ANALISIS FK BEAMFORMING UNTUK PENENTUAN ARAH BACK AZIMUTH GEMPA DI STASIUN SEISMIK RDE
Yuni Indrawati1, Yuliastuti1, Rian Amukti2
1 PKSEN BATAN, Jl. Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 12710
2 Universitas Islam Bandung, Jl. Taman Sari No 1, Bandung Wetan, Bandung, 40116 email: [email protected]
ABSTRAK
ANALISIS FK BEAMFORMING UNTUK PENENTUAN ARAH BACK AZIMUTH GEMPA DI STASIUN SEISMIK RDE. Penentuan lokasi episenter gempa yang tepat membuat interpretasi aspek kegempaan tapak calon reaktor nuklir menjadi akurat. Parameter-parameter dasar dalam metode penentuan lokasi gempa umumnya masih mempunyai tingkat kesalahan cukup tinggi. Pemilihan parameter dasar yang keliru akan menyebabkan penentuan lokasi episenter tidak akurat. Adanya cross-check menggunakan metode lain perlu dilakukan untuk memastikan parameter yang digunakan adalah benar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui arah back azimuth penjalaran gelombang seismik yang terekam di stasiun seismik RDE sehingga dapat digunakan untuk membantu dalam penentuan lokasi episenter gempa. Metode beamforming dapat digunakan untuk melihat back azimuth dan slowness yang bergantung pada penjalaran gelombang seismik yang datang. Besar dan konfigurasi array serta teknik beamforming sangat menentukan keakurasian hasil yang diperoleh.
Korelasi antara analisis beamforming dengan metode konvensional penentuan lokasi gempa membuat informasi episenter yang diperoleh semakin akurat. Penelitian ini menggunakan teknik beamforming dengan analisis frequency-wavenumber (fk) diaplikasikan untuk mengetahui arah gempa tanggal 23 Januari 2018 dari stasiun seismik RDE. Data rekaman merupakan data komponen vertikal seismometer dari empat stasiun RDE dengan konfigurasi triangular array. Analisis fk beamforming dilakukan dengan menggunakan Obspy.
Pemrosesan menggunakan input parameter yang berbeda dilakukan untuk melihat konsistensi dari hasil. Hasil analisis pemrosesan pertama menunjukkan arah back azimuth antara 2100 β 2250 dengan besar slowness berkisar 2,6 s/deg hingga 2,7 s/deg. Hasil analisis pemrosesan kedua menunjukkan arah back azimuth antara 2220 β 2340 dengan besar slowness berkisar 2,4 s/deg hingga 2,56 s/deg.
Kata kunci: Analisis fk, Beamforming, Back Azimuth, RDE ABSTRACT
BEAMFORMING FK ANALYSIS FOR DETERMINING THE DIRECTION OF EARTHQUAKE BACK AZIMUTH IN RDE SEISMIC STATIONS. Determining the exact location of earthquake epicenter makes the interpretation of seismic aspects of the prospective nuclear reactor site more accurate. The basic parameters in the method of determining the location of the earthquake still have a high enough error level. Incorrect basic selection parameters will cause inaccurate epicenter location determination. Cross-check using other methods is required to ensure the correct parameter. The purpose of this study is to determine the direction of seismic wave propagation back azimuth which is recorded in RDE seismic stations that can be used to assist in determining the location of earthquake epicenter. The beamforming method can be used to see the azimuth and slowness which are dependent on the seismic wave propagation. Seismic stations size and configurations of array and beamforming techniques greatly determine the accuracy of the results. The correlation between beamforming analysis and conventional methods creates accurate epicenter information. This study uses beamforming technique with analysis of frequency wave numbers (fk) to determine the direction of the earthquake occurred on Januari 23 2018 from RDE station. Recorded data is vertical seismometer component data from four RDE seismic stations with a triangular array configuration. Fk beamforming analysis is done using Obspy. The processing using different input parameters were done to see the consistency of the results. The results of the first processing show that the back azimuth direction between 2100 - 2250with slowness ranges
from 2.6 s/deg to 2.7 s/deg. The results of the second processing show that the back azimuth direction between 2220 - 2340 with slowness ranges from 2.4 s/deg to 2.56 s/deg.
