vii
BAB II PENGAJARAN DRAMA DAN MODEL PENGAJARAN PENGALAMAN-LANGSUNG 27
A. Pengajaran Drama 30
1. Ihwal Drama 31
2. Drama Anak-Anak 45
3. Pembelajaran Drama di SD 48
B. Teori tentang Model Pengajaran Pengalaman-Langsung pada Pengajaran Drama 49
1. Teori Model Pengajaran Pengalaman-Langsung (DEL) 55
2. Teori Metode Drill dalam Model Pengajaran Pengalaman-Langsung 58
3. Pengajaran Drama menggunakan model Pengajaran Pengalaman -Langsung 60
C. Kemampuan Memahami dan Memeragakan Drama 63
1. Kemampuan Memahami Drama 63
2. Kemampuan Memeragakan Drama 63
vii
2. Gambaran Kemampuan Penguasaan Drama Sebelum dan Setelah Penerapan Model Pengajaran-Langsung 107
3. Gambaran Kemampuan Memahami Drama Sebelum dan Setelah Penerapan Model Pengajaran Pengalaman-Langsung 110
3. Kemampuan Memeragakan Drama melalui Penerapan Model Pengajaran Pengalaman-Langsung 141
4. Efektifitas Penerapan Model Pengajaran Pengalaman-Langsung Untuk Meningkatkan Kemampuan Penguasaan Drama 145
5. Aktifitas Guru dalam Proses Pengajaran Pengalaman-Langsung 150
6. Aktifitas Siswa dalam Proses Pengajaran Pengalaman-Langsung 154
vii
B. Saran-saran 170
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pendidikan merupakan sebuah fenomena antropologis yang usianya
hampir setua dengan sejarah manusia itu sendiri. Nicolo Machiavelli (dalam
Koesoemo A, 2007:52) memahami pendidikan dalam kerangka proses
penyempurnaan diri manusia secara terus menerus. Ini terjadi karena manusia
secara kodrati memiliki kekurangan dan ketidaklengkapan. Pendidikan
melengkapi ketidaksempurnaan dalam kodrat alamiah.
Dalam kaitannya dengan perkembangan kehidupan dan kebudayaan
manusia, Trianto (2010:4) berpendapat, bahwa:
Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus-menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan akan kekurangan dan
ketidaklengkapan itu serta konsekwensi dinamika kehidupan manusia berbudaya,
pendidikan hendaknya terus dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan
manusia, selalu terhubung dengan perkembangan ilmu dan teknologi, tak
tertinggal dari konsekwensi dan tuntutan budaya, serta dapat diwujudkan dalam
bentuk-bentuknya yang nyata dan tertanggung jawab. Pelaksanaan pendidikan
ditinggalkan masyarakatnya. Kebutuhan manusia itu sangat berkaitan dengan
standar pendidikan yang memperhatikan output, bukan hanya input dan proses.
Perhatian pada output diharapkan menghasilkan siswa yang memiliki standar
kompetensi dimana seorang lulusan sekolah memiliki sejumlah hasil kegiatan
yang dapat didemonstrasikan atau ditunjukkan dalam bentuk nyata dan praktis
sebagai penerapan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya.
Fokus pendidikan yang hanya mengarah pada input dan proses dipandang
kurang dinamis, kurang efisien, dan mengarah pada stagnasi pedagogik. Dalam
hal ini kendali pendidikan diwujudkan oleh pemerintah terhadap input dan proses
berupa standardisasi kurikulum nasional, buku, alat, pelatihan guru, sarana dan
fasilitas sekolah yang harus berlangsung di dalam sistem. Fokus pendidikan pada
input dan proses terkesan sebagai usaha memenuhi syarat-syarat pelaksanaan
pendidikan secara administratif belaka.
Mencermati kenyataan tersebut, berikut dikemukakan pandangan Mulyasa
(2008:24) dibawah ini.
Semua komponen input dan proses, dari hulu sampai hilir, mulai dokumen kurikulum, pelatihan guru, sampai lembar kerja peserta didik, harus diubah. Hal tersebut telah mengakibatkan system pendidikan cenderung tidak efisien dan sulit beradaptasi dengan perkembangan masyarakat. Tantangan masyarakat dalam millennium ketiga antara lain akselerasi teknologi dan sains, tren politik, kekuatan ekonomi, tren sosial budaya modern, perubahan peta pengetahuan, dan era post-modern, yang berbagai perubahan pendidikan. Jika sistem pendidikan konvensional terus dipertahankan, tanpa memperlaus orientasi pada output atau standar kompetensi pendidikan, maka berbagai perubahan yang ingin dilakukan sulit diwujudkan.
Pendidikan konvensional yang menitik beratkan pada input dalam bentuk
dengan mempertimbangkan kompetensi lulusan seperti apakah yang dibutuhkan
oleh masyarakat dan dituntut oleh perkembangan. Pertimbangan kompetensi
lulusan dimaksud memberikan arah pada input dan proses, sehingga input dan
proses akan berdayaguna menyediakan dan mempersiapkan konten dan kualitas
output yang sesuai kebutuhan masyarakat dan memehuhi permintaan maupun
persaingan pasar kerja. Kompetensi dimaksud harus bermakna sebagai apa yang
diharapkan dapat diketahui, dimiliki, disikapi atau dilakukan lulusan dalam setiap
tingkat atau jenjang pendidikan sekaligus menggambarkan kemajuan atau
kemampuan yang dapat dicapai atau dimiliki siswa secara bertahap dan
berkelanjutan. Kemajuan atau kemampuan itu juga menjadi kebiasaan berpikir
dan bertindak secara konsisten secara terus-menerus dalam arti memiliki
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar dalam bertindak.
Bila diterjemahkan ke dalam pelaksanaan pembelajaran secara nyata di
sekolah, maka gaya dan pola pembelajaran yang terkesan sekedar menyelesaikan
materi dan menjejalkan sejumlah perlengkapan materi pembelajaran harus lebih
diarahkan pada pembelajaran yang menghasilkan lulusan dengan sejumlah
kemampuan praktis dan relevan dengan kebutuhan dan permintaan tersebut. Hal
mana tentu saja tidak dapat diperoleh melalui pembelajaran yang sekedar teoretis
dan pengetahuan abstrak belaka. Pengetahuan yang dimiliki harus dapat mewujud
pada perbuatan nyata.
Untuk itu dibutuhkan gagasan dan pendekatan inovatif yang sengaja
Pendidikan sebagai suatu usaha pengembangan diri dan potensi manusia
merupakan suatu konsep abstrak. Maka pendidikan perlu direalisasikan hingga
mewujud secara praktis dalam bentuknya yang nyata. Secara praktis pendidikan
perlu dilaksanakan dalam suatu sistem yang menggunakan dan melibatkan
berbagai komponen dan syarat tertentu. Sekait dengan hal itu, secara praktis
pendidikan (terutama pendidikan formal) tidak dapat terlepas dari tindakan atau
kegiatan-kegiatan pembelajaran atau pengajaran. Pembelajaran atau pengajaran
yang merupakan kegiatan integral dengan aktivitas pendidikan, harusnya memiliki
suatu sistem pembelajaran atau pengajaran. Sistem pembelajaran menurut
Hamalik (dalam Sanjaya, 2009:6) adalah suatu kombinasi terorganisasi yang
meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur
yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan.
Unsur prosedur yang disebutkan di atas menunjukkan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan dalam proses pembelajaran misalnya strategi dan metode
pembelajaran, jadwal pembelajaran, pelaksanaan evaluasi dan lain sebagainya
(Sanjaya, 2007:6). Dick dan Carey (1985) menyebutkan bahwa strategi
pembelajaran itu adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang
digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa.
Strategi dalam konteks pengajaran menurut Gagne (dalam Iskandarwassid dan
Sunendar, 2008:3) adalah kemampuan internal seseorang untuk berpikir,
memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Siswa akan berpikir lebih tajam,
menganalisis, memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Sedangkan
belajar sebagai tingkah laku atau tindakan yang dipakai oleh pembelajar agar
pembelajaran bahasa lebih berhasil, terarah, dan menyenangkan. Tingkah laku
atau tindakan pembelajar seperti yang disebutkan, menunjukkan suatu aktivitas
belajar yang dapat diamati. Dengan demikian, dari batasan ini dapat ditegaskan,
bahwa aspek keterampilan berbicara pada pengajaran Bahasa Indonesia melalui
drama harus dapat diamati, sejalan dengan metode penelitian nanti. Hal ini
bukanlah berarti batasan tersebut tidak mencakup aspek kognitif yang tidak
teramati. Selanjutnya kegiatan pembelajaran tak lepas dari model pembelajaran.
