidikan. Jika sistem pendidikan konvensional terus dipertahankan, tanpa memperlaus orientasi pada output atau standar kompetensi pendidikan, maka berbagai perubahan yang ingin dilakukan sulit diwujudkan.

Pendidikan konvensional yang menitik beratkan pada input dalam bentuk

(6)

dengan mempertimbangkan kompetensi lulusan seperti apakah yang dibutuhkan

oleh masyarakat dan dituntut oleh perkembangan. Pertimbangan kompetensi

lulusan dimaksud memberikan arah pada input dan proses, sehingga input dan

proses akan berdayaguna menyediakan dan mempersiapkan konten dan kualitas

output yang sesuai kebutuhan masyarakat dan memehuhi permintaan maupun

persaingan pasar kerja. Kompetensi dimaksud harus bermakna sebagai apa yang

diharapkan dapat diketahui, dimiliki, disikapi atau dilakukan lulusan dalam setiap

tingkat atau jenjang pendidikan sekaligus menggambarkan kemajuan atau

kemampuan yang dapat dicapai atau dimiliki siswa secara bertahap dan

berkelanjutan. Kemajuan atau kemampuan itu juga menjadi kebiasaan berpikir

dan bertindak secara konsisten secara terus-menerus dalam arti memiliki

pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar dalam bertindak.

Bila diterjemahkan ke dalam pelaksanaan pembelajaran secara nyata di

sekolah, maka gaya dan pola pembelajaran yang terkesan sekedar menyelesaikan

materi dan menjejalkan sejumlah perlengkapan materi pembelajaran harus lebih

diarahkan pada pembelajaran yang menghasilkan lulusan dengan sejumlah

kemampuan praktis dan relevan dengan kebutuhan dan permintaan tersebut. Hal

mana tentu saja tidak dapat diperoleh melalui pembelajaran yang sekedar teoretis

dan pengetahuan abstrak belaka. Pengetahuan yang dimiliki harus dapat mewujud

pada perbuatan nyata.

Untuk itu dibutuhkan gagasan dan pendekatan inovatif yang sengaja

(7)

Pendidikan sebagai suatu usaha pengembangan diri dan potensi manusia

merupakan suatu konsep abstrak. Maka pendidikan perlu direalisasikan hingga

mewujud secara praktis dalam bentuknya yang nyata. Secara praktis pendidikan

perlu dilaksanakan dalam suatu sistem yang menggunakan dan melibatkan

berbagai komponen dan syarat tertentu. Sekait dengan hal itu, secara praktis

pendidikan (terutama pendidikan formal) tidak dapat terlepas dari tindakan atau

kegiatan-kegiatan pembelajaran atau pengajaran. Pembelajaran atau pengajaran

yang merupakan kegiatan integral dengan aktivitas pendidikan, harusnya memiliki

suatu sistem pembelajaran atau pengajaran. Sistem pembelajaran menurut

Hamalik (dalam Sanjaya, 2009:6) adalah suatu kombinasi terorganisasi yang

meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur

yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan.

Unsur prosedur yang disebutkan di atas menunjukkan kegiatan-kegiatan

yang dilakukan dalam proses pembelajaran misalnya strategi dan metode

pembelajaran, jadwal pembelajaran, pelaksanaan evaluasi dan lain sebagainya

(Sanjaya, 2007:6). Dick dan Carey (1985) menyebutkan bahwa strategi

pembelajaran itu adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang

digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa.

Strategi dalam konteks pengajaran menurut Gagne (dalam Iskandarwassid dan

Sunendar, 2008:3) adalah kemampuan internal seseorang untuk berpikir,

memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Siswa akan berpikir lebih tajam,

menganalisis, memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Sedangkan

(8)

belajar sebagai tingkah laku atau tindakan yang dipakai oleh pembelajar agar

pembelajaran bahasa lebih berhasil, terarah, dan menyenangkan. Tingkah laku

atau tindakan pembelajar seperti yang disebutkan, menunjukkan suatu aktivitas

belajar yang dapat diamati. Dengan demikian, dari batasan ini dapat ditegaskan,

bahwa aspek keterampilan berbicara pada pengajaran Bahasa Indonesia melalui

drama harus dapat diamati, sejalan dengan metode penelitian nanti. Hal ini

bukanlah berarti batasan tersebut tidak mencakup aspek kognitif yang tidak

teramati. Selanjutnya kegiatan pembelajaran tak lepas dari model pembelajaran.

Dalam mengajarkan atau menyajikan suatu materi (pokok bahasan)

tertentu harus dipilih model pengajaran atau model pembelajaran yang paling

sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itu pemilihan suatu model

pengajaran harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Pertimbangan-pertimbangan itu, misalnya tujuan pembelajaran, materi pelajaran,

tingkat perkembangan kognitif siswa, lingkungan belajar dan sarana atau fasilitas

yang tersedia, sehingga memudahkan pencapaian tujuan pembelajaran yang telah

ditetapkan.

Untuk melaksanakan pembelajaran drama dengan memusatkan perhatian

pada peningkatan kemampuan memahami drama dan memeragakan drama

diterapkan model pengajaran pengalaman-langsung atau direct experience

learning (DEL). DEL dipilih dengan mempertimbangkan bahwa penguasaan

drama dapat dilakukan melalui latihan-latihan, mempraktikkan informasi yang

disampaikan guru, mempertunjukkan keterampilan-keterampilan tertentu,

(9)

dengan pelatih (guru) dan antara sesama peserta (siswa) dalam situasi pengajaran.

Pengajaran langsung dapat berbentuk demonstrasi, pelatihan atau praktik dan

kerja kelompok, karena itu pengajaran langsung menggunakan metode drill.

Bentuk-bentuk pengajaran seperti itu memberikan sejumlah pengalaman

langsung, nyata dan praktis terhadap siswa sehingga diharapkan pengetahuan dan

keterampilan drama dapat ditransformasikan pada siswa tidak dalam bentuk

teoretis akan tetatpi dapat dialami, diketahui, dirasakan dan dapat dipraktikkan

dalam bentuk perbuatan yang dapat diamati.

Tujuan pengajaran pengalaman-langsung (DEL) akan sesuai dengan tujuan

pengajaran drama. Model pengajaran pengalaman-langsung (DEL) mempunyai

tujuan deklaratif dan prosedural. Tujuan pengajaran pengalaman-langsung adalah

siswa dapat menguasai pengetahuan deklaratif yang dapat diungkapkan dengan

kata-kata sebagai pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan pengetahuan

prosedural merupakan pengetahuan tentang cara melakukan sesuatu.

Pengetahuan deklaratif siswa pada pengajaran drama adalah kemampuan

siswa dalam menyampaikan isi dan ungkapan dalam bentuk tuturan, kata-kata

secara lisan, yang merupakan kemampuan memahami. Pengetahuan prosedural

yang dapat dilakukan siswa adalah kemampuan atau keterampilan berlakon

(acting), memeragakan ungkapan, menunjukkan melalui air muka sesuai rasa

pengahayatan (ekspresi), lagu kalimat dalam bertutur (intonasi) maupun bahasa

tubuh (gestural). Hal ini berkaitan dengan kemampuan memeragakan.

Dalam menerapkan model pembelajaran atau model pengajaran digunakan

(10)

(DEL) pada pelajaran drama digunakan metode atau teknik latihan drill karena

pengajaran drama, akan berbasis pada aspek pelajaran keterampilan yang sangat

dominan, agar tumbuh keterampilan yang otomatis (automaticity skill).

Melalui penggunaan metode ini, diharapkan kelak siswa memiliki

keterampilan motorik/gerak seperti melafalkan kata-kata, mempergunakan alat

(property), terampil membangun interaksi dalam dialog drama, terampil

menggunakan anggota tubuh atau memeragakan sebagai bagian dari kemampuan

berbahasa juga mengembangkan kecakapan intelek dalam mengomunikasikan

pikiran secara langsung dan nyata.

Dalam penerapan model pengajaran pengalaman-langsung ini dengan

metode drill, pengajaran harus difokuskan pada sasaran-sasaran pembelajaran.

Dalam hal ini guru memiliki tanggung jawab penting untuk memeragakan

(modeling), menjelaskan (explaining), atau mengajukan pertanyaan (questioning).

