iii
F. Lokasi dan subjek Penelitian ……….. 7
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG KEMAMPUAN KOGNITIF DAN POLA PENGASUHAN ORANGTUA TERHADAP PENALARAN MORAL ANAK TUNAGRAHITA A. Teori Penalaran Moral Kohlberg ………...………... 8
1. Tingkat I: Pra-Konvensional ……….. 9
2. Tingkat II: Konvensional ………... 10
3. Tingkat III: Pasca-Konvensional ………... 12
B. Kemampuan Kognitif ………...……… 15
1. Pengertian Kognitif ……… 17
2. Perkembangan Struktur Kognitif ………... 16
3. Tahap Perkembangan Kognitif ………. 19
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif ……….. 27
C. Pola Pengasuhan Orangtua ...………..…………. 29
1. Pola Asuh Otoritatif ………... 29
2. Pola Asuh Otoriter ………. 30
3. Pola Asuh Permisif ……… 31
iv
D. Peranan Kemampuan Kognisi dan Pola Pengasuhan
Orangtua terhadap Penalaran Moral Anak Tunagrahita …. 32
E. Kerangka Berpikir ……… 34
BAB III METODELOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian ………... 38
B. Definisi Operasional Variabel ……….. 39
C. Instrumen Penelitian ………. 41
1. Moral Judgement Interview ………... 41
2. Tes Konservasi Isi ………..………... 42
3. Angket Pola Pengasuhan Orangtua ……….. 43
D. Proses Pengembangan Instrumen ……… 43
E. Teknik Pengumpulan Data ……….. 47
F. Teknik Analisis Data ……… 48
G. Prosedur Penelitian ………... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ………... 52
1. Hubungan Kualitatif Kemampuan Kognisi Terhadap Penalaran Moral Anak Tunagrahita ………..…… 53
2. Hubungan Kualitatif Pola Pengasuhan Orangtua Terhadap Penalaran Moral Anak Tunagrahita ………... 55
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada saat anak-anak dilahirkan, mereka belum memiliki moral. Artinya ia
belum memiliki pengetahuan dan pengertian akan apa yang diharapkan oleh
kelompok sosial di mana ia hidup. Sehingga apabila kita melihat prilakunya yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai moral, hal tersebut disebabkan karena ketidak
tahuannya daripada kesengajaan melanggar aturan-aturan kelompok. Tetapi dalam
diri mereka terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan (Gunarsa,
2008).
Pengembangan potensi moral seseorang diperoleh melalui interaksi antara
anak dengan orangtua, saudara, teman sebaya, dan lingkungan sekitarnya. Pada
saat anak berinteraksi, secara tidak langsung anak belajar berprilaku. Belajar
berprilaku merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting di masa
kanak-kanak. Seorang anak tidak akan langsung mengerti prilaku tertentu tanpa ia
belajar sebelumnya lewat pengalaman yang dialaminya secara langsung ataupun
tidak langsung. Melalui pengalaman yang diperoleh dari lingkungan, ia akan
mengetahui benar-salah, atau baik- buruk dari suatu perbuatan. Pemahaman
seseorang terhadap konsep benar-salah atau baik-buruk sangat beragam. Hal
tersebut dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya yaitu kemampuan kognisi dari
masing-masing individu, kualitas interaksi yang mereka peroleh, budaya, dan lain
2
Pengembangan potensi moral sangat penting bagi kelangsungan hidup pada
masa yang akan datang. Penelitian yang dilakukan Aryaputri (2008) menyebutkan
bahwa Penalaran moral yang rendah dapat mengakibatkan juvenile delinquency
pada remaja seperti perkelahian antar pelajar, penggunaan obat-obatan terlarang,
seks bebas dan sebagainya. Pada saat remaja atau orang dewasa yang tahap
penalaran moralnya rendah tidak melakukan hal-hal buruk, hal tersebut
disebabkan bukan karena prinsip yang dimilikinya, melainkan karena takut pada
atasan yang mengawasinya Setiono (2008).
Anak tunagrahita sebagai individu yang memiliki hambatan dalam
perkembangan kecerdasan dan prilaku adaptif sering menunjukkan prilaku tidak
lazim. Seperti adanya tunagrahita remaja bahkan dewasa masih berprilaku
layaknya anak-anak. Mereka tidak mempunyai rasa malu saat ia menangis
meraung-raung karena keinginannya tidak dipenuhi, atau tidak dapat menahan
hasrat sexualnya sehingga ia melakukan onani atau masturbasi di tempat umum.
Lalu apakah mereka disebut sebagai anak-anak yang tidak bermoral? Tentu tidak
demikian, karena keganjilan tingkah laku anak tunagrahita tersebut berkaitan erat
dengan kesulitan mereka memahami dan mengartikan norma (Alimin,2008).