Dalam mengajarkan atau menyajikan suatu materi (pokok bahasan)
tertentu harus dipilih model pengajaran atau model pembelajaran yang paling
sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itu pemilihan suatu model
pengajaran harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Pertimbangan-pertimbangan itu, misalnya tujuan pembelajaran, materi pelajaran,
tingkat perkembangan kognitif siswa, lingkungan belajar dan sarana atau fasilitas
yang tersedia, sehingga memudahkan pencapaian tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan.
Untuk melaksanakan pembelajaran drama dengan memusatkan perhatian
pada peningkatan kemampuan memahami drama dan memeragakan drama
diterapkan model pengajaran pengalaman-langsung atau direct experience
learning (DEL). DEL dipilih dengan mempertimbangkan bahwa penguasaan
drama dapat dilakukan melalui latihan-latihan, mempraktikkan informasi yang
disampaikan guru, mempertunjukkan keterampilan-keterampilan tertentu,
dengan pelatih (guru) dan antara sesama peserta (siswa) dalam situasi pengajaran.
Pengajaran langsung dapat berbentuk demonstrasi, pelatihan atau praktik dan
kerja kelompok, karena itu pengajaran langsung menggunakan metode drill.
Bentuk-bentuk pengajaran seperti itu memberikan sejumlah pengalaman
langsung, nyata dan praktis terhadap siswa sehingga diharapkan pengetahuan dan
keterampilan drama dapat ditransformasikan pada siswa tidak dalam bentuk
teoretis akan tetatpi dapat dialami, diketahui, dirasakan dan dapat dipraktikkan
dalam bentuk perbuatan yang dapat diamati.
Tujuan pengajaran pengalaman-langsung (DEL) akan sesuai dengan tujuan
pengajaran drama. Model pengajaran pengalaman-langsung (DEL) mempunyai
tujuan deklaratif dan prosedural. Tujuan pengajaran pengalaman-langsung adalah
siswa dapat menguasai pengetahuan deklaratif yang dapat diungkapkan dengan
kata-kata sebagai pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan pengetahuan
prosedural merupakan pengetahuan tentang cara melakukan sesuatu.
Pengetahuan deklaratif siswa pada pengajaran drama adalah kemampuan
siswa dalam menyampaikan isi dan ungkapan dalam bentuk tuturan, kata-kata
secara lisan, yang merupakan kemampuan memahami. Pengetahuan prosedural
yang dapat dilakukan siswa adalah kemampuan atau keterampilan berlakon
(acting), memeragakan ungkapan, menunjukkan melalui air muka sesuai rasa
pengahayatan (ekspresi), lagu kalimat dalam bertutur (intonasi) maupun bahasa
tubuh (gestural). Hal ini berkaitan dengan kemampuan memeragakan.
Dalam menerapkan model pembelajaran atau model pengajaran digunakan
(DEL) pada pelajaran drama digunakan metode atau teknik latihan drill karena
pengajaran drama, akan berbasis pada aspek pelajaran keterampilan yang sangat
dominan, agar tumbuh keterampilan yang otomatis (automaticity skill).
Melalui penggunaan metode ini, diharapkan kelak siswa memiliki
keterampilan motorik/gerak seperti melafalkan kata-kata, mempergunakan alat
(property), terampil membangun interaksi dalam dialog drama, terampil
menggunakan anggota tubuh atau memeragakan sebagai bagian dari kemampuan
berbahasa juga mengembangkan kecakapan intelek dalam mengomunikasikan
pikiran secara langsung dan nyata.
Dalam penerapan model pengajaran pengalaman-langsung ini dengan
metode drill, pengajaran harus difokuskan pada sasaran-sasaran pembelajaran.
Dalam hal ini guru memiliki tanggung jawab penting untuk memeragakan
(modeling), menjelaskan (explaining), atau mengajukan pertanyaan (questioning).
Dalam pelajaran-pelajaran yang berbasis pada keterampilan-keterampilan (
skills-based lesson), siswa mempraktikkan suatu keterampilan dengan tujuan
mengembangkan automaticity; sedangkan dalam pelajaran-pelajaran yang
berorientasi pada konten (content-oriented lesson), guru menggunakan
questioning untuk memastikan bahwa siswa benar-benar dapat memahami isi
pembelajaran.
Salah satu tujuan pembelajaran drama di SD, sebagai bagian apresiasi sastra,
secara umum adalah untuk menanamkan sikap apresiatif siswa terhadap sastra
(Indonesia), sehingga diharapkan anak dapat menikmati, memahami, menanggapi
memainkan atau memeragakan drama, sesuai kurikulum yang dicantumkan dalam
standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Di samping itu, kegiatan seperti pengajaran atau pun latihan drama, baca
puisi, kesenian, olah raga, maupun kepramukaan sangat dibutuhkan sekolah guna
memenuhi kebutuhan perkembangan bakat, kemampuan dan minat siswa sebagai
bagian dari pengembangan diri dan kreativitas siswa. Kenyataan yang dihadapi
adalah kondisi (ruang belajar, fasilitas dan situasi) dan kesiapan sekolah
menyediakan tenaga guru pelaksana yang jauh dari memadai merupakan kendala
dalam memenuhinya. Hal ini disadari penting bukan sekedar sebagai suatu
kebutuhan klasik saja, akan tetapi dengan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan
tenaga guru, penciptaan kondisi dan ketersediaan sarana, diharapkan suatu proses
pembelajaran dapat “diorkestrasi” layaknya sebagai suatu simponi dalam
pertunjukan musik, dengan memberdayakan seluruh potensi dan lingkungan
belajar yang ada, sehingga proses belajar menjadi suatu yang menyenangkan dan
bukan sebagai sesuatu yang memberatkan. Hal mana dilakukan melalui beberapa
langkah seperti 1) optimalkan minat pada diri sendiri, 2) bertanggung jawab pada
diri sendiri, sehingga akan memulai mengupayakan segalanya terlaksana, 3)
menghargai segala tugas yang telah selesai (Howard Gardner dalam DePorter
2002, lihat Sa’ud 2009:130).
Pembelajaran drama sebagai bentuk apresiasi sastra siswa kelas V SD
Islamiyah 4 dan SD Kalumata 2 Kota Ternate kini dapat dijelaskan berikut ini.
Dalam standar kompetensi pelajaran Bahasa Indonesia kelas V semester 2,
secara lisan dalam berdiskusi dan bermain drama. Kemudian pada kompetensi
dasar butir 6.2, disebutkan, memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi dan
ekspresi yang tepat. Dengan menelaah standar kompetensi dan kompetensi dasar
tersebut, tergambar bahwa pengajaran drama bagi siswa SD kelas V harus dapat
dilaksanakan dalam bentuk interaktif antar siswa (pemeran) secara praktis dan
nyata, oleh guru sehingga pengajaran bukan sekedar transformasi pengetahuan
secara teoritis yang abstrak saja, akan tetapi bentuk dan hasil pengajaran drama
haruslah terlihat dalam bentuk lakon hidup dalam praktiknya. Hal ini diperlukan
karena lakon yang dimaksudkan dalam penerapan model ini harus dapat
diperagakan agar dapat diamati.
Tuntutan standar kompetensi dan kompetensi dasar seperti itu memang
sangat sulit dilaksanakan oleh guru pada sekolah sasaran penelitian ini, karena
pengajaran Bahasa Indonesia yang dilakukan hanya sampai pada pengetahuan
teoretis saja.
Pengajaran drama, tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Pada
kenyataannya, kegiatan bermain drama pada siswa belum pernah dilaksanakan
sebagai bagian dari pembelajaran di SD Islamiyah 4 maupun SD Kalumata 2 Kota
Ternate. Hal ini lebih disebabkan oleh minimnya kemampuan guru yang
profesional di bidang ini. Walau pun demikian, pihak sekolah sangat
mengharapkan agar kegiatan drama dapat dilaksanakan di sekolahnya, sebagai
bentuk apresiasi sastra oleh siswanya, sebagai bagian dari pembelajaran Bahasa
Indonesia, pengembangan diri siswa, maupun sebagai kegiatan ekstra kurikuler
B. Rumusan Masalah Penelitian
Dengan mendasarkan pemikiran pada kenyataan di atas, masalah
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut, apakah penerapan model pengajaran
pengalaman-langsung efektif meningkatkan kemampuan memahami dan
memeragakan drama siswa kelas V SD Islamiyah 4 dan Siswa kelas V SD
Kalumata 2 Kota Ternate?
