• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Mewujudkan Komitmen Nasional Terkait Perubahan Iklim Sesuai Amanat Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Mewujudkan Komitmen Nasional Terkait Perubahan Iklim Sesuai Amanat Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA MEWUJUDKAN KOMITMEN NASIONAL TERKAIT PERUBAHAN IKLIM SESUAI AMANAT PERATURAN PRESIDEN NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS

RUMAH KACA SEKTOR PERTANIAN

HASNATUL DINA 120906032

Dosen Pembimbing: Drs. Ahmad Taufan Damanik, M.A.

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

HASNATUL DINA (120906032)

KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA

MEWUJUDKAN KOMITMEN NASIONAL TERKAIT PERUBAHAN IKLIM SESUAI AMANAT PERATURAN PRESIDEN NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR PERTANIAN.

Rincian Isi Skripsi xx; 123 Halaman; 18 Gambar; 9 Tabel; 1 Peta; 33 Buku; 4 Dokumen Peraturan dan Perundang-undangan; 16 Buletin, Majalah, dan Situs Internet; serta 4 Wawancara. (Kisaran buku dari tahun 1994-2016).

ABSTRAK

Penelitian ini menguraikan berbagai kebijakan yang dirumuskan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam rangka mewujudkan komitmen nasional terkait penurunan emisi gas rumah kaca, khususnya pada sektor pertanian. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa persoalan lingkungan, terutama terkait perubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, yang sebelumnya berada pada wilayah low politics kini telah menjadi salah satu isu yang sangat penting mendampingi agenda klasik lainnya dalam konstelasi politik, sehingga menjadi sulit untuk tidak menempatkan satu bagian khusus diskusi mengenai politik lingkungan.

Penelitian ini sangat relevan mengingat Provinsi Sumatera Utara sendiri saat ini berada di urutan teratas sebagai provinsi penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi di Indonesia. Begitu pula dengan sektor pertanian yang menempati posisi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Provinsi Sumatera Utara.

Dengan demikian penelitian berkaitan dengan setiap kebijakan publik yang digulirkan dan diimplementasikan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam rangka mewujudkan komitmen nasional terkait penurunan emisi gas rumah kaca pada sektor pertanian adalah sangat penting dan sangat relevan untuk diketahui dan dipahami.

Penelitian ini berbentuk evaluasi kebijakan dengan metode deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Peneliti menggunakan Politik Lingkungan, Paradigma Pembangunan Berkelanjutan, dan Teori Kebijakan Publik sebagai kerangka analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun kebijakan pembangunan pertanian yang tanggap perubahan iklim di Provinsi

(3)

Sumatera Utara sudah ada namun berbagai tantangan masih banyak dijumpai dalam upaya mengimplementasikan kebijakan tersebut, baik dari unsur administrasi pemerintahan, legal formal, maupun politik.

(Kata Kunci: Pembangunan Berkelanjutan, Pembangunan Rendah Karbon, Perubahan Iklim, Politik Lingkungan).

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

HASNATUL DINA (120906032)

GOVERNMENT POLICY ON AGRICULTURAL SECTOR OF THE PROVINCE OF SUMATERA UTARA IN ORDER TO FULFILLING THE COMMITMENT OF THE INDONESIAN GOVERNMENT TO REDUCE

GREENHOUSE GAS EMISSION THROUGH PRESIDENTIAL

REGULATION OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 61 YEAR 2011 ON THE NATIONAL ACTION PLAN FOR GREENHOUSE GAS EMISSIONS REDUCTION.

Content xx; 123 Pages; 18 Images; 9 Table; 1 Map; 33 Books; 4 Document Rules and Regulations; 16 Bulletin, Magazines, and The Internet Site; and 4 Interview.

(Publication from 1994-2016).

ABSTRACT

This study tries to describes the policies on agricultural sector formulated by the Government of Province of Sumatera Utara in order to fulfill the national commitment to reduce greenhouse gas emission. Since environmental issues has become “high politics” agenda nowdays, it would be so fascinating to discuss this field. This study is more relevant and tremendously important since Province of Sumatra Utara leads as the highest province of producing greenhouse gas emissions in Indonesia, nor agricultural sector as the largest contributors of greenhouse gas emissions in Province of Sumatra Utara. This type of study used qualitative while the method is descriptive. The theories which are used to explain the problems are Ecology Politic, Sustainable Development Paradigm, and Public Policy. This study showed that although the policy has existing, there found many challenges in effort to implemented, such as administration, formal legal, and political aspect.

(Keyword: Climate Change, Ecology Politic, Low Carbon Economy, Sustainable Development).

(5)

Karya ini dipersembahkan untuk Ibunda Tercinta dan Ayahanda Tercinta.

(6)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Mewujudkan Komitmen Nasional Terkait Perubahan Iklim Sesuai Amanat Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian.” Pemilihan judul skripsi ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa persoalan lingkungan, terutama terkait perubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, yang sebelumnya berada pada wilayah low politics kini telah menjadi salah satu isu yang sangat penting mendampingi agenda klasik lainnya dalam konstelasi politik, sehingga sangat relevan bila menempatkan satu bagian khusus diskusi mengenai politik lingkungan.

Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) di Depertemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Namun skripsi ini tidak akan pernah selesai ditulis tanpa keterlibatan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu sudah sepantasnya penulis harus mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi sumbangan magis mereka yang sangat membantu pekerjaan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berterimakasih pada:

1. Dekan FISIP USU, Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si.

2. Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP USU, Dr. Warjio, M.A.

3. Dosen Pembimbing Akademik penulis di Departemen Ilmu Politik FISIP USU, Dra. Evi Novida Ginting Manik, MSP.

4. Drs. Ahmad Taufan Damanik, M.A., yang telah membimbing, mendiskusikan, mendukung, dan mengkritisi skripsi ini. Dari beliau penulis memperoleh mozaik wawasan dan pengalaman keilmuan yang sangat berharga.

5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

6. Para narasumber yang sudah membantu memperkaya data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Dana Tarigan, Direktur WALHI Eksekutif Provinsi Sumatera Utara; Antonio Sipayung, Staf Kajian dan Pengetahuan WALHI Eksekutif Provinsi Sumatera Utara; M. Azhar Harahap, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara; M. Adli Putra, Kepala Seksi Perbenihan dan Penanganan Mutu Bidang Hortikultura Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara; Ir. Pangusunan Harahap, Kasubid Kawasan Strategis dan Kerjasama BAPPEDA Provinsi Sumatera Utara; Tengku Dianingrum, Staf Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara.

7. Suci Rahmadani, Maulida Ulfa, Fara Nurtrisna Aprilia Marpaung, Widya Aulia, Clara Bella Arisa Naibaho, Roshinta Regina Manalu, for the warm friendship and Teh Tarik Keude Kupie Ulee Kareng or Nasi

(7)

Goreng Ikan Asin Tong Tji. Serta tentu saja segenap teman angkatan 2012 di Departemen Ilmu Politik FISIP USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu namanya disini. Terima kasih telah menjadi rekan seperjalanan dalam kehidupan semasa kuliah.

8. Pers Mahasiswa SUARA USU, untuk semua rapat semalam suntuk yang penuh dengan diskusi yang cemerlang. Tanpa kalian, hidup ini tak menjejak dan membumi.

9. PEMA USU Kabinet Sinergis dan Kontributif, untuk segala perjuangan dan semangat yang membuahkan persahabatan, persaudaraan dan kualitas kerja yang cemerlang.

10. Komunitas Young On Top Kota Medan. Mereka gila. Mereka berbakat.

Mereka keren. Mereka anak-anak muda yang berdedikasi penuh pada semangat Learn and Share. Mereka pantang menyerah. Mereka cinta lingkungan. Mereka berwawasan global, bercitarasa lokal. Mereka humoris. Mereka berselera tinggi. Mereka ciptaan Tuhan.

11. Keluarga penulis, untuk dukungan yang terus diberikan. Tanpa kalian, sayap ini tak mengepak dan mengudara. You’re truly the wind beneath my wings. All of you.

Dan terakhir, bagi Hidup, dalam berbagai wujud dan rupa, dalam yang tak berwujud dan tak berupa... terimalah noktah ini, yang meski mungil tapi tak pernah luput Engkau beri makna.

