• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada tanggal (2)29 maret 2019 Toserba Mulia dibuka secara resmi oleh Bapak H.Bambang Widiatmoko selaku owner Toserba Mulia Group

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Pada tanggal (2)29 maret 2019 Toserba Mulia dibuka secara resmi oleh Bapak H.Bambang Widiatmoko selaku owner Toserba Mulia Group"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Pada era global saat ini setiap perusahaan senantiasa meningkatkan kualitas demi meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan organisasi (Parmin, 2014). Organisasi adalah suatu sistem perserikatan formal, berstruktur, dan terkoordinasi dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam mencapai tujuan tertentu (Hasibuan, 2011). Karyawan merupakan orang penjual jasa pikiran atau tenaga kepada suatu perusahaan dan memperoleh balas jasa yang sesuai dengan perjanjian. Karyawan sangatlah dibutuhkan oleh setiap perusahaan atau lembaga, karena tanpa karyawan pekerjaan tidak bisa terselesaikan dan tentunya perusahaan tidak dapat beroperasi (Hasibuan, 2007).

Karyawan merupakan unsur terpenting dalam menentukan maju mundurnya suatu perusahaan (Panigoro et al., 2016). Swalayan dapat disebut sebagai perusahaan, karena melakukan kegiatan penjualan produk yang beraneka macam dan pelayanan terhadap konsumen dengan menyediakan kebutuhan konsumen yang bertujuan untuk mendapatkan laba dari hasil penjualan produk secara optimal. Agar tujuan tersebut dapat tercapai dan memenangkan persiapan dibidang usaha ini, setiap supermarket atau swalayan bersaing untuk memberikan pelayanan yang terbaik agar dapat memuaskan konsumen dan mendapatkan konsumen sebanyak-banyaknya (Alvanita & Wikaningtyas, 2018). Pada tanggal

(2)

29 maret 2019 Toserba Mulia dibuka secara resmi oleh Bapak H.Bambang Widiatmoko selaku owner Toserba Mulia Group. Hal yang mendorong dibukanya toserba mulia adalah tempat yang dekat dengan tempat tinggal owner, juga luasan toko dan parkiran yang memadai sehingga memberikan rasa nyaman bagi pengunjung dan harapannya adanya toko yang lebih luas dan lengkap sehingga masyarakat tidak perlu ke kota untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Toserba memiliki tujuan untuk terwujudnya Toserba Mulia yang bisa memberi solusi berbelanja lebih murah kepada seluruh pelanggan dan pembeli, semua karyawan mampu memberikan pelayanan prima sehingga bisa mengembangkan Toserba Mulia berdasarkan pada rasa kemanusiaan dan kesejahteraan. Toserba Mulia beralamat di Jl. Godean No.Km 9.5, Senuko, Sidoagung, Kec.Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55264. Toserba Mulia menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari, alat-alat rumah tangga, alat tulis, cosmetik, accessories, sepatu, sandal dan busana. Karyawan Toserba Mulia berjumlah 100 orang, namun sesuai dengan hasil wawancara dengan pimpinan Mulia dalam penelitian ini mengambil 60 karyawan. Divisi terbagi menjadi dua yaitu empat koordinator yakni 1) koordinator lantai satu; 2) koordinator lantai dua; 3) koordinator umum; dan 4) koordinator admin.

Sumber daya manusia yang dimiliki suatu perusahaan tidak sekedar memiliki kemampuan tetapi harus memiliki dedikasi, proaktif, komitmen tinggi pada pekerjaannya (Gifaranti, 2020). Peningkatan akan kualitas sumber daya manusia merupakan suatu keharusan demi tercapainya tujuan perusahaan (Aryansah & Erika, 2013). Individu yang memiliki kesejahteraan psikologis

(3)

rendah memiliki hubungan kurang baik dengan lingkungan disekitarnya, memiliki kepercayaan diri yang buruk , serta kurang dapat membangun hubungan personal yang baik dengan orang lain dan menunjukan bahwa individu tidak memiliki tujuan pribadi dan tujuan dalam pekerjaannya (Ryff, 2013).

Penelitian sebelumnya tentang kesejahteraan psikologis yang telah dilakukan oleh Viv Young dan Calire Bhaumik (2011) dengan topik Health and well-being at work: a survey of employees di Inggris menyatakan bahwa karyawan

dengan kesejahteraan yang buruk akan menimbulkan kerugian yang sangat tinggi, seperti rata-rata karyawan yang absen 7,4 hari per tahun dengan harga £ 692 miliar per karyawan per tahun, dijelaskan bahwa masalah psikologis merupakan penyebab utama ketidakhadiran karena sakit Bhaumik & Young (2011).