Dalam pelajaran-pelajaran yang berbasis pada keterampilan-keterampilan (

skills-based lesson), siswa mempraktikkan suatu keterampilan dengan tujuan

mengembangkan automaticity; sedangkan dalam pelajaran-pelajaran yang

berorientasi pada konten (content-oriented lesson), guru menggunakan

questioning untuk memastikan bahwa siswa benar-benar dapat memahami isi

pembelajaran.

Salah satu tujuan pembelajaran drama di SD, sebagai bagian apresiasi sastra,

secara umum adalah untuk menanamkan sikap apresiatif siswa terhadap sastra

(Indonesia), sehingga diharapkan anak dapat menikmati, memahami, menanggapi

(11)

memainkan atau memeragakan drama, sesuai kurikulum yang dicantumkan dalam

standar kompetensi dan kompetensi dasar.

Di samping itu, kegiatan seperti pengajaran atau pun latihan drama, baca

puisi, kesenian, olah raga, maupun kepramukaan sangat dibutuhkan sekolah guna

memenuhi kebutuhan perkembangan bakat, kemampuan dan minat siswa sebagai

bagian dari pengembangan diri dan kreativitas siswa. Kenyataan yang dihadapi

adalah kondisi (ruang belajar, fasilitas dan situasi) dan kesiapan sekolah

menyediakan tenaga guru pelaksana yang jauh dari memadai merupakan kendala

dalam memenuhinya. Hal ini disadari penting bukan sekedar sebagai suatu

kebutuhan klasik saja, akan tetapi dengan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan

tenaga guru, penciptaan kondisi dan ketersediaan sarana, diharapkan suatu proses

pembelajaran dapat “diorkestrasi” layaknya sebagai suatu simponi dalam

pertunjukan musik, dengan memberdayakan seluruh potensi dan lingkungan

belajar yang ada, sehingga proses belajar menjadi suatu yang menyenangkan dan

bukan sebagai sesuatu yang memberatkan. Hal mana dilakukan melalui beberapa

langkah seperti 1) optimalkan minat pada diri sendiri, 2) bertanggung jawab pada

diri sendiri, sehingga akan memulai mengupayakan segalanya terlaksana, 3)

menghargai segala tugas yang telah selesai (Howard Gardner dalam DePorter

2002, lihat Sa’ud 2009:130).

Pembelajaran drama sebagai bentuk apresiasi sastra siswa kelas V SD

Islamiyah 4 dan SD Kalumata 2 Kota Ternate kini dapat dijelaskan berikut ini.

Dalam standar kompetensi pelajaran Bahasa Indonesia kelas V semester 2,

(12)

secara lisan dalam berdiskusi dan bermain drama. Kemudian pada kompetensi

dasar butir 6.2, disebutkan, memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi dan

ekspresi yang tepat. Dengan menelaah standar kompetensi dan kompetensi dasar

tersebut, tergambar bahwa pengajaran drama bagi siswa SD kelas V harus dapat

dilaksanakan dalam bentuk interaktif antar siswa (pemeran) secara praktis dan

nyata, oleh guru sehingga pengajaran bukan sekedar transformasi pengetahuan

secara teoritis yang abstrak saja, akan tetapi bentuk dan hasil pengajaran drama

haruslah terlihat dalam bentuk lakon hidup dalam praktiknya. Hal ini diperlukan

karena lakon yang dimaksudkan dalam penerapan model ini harus dapat

diperagakan agar dapat diamati.

Tuntutan standar kompetensi dan kompetensi dasar seperti itu memang

sangat sulit dilaksanakan oleh guru pada sekolah sasaran penelitian ini, karena

pengajaran Bahasa Indonesia yang dilakukan hanya sampai pada pengetahuan

teoretis saja.

Pengajaran drama, tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Pada

kenyataannya, kegiatan bermain drama pada siswa belum pernah dilaksanakan

sebagai bagian dari pembelajaran di SD Islamiyah 4 maupun SD Kalumata 2 Kota

Ternate. Hal ini lebih disebabkan oleh minimnya kemampuan guru yang

profesional di bidang ini. Walau pun demikian, pihak sekolah sangat

mengharapkan agar kegiatan drama dapat dilaksanakan di sekolahnya, sebagai

bentuk apresiasi sastra oleh siswanya, sebagai bagian dari pembelajaran Bahasa

Indonesia, pengembangan diri siswa, maupun sebagai kegiatan ekstra kurikuler

(13)

B. Rumusan Masalah Penelitian

Dengan mendasarkan pemikiran pada kenyataan di atas, masalah

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut, apakah penerapan model pengajaran

pengalaman-langsung efektif meningkatkan kemampuan memahami dan

memeragakan drama siswa kelas V SD Islamiyah 4 dan Siswa kelas V SD

Kalumata 2 Kota Ternate?

Jabaran dari rumusan masalah tersebut adalah:

a. Bagaimanakah gambaran umum pelaksanaan pengajaran drama bagi siswa

kelas V SD Islamiyah 4 dan SD Kalumata 2 Kota Ternate sebelum penerapan

model pengajaran pengalaman-langsung?

b. Apakah model pengajaran pengalaman-langsung dapat meningkatkan

kemampuan memahami drama siswa kelas V SD Islamiyah 4 dan siswa kelas

V SD Kalumata 2 Kota Ternate?

c. Apakah model pengajaran pengalaman-langsung dapat meningkatkan

kemampuan memeragakan drama siswa kelas V SD Islamiyah 4 dan siswa

kleas V SD Kalumata 2 Kota Ternate?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah menemukan bentuk penerapan model

pengajaran pengalaman-langsung (direct experience learning) pada pembelajaran

drama terhadap kemampuan memahami dan memeragakan drama, agar model ini

dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran drama bagi siswa sekolah dasar di Kota

(14)

penelitian ini akan menjadi suatu masukan bagi sekolah dan guru-guru dalam

pembelajaran drama di kelas V sekolah dasar, bahkan bagi kepentingan

pembelajaran umumnya.

Sedangkan tujuan khususnya adalah :

1. Mengetahui bagaimana kemampuan memahami dan memeragakan drama

sebagai sikap apresiatif sastra pada siswa kelas V saat ini.

2. Mengimplementasikan model pembelajaran pengalaman langsung, dengan

menggunakan metode drill pada pengajaran drama.

3. Mendeskripsikan dan menganalisa kemampuan pemahaman dan peragaan

drama pada siswa sebagai sikap apresiatif sastra siswa melalui penerapan

model pengajaran pengalaman-langsung.

4. Menyusun model pengajaran drama berdasarkan model pengajaran

pengalaman-langsung yang kelak dapat dimanfaatkan oleh guru.

F. Manfaat Penelitian.

Manfaat penelitian ini diharapkan akan menjadi sumbangan positif baik

bagi siswa, guru, sekolah orang tua, maupun pihak-pihak lain yang terkait dan

berkepentingan pada bidang-bidang pendidikan, pembelajaran bahasa atau sastra

Indonesia khususnya pengajaran drama, juga pembelajaran drama yang

menggunakan model pengajaran pengalaman-langsung. Hal ini dipandang perlu

mengingat fakta yang ditemukan pada beberapa sekolah dasar di Kota Ternate,

pembelajaran Bahasa Indonesia pada bagian drama belum dapat diterapkan secara

(15)

a. Bagi siswa, penerapan model pengajaran pengalaman-langsung dengan

menggunakan metode drill, dapat meningkatkan peranserta siswa dalam

interaksi antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran, memberikan

motivasi, minat dan sikap apresiatif siswa terhadap karya sastra khususnya

drama. Keterlibatan siswa dalam pengajaran drama melalui model dan

metode ini merupakan fenomena menggembirakan di mana siswa dapat

belajar menggunakan semua aspek kepribadian yang berkaitan dengan

pendidikan dan pembelajaran, yaitu aspek-aspek kognitif untuk memahami

dan merasa (afektif), dapat menunjukkan melalui tindakan dan perbuatan

dalam suatu peragaan drama yang menyentuh aspek kognitif. Dalam situasi

ini siswa tidak berada dalam keadaan pasif, akan tetapi lebih aktif dan

menunjukkan eksistensi dirinya. Antusias dan partisipasi siswa dalam

berbagai keperluan mempersiapkan, memproses dan mengisi kegiatan

pengajaran drama dalam model dan metode yang diterapkan ini

menunjukkan perubahan perilaku belajar yang bergairah, termotivasi dan

menyenangkan yang dapat dilakukan. Di samping itu pengajaran drama

akan menjadi bekal bagi pengembangan diri siswa kelak, terutama bagi

mereka yang berminat dan berbakat dalam bidang ini, hal ini sangat

diperlukan, karena belajar tentu saja tidak hanya melahirkan siswa yang

berkemampuan secara kognitif saja, akan tetapi meliputi seluruh aspek

kepribadian dalam belajarnya. Pada perkembangan kehidupan yang sangat

(16)

tertinggal tanpa keterampilan, tak mampu menerapkan pengetahuan, pada

gilirannya mengalami kemunduran.