Medan, 25 Juli 2017

Hasnatul Dina 120906032

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Halaman Persetujuan ... iii

Abstrak ... iv

Abstract ... v

Halaman Persembahan ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi ... ix

Daftar Gambar ... xi

Daftar Tabel ... xii

Daftar Singkatan dan Istilah... xiii

Peta Provinsi Sumatera Utara ... xvi

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 22

1.3 Pembatasan Masalah ... 24

1.4 Tujuan Penelitian ... 24

1.5 Manfaat Penelitian ... 25

1.6 Kerangka Teori ... 26

1.6.1 Politik Lingkungan ... 26

1.6.2 Paradigma Pembangunan Berkelanjutan ... 30

1.6.3 Teori Kebijakan Publik ... 36

1.7 Metodologi Penelitian... 39

1.7.1 Metode Penelitian ... 39

1.7.2 Jenis Penelitian ... 40

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ... 40

1.7.4 Teknik Analisis Data ... 42

1.8 Sistematika Penulisan ... 43

BAB II Gambaran Umum 2.1 Profil dan Karakteristik Daerah ... 45

2.1.1 Letak Geografis dan Administratif Kewilayahan ... 45

2.1.2 Fisik Lingkungan ... 47

2.1.3 Demografi ... 49

2.1.4 Ekonomi Wilayah ... 52

2.1.5 Program Prioritas Daerah ... 56

2.2 Permasalahan Emisi Gas Rumah Kaca ... 58

2.2.1 Sumber Emisi Gas Rumah Kaca ... 61

(9)

2.2.2 Dampak Peningkatan Emisi Gas Rumah Kaca ... 62

2.3 Komitmen Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia 70 2.3.1 Prinsip-Prinsip RAN-GRK ... 72

2.3.2 Tujuan RAN-GRK ... 73

2.3.3 Sasaran RAN-GRK ... 74

2.3.4 Kerangka Hukum RAN-GRK ... 74

BAB III Analisis Kebijakan Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Menghadapi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian 3.1 Dampak Buruk Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian di Provinsi Sumatera Utara ... 76

3.2 Sumber Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Pertanian di Provinsi Sumatera Utara ... 80

3.3 Kebijakan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian di Provinsi Sumatera Utara ... 85

3.3.1 Strategi Implementasi Kebijakan ... 87

3.3.2 Rencana Monitoring dan Evaluasi ... 93

3.4 Analisis Implementasi Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada Sektor Pertanian di Provinsi Sumatera Utara ... 97

3.5 Menjawab Tantangan Implementasi Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara Sektor Pertanian ... 110

BAB IV Penutup 4.1 Kesimpulan ... 118

4.2 Saran ... 121

Daftar Pustaka ... xvii Daftar Lampiran

Lampiran 1. Matriks RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara Sektor Pertanian

Lampiran 2. TOR Wawancara untuk Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara

Lampiran 3. TOR Wawancara Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara

Lampiran 4. TOR Wawancara untuk Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara

Lampiran 5. TOR Wawancara untuk Wahana Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Peta Batas Administrasi Provinsi Sumatera Utara ... 37

Gambar 2.2 PDRB Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Berlaku (Rupiah), 2010 ... 43

Gambar 2.3 Sumber Emisi GRK Berdasarkan IPCC Guidelines 2006 ... 47

Gambar 2.4 Pembagian Permasalahan GRK di Provinsi Sumatera Utara ... 48

Gambar 2.5 Kontribusi Sektoral Terhadap Emisi GRK Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010 ... 49

Gambar 2.6 10 Provinsi di Indonesia dengan Emisi Tertinggi ... 50

Gambar 2.7 Trend Suhu Udara Rata-rata di Stasiun Klimatologi Pinangsari - Sibolga ... 51

Gambar 2.8 Trend Suhu Udara Rata-rata di Stasiun Klimatologi Sampali - Medan ... 51

Gambar 2.9 Rata-rata Curah Hujan 30 dan 5 Tahun Terakhir di Stasiun Klimatologi Polonia - Medan ... 51

Gambar 2.10 Rata-rata Curah Hujan 30 dan 5 Tahun Terakhir di Stasiun Klimatologi Sampali - Medan ... 52

Gambar 2.11 Rata-rata Curah Hujan 30 dan 5 Tahun Terakhir di Stasiun Klimatologi Pinangsari - Sibolga ... 52

Gambar 2.12 Peta Indeks Kerentanan Provinsi Sumatera Utara ... 53

Gambar 2.13 Peta Indeks Kapasitas Provinsi Sumatera Utara ... 54

Gambar 2.14 Peta Indeks Coping Capacity Provinsi Sumatera Utara ... 54

Gambar 2.15 Peta Indeks Bencana Iklim Provinsi Sumatera Utara, 2008 - 2025 ... 55

Gambar 3.1 Kerangka Waktu Penyusunan RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012 ... 64

Gambar 3.2 Komposisi APBD Provinsi Sumatera Utara ... 86

Gambar 3.3 Estimasi Biaya dan Keuntungan Pelaksanaan Kegiatan Adaptasi di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam ... 92

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan

Kabupaten/Kota ... 40 Tabel 2.2 Distribusi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan

Per Kabupaten/Kota ... 41 Tabel 2.3 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota

di Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2006-2010 ... 44 Tabel 3.1 Kerangka Waktu Penyusunan RAD-GRK

Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012 ... 68 Tabel 3.2 Pembagian Urusan dan Kewenangan Pemerintah Daerah

Provinsi Sumatera Utara ... 70 Tabel 3.3 Pemetaan Kelembagaan Aksi Mitigasi Sektor Pertanian ... 71 Tabel 3.4 Identifikasi Sumber Pendanaan Aksi Mitigasi dan Adaptasi

Sektor Pertanian ... 73 Tabel 3.5 Jadwal Implementasi Aksi Mitigasi dan Adaptasi

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian

dari Tahun 2013 hingga 2020 ... 75 Tabel 3.6 Rencana Monitoring dan Evaluasi Sektor Pertanian ... 78

(12)

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

Adaptasi dalam konteks perubahan iklim adalah upaya menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan yang terjadi. Upaya adaptasi dilakukan dengan langkah-langkah antisipasi kapan dan di mana akan terjadi, kemudian memperkirakan apa, bagaimana, dan seberapa besar dampaknya, serta bagaimana mengurangi risiko dan menanggulangi dampak itu secara dini dan efektif sehingga tidak mengakibatkan bencana atau risiko kerugian lebih besar.

Chlorofluorocarbons (CFCs) terbentuk selama proses manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan (furniture), dan tempat duduk di kendaraan. Lemari pendingin di beberapa negara berkembang masih menggunakan CFCs sebagai media pendingin yang selain mampu menahan panas juga mengurangi lapisan ozon (lapisan yang melindungi bumi dari radiasi ultraviolet).

Conference of Parties (COP) adalah kelembagaan yang mendukung proses negosiasi di bawah payung UNFCCC. Konferensi Para Pihak merupakan badan tertinggi, atau yang memiliki wewenang tertinggi membuat keputusan sekaligus merupakan asosiasi para pihak yang meratifikasi konvensi. COP bertanggung jawab untuk menjaga konsistensi upaya internasional dalam mencapai tujuan utama konvensi. Dengan demikian COP memiliki kesempatan untuk meninjau pengaruh dari tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan konvensi. COP diselenggarakan setahun sekali, kecuali dalam kondisi tertentu jika para pihak menghendaki lain. Tempat penyelenggaraan COP didasarkan atas tawaran yang disampaikan oleh calon tuan rumah. Jika tidak ada penawaran, secara otomatis COP akan diselenggarakan di sekretariat UNFCCC di Bonn, Jerman. Dalam perjalanannya, UNFCCC telah menyelenggarakan 21 COP. Pertama di Berlin pada 1995 hingga terakhir di Paris akhir 2015.

Cuaca adalah keadaan udara pada waktu dan tempat tertentu. Perubahan cuaca dapat dirasakan dari menit ke menit. Meteorologi adalah ilmu yang mempelajari tentang cuaca. Unsur-unsur cuaca meliputi curah hujan, suhu, tekanan, kelembaban, dan awan.

Emisi adalah zat, energi, atau kompenen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk atau dimasukkan ke dalam udara yang mempunyai atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.

Gas Antropogenik merupakan sumber pencemaran yang tidak alami. Istilah ini digunakan dalam konteks perubahan iklim global untuk merujuk pada emisi gas yang dibuat atau dihasilkan oleh manusia atau disebabkan oleh aktivitas manusia yang berpotensi mengubah iklim, seperti penggundulan hutan.

