• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PROSES PENGERINGAN KEMOREAKSI JAHE DENGAN KAPUR API (CaO) SKRIPSI OLEH: BALMER SIALLAGAN /THP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PROSES PENGERINGAN KEMOREAKSI JAHE DENGAN KAPUR API (CaO) SKRIPSI OLEH: BALMER SIALLAGAN /THP"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PROSES PENGERINGAN KEMOREAKSI JAHE

DENGAN KAPUR API (CaO)

SKRIPSI

OLEH:

BALMER SIALLAGAN

030305036/THP

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009

(2)

KAJIAN PROSES PENGERINGAN KEMOREAKSI JAHE

DENGAN KAPUR API (CaO)

SKRIPSI

OLEH:

BALMER SIALLAGAN 030305036/THP

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Elisa Julianti, MSi Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, M.App.Sc. Ketua Anggota

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009

(3)

ABSTRACT

A STUDY ON THE DRYING PROCESS OF GINGER USING CHEMOREACTION BY QUICKLIME (CaO)

A research was conducted to know the effect of ginger thickness and weight ratio of quicklime (CaO) and ginger on drying process of ginger using chemoreaction. The research was performed using factorial completely randomized design (CRD) with two factors i.e : ginger thickness (T) : (2, 4, 6, and 8 mm) and weight ratio of quicklime (CaO) and ginger (K) : (2:1, 3:1, 4:1, and 5:1). The parameters analysed were water content, volatile oil content, and organoleptic value of colour.

The result indicated that ginger thickness had a highly significant different effect on all parameters. The ratio of quicklime (CaO) and ginger had a highly significant different effect on all parameters. The interaction of ginger thickness and weight ratio of quicklime (CaO) and ginger had a highly significant different effect on water content and organoleptic value of colour and insignificant effect on volatile oil. The ginger of 6 mm thickness and weight ratio of quicklime (CaO) and ginger 4:1, produced the best dried of ginger and more acceptable quality. Keywords : Ginger, Drying, Chemoreaction, CaO.

ABSTRAK

KAJIAN PROSES PENGERINGAN KEMOREAKSI JAHE DENGAN KAPUR API (CaO)

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ketebalan jahe dan perbandingan berat kapur api(CaO) dengan jahe terhadap proses pengeringan kemoreaksi jahe. Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor, yakni ketebalan jahe (T) : (2, 4, 6 dan 8 mm) dan perbandingan berat kapur api(CaO) dengan jahe (K) : (2:1, 3:1, 4:1, dan 5:1). Parameter yang dianalisa analisa adalah kadar air, kadar minyak atsiri, dan nilai organoleptik warna.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan jahe berpengaruh berbeda sangat nyata terhadap semua parameter. Perbandingan berat kapur api (CaO) dengan jahe berpengaruh berbeda sangat nyata terhadap semua parameter. Interaksi ketebalan jahe dan perbandingan berat kapur api (CaO) dengan jahe berpengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air dan organoleptik warna dan berpengaruh berbeda tidak nyata terhadap kadar minyak atsiri. Ketebalan jahe 6 mm dan perbandingan berat kapur api (CaO) dengan jahe 4:1 menghasilkan pengeringan jahe terbaik dan lebih dapat diterima.

(4)

RINGKASAN

Balmer Siallagan “Kajian Proses Pengeringan Kemoreaksi Jahe dengan Kapur Api (CaO)” dibimbing oleh Dr. Ir. Elisa Julianti, MSi selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, M.App.Sc selaku anggota komisi pembimbing.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor, yaitu faktor Ketebalan Jahe (T) dan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe (K). Ketebalan jahe (T) terdiri dari 4 taraf, yaitu 2 mm, 4 mm, 6 mm, 8 mm. Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe (K) terdiri atas 4 taraf, yaitu 2:1, 3:1, 4:1, 5:1. Hasil penelitian yang dianalisa secara statistik menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :

Kadar Air (%)

Ketebalan jahe memberi pengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap kadar air jahe yang dihasilkan. Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan T4 (8 mm) sebesar 17.75 % dan terendah pada perlakuan T1 (2 mm) sebesar 12.38 %.

Perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe memberi pengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar air jahe yang dihasilkan. Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan K1 (2:1) sebesar 27.38 % dan terendah pada perlakuan K4 (5:1) sebesar 3.63 %.

Interaksi ketebalan jahe dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berbeda nyata (P<0.01) terhadap kadar air jahe yang dihasilkan. Kadar air tertinggi diperoleh pada interaksi ketebalan jahe 8 mm (T4) dan

(5)

perbandingan banyaknya kapur api (CaO) 2:1 (K1) sebesar 32.50 % dan terendah diperoleh pada interaksi ketebalan jahe 2 mm (T1) dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) 5:1 (K4) T1K4 sebesar 2.50 %.

Kadar Minyak Atsiri (%)

Ketebalan berbeda nyata (P<0.01) terhadap kadar minyak atsiri jahe yang dihasilkan. Kadar minyak atsiri tertinggi diperoleh pada perlakuan T3 (6 mm) sebesar 6.93 % dan terendah pada perlakuan T1 (2 mm) sebesar 4.44 %.

Perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berpengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar minyak atsiri jahe yang dihasilkan. Kadar minyak atsiri tertinggi diperoleh pada perlakuan K2 (3:1) sebesar 6.82 % dan terendah pada perlakuan K4 (5:1) sebesar 4.02 %.