Keyword: fk analysis, beamforming, Back Azimuth, RDE PENDAHULUAN
Berdasarkan Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 8 tahun 2013 tentang aspek kegempaan [1] bahwa dalam mengevaluasi bahaya kegempaan terhadap tapak instalasi nuklir dan wilayah sekitarnya maka diperlukan pengumpulan informasi dan investigasi kegempaan. Rencana pembangunan Reaktor Daya Eksperimental (RDE) di Kawasan Puspiptek Serpong memerlukan kajian kegempaan yang akurat dan komprehensif. Di wilayah sekitar Serpong terdapat tiga patahan aktif yaitu sesar Cimandiri, sesar Lembang, dan sesar Baribis [2]. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah ini merupakan daerah seismotektonik yang cukup komplek. Meskipun hasil identifikasi potensi patahan di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada patahan kapabel dan bukti patahan permukaan di sekitar tapak RDE dalam radius 5km [3] dan kondisi tektonik yang relative stabil (< 0,005 mikrostrain) [4], aktivitas kegempaan di area RDE perlu dipantau untuk menjamin keselamatan RDE.
Penentuan lokasi episenter gempa yang tepat membuat interpretasi aspek kegempaan tapak menjadi akurat. Selama ini penentuan lokasi gempa menggunakan metode konvensional dengan beberapa parameter dasar yang masih mempu nyai kemungkinan kesalahan cukup tinggi. Umumnya asumsi model kecepatan umum digunakan sebagai parameter dasar dalam analisis penentuan lokasi gempa. Bagaimanapun setiap tempat mempunyai keadaan geologi bawah permukaan yang berbeda sehingga model kecepatannya pun berbeda. Jika jarak sumber gempa jauh maka akan memberikan variasi kecepatan gelombang seismik yang tidak tepat sehingga posisi hiposenter menjadi tidak akurat hingga puluhan kilometer. Adanya cross-check menggunakan metode lain perlu dilakukan untuk memastikan parameter dasar yang digunakan adalah benar. Pengetahuan mengenai arah datang gelombang gempa dapat membatasi interpretasi mengenai penentuan lokasi gempa.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui arah datang gelombang seisimik gempa adalah metode beamforming. Metode beamforming menggunakan konfigurasi array untuk meningkatkan sensitivitasnya dalam deteksi sumber gempa. Metode ini menekan noise sehingga meningkatkan signal to noise ratio (SNR) dengan cara menjumlahkan sinyal yang koheren dari array. Prinsip beamforming untuk berbagai nilai slowness direpresentasikan dengan menggunakan analisis fk.
Metode beamforming telah diaplikasikan pada data rekaman stasiun array Grafeberg (GRF) dengan sumber gempa di daerah Danau Tanganyika, Tanzania [5]. Hasil yang diperoleh menunjukkan tidak ada sinyal yang terdistorsi dengan metode beamforming delay and sum. Penjumlahan biasa menghasilkan amplitudo kecil dengan bentuk gelombang terdistorsi sedangkan penjumlahan dengan menggeser trace menghasilkan bentuk gelombang dengan amplitudo tinggi yang lebih jelas.
Dengan mengaplikasikan metode beamforming pada calon tapak reaktor nuklir maka akan membantu dalam mengurangi kesalahan dalam penentuan lokasi sumber gempa.
Adanya penilaian aspek kegempaan perlu dilakukan untuk memastikan calon tapak RDE aman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui arah back azimuth penjalaran gelombang seismik yang terekam di stasiun seismometer RDE sehingga dapat digunakan untuk membantu dalam penentuan lokasi episenter gempa. Selain itu, untuk mendapatkan nilai back azimuth yang akurat pemrosesan diulangi dengan menggunakan input parameter yang berbeda untuk melihat konsistensi arah back azimuth gempa di stasiun seismik RDE.
METODE FK BEAMFORMING
Gelombang seismik yang datang menjalar melalui medium dapat diidentifikasi dengan menggunakan parameter sudut insiden (i) dan back azimuth (ΞΈ). Sudut insiden merupakan sudut vertikal antara stasiun dengan sumber gempa, sedangkan back azimuth merupakan sudut dari stasiun ke episenter gempa dari arah utara searah jarum jam. Umumnya parameter yang digunakan dalam penjalaran gelombang bukan sudut insiden melainkan slowness (u).
Dengan mengetahui besar sudut insiden dan kecepatan medium bawah permukaan vo, nilai horizontal slowness dapat diketahui.