(13)

Green House Gases atau Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki fungsi seperti panel-panel kaca di rumah kaca yang bertugas menangkap energi panas matahari agar tidak dilepas seluruhnya ke atmosfer kembali. Tanpa gas-gas ini, panas akan hilang ke angkasa dan temperatur rata-rata bumi dapat menjadi 60°Fahrenheit (33°Celcius) lebih dingin. GRK dapat ditemukan di atmosfer mulai dari permukaan bumi sampai ketinggian 15 km. Lapisan gas rumah kaca sendiri terbentuk di ketinggian 6.2 - 15 km. GRK yang berdampak terbesar adalah Karbon Dioksida (CO2), Nitrogen Oksida (N2O), Sulfur Dioksida (SO2), Metana (CH4), Chlorofluorocarbons (CFCs), dan Hydrofluorocarbons (HFCs).

G-20 (Giant 20) atau Kelompok 20 Ekonomi Utama adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Secara resmi G-20 dinamakan The Group of Twenty (G-20) Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Duapuluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Kelompok ini dibentuk tahun 1999 sebagai forum yang secara sistematis menghimpun kekuatan-kekuatan ekonomi maju dan berkembang untuk membahas isu-isu penting.

Iklim adalah rata-rata peristiwa cuaca di suatu daerah tertentu, termasuk perubahan ekstrem musiman dan variasinya dalam waktu yang relatif lama, baik secara lokal, regional, atau meliputi seluruh bumi. Iklim dipengaruhi perubahan-perubahan yang cukup lama dari aspek-aspek seperti orbit bumi, perubahan samudera, atau keluaran energi dari matahari.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) merupakan badan antar pemerintah yang bertugas melakukan perhitungan emisi gas rumah kaca sesuai standar internasional serta meninjau dan menilai informasi ilmiah, teknis, dan sosio-ekonomi terbaru di seluruh dunia yang relevan untuk memahami perubahan iklim.

Karbon Dioksida (rumus kimia: CO2) adalah gas rumah kaca yang penting dalam proses pemanasan global karena ia menyerap gelombang inframerah dengan kuat. Karbon dioksida dihasilkan oleh semua hewan, tumbuh-tumbuhan, fungi, dan mikroorganisme pada proses respirasi dan digunakan oleh tumbuhan pada proses fotosintesis. Karbon dioksida juga dihasilkan dari hasil samping pembakaran bahan bakar fosil dan perubahan tata guna lahan melalui proses pembakaran hutan. Rata-rata konsentrasi karbon dioksida di atmosfer bumi kira-kira 387 ppm berdasarkan volume, atau bisa juga bervariasi tergantung pada lokasi dan waktu. Konsentrasi yang lebih besar dari 5.000 ppm tidak baik untuk kesehatan, sedangkan konsentrasi lebih dari 50.000 ppm dapat membahayakan kehidupan hewan.

(14)

Metana (rumus kimia: CH4) merupakan kompenen utama gas alam yang juga termasuk gas rumah kaca. Metana dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat dikeluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan.

Mitigasi dalam konteks perubahan iklim berarti upaya mencegah, menghentikan, menurunkan atau setidaknya membatasi pelepasan emisi gas buangan, gas pencemar udara (gas rumah kaca) di atmosfer.

Nitrogen Oksida (rumus kimia: N2O) dihasilkan terutama dari pembakan bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Konsentrasi gas ini telah meningkat 16 persen bila dibandingkan masa pra-industri.

Pemanasan Global adalah kenaikan suhu permukaan bumi yang disebabkan oleh peningkatan emisi karbon dioksida dan gas-gas lain yang dikenal sebagai gas rumah kaca yang menyelimuti bumi dan memerangkap panas.

POME (palm oil mill effluent) ialah air buangan yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit selama proses pengolahan tandan sawit segar menjadi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil – CPO) serta minyak inti kelapa sawit (Palm Kernel Oil – PKO).

Ppm (part per million). Konsentrasi gas ditampilkan dalam ukuran part per million (ppm) atau satu per satu juta. Ukuran ini digunakan sebagai standar dan menunjukkan jumlah molekul yang ada dalam suatu sampel udara kering.

Sebagai contoh, 450 ppm berarti terdapat 450 molekul gas rumah kaca dalam setiap satu juta molekul udara kering.

Sulfur Dioksida (rumus kimia: SO2) merupakan gas beracun dengan bau menyengat yang dilepaskan oleh gunung berapi dan beberapa pemrosesan industri. Udara yang tercemar sulfur dioksida akan menyebabkan manusia mengalami gangguan pada sistem pernafasan. Serangan gas sulfur dioksida menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena.

System of Rice Intensification (SRI) merupakan sebuah metodologi agro-ekologi untuk meningkatkan produktivitas padi sawah irigasi dengan mengubah cara pengelolaan tanaman, tanah, air, dan nutrisinya. Prinsipnya untuk menjaga tanah sawah dalam kondisi lembab, untuk menghemat air, mengurangi kondisi reduktif, dan meningkatkan pertumbuhan akar tanaman. Tanaman ditanam dengan jarak tanam lebar dan penanaman bibit usia muda..

(15)

UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) atau Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim adalah dokumen yang secara hukum mengikat (legally binding), lahir dari Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan, atau yang lebih dikenal dengan nama United Nations Conference on Environment and Development (UNCED), di Rio de Jeneiro, Brasil, Juni 1992, saat para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi rencana-rencana besar yang terkait dengan upaya konservasi lingkungan sekaligus menyejahterakan umat manusia melalui pembangunan.

Zat Karsinogenik adalah zat yang menyebabkan kanker (atau diyakini menyebabkan kanker).

(16)

PETA PROVINSI SUMATERA UTARA

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Konsumen restoran di Beijing dan San Fransisco yang menikmati jus jeruk ikut berperan dalam menurunnya hasil perikanan di Selandia Baru dan Australia.

Pengemudi mobil di Chicago dan London ikut menyumbang emisi gas yang mengancam gunung es di Greenland dan Antartika, yang pada gilirannya mungkin akan menyebabkan banjir di banyak kepulauan dan menyebabkan jutaan orang mulai dari New Orleans sampai Bangladesh harus mengungsi. Daging sapi yang dikonsumsi di Madrid dan penjualan kayu triplek di Tokyo mendorong penggundulan hutan di Amazon dan hutan hujan di Indonesia, menyebabkan punahnya spesies tertentu dan memperparah perubahan iklim. Ekspor limbah komputer dari Perancis dan Kanada ke Cina dan Afrika Barat mencemari sungai dan sumber mata air dengan zat karsinogenik dan logam berat padahal air itu menjadi sumber kehidupan bagi orang miskin.1

Pada akhirnya, fakta-fakta ini tidak hanya membenarkan statement Gorz,2 tetapi yang lebih penting adalah ancaman yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan adalah nyata. Kerusakan ini belum termasuk bencana-bencana yang

1 Jerald Mast. Politik Lingkungan Internasional. Dalam John T. Ishiyama & Marijke Breuning (Editor).

2013. ILMU POLITIK DALAM PARADIGMA ABAD KE-21: Sebuah Referensi Panduan Tematis. Jilid I.

(Ahmad Fedyani Saifuddin. Penerjemah). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal. 726.

2 Andre Gorz dengan tajam menyatakan, “Dalam masyarakat industri lanjut, orang tidak selamanya miskin karena kesenjangan akan persediaan barang-barang konsumsi yang cukup besar, tetapi karena iklim dan cara barang-barang tersebut diproduksi.” Lihat Andre Gorz. 2005. Anarki Kapitalisme. Cetakan Kedua.

(18)

ditimbulkan oleh perubahan iklim. Dengan melihat dampak-dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan yang tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga global, maka sebagaimana dikemukakan oleh Volger, menjadi sulit untuk tidak menempatkan satu bagian khusus diskusi mengenai lingkungan dalam politik dunia. Sebagaimana ia kemukakan,3 “By contrast, it would be difficult today to write text book on world politics that did not contain a chapter on, or at least extensive reference to, environmental issues.” Ungkapan Volger ini menunjukkan bahwa persoalan lingkungan menjadi salah satu persoalan krusial yang dihadapi oleh umat manusia dewasa ini, selain hak asasi manusia (HAM), human security, kemiskinan, dan isu-isu lain.4

Isu mengenai lingkungan hidup telah menjadi agenda global memasuki abad 21, baik di kalangan pemimpin politik, pejabat pemerintah, ilmuwan, industrialis, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun warga negara. Ini menunjukkan bahwa persoalan lingkungan yang sebelumnya dianggap berada pada wilayah low politics kemudian dikaitkan dengan isu-isu sentral politik dunia (world politics).