Pengajaran tentang norma atau aturan diperoleh anak melalui proses belajar
baik secara formal maupun informal. Pengajaran secara formal diperoleh anak
dari sekolah, sedangkan pengajaran secara informal diperoleh anak dari
lingkungan. Kehadiran lembaga pendidikan diharapkan membantu mengatasi
permasalahan yang dialami oleh mereka yang tergolong tunagrahita. Salah satu
3
Alimin (2008) adalah “ditujukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki
anak secara optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan di mana mereka berada”. Namun, sampai saat ini peran
lembaga pendidikan belum optimal dalam mengembangkan potensi mereka
terutama dalam aspek moral.
Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab mengapa pendidikan
moral di Negara kita kurang berhasil, diantaranya menyangkut masalah metode
pembelajaran yang digunakan, dan faktor keteladanan yang ditunjukkan oleh
orangtua dan guru sebagai figur yang dekat dengan anak dalam kesehariannya.
Penjelasan dari ketiga hal tersebut diuraikan sebagai berikut:
Pertama, metode pembelajaran pendidikan moral di sekolah yang
terintegrasi dalam Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
masih sebatas transfer ilmu, belum kearah pembelajaran yang mendidik. Sebagai
Contoh: untuk mengajarkan materi “Kejujuran, Disiplin, dan Senang Bekerja”
pada siswa kelas V SDLB-C semester 1, seorang guru SLB hanya menyuruh
siswanya untuk mencatat dan atau membaca isi materi tersebut berikut latihan
soalnya tanpa mengajak siswa tersebut untuk memahami lebih jauh arti dari
kejujuran, disiplin, dan senang bekerja melalui pendekatan yang sesuai dengan
karakteristik siswa.
Kedua, sikap yang ditunjukkan oleh guru di sekolah dalam berinteraksi
dengan anak-anak terutama anak tunagrahita belum memberikan contoh teladan
yang baik. Contoh sederhana yang sering kita temui di lapangan adalah adanya
4
negatif pada salah satu muridnya, atau sering datang terlambat. Tanpa disadari
perilaku guru-guru tersebut diperkirakan turut mempengaruhi pembentukkan
perilaku siswa, terlebih lagi siswa tunagrahita yang secara kognitif mengalami
hambatan sehingga apa yang dilakukan oleh orang lain akan lebih cepat ditiru
tanpa proses penyaringan.
Ketiga, sikap orang tua dalam berinteraksi dan mendidik anak-anaknya di
rumah. Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama yang dimasuki anak
dalam kehidupannya. Seorang anak kecil sulit diharapkan untuk dengan
sendirinya bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku, mengerti
apa yang dituntut lingkungan terhadap dirinya, dan sebagainya. Aspek moral
seorang anak merupakan sesuatu yang berkembang dan diperkembangkan.
Artinya, bagaimana anak itu kelak akan bertingkah laku sesuai atau tidak sesuai
dengan nilai-nilai moral yang berlaku, semua itu banyak dipengaruhi oleh
lingkungan kehidupan anak yang ikut memperkembangkan secara langsung
ataupun tidak langsung aspek moral ini. Oleh karena itu faktor lingkungan besar
sekali pengaruhnya terhadap perkembangan moral anak, namun karena
lingkungan pertama yang dikenal anak dalam kehidupannya adalah orang tua,
maka peranan orang tualah yang dirasa paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan moral anak, disamping pengaruh lingkungan lainnya seperti
sekolah dan masyarakat.
Dengan kondisi anak tunagrahita seperti yang sudah dijelaskan,
mengajarkan moral pada anak-anak tunagrahita tentunya bukan persoalan yang
5
kondisi mereka terutama dalam hal kemampuan kognisinya, sehingga guru dan
orangtua akan lebih mudah dalam menentukan metode atau cara yang digunakan
dalam mengajarkan moral pada mereka. Selain itu, guru dan orangtua pun
diharapkan mengenal tahap penalaran moral anak tunagrahita. Dengan
mengetahui tahap penalaran moral seseorang, maka baik guru maupun orangtua
akan lebih mudah dalam menentukan metode dan materi yang akan disampaikan.
Celakanya, apabila guru dan orangtua tidak paham tentang kondisi anak-anak
mereka yang mengalami hambatan tersebut, sehingga pengajaran pendidikan
moral bagi anak-anak tunagrahita tidak berpijak pada kebutuhan dan hambatan
yang dialami mereka.
Berangkat dari permasalahan yang dikemukakan di atas penulis mencoba
untuk melakukan penelitian tentang penalaran moral anak tunagrahita yang
ditinjau dari kemampuan kognisi dan pola pengasuhan orang tua.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penalaran
moral anak tunagrahita? Secara spesifik rumusan masalah tersebut dijabarkan
dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penalaran moral anak tunagrahita ditinjau dari kemampuan
kognisi?
2. Bagaimanakah penalaran moral anak tunagrahita ditinjau dari pola
6
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan rumusan masalah yang telah
disusun, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui penalaran moral anak tunagrahita berdasarkan kemampuan
kognisi.
2. Mengetahui penalaran moral anak tunagrahita berdasarkan pola pengasuhan
orang tua.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan maka penelitian ini
diharapkan dapat memberi manfaat diantaranya yaitu:
1. Mempermudah guru dalam menentukan program pengajaran pendidikan moral
dan pendekatan pembelajaran yang dipilih dalam mengajarkan moral pada
anak-anak tunagrahita.