Jabaran dari rumusan masalah tersebut adalah:
a. Bagaimanakah gambaran umum pelaksanaan pengajaran drama bagi siswa
kelas V SD Islamiyah 4 dan SD Kalumata 2 Kota Ternate sebelum penerapan
model pengajaran pengalaman-langsung?
b. Apakah model pengajaran pengalaman-langsung dapat meningkatkan
kemampuan memahami drama siswa kelas V SD Islamiyah 4 dan siswa kelas
V SD Kalumata 2 Kota Ternate?
c. Apakah model pengajaran pengalaman-langsung dapat meningkatkan
kemampuan memeragakan drama siswa kelas V SD Islamiyah 4 dan siswa
kleas V SD Kalumata 2 Kota Ternate?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah menemukan bentuk penerapan model
pengajaran pengalaman-langsung (direct experience learning) pada pembelajaran
drama terhadap kemampuan memahami dan memeragakan drama, agar model ini
dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran drama bagi siswa sekolah dasar di Kota
penelitian ini akan menjadi suatu masukan bagi sekolah dan guru-guru dalam
pembelajaran drama di kelas V sekolah dasar, bahkan bagi kepentingan
pembelajaran umumnya.
Sedangkan tujuan khususnya adalah :
1. Mengetahui bagaimana kemampuan memahami dan memeragakan drama
sebagai sikap apresiatif sastra pada siswa kelas V saat ini.
2. Mengimplementasikan model pembelajaran pengalaman langsung, dengan
menggunakan metode drill pada pengajaran drama.
3. Mendeskripsikan dan menganalisa kemampuan pemahaman dan peragaan
drama pada siswa sebagai sikap apresiatif sastra siswa melalui penerapan
model pengajaran pengalaman-langsung.
4. Menyusun model pengajaran drama berdasarkan model pengajaran
pengalaman-langsung yang kelak dapat dimanfaatkan oleh guru.
F. Manfaat Penelitian.
Manfaat penelitian ini diharapkan akan menjadi sumbangan positif baik
bagi siswa, guru, sekolah orang tua, maupun pihak-pihak lain yang terkait dan
berkepentingan pada bidang-bidang pendidikan, pembelajaran bahasa atau sastra
Indonesia khususnya pengajaran drama, juga pembelajaran drama yang
menggunakan model pengajaran pengalaman-langsung. Hal ini dipandang perlu
mengingat fakta yang ditemukan pada beberapa sekolah dasar di Kota Ternate,
pembelajaran Bahasa Indonesia pada bagian drama belum dapat diterapkan secara
a. Bagi siswa, penerapan model pengajaran pengalaman-langsung dengan
menggunakan metode drill, dapat meningkatkan peranserta siswa dalam
interaksi antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran, memberikan
motivasi, minat dan sikap apresiatif siswa terhadap karya sastra khususnya
drama. Keterlibatan siswa dalam pengajaran drama melalui model dan
metode ini merupakan fenomena menggembirakan di mana siswa dapat
belajar menggunakan semua aspek kepribadian yang berkaitan dengan
pendidikan dan pembelajaran, yaitu aspek-aspek kognitif untuk memahami
dan merasa (afektif), dapat menunjukkan melalui tindakan dan perbuatan
dalam suatu peragaan drama yang menyentuh aspek kognitif. Dalam situasi
ini siswa tidak berada dalam keadaan pasif, akan tetapi lebih aktif dan
menunjukkan eksistensi dirinya. Antusias dan partisipasi siswa dalam
berbagai keperluan mempersiapkan, memproses dan mengisi kegiatan
pengajaran drama dalam model dan metode yang diterapkan ini
menunjukkan perubahan perilaku belajar yang bergairah, termotivasi dan
menyenangkan yang dapat dilakukan. Di samping itu pengajaran drama
akan menjadi bekal bagi pengembangan diri siswa kelak, terutama bagi
mereka yang berminat dan berbakat dalam bidang ini, hal ini sangat
diperlukan, karena belajar tentu saja tidak hanya melahirkan siswa yang
berkemampuan secara kognitif saja, akan tetapi meliputi seluruh aspek
kepribadian dalam belajarnya. Pada perkembangan kehidupan yang sangat
tertinggal tanpa keterampilan, tak mampu menerapkan pengetahuan, pada
gilirannya mengalami kemunduran.
b. Kondisi pembelajaran yang masih konvensional akan menjadi hambatan
bagi perkembangan peserta didik dalam perubahan kehidupan saat ini,
karena itu dibutuhkan inovasi pembelajaran agar guru dapat memiliki
kapasitas memadai dalam mengikuti perubahan itu. Tentu saja guru perlu
memiliki sejumlah informasi penting terkait pembelajaran. Bagi guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia dan guru pembina pengembangan diri siswa,
hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong proses pembelajaran yang
lebih variatif dan profesional, demi menunjang keberhasilan pembelajaran,
menambah keterampilan dalam menggunakan metode mengajar yang
bervariasi. Keterampilan yang bervariasi bagi guru itu diharapkan akan
memberikan dorongan positif bagi perluasan wawasan, perubahan
pendekatan, model, strategi pembelajaran dan evaluasi internal, maupun
pengembangan minat dan bakat siswa. Hasil penelitian ini dapat menambah
alternatif metode bagi kegiatan pembelajaran, baik pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia maupun pada mata pelajaran lain yang dimungkinkan. Hal
ini sangat dibutuhkan demi penerapan metode mengajar bervariasi tersebut.
c. Bagi sekolah, hasil penelitian ini memberikan masukan positif dalam
melengkapi model pembelajaran (yang akan diterapkan secara praktis) yang
akan diperlukan demi kepentingan-kepentingan tertentu, baik pembelajaran
sastra, apresiasi sastra, sebagai contoh dan tolok ukur proses pembelajaran
kebutuhan khusus sekolah, sehingga dapat dilakukan evaluasi demi
perbaikan di masa akan datang. Hasil penelitian dapat dijadikan acuan awal
guna melihat kelebihan maupun kekurangan pelaksanaan pembelajaran, agar
sekolah dapat memperbaiki metode, teknik dan proses pembelajaran drama.
d. Bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan suatu informasi atau data awal bagi pemenuhan
kebutuhan tertentu terutama berkaitan dengan pembelajaran dan drama.
Kenyataannya, pembelajaran Bahasa Indonesia bidang sastra, pokok
bahasan drama sangat minim, kurang memadai pelaksanaannya, kekurangan
tenaga pengajar drama yang belum dapat diatasi, sehingga apresiasi bidang
kesastraan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia sampai saat ini belum
memuaskan, merupakan temuan penelitian ini, memberi informasi tentang
kondisi sebenarnya pada proses dan hasil pembelajaran sastra, karenanya,
hasil penelitian ini merupakan masukan bagi perencanaan, implementasi dan
evaluasi pengajaran yang sangat dibutuhkan. Selain itu, kenyataan ini
diharapkan pula dapat memunculkan langkah-langkah berbagai pihak baik
di sekolah, maupun para pihak yang lebih berwenang pada jajaran
pendidikan dasar, dalam menumbuhkan sikap apresiasi anak terhadap sastra,
sebagaimana pengajaran drama yang dilakukan pada penelitian ini.
e. Kenyataan selama penelitian, keterampilan guru dalam membina pengajaran
drama untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia sesuai yang dibutuhkan oleh
sekolah tidak tersedia secara memadai. Dari sekolah-sekolah yang sempat
memenuhi kebutuhan ini. Guru-guru lebih cenderung mengajarkan Bahasa
Indonesia pada materi-materi dengan pokok bahasan bukan drama, atau
sastra pada umumnya. Pengajaran sastra lebih banyak dilaksanakan pada
materi-materi teoritis, seperti pengertian, pengertian puisi, prosa atau drama.
Pengertian tentang alur, tokoh, setting yang kesemuanya merupakan
unsur-unsur intrinsik yang teoretis. Sementara pembelajaran secara praktis belum
memadai. Padahal pembelajaran sastra atau yang berkaitan dengan sastra
hendaknya dapat dilakukan oleh siswa secara praktis dalam wujud
perbuatan nyata, yang dapat dirasakan siswa, demi mengembangkan
kemampuan berbagai aspek kepribadiannya. Diakui Endraswara (2003:
189), bahwa sampai saat ini memang pengajaran sastra kita masih berhenti
pada hal-hal mekanik. Artinya, pembelajaran sastra tidak langsung
berhubungan dengan karya sastra atau proses bersastra. Pada kenyataannya
pengajaran sastra yang sekedar teoretis kurang diminati. Pembelajaran
materi sastra di kelas hendaknya dapat dilakukan dalam bentuk perbuatan
sehingga kemampuan anak dapat diamati sebagai tindakan pengembangan
minat, bakat serta kemampuan-kemampuan profesional di masa depannya.
f. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan bahan-bahan
pertimbangan bagi berbagai pihak agar dapat memberikan perhatiannya ke
arah ini. Informasi ini dapat menjadi masukan bagi perencanaan, intervensi
implementasi maupun evaluasi. Sudah tentu hasil penelitian ini tidak
sekedar sebagai informasi, akan tetapi menyuguhkan kenyataan yang
E. Metode Penelitian
Rancangan penelitian, prosedur penelitian, instrument penelitian dan
pengolahan data hasil penelitian dari penelitian ini disajikan berikut ini.