Isu lingkungan telah menjadi isu global yang sangat penting mendampingi agenda klasik dalam politik internasional, yakni isu keamanan dan ekonomi.5

Isu lingkungan mulai muncul ke permukaan dan diperdebatkan setidaknya oleh beberapa faktor sebagai berikut:6 Pertama, dengan berakhirnya rivalitas

3 John Volger. 1998. Environment. Dalam Brian White (Editor). 2001. Issues in World Politics. Edisi Kedua.

New York: Palgrave. Hal. 191.

4 Budi Winarno. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS (Center of Academic Publishing Service). Hal. 149.

5 Ibid. Hal. 139.

6 Peter Chalk. 2000. Non-Military Security and Global Order. Oxford: Oxford University Press. Dalam

(19)

ideologi maupun militer antara kedua superpower (Amerika Serikat dan Uni Soviet), maka terdapat kesempatan untuk membahas isu-isu lain yang kemudian menjadi perdebatan di kalangan negara-negara Barat. Kedua, terdapatnya kesadaran publik dan media terhadap perubahan lingkungan global karena terdapat gejala-gejala yang mengindikasikan terjadinya degradasi lingkungan global, seperti musim panas yang berkepanjangan di Amerika Utara pada tahun 1988. Ketiga, scientific communities mulai membeberkan hasil-hasil penelitian mereka dan memberikan informasi terkait dengan kondisi lingkungan kepada para pembuat kebijakan, sebagai contoh, scientific communities memberikan informasi tentang terdapatnya lubang pada lapisan ozon di Antartika pada pertengahan tahun 1980 dan menjelaskan perihal kerusakan lingkungan ini, dan bagaimana mengatasinya.

Dalam perkembangannya, kepedulian terhadap isu lingkungan hidup semakin meningkat dan meluas, dan kemudian menjadi isu global disebabkan oleh:7 Pertama, beberapa masalah lingkungan hidup secara inheren bersifat global. CFCs (chlorofluorocarbons) yang terlepas ke dalam atmosfer menyumbang masalah penipisan ozone stratospheric secara global di mana pun CFCs dipancarkan, seperti halnya dengan emisi karbon dioksida menyumbang terhadap perubahan iklim. Oleh karena efeknya bersifat global, maka masalah ini hanya bisa ditanggulangi melalui kerja sama global. Kedua, beberapa masalah

Remaja Rosdakarya. Hal. 130.

7 Owen Green. Environmental Issues. Dalam John Baylis & Steve Smith (Editor). 1999. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. Edisi Kedua. Oxford: Oxford University Press.

(20)

dikaitkan dengan eksploitasi the global commons, yaitu: sumber-sumber yang menjadi milik bersama dari seluruh anggota masyarakat internasional, seperti samudera, atmosfer, dasar laut, dan ruang angkasa. Banyak yang berpendapat bahwa sumber-sumber genetik dunia merupakan sebuah sumber global yang harus dipelihara dan dipertahankan untuk kepentingan bersama. Ketiga, banyak masalah lingkungan hidup yang secara intrinsik transnasional, dalam arti melewati batas-batas negara, bahkan sekalipun masalah-masalah itu tidak seluruhnya bersifat global. Misalnya, emisi sulfur dioksida yang berasal dari suatu negara akan dibawa oleh angin dan mengandung hujan asam bisa menyebar ke beberapa negara tetangga mengikuti arah angin. Limbah yang dibuang ke dalam laut, baik tertutup dan semi tertutup memengaruhi negara-negara yang mempunyai pantai berpasir. Masalah-masalah kawasan dan transnasional seperti itu ada di banyak bagian dunia, dan memberikan tantangan-tantangan teknik dan politik terhadap berbagai masalah global. Lebih dari itu, aktor-aktor, baik negara maupun non-negara dari luar kawasan bisa menyumbang terhadap berbagai masalah atau berbagai upaya untuk menanggulanginya.

Keempat, banyak proses eksploitasi yang berlebihan atau degradasi lingkungan hidup yang secara relatif dalam skala lokal atau nasional, dan ini terjadi di sejumlah besar tempat di seluruh dunia, yang kemudian dipandang sebagai masalah-masalah global. Misalnya, masalah-masalah yang mencakup praktik pertanian yang tidak berkelanjutan, deforestasi, polusi sungai, dan banyak masalah lingkungan yang dikaitkan dengan urbanisasi dan praktik-praktik

(21)

industri. Akhirnya, proses-proses yang mengarah kepada eksploitasi yang berlebihan dan degradasi lingkungan sangat berkaitan dengan proses-proses politik dan sosial ekonomi yang luas, yang semua itu merupakan bagian dari ekonomi politik global. Dengan demikian, secara luas diakui bahwa penyebab sebagian terbesar masalah lingkungan hidup dikaitkan dengan generasi dan distribusi kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan, serta pola-pola konsumsi energi, industrialisasi, pertumbuhan penduduk, kehidupan yang melimpah (affluence) dan kemiskinan. Dalam hal ini, proses-proses globalisasi dan interdependensi, maupun kehidupan ekonomi dan kehidupan bidang lain secara meningkat, sebagaimana yang telah disitir oleh Keohane dan Nye (1977) menjadikan semua isu lingkungan hidup memiliki dimensi global.

Isu lingkungan internasional yang paling dramatis adalah pemanasan global (global warming), yang bisa mengancam puluhan juta orang, mengganggu pola cuaca, dan mengubah iklim sehingga mengganggu industri agrikultural di seluruh dunia.8 Ilmuwan Inggris Sir David King bahkan mengatakan bahwa isu perubahan iklim lebih mengkhawatirkan daripada isu terorisme.9

Pemanasan global adalah naiknya suhu permukaan bumi yang prosesnya disebut sebagai efek rumah kaca. Efek rumah kaca dapat dianalogkan dengan mobil yang diparkir di tempat yang langsung terkena sinar matahari (semua jendelanya tertutup). Sinar matahari akan menembus kaca mobil dan di dalam mobil sinar itu berubah menjadi panas. Panas tersebut tidak dapat keluar karena

8 Jerald. Op.Cit. Hal. 727.

9 Deni Bram, Mumu Muhajir, dkk. 2013. Dinamika Wacana Perubahan Iklim dan Keterkaitannya dengan

(22)

tertahan oleh kaca sehingga suhu di dalam mobil naik.10

Istilah efek rumah kaca berasal dari pengalaman para petani di daerah iklim sedang yang menanam sayur-mayur dan bunga-bungaan di dalam rumah kaca.

Dalam rumah kaca dapat dipasang alat pemanas sehingga ruangan dalam rumah kaca dapat dipanaskan pada waktu diperlukan, misalnya pada malam hari dan dalam musim gugur, musim dingin, dan musim semi. Dengan demikian, para petani dapat menanam sayur-mayur dan bunga-bungaan sepanjang tahun, meskipun suhu di luar sangat dingin. Menurut pengalaman para petani pada siang hari pada waktu cuaca cerah tanpa alat pemanas pun suhu di dalam ruangan rumah kaca lebih tinggi daripada diluarnya. Apa yang terjadi disini ialah cahaya matahari dapat menembus kaca dan dipantulkan kembali oleh benda-benda di dalam ruangan rumah kaca sebagai gelombang panas yang berupa sinar inframerah. Dengan ini udara di dalam rumah kaca suhunya naik dan panas itu terperangkap di dalam ruangan rumah kaca serta tak tercampur dengan udara yang dingin di luar rumah kaca. Suhu di dalam rumah kaca pun lebih tinggi daripada diluarnya. Dengan demikian terciptalah istilah efek rumah kaca.11

Atmosfer bumi terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan terendah disebut troposfer. Troposfer inilah yang penting dalam kejadian efek rumah kaca. Efek rumah kaca disebabkan terbentuknya gas di troposfer (tebalnya 15 km di atas permukaan bumi), melebihi keadaan yang alamiah. Gas ini sebagian besar terdiri atas C02(Karbon dioksida), CFCs (Chlorofluorocarbons), N2O (Nitrogen oksida),

10 Otto Soemarwoto. 2009. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press. Hal. 60-61.

(23)

dan CH4(Metana), yang dinamakan gas rumah kaca. CO2merupakan gas rumah kaca yang paling berperan dalam menahan radiasi bumi sehingga suhu udara naik.12 Komposisi gas rumah kaca di atmosfer berfluktuasi di sepanjang sejarah bumi, namun sejak Revolusi Industri, kontribusi antropogenik dari bahan bakar minyak dari fosil memberi kontribusi yang signifikan.13