π’π’ = 1
π£π£
ππππππ= sin ππ
π£π£
0 (1)Kombinasi antara horizontal slowness dan back azimuth akan menghasilkan vektor slowness yang merupakan arah dari perambatan gelombang yang didefinisikan sebagai
π’π’ = 1
π£π£
0(sin ππ sin ππ, sin ππ cos ππ)
(2)Informasi arah back azimuth dan slowness penting untuk menentukan fase gelombang seismik, membedakan antara gelombang yang mempunyai origin time berbeda atau gelombang dari sumber gempa yang berbeda, dan meningkatkan rasio SNR dengan cara stacking berdasarkan variasi fase slowness [5].
Data seismik yang terekam dalam suatu stasiun masih mengandung derau yang dapat membuat kesalahan dalam interpretasi. Reduksi derau dilakukan untuk mendapatkan hasil yang dapat dipercaya. Penggunaan teknik array dapat meningkatkan SNR dengan cara mengekstrak bagian koheren dalam sinyal yang datang, sehingga bagian yang tidak koheren atau noise dapat diminimalkan. Teknik array mengasumsikan bahwa kedatangan gelombang yang datang ke dalam array berupa plane wave. Asumsi ini berlaku jika sumber gempa mempunyai jarak yang jauh dari array. Sketsa kedatangan gelombang seismik dari sumber menuju stasiun array dapat ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 1. Bidang vertikal muka gelombang insiden yang melewati array pada sudut insiden (a) Sketsa bidang horisontal kedatangan gelombang bidang insiden dengan back azimuth (b) [5]
Salah satu teknik array yang dapat digunakan untuk memisahkan sinyal koheren dengan noise dari sinyal yang terekam adalah metode beamforming. Teknik dari metode ini adalah delay and sum [5, 6]. Masing-masing stasiun dalam array akan mempunyai waktu tiba gelombang yang berbeda (delay time) karena perbedaan nilai slowness dan back azimuth serta jarak antara stasiun dengan pusat array [5]. Perhitungan delay time dilakukan di setiap stasiun untuk proses array beam. Delay time dapat bernilai positif maupun negatif bergantung pada posisi relatif stasiun yang dihitung terhadap stasiun acuan dalam array. Beam array sebanyak M dengan data seismik di stasiun i pada waktu t akan menghasilkan sinyal yang sejajar setelah digeser dan trace seismik yang dijumlahkan akan menghasilkan noise yang inkoheren, maka hasil beam dapat dapat didefinisikan seperti pada persamaan 3.
ππ(π‘π‘) = π π (π‘π‘) + 1 ππ οΏ½ ππ
ππππ ππ=1
(π‘π‘ + ππ
ππ)
(3)Metode beamforming membuat semua stasiun dalam array menangkap sinyal dalam kecepatan dan azimuth beresolusi tinggi dibanding cross corelation antar pasangan stasiun dan analisis polarisasi [7]. Besar dan konfigurasi array serta teknik beamforming sangat menentukan keakurasian hasil yang diperoleh. Semakin banyak stasiun seismometer yang digunakan maka kecepatan fase yang diperoleh makin akurat [8]. Korelasi antara analisis beamforming dengan metode konvensional penentuan lokasi gempa membuat informasi episenter yang diperoleh semakin akurat.
Salah satu metode analisis yang menggunakan dasar beamforming adalah analisis fk.Pengaplikasian beamforming menggunakan pendekatan fk lebih mudah dalam menangani noise spasial [6]. Analisis fk dapat dilakukan dengan panjang data dalam hitungan detik karena waktu window yang panjang akan mengandung beberapa vektor slowness yang dapat menyebabkan ambiguitas dalam melakukan interpretasi [5]. Slowness dalam fk dikalkulasikan dengan Persamaan 4.
|
ππ
|=
οΏ½ππ
π₯π₯2+ ππ
π¦π¦2οΏ½1 2β= 2ππ π’π’
π π= ππ
π£π£
π π (4)Sedangkan back azimuth dapat dihitung melalui Persamaan 5.