b. Kondisi pembelajaran yang masih konvensional akan menjadi hambatan

bagi perkembangan peserta didik dalam perubahan kehidupan saat ini,

karena itu dibutuhkan inovasi pembelajaran agar guru dapat memiliki

kapasitas memadai dalam mengikuti perubahan itu. Tentu saja guru perlu

memiliki sejumlah informasi penting terkait pembelajaran. Bagi guru mata

pelajaran Bahasa Indonesia dan guru pembina pengembangan diri siswa,

hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong proses pembelajaran yang

lebih variatif dan profesional, demi menunjang keberhasilan pembelajaran,

menambah keterampilan dalam menggunakan metode mengajar yang

bervariasi. Keterampilan yang bervariasi bagi guru itu diharapkan akan

memberikan dorongan positif bagi perluasan wawasan, perubahan

pendekatan, model, strategi pembelajaran dan evaluasi internal, maupun

pengembangan minat dan bakat siswa. Hasil penelitian ini dapat menambah

alternatif metode bagi kegiatan pembelajaran, baik pada mata pelajaran

Bahasa Indonesia maupun pada mata pelajaran lain yang dimungkinkan. Hal

ini sangat dibutuhkan demi penerapan metode mengajar bervariasi tersebut.

c. Bagi sekolah, hasil penelitian ini memberikan masukan positif dalam

melengkapi model pembelajaran (yang akan diterapkan secara praktis) yang

akan diperlukan demi kepentingan-kepentingan tertentu, baik pembelajaran

sastra, apresiasi sastra, sebagai contoh dan tolok ukur proses pembelajaran

(17)

kebutuhan khusus sekolah, sehingga dapat dilakukan evaluasi demi

perbaikan di masa akan datang. Hasil penelitian dapat dijadikan acuan awal

guna melihat kelebihan maupun kekurangan pelaksanaan pembelajaran, agar

sekolah dapat memperbaiki metode, teknik dan proses pembelajaran drama.

d. Bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan, hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan suatu informasi atau data awal bagi pemenuhan

kebutuhan tertentu terutama berkaitan dengan pembelajaran dan drama.

Kenyataannya, pembelajaran Bahasa Indonesia bidang sastra, pokok

bahasan drama sangat minim, kurang memadai pelaksanaannya, kekurangan

tenaga pengajar drama yang belum dapat diatasi, sehingga apresiasi bidang

kesastraan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia sampai saat ini belum

memuaskan, merupakan temuan penelitian ini, memberi informasi tentang

kondisi sebenarnya pada proses dan hasil pembelajaran sastra, karenanya,

hasil penelitian ini merupakan masukan bagi perencanaan, implementasi dan

evaluasi pengajaran yang sangat dibutuhkan. Selain itu, kenyataan ini

diharapkan pula dapat memunculkan langkah-langkah berbagai pihak baik

di sekolah, maupun para pihak yang lebih berwenang pada jajaran

pendidikan dasar, dalam menumbuhkan sikap apresiasi anak terhadap sastra,

sebagaimana pengajaran drama yang dilakukan pada penelitian ini.

e. Kenyataan selama penelitian, keterampilan guru dalam membina pengajaran

drama untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia sesuai yang dibutuhkan oleh

sekolah tidak tersedia secara memadai. Dari sekolah-sekolah yang sempat

(18)

memenuhi kebutuhan ini. Guru-guru lebih cenderung mengajarkan Bahasa

Indonesia pada materi-materi dengan pokok bahasan bukan drama, atau

sastra pada umumnya. Pengajaran sastra lebih banyak dilaksanakan pada

materi-materi teoritis, seperti pengertian, pengertian puisi, prosa atau drama.

Pengertian tentang alur, tokoh, setting yang kesemuanya merupakan

unsur-unsur intrinsik yang teoretis. Sementara pembelajaran secara praktis belum

memadai. Padahal pembelajaran sastra atau yang berkaitan dengan sastra

hendaknya dapat dilakukan oleh siswa secara praktis dalam wujud

perbuatan nyata, yang dapat dirasakan siswa, demi mengembangkan

kemampuan berbagai aspek kepribadiannya. Diakui Endraswara (2003:

189), bahwa sampai saat ini memang pengajaran sastra kita masih berhenti

pada hal-hal mekanik. Artinya, pembelajaran sastra tidak langsung

berhubungan dengan karya sastra atau proses bersastra. Pada kenyataannya

pengajaran sastra yang sekedar teoretis kurang diminati. Pembelajaran

materi sastra di kelas hendaknya dapat dilakukan dalam bentuk perbuatan

sehingga kemampuan anak dapat diamati sebagai tindakan pengembangan

minat, bakat serta kemampuan-kemampuan profesional di masa depannya.

f. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan bahan-bahan

pertimbangan bagi berbagai pihak agar dapat memberikan perhatiannya ke

arah ini. Informasi ini dapat menjadi masukan bagi perencanaan, intervensi

implementasi maupun evaluasi. Sudah tentu hasil penelitian ini tidak

sekedar sebagai informasi, akan tetapi menyuguhkan kenyataan yang

(19)

E. Metode Penelitian

Rancangan penelitian, prosedur penelitian, instrument penelitian dan

pengolahan data hasil penelitian dari penelitian ini disajikan berikut ini.

1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian merupakan rancang bangun penelitian, dijelaskan

Kerlinger (2003:484) adalah rencana dan struktur penyelidikan yang disusun

sedemikian rupa sehingga peneliti akan dapat memperoleh jawaban untuk

pertanyaan-pertanyaan penelitiannya. Desain yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi), dengan desain one

group pretest-posttest. Menurut McMillan & Schumacher (1989: 312),

rancangan ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Rancangan one group pretest-posttest

Group pretest Treatment Posttest

O1 X O2

O1 = Tes awal (pretest) sebelum adanya perlakuan

O2 = Tes akhir (posttest) setelah adanya treatment atau perlakuan

X = Perlakuan menggunakan model pengajaran pengalaman-langsung

2. Prosedur Penelitian

Tahap I, pelaksanaan pretest dengan menggunakan instrumen tes objektif

pilihan ganda untuk tes kemampuan memahami drama, mengemukakan

materi-materi tentang tokoh, karakter, tema, amanat, alur, latar dan ekspresi

secara teoretis; tes perbuatan guna memeroleh gambaran tentang tingkat

(20)

dititikberatkan pada dialog-dialog dengan aspek lafal, intonasi dan ekspresi

yang diperagakan dalam suatu interaksi dialog.

Tahap II, pelaksanaan pengajaran Bahasa Indonesia pada standar

kompetensi dan kompetensi dasar tentang memainkan drama dengan lafal,

intonasi dan ekspresi dengan menggunakan model pengajaran

pengalaman-langsung, melalui metode drill.

Tahap III, pelaksanaan posttest dengan menggunakan tes objektif pilihan

ganda, dan tes perbuatan yang dapat diamati. Selain itu dilakukan serangkaian

wawancara terhadap pihak-pihak yang memiliki keterlibatan dengan

pelaksanaan pengajaran dalam penelitian ini, seperti guru kelas, kepala

sekolah, dan ketua komite sekolah sejauh yang dapat dilakukan.

3. Instrumen penelitian.

Penelitian ini tertuju pada kemampuan memahami drama dan

kemampuan memeragakan drama. Kemampuan memahami drama akan lebih

tertuju pada aspek kognitif, sedangkan kemampuan memeragakan akan dilihat

pada aspek psikomotorik. Aspek afektif, dapat terlihat dalam gejala yang

ditunjukkan secara motorik maupun kognitif setelah pengajaran. Di samping

itu dibutuhkan tanggapan pihak lain atas proses pengajaran dengan model

pengajaran pengalaman-langsung. Dengan dasar tersebut, instrumen yang

digunakan adalah:

Tes objektif : Pretest, posttest guna mengetahui kemampuan memahami.