Menurut Mujiasih (2015) perusahaan membutuhkan karyawan-karyawan yang energik dan berdedikasi ikut terlibat, menjadi keadaan positif yang berhubungan dengan kelekatan yang kuat dengan pekerjaannya, penuh semangat serta kesejahteraan psikologis dalam bekerja. Karyawan di perusahaan yang memiliki keadaan positif dan sejahtera secara psikologis akan di ikuti kemajuan bagi perusahaan.

Konsep kesejahteraan psikologi di tempat kerja bertujuan untuk menggambarkan pengalaman positif seseorang di tempat kerja, yang berhubungan dengan pekerjaan (Desmarais & Savoie, 2012). Kesejahteraan psikologis adalah pengalaman positif seseorang selama bekerja yang terkait dengan persepsi tentang hubungan interpersonal antar karyawan, perkembangan

(4)

karyawan, kompetensi yang sesuai, pengakuan yang karyawan rasakan, dan keinginan karyawan untuk terlibat dalam pekerjaan (Desmarais & Savoie, 2012).

Kesejahteraan psikologis di tempat kerja dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek menurut Desmarais dan Savoie (2012) yaitu: (a) interpersonal di tempat kerja, (b). berkembang di tempat kerja, (c) pengakuan yang disarankan di tempat kerja, (d) kompetensi di tempat kerja, (e) keinginan untuk terlibatan di tempa kerja.

Saat melakukan observasi ke Swalayan Mulia Godean pada tanggal 08 juni 2022 tepatnya pukul 08.00 WIB kegiatan dimulai dengan mengumpulkan karyawan dan atasan memulai briefing dengan para karyawan terlihat antar sesama karyawan berbincang didalam forum yang telah dibuka dan bebarapa karyawan terlihat tidak fokus mendengarkan arahan dari atasan.

Selanjutnya data yang sudah diambil dari 5 karyawan bagian kasir dengan menggunakan metode wawancara pada tanggal 10 juni 2022. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis yang dialami oleh karyawan terdapat permasalahan. Karyawan dituntut untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Namun subjek merasa kualahan serta tidak memiliki inisiatif untuk dapat mengerjakannya dengan cepat sehingga berdampak terhadap antrian berikutnya. Antrian yang semakin panjang dapat menyebabkan tekanan terhadap pekerjaan yang harus segera terselesaikan sehingga dapat mempengaruhi hubungan diantara karyawan yang berubah menjadi hubungan negatif saling menyalahkan dan tidak memberikan apresiasi.

Selain itu subjek juga tidak ingin meluangkan waktunya diluar jam kerja untuk

(5)

menyelesaikan pekerjaannya. Aspek-aspek dari kesejahteraan psikologis karyawan dapat disimpulkan bahwa subjek memiliki masalah terkait kesejahteraan psikologis ditandai dengan hubungan interpersonal berupa komunikasi dengan rekan kerja yang tidak baik, sehingga menggunakan kata-kata kasar dan saling menyalahkan. Kemudian karyawan pada bagian kasir mengakui bahwa hubungan interpersonal berupa komunikasi yang terjalin dengan konsumen tidak baik, terlihat pada saat memberikan pelayanan karyawan bagian kasir tidak memberikan salam sapa terhadap konsumen. Aspek berkembang di tempat kerja dilihat pada saat karyawan tidak memiliki ide atau inisiatif untuk menyelesaikan pekerjaanya dengan cepat. Karyawan pada bagian kasir belum dapat memahami tugas-tugas serta kurangnya inisiatif untuk menyelesaikan tanggung jawab dengan cepat dan menjaga kebersihan dibagian area kasir. Aspek pengakuan di tempat kerja ditandai dengan subjek merasa tidak dihargai, kemampuannya diragukan, serta tidak mendapatkan apresiasi atas tugas yang sudah diselesaikan. Karyawan bagian kasir pada saat melayani konsumen mendapatkan kritik dari rekan kerja yang menurutnya tidak selayaknya, namun telah dilakukan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Aspek kompetensi di tempat kerja ditandai dengan kurangnya keahlian secara praktikal saat bekerja sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan dengan cepat. Karyawan bagian kasir pada saat melaksanakan pekerjaannya karyawan tidak dapat memberikan pelayanan yang maksimal seperti saat melakukan packing barang konsumen dengan rapi dan sesuai dengan standar oprasional prosedur perusahaan. Menyatakan ada kesalahan dalam melakukan transaksi alat tukar uang yang mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian,

(6)

hal ini ditandai karena kurangnya wawasan atau karena hal mendesak lainnya.

