• Tidak ada hasil yang ditemukan

Assessment of prescribing pattern based on WHO indicators at X Primary Health Care in Sleman Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Assessment of prescribing pattern based on WHO indicators at X Primary Health Care in Sleman Regency"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Assessment of prescribing pattern based on WHO indicators at “X” Primary Health Care in Sleman Regency

Gambaran pola peresepan di Puskesmas “X” Kabupaten Sleman berdasarkan indikator WHO

Kristy Tri Wardhani1, Dian Medisa2*, Saepudin1,3, Ifada4

1Prodi Farmasi, FMIPA, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

2Program Studi Profesi Apoteker, Jurusan Farmasi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

3Drug Utilization Research Centre, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

4Puskesmas Gamping 2, Sleman, Yogyakarta

*Corresponding author: [email protected]

Abstract

Background: Puskesmas is a primary level of health service facility that must implement rational drug use. A rational prescribing pattern will improve the quality of health services.

Objective: The aim of this study was to know the prescribing pattern at the "X" Primary Health Care in Sleman Regency based on WHO indicators.

Method: A retrospective observational study was conducted to assess the prescribing pattern. The sample was selected using simple random sampling and analyzed descriptively. The data was collected from prescriptions in Mei 2019.

Result: The results of this study showed the average number of drugs per prescription was 2.66, drugs prescribed by generic name was 100%. The percentage of encounter in which injection and antibiotic was prescribed was 0% and 15.83% respectively. Most of drugs (91.85%) were included in National Formulary.

Conclusion: It can be concluded that the prescribing pattern at Puskesmas X is rational according to the target of the Ministry of Health and WHO, but it is necessary to carry out a continuous MTP (monitoring training planning) process involving related parties.

Keywords: prescribing pattern, primary health care, Sleman, WHO indicators Intisari

Latar belakang: Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan tingkat I yang harus menerapkan penggunaan obat rasional. Pola peresepan yang rasional akan menghasilkan kualitas dalam pelayanan kesehatan masyarakat.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola peresepan di Puskesmas “X” Kabupaten Sleman berdasarkan indikator peresepan WHO.

Metode: Penelitian merupakan penelitian observasional secara retrospektif menggunakan resep bulan Mei 2019. Sampel resep diambil dengan metode random sampling dan data dianalisis secara deskriptif.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah obat per lembar resep adalah 2,66, tingkat peresepan obat dengan nama generik 100%, tingkat penggunaan antibiotik sebesar 15,83% dari total kasus, tingkat peresepan injeksi 0%, dan kesesuaian peresepan dengan Formularium Nasional 2017 sebesar 91,85%.

Kesimpulan: Pola peresepan di Puskesmas X sudah rasional sesuai target Kementerian Kesehatan dan WHO, namun perlu dilakukan proses MTP (monitoring training planning) berkesinambungan melibatkan pihak terkait.

Kata kunci: pola peresepan, puskesmas, Sleman, indikator WHO

(2)

1. Pendahuluan

Obat adalah komoditas yang tidak tergantikan karena manfaatnya dalam pengobatan. Setiap pemberian obat kepada pasien harus berdasarkan pada indikasi dan diagnosis, serta manfaat yang diperoleh. Data penggunaan obat di Indonesia yang dikumpulkan oleh World Health Organization (WHO), menunjukkan tingkat ketidakrasionalan peresepan dan penggunaan obat di Indonesia sejak tahun 1999 hingga tahun 2010, diukur dari indikator rata-rata jumlah obat per lembar resep, penggunaan antibiotik dan injeksi, peresepan dengan nama generik, serta kesesuaian dengan formularium (WHO, 2011).