Selama hampir satu juta tahun sebelum zaman industri, konsentrasi gas CO2

di atmosfer berkisar hanya sekitar 170 sampai 250 ppm (ppm= parts per million by volume of CO2equivalent). Ketika Revolusi Industri dimulai di Inggris sekitar tahun 1850, konsentrasi CO2 di atmosfer baru sebesar 280 ppm, dan rata-rata temperatur bumi naik sekitar 0,74 derajat Celcius dibandingkan dengan zaman praindustri. Namun, 160 tahun kemudian, menurut para ilmuwan IPCC, akumulasi CO2 di atmosfer diperkirakan sudah mencapai sekitar 390 ppm, terutama karena pembakaran bahan bakar fosil dan sebagian karena emisi pertanian dan alih guna lahan hutan. Jika pola produksi, konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk bumi dibiarkan tak terkendali seperti sekarang, maka 100 tahun ke depan konsentrasi CO2 diperkirakan akan naik menjadi 580 ppm atau lebih dua kali lipat dari zaman industri.14

Akibatnya, dalam kurun waktu 50-100 tahun ke depan, jika manusia tidak mengambil tindakan apa pun untuk menstabilisasi gas rumah kaca di atmosfer, suhu rata-rata bumi akan naik sebesar 1,1 hingga 5 derajat Celcius. Panas yang

12 Ibid.

13 Jerald. Op.Cit. Hal. 735.

14 Ismid Hadad. 2010. Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan. Sebuah Pengantar. Dalam

(24)

dahsyat akan membawa dampak luar biasa terhadap berbagai sektor kehidupan manusia, flora dan fauna, serta makhluk bumi lainnya. Ancaman kekeringan, kebakaran hutan, terganggunya ekosistem, ketersediaan air, punahnya aneka ragam sumber daya hayati, merosotnya produksi pangan, penyebaran hama dan penyakit (tanaman dan manusia), bahaya paceklik dan kelaparan, dan konflik sosial adalah beberapa contoh dampak sosial ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan oleh peningkatan suhu bumi sepanas itu.15

Ketika suhu bumi semakin panas, pola curah hujan berubah drastis, iklim dan cuaca menjadi lebih ekstrem, seringnya timbul bencana kekeringan, badai, dan banjir, maka gelombang hawa panas (heat waves) dan kebakaran hutan makin banyak dan meluas. Pada suhu bumi yang mencapai titik panas tertentu, bongkahan es di kutub dan salju di puncak gunung dapat mencair dan menimbulkan gejala pemekaran air laut; permukaan laut naik dengan kemampuan menenggelamkan dataran rendah, pesisir pantai, dan pulau-pulau kecil padat penghuni di negara-negara sedang berkembang. Puluhan juta rakyat miskin yang rentan di negara-negara kekurangan air bersih itu makin terancam oleh gagalnya panen hasil pertanian, merosotnya produktivitas dan hasil usaha tani, kebun dan perikanan, serta meningkatnya gangguan kesehatan, kurang gizi, bencana kelaparan, dan wabah penyakit.16

Riset yang mengkaji potensi konsekuensi perubahan iklim global mencatat adanya kemungkinan terusirnya 200 juta orang karena naiknya level permukaan

15 Ibid.

(25)

laut, meningkatnya kematian akibat kekurangan gizi dan gelombang panas, meningkatnya banjir pada musim hujan, kekeringan pada musim kemarau, dan punahnya 15 hingga 40 persen spesies planet jika tren pemanasan ini tak terkendali (Stern, 2007). Biaya pemanasan global kebanyakan dilihat dalam term dampak masa depan, namun makin banyak periset menunjukkan adanya bahaya pada masa sekarang. Salah satu laporan memperkirakan sudah ada 300.000 orang meninggal per tahun karena penyakit yang disebabkan oleh perubahan iklim, dan ada biaya ekonomi sebesar rata-rata $125 juta harus dikeluarkan (Global Humanitarian Forum, 2009). Meskipun estimasi ini diperoleh melalui metodologi yang kontroversial, adalah jelas bahwa banyak orang di dunia saat ini yang rugi atau mati karena problem lingkungan, dan banyak yang harus menjalani hidup yang sulit karena kondisi lingkungan yang memburuk.17

UN’s Human Development Programme memperkirakan lebih dari 1 juta orang kekurangan akses reguler ke air minum yang aman; salah satu akibatnya adalah 1,8 juta anak meninggal setiap tahun akibat penyakit yang disebabkan oleh air yang tidak sehat (Watkins, 2006). Jumlah orang yang meninggal karena kelaparan juga relatif sama. Polusi udara menyebabkan 2 juta kematian dini per tahun. Angka penderita kanker meningkat, disebabkan oleh limbah dan sampah kota, yang berasal dari aktivitas industri dan pertanian, yang menghasilkan zat karsinogenik, petrokimia, dioksin, pestisida, dan efek samping industri lainnya.

Meskipun bersifat global, biaya yang ditimbulkan oleh polusi tidak sama

(26)

antarnegara. Orang miskin di dalam dan di antara negara-negara berbeda terancam risiko terbesar, dan ini menunjukkan kecilnya kemajuan yang telah dicapai dan betapa banyaknya cita-cita perbaikan kualitas lingkungan sebagaimana dikemukakan oleh Our Common Future18 yang belum tercapai (Sneddon, Howart, & Nordgaard, 2006).19

Ada dua cara atau kunci utama untuk menanggulangi perubahan iklim, yaitu

“mitigasi” dan “adaptasi”.20 Pertama, mitigasi untuk mencegah, menghentikan, menurunkan atau setidaknya membatasi pelepasan emisi gas buangan, gas pencemar udara (gas rumah kaca) di atmosfer. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan sumber daya energi yang banyak menghasilkan emisi karbon dioksida. Upaya mitigasi juga bisa dilakukan dengan cara menambah, memperkuat, atau memperluas sistem bumi yang berfungsi sebagai penyerap dan penyimpanan karbon secara alami, yaitu hutan dan lautan agar emisi gas rumah kaca yang terlepas ke udara dapat ditangkap, diserap dan disimpan kembali di dalam pepohonan, hutan, lahan gambut, dan dalam kondisi

18 Our Common Future merupakan dokumen laporan yang diterbitkan pada April 1987 oleh Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan Hidup (World Commission on Environment and Development, WCED), sebuah badan yang didanai secara independen oleh PBB, yang diketuai Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, dan beranggotakan 20 orang tokoh ternama dari berbagai negara, salah satunya adalah Prof. Dr. Emil Salim yang ketika itu menjabat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Rekomendasi-rekomendasi laporan tersebut merupakan salah satu di antara rekomendasi yang paling matang dan ambisius yang pernah diajukan oleh komisi lintas-pemerintah bagi transformasi sikap, nilai, dan tujuan-tujuan masyarakat global agar dapat membawa upaya pembangunan yang selaras dengan biosfer. Our Common Future kadang-kadang dikenal sebagai Laporan Brundtland, merujuk pada pemimpin komisi tersebut. Laporan ini kemudian juga diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1988 oleh Penerbit Gramedia dengan judul Hari Depan Kita Bersama. Keterangan lebih lengkap mengenai Our Common Future dapat dilihat dalam Lynn H. Miller. 2006. Agenda Politik Internasional.

(Daryatno. Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 490-500. Lihat juga Renal Rinoza. 2015.

Membincang Ekologi Pembangunan: Pembangunan Berkelanjutan, Ekologi Politik, Post 2015, dan Krisis Ekologi di Indonesia. Dalam portal berita lingkungan Mongabay Indonesia. Di akses dari http://readersblog.mongabay.co.id/rb/2015/06/05/membincang-ekologi-pembangunan/ pada 1 November 2016 pukul 16:00 WIB.

19 Jerald. Op.Cit.

(27)

tertentu, laut. Tujuan utama dari upaya mitigasi adalah untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu dan membahayakan sistem iklim bumi.

Kedua adalah adaptasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan yang terjadi. Bagaimanapun juga, dampak perubahan iklim tak mungkin bisa dihindari, apalagi dicegah. Upaya adaptasi yang bisa dilakukan adalah dengan langkah-langkah antisipasi kapan dan di mana akan terjadi, kemudian memperkirakan apa, bagaimana, dan seberapa besar dampaknya, serta bagaimana mengurangi risiko dan menanggulangi dampak itu secara dini dan efektif sehingga tidak mengakibatkan bencana atau risiko kerugian lebih besar. Karena itu, langkah pertama adaptasi adalah dengan mengetahui “di mana” lokasi dan

“siapa” kelompok masyarakat yang tinggal dan hidup di kawasan atau daerah tertentu yang sangat rentan (vulnerable) terhadap gangguan alam dan perubahan iklim. Kerangka program adaptasi yang efektif umumnya memiliki empat unsur penting, yaitu (1) perkiraan dan peta kerawanan/kerentanan sosial dan lingkungan untuk mengetahui kondisi dan memperkirakan risiko dampak; (2) upaya peningkatan kesadaran masyarakat dan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, khususnya di daerah dan sektor rawan bencana, agar mampu mengantisipasi, merencanakan program dan menanggulangi dampak perubahan iklim yang akan terjadi; (3) penyusunan atau reformasi kebijakan publik serta penguatan lembaga-lembaga publik yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan mengelola sumber daya alam dan lingkungan secara lestari, serta

(28)

mampu menanggulangi masalah perubahan iklim secara efektif, dan (4) membangun sistem ekonomi dan strategi pembangunan rendah karbon yang memberi insentif bagi investasi prasarana dan program efisiensi energi, pengelolaan hutan lestari, dan pengembangan sumber-sumber energi terbarukan.