1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian merupakan rancang bangun penelitian, dijelaskan
Kerlinger (2003:484) adalah rencana dan struktur penyelidikan yang disusun
sedemikian rupa sehingga peneliti akan dapat memperoleh jawaban untuk
pertanyaan-pertanyaan penelitiannya. Desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi), dengan desain one
group pretest-posttest. Menurut McMillan & Schumacher (1989: 312),
rancangan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Rancangan one group pretest-posttest
Group pretest Treatment Posttest
O1 X O2
O1 = Tes awal (pretest) sebelum adanya perlakuan
O2 = Tes akhir (posttest) setelah adanya treatment atau perlakuan
X = Perlakuan menggunakan model pengajaran pengalaman-langsung
2. Prosedur Penelitian
Tahap I, pelaksanaan pretest dengan menggunakan instrumen tes objektif
pilihan ganda untuk tes kemampuan memahami drama, mengemukakan
materi-materi tentang tokoh, karakter, tema, amanat, alur, latar dan ekspresi
secara teoretis; tes perbuatan guna memeroleh gambaran tentang tingkat
dititikberatkan pada dialog-dialog dengan aspek lafal, intonasi dan ekspresi
yang diperagakan dalam suatu interaksi dialog.
Tahap II, pelaksanaan pengajaran Bahasa Indonesia pada standar
kompetensi dan kompetensi dasar tentang memainkan drama dengan lafal,
intonasi dan ekspresi dengan menggunakan model pengajaran
pengalaman-langsung, melalui metode drill.
Tahap III, pelaksanaan posttest dengan menggunakan tes objektif pilihan
ganda, dan tes perbuatan yang dapat diamati. Selain itu dilakukan serangkaian
wawancara terhadap pihak-pihak yang memiliki keterlibatan dengan
pelaksanaan pengajaran dalam penelitian ini, seperti guru kelas, kepala
sekolah, dan ketua komite sekolah sejauh yang dapat dilakukan.
3. Instrumen penelitian.
Penelitian ini tertuju pada kemampuan memahami drama dan
kemampuan memeragakan drama. Kemampuan memahami drama akan lebih
tertuju pada aspek kognitif, sedangkan kemampuan memeragakan akan dilihat
pada aspek psikomotorik. Aspek afektif, dapat terlihat dalam gejala yang
ditunjukkan secara motorik maupun kognitif setelah pengajaran. Di samping
itu dibutuhkan tanggapan pihak lain atas proses pengajaran dengan model
pengajaran pengalaman-langsung. Dengan dasar tersebut, instrumen yang
digunakan adalah:
Tes objektif : Pretest, posttest guna mengetahui kemampuan memahami.
4. Pengolahan Data
a. Menentukan skor rata-rata standar deviasi pada pretest dan posttest.
b. Analisis normalitas dan homogenitas serta melakukan uji normalitas
apabila diperlukan
c. Analisis hasil tes perbuatan, untuk mengetahui kemampuan memeragakan
drama, sebagai hasil nyata suatu kemampuan praktis.
d. Analisis hasil wawancara. Hasil wawancara atau tanggapan pihak yang
terkait dengan sekolah akan memberikan penjelasan tentang kondisi siswa,
sekolah, keadaan SDM guru maupun hal-hal lain yang terkait langsung
dengan pembelajaran tentang penerapan model dan metode yang tengah
diteliti.
H. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada dua sekolah dasar di Kota Ternate,
yakni SD Islamiyah 4 Kota Ternate dan SD Kalumata 2 Kota Ternate. Kedua
sekolah sama-sama berada di Kota Ternate, namun terpisah cukup jauh. SD
Islamiyah 4 berada di Kecamatan Ternate Tengah, sedangkan SD Kalumata 2
terletak agak ke selatan kota yaitu di Kecamatan Ternate Selatan. Kedua sekolah
berjarak cukup jauh sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadi hubungan
antar responden yang dapat mengakibatkan penyimpangan pada hasil penelitian.
a. SD Islamiyah 4 Kota Ternate
SD Islamiyah 4 Kota Ternate beralamat di jalan Boesoeiri, kelurahan
Gamalama, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara.
tinggi sejak pagi hingga sore hari, yakni lokasi pertokoan dan pusat perbelanjaan
warga kota.
SD Islamiyah 4 Kota Ternate adalah lembaga pendidikan dasar berciri
pendidikan Islam yang berdiri sejak tahun 1972. Sekolah ini bernaung di bawah
Yayasan Pendidikan Islam Ternate (YPI). Yayasan lokal yang mengelola
pendidikan pada jenjang sekolah dasar, dan pendidikan menengah.
SD Islamiyah adalah sekolah dasar pertama di bawah naungan YPI, yang
sudah dikenal masyarakat Ternate sejak tahun 1959. Sejak tahun 1972, SD
Islamiyah berubah nama menjadi SD Islamiyah 4 sebagaimana sekarang. Sarana
fisik sekolah adalah bangunan sekolah berlantai dua.
Subjek penelitian adalah siswa kelas V berjumlah 20 siswa diambil secara
acak dari jumlah 47 orang, laki-laki dan perempuan, sebagai sampel dari populasi
yang dimiliki. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Sugiyono,2010:118).
Adapu rincian keadaan siswa kelas V SD Islamiyah 4 dapat dilihat dalam
daftar sebagai berikut:
Jenis Kelamin Banyak siswa Keterangan
Laki-laki 21 siswa
Perempuan 26 siswa
Jumlah 47 siswa 99 % aktif
Data: Laporan Bulanan SD Islamiyah 4 Kota Ternate
Dua pertimbangan menentukan lokasi penelitian dilakukan pada sekolah
ini ialah, yang pertama sekolah ini berada di tengah-tengah keramaian kota
dengan siswa yang rata-rata berasal dari kelas menengah dan dibesarkan di kota,
tertentu dalam sikap dan cara menghadapi penerapan model yang membutuhkan
aktifitas praktis siswa. Yang kedua, terkait dengan pelaksanaan pembelajaran
Bahasa Indonesia; selama ini pembelajaran drama pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia di sekolah ini hanya dilakukan dengan membaca saja. Selain itu,
pengajaran dengan model pengajaran pengalaman-langsung melalui metode drill
yang penuh latihan-latihan dapat memberikan masukan bagi guru agar dapat
memiliki strategi pengajaran yang lebih bervariasi. Variasi pengajaran yang dapat
dilakukan guru diharapkan akan lebih menggairahkan belajar siswa. Pertimbangan
ketiga, SD Islamiyah membutuhkan intervensi pelaksanaan program
pengembangan diri siswa. Kepala sekolah memandang pembelajaran drama dapat
dimasukkan sebagai bagian dari program pengembangan dir siswa, sehingga
siswa diberikan lebih banyak pilihan dalam pengembangan diri sesuai minat dan
bakat mereka, karena itu kami diberikan melakukan penelitian pada setiap hari
Jum’at atau pada hari lain yang dibutuhkan.,
b. SD Kalumata 2.
Lokasi penelitian kedua adalah SD Kalumata 2 Kota Ternate, NPSN
10.127.600.252, NSS 60200850; secara fisik sekolah ini berdiri permanen,
dibangun sejak tahun 2007, dengan 6 ruang belajar, kantor kepala sekolah, ruang
guru, perpustakaan, wc dan kamar mandi. Sekolah ini terletak di Selatan Kota
Ternate, di lokasi gusuran bukit pasir, tepat pada sedikit ketinggian, berjarak
cukup jauh dari SD Islamiyah Kota Ternate. SD Kalumata 2 Kota Ternate
berlamat di kelurahan Kalumata Puncak, Kecamatan Ternate Selatan, Kota
SD Kalumata 2 berada di kawasan pemukiman baru yang relatif tenang
dan bersih, yang merupakan hunian dari masyarakat kelas ekonomi menengah ke
bawah, yang belum banyak dipadati penduduk. Situasi lingkungan dan kelas
ekonomi tersebut turut memberikan dampak baik bagi proses pembelajaran
maupun hasil pembelajaran sebagaimana yang terlihat selama penelitian
berlangsung.