2. Membantu orangtua dalam memilih pola pengasuhan yang tepat dalam
berinteraksi dengan anaknya.
3. Membantu orangtua menentukan cara yang tepat dalam mendidik anak agar
menjadi individu yang bermoral.
4. Bagi pengembangan ilmu, penelitian ini berguna untuk memperluas cakrawala
ilmu pendidikan luar biasa, psikologi perkembangan, psikologi kognitif, dan
7
E. METODE PENELITIAN
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penalaran moral anak
tunagrahita yang ditinjau dari kemampuan kognisi dan pola pengasuhan orangtua.
Oleh karena itu, maka metode yang sesuai adalah metode deskriptif dengan
pendekatan yang bersifat kuantitatif.
Untuk mendapatkan gambaran data yang sesuai dengan tujuan penelitian
maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan
data yang dianggap relevan dengan permasalahan peneliti, yaitu melalui:
a. Pengukuran penalaran moral dengan menggunakan tes penalaran moral dari
Kohlberg melalui wawancara penalaran moral.
b. Pengukuran kemampuan kognisi dengan menggunakan tes perkembangan
kognitif.
c. Penilaian pola pengasuhan orangtua diperoleh melalui penyebaran angket.
F. LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN
Lokasi penelitian ini berada di tiga Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian C yang
berada di Bandung. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah penalaran moral.
Usia terendah yang diperkirakan cocok untuk memahami masalah penalaran
moral adalah usia remaja. Sehingga dalam penelitian ini yang menjadi subjeknya
adalah siswa tunagrahita yang berusia diantara 11 – 14 tahun yang diambil secara
37 BAB III
METODELOGI PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti membutuhkan sistematika
yang jelas tentang langkah-langkah yang akan diambil sehubungan dengan tujuan
penelitian yang ingin dicapainya. Sukmadinata (2005: 52) dalam Sartika (2009)
menyebutkan bahwa “metode penelitian merupakan rangkaian cara atau kegiatan
pelaksanaan penelitian yang berdasarkan pada asumsi-asumsi dasar,
pandangan-pandangan filosofis dan ideologis, serta pertanyaan dan isu-isu yang dihadapai”.
Dalam metode penelitian akan tergambar prosedur atau langkah-langkah yang
harus ditempuh, waktu penelitian, sumber data, dan kondisi data yang
dikumpulkan, serta dengan cara bagaimana data tersebut diperoleh dan diolah.
Data dalam penelitian ini terdiri dari data kuantitatif dan data kualitatif. Data
penalaran moral dan data kemampuan kognitif berbentuk data kuantitatif,
sedangkan data pola pengasuhan berbentuk data kualitatif. Berdasarkan jenis data
yang diperoleh, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kuantitatif. Sedangkan cara penyajian data yang diperoleh dari
lapangan disajikan apa adanya tanpa adanya manipulasi. Sehingga berdasarkan
cara penyajian data yang disampaikan, maka metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi deskriptif . Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Sukmadinata (2005: 54) dalam Sartika (2009) bahwa:
38 pengubahan pada variabel-variabel bebas, tetapi menggambarkan suatu kondisi apa adanya.
Arikunto (1993: 208) menyebutkan bahwa pada umumnya penelitian
deskriptif merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah
penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis. Oleh karena itu, dalam penelitian
ini tidak terdapat rumusan hipotesis.
A. LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN
Lokasi penelitian ini berada di tiga Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berada
di Bandung. Pemilihan ketiga SLB tersebut berdasarkan alasan praktis, dimana
populasi anak tunagrahita yang merupakan subjek dalam penelitian ini dan sesuai
dengan kebutuhan peneliti relatif mudah diperoleh di ketiga SLB tersebut.
Subjek dalam penelitian ini adalah anak tunagrahita ringan yang berusia
antara 11 – 14 tahun. Alasan pemilihan usia ini didasarkan pada asumsi bahwa
perkembangan penalaran pada anak mulai berkembang pada usia remaja, yaitu
sekitar usia 11 tahun. Walaupun perkembangan mental anak tunagrahita usia 11
tahun berbeda dengan perkembangan mental pada anak umumnya, tetapi dari
batasan usia ini kita dapat melihat keberfungsian faktor kognitif terhadap
perkembangan moral.
Penelitian ini melibatkan 10 orang anak tunagrahita yang terdiri dari
sembilan orang anak tunagrahita laki-laki dan satu orang anak tunagrahita
perempuan. Kesepuluh anak tersebut bersekolah pada kelas yang berbeda, mulai
dari kelas 5 SDLB sampai kelas 2 SMPLB. Tingkatan kelas dan jenis kelamin
39
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang akan menjadi
objek pengamatan penelitian (Suryabrata,1992:72) berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal
tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.
Penelitian ini mengambil judul: “Penalaran Moral Anak Tunagrahita
Ditinjau dari Kemampuan Kognisi dan Pola Pengasuhan Orang Tua”.