ππ = π‘π‘π‘π‘ππ
β1οΏ½ππ
π₯π₯β οΏ½ ππ
π¦π¦ (5)Hasil dari analisis fk adalah energi total yang terekam di array. Metode ini mencari energi tertinggi dari slowness dan back azimuth hasil korelasi antara model sintetik dan model observasi. Besar energi dalam fk digambarkan dalam sistem koordinat polar yang disebut dengan diagram fk. Back azimuth ditunjukkan dalam sumbu azimuthal dan slowness ditunjukkan dalam sumbu radial.
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan teknik beamforming dengan analisis frequency wavenumber (fk) yang terbatas untuk sumber gempa yang kuat. Analisis fk beamforming diaplikasikan untuk mengetahui arah gempa tanggal 23 Januari 2018 dari stasiun seismometer RDE. Stasiun yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 4 stasiun dengan konfigurasi mendekati triangular array. Input data berupa rekaman komponen vertikal seismometer yang menunjukkan sinyal gempa yang kuat. Persebaran stasiun seismik RDE dan raw data yang digunakan ditunjukkan pada gambar 1. Informasi stasiun seismometer mengenai koordinat dan jenis alat yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 1. Masing-masing seismometer yang digunakan mempunyai spesifikasi yang berbeda termasuk banyaknya sampling yang digunakan. Sebelum melakukan pengolahan perlu dilakukan resampling untuk menyamakan sampling frequency.
Gambar 2. Persebaran 4 stasiun RDE dengan konfigurasi triangular array (kiri) dan raw data keempat stasiun RDE pada tanggal 23 Januari 2018 pukul 06.34.45 UTC β 06.38.00 UTC.
Tabel 1. Stasiun seismometer dalam konfigurasi array seismometer RDE No Nama Stasiun Lintang (0) Bujur (0) Jenis Alat
1 RDE 2 6,36 LS 106,66 BT Geosig SP
2 LGK 6,32 LS 106,53 BT Quantera
3 PAIR 6,29 LS 106,77 BT Quantera
4 PRG 6,45 LS 106,77 BT Quantera
Analisis fk beamforming dilakukan dengan menggunakan Obspy. Analisis fk beamforming menggunakan script Python yang diaplikasikan pada data peledakan pencakar langit AGFA di Munich [9]. Koreksi instrumen diaplikasikan pada pemrosesan untuk melihat hasil analisis yang telah memasukkan faktor alat. Input parameter yang digunakan berupa sensitivitas, pole, zero, dan gain dari alat serta informasi posisi stasiun berupa lintang, bujur, dan elevasi.
Tahapan kegiatan meliputi pencarian data gempa kuat. Pemotongan dan penapisan pada event gempa diperlukan untuk mengurangi noise dan mendapatkan sinyal gempa yang jelas. Beberapa parameter yang ditentukan adalah input maksimal slowness, jumlah grid slowness, jumlah fraksi dalam plot diagram, windowing, filter, waktu mulai dan waktu akhir.
Pengolahan dilakukan sebanyak dua kali untuk melihat konsistensi back azimuth yang diperoleh dengan mengubah beberapa parameter. Pengolahan pertama menggunakan parameter awal yaitu input slowness sebanyak 3, slowness grid 30, jumlah fraksi 24,
windowing 2, filter yang digunakan yaituband pass dari 2 Hz hingga 7 Hz, waktu mulai pada pukul 06.35.10 UTC dan waktu akhir sinyal 06.35.50 UTC. Pengolahan kedua menggunakan parameter awal yaitu input slowness sebanyak 4, grid slowness 25, jumlah fraksi 30, windowing 10, filter yang digunakan yaitu band pass dari 2 Hz hingga 8 Hz, waktu mulai pada pukul 06.34.30 UTC dan waktu akhir sinyal 06.38.00 UTC. Hasil pengolahan dari kedua parameter yang berbeda tersebut dilakukan analisis untuk melihat konsistensi hasil yang diperoleh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengolahan data gempa tanggal 23 Januari 2018 dilakukan dengan dua parameter input yang berbeda untuk melihat konsistensi arah back azimuth. Penapisan dilakukan pertama kali untuk menghasilkan data yang digunakan untuk pemrosesan. Kedua pengolahan menggunakan tapis band pass dengan besar maksimum tapis yang berbeda. Pengolahan pertama menggunakan penapisan minimal 1 Hz dan maksimal 7 Hz, sedangkan pada pengolahan kedua minimal 2 Hz maksimal 8 Hz. Hasil penapisan yang dilakukan ditunjukkan pada gambar 3. Terlihat bahwa waktu kedatangan gempa di setiap stasiun terlihat lebih jelas.
a. Tapis band pass 2-7Hz b. Tapis band pass 2-8Hz
Gambar 3. Data rekaman yang telah mengalami penapisan sehingga sinyal gempa semakin jelas.