Peran apoteker di puskesmas tidak semata-mata melakukan pelayanan kefarmasian dan menjamin ketersediaan obat dalam hal jumlah sesuai waktu yang dibutuhkan, namun juga dalam pelaksanaan pemantauan penggunaan obat. Pemantauan ini bermanfaat bagi pelaku pengobatan untuk melihat mutu pelayanan pengobatan dan mutu keprofesian, sehingga dapat dideteksi adanya ketidakrasionalan dalam peresepan yang dapat berupa penggunaan obat yang berlebih (over prescribing), kurang (under prescribing), boros (extravagant prescribing), ataupun penggunaan obat yang tidak tepat (incorrect proscribing). Pemantauan secara berkala dapat digunakan untuk menyusun perencanaan obat dan memperkirakan kebutuhan secara lebih rasional, dengan melibatkan pihak terkait termasuk pemegang program dan penulis resep, serta menjadi dasar pembinaan bagi kinerja tenaga kesehatan. Penerapan penggunaan obat yang rasional di puskesmas menjadi salah satu indikator keberhasilan kinerja peningkatan pelayanan kefarmasian nasional sesuai target renstra 2015-2019 (Kemenkes, 2019).

Berdasarkan laporan kinerja Direktorat Pelayanan Kefarmasian tahun 2018, indikator persentase kabupaten/kota yang menerapkan penggunaan obat rasional (POR) dihitung dari jumlah kabupaten/kota yang minimal 20% puskesmas di wilayahnya dengan capaian POR minimal 60%.

Penerapan penggunaan obat rasional diukur dari indikator penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia dan pada kasus diare non spesifik, penggunaan injeksi pada kasus myalgia, serta rata- rata jenis obat per lembar resep. Pada tahun 2018, hanya terdapat 17 dari 34 provinsi di Indonesia yang mencapai indikator tersebut. Daerah Istimewa Yogyakarta dilaporkan belum dapat mencapai indikator tersebut (Kemenkes, 2019).

Konferensi Penggunaan Obat Rasional di Nairobi yang diprakarsai oleh WHO tahun 1985 dilatarbelakangi oleh peresepan yang mayoritas tidak rasional di berbagai negara, sehingga pada tahun 1993, WHO menerbitkan petunjuk manual mengenai metode pengukuran penggunaan obat dan peresepan di fasilitas kesehatan. Petunjuk manual ini dapat digunakan di berbagai negara

(3)

ataupun fasilitas kesehatan tanpa memerlukan penyesuaian. Menurut WHO, kerasionalan penggunaan obat dapat dinilai dengan indikator peresepan, pelayanan, dan fasilitas. Terdapat lima indikator peresepan yang dapat digunakan secara umum di semua fasilitas kesehatan, yaitu jumlah rata-rata obat dalam satu lembar resep; persentase obat yang diresepkan dengan nama generik;

persentase resep antibiotik; persentase resep injeksi; dan persentase kesesuaian resep dengan formularium (WHO, 1993).

Puskesmas “X” merupakan salah satu fasilitas kesehatan primer di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam upaya mewujudkan penggunaan obat rasional di puskesmas tersebut, maka perlu dilakukan penelitian secara retrospektif terkait gambaran pola peresepan secara umum.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran pola peresepan berdasarkan indikator WHO di Puskesmas X Kabupaten Sleman.

2. Metode

2.1. Rancangan penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas X, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan rancangan cross-sectional.

2.2. Pengumpulan data

Data yang digunakan adalah 120 resep yang diambil secara retrospektif dari arsip unit farmasi pada bulan Mei 2019. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode simple random sampling. Resep merupakan resep poli umum baik BPJS maupun non-BPJS (WHO, 1993). Data yang diambil meliputi identitas pasien dan nama obat dalam resep.

2.3. Analisis data

Hasil rekapitulasi dianalisis menggunakan indikator peresepan sesuai WHO, yaitu rata-rata jumlah obat per lembar resep, persentase peresepan obat generik, persentase penggunaan antibiotik dan injeksi, serta kesesuaian dengan formularium. Dalam hal ini, formularium yang digunakan adalah Formularium Nasional Tahun 2017.

3. Hasil dan pembahasan

Penelitian retrospektif ini dilakukan di Puskesmas X yang merupakan Fasilitas Kesehatan Tingkat I, untuk menilai lima indikator peresepan sesuai WHO. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2019 dengan menggunakan data peresepan bulan Mei 2019 yang terdiri dari 24 hari kerja.