Perilaku beberapa siswa yang meminta perhatian lebih, atau terkadang
menunjukkan sikap superioritas-nya paling tidak menunjukkan indikator dari
mana siswa tersebut berasal. Secara psikologis lingkungan masyarakat dan situasi
rumah tangga mempengaruhi sikapnya, sehingga tampak dalam interaksi kelas
selama pembelajaran berlangsung.
Sekolah ini berputar hanya pada pagi hari saja. SD Inpres Kalumata 2
lebih leluasa. SD Kalumata 2 dapat menggunakan seluruh sarana dan fasilitas
belajarnya tanpa terganggu atau segera meninggalkan sarana dan fasilitas
belajarnya karena harus digantikan oleh siswa sekolah berikutnya.
Tenaga Guru dan Tenaga kependidikan 21 orang, terdiri atas :
a. PNS : laki-laki 1 orang, perempuan 14 orang
b. Non PNS/PTT : perempuan 5 orang
c. Penjaga sekolah : laki-laki 1 orang
Daftar Rombongan Belajar dan Jumlah Siswa SD Inpres Kalumata 2.
Kelas
Jumlah
I II III IV V VI
JS RB JS RB JS RB JS RB JS RB JS RB JS RB
50 1 49 1 39 1 46 1 48 1 41 1 284 6
Jumlah Siswa kelas V SD Inpres Kalumata 2 sebagai berikut:
Jenis Kelamin Banyak siswa Keterangan
Laki-laki 23 siswa
Perempuan 25 siswa
Jumlah 48 siswa 99 % aktif
Data: Profile SD Inpres kalumata 2, 2010/2011
Dari jumlah tersebut, sampel yang digunakan sebanyak 20 orang saja,
mewakili seluruh jumlah siswa yang ada, yang diambil secara acak.
SD Inpres Kalumata 2 dijadikan lokasi penelitian, dengan pertimbangan
dua hal yang tak jauh berbeda dari SD Islamiyah 4, yakni pertimbangan sosial dan
pertimbangan edukatif. Pertimbangan sosial dilihat dari lingkungan sekolah ini
agak ke selatan kota, input siswa berasal dari lingkungan masyarakat di sekitar
sekolah, Tingkat kehidupan sosial ekonomi mereka bevariasi antara kelas
menengah dan menengah ke bawah. Seperti dijelaskan Djena Jumati, kepala
sekolah (Wawancara, Sabtu, 23 Juli 2011), beberapa siswa kerap digunakan
tenaganya, membantu orang tua yang bekerja pada lokasi penggusuran tanah di
sekitar sekolah, demi membantu ekonomi keluarga. Tenaga dan waktu mereka
yang terkuras di tempat pekerjaan seperti itu mempengaruhi sikap dan waktu
belajar mereka di rumah.
Pertimbangan edukatif terkait pembelajaran, didasarkan pada kenyataan,
bahwa pembelajaran Bahasa Indonesai pada pengajaran drama belum dapat
dilakukan secara maksimal. Guru kelas hanya sekedar membaca tanpa strategi lain
yang bervariasi. Proses pembelajaran yang monoton ini sudah tentu berdampak
pada gairah dan tingkat apresiasi siswa terhadap bidang sastra yang kurang
siswa. Tegasnya, dibutuhkan inovasi yang memberikan perubahan kondisional.
Inovasi (innovation) merupakan jawaban atas kondisi nyata yang demikian
mapan, kaku, dan tradisional yang mungkin saja sudah tidak relevan dengan suatu
tuntutan perubahan masyarakat pada zamannya. Inovasi hadir sebagai hal baru
demi pemenuhan kebutuhan yang lebih bersifat alternative constructive
(pilihan-pilihan perbaikan).
Dengan menerapkan model pengajaran penmgalaman-langsung pada
penelitian terhadap pembelajaran drama dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia
ini, diharapkan model pengajaran pengalaman-langsung dapat diterima, dipelajari
dan dikembangkan oleh guru, sebagai tindak perubahan guna pelaksanaan
pembelajaran yang variatif. Pembelajaran yang lebih variatif itu dapat diterima
sebagai ekspektasi ke depan agar dalam input dan proses terjadi perubahan
sehingga output pembelajaran bukanlah suatu perulangan produk yang sama dari
tahun ke tahun, akan tetapi lahir suatu out yang semakin dinamis dan
berkemajuan. Seperti diketahui, kebanyakan perubahan bukanlah fenomena
secara kebetulan, tetapi merupakan hasil dari suatu tindakan-tindakan terencana,
dalam hal ini dibutuhkan perubahan-
perubahan pada input dan proses pembelajaran, sehingga mempengaruhi dan
menghasilkan perubahan pada output pembelajaran pula.
Menghadapi realitas proses pelaksanaan pembelajaran drama pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia yang lebih cenderung teoretis, tentu saja perubahan
yang diinginkan akan berhadapan dengan sejumlah tantangan dan terutama
pengalaman-langsung yang diterapkan, mengingat sangat minimnya kemampuan penguasaan
model dan metode yang dibutuhkan. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap dan
strategi yang dikaitkan dengan kebutuhan guru dalam praktik penerapan model
ini. Disadari, bahwa perubahan dapat paling baik diperkenalkan tidak melalui
perencanaan yang terpusat, tetapi setelah mempelajari kebutuhan-kebutuhan
pelaksana pembelajaran, dalam hal ini para guru Bahasa Indonesia yang menjadi
ujung tombak pembelajaran Bahasa Indonesia, pada materi drama.
Tawaran perubahan harus mengetahui kebutuhan-kebutuhan yang
dirasakan oleh para guru dan mengadaptasikan model pengajaran
pengalaman-langsung kepada mereka. Dalam hal ini peneliti tidak harus melepaskan perannya
untuk mengembangkan dan membentuk kebutuhan-kebutuhan tersebut, sehingga
dapat menguntungkan guru pelaksana atau guru kelas dalam jangka panjang.
Pemantauan terhadap proses pelaksanaan pembelajaran oleh guru juga merupakan
salah satu bagian yang diamati dalam penelitian ini guna mengetahui tingkat
kemampuan penerapan dan pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Tentu saja penerapan model pengajaran pengalaman-langsung hendaknya
tidak hanya diterapkan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia saja, akan tetapi
dapat dimanfaatkan pula pada mata pelajaran lainnya, dalam kondisi yang
memungkinkan, karena inti proses mengajar adalah pengaturan lingkungan
dimana siswa dapat berinteraksi dan belajar bagaimana untuk belajar. Model
mengajar adalah deskripsi lingkungan belajar sehingga penerapan model
pengajaran pengalaman-langsung pada mata pelajaran lain, selain Bahasa
pembelajaran, proses pembelajaran, materi pembelajaran, lingkungan ruang,
kondisi dan tingkat perkembangan siswa serta sarana yang tersedia.
Pembelajaran pengalaman langsung diproses dalam empat tahap
pembelajaran yang saling mengiringi tahap demi tahap, yakni tahap pengalaman
konkrit, refleksi, pembentukan konsep abstrak, dan melakukan eksperimen
konkrit. Pada mata pelajaran yang dilakukan di dalam laboratorium, pengamatan
alam di luar kelas, pembelajaran yang menitik beratkan pada praktik fisik yang
melalui suatu prosedur latihan dan pengetahuan deklaratif, dan demonstrasi
menggunakan media atau model, dapat dilaksanakan menggunakan model ini.
Adaptasi penerapan pengajaran pengalaman-langsung pada suatu mata
pelajaran digambarkan di bawah ini.
Gambar 1.1
Penerapan Model Pengajaran Pengalaman-Langsung pada Mata Pelajaran
Manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan model ini antara lain,
meningkatka kesadaran akan harga diri, kemampuan, dan rasa percaya diri,
dan meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, menumbuhkan rasa saling
percaya sesam teman dalam suatu kelompok kerja sama, meningkatkan semangat
kerjasama, menumbuhkan dan meningktakan komitmen dan tanggung jawab,
saling memberi dan menerima antar teman dan mengembangkan ketangkasan,
kemampuan fisik dan koordinasi.