(21)

4. Pengolahan Data

a. Menentukan skor rata-rata standar deviasi pada pretest dan posttest.

b. Analisis normalitas dan homogenitas serta melakukan uji normalitas

apabila diperlukan

c. Analisis hasil tes perbuatan, untuk mengetahui kemampuan memeragakan

drama, sebagai hasil nyata suatu kemampuan praktis.

d. Analisis hasil wawancara. Hasil wawancara atau tanggapan pihak yang

terkait dengan sekolah akan memberikan penjelasan tentang kondisi siswa,

sekolah, keadaan SDM guru maupun hal-hal lain yang terkait langsung

dengan pembelajaran tentang penerapan model dan metode yang tengah

diteliti.

H. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada dua sekolah dasar di Kota Ternate,

yakni SD Islamiyah 4 Kota Ternate dan SD Kalumata 2 Kota Ternate. Kedua

sekolah sama-sama berada di Kota Ternate, namun terpisah cukup jauh. SD

Islamiyah 4 berada di Kecamatan Ternate Tengah, sedangkan SD Kalumata 2

terletak agak ke selatan kota yaitu di Kecamatan Ternate Selatan. Kedua sekolah

berjarak cukup jauh sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadi hubungan

antar responden yang dapat mengakibatkan penyimpangan pada hasil penelitian.

a. SD Islamiyah 4 Kota Ternate

SD Islamiyah 4 Kota Ternate beralamat di jalan Boesoeiri, kelurahan

Gamalama, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara.

(22)

tinggi sejak pagi hingga sore hari, yakni lokasi pertokoan dan pusat perbelanjaan

warga kota.

SD Islamiyah 4 Kota Ternate adalah lembaga pendidikan dasar berciri

pendidikan Islam yang berdiri sejak tahun 1972. Sekolah ini bernaung di bawah

Yayasan Pendidikan Islam Ternate (YPI). Yayasan lokal yang mengelola

pendidikan pada jenjang sekolah dasar, dan pendidikan menengah.

SD Islamiyah adalah sekolah dasar pertama di bawah naungan YPI, yang

sudah dikenal masyarakat Ternate sejak tahun 1959. Sejak tahun 1972, SD

Islamiyah berubah nama menjadi SD Islamiyah 4 sebagaimana sekarang. Sarana

fisik sekolah adalah bangunan sekolah berlantai dua.

Subjek penelitian adalah siswa kelas V berjumlah 20 siswa diambil secara

acak dari jumlah 47 orang, laki-laki dan perempuan, sebagai sampel dari populasi

yang dimiliki. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut (Sugiyono,2010:118).

Adapu rincian keadaan siswa kelas V SD Islamiyah 4 dapat dilihat dalam

daftar sebagai berikut:

Jenis Kelamin Banyak siswa Keterangan

Laki-laki 21 siswa

Perempuan 26 siswa

Jumlah 47 siswa 99 % aktif

Data: Laporan Bulanan SD Islamiyah 4 Kota Ternate

Dua pertimbangan menentukan lokasi penelitian dilakukan pada sekolah

ini ialah, yang pertama sekolah ini berada di tengah-tengah keramaian kota

dengan siswa yang rata-rata berasal dari kelas menengah dan dibesarkan di kota,

(23)

tertentu dalam sikap dan cara menghadapi penerapan model yang membutuhkan

aktifitas praktis siswa. Yang kedua, terkait dengan pelaksanaan pembelajaran

Bahasa Indonesia; selama ini pembelajaran drama pada mata pelajaran Bahasa

Indonesia di sekolah ini hanya dilakukan dengan membaca saja. Selain itu,

pengajaran dengan model pengajaran pengalaman-langsung melalui metode drill

yang penuh latihan-latihan dapat memberikan masukan bagi guru agar dapat

memiliki strategi pengajaran yang lebih bervariasi. Variasi pengajaran yang dapat

dilakukan guru diharapkan akan lebih menggairahkan belajar siswa. Pertimbangan

ketiga, SD Islamiyah membutuhkan intervensi pelaksanaan program

pengembangan diri siswa. Kepala sekolah memandang pembelajaran drama dapat

dimasukkan sebagai bagian dari program pengembangan dir siswa, sehingga

siswa diberikan lebih banyak pilihan dalam pengembangan diri sesuai minat dan

bakat mereka, karena itu kami diberikan melakukan penelitian pada setiap hari

Jum’at atau pada hari lain yang dibutuhkan.,

b. SD Kalumata 2.

Lokasi penelitian kedua adalah SD Kalumata 2 Kota Ternate, NPSN

10.127.600.252, NSS 60200850; secara fisik sekolah ini berdiri permanen,

dibangun sejak tahun 2007, dengan 6 ruang belajar, kantor kepala sekolah, ruang

guru, perpustakaan, wc dan kamar mandi. Sekolah ini terletak di Selatan Kota

Ternate, di lokasi gusuran bukit pasir, tepat pada sedikit ketinggian, berjarak

cukup jauh dari SD Islamiyah Kota Ternate. SD Kalumata 2 Kota Ternate

berlamat di kelurahan Kalumata Puncak, Kecamatan Ternate Selatan, Kota

(24)

SD Kalumata 2 berada di kawasan pemukiman baru yang relatif tenang

dan bersih, yang merupakan hunian dari masyarakat kelas ekonomi menengah ke

bawah, yang belum banyak dipadati penduduk. Situasi lingkungan dan kelas

ekonomi tersebut turut memberikan dampak baik bagi proses pembelajaran

maupun hasil pembelajaran sebagaimana yang terlihat selama penelitian

berlangsung.

Perilaku beberapa siswa yang meminta perhatian lebih, atau terkadang

menunjukkan sikap superioritas-nya paling tidak menunjukkan indikator dari

mana siswa tersebut berasal. Secara psikologis lingkungan masyarakat dan situasi

rumah tangga mempengaruhi sikapnya, sehingga tampak dalam interaksi kelas

selama pembelajaran berlangsung.

Sekolah ini berputar hanya pada pagi hari saja. SD Inpres Kalumata 2

lebih leluasa. SD Kalumata 2 dapat menggunakan seluruh sarana dan fasilitas

belajarnya tanpa terganggu atau segera meninggalkan sarana dan fasilitas

belajarnya karena harus digantikan oleh siswa sekolah berikutnya.

Tenaga Guru dan Tenaga kependidikan 21 orang, terdiri atas :

a. PNS : laki-laki 1 orang, perempuan 14 orang

b. Non PNS/PTT : perempuan 5 orang

c. Penjaga sekolah : laki-laki 1 orang

Daftar Rombongan Belajar dan Jumlah Siswa SD Inpres Kalumata 2.

Kelas

Jumlah

I II III IV V VI

JS RB JS RB JS RB JS RB JS RB JS RB JS RB

50 1 49 1 39 1 46 1 48 1 41 1 284 6

(25)

Jumlah Siswa kelas V SD Inpres Kalumata 2 sebagai berikut:

Jenis Kelamin Banyak siswa Keterangan

Laki-laki 23 siswa

Perempuan 25 siswa

Jumlah 48 siswa 99 % aktif

Data: Profile SD Inpres kalumata 2, 2010/2011

Dari jumlah tersebut, sampel yang digunakan sebanyak 20 orang saja,

mewakili seluruh jumlah siswa yang ada, yang diambil secara acak.

SD Inpres Kalumata 2 dijadikan lokasi penelitian, dengan pertimbangan

dua hal yang tak jauh berbeda dari SD Islamiyah 4, yakni pertimbangan sosial dan

pertimbangan edukatif. Pertimbangan sosial dilihat dari lingkungan sekolah ini

agak ke selatan kota, input siswa berasal dari lingkungan masyarakat di sekitar

sekolah, Tingkat kehidupan sosial ekonomi mereka bevariasi antara kelas

menengah dan menengah ke bawah. Seperti dijelaskan Djena Jumati, kepala

sekolah (Wawancara, Sabtu, 23 Juli 2011), beberapa siswa kerap digunakan

tenaganya, membantu orang tua yang bekerja pada lokasi penggusuran tanah di

sekitar sekolah, demi membantu ekonomi keluarga. Tenaga dan waktu mereka

yang terkuras di tempat pekerjaan seperti itu mempengaruhi sikap dan waktu

belajar mereka di rumah.