Jumlah total resep pada setiap hari pelayanan dibagi dengan 5, sehingga diperoleh interval nomor resep yang digunakan sebagai sampel. Total jumlah resep yang digunakan sebagai sampel dalam

(4)

penelitian ini adalah sebanyak 120 lembar terdiri dari 319 obat, dengan 52 jenis obat yang digunakan. Jenis obat yang paling sering diresepkan tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Sepuluh jenis obat yang paling sering diresepkan

Nama Obat Frekuensi Persentase (%)

Parasetamol 500 mg tablet 48 15,05

Amlodipin 5 mg tablet 34 10,66

Vitamin B12 (sianokobalamin) tablet 22 6,90

Klorfeniramin maleat 4 mg tablet 20 6,27

Ibuprofen 400 mg tablet 18 5,64

Obat batuk hitam (OBH) 16 5,02

Kalsium laktat 500 mg tablet 15 4,70

Tablet tambah darah (TTD) tablet 14 4,39

Amoksisilin 500 mg kaplet 12 3,76

Amlodipin 10 mg tablet 11 3,45

3.1. Jumlah obat per lembar resep

Rata-rata jumlah obat per lembar resep sebanyak 2,66 (Tabel 2), sesuai dengan standar WHO (≤ 3), namun sedikit melebihi target capaian POR Kementerian Kesehatan (≤ 2,6) (Kemenkes, 2011;

WHO, 1993). Penggunaan obat rasional berdasarkan indikator peresepan di Puskesmas Kota Depok dan Jakarta Selatan tahun 2011 menunjukkan rata-rata jumlah obat per lembar resep 3,96 (Kardela et al., 2014). Penilaian indikator peresepan yang dilakukan pada tahun 2014 di Puskesmas wilayah Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan DIY menunjukkan rata-rata jumlah obat per lembar resep 3,31 (Yuniar et al., 2017). Sedangkan penilaian di seluruh Puskesmas Kota Kendari pada tahun 2016 menunjukkan rata-rata jumlah obat per lembar resep 3,23 (Ihsan et al., 2017). Evaluasi penggunaan obat di puskesmas Kecamatan Cilincing, Koja, dan Penjaringan Jakarta Utara periode Januari–

Desember 2016 menunjukkan rata-rata jumlah obat tiap pasien 3,17 (Wijayanti et al., 2017). Tingkat penggunaan obat yang tinggi bisa disebabkan karena proporsi pasien dengan penyakit penyerta lebih banyak, dan membutuhkan obat yang lebih banyak (WHO, 1993).

Tabel 2. Pola peresepan obat di Puskesmas X berdasarkan indikator peresepan menurut WHO Parameter Indikator Puskesmas X Standar WHO

Jumlah lembar resep 120

Jumlah obat keseluruhan 319

Rata-rata jumlah obat per lembar resep 2,66 ≤ 3

Persentase obat yang diresepkan dengan nama

generik 100% 100%

Persentase resep yang mengandung antibiotik 15,83% 15-25%

Persentase resep yang mengandung injeksi 0% -

Persentase kesesuaian peresepan dengan

Formularium Nasional 91,85% 100%

(5)

Penggunaan obat yang terlalu banyak tidak menguntungkan dalam segi rasionalitas, biaya, dan keamanan bagi pasien. Resiko terjadinya interaksi obat dapat diminimalkan saat pengkajian resep dan pemberian informasi yang disampaikan oleh apoteker saat penyerahan obat. Namun demikian, pasien beresiko lupa atau tingkat kepatuhannya menjadi rendah, karena terlalu banyak obat yang harus digunakan.

3.2. Persentase peresepan obat dengan nama generik

Obat generik adalah obat dengan nama resmi International Nonproprietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang ada di dalam suatu sediaan obat (Kemenkes, 2011). Pada penelitian kali ini, semua obat yang diresepkan di Puskesmas X periode bulan Mei 2019 adalah generik, sehingga capaian rasionalitas pada indikator ini mencapai 100%. Puskesmas merupakan UPT (Unit Pelaksana Teknis) dari Dinas Kesehatan yang merupakan fasilitas kesehatan milik pemerintah. Dengan demikian, puskesmas wajib menggunakan obat generik (Kemenkes, 2011). Tingkat capaian indikator ini sudah sesuai dengan capaian yang ditargetkan oleh WHO dan Kementerian Kesehatan.