Pada 1988, United Nations Environment Programme dan World Meteorological Organization membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) untuk mengkaji literatur ilmiah tentang perubahan iklim dalam rangka memberi pedoman bagi pemimpin politik dan publik tentang sebab dan akibat dari perubahan iklim global dan kemungkinan langkah-langkah untuk meresponsnya. Sebagai agensi untuk mengumpulkan dan memublikasikan informasi, IPCC sejauh ini berhasil. Ia telah mengeluarkan laporan penilaian pada 1990, 1995, 2001 dan 2007, dan memenangkan penghargaan Nobel Perdamaian pada 2007. Laporan IPCC pertama digunakan sebagai dasar bagi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang ditulis pada Earth Summit di Rio de Janeiro, pada tahun 1992.21

Tujuan UNFCCC adalah menstabilkan emisi gas antropogenik pada level yang aman. Ia membuat inventori emisi gas rumah kaca untuk memantau jumlah emisi dan membangun komitmen yang longgar dengan negara industri untuk menstabilkan emisi gas pada level 1990 hingga tahun 2020. Sesuai dengan hasil kajian IPCC, perjuangan masyarakat internasional melalui UNFCCC adalah mengusahakan supaya kenaikan suhu panas bumi jangan sampai melebihi

(29)

ambang batas 2 derajat Celcius. Jika kenaikan temperatur bumi dibatasi tidak lebih dari 2 derajat Celcius di atas level zaman praindustri, konsentrasi gas CO2

di atmosfer harus bisa ditekan dan dibatasi pada tingkat maksimum 450 ppm, dengan puncak pencapaian tak lebih dari tahun 2020. Artinya, masyarakat penghuni bumi ini harus sanggup menghentikan atau bahkan menurunkan emisi karbon hingga 80 persen pada tahun 2020 dari level emisi tahun 1990.22

Indonesia termasuk salah satu negara yang terlibat sejak pertama kali dibentuknya UNFCCC. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNFCCC.

Dalam konsideran undang-undang tersebut disebutkan salah satunya bahwa Indonesia mempunyai peranan strategis dalam struktur iklim geografis dunia karena sebagai negara tropis ekuator yang mempunyai hutan tropis basah terbesar di dunia dan negara kepulauan yang memiliki laut terluas di dunia mempunyai fungsi sebagai penyerap gas rumah kaca yang besar. Oleh karena itu Indonesia perlu ikut aktif mengambil bagian bersama-sama dengan anggota masyarakat internasional lainnya dalam upaya mencegah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kenaikan permukaan laut mengancam 42 juta orang Indonesia yang tinggal di wilayah dengan ketinggian kurang dari 10 meter dari atas permukaan laut. Kenaikan permukaan air laut setingi 50 sentimeter saja akan

(30)

memperparah penurunan muka tanah seperti yang sudah terjadi di Teluk Jakarta dan secara permanen akan menggenangi bagian Utara Jakarta dan Bekasi.23 Indonesia sendiri merupakan pemilik pantai terpanjang nomor dua di dunia.

Kawasan pantai amat rentan terhadap perubahan iklim karena ancaman kenaikan muka air laut. Ketua Dewan Pengarah Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmaja, memprediksi sampai akhir abad ini diperkirakan 1.500 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam.24

Sadar akan kerentanannya terhadap bencana akibat perubahan iklim, Indonesia memberikan respons positif dalam penanganan lingkungan hidup, baik di lingkup kerjasama internasional maupun dalam kebijakan domestik. Berbagai kebijakan, upaya, dan tindakan telah dilakukan untuk menangani, mencegah, dan menanggulangi masalah perubahan iklim. Pemerintah Republik Indonesia juga telah menghasilkan beberapa peraturan dan kebijakan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa peraturan yang berkaitan langsung dengan perubahan iklim antara lain adalah:

1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD);

2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD);

23 Corinne Breuze. 2015. Mencapai Kesepakatan Iklim Universal dan Ambisius. Dalam Harian Kompas Edisi 1 Agustus. Hal.7.

24 Harian Kompas. 2015. Indonesia Mau Keadilan: Dokumen Penurunan Emisi yang Diniatkan Menunggu

(31)

3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung;

4. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+;

5. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut;

6. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK);

7. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional;

8. Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+;

9. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan;

10. Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+.

Sejak tahun 2007, perkembangan perubahan iklim di Indonesia mencapai momentum yang signifikan ketika Indonesia menjadi tuan rumah COP 13 UNFCCC di Bali. Indonesia kemudian mendirikan lembaga dan memberlakukan

(32)

beberapa dokumen kebijakan dan peraturan terkait dengan perubahan iklim.

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dibentuk pada tahun 2008 dan bertugas sebagai focal point isu-isu perubahan iklim dalam forum internasional. Upaya berikutnya, pemerintah Indonesia mengarusutamakan aktivitas perubahan iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014 dan membentuk sebuah lembaga dana perwalian nasional/Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim.25 Pada akhir 2009, dalam pertemuan G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat dan COP 15 di Kopenhagen, Denmark, Indonesia mengumumkan komitmen sukarelanya untuk mengupayakan pengurangan emisi karbon hingga sebesar 26 persen sampai tahun 2020 dengan sumber daya domestik (mekanisme Business as Usual/BAU). Di sisi lain, Indonesia bersedia untuk mengurangi emisi karbon hingga 41 persen dengan dukungan dana internasional.26

Komitmen ini diikuti dengan penetapan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Sebagai tindak lanjut dari komitmen di atas, RAN-GRK disusun dan dilengkapi dengan kerangka kebijakan untuk periode 2010-2020 yang ditujukan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, dan pemangku kepentingan lain untuk melakukan aksi yang terkait langsung maupun

25 Teddy Prasetiawan. 2015. Kesiapan Indonesia Menuju COP 21 UNFCCC di Paris. Dalam Buletin Info Singkat Kesejahteraan Sosial Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI Vol. VII, No. 16/II/P3DI/Agustus 2015. Hal. 10.

26 Nurtjahjawilasa, Kusmadayanti Duryat, dkk. 2013. Modul: Kebijakan Nasional Perubahan Iklim. Jakarta:

(33)

tidak langsung.27

Pada tingkat pemerintah pusat, kerangka kebijakan tersebut merujuk kepada visi dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025 dan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2015-2019.

Pemerintah juga telah menetapkan prioritas pengendalian perubahan iklim dengan sasaran meningkatnya penanganan perubahan iklim, baik berupa kegiatan mitigasi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar mendekati 26 persen sampai tahun 2020 di lima sektor prioritas, yaitu: kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri dan limbah, maupun kegiatan adaptasi untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim di daerah rentan. Visi dan prioritas tersebut kemudian akan diterjemahkan dalam setiap Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai payung kebijakan perubahan iklim di Indonesia.28 Sedangkan pada tingkat daerah, kebijakan pelaksanaan perubahan iklim dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Daerah, baik jangka menengah maupun rencana tahunan. Pelaksanaan mitigasi di daerah dituangkan dalam Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur oleh seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2012 (tidak termasuk Provinsi Kalimantan Utara yang baru dimekarkan pada 25 Oktober 2012).29

Berdasarkan data resmi dari Pemerintah Indonesia, Provinsi Sumatera Utara

27 Teddy. Op.Cit.

28 Ibid.

29 Lihat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2014. Potret Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan

(34)

berada di urutan tertinggi dibandingkan provinsi-provinsi lainnya sebagai provinsi penghasil emisi tertinggi pada 2010.30 Hal ini kemungkinan disebabkan oleh deforestasi masif yang telah terjadi di Ekosistem Leuser di Sumatera Utara selama hampir dua dekade, dan khususnya meningkat selama periode 2008-2013.31 Emisi gas rumah kaca Provinsi Sumatera Utara berasal dari tiga bidang yaitu (1) Pertanian dan Kehutanan; (2) Energi, Transportasi, dan Industri;

dan (3) Pengelolaan Limbah, dimana pada tahun 2010 emisi gas rumah kaca Provinsi Sumatera Utara mencapai sekitar 289 juta ton CO2-eq.32

Berdasarkan hasil studi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI, 2010) memberikan indikasi kuat bahwa risiko bencana perubahan iklim di Sumatera Utara sangat mengkhawatirkan apabila tidak ada langkah-langkah mitigasi dan adaptasi terhadap kejadian iklim ekstrim. Tidak saja karena Provinsi Sumatera Utara telah beberapa kali mengalami bencana banjir dan longsor dengan skala yang luar biasa dalam 10 tahun terakhir, tetapi juga karena Provinsi Sumatera Utara merupakan sentra produksi pangan nasional, sehingga perlu mendapat prioritas penanganan serius. Sumatera Utara memiliki indeks kerentanan terhadap

30 Berdasarkan pengukuran emisi absolut. Urutan kedua hingga kesepuluh teratas diisi oleh Riau, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Lampung, Papua, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Bali.