Pertimbangan edukatif terkait pembelajaran, didasarkan pada kenyataan,

bahwa pembelajaran Bahasa Indonesai pada pengajaran drama belum dapat

dilakukan secara maksimal. Guru kelas hanya sekedar membaca tanpa strategi lain

yang bervariasi. Proses pembelajaran yang monoton ini sudah tentu berdampak

pada gairah dan tingkat apresiasi siswa terhadap bidang sastra yang kurang

(26)

siswa. Tegasnya, dibutuhkan inovasi yang memberikan perubahan kondisional.

Inovasi (innovation) merupakan jawaban atas kondisi nyata yang demikian

mapan, kaku, dan tradisional yang mungkin saja sudah tidak relevan dengan suatu

tuntutan perubahan masyarakat pada zamannya. Inovasi hadir sebagai hal baru

demi pemenuhan kebutuhan yang lebih bersifat alternative constructive

(pilihan-pilihan perbaikan).

Dengan menerapkan model pengajaran penmgalaman-langsung pada

penelitian terhadap pembelajaran drama dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia

ini, diharapkan model pengajaran pengalaman-langsung dapat diterima, dipelajari

dan dikembangkan oleh guru, sebagai tindak perubahan guna pelaksanaan

pembelajaran yang variatif. Pembelajaran yang lebih variatif itu dapat diterima

sebagai ekspektasi ke depan agar dalam input dan proses terjadi perubahan

sehingga output pembelajaran bukanlah suatu perulangan produk yang sama dari

tahun ke tahun, akan tetapi lahir suatu out yang semakin dinamis dan

berkemajuan. Seperti diketahui, kebanyakan perubahan bukanlah fenomena

secara kebetulan, tetapi merupakan hasil dari suatu tindakan-tindakan terencana,

dalam hal ini dibutuhkan perubahan-

perubahan pada input dan proses pembelajaran, sehingga mempengaruhi dan

menghasilkan perubahan pada output pembelajaran pula.

Menghadapi realitas proses pelaksanaan pembelajaran drama pada mata

pelajaran Bahasa Indonesia yang lebih cenderung teoretis, tentu saja perubahan

yang diinginkan akan berhadapan dengan sejumlah tantangan dan terutama

(27)

pengalaman-langsung yang diterapkan, mengingat sangat minimnya kemampuan penguasaan

model dan metode yang dibutuhkan. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap dan

strategi yang dikaitkan dengan kebutuhan guru dalam praktik penerapan model

ini. Disadari, bahwa perubahan dapat paling baik diperkenalkan tidak melalui

perencanaan yang terpusat, tetapi setelah mempelajari kebutuhan-kebutuhan

pelaksana pembelajaran, dalam hal ini para guru Bahasa Indonesia yang menjadi

ujung tombak pembelajaran Bahasa Indonesia, pada materi drama.

Tawaran perubahan harus mengetahui kebutuhan-kebutuhan yang

dirasakan oleh para guru dan mengadaptasikan model pengajaran

pengalaman-langsung kepada mereka. Dalam hal ini peneliti tidak harus melepaskan perannya

untuk mengembangkan dan membentuk kebutuhan-kebutuhan tersebut, sehingga

dapat menguntungkan guru pelaksana atau guru kelas dalam jangka panjang.

Pemantauan terhadap proses pelaksanaan pembelajaran oleh guru juga merupakan

salah satu bagian yang diamati dalam penelitian ini guna mengetahui tingkat

kemampuan penerapan dan pelaksanaan pembelajaran di kelas.

Tentu saja penerapan model pengajaran pengalaman-langsung hendaknya

tidak hanya diterapkan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia saja, akan tetapi

dapat dimanfaatkan pula pada mata pelajaran lainnya, dalam kondisi yang

memungkinkan, karena inti proses mengajar adalah pengaturan lingkungan

dimana siswa dapat berinteraksi dan belajar bagaimana untuk belajar. Model

mengajar adalah deskripsi lingkungan belajar sehingga penerapan model

pengajaran pengalaman-langsung pada mata pelajaran lain, selain Bahasa

(28)

pembelajaran, proses pembelajaran, materi pembelajaran, lingkungan ruang,

kondisi dan tingkat perkembangan siswa serta sarana yang tersedia.

Pembelajaran pengalaman langsung diproses dalam empat tahap

pembelajaran yang saling mengiringi tahap demi tahap, yakni tahap pengalaman

konkrit, refleksi, pembentukan konsep abstrak, dan melakukan eksperimen

konkrit. Pada mata pelajaran yang dilakukan di dalam laboratorium, pengamatan

alam di luar kelas, pembelajaran yang menitik beratkan pada praktik fisik yang

melalui suatu prosedur latihan dan pengetahuan deklaratif, dan demonstrasi

menggunakan media atau model, dapat dilaksanakan menggunakan model ini.

Adaptasi penerapan pengajaran pengalaman-langsung pada suatu mata

pelajaran digambarkan di bawah ini.

Gambar 1.1

Penerapan Model Pengajaran Pengalaman-Langsung pada Mata Pelajaran

Manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan model ini antara lain,

meningkatka kesadaran akan harga diri, kemampuan, dan rasa percaya diri,

(29)

dan meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, menumbuhkan rasa saling

percaya sesam teman dalam suatu kelompok kerja sama, meningkatkan semangat

kerjasama, menumbuhkan dan meningktakan komitmen dan tanggung jawab,

saling memberi dan menerima antar teman dan mengembangkan ketangkasan,

kemampuan fisik dan koordinasi.

Paling tidak memperkenalkan suatu model untuk memperkaya daya ajar

seorang guru agar tidak memperlakukan proses pembelajaran dengan

model-model yang monoton, akan lebih memungkinkan siswa terbebaskan dari penjara

situasi belajar yang jenuh. Model pembelajaran hendaknya lebih menempatkan

siswa sebagai manusia pada faktor pelaku pembelajaran agar lebih kreatif, aktif

dan sedapat mungkin inovatif. Hal ini perlu disadari mengingat manusia adalah

makhluk Tuhan yang mulia bukan sekedar gelas kosong yang sesukanya dapat

diisi. Tegasnya manusia bukan benda mati sehingga pelaksanaan pembelajaran

(30)

67

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi memberikan panduan atau petunjuk-petunjuk atas pelaksanaan

penelitian ini. Metodologi dibutuhkan karena metodologi adalah proses, prinsip,

dan prosedur yang digunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban

(Bogdan dan Taylor 1975:1), Hal ini berarti, metodologi adalah suatu pendekatan

umum yang digunakan dalam membahas topik penelitian. Bogdan dan Taylor

(dalam Mulyana, 2008:145) menjelaskan, metodologi dipengaruhi atau

berdasarkan perspektif teoretis yang digunakan untuk melakukan penelitian.

Penelitian ini ditujukan pada kemampuan memahami dan memeragakan drama.

Kemampuan tersebut akan mencakup tiga aspek kepribadian anak yang berkaitan

dengan aktivitas dan hasil belajar serta perubahan perilaku, yakni aspek kognitif,

aspek afektif dan aspek psikomotor (Bloom dan kawan-kawan, dalam Hanafiah

dan Suhana, 2010:20). Di samping itu, beberapa petunjuk praktis bermain drama

menurut Rendra (2007) menjadi landasan teori sebagai acuan kemampuan praktis

memeragakan drama.

Selanjutnya, uraian tentang metodologi penelitian diuraikan berikut ini.

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini akan mengamati aktivitas apresiasi sastra siswa dalam bentuk

pemahaman dan kemampuan memeragakan drama guna memperoleh sejumlah

data dan informasi tentang keadaan pembelajaran drama khususnya tentang

(31)

Penelitian ini menerapkan eksperimen yang dengan sengaja menciptakan

suatu situasi demi kepentingan penelitian. Situasi dimaksud sebagaimana

dikemukakan Milan dan Schumacher (2000: 51) berikut ini.

situasi yang biasa dipakai untuk menerapkan penelitian quasi eksperimen meliputi beberapa kelas atau sekolah yang dapat digunakan untuk menentukan akibat dari materi kurikulum atau metoda pengajaran. Kelas tersebut “utuh”, diorganisir untuk tujuan pengajaran.Kelas tersebut tidak ditandai secara acak dan dengan guru yang berbeda. Bagaimanapun juga, hal ini mungkin untuk memberikan perlakuan eksperimen terhadap beberapa kelas dan memperlakukan kelas lain sebagai kontrol.