Selanjutnya aspek keinginan untuk terlibat di tempat kerja ditandai dengan subjek tidak ingin mengikuti kegiatan diluar jam kerja. Karyawan bagian kasir tidak mau melungkan waktu untuk membantu pekerjaan lain di luar job desk nya.

Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa subjek memiliki permasalahan terkait dengan kesejahteraan psikologis karena tidak memenuhi aspek kesejahteraan psikologis yaitu hubungan interpersonal, berkembang di tempat kerja, kompetensi di tempat kerja, pengakuan di tempat kerja, dan keinginan untuk terlibat di tempat kerja (Demarais & Savoie, 2012).

Seharusnya karyawan memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi sehingga karyawan merasa nyaman dan bahagia saat bekerja dan dapat memberikan pelayanan terbaik bagi konsumen dan perusahaan. Hal tersebut didukung oleh Ryff dan Singer (1996) yang menyatakan bahwa individu yang memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi, memiliki hubungan baik denga lingkungan sekitar, memiliki kepercayaan diri yang baik dengan lingkungan disekitarnya, memiliki kepercayaan diri yang baik, dapat membangun hubungan personal yang baik dengan orang lain serta menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan pribadi dan tujuan dalam pekerjaannya. Kesejahteraan psikologis pada karyawan diharapkan dapat meningkatkan rasa nyaman terhadap pekerjaannya.

Ryff (2013) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologi pada individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya : (a) faktor jenis kelamin, dalam penelitiannya perempuan memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi daripada

(7)

pria., (b) faktor usia, menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia maka semakin sejahtera seseorang karena dapat menguasai lingkungannya dan otonom, (c) faktor status sosial, seseorang dengan tingkat status sosial tinggi lebih sejahtera secara psikologis karena hidupnya lebih terarahkan, (d) faktor budaya, menambahkan bahwa budaya menumbuhkan konsep dasar diri dalam hubungannya dengan orang lain.

Selanjutnya berdasarkan penelitian yang telah dilakuka oleh Raza (2017) dinyatakan bahwa karyawan yang mengalami perlakukan yang kurang baik atau tidak menyenangkan dari rekan kerja atau atasannya cenderung mengalami kesejahteraan yang tidak baik. Perilaku ketidaksopanan ditempat kerja dapat dipengaruhi oleh budaya, karena sejalan dengan pernyataan (Ghosh, 2017), yaitu perilaku ketidaksopanan dapat bervariasi di berbagai daerah. Perilaku yang tidak baik dan tidak sopan tersebut termasuk dalam perilaku tidak menyenangkan atau disebut dengan experienced workplace incivility. Sasaran ketidaksopanan di tempat kerja dari atasan atau rekan kerja akan merasakan peningkatan emosi negatif seperti marah, sedih, dan takut (Porath & Pearson, 2012). Organisasi dapat menciptakan budaya hormat di mana orang merasa aman untuk berbicara tentang ketidaksopanan, misalnya, melalui proses CREW (Civility, Respect, and Engagement at Work) (Leiter, 2013).

Menurut Sulistiyo (2018) dalam penelitiannya yang berjudul “hubungan antara experienced of workplace incivility dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan millenial” bahwa ada hubungan antara experienced workplace incivility terhadap kesejahteraan psikologis pada karyawan. Karyawan yang mengalami

(8)

perilaku kasar, merendahkan, mengasingkan diri dari lingkungan sekitar yang melanggar aturan untuk menghormati di tempat kerja disebut dengan experienced workplace incivility. Karyawan yang merasa nyaman dalam bekerja dan merasa bahwa pekerjaannya bermakna dan memiliki tujuan, yakni karyawan yang kesejahteraan psikologisnya baik. Dapat disimpulkan bahwa bila terjadi perlakuan yang tidak menyenangkan di tempat kerja maka dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis karyawan.