Data yang telah ditapis menunjukkan sinyal gempa yang lebih jelas sehingga mempermudah dalam melakukan analisis. Pemrosesan menggunakan masing-masing tapisan ditunjukkan dengan diagram fk (Gambar 4). Diagram tersebut menunjukkan keberadaan sebaran besar energi dalam tingkatan warna. Warna kuning menunjukkan energi yang paling besar. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat variasi warna di kedua hasil yang diperoleh. Variasi warna pada diagram fk dan adanya perbedaan nilai pada slowness dapat disebabkan oleh jarak gempa yang tidak terlalu jauh dari pusat array seismometer RDE. Hal ini menyebabkan asumsi plane wave kurang terpenuhi. Selain itu, array yang digunakan hanya berjumlah 4 stasiun sehingga masih adanya noise yang terjumlah koheren menghasilkan variasi warna di beberapa arah meskipun energinya tidak sebesar energi dari sinyal gempa yang diproses. Sinyal non gempa tersebut terjumlah koheren di 4 stasiun sehingga SNR yang dihasilkan cukup rendah. Semakin banyak jumlah stasiun seismometer dalam aray semakin banyak noise yang dapat diidentifikasi sehingga hasil yang diperoleh lebih baik.
Pada pemrosesan pertama variasi warna lebih banyak dibandingkan pemrosesan kedua. Hal ini dapat terjadi karena input parameter yang digunakan pada pemrosesan kedua mempunyai SNR yang lebih tinggi dibanding input parameter pemrosesan pertama. Nilai back azimuth pada pemrosesan pertama berada pada sudut antara 2100 β 2250dengan besar slowness berkisar 2,6 s/deg hingga 2,7 s/deg. Nilai back azimuth pada pemrosesan kedua sebesar2220 β 2340 dengan nilai slowness berkisar 2,4 s/deg hingga 2,56 s/deg.
.
a. Pemrosesan pertama b. Pemrosesan kedua
Gambar 4. Diagram fk hasil analisis fk beamforming pada event 23 Januari 2018
Kedua diagram fk menunjukkan nilai back azimuth dan slowness yang hampir sama.
Arah back azimuth kedua diagram menunjukkan bahwa posisi gempa yang berada di sebelah Barat Daya stasiun seismik RDE. Hasil yang diperoleh dikorelasikan dengan hasil penentuan lokasi gempa yang dilakukan oleh BMKG [10] dan Pemantauan Kegempaan RDE bulan Januari oleh Batan. BMKG menunjukkan pada tanggal 23 Januari 2018 pukul 06.34.54 UTC terjadi gempa dengan koordinat 7,13 LS dan 106,04 BT dan penentuan lokasi gempa oleh BATAN pada bulan Januari menunjukkan adanya gempa pada tanggal 23 Januari 2018 pukul 06.34.56 UTC dengan koordinat 7 LS dan 106,1 BT. Hasil penentuan lokasi gempa BMKG dan BATAN di plot dalam peta untuk menunjukkan perbandingan hasil yang diperoleh (gambar 5).
Gambar 5. Plot lokasi episenter gempa hasil analisis BMKG dan BATAN
Jumlah stasiun array RDE dapat digunakan untuk mengetahui arah back azimuth sumber gempa. Meskipun ada perbedaan dalam parameter input yang digunakan pada kedua pemrosesan, hasil yang diperoleh hampir sama. Selain itu arah yang diperoleh sesuai dengan hasil penentuan lokasi gempa BMKG dan BATAN. Hasil penentuan lokasi gempa BMKG dan BATAN menunjukkan bahwa episenter gempa BMKG dan BATAN berada di sekitar range back azimuth hasil dari kedua pemrosesan analisis fk beamforming.
KESIMPULAN
Analisis fk beamforming pada dua pemrosesan dengan menggunakan parameter input yang berbeda yaitu rentang tapisan, jumlah fraksi, windowing, waktu mulai, dan waktu akhir masing-masing menghasilkan nilai back azimuth dan slowness yang hampir sama. Variasi warna yang menunjukkan pesebaran energi pada pemrosesan kedua lebih sedikit dibandingkan pemrosesan pertama. Hal ini dikarenakan SNR yang dihasilkan pada pemrosesan kedua lebih besar dikarenakan pemilihan input parameter yang lebih baik.