Eksperimen adalah observasi di bawah kondisi terkontrol (artificial

condition) dimana kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh peneliti sendiri (Nazir

2009:63). Penelitian ini juga mengamati pengaruh-pengaruh dari variable bebas

terhadap variable lain yang timbul sebagai akibat perlakuan terhadap objek dalam

kondisi yang terkontrol (lihat, Fraenkel et. al.,1999).

Penelitian eksperimen boleh menggunakan beberapa kelas atau sekolah

sebagai kelas ekperimen. Penelitian ini, menggunakan dua kelas (sama-sama

kelas V) pada SD Islamiyah 4 dan SD Kalumata 2, yang digunakan untuk

memperoleh hasil atas perlakuan (treatmen) yang menerapkan model pengajaran

pengalaman-langsung. Hasil yang ingin diperoleh dari penerapan model ini adalah

tingkat kemampuan siswa dalam memahami drama dan memeragakan drama.

Penelitian ini dilakukan dengan teknik tes objektif menggunakan soal-soal

tes pilihan ganda, tes tindakan (perbuatan) yang dapat diamati dan wawancara.

Perlakuan terhadap objek penelitian akan dilakukan terhadap kelompok

eksperimen. Kepada kelompok siswa yang akan diteliti dilakukan perlakuan yang

(32)

Bentuk tes dan sasaran hasil yang ingin diperoleh terlihat dalam tabel ini.

Tabel 3.1

Bentuk Tes dan Sasaran Hasil

No. Bentuk Tes Sasaran Hasil Tes

1 Tes Objektif

(penyajian soal-soal)

Kemampuan Memahami Drama secara teoretis

2 Tes Tindakan

(Observasi)

Kemampuan Memeragakan Drama secara praktis

Metode eksperimen dalam penelitian ini adalah metode pre-experimental

design dengan one-group pretest-posttestt design, dengan metode ini hasil

perlakuan lebih akurat karena dapat membandingkan dengan keadaan sebelum

diberi perlakuan (Sugiyono, 2008:74). Metode ini digunakan untuk menguji

hipotesis dengan membandingkan data sebelum dan sesudah treatemen. Adapun

desain eksperimen dengan one-group pretest-posttestt design digambarkan

sebagai berikut:

X

Keterangan:

01 = Kondisi sebelum perlakuan (Pretestt)

02 = Kondisi sesudah perlakuan (Posttest)

X = Perlakuan

(Sugiyono, 2008:75)

B. Alur Penelitian

Alur penelitian ini dimulai dengan studi pendahuluan, perumusan masalah,

pemberian perlakuan hingga penyelesaiannya dengan kesimpuan dan saran-saran.

(33)

Gambar 3.1 Alur Penelitian

Studi Pendahuluan (Observasi Awal)

Identifikasi masalah Rumusan masalah

Studi Pustaka: Model Pembelajaran Pengalaman Langsung, Kemampuan Memahami dan Memeragakan Drama

Penyusunan Instrumen:

(34)

C. Tempat dan Objek Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada dua sekolah yaitu, SD Islamiyah 4

Kota Ternate dan SD Kalumata 2 Kota Ternate.

Objek penelitian dari kedua sekolah ini adalah siswa kelas V. Kepada kedua

objek penelitian ini akan sama-sama diberlakukan pretest maupun posttest.

Kelompok siswa kelas V pada kedua sekolah dipilih dengan asumsi, bahwa

kedua kelompok pada kelas ini sama-sama memiliki kemampuan setara,

dengan pertimbangan kedua kelompok sama-sama berada pada kelas V atau

disebut sebagai kelas tinggi atau kelas atas di sekolah dasar. Selain itu, kelas

V dipilih sesuai ketentuan kurikulum 2006, pada materi pelajaran Bahasa

Indonesia bagi siswa kelas V semester 2 dalam keterampilan berbicara yang

mengarahkan pengajarannya pada memainkan drama.

D. Definisi Operasional

1. Model Pengajaran Pengalaman-Langsung

Model pengajaran pengalaman-langsung yang dimaksudkan dalam

penelitian ini adalah serangkaian kegiatan pengajaran nyata yang langsung dapat

dialami siswa. Dalam pengalaman langsung ini, siswa terlibat di dalamnya dalam

berbagai tindakan atau perbuatan nyata, ikut berperanserta dalam proses

pengajaran, merasakan akibat tindakan-tindakannya, perilakunya selama proses

pengajaran berlangsung. Di dalamnya dilakukan serangkaian pengalaman

pengajaran drama. Pengalaman dimaksud dialami secara praktis oleh siswa.

Karena siswa terlibat, berperanserta, merasakan, menyaksikan secara nyata, dan

(35)

ini menyentuh ranah psikologi dan fisik, yakni kognitif, afektif dan psikomotorik.

Pengalaman dalam pengajaran pengalaman-langsung ini tidak berjalan tanpa arah,

akan tetapi terproses dalam aktivitas-aktivitas latihan yang metodik. Seperti

diketahui, dalam prinsip belajar, bahwa proses belajar adalah kompleks tetapi

terorganisir, dimana dibutuhkan bimbingan orang lain, untuk kepentingan ini

digunakan metode drill dalam pengajaran melalui latihan-latihan drama dimaksud.

Metode drill digunakan agar siswa memiliki sejumlah keterampilan motorik,

mengembangkan kecakapan intelek, memiliki kemampuan relasi kondisional.

Melalui metode drill, siswa melakukan kegiatan-kegiatan latihan drama agar

mereka memiliki sejumlah keterampilan memeragakan drama, sekaligus

diharapkan mereka akan memeroleh kemampuan memahami drama.

Model pengajaran pengalaman-langsung melalui penggunaan metode drill

lebih dititikberatkan pada aspek-aspek kegiatan praktis yang langsung dilakukan

oleh siswa sehingga siswa memeroleh pengalaman tertentu. Pengalaman

dimaksud merupakan sarana mencapai tujuan-tujuan pengajaran, dalam hal ini

mencapai kemampuan memahami drama dan sejumlah kemampuan praktis

memeragakan drama. Pemahaman yang diperoleh melalui suatu pengalaman

latihan akan lebih dalam berkesan dan lebih lama melekat dalam kesadaran siswa.

Pengetahuan dari pengalaman itu dilalui secara nyata, dikuasai, dirasakan dan

tersimpan secara lebih hidup dibandingkan penyajian pengajaran yang disajikan

secara verbal dan abstrak tanpa pengalaman praktis. Pengalaman memeragakan

(36)

dirasakan secara psikologis, dan dilakukan dengan fisik sehingga

pengalaman-pengalaman itu menyentuh aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.

2. Pengajaran Drama

a. Drama yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tulisan lakon (sastra)

yang dimainkan dan dapat ditonton orang baik teman-teman siswa di sekolah

maupun di depan publik yang lebih luas, menggunakan naskah berisi dialog,

sebagai jenis sastra yang ditulis untuk kepentingan seni pertunjukan.

b. Pengajaran drama merupakan pengajaran yang dilakukan melalui praktik atau

latihan bermain drama sebagai salah satu seni pertunjukan, menggunakan

naskah yang ditulis untuk kepentingan pertunjukan drama di panggung.

Pengajaran drama ini didasarkan pada pelajaran Bahasa Indonesia.

3. Kemampuan Memahami Drama

Memahami merupakan terjemahan dari istilah understanding yang

diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi yang dipelajari. Memahami

merupakan salah satu indikator manifestasi inteligensi. Pemahaman dapat

difahami sebagai pemahaman fungsional dan pemahaman relasional. Pemahaman

fungsional, yaitu dapat mengaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar dan

menyadari proses yang dilakukan. Dalam konteks interaksi verbal pada situasi

dialog, kemampuan pemahaman fungsional akan membantu siswa dalam

mengucapkan kata dan menuturkan kalimat dengan lafal, intonasi dan ekspresi

yang tepat. Pemahaman relasional, yaitu dapat mengaitkan sesuatu dengan hal

lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukan. Dalam interaksi di

(37)

interaksi wicara, dimana dia dapat mengaitkan sejumlah dialog yang telah

dikuasainya dengan situasi yang dihadapi. Di samping itu, pemahaman secara

praktis siswa dari pengajaran drama yang dapat diamati dari perilaku mereka,

ditunjukkan dalam bentuk-bentuk seperti menyimpulkan pesan drama,

mengomentari drama, membandingkan pemeranan tokoh-tokoh dalam drama,

menghubungkan perilaku dan pemeranan tokoh-tokoh dalam drama, menafsirkan

tema drama, banyak bertanya tentang drama, bertepuk tangan, mengacungkan

jempol atau memuji serta berbagai perilaku lainnya yang cukup banyak.