Kalimantan Tengah akan menyalip peringkat penghasil emisi tertinggi jika dilihat dari emisi per kapita dan intensitas emisi, yaitu suatu pengukuran emisi provinsi berdasarkan populasi dan Produk Domestik Bruto (PDB) provinsi tersebut. Indikator-indikator ini menurunkan kontribusi provinsi terhadap perubahan iklim berdasarkan individu dan perekonomian, yang juga merupakan cara yang berguna untuk mengukur distribusi emisi di seluruh Indonesia. Bila menggunakan pengukuran emisi per kapita, maka 10 provinsi di Indonesia dengan emisi per kapita tertinggi secara berurutan adalah Kalimantan Tengah, Riau, Papua, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Bali, Lampung, Jambi, dan Aceh. Sedangkan bila diukur dengan mempertimbangkan PDRB Provinsi maka urutan 10 provinsi penghasil emisi tertinggi berturut-turut dari yang paling tinggi adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Maluku Utara, Lampung, Papua, Bali, Jambi, Riau, dan Aceh.

31 World Resource Institute. Platform Interaktif untuk Data Iklim (PINDAI) atau Indonesia Climate Data Explorer (CAIT Indonesia). Di akses melalui http://cait.wri.org/indonesia?Ing=id pada 20 Oktober 2016 pukul 13:00 WIB.

(35)

perubahan iklim yang cukup besar. Demikian pula kerentanan terhadap kesehatan apabila dibandingkan dengan Provinsi Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, maka Sumatera Utara merupakan daerah yang paling rentan (DNPI, 2010).33

Gambaran respon masyarakat terhadap fenomena perubahan iklim dapat menjadi salah satu aspek dalam merumuskan kebijakan antisipasi/mitigasi/

adaptasi terhadap perubahan iklim. Hasil survei DNPI (2010) terhadap petani tanaman pangan, perkebunan, nelayan, petambak, masyarakat umum, dan instansi pemerintah kabupaten/kota di Sumatera Utara mengindikasikan bahwa sebagian besar responden sudah mengetahui telah terjadinya perubahan iklim dan dampak dari perubahan iklim. DNPI juga melihat proses adaptasi dan antisipasi petani terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim telah dirasakan dalam pemahaman responden dalam bentuk perubahan suhu udara, curah hujan dan cuaca, frekuensi bencana lebih sering terjadi (banjir, longsor, gelombang, dan badai), dan ketersediaan air yang semakin sulit pada musim kemarau.34

Merespons berbagai kondisi di atas, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah menyusun RAD-GRK tahun 2010-2020 yang kemudian ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2012. Dalam dokumen RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara dijelaskan bahwa dari hasil proyeksi Business as Usual (BAU) Provinsi Sumatera Utara tahun 2020 tanpa intervensi aksi mitigasi, bidang

33 Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. 2012. Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2020. Medan: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hal. 82.

(36)

berbasis lahan masih menempati posisi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar sebanyak 94,88%. Sedangkan bidang berbasis energi dan limbah secara berturut-turut menyumbang 4,5% dan 0,6% dari total BAU 2020 di Provinsi Sumatera Utara.

Bidang berbasis lahan dalam RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara dibagi atas dua bagian, yaitu sektor pertanian dan sektor kehutanan. Bidang pertanian secara umum merupakan bidang yang secara significant akan terkena dampak perubahan iklim.35 Namun, di sisi lain, bidang pertanian juga menghasilkan emisi gas rumah kaca. Berdasarkan analisis karakteristik Provinsi Sumatera Utara, maka sumber utama emisi di sektor pertanian adalah: (1) perubahan alih fungsi lahan (hutan, lahan pertanian dan gambut) menjadi perkebunan dan usaha pertanian; (2) perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, kelapa, dan lain-lain); pertanian rakyat (tanaman pangan, hortikultura); (3) pupuk; (4) peternakan (sapi, babi, kambing, unggas).

Selain sebagai sumber emisi, sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan kelapa sawit merupakan sumber potensi serapan emisi gas rumah kaca. Menurut Henson (1999), kelapa sawit dapat menyerap CO2 dalam proses fotosintesis sebanyak dua kali lebih besar dibandingkan hutan tropis. Namun, penanaman kelapa sawit di lahan gambut memiliki potensi emisi gas CO2 yang lebih besar dibandingkan dengan kelapa sawit yang ditanam di lahan mineral.

Semakin bertambah umur tanaman, emisi CO2 semakin tinggi. Hal ini terkait

(37)

dengan semakin besarnya tingkat respirasi akar tanaman. Emisi gas rumah kaca dari lahan gambut terjadi segera setelah lahan gambut dialihfungsikan. Emisi pertama terjadi dari pembukaan (land clearing) lahan gambut diikuti dengan pembakaran lahan. Gas rumah kaca yang paling penting adalah CO2yang berasal dari pembakaran dan proses pelapukan (dekomposisi) bahan organik seperti pohon, akar, daun dan bagian tanaman yang mati (nekromassa). Gas metana juga dihasilkan dari proses anaerob pada lahan gambut. Tanaman secara individu juga menghasilkan gas CO2 sebagai hasil respirasi tanaman (buah, daun, batang dan akar). Akan tetapi tanaman juga berperan sebagai penyerap (perosot, sequestration) dari CO2yang terjadi dalam proses fotosintesis.36

Singkatnya, sektor pertanian di Provinsi Sumatera Utara berpotensi menjadi penyerap dan penyimpan karbon (carbon sink), namun pada saat yang sama juga dapat menjadi salah satu penyumbang karbon (carbon emitter) terbesar. Mana yang akan terjadi tergantung pada kebijakan atau tindakan mitigasi dan adaptasi apa yang akan ditempuh, serta mulai kapan dan seberapa jauh akan dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat. Semakin dini dan cepat tindakan mengurangi emisi dan mengadaptasi perubahan iklim, semakin kecil potensi dampak dan korban yang terkena, dan semakin besar potensi sektor pertanian Provinsi Sumatera Utara berfungsi sebagai carbon sink.

Dari fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk membahas tentang kebijakan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera

(38)

Utara dalam rangka aksi mitigasi dan adapatasi terhadap perubahan iklim pada sektor pertanian.

1.2 Rumusan Masalah

Perubahan iklim merupakan tantangan multidimensi paling serius, kompleks, dan dilematis yang dihadapi umat manusia pada awal abad ke-21, bahkan mungkin hingga abad ke-22. Tantangan perubahan iklim dan pemanasan global terjalin erat dengan perilaku dan gaya hidup manusia, keputusan politik, pola pembangunan, pilihan teknologi, kondisi sosial ekonomi, juga kesepakatan internasional. Dampak negatifnya cepat meluas dari tingkat global hingga ke tingkat lokal yang terpencil sekalipun. Kesadaran akan gentingnya situasi iklim itulah yang mengantar sebagian besar pemimpin dunia untuk menandatangani Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).

Indonesia, sebagai salah satu negara penandatangan konvensi perubahan iklim tersebut, telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% dari skenario pembangunan Business as Usual (BAU) pada tahun 2020 dengan dana sendiri tanpa mengorbankan pembangunan di sektor lain, atau 41% jika mendapatkan bantuan internasional. Secara sukarela Indonesia melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pembangunan nasional dan sekaligus berkontribusi terhadap penurunan emisi gas yang menjadi penyebab pemanasan global dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang

(39)

RAN-GRK, serta ditindaklanjut Provinsi Sumatera Utara dengan menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2012 tentang RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2020.