Paling tidak memperkenalkan suatu model untuk memperkaya daya ajar
seorang guru agar tidak memperlakukan proses pembelajaran dengan
model-model yang monoton, akan lebih memungkinkan siswa terbebaskan dari penjara
situasi belajar yang jenuh. Model pembelajaran hendaknya lebih menempatkan
siswa sebagai manusia pada faktor pelaku pembelajaran agar lebih kreatif, aktif
dan sedapat mungkin inovatif. Hal ini perlu disadari mengingat manusia adalah
makhluk Tuhan yang mulia bukan sekedar gelas kosong yang sesukanya dapat
diisi. Tegasnya manusia bukan benda mati sehingga pelaksanaan pembelajaran
67
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi memberikan panduan atau petunjuk-petunjuk atas pelaksanaan
penelitian ini. Metodologi dibutuhkan karena metodologi adalah proses, prinsip,
dan prosedur yang digunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban
(Bogdan dan Taylor 1975:1), Hal ini berarti, metodologi adalah suatu pendekatan
umum yang digunakan dalam membahas topik penelitian. Bogdan dan Taylor
(dalam Mulyana, 2008:145) menjelaskan, metodologi dipengaruhi atau
berdasarkan perspektif teoretis yang digunakan untuk melakukan penelitian.
Penelitian ini ditujukan pada kemampuan memahami dan memeragakan drama.
Kemampuan tersebut akan mencakup tiga aspek kepribadian anak yang berkaitan
dengan aktivitas dan hasil belajar serta perubahan perilaku, yakni aspek kognitif,
aspek afektif dan aspek psikomotor (Bloom dan kawan-kawan, dalam Hanafiah
dan Suhana, 2010:20). Di samping itu, beberapa petunjuk praktis bermain drama
menurut Rendra (2007) menjadi landasan teori sebagai acuan kemampuan praktis
memeragakan drama.
Selanjutnya, uraian tentang metodologi penelitian diuraikan berikut ini.
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini akan mengamati aktivitas apresiasi sastra siswa dalam bentuk
pemahaman dan kemampuan memeragakan drama guna memperoleh sejumlah
data dan informasi tentang keadaan pembelajaran drama khususnya tentang
Penelitian ini menerapkan eksperimen yang dengan sengaja menciptakan
suatu situasi demi kepentingan penelitian. Situasi dimaksud sebagaimana
dikemukakan Milan dan Schumacher (2000: 51) berikut ini.
situasi yang biasa dipakai untuk menerapkan penelitian quasi eksperimen meliputi beberapa kelas atau sekolah yang dapat digunakan untuk menentukan akibat dari materi kurikulum atau metoda pengajaran. Kelas tersebut “utuh”, diorganisir untuk tujuan pengajaran.Kelas tersebut tidak ditandai secara acak dan dengan guru yang berbeda. Bagaimanapun juga, hal ini mungkin untuk memberikan perlakuan eksperimen terhadap beberapa kelas dan memperlakukan kelas lain sebagai kontrol.
Eksperimen adalah observasi di bawah kondisi terkontrol (artificial
condition) dimana kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh peneliti sendiri (Nazir
2009:63). Penelitian ini juga mengamati pengaruh-pengaruh dari variable bebas
terhadap variable lain yang timbul sebagai akibat perlakuan terhadap objek dalam
kondisi yang terkontrol (lihat, Fraenkel et. al.,1999).
Penelitian eksperimen boleh menggunakan beberapa kelas atau sekolah
sebagai kelas ekperimen. Penelitian ini, menggunakan dua kelas (sama-sama
kelas V) pada SD Islamiyah 4 dan SD Kalumata 2, yang digunakan untuk
memperoleh hasil atas perlakuan (treatmen) yang menerapkan model pengajaran
pengalaman-langsung. Hasil yang ingin diperoleh dari penerapan model ini adalah
tingkat kemampuan siswa dalam memahami drama dan memeragakan drama.
Penelitian ini dilakukan dengan teknik tes objektif menggunakan soal-soal
tes pilihan ganda, tes tindakan (perbuatan) yang dapat diamati dan wawancara.
Perlakuan terhadap objek penelitian akan dilakukan terhadap kelompok
eksperimen. Kepada kelompok siswa yang akan diteliti dilakukan perlakuan yang
Bentuk tes dan sasaran hasil yang ingin diperoleh terlihat dalam tabel ini.
Tabel 3.1
Bentuk Tes dan Sasaran Hasil
No. Bentuk Tes Sasaran Hasil Tes
1 Tes Objektif
(penyajian soal-soal)
Kemampuan Memahami Drama secara teoretis
2 Tes Tindakan
(Observasi)
Kemampuan Memeragakan Drama secara praktis
Metode eksperimen dalam penelitian ini adalah metode pre-experimental
design dengan one-group pretest-posttestt design, dengan metode ini hasil
perlakuan lebih akurat karena dapat membandingkan dengan keadaan sebelum
diberi perlakuan (Sugiyono, 2008:74). Metode ini digunakan untuk menguji
hipotesis dengan membandingkan data sebelum dan sesudah treatemen. Adapun
desain eksperimen dengan one-group pretest-posttestt design digambarkan
sebagai berikut:
X
Keterangan:
01 = Kondisi sebelum perlakuan (Pretestt)
02 = Kondisi sesudah perlakuan (Posttest)
X = Perlakuan
(Sugiyono, 2008:75)
B. Alur Penelitian
Alur penelitian ini dimulai dengan studi pendahuluan, perumusan masalah,
pemberian perlakuan hingga penyelesaiannya dengan kesimpuan dan saran-saran.
Gambar 3.1 Alur Penelitian
Studi Pendahuluan (Observasi Awal)
Identifikasi masalah Rumusan masalah
Studi Pustaka: Model Pembelajaran Pengalaman Langsung, Kemampuan Memahami dan Memeragakan Drama
Penyusunan Instrumen:
C. Tempat dan Objek Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada dua sekolah yaitu, SD Islamiyah 4
Kota Ternate dan SD Kalumata 2 Kota Ternate.
Objek penelitian dari kedua sekolah ini adalah siswa kelas V. Kepada kedua
objek penelitian ini akan sama-sama diberlakukan pretest maupun posttest.
Kelompok siswa kelas V pada kedua sekolah dipilih dengan asumsi, bahwa
kedua kelompok pada kelas ini sama-sama memiliki kemampuan setara,
dengan pertimbangan kedua kelompok sama-sama berada pada kelas V atau
disebut sebagai kelas tinggi atau kelas atas di sekolah dasar. Selain itu, kelas
V dipilih sesuai ketentuan kurikulum 2006, pada materi pelajaran Bahasa
Indonesia bagi siswa kelas V semester 2 dalam keterampilan berbicara yang
mengarahkan pengajarannya pada memainkan drama.
D. Definisi Operasional
1. Model Pengajaran Pengalaman-Langsung
Model pengajaran pengalaman-langsung yang dimaksudkan dalam
penelitian ini adalah serangkaian kegiatan pengajaran nyata yang langsung dapat
dialami siswa. Dalam pengalaman langsung ini, siswa terlibat di dalamnya dalam
berbagai tindakan atau perbuatan nyata, ikut berperanserta dalam proses
pengajaran, merasakan akibat tindakan-tindakannya, perilakunya selama proses
pengajaran berlangsung. Di dalamnya dilakukan serangkaian pengalaman
pengajaran drama. Pengalaman dimaksud dialami secara praktis oleh siswa.
Karena siswa terlibat, berperanserta, merasakan, menyaksikan secara nyata, dan
ini menyentuh ranah psikologi dan fisik, yakni kognitif, afektif dan psikomotorik.
Pengalaman dalam pengajaran pengalaman-langsung ini tidak berjalan tanpa arah,
akan tetapi terproses dalam aktivitas-aktivitas latihan yang metodik. Seperti
diketahui, dalam prinsip belajar, bahwa proses belajar adalah kompleks tetapi
terorganisir, dimana dibutuhkan bimbingan orang lain, untuk kepentingan ini
digunakan metode drill dalam pengajaran melalui latihan-latihan drama dimaksud.
Metode drill digunakan agar siswa memiliki sejumlah keterampilan motorik,
mengembangkan kecakapan intelek, memiliki kemampuan relasi kondisional.
Melalui metode drill, siswa melakukan kegiatan-kegiatan latihan drama agar
mereka memiliki sejumlah keterampilan memeragakan drama, sekaligus
diharapkan mereka akan memeroleh kemampuan memahami drama.
Model pengajaran pengalaman-langsung melalui penggunaan metode drill
lebih dititikberatkan pada aspek-aspek kegiatan praktis yang langsung dilakukan
oleh siswa sehingga siswa memeroleh pengalaman tertentu. Pengalaman
dimaksud merupakan sarana mencapai tujuan-tujuan pengajaran, dalam hal ini
mencapai kemampuan memahami drama dan sejumlah kemampuan praktis
memeragakan drama. Pemahaman yang diperoleh melalui suatu pengalaman
latihan akan lebih dalam berkesan dan lebih lama melekat dalam kesadaran siswa.