Kemampuan memahami drama dalam penelitian ini adalah pemahaman

teoretis tentang pengertian drama, tokoh, karakter, tema, amanat, alur, dan latar

maupun unsur-unsur praktis melakon drama yang lebih berkaitan dengan salah

satu keterampilan berbahasa yakni, keterampilan berbicara seperti lafal, intonasi,

dan ekspresi serta unsur lainnya.

4. Kemampuan Memeragakan Drama

Memeragakan berarti memperlihatkan atau menunjukkan dengan

mengunakan raga atau tubuh. Memeragakan menggunakan raga tubuh sendiri

untuk menunjukkan sesuatu. Memeragakan drama secara praktis diartikan

menunjukkan gerak atau perbuatan drama dengan menggunakan tubuh sendiri.

Jadi raga atau tubuh digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi secara dramatik.

Melakon merupakan rangkaian aktivitas menggunakan tubuh, suara dan air muka

yang sesuai untuk menunjukkan maksud tertentu yang berkaitan dengan drama.

Kemampuan memeragakan drama dimaksudkan sebagai perwujudan

(38)

drama, seperti lafal, intonasi, dan ekspresi, gestur (bahasa tubuh), akting, bloking

serta unsur lainnya. Wujud praktis tersebut merupakan unsur-unsur pendukung

perwujudan lakon drama yang perlu dikuasai pemain, dalam arti mampu

menunjukkan atau memperlihatkan dengan menggunakan ucapan dan suara (lafal

dan intonasi), dan air muka (ekspresi) sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti

penonton.

Kemampuan memeragakan, berarti kemampuan gerak motoris (motorical

abilities) sebagai salah satu kecakapan dasar khusus yang ditunjukkan dengan

unsure-unsur praktisnya. Pada penelitian ini unsur-unsur praktis yang akan diteliti

adalah lafal, intonasi dan ekspresi saja, sesuai kompetensi dasar pada aspek

keterampilan berbicara. Aspek-aspek keterampilan dimaksud yang dapat diamati,

pada kemampuan melafalkan kata atau kalimat dalam dialog. Pada kemampuan

intonasi, antara lain, mengucapkan kalimat sesuai tinggi rendah alunan,

mengucapkan kalimat sesuai tekanan keras-lunak, cepat-lambat yang tepat,

potongan kalimat yang tepat, potongan suku kata diucapkan dengan tepat. Pada

ekspresi dalam dialog, dapat ditunjukkan dengan berbicara dengan air muka

sesuai arti kata, berbicara dengan air muka sesuai maksud pembicaraan,

menunjukkan kesungguhan, tampak sedih ketika berbicara, ekspresi senang,

ekspresi kebanggaan, serta bentuk-bentuk lainnya. Kemampuan memeragakan

hendaknya tampak dalam berbagai perbuatan nyata, baik dalam dialog maupun

berakting, sehingga dapat diamati, sebagai perbuatan-perbuatan yang lahir dari

sesuatu yang diketahui (kognitif), kenyataan yang dirasakan (afektif) dan tindakan

(39)

D. Teknik Pengumpulan Data

Kemampuan memahami dan memeragakan drama yang akan diteliti

terpusat pada sejumlah pengetahuan teoretis dan kemampuan praktis dalam

penguasaan drama. Pengetahuan teoretis dimaksud antara lain, yang berkaitan

dengan penguasaan drama seperti pengertian drama, unsur-unsur drama seperti

tokoh, karakter, tema, amanat, alur, latar, isi cerita, juga kemampuan

memeragakan drama berkaitan dengan aspek lafal, intonasi, dan ekspresi yang

dijalani siswa dalam pengajaran drama dengan menerapkan model DEL

(pengajaran pengalaman-langsung). Jadi kemampuan yang menjadi sasaran

penelitian ini tertuju pada aspek pengetahuan dan perbuatan siswa tentang drama.

Dari pertimbangan ini maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan :

4.1. Studi pustaka; data-data teoritis dikumpulkan dengan menelaah berbagai

referensi sebagai landasan berfikir dan argumen dalam melakukan

penelitian. Studi pustakan dilakukan terhadap dua kelompok sumber, yakni

sumber-sumber tentang pembelajaran pada umumnya seperti model dan

metode yang terkait dengan dunia pendidikan, sumber-sumber tentang

pembelajaran yang terkait dengan pengajaran Bahasa Indonesia khususnya

pada aspek keterampilan berbicara dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang

dimainkan dalam drama. Sumber berikutnya adalah sumber tentang sastra

utamanya tentang drama, baik pengetahuan teoritis maupun petunjuk praktis

yang dapat diaplikasikan.

4.2. Tes objektif; data-data langsung diperoleh melalui tes, baik tes awal maupun

(40)

kemampuan tingkat memahami isi drama. Tes ini dilakukan dengan

mengajukan sejumlah soal pilihan ganda yang menyangkut para tokoh

penting, watak tokoh, tema, alur cerita, latar cerita, amanat atau pesan-pesan

cerita, kejadian-kejadian penting hingga akhir cerita. Tes juga mengajukan

teknik-teknik praktis memeragakan seperti teknik muncul dan bergerak,

dengan yang beralasan, baik alasan kewajaran maupun alasan kejiwaan

(lihat, Rendra,2008:23), menggunakan keras lembutnya suara, tekanan suara

dan suara khas pemeran. Lagu kalimat dalam dialog dan raut wajah

pemeran pun perlu dijawab secara teoretis sebagai bagian dari pemahaman

drama yang perlu dikuasai. Dalam hal ini tes objektif hanya menghasilkan

sejumlah jawaban teoretis yang dipahami siswa akan drama yang dikuasai.

4.3. Tes perbuatan; dengan pengambilan data melalui observasi (pengamatan)

terhadap subjek penelitian. Tes perbuatan yang diobservasi tertuju pada

perbuatan siswa dalam melakonkan atau memeragakan drama.Kenyataan

yang diamati ini merupakan suatu situasi sosial, peristiwa dimana terjadi

suatu interaksi dialog dramatik. Dari sisi ini, data tes akan lebih cenderung

pada data penelitian kualitatif. Locke, Spirduso dan Silverman (dalam

Creswell, 2002:155), mengemukakan, tujuan penelitian kualitatif adalah

untuk memahami situasi sosial, peristiwa, peran, kelompok atau interaksi

tertentu. Dalam hal ini peneliti berusaha memahami fenomena interaksi

sosial dalam dialog-dialog dramatik antar siswa yang menjelaskan tingkat

kemampuan memeragakan drama secara praktis, yang hanya dapat

(41)

penelitian adalah pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk

perolehan data yang terkontrol validitias dan realibilitasnya. Observasi

menurut Riduwan (2010:30), yaitu melakukan pengamatan secara langsung

ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan.

Apabila objek penelitian bersifat perilaku dan tindakan manusia, fenomena

alam (kejadian-kejadian yang terdapat di alam sekitar), proses kerja, dan

penggunaan responden kecil. Observasi digunakan dalam pengumpulan data

interaktif (Millan dan Schumacher, 1990). Interaksi yang dapat terlihat

dalam pengajaran ini adalah interkasi antar siswa dalam dialog-dialog

drama. Teknik mengumpulkan data dengan observasi digunakan bila

penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala

alam dan bila respoden yang diamati tidak terlalu besar (Sugiyono,

2010:2003). Umar (2004:31) menjelaskan, teknik ini menuntut adanya

pengamatan dari si peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung

terhadap objek penelitiannya. Instrumen yang dipakai dapat berupa lembar

pengamatan, panduan pengamatan dan lainnya.

Pada proses penelitian, pengamatan juga dilakukan pada saat pertunjukan

singkat berlangsung. Pertunjukan singkat ini hanya dimainkan dari bagian

yang sengaja dipilih, sebagai kebutuhan tes perbuatan yang dapat diamati.