Berdasarkan judul tersebut variabel dalam penelitian ini terdiri dari satu variabel
terikat (dependen) dan dua variabel bebas (independen). Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah Penalaran moral anak tunagrahita, sedangkan variabel
bebasnya adalah kemampuan kognisi dan pola pengasuhan orang tua.
Untuk dapat mengukur variabel-variabel penelitian di atas maka diperlukan
pendefinisian secara operasional dari variabel-variabel tersebut. Effendi (1995)
menyebutkan bahwa definisi operasional adalah unsur penelitian yang
memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Sehingga penting
sekali bagi seorang peneliti untuk merumuskan hal tersebut.
Berikut ini penjelasan dari definisi opeasional variabel yang terdapat dalam
penelitian:
1. Penalaran moral anak tunagrahita adalah pemahaman anak tunagrahita tentang
konsep yang menunjukkan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk.
Penalaran moral ditunjukkan oleh data kuantitatif dalam bentuk tingkatan atau
tahapan moral. Data tersebut diperoleh dari hasil wawancara tentang cerita
40 2. Kemampuan kognisi adalah kemampuan individu dalam memahami sesuatu
konsep yang diperoleh melalui suatu proses sensoris dan persepsi.
Kemampuan kognisi ditunjukkan oleh deskripsi jawaban tentang pemahaman
individu tentang konsep konservasi isi atau substansi yang kemudian
dicocokkan dengan tahapan kognisi yang sesuai yang diperoleh dari hasil tes
perkembangan kognitif yang merujuk kepada teori perkembangan kognitif
dari Piaget. Tahap kemampuan kognisi merupakan data dalam bentuk skala
ordinal, sehingga data kemampuan kognisi berbentuk data kuantitatif. Yang
dimaksud konsep konservasi isi atau substansi dalam penelitian ini adalah
kemampuan individu dalam melihat kekekalan isi atau substansi dari sebuah
objek.
3. Pola pengasuhan orang tua adalah bagaimana cara orang tua melakukan
hubungan atau interaksi dengan anaknya dalam kehidupan sehari-hari. Data
pola pengasuhan orang tua ini diperoleh dari hasil penyebaran angket terhadap
orangtua dari anak tunagrahita.
C. INSTRUMEN PENELITIAN
Menurut Suryabrata (1992) menyebutkan bahwa dalam sebuah penelitian,
instrumen atau alat pengumpul data menentukan kualitas data yang akan
dikumpulkan dan hal tersebut menentukan juga kualitas dari penelitiannya.
Keputusan mengenai pemilihan instrumen yang akan digunakan ditentukan oleh
variabel yang akan diamati atau diambil datanya. Dengan kata lain instrumen
41 Berdasarkan variabel dan tujuan dari penelitian ini, maka instrumen yang
dipakai dalam penelitian ini terdiri dari Moral Judgement Interview (MJI) atau
wawancara Penalaran Moral, instrumen tes konservasi isi, dan angket atau
kuesioner pola pengasuhan orangtua.
1. Moral Judgement Interview
Moral Judgement Interview atau wawancara Penalaran Moral merupakan
alat ukur yang disusun oleh Lawrence Kohlberg. MJI merupakan wawancara
langsung antara pewawancara dan responden tentang resolusi tiga dilema moral
(Colby, A., Kohlberg, L., dkk.: 1990). Dalam penelitian ini wawancara penalaran
moral dilakukan dengan memakai cerita dilema yang terdapat dalam Form A yang
sudah direvisi sesuai dengan kemampuan anak tunagrahita.
MJI yang sudah terstandar terdiri dari tiga bentuk paralel yaitu Form A,
Form B, dan Form C. Masing-masing bentuk terdiri dari tiga cerita dilema dan
masing-masing cerita dilemma terdiri dari 9 – 12 pertanyaan yang dirancang
untuk mengungkap pembenaran, pengembangan, dan klarifikasi penalaran moral
subjek. Bagi masing-masing dilema pertanyaan yang disampaikan terfokus pada
dua isu moral. Sebagai contoh, dalam cerita Heinz (Dilema III) menyajikan
konflik antara isu kehidupan dan hukum. Pendapat yang memilih untuk mencuri
obat termasuk pendapat yang mendukung isu kehidupan dan pendapat untuk tidak
42 Dari tes ini dapat dijaring bagaimana cara penyelesaian seseorang terhadap
masalah sosial menyangkut moral yang dihadapinya sehingga dapat ditentukan
tahapan atau stages moral orang tersebut pada saat ini.
2. Tes Konservasi Isi
Untuk mengetahui kemampuan kognisi anak tunagrahita, maka peneliti
melakukan tes konservasi isi atau substansi. Kemampuan dalam memahami
konservasi isi ini dilihat berdasarkan pemahaman subjek terhadap perubahan
bentuk objek yaitu perubahan dari bentuk bola menjadi bentuk tabung atau bentuk
seperti sosis berdasarkan isinya.