Pengetahuan dari pengalaman itu dilalui secara nyata, dikuasai, dirasakan dan
tersimpan secara lebih hidup dibandingkan penyajian pengajaran yang disajikan
secara verbal dan abstrak tanpa pengalaman praktis. Pengalaman memeragakan
dirasakan secara psikologis, dan dilakukan dengan fisik sehingga
pengalaman-pengalaman itu menyentuh aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.
2. Pengajaran Drama
a. Drama yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tulisan lakon (sastra)
yang dimainkan dan dapat ditonton orang baik teman-teman siswa di sekolah
maupun di depan publik yang lebih luas, menggunakan naskah berisi dialog,
sebagai jenis sastra yang ditulis untuk kepentingan seni pertunjukan.
b. Pengajaran drama merupakan pengajaran yang dilakukan melalui praktik atau
latihan bermain drama sebagai salah satu seni pertunjukan, menggunakan
naskah yang ditulis untuk kepentingan pertunjukan drama di panggung.
Pengajaran drama ini didasarkan pada pelajaran Bahasa Indonesia.
3. Kemampuan Memahami Drama
Memahami merupakan terjemahan dari istilah understanding yang
diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi yang dipelajari. Memahami
merupakan salah satu indikator manifestasi inteligensi. Pemahaman dapat
difahami sebagai pemahaman fungsional dan pemahaman relasional. Pemahaman
fungsional, yaitu dapat mengaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar dan
menyadari proses yang dilakukan. Dalam konteks interaksi verbal pada situasi
dialog, kemampuan pemahaman fungsional akan membantu siswa dalam
mengucapkan kata dan menuturkan kalimat dengan lafal, intonasi dan ekspresi
yang tepat. Pemahaman relasional, yaitu dapat mengaitkan sesuatu dengan hal
lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukan. Dalam interaksi di
interaksi wicara, dimana dia dapat mengaitkan sejumlah dialog yang telah
dikuasainya dengan situasi yang dihadapi. Di samping itu, pemahaman secara
praktis siswa dari pengajaran drama yang dapat diamati dari perilaku mereka,
ditunjukkan dalam bentuk-bentuk seperti menyimpulkan pesan drama,
mengomentari drama, membandingkan pemeranan tokoh-tokoh dalam drama,
menghubungkan perilaku dan pemeranan tokoh-tokoh dalam drama, menafsirkan
tema drama, banyak bertanya tentang drama, bertepuk tangan, mengacungkan
jempol atau memuji serta berbagai perilaku lainnya yang cukup banyak.
Kemampuan memahami drama dalam penelitian ini adalah pemahaman
teoretis tentang pengertian drama, tokoh, karakter, tema, amanat, alur, dan latar
maupun unsur-unsur praktis melakon drama yang lebih berkaitan dengan salah
satu keterampilan berbahasa yakni, keterampilan berbicara seperti lafal, intonasi,
dan ekspresi serta unsur lainnya.
4. Kemampuan Memeragakan Drama
Memeragakan berarti memperlihatkan atau menunjukkan dengan
mengunakan raga atau tubuh. Memeragakan menggunakan raga tubuh sendiri
untuk menunjukkan sesuatu. Memeragakan drama secara praktis diartikan
menunjukkan gerak atau perbuatan drama dengan menggunakan tubuh sendiri.
Jadi raga atau tubuh digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi secara dramatik.
Melakon merupakan rangkaian aktivitas menggunakan tubuh, suara dan air muka
yang sesuai untuk menunjukkan maksud tertentu yang berkaitan dengan drama.
Kemampuan memeragakan drama dimaksudkan sebagai perwujudan
drama, seperti lafal, intonasi, dan ekspresi, gestur (bahasa tubuh), akting, bloking
serta unsur lainnya. Wujud praktis tersebut merupakan unsur-unsur pendukung
perwujudan lakon drama yang perlu dikuasai pemain, dalam arti mampu
menunjukkan atau memperlihatkan dengan menggunakan ucapan dan suara (lafal
dan intonasi), dan air muka (ekspresi) sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti
penonton.
Kemampuan memeragakan, berarti kemampuan gerak motoris (motorical
abilities) sebagai salah satu kecakapan dasar khusus yang ditunjukkan dengan
unsure-unsur praktisnya. Pada penelitian ini unsur-unsur praktis yang akan diteliti
adalah lafal, intonasi dan ekspresi saja, sesuai kompetensi dasar pada aspek
keterampilan berbicara. Aspek-aspek keterampilan dimaksud yang dapat diamati,
pada kemampuan melafalkan kata atau kalimat dalam dialog. Pada kemampuan
intonasi, antara lain, mengucapkan kalimat sesuai tinggi rendah alunan,
mengucapkan kalimat sesuai tekanan keras-lunak, cepat-lambat yang tepat,
potongan kalimat yang tepat, potongan suku kata diucapkan dengan tepat. Pada
ekspresi dalam dialog, dapat ditunjukkan dengan berbicara dengan air muka
sesuai arti kata, berbicara dengan air muka sesuai maksud pembicaraan,
menunjukkan kesungguhan, tampak sedih ketika berbicara, ekspresi senang,
ekspresi kebanggaan, serta bentuk-bentuk lainnya. Kemampuan memeragakan
hendaknya tampak dalam berbagai perbuatan nyata, baik dalam dialog maupun
berakting, sehingga dapat diamati, sebagai perbuatan-perbuatan yang lahir dari
sesuatu yang diketahui (kognitif), kenyataan yang dirasakan (afektif) dan tindakan
D. Teknik Pengumpulan Data
Kemampuan memahami dan memeragakan drama yang akan diteliti
terpusat pada sejumlah pengetahuan teoretis dan kemampuan praktis dalam
penguasaan drama. Pengetahuan teoretis dimaksud antara lain, yang berkaitan
dengan penguasaan drama seperti pengertian drama, unsur-unsur drama seperti
tokoh, karakter, tema, amanat, alur, latar, isi cerita, juga kemampuan
memeragakan drama berkaitan dengan aspek lafal, intonasi, dan ekspresi yang
dijalani siswa dalam pengajaran drama dengan menerapkan model DEL
(pengajaran pengalaman-langsung). Jadi kemampuan yang menjadi sasaran
penelitian ini tertuju pada aspek pengetahuan dan perbuatan siswa tentang drama.
Dari pertimbangan ini maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan :
4.1. Studi pustaka; data-data teoritis dikumpulkan dengan menelaah berbagai
referensi sebagai landasan berfikir dan argumen dalam melakukan
penelitian. Studi pustakan dilakukan terhadap dua kelompok sumber, yakni
sumber-sumber tentang pembelajaran pada umumnya seperti model dan
metode yang terkait dengan dunia pendidikan, sumber-sumber tentang
pembelajaran yang terkait dengan pengajaran Bahasa Indonesia khususnya
pada aspek keterampilan berbicara dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang
dimainkan dalam drama. Sumber berikutnya adalah sumber tentang sastra
utamanya tentang drama, baik pengetahuan teoritis maupun petunjuk praktis
yang dapat diaplikasikan.
4.2. Tes objektif; data-data langsung diperoleh melalui tes, baik tes awal maupun
kemampuan tingkat memahami isi drama. Tes ini dilakukan dengan
mengajukan sejumlah soal pilihan ganda yang menyangkut para tokoh
penting, watak tokoh, tema, alur cerita, latar cerita, amanat atau pesan-pesan
cerita, kejadian-kejadian penting hingga akhir cerita. Tes juga mengajukan
teknik-teknik praktis memeragakan seperti teknik muncul dan bergerak,
dengan yang beralasan, baik alasan kewajaran maupun alasan kejiwaan
(lihat, Rendra,2008:23), menggunakan keras lembutnya suara, tekanan suara
dan suara khas pemeran. Lagu kalimat dalam dialog dan raut wajah
pemeran pun perlu dijawab secara teoretis sebagai bagian dari pemahaman
drama yang perlu dikuasai. Dalam hal ini tes objektif hanya menghasilkan
sejumlah jawaban teoretis yang dipahami siswa akan drama yang dikuasai.