Dalam tes perbuatan, siswa memeragakan dialog tertentu dari drama yang

dipelajarinya, kemudian dilakukan penilaian kemampuan sebagai data,

dilakukan melalui observasi, dengan pengamatan-pengamatan langsung

(42)

Observasi menjadi penting karena tes ini tidak dapat dinilai secara tertulis,

tetapi dengan menggunakan lembar panduan observasi peneliti memberikan

nilai kemampuan memeragakan drama.

Tes perbuatan yang diamati akan menghasilkan data kualitatif dan

penafsiran data kuatitatif secara kualitatif. Creswell (2010) menjelaskan,

pengambilan sampel secara sengaja, pengumpulan data terbuka, analisis teks

atau gambar, penyajian informasi dalam bentuk gambar dan tabel, serta

interpretasi pribadi atas temuan-temuan, semuanya mencerminkan

prosedur-prosedur kualitatif. Pada tes perbuatan ini sampelnya adalah siswa kelas V,

data terbuka dalam hal ini terkait dengan pandangan beberapa pihak yang

berinteraksi dalam proses penerapan model pengajaran

pengalaman-langsung untuk penelitian pembelajaran pengalaman pengalaman-langsung ini.

Tes awal (pretest) dilakukan guna menilai sampai dimana siswa-siswa telah

menguasai kemampuan-kemampuan yang tercantum dalam fokus penelitian

ini, yaitu kemampuan memahami dan kemampuan memeragakan drama

sebelum penerapan model pengajaran pengalaman-langsung.

Hasil tes awal sebagaimana dijelaskan Roestiyah (2008:117) berfaedah

sebagai bahan perbandingan dengan hasil tes akhir (posttest) setelah mereka

selesai mengikuti program pengajaran tertentu. Bagi setiap murid perlu

diberi tanda jawaban-jawaban yang benar dan salah juga angka-angka.

Di samping tes awal dilakukan pula tes akhir (posttest) yang diberikan

(43)

pengajaran pengalaman-langsung, yang berfungsi untuk menilai perubahan

kemampuan siswa atas penguasaan materi setelah program pengajaran.

Tes akhir identik dengan tes yang diberikan pada tes awal, namun materi tes

tidak boleh berulang. Identik dalam hal ini adalah kesetaraan tingkat

kesulitan antara tes awal dan tes akhir dan lingkup materi tes yang sama,

bukan soal tes yang sama persis.

Tes tersebut menggunakan tes prestasi (achievement test) yang digunakan

untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mempelajari sesuatu

(Riduwan, 2010:31). Dalam penelitian ini tes terhadap kemampuan

memahami dilakukan melalui objektif tes dengan sejumlah soal pilihan

ganda (PG), sedangkan tes kemampuan memeragakan dilakukan melalui tes

perbuatan yang dapat diamati.

Gambar 3.2

Pelaksanaan Tes Awal dan Tes akhir terhadap Penerapan DEL.

4.4. Wawancara. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data studi

pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan apabila

peneliti menginginkan hal-hal yang lebih mendalam dan jumlah

respondennya sedikit ( lihat, Sugiyono,2010:194). Wawancara adalah suatu

cara pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi

langsung dari sumbernya (Riduwan,2010:29). Wawancara sebagai suatu

bentuk informasi adalah bentuk komunikasi yang melibatkan pihak yang

Tes akhir Penerapan Model DEL

(44)

ingin memperoleh informasi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,

berdasarkan tujuan tertentu (lihat, Mulyana, 2008:180). Wawancara juga

merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang lain. Pelaksanaannya

dapat dilakukan secara langsung berhadapan dengan yang diwawancarai,

tetapi dapat juga secara tidak langsung seperti memberikan daftar pertanyaan

untuk dijawab pada kesempatan lain (Umar, 2004:51). Dengan demikian,

wawancara dapat di fahami sebagai teknik pengumpulan data dengan

menggunakan sejumlah pertanyaan tertentu sesuai tujuan, untuk memeroleh

data langsung dari responden.

Secara garis besar wawancara terdiri atas wawancara terstruktur dan

wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur seperti dijelaskan

Mulyana (2008:180), sering disebut wawancara baku (standardized

interview) sedangkan wawancara tak terstruktur sering juga disebut

wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif dan

wawancara terbuka (openended intervieuw). Riduwan (2010:29-30),

membagi wawancara atas wawancara terpimpin, wawancara bebas dan

wawancara bebas terpimpin. Dalam melakukan wawancara, pengumpul data

telah menyiapkan instrument penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis

yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan (Sugiyono, 2010:194-195).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan wawancara

(lihat Mulyana, 2008:181-186), antara lain, 1) wawancara dilakukan dalam situasi

informal, 2) responden wawancara dipilih berdasarkan tujuan penelitian

(45)

responden dapat lebih terbuka, 4) cara bertanya berbeda, menghadapi responden

yang berbeda jabatan, status sosial dan kalangan responden, meskipun isi

pertanyaan tetap sama, 5) pemikiran subjek (responden) disesuaikan dengan

tujuan penelitian, 6) gunakan alat rekam dengan izin responden, menyalin hasil

wawancara ke dalam bentuk tulisan, dan memilah-milahnya berdasarkan kategori

yang relevan dengan model, hipotesis, atau kerangka teori yang digunakan, 7)

gunakan pertanyaan netral saat memancing jawaban responden.

Data-data secara komprehensif, diperoleh dari kedua sasaran penelitian

atas perlakuan yang sama. Dengan perlakuan yang sama pada kedua objek secara

bergantian, maka tingkat keefektifan model pengajaran ini dapat dipastikan.

F.Teknik Analisis Data

1. Uji Validitas

Untuk menguji validitas konstruk, yang pertama digunakan pendapat dari

dua orang ahli (judgment experts), yang ahli di bidang yang diteliti. Para ahli

diminta pendapatnya tentang instrument yang telah disusun. Berikutnya

diteruskan dengan uji coba instrument. Pada penelitian ini, uji validitas dilakukan

dengan tahapan sebagai berikut.

(46)

X = Item soal yang dicari validitasnya

Y = Skor total yang diperoleh sampel

2) Proses pengambilan keputusan

Pengambilan keputusan didasarkan pada kriteria berikut.

• Jika r hitung positif, dan r hitung ≥ 0,3, maka butir soal valid

• Jika r hitung negatif, dan r hitung < 0,3, maka butir soal tidak valid

Menurut Masrun (dalam Sugiyono, 2007 : 188-189), item yang dipilih

(valid) adalah yang memiliki tingkat korelasi ≥ 0,3. Jadi, semakin tinggi validitas

suatu alat ukur, maka alat ukur tersebut semakin mengenai sasarannya atau

semakin menunjukkan apa yang seharusnya diukur.

Tabel 3.2

Gambar

Gambar 1.1 Penerapan Model Pengajaran Pengalaman-Langsung pada  Mata Pelajaran
Tabel 3.1 Bentuk Tes dan Sasaran Hasil
Gambar 3.1 Alur Penelitian
Gambar 3.2 Pelaksanaan Tes Awal dan Tes akhir terhadap Penerapan DEL
+4

Referensi

Dokumen terkait

Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk

Pengaruh tingkat substitusi konsentrat dengan daun murbei pada pakan berbasis jerami padi terhadap nilai pH, konsentrasi amonia, VFA total dan produksi gas media in vitro

Salah satu bentuk dalam manajemen pembelajaran pendidik adanya inquiry learning model di mana dalam kajian Ulva (2017) menyebutkan adanya pengaruh antara inquiry

Prinsip kerja ikhlas mengajarkan kepada kita untuk tidak selalu terpaku pada hasilnya dan lebih menitik beratkan pada prosesnya, kerja ikhlas mampu mengangkat

APLIKASI ASUHAN KEPERAWATAN PADA KELUARGA PASIEN DENGAN PENYAKIT HIPERTENSI DI JALAN SELAMAT.. KELURAHAN SITIREJO

Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara

penulis dari segala usia untuk mengubah gambar menjadi sebuah cerita yang segar dan mengasyikkan. SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat merupakan SD yang terkemuka

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) perbedaan hasil belajar menggunakan media belajar diorama, blockdiagram dan chalkboard (2) membandingkan efektivitas