Untuk menentukan tahap kognisi subjek, maka komentar subjek dalam
menjawab pertanyaan tentang perubahan bentuk dari plastisin bola menjadi
plastisin bentuk tabung atau bentuk seperti sosis disesuaikan dengan karakteristik
tahap kemampuan kognisi Piaget (Labinowicz:1980) (lihat lampiran 3.4).
3. Angket Pola Pengasuhan Orangtua
Angket atau kuesioner ini merupakan alat pengumpul data untuk
mengungkap pola pengasuhan orangtua yang dilakukan dalam berhubungan atau
berinteraksi dengan anaknya. Angket pola pengasuhan orangtua ini dikembangkan
berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Baumrind (Berk, 2003). (lihat lampiran
3.5).
Angket ini berisi 36 pernyataan dengan tiga pilihan keberlakuan dari setiap
43 pemilihan keberlakuan. Untuk pernyataan positif nilai 1 diberikan jika responden
memilih “tidak pernah”, nilai 2 jika responden memilih “kadang-kadang”, dan
nilai 3 jika responden memilih “selalu”. Sedangkan untuk pernyataan negatif nilai
1 diberikan jika responden memilih “selalu”, nilai 2 jika responden memilih
“kadang-kadang”, dan nilai 3 jika responden memilih “tidak pernah”.
Penskoran dalam instrumen ini dilakukan dengan cara menjumlahkan semua
nilai. Dan skor akhir yang diperoleh kemudian dicocokkan dengan kriteria skor
pada angket pola pengasuhan orangtua.
D. PROSES PENGEMBANGAN INSTRUMEN
Dalam penelitian ini terdiri dari tiga instrumen. Pertama, instrumen
wawancara untuk mengukur tahapan penalaran moral. Kedua, instrumen tes
konservasi untuk mengukur tahapan kognisi. Dan ketiga, instrumen angket untuk
mengetahui jenis pola pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua.
Pertama, instrumen wawancara tentang penalaran moral. Instrumen ini
diadaptasi dari instrumen wawancara penalaran moral yang disusun oleh
Kohlberg. Instrumen tersebut berisikan tiga cerita dilemma yang harus diberikan
pada anak. Berikut langkah-langkah pengembangan instrumen penalaran moral:
1. Dilakukan uji coba instrumen MJI terhadap seorang anak tunagrahita. Dari
hasil uji coba diperoleh data bahwa anak tunagrahita kurang memahami
beberapa istilah dan pertanyaan-pertanyaan tertentu dalam instrumen tersebut.
Beberapa istilah yang kurang dipahami anak adalah istilah penyakit kanker,
pertanyaan-44 pertanyaan yang kurang dipahami diantaranya adalah ” Pentingkah bagi
seseorang untuk melakukan apapun yang mereka dapat lakukan untuk
menyelamatkan hidup orang lain?”, “Bagi Hendra mencuri obat perbuatan
melawan hukum. Apakah itu membuatnya salah secara moral?”, “Secara
umum, haruskah orang mencoba untuk melakukan apapun yang mereka dapat
lakukan untuk menaati hukum?”,dan pertanyaan lainnya.
2. Melakukan penyesuaian terhadap kalimat-kalimat yang terdapat dalam cerita
atau pertanyaan wawancara versi Kohlberg tanpa merubah inti dari ceritanya.
3. Seorang guru yang mengajar di sekolah luar biasa untuk anak-anak
tunagrahita melakukan penilaian terhadap cerita dan pertanyaan wawancara
versi revisi. Cara yang digunakan yaitu dengan membandingkan cerita asli
dengan cerita yang telah mengalami revisi atau penyesuaian. Guru tersebut
diminta menilai apakah cerita dan pertanyaan wawancara yang telah
mengalami penyesuaian memiliki isi dan tujuan yang sama dengan versi
aslinya.
Kedua, instrumen tes konservasi isi. Instrumen ini merupakan salah satu
instrumen yang dibuat oleh Piaget untuk mengetahui tahap kemampuan kognitif
seseorang. Instrumen ini sifatnya universal, sehingga tidak diperlukan uji coba
sebelum digunakan.
Ketiga, instrumen angket Pola Pengasuhan Orangtua. Instrumen ini
dikembangkan berdasarkan jenis-jenis pola pengasuhan orangtua yang
dikemukakan oleh Bamrind. Adapun langkah-langkah pengembangannya sebagai
45 1. Membuat kisi-kisi angket Pola Pengasuhan Orangtua berdasarkan milestone
pola pengasuhan orangtua.
2. Membuat item-item pernyataan berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat.
3. Instrumen yang telah dibuat lalu dinilai oleh tiga orang psikolog yang dalam
kesehariannya sering berhadapan dengan anak berkebutuhan khusus.
4. Melakukan perbaikan instrumen berdasarkan masukan-masukan yang
disampaikan oleh penilai.
5. Instrumen yang telah diperbaiki kemudian dinilai kembali oleh dosen
psikologi yang pernah belajar mengenai pendidikan kebutuhan khusus.
6. Melakukan perbaikan instrumen berdasarkan masukan-masukan yang
disampaikan oleh penilai.