Penggunaan input parameter yang tepat dapat meningkatkan SNR. Perbedaan nilai slowness disebabkan oleh asumsi plane wave kurang terpenuhi dan jumlah stasiun hanya 4 buah sehingga tidak semua noise terjumlah inkoheren. Meskipun menggunakan input parameter yang berbeda arah back azimuth kedua pemrosesan hampir sama dan sesuai dengan hasil penentuan lokasi gempa yang dilakukan oleh BMKG dan BATAN. Jadi dari analisis fk beamforming, stasiun RDE dapat digunakan untuk penentuan back azimuth gempa dengan syarat asumsi plane wave terpenuhi untuk mendapatkan nilai back azimuth dan slowness yang tepat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir dan Kepala Bidang Kajian Data Tapak yang telah mendukung kegiatan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
[1] βPERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG EVALUASI TAPAK INSTALASI NUKLIR UNTUK ASPEK
KEGEMPAAN,β Jakarta, 2013.
[2] I. Meilano, H. Andreas, H. Z. Abidin dan D. Sarsito, βSlip Rate Estimation of the Lembang fault West Java from Geodetic Observation,β Journal of Disaster Research, vol. 7, no. 1, pp. 12-18, 2012.
[3] H. Suntoko dan Supartoyo, βKonfirmasi Patahan Permukaan Awal Berdasarkan Data Geologi dan Data Gempa Daerah Kawasan Puspiptek Serpong,β Jurnal
Pengembangan Energi Nuklir, vol. 18, no. 1, pp. 1-10, 2016.
[4] H. Suntoko dan Sriyana, βIdentifikasi Patahan Menggunakan Analisis Data Deformasi Tanah di Tapak RDE Serpong,β Eksplorium, vol. 38, no. 2, pp. 99-108, 2017.
[5] S. Rost dan C. Thomas, βARRAY SEISMOLOGY: METHODS AND APPLICATIONS,β
Reviews of Geophysics, vol. 40, no. 3, pp. 2-1 - 2-27, 2012.
[6] M. J. Hinich, βFrequency-wavenumber array processing,β The Journal of the Acoustical Society of America, vol. 69, no. 3, pp. 732-737, 1981.
[7] M. Gal, βSeismic array analysis of ocean induced microseism,β PhD Thesis University if Tasmania, 2016.
[8] N. N. Ismail, S. H. Joh dan R. H. M. R. Ahmad, βBeamforming Technique for
Investigation of Lateral Variability at Geotechnical Sites,β Sains Malaysiana, vol. 41, no.
12, pp. 1621-1627, 2012.
[9] O. D. Team, βObsPy,β [Online]. Available:
https://docs.obspy.org/tutorial/code_snippets/beamforming_fk_analysis.html. [Diakses 11 Oktober 2018].
[10] BMKG, βIndonesia Tsunami Early Warning System,β Badan Meteorologi dan
Klimatologi Geofisika, [Online]. Available: https://inatews.bmkg.go.id/new/. [Diakses 19 Oktober 2018].
DISKUSI/TANYA JAWAB 1. PERTANYAAN :
Dengan analisis ini seberapa besar peningkatan keakuratan penentuan lokasi gempa?
JAWABAN :
Peningkatan akurasi besar tetapi tidak dapat diketahui nilai pasti. Untuk besaran kuantitas besarnya tergantung pada besar dan konfigurasi array, input parameter, serta jarak gempa dengan array stasiun. Besarnya akurasi dikarenakan analisis ini meningkatkan Signal to Noise Ratio (SNR) sehingga data yang digunakan sebagai pengolahan berisi sinyal gempa dengan minim noise. Tingkat keakurasian besar asalkan kriteria dan syarat terpenuhi yaitu gelombang gempa berupa plane wave dan input parameter yang digunakan benar.
2. PERTANYAAN :
Bagaimana cara mengetahui suatu gempa merupakan plane wave?
JAWABAN :
Asumsi plane wave didapatkan jika sumber gempa relatif jauh dari jarak antar stasiun dalam array.