Penilaian indikator peresepan di Puskesmas Kota Depok dan Jakarta Selatan tahun 2011 menunjukkan tingkat peresepan obat dengan nama generik sekitar 97,83% (Kardela et al., 2014).

Penelitian lain yang dilakukan tahun 2014 di Puskesmas wilayah Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan DIY menunjukkan tingkat peresepan obat generik 93,3% (Yuniar et al., 2017). Penggunaan obat rasional berdasarkan indikator peresepan tahun 2016 di seluruh Puskesmas Kota Kendari menunjukkan tingkat peresepan obat generik 96,08% (Ihsan et al., 2017). Penelitian yang dilakukan di puskesmas Kecamatan Cilincing, Koja, dan Penjaringan Jakarta Utara tahun 2016 menunjukkan persentase peresepan obat generik 97,97% (Wijayanti et al., 2017). Salah satu indikator tercapainya sasaran penggunaan obat rasional dan suksesnya program jaminan kesehatan nasional di Indonesia adalah peresepan obat dengan nama generik. Untuk menjamin kualitas produk obat generik yang digunakan oleh masyarakat luas, pemerintah tidak hanya memantau dan mengatur perizinan sarana dan produk, distribusi, dan harga, namun juga kualitas, baik pre-market maupun post-market melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

3.3. Persentase penggunaan antibiotik

Pembatasan penggunaan antibiotik menjadi konsentrasi di seluruh dunia terkait dengan bakteri yang bermutasi menjadi resisten terhadap antibiotik yang sering digunakan saat ini. Selain itu, selama beberapa dekade terakhir, penelitian untuk penemuan antibiotik baru tidak semarak

(6)

ketika masa awal penemuan antibiotik. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, memiliki peran besar dalam menjaga penggunaan antibiotik agar tetap poten melawan bakteri.

Daftar obat yang termasuk antibiotik dalam penilaian indikator peresepan menurut WHO adalah golongan penisilin dan antibakteri lainnya, antibiotik topikal, antibiotik yang digunakan pada mata seperti oksitetrasiklin atau kloramfenikol tetes atau salep mata, dan antibiotik yang digunakan pada kasus diare seperti streptomisin, neomisin, nifuroksazid atau kombinasinya. Yang tidak termasuk sebagai kategori antibiotik adalah antiprotozoa, antihelmintik, dan antituberkulosis. Daftar antimikroba yang bukan termasuk antibiotik untuk pengukuran indikator peresepan menurut WHO adalah antifilarial, antischistosomal, antileptospira, antituberkulosis, antifungi, antiamuba dan antigiardiasia, antileishmaniasis, antimalaria, dan antitripanosomal. Obat metronidazole lebih sering untuk antimikroba/antiprotozoa, maka untuk pengukuran indikator peresepan, tidak dikategorikan sebagai antibiotik (WHO, 1993). Jenis antibiotik yang digunakan dalam resep pada penelitian kali ini tertera pada tabel 3. Hasil penelitian kali ini, tingkat penggunaan antibiotik sebesar 15,83% dari total kasus. Hasil ini memenuhi kriteria WHO untuk peresepan antibiotik secara umum di negara-negara yang lazim ditemui penyakit infeksi, yaitu 15-25% (WHO, 2002).

Tabel 3. Jenis antibiotik yang diresepkan di Puskesmas X Nama Obat Frekuensi Persentase (%)

Amoksisilin 500 mg kaplet 12 60,0

Basitrasin salep kulit 3 15,0

Siprofloksasin 500 mg tablet 3 15,0

Amoksisilin DS 250 mg/5mL 1 5,0

Kloramfenikol tetes mata 1 5,0

Total 20 100,0

Penggunaan obat-obatan di berbagai negara selama periode tahun 1990 hingga 2009 untuk enam indikator peresepan WHO secara keseluruhan, tidak berubah secara substansial selama 20 tahun terakhir. Penggunaan antibiotik terus meningkat dari waktu ke waktu dari 42% sebelum 1992 menjadi 51% pada tahun 2007-2009 (Holloway et al., 2013). Evaluasi penggunaan obat rasional tahun 2011 di Puskesmas Kota Depok dan Jakarta Selatan menunjukkan tingkat peresepan antibiotik sekitar 47% (Kardela et al., 2014). Indikator peresepan antibiotik di Puskesmas wilayah Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan DIY tahun 2014 sebesar 42,8% (Yuniar et al., 2017). Evaluasi penggunaan antibiotik di seluruh Puskesmas Kota Kendari tahun 2016 sebanyak 36,85% (Ihsan et al., 2017).