Berikut ini kisi-kisi instrumen pola pengasuhan orangtua yang
46
47
E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Untuk memperoleh jawaban mengenai pertanyaan penelitian yang telah
dirumuskan pada BAB I, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara:
1. Wawancara.
Wawancara merupakan suatu teknik pengumpul data dengan jalan
mengadakan komunikasi dengan sumber data. Komunikasi tersebut dilakukan
dengan tanya jawab secara lisan baik langsung maupun tidak langsung
(Djumhur: 1975). Wawancara dalam penelitian ini dilakukan terhadap anak
tunagrahita tentang dilemma moral melalui cerita dilemma moral berdasarkan
cerita yang dirancang oleh Kohlberg dengan sedikit penyesuaian mengenai
nama tokoh dan beberapa istilah yang diperkirakan kurang dipahami oleh anak
tunagrahita. Penyesuaian tersebut diperoleh melalui tahapan penilaian yang
dilakukan peneliti terhadap guru anak tunagrahita.
2. Tes.
Tes sebagai alat pengumpul data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tes
buatan dan tes terstandar. Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes
konservasi isi atau substansi yang merupakan tes standar yang digunakan
dalam eksperimen Piaget dalam mengukur kemampuan kognitif.
3. Angket.
Angket atau kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis
48 bertujuan untuk memperoleh informasi tentang cara orangtua dalam
berhubungan atau berinteraksi dengan anaknya sehingga dapat diketahui pola
pengasuhannya.
F. TEKNIK ANALISIS DATA
Dalam penelitian kuantitatif, analisis data merupakan kegiatan setelah data
dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Dalam penelitian ini
teknik analisis data dilakukan dengan cara deskriptif analitik, yaitu dengan cara
mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana
adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau
generalisasi. Alasan pemilihan teknik deskriptif dalam proses analisis data pada
penelitian ini berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, karena data hasil
penelitian ini pada variabel kemampuan kognisi dan pola pengasuhan orangtua
mayoritas memusat pada satu titik sehingga apabila dilakukan perhitungan
statistik hasilnya kurang bermakna. Kedua, jumlah subjek dalam penelitian ini
terdiri dari 10 orang anak tunagrahita yang diambil secara acak dan tidak
mewakili sampel atau populasi tertentu.
Kegiatan yang dilakukan dalam menganalisis data dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara mengelompokkan dan mentabulasi data berdasarkan
variabelnya, menyajikan data setiap variabel dalam bentuk tabel, dan melakukan
49
G. PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh
penelitian dalam menemukan data penelitiannya. Proses pengambilan data ke
lapangan dilakukan sendiri oleh peneliti. Data pertama yang diambil adalah data
penalaran moral melalui tes wawancara penalaran moral, kedua adalah data pola
pengasuhan orangtua pada anak tunagrahita yang diperoleh melalui penyebaran
angket, dan data ketiga adalah data kemampuan kognisi yang diperoleh dari tes
konservasi isi pada anak tunagrahita.
Pertama, pengambilan data penalaran moral. Data penalaran moral diperoleh
melalui tes wawancara penalaran moral yang dilakukan dengan cara wawancara
langsung. Dokumentasi hasil wawancara dilakukan dengan cara merekam proses
wawancara secara keseluruhan dengan menggunakan media elektronik.
Langkah-langkah yang dilakukan pada saat tes wawancara penalaran moral adalah sebagai
berikut:
1. Peneliti membacakan cerita dilema moral III versi revisi. Apabila anak tidak
dapat menjawab pertanyaan, maka cerita tersebut dapat diulang beberapa kali
sesuai dengan kebutuhan.
2. Peneliti mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan cerita dilema III
yang sudah dibacakan secara berurutan. Apabila anak tidak dapat memahami
pertanyaan, maka pertanyaan tersebut dapat diulang dengan kalimat yang
sama atau dengan kalimat lain yang mengandung arti yang sama. Sebagai
contoh: pertanyaan “jika Hendra tidak mencintai istrinya, haruskah dia
50 sayang sama istrinya, haruskah dia mencuri obat untuk istrinya?”. Apabila
jawaban anak tidak konsisten, maka peneliti mengulang pertanyaan atau
mengulang membacakan cerita dilema sampai peneliti merasa yakin dengan
jawaban yang disampaikan oleh anak.
3. Peneliti membacakan cerita dilema III’ dan cerita dilema I secara berurutan
sesuai dengan prosedur yang dilakukan pada cerita dilema III.
4. Setelah proses wawancara dilakukan, peneliti melakukan pencatatan hasil
wawancara untuk setiap cerita dilema pada setiap anak.
5. Menentukan isu dilema yang dipilih oleh anak. Untuk menentukan isu dilema
kita dapat melihat dari jawaban yang dikemukakan oleh anak pada pertanyaan
nomer 1 untuk cerita dilema III dan cerita dilema I, dan pertanyaan nomer 3
untuk cerita dilema III’. Sebagai contoh pada dilemma III, apabila jawaban
anak pada pertanyaan nomer 1 adalah “tidak boleh mencuri”, artinya isu
dilema yang dipilih anak adalah law (hukum), sedangkan apabila jawaban
anak pada pertanyaan nomer 1 adalah “boleh mencuri”, artinya isu dilema
yang dipilih anak adalah life (kehidupan).