Provinsi Sumatera Utara sendiri saat ini berada di urutan teratas sebagai provinsi penghasil emisi tertinggi di Indonesia. Provinsi Sumatera Utara juga memiliki indeks kerentanan terhadap perubahan iklim yang cukup besar. Bidang pertanian secara umum merupakan bidang yang secara significant akan terkena dampak perubahan iklim di Provinsi Sumatera Utara. Namun, di sisi lain, bidang pertanian juga menghasilkan emisi gas rumah kaca. Emisi kumulatif gas rumah kaca di bidang pertanian apabila tanpa dilakukan rencana aksi (BAU) diperkirakan sebesar 117 juta ton CO2e. Oleh karena itu, untuk mendukung pemenuhan target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 26% atau 41% hingga tahun 2020, diperlukan beberapa kebijakan di bidang pertanian untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Kondisi di atas membuat upaya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam menjalankan rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca pada sektor pertanian menjadi hal yang menarik untuk ditelaah. Berdasarkan uraian ini, maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Bagaimana implementasi RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara pada sektor pertanian dalam kaitannya mewujudkan komitmen nasional terkait perubahan iklim?”

(40)

1.3 Pembatasan Masalah

Meskipun isu-isu yang berhubungan dengan perubahan iklim sangat banyak dan kompleks, bukan hanya di tataran nasional namun juga regional, bahkan global, namun penelitian ini hanya berfokus pada upaya Provinsi Sumatera Utara menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sektor pertanian.

Oleh sebab itu, batasan penelitian berfokus pada upaya mencari jawaban:

1. Kebijakan-kebijakan apa saja yang telah diatur Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada sektor pertanian terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca?

2. Bagaimana implementasi kebijakan-kebijakan yang telah diatur Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada sektor pertanian terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat proses internalisasi Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) ke dalam Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) di Provinsi Sumatera Utara;

2. Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan apa saja yang telah diatur Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada sektor pertanian terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca;

(41)

3. Untuk melihat bagaimana implementasi kebijakan-kebijakan yang telah diatur Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada sektor pertanian terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca;

4. Untuk mengetahui apakah kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca di Provinsi Sumatera Utara telah selaras dengan prioritas pembangunan daerah.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan salah satu kajian Ilmu Politik yang membahas tentang tantangan-tantangan yang dihadapi pemerintah daerah di Indonesia dalam melaksanakan amanat nasional terkait perubahan iklim, khususnya di Provinsi Sumatera Utara, sehingga dapat memberi kontribusi dalam literatur Ilmu Politik dalam bentuk kajian politik lingkungan dan studi kebijakan publik. Hasil penelitian ini juga dapat memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam Ilmu Politik, serta menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

2. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi media informasi bagi pemerintah dan masyarakat mengenai tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan kebijakan terkait perubahan iklim di tingkat lokal di Indonesia serta dapat menjadi bahan kajian akademis sebagai pembelajaran politik lingkungan.

3. Bagi peneliti, penelitian ini bukan semata demi pemenuhan tugas akhir

(42)

dalam masa perkuliahan, tetapi juga sebagai sarana mengasah kemampuan analisis dan pengaplikasian ilmu yang telah diperoleh semasa kuliah.

1.6 Kerangka Teori

Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, definisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antarkonsep.37 Dalam suatu tulisan ilmiah, kehadiran kerangka teori merupakan bagian yang sangat penting karena di dalam kerangka teori akan dimuat teori-teori yang relevan dalam menjelaskan permasalahan yang sedang diteliti. Kerangka teori ini sebagai landasan berpikir atau titik tolak dalam penelitian. Berikut peneliti sajikan kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang akan menggambarkan dari sudat mana masalah penelitian ini ditelaah.

1.6.1 Politik Lingkungan

Dalam mendiskusikan lingkungan hidup, kita perlu mengetahui apa itu pengertian lingkungan hidup. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengertian lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

(43)

Sekalipun gerakan lingkungan telah ada sejak masa lalu, namun para pengamat sepakat bahwa gerakan lingkungan mulai berkembang pesat sejak akhir tahun 1950-an, dengan indikator meningkatnya perhatian publik dan aktivis lingkungan. Gerakan ini ditandai dengan munculnya kelompok pemerhati lingkungan di Amerika Serikat dan Inggris yang dikenal dengan “Green Party”.

Gerakan lingkungan pada era ini tentu saja berbeda dengan gerakan lingkungan di abad 19. Gerakan lingkungan dalam periode ini memiliki karakteristik yang khas, yakni tampil dalam bentuk gerakan massa dan mengedepankan interdependensi antarmasalah lingkungan, ketimbang gerakan berisu tunggal.38

Perkembangan yang demikian agaknya bersesuaian dengan tingkat krisis lingkungan yang semakin akut. Para pengamat membagi perkembangan krisis lingkungan ke dalam dua periode, yakni krisis lingkungan pertama dan krisis lingkungan kedua. Periode krisis lingkungan pertama dipicu oleh publikasi buku Silent Springs, yang ditulis oleh Rachel Carson pada tahun 1962. Carson mengkritik produksi dan penggunaan pestisida (DDT) secara berlebihan di Amerika Serikat. Dengan merujuk pada derita yang dialaminya sendiri, ia menyimpulkan bahwa penggunaan DDT telah menimbulkan dampak sampingan, seperti kanker. Buku Carson ini telah merangsang dinamika kelompok-kelompok lingkungan yang sebelumnya tidak diperhatikan kehadirannya, dan membangkitkan semangat kelompok-kelompok konversi tradisional dan juga kelompok lainnya yang sebelumnya tidak pernah memerhatikan lingkungan.

(44)

Gerakan lingkungan yang aktif, vokal, merakyat, dan berpengaruh dapat dikatakan tidak ada, sebelum penerbitan buku Carson ini. Fokus tindakan sosial dan tekanan politik yang diberikan dalam periode krisis lingkungan pertama ini lebih dilihat pada kondisi individual, seperti polusi air sungai yang disebabkan oleh limbah industri. Kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi krisis masih ditempatkan dalam skala nasional. Jika ditempatkan pada skala internasional hanya bersifat sebagai replikasi dari suatu kebijakan pada level nasional di suatu negara yang ditiru oleh negara lain.39

Berbeda dengan krisis lingkungan pertama, pada periode krisis lingkungan kedua, baik akar penyebab maupun kebijakan diambil berskala global. Menurut Homer-Dixon, penyebab krisis lingkungan tersebut mencakup enam sumber, yaitu perubahan iklim yang disebabkan oleh efek rumah kaca, penipisan ozon, degradasi dan hilangnya tanah pertanian yang subur, penggundulan hutan, pengurangan dan polusi suplai air bersih, dan penipisan daerah penangkapan ikan.

Keenam sumber perubahan lingkungan tersebut disertai dengan pertumbuhan penduduk dan distribusi sumber daya yang tidak merata telah melahirkan kelangkaan lingkungan (environmental scarcity).40

Ada beberapa ilmuwan yang memberikan definisi berbeda tentang politik lingkungan (ecology politic), diantaranya adalah Gary Peterson, Blaikie dan Brookfield, dan Rocheleau.41 Menurut Peterson, politik lingkungan adalah

39 Ibid.

40 Ibid. Hal. 141.

41 Herman Hidayat. 2005. Politik Lingkungan Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta:

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Faktor manusia sebagai pengemudi merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan. Hampir semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu lalu

yakni apabila melodi ngajak pada awalnya hanya dimaikan oleh piol dengan tidak terikat dengan tempo, pada tahap nutup, ayunan atau melodinya dimainkan secara

Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Yang Diselenggarakan Oleh Pemerintah (Berita

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa daun gedi dapat dimanfaatkan sebagai zat aditif pada ayam broiler dan pemberian

manusia merupakan manivestasi dari kehendak Tuhan, sehingga dalam pandangannya mengenai pendidikan Islam bahwa proses pendidikan tidak begitu berpengaruh sebab

Gambar diatas merupakan diagram konteks dari Sistem Pembukaan Kelas, dimana pada diagram konteks ini terdapat 2 entitas yaitu Admin/Kaprodi dan User /Akademik. Entitas Admin/Kaprodi

Selama perawatan di RS Santo Borromeus Muhammad Gumilar tidak ada kemajuan yang lebih baik, maka dari itu pihak keluarga mecoba pengobatan alternatif herbal,

pembekuan dengan membandingkan persentase Longivitas atau daya tahan hidup adalah sperma motil pada semen segar dengan pasca kemampuan spermatozoa bertahan pada