Penilaian penggunaan obat di puskesmas Kecamatan Cilincing, Koja, dan Penjaringan Jakarta Utara periode Januari–Desember 2016 menunjukkan persentase peresepan antibiotik 4,76% (Wijayanti et al., 2017).

(7)

3.4. Persentase peresepan injeksi

Tingkat peresepan injeksi di Puskesmas X sebesar 0%, sesuai dengan target indikator yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dan Kementerian Kesehatan. Pengadaan obat di puskesmas diatur oleh Dinas Kesehatan, sehingga ketersediaan obat berkaitan dengan tingkat penggunaannya. Dalam hal ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman tidak mengadakan obat injeksi yang digunakan untuk pasien rawat jalan di puskesmas, sehingga obat-obat ini tidak tersedia di puskesmas. Persediaan obat injeksi di puskesmas hanya digunakan sebagai obat emergensi/lifesaving.

Tingkat penggunaan injeksi tahun 2014 di Puskesmas wilayah Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan DIY lebih besar dibandingkan Puskesmas X yakni sebesar 0,7% (Yuniar et al., 2017).

Persentase peresepan injeksi di Nepal, Pakistan, dan Kenya juga menunjukkan nilai yang lebih besar yaitu 3%, 27,1%, dan 24,9% (Atif et al., 2016; Dahal et al., 2012; Nyabuti et al., 2020). Penilaian penggunaan obat di Puskesmas Kecamatan Cilincing dan Kuta menunjukkan tidak adanya peresepan injeksi (0%) sama dengan di Puskesmas X (Dewi et al., 2018; Wijayanti et al., 2017).

3.5. Persentase peresepan sesuai formularium

Pada tahun 2010, pemerintah memberlakukan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010 Tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Dengan adanya peraturan ini, maka puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib meresepkan obat generik. Hasil dari penerapan aturan ini dapat dilihat dari peningkatan persentase peresepan dengan nama generik di puskesmas yang mendekati 100% (Kemenkes, 2010). Penerapan Jaminan Kesehatan Nasional 2014 di Indonesia diikuti dengan penyusunan Formularium Nasional yang menjadi acuan dalam penyediaan obat untuk pelayanan kesehatan. Formularium Nasional diambil berdasarkan Daftar Obat Esensial (DOEN) sebagai referensi utama, dan beberapa kali mengalami penyesuaian, hingga saat ini yang berlaku adalah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/659/2017 Tentang Formularium Nasional. Dengan adanya peraturan ini, maka puskesmas wajib menyediakan obat-obat untuk fasilitas kesehatan tingkat I. Dari tahun ke tahun, kesesuaian peresepan dengan formularium terus mengalami peningkatan (Kemenkes, 2017).

Pada penelitian ini, terdapat 6 jenis obat yang tidak tercantum dalam Formularium Nasional 2017 untuk fasilitas kesehatan tingkat I (Tabel 4). Sediaan cetirizine yang direkomendasikan untuk tersedia di fasilitas pelayanan tingkat I sesuai Formularium Nasional 2017 adalah dalam bentuk sediaan sirup cairan obat minum. Obat batuk hitam, gliseril guaiakolat 100 mg tablet, dan ambroxol

(8)

15mg/5mL sirup yang merupakan ekspektoran dan mukolitik tidak tercantum dalam Formularium Nasional. Golongan obat ekspektoran yang tercantum dalam Formularium Nasional adalah N-asetil sistein 200 mg kapsul.