6. Menentukan tahap penalaran moral. Untuk menentukan tahap penalaran
moral, maka jawaban dari pertanyaan nomer 1a untuk cerita dilema III dan
cerita dilema I, dan pertanyaan nomer 3a untuk cerita dilema III’ dicocokkan
sesuai dengan kriteria penalaran moral berdasarkan isu dilema yang dipilih.
Kedua, pengambilan data pola pengasuhan orangtua. Data pola pengasuhan
orangtua dilakukan dengan cara menyebarkan angket pada orangtua anak
51 jenis pernyataan. Skor pada semua item kemudian dijumlahkan untuk selanjutnya
dilakukan pencocokkan skor pada kriteria yang sesuai dengan kategori.
Ketiga, pengambilan data kemampuan kognisi. Data kemampuan kognisi
diperoleh berdasarkan tes konservasi isi. Langkah-langkah yang dilakukan untuk
memperoleh data ini adalah:
1. Peneliti memperlihatkan dua buah bola plastisin yang memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang sama.
2. Peneliti merubah bentuk salah satu bola plastisin tersebut menjadi lebih panjang atau berbentuk seperti sosis.
3. Peneliti meminta anak untuk mengamati kedua plastisin tersebut. Lalu bertanya kepada anak “Bagaimana ukuran kedua plastisin ini sekarang?” jika reaksi yang ditunjukkan anak adalah diam, maka peneliti bertanya kembali “Apakah kedua plastisin ini ukurannya masih sama atau berbeda?” Semua anak menjawab berbeda. Peneliti bertanya kembali “Apa yang berbeda?” Kebanyakan anak menunjuk lingkaran. Peneliti bertanya lagi “kenapa lingkarannya?”. Anak menjawab “lebih besar”.
4. Untuk mengecek keajegan jawaban anak, maka plastisin bentuk sosis dirubah kembali bentuknya menjadi bentuk bola. Selanjutnya peneliti mengulang kembali tes ini mulai dari langkah pertama.
5. Peneliti mencatat semua jawaban yang disampaikan oleh anak.
63
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian terakhir dari rangkaian penulisan tesis. Uraian
yang akan dikemukakan pada bab ini meliputi dua bagian, yaitu simpulan dan
saran.
A. SIMPULAN
Simpulan dalam penelitian ini merupakan hasil pencapaian dari tujuan
penelitian. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data penelitian diperoleh
beberapa simpulan yang berkenaan dengan hasil penelitian tentang hubungan
kemampuan kognisi dengan penalaran moral anak tunagrahita dan hubungan pola
pengasuhan orangtua terhadap penalaran moral anak tunagrahita. Simpulan ini
tidak berlaku umum, tetapi hanya berlaku bagi anak tunagrahita yang menjadi
subjek dalam penelitian ini saja. Hal tersebut disebabkan karena jumlah subjek
dalam penelitian ini belum mewakili populasi anak tunagrahita yang ada di
Bandung. Oleh karena simpulan yang dihasilkan masih merupakan sebuah
hipotesis yang muncul dari studi lapangan yang dilakukan oleh peneliti. Berikut
ini simpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil analisis temuan data di
lapangan.
Pertama, terdapat hubungan antara kemampuan kognisi dan penalaran
moral pada anak tunagrahita usia 11 – 14 tahun. Tahap kognisi anak tunagrahita
64 praoperasional dan tahap penalaran moralnya berada pada tingkat pra
konvensional. Artinya, tahap kognisi anak tunagrahita paralel dengan tahap
penalaran moralnya. Dalam penelitian ini pun tidak ditemukan adanya anak
tunagrahita yang tahap penalaran moralnya lebih tinggi dari kemampuan
kognisinya. Walaupun anak-anak tunagrahita tersebut berada pada tingkat
penalaran moral yang sama, namun tahap penalaran moralnya bervariasi. Hal
tersebut diperkirakan karena pengalaman belajar belajar mereka berbeda.
Kedua, terdapat hubungan antara pola pengasuhan orangtua dengan
penalaran moral anak tunagrahita usia 11 – 14 tahun. Pola pengasuhan otoritatif
sebagai pola asuh terbaik disimpulkan telah membantu perkembangan penalaran
moral yang optimal pada anak tunagrahita yang menjadi subjek dalam penelitian
ini. Sehingga 88% dari jumlah subjek yang berada dalam pola pengasuhan
otoritatif dalam penelitian ini tahap penalaran moralnya berada di atas tahap 1.
2. SARAN
Terdapat dua buah simpulan yang dihasilkan dari penelitian ini. Pertama,
terdapat hubungan antara kemampuan kognisi dan penalaran moral pada anak
tunagrahita usia 11 – 14 tahun. Kedua, terdapat hubungan antara pola pengasuhan
orangtua dengan penalaran moral anak tunagrahita usia 11 – 14 tahun.