4.3. Tes perbuatan; dengan pengambilan data melalui observasi (pengamatan)
terhadap subjek penelitian. Tes perbuatan yang diobservasi tertuju pada
perbuatan siswa dalam melakonkan atau memeragakan drama.Kenyataan
yang diamati ini merupakan suatu situasi sosial, peristiwa dimana terjadi
suatu interaksi dialog dramatik. Dari sisi ini, data tes akan lebih cenderung
pada data penelitian kualitatif. Locke, Spirduso dan Silverman (dalam
Creswell, 2002:155), mengemukakan, tujuan penelitian kualitatif adalah
untuk memahami situasi sosial, peristiwa, peran, kelompok atau interaksi
tertentu. Dalam hal ini peneliti berusaha memahami fenomena interaksi
sosial dalam dialog-dialog dramatik antar siswa yang menjelaskan tingkat
kemampuan memeragakan drama secara praktis, yang hanya dapat
penelitian adalah pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk
perolehan data yang terkontrol validitias dan realibilitasnya. Observasi
menurut Riduwan (2010:30), yaitu melakukan pengamatan secara langsung
ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan.
Apabila objek penelitian bersifat perilaku dan tindakan manusia, fenomena
alam (kejadian-kejadian yang terdapat di alam sekitar), proses kerja, dan
penggunaan responden kecil. Observasi digunakan dalam pengumpulan data
interaktif (Millan dan Schumacher, 1990). Interaksi yang dapat terlihat
dalam pengajaran ini adalah interkasi antar siswa dalam dialog-dialog
drama. Teknik mengumpulkan data dengan observasi digunakan bila
penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala
alam dan bila respoden yang diamati tidak terlalu besar (Sugiyono,
2010:2003). Umar (2004:31) menjelaskan, teknik ini menuntut adanya
pengamatan dari si peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap objek penelitiannya. Instrumen yang dipakai dapat berupa lembar
pengamatan, panduan pengamatan dan lainnya.
Pada proses penelitian, pengamatan juga dilakukan pada saat pertunjukan
singkat berlangsung. Pertunjukan singkat ini hanya dimainkan dari bagian
yang sengaja dipilih, sebagai kebutuhan tes perbuatan yang dapat diamati.
Dalam tes perbuatan, siswa memeragakan dialog tertentu dari drama yang
dipelajarinya, kemudian dilakukan penilaian kemampuan sebagai data,
dilakukan melalui observasi, dengan pengamatan-pengamatan langsung
Observasi menjadi penting karena tes ini tidak dapat dinilai secara tertulis,
tetapi dengan menggunakan lembar panduan observasi peneliti memberikan
nilai kemampuan memeragakan drama.
Tes perbuatan yang diamati akan menghasilkan data kualitatif dan
penafsiran data kuatitatif secara kualitatif. Creswell (2010) menjelaskan,
pengambilan sampel secara sengaja, pengumpulan data terbuka, analisis teks
atau gambar, penyajian informasi dalam bentuk gambar dan tabel, serta
interpretasi pribadi atas temuan-temuan, semuanya mencerminkan
prosedur-prosedur kualitatif. Pada tes perbuatan ini sampelnya adalah siswa kelas V,
data terbuka dalam hal ini terkait dengan pandangan beberapa pihak yang
berinteraksi dalam proses penerapan model pengajaran
pengalaman-langsung untuk penelitian pembelajaran pengalaman pengalaman-langsung ini.
Tes awal (pretest) dilakukan guna menilai sampai dimana siswa-siswa telah
menguasai kemampuan-kemampuan yang tercantum dalam fokus penelitian
ini, yaitu kemampuan memahami dan kemampuan memeragakan drama
sebelum penerapan model pengajaran pengalaman-langsung.
Hasil tes awal sebagaimana dijelaskan Roestiyah (2008:117) berfaedah
sebagai bahan perbandingan dengan hasil tes akhir (posttest) setelah mereka
selesai mengikuti program pengajaran tertentu. Bagi setiap murid perlu
diberi tanda jawaban-jawaban yang benar dan salah juga angka-angka.
Di samping tes awal dilakukan pula tes akhir (posttest) yang diberikan
pengajaran pengalaman-langsung, yang berfungsi untuk menilai perubahan
kemampuan siswa atas penguasaan materi setelah program pengajaran.
Tes akhir identik dengan tes yang diberikan pada tes awal, namun materi tes
tidak boleh berulang. Identik dalam hal ini adalah kesetaraan tingkat
kesulitan antara tes awal dan tes akhir dan lingkup materi tes yang sama,
bukan soal tes yang sama persis.
Tes tersebut menggunakan tes prestasi (achievement test) yang digunakan
untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mempelajari sesuatu
(Riduwan, 2010:31). Dalam penelitian ini tes terhadap kemampuan
memahami dilakukan melalui objektif tes dengan sejumlah soal pilihan
ganda (PG), sedangkan tes kemampuan memeragakan dilakukan melalui tes
perbuatan yang dapat diamati.
Gambar 3.2
Pelaksanaan Tes Awal dan Tes akhir terhadap Penerapan DEL.
4.4. Wawancara. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data studi
pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan apabila
peneliti menginginkan hal-hal yang lebih mendalam dan jumlah
respondennya sedikit ( lihat, Sugiyono,2010:194). Wawancara adalah suatu
cara pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi
langsung dari sumbernya (Riduwan,2010:29). Wawancara sebagai suatu
bentuk informasi adalah bentuk komunikasi yang melibatkan pihak yang
Tes akhir Penerapan Model DEL
ingin memperoleh informasi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
berdasarkan tujuan tertentu (lihat, Mulyana, 2008:180). Wawancara juga
merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang lain. Pelaksanaannya
dapat dilakukan secara langsung berhadapan dengan yang diwawancarai,
tetapi dapat juga secara tidak langsung seperti memberikan daftar pertanyaan
untuk dijawab pada kesempatan lain (Umar, 2004:51). Dengan demikian,
wawancara dapat di fahami sebagai teknik pengumpulan data dengan
menggunakan sejumlah pertanyaan tertentu sesuai tujuan, untuk memeroleh
data langsung dari responden.
Secara garis besar wawancara terdiri atas wawancara terstruktur dan
wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur seperti dijelaskan
Mulyana (2008:180), sering disebut wawancara baku (standardized
interview) sedangkan wawancara tak terstruktur sering juga disebut
wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif dan
wawancara terbuka (openended intervieuw). Riduwan (2010:29-30),
membagi wawancara atas wawancara terpimpin, wawancara bebas dan
wawancara bebas terpimpin. Dalam melakukan wawancara, pengumpul data
telah menyiapkan instrument penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis
yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan (Sugiyono, 2010:194-195).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan wawancara
(lihat Mulyana, 2008:181-186), antara lain, 1) wawancara dilakukan dalam situasi
informal, 2) responden wawancara dipilih berdasarkan tujuan penelitian
responden dapat lebih terbuka, 4) cara bertanya berbeda, menghadapi responden
yang berbeda jabatan, status sosial dan kalangan responden, meskipun isi
pertanyaan tetap sama, 5) pemikiran subjek (responden) disesuaikan dengan
tujuan penelitian, 6) gunakan alat rekam dengan izin responden, menyalin hasil
wawancara ke dalam bentuk tulisan, dan memilah-milahnya berdasarkan kategori
yang relevan dengan model, hipotesis, atau kerangka teori yang digunakan, 7)
gunakan pertanyaan netral saat memancing jawaban responden.
Data-data secara komprehensif, diperoleh dari kedua sasaran penelitian
atas perlakuan yang sama. Dengan perlakuan yang sama pada kedua objek secara
bergantian, maka tingkat keefektifan model pengajaran ini dapat dipastikan.
F.Teknik Analisis Data
1. Uji Validitas
Untuk menguji validitas konstruk, yang pertama digunakan pendapat dari
dua orang ahli (judgment experts), yang ahli di bidang yang diteliti. Para ahli
diminta pendapatnya tentang instrument yang telah disusun. Berikutnya
diteruskan dengan uji coba instrument. Pada penelitian ini, uji validitas dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut.
X = Item soal yang dicari validitasnya
Y = Skor total yang diperoleh sampel
2) Proses pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan didasarkan pada kriteria berikut.
• Jika r hitung positif, dan r hitung ≥ 0,3, maka butir soal valid
• Jika r hitung negatif, dan r hitung < 0,3, maka butir soal tidak valid
Menurut Masrun (dalam Sugiyono, 2007 : 188-189), item yang dipilih
(valid) adalah yang memiliki tingkat korelasi ≥ 0,3. Jadi, semakin tinggi validitas
suatu alat ukur, maka alat ukur tersebut semakin mengenai sasarannya atau
semakin menunjukkan apa yang seharusnya diukur.
Tabel 3.2