Tabel 4. Obat yang tidak tercantum dalam Formularium Nasional untuk fasilitas kesehatan tingkat I Nama Obat Frekuensi Persentase (%)

Obat Batuk Hitam (OBH) 16 61,5

Basitrasin salep kulit 3 11,6

Gemfibrozil 300 mg kapsul 3 11,6

Ambroxol 15mg/5mL sirup 2 7,7

Glyceril Guaiacolat 100 mg tablet 1 3,8

Cetirizine 10 mg tablet 1 3,8

Total 26 100,0

Hasil penelitian kali ini menunjukkan persentase kesesuaian peresepan dengan Formularium Nasional sebesar 91,85%. Berdasarkan profil kesehatan Puskesmas X tahun 2018, common cold dan batuk termasuk dalam 10 besar penyakit untuk semua golongan umur. Obat yang selama ini sering digunakan oleh masyarakat adalah obat batuk hitam, gliseril guaiakolat, dan ambroxol. Namun ketiga obat tersebut tidak tercantum dalam Formularium Nasional. Tingginya kasus dan diagnosis yang membutuhkan penggunaan ketiga jenis obat tersebut menyebabkan rendahnya persentase kesesuaian peresepan dengan formularium.

Evaluasi indikator peresepan di Puskesmas Kota Depok dan fasilitas kesehatan di Afrika menunjukkan kesesuaian peresepan dengan DOEN sebesar 88,47% dan 88% (Kardela et al., 2014;

Ofori-Asenso et al., 2016). Evaluasi penggunaan obat di fasilitas kesehatan primer kota Alexandria, Arab, dan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan lebih dari sembilan puluh persen (95,4%, 100%, dan 92%) item obat telah diresepkan sesuai dengan formularium (Akl et al., 2014; Endarti et al., 2019;

Jahan et al., 2019).

Penelitian pola peresepan yang dilakukan di Puskesmas X kali ini secara umum menunjukkan capaian rasionalitas peresepan yang baik, berdasar indikator yang ditetapkan oleh WHO. Namun demikian, perlu dilakukan monitoring evaluasi secara berkala dan periodik untuk terus memantau rasionalitas peresepan dengan melibatkan pihak terkait, misalnya pembuat kebijakan, pelaksana penulis resep, pemberi layanan obat, dan pihak manajerial lainnya. Salah satu strategi untuk melakukan monitoring evaluasi adalah dengan MTP (monitoring training planning) secara berkesinambungan.

(9)

4. Kesimpulan

Pola peresepan di Puskesmas X periode Bulan Mei 2019 berdasarkan indikator peresepan WHO menunjukkan rerata jumlah obat per lembar resep adalah 2,66, tingkat peresepan obat dengan nama generik 100%, tingkat penggunaan antibiotik sebesar 15,83% dari total kasus, tingkat peresepan injeksi 0%, dan kesesuaian peresepan dengan Formularium Nasional 2017 adalah sebesar 91,85%. Semua hasil tersebut memenuhi kriteria indikator yang ditetapkan Kementerian Kesehatan dan WHO. Perlu dilakukan proses MTP (monitoring training planning) yang melibatkan pihak terkait untuk mempertahankan dan meningkatkan penggunaan obat rasional.

Ucapan terimakasih

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Program Studi Profesi Apoteker Universitas Islam Indonesia atas bantuan dana untuk pelaksanaan penelitian ini.

Daftar pustaka

Akl, O. A., Mahalli, A. A. E., Elkahky, A. A., & Salem, A. M. (2014). WHO/INRUD drug use indicators at primary healthcare centers in Alexandria, Egypt. Journal of Taibah University Medical Sciences, 9, 54-64.

Atif, M., Sarwar, M., Azeem, M., Naz, M., Amir, S., & Nazir, K. (2016). Assessment of Core Drug Use Indicators Using WHO/INRUD Methodology at Primary Healthcare Centers in Bahawalpur, Pakistan. BMC Health Services Research, 16. doi:10.1186/s12913-016-1932-2

Dahal, P., Bhattarai, B., R, S., Baral, S., & Shrestha, N. (2012). Drug Use Pattern in Primary Health Care facilities of Kaski District, Western Nepal. Sunsari Technical College Journal, 1, 1-8.

doi:10.3126/stcj.v1i1.8652

Dewi, S. D. A. P., Arimbawa, P. E., & Jaelani, A. K. (2018). Evaluation Of Drugs Use With Who Prescribing Indicator In Kuta Primary Health. Jurnal Endurance, 3(3), 483-489.