Berdasarkan simpulan tersebut, maka ada beberapa saran yang ingin peneliti
sampaikan:
Pertama, sebelum guru membuat rancangan program pembelajaran moral,
65 tunagrahita. Sehingga hal tersebut akan mempermudah guru dalam menentukan
pemilihan materi dan metode yang sesuai dengan kebutuhan dan hambatan yang
ada pada anak tunagrahita.
Kedua, untuk mengoptimalkan penalaran moral anak tunagrahita pihak
orangtua disarankan untuk mengembangkan pola pengasuhan otoritatif. Jenis pola
pengasuhan yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan
mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan pengawasan
yang baik dari orangtua. Selain itu, dalam mendidik moral pada anak tunagrahita
seharusnya dimulai dengan mengenal tahap penalaran moral anak, kemudian
memberikan stimulus penalaran moral yang setahap lebih tinggi dalam dialog
dengan anak. Orangtua perlu memberikan umpan balik kepada anak mengenai
perasaan-perasaan dan pikira-pikiran orang lain yang terjadi sebagai akibat
tindakan anak, yang berarti memberi kesempatan alih peran kepada anak. Dalam
pendidikan moral orangtua seharusnya tidak memberikan keharusan atau larangan
yang harus dipatuhi, atau mendiktekan apa yang baik atau buruk kepada anak,
tetapi memberikan dasar-dasar pertimbangan mengapa suatu hal dianggap baik
baik atau buruk. Anak dilatih untuk dapat menimbang-nimbang dan akhirnya
dapat mengambil keputusan sendiri mengenai apa yang dianggap baik atau buruk.
Ketiga, bagi peneliti lainnya yang tertarik untuk melakukan penelitian ini
disarankan untuk melakukan penelitian ini dengan subjek yang lebih banyak dari
penelitian sekarang ini, sehingga diharapkan dapat menemukan temuan data lain
yang berguna bagi pengembangan ilmu pendidikan luar biasa khususnya dan ilmu
66 tunagrahita peneliti hanya menggunakan tes konservasi isi. Bagi peneliti lain yang
berminat untuk melakukan penelitian serupa disarankan untuk menggunakan tes
kognisi secara utuh agar kemampuan kognisi subjek dapat terukur secara
67 DAFTAR PUSTAKA
(Tn). (2009) Interaksi Sosial.[online]. Tersedia:
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009 [21-12-2010]
(Tn). (2011). Teori Kognitif Piaget. [online]. Tersedia:
http://kongkoh.blogspot.com/2011/01/teori-kognitif-piaget.html[28 januari
2011]
Alimin, Z. (2008). Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan pada Anak-anak Tunagrahita. Tersedia: http/Zaenal Alimin [online]
Alimin, Z. (2008). Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget. Tersedia: http/Zaenal Alimin [online]
Amin, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Depdikbud.
Arikunto, S. (1993). PROSEDUR PENELITIAN. Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi II. Jakarta: Rineka Cipta.
Berk, L.E. (2003). Child Development. Sixth Edition. Boston: Pearson Education, Inc.
Colby, A., Kohlberg, L., dkk. (1990). THE MEASUREMENT of MORAL JUDGMENT. Vol. II. Theoritical Foundations and Research Validation. New York: Cambridge University Press.
Colby, A., Kohlberg, L., dkk. (1990). THE MEASUREMENT of MORAL JUDGMENT. Vol. II. Standard Issue Scoring Manual. New York: Cambridge University Press.
68
Dwi K.S. (2007). Pentingnya Pendidikan Moral Bagi Anak Sekolah Dasar. Dalam
Dinamika Pendidikan [online], Vol. 15 (1), 13 halaman. Tersedia: http:// [21 Juli 2010]
Labinowicz, E. (1980). THE PIAGET PRIMER. Thinking. Learning. Teaching. California: Addison Wesley Publishing Company.
Maryati & Suryawati. (2003). _______ .[online]. Tersedia:
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009 [21 Desember 2010]
Sartika, R. (2009). Pengaruh Pendidikan Kewarganegaraan Terhadap Pengembangan Kecakapan Partisipatoris Pemilih Pemula (Studi Deskriptif Pada Siswa SMA Negeri di Kota Bandung). Tesis.Bandung:UPI.
Setiono, K.. (2008). PERKEMBANGAN PENALARAN MORAL. Tinjauan dari Sudut Pandang Teori Sosio-Kognitif. Jakarta: Gramedia.
Singarimbun, Masri, & Effendi, S. (1995). METODE PENELITIAN SURVAI. Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES.
Sjahrul, P.J. (1995). Telaah Peran Model Pengasuhan Orangtua dan Teman Sebaya terhadap Optimalisasi Perkembangan Penalaran Moral Remaja. Tesis pada FPS Unpad Bandung: tidak diterbitkan.
Suparno, P. (2001). Teori Perkembangan Kognitif Piaget. Yogyakarta: Kanisius.
Suryabrata, S. (1992). METODOLOGI PENELITIAN. Edisi 1, Cetakan 7. Jakarta: CV Rajawali.