Pearson dan Porath (dalam Hendryadi dan Zannati, 2018) mendefinisikan ketidaksopanan bukanlah fenomena dimana korban mengalami keadaan yang nyata tetapi mencerminkan interpretasi memihak orang atas tindakan dan bagaimana tindakan ini membuat mereka merasa. Menjelaskan bahwa terkadang ketidaksopanan dimaksudkan tergantung pada peserta dan konteksnya. Contoh perilaku yang digambarkan sebagai ketidaksopanan ditempat kerja adalah menyela percakapan, berbicara dengan keras ditempat umum, datang terlambat, tidak memperkenalkan pendatang baru, dan menunjukkan sedikit minat pada pendapat orang lain Pearson & Porath (dalam Hendryadi dan Zannati, 2018).

Smidt, Beer, Brink dan Leiter (2016) menyatakan bahwa ketidaksopanan di tempat kerja ditandai dengan perilaku menyimpang dengan maksud ambigu yang bertujuan untuk menyakiti target, melanggar norma-norma tempat kerja untuk saling menghormati. Ketidaksopanan di tempat kerja dapat juga diartikan sebagai perilaku dengan intensitas rendah yang tidak memiliki maksud yang jelas untuk menyakiti, namun tetap melanggar norma sosial dan menyakiti perasaan karyawan yang di targetkan Pearson & Porath (dalam Hendryadi & Zannati, 2018).

(9)

Selanjutnya, peneliti juga mengacu pada penelitian Anugrah, (2018) terkait experienced workplace incivility. Dijelaskan bahwa Indonesia memiliki norma-

norma budaya berhubungan dengan ketidaksopanan yang terkandung dalam norma kedua Pancasila yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab.

Vagharseyyedin (2015) melakukan belajar tentang ketidaksopanan di tempat kerja dari daftar referensi 50 artikel yang muncul dari 2012 hingga Maret 2014 menggambarkan pertemuan dari konsep ketidaksopanan yang terletak di tempat bekerja. Ketidaksopanan tempat kerja adalah perilaku dengan intensitas rendah dan niat ambigu, yang tidak memiliki rasa saling menghormati dan serangan fisik.

Vagharseyyedin (2015) menjelaskan perilaku ini secara alami berbeda dari agresi, kekerasan, dan intimidasi, dan organisasi tertentu dan faktor individu yang berkontribusi pada kemunculannya. Leiter (2013) mengatakan bahwa ada tiga perbedaan antara ketidaksopanan dan bentuk-bentuk tempat kerja lainnya penganiayaan yang meliputi permukaan karakteristik frekuensi, intensitas dan tembus pandang.

Zhou (2014) mengatakan bahwa seseorang yang experienced workplace incivility berdampak pada penurunan secara fisik, penurunan kepuasan kerja,

peningkatan intensi untuk keluar, penurunan komitmen afektif dan penurunan kesejahteraan psikologis. Cortina (2008) menyebutkan dampak experienced workplace incivility terhadap kesejahteraan psikologis karyawan tercipta melalui

situasi stress dan respon emosional yang merugikan dan menimpa keadaan psikologis karyawan dengan buruk. Sebaliknya, apabila tingkat experienced workplace incivility rendah individu akan berperilaku baik dan saling

(10)

menghormati satu sama lain serta dapat berkontribusi dalam perkembangan perusahaan serta menjaga lingkungan kerja agar tetap menyenangkan (M. P.

Leiter 2012). Experienced workplace incivility dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek menurut (Pearson et al., 2001) yaitu: a) melanggar norma; b) niat ambigu;

c) intensitas rendah.

Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara experienced workplace incivility dengan kesejahteraan psikologis sehingga penulis mengambil judul “hubungan antara experienced workplace incivility dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan di Swalayan Mulia

Godean Yogyakarta”. Rumusan permasalahan adalah bagaimana hubungan experienced workplace incivility dengan kesejahteraan psikologis karyawan?

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara experienced workplace incivility dengan kesejahteraan psikologis karyawan di Swalayan Mulia Godean Yogyakarta

C. Manfaat

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan mendapat informasi dan referensi baru khususnya dalam ilmu psikologi bidang psikologi industri dan organisasi, serta mengetahui gambaran mengenai hubungan experienced workplace incivility dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan di Swalayan Mulia Godean Yogyakarta.

(11)

2. Manfaat praktis

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh manajemen perusahaan agar dapat merancang strategi untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis karyawan dilihat dari sisi experienced workplace incivility.

Referensi

Dokumen terkait