Endarti, D., Oei, Y. W., Sawitri, A., Wiedyaningsih, C., & Fudholi, A. (2019). Assessment of The Rational Use of Medicines: Prescribing Patterns and Indicators At Public Primary Health Care and Hospital in Indonesia Int. Res. J. Pharm, 10(4), 78-82.

Holloway, K. A., Ivanovska, V., Wagner, A. K., Vialle-Valentin, C., & Ross-Degnan, D. (2013). Have We Improved Use of Medicines in Developing and Transitional Countries and Do We Know How To? Two Decades of Evidence. Trop Med Int Health, 18(6), 656-664.

Ihsan, S., Sabarudin, S., Leorita, M., Syukriadi, A. S. Z., & Ibrahim, M. H. (2017). Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Ditinjau dari Indikator Peresepan Menurut World Health Organization (WHO) di Seluruh Puskesmas Kota Kendari Tahun 2016. Medula, 5(1), 402–409.

Jahan, S., Al Saigul, A., & Hamdelsseed, S. (2019). Primary Health Care Physicians’ Prescribing Patterns for Children Under Five in Qassim, Saudi Arabia. Primary Health Care Research &

Development, 20, 1-7. doi:10.1017/S1463423619000148

Kardela, W., Andrajati, R., & Supardi, S. (2014). Perbandingan Penggunaan Obat Rasional Berdasarkan Indikator WHO di Puskesmas Kecamatan antara Kota Depok dan Jakarta Selatan. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 4(2), 91-102.

(10)

Kemenkes. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kemenkes. (2011). Modul Penggunaan Obat Rasional Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kemenkes. (2017). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/659/2017 tentang Formularium Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kemenkes. (2019). Laporan Kinerja 2018 Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Nyabuti, A. O., Okalebo, F. A., & Guantai, E. M. (2020). Examination of WHO/INRUD Core Drug Use Indicators at Public Primary Healthcare Centers in Kisii County, Kenya. Adv Pharmacol Pharm Sci, 2020, 3173847. doi:10.1155/2020/3173847

Ofori-Asenso, R., Brhlikova, P., & Pollock, A. M. (2016). Prescribing Indicators at Primary Health Care Centers within the WHO African Region: A Systematic Analysis (1995-2015). BMC Public Health, 16, 724. doi:10.1186/s12889-016-3428-8

WHO. (1993). How to Investigate Drug Use in Health Facilities Geneva: World Health Organization WHO. (2002). Promoting rational use of medicine core components. WHO policy prospectives on

medicine. Geneva: World Health Organization

WHO. (2011). The world medicine situation: Medicine Prices, Availability and Affordability. Geneva:

World Health Organization

Wijayanti, R., Meila, O., & Septiyani, A. (2017). Evaluasi Penggunaan Obat dengan Indikator Prescribing pada Puskesmas Jakarta Utara Periode Tahun 2016. Social Clinical Pharmacy Indonesia Journal, 2(1), 23–28.

Yuniar, Y., Susyanty, A. L., & Sari, I. D. (2017). Penilaian Indikator Peresepan di Fasilitas Kesehatan Primer Pemerintah dan Swasta di Pulau Jawa, Indonesia Jurnal Kefarmasian Indonesia, 7(1), 55–66.

Gambar

Tabel 2. Pola peresepan obat di Puskesmas X berdasarkan indikator peresepan menurut WHO  Parameter Indikator  Puskesmas X  Standar     WHO
Tabel 3. Jenis antibiotik yang  diresepkan  di Puskesmas X  Nama Obat  Frekuensi  Persentase (%)
Tabel 4. Obat yang tidak tercantum dalam Formularium Nasional untuk fasilitas kesehatan tingkat I  Nama Obat  Frekuensi  Persentase (%)

Referensi

Dokumen terkait