Interaksi ketebalan jahe dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap kadar minyak atsiri jahe yang dihasilkan sehingga uji LSR tidak dilanjutkan. Kadar minyak atsiri tertinggi diperoleh pada interaksi ketebalan jahe 6 mm (T3) dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) 3:1 (K2) sebesar 7.71 % dan terendah diperoleh pada interaksi ketebalan jahe 2 mm (T1) dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) 5:1 (K4) T1K4 sebesar 2.73 %.

Nilai Organoleptik Warna (Numerik)

Ketebalan berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap organoleptik warna jahe yang dihasilkan. Nilai organoleptik warna tertinggi diperoleh pada perlakuan T3 (6 mm) sebesar 3.55 dan terendah pada perlakuan T1 (2 mm) sebesar 3.05.

(6)

Perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap nilai organoleptik warna jahe yang dihasilkan. Nilai organoleptik warna tertinggi diperoleh pada perlakuan K4 (5:1) sebesar 3.56 dan terendah pada perlakuan K1 (2:1) sebesar 3.04.

Interaksi ketebalan jahe dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berbeda nyata (P<0.01) terhadap nilai organoleptik warna jahe yang dihasilkan. Nilai organoleptik warna tertinggi diperoleh pada interaksi ketebalan jahe 6 mm (T3) dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) 4:1 (K3) sebesar 3.80 dan terendah diperoleh pada interaksi ketebalan jahe 2 mm (T1) dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) 2:1 (K1) T1K4 sebesar 2.75.

(7)

RIWAYAT HIDUP

BALMER SIALLAGAN, lahir pada tanggal 25 Juli 1985 di Pematangsiantar. Putra dari pasangan L. Siallagan dan L. br Silitonga, anak ke 2 dari empat besaudara.

Penulis memasuki sekolah dasar (SD) Cinta Rakyat Pematangsiantar, pada tahun 1991, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Bintang Timur Pematangsiantar pada tahun 1997. Pendidikan SMU ditempuh penulis di SMU Budi Mulia Pematangsiantar pada tahun 2000 dan lulus pada tahun 2003. Kemudian penulis mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis telah mengikuti praktek kerja lapangan di Pabrik Kacang Asin Pak Tani di Tanjung Anom. Selama mengikuti kuliah, penulis aktif di keanggotaan IMTHP (Ikatan Mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian) di Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kasih dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini berjudul “Kajian Proses Pengeringan Kemoreaksi Jahe dengan Kapur Api (CaO)” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda L. Siallagan dan Ibunda L. br Silitonga tercinta, yang melimpahkan kasih sayang dan yang telah memberi dukungan moril dan material kepada penulis. Terima kasih kepada kakak dan adekku Marista br Siallagan, Marlina br Siallagan dan Marianti br Siallagan yang telah memotivasi penulis. Terima kasih kepada Dr. Ir. Elisa Julianti, Msi selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, M.App.Sc selaku anggota komisi pembimbing atas arahan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada teman-teman khususnya stambuk 2003 dan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, Februari 2009

(9)

DAFTAR ISI Hal ABSTRACT ... i RINGKASAN ... ii RIWAYAT HIDUP ... v KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 4 Kegunaan Penelitian ... 4 Hipotesa Penelitian ... 4 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Tinjauan Umum Tanaman Jahe ... 5

Pengertian Kapur Api ... 7

Komposisi Kapur Api ... 8

Sifat Fisik dan Kimia Kapur Api ... 8

Potensi Adsorpsi Kapur Api ... 10

Kapur Api sebagai Sumber Panas ... 12

Proses Pengeringan ... 13

Laju Pengeringan ... 16

BAHAN DAN METODA PENELITIAN ... 19

Bahan Penelitian ... 19

Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

Alat Penelitian ... 19

Metoda Penelitian ... 19

Model Rancangan ... 20

Prosedur Penelitian... 21

Pengamatan Dan Pengukuran Data ... 22

Penentuan Kadar Air ... 22

Penentuan Suhu ... 23

Penentuan RH (Relative Humidity) ... 23

(10)

Penentuan Kadar Minyak Atsiri ... 24

Skema Penelitian ... 25

HASIL PEMBAHASAN ... 26

Pengaruh Ketebalan Jahe terhadap Parameter yang Diamati ... 26

Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Parameter yang Diamati ... 26

Kadar Air ... 27

Pengaruh Ketebalan Jahe terhadap Kadar Air ... 27

Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Air ... 28

Pengaruh Kombinasi Ketebalan Jahe dan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Air ... 30

Kadar Minyak Atsiri ... 33

Pengaruh Ketebalan Jahe terhadap Kadar Minyak Atsiri ... 33

Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Minyak Atsiri ... 34

Pengaruh Kombinasi Ketebalan Jahe dan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Minyak Atsiri ... 36

Nilai Organoleptik Warna ... 36

Pengaruh Ketebalan Jahe terhadap Nilai Organoleptik Warna ... 36

Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Nilai Organoleptik Warna ... 38

Pengaruh Kombinasi Ketebalan Jahe dan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Nilai Organoleptik Warna 40

Profil RH dan Suhu Selama Proses Pengeringan Kemoreaksi ... 42

a. RH Selama Proses Pengeringan Kemoreaksi ... 42

b. Suhu Selama Proses Pengeringan Kemoreaksi ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

Kesimpulan ... 44

Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(11)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal 1. Standar Mutu Simplisia Jahe ... 7

2. Komposisi Kimia Kapur Api dari Kajaj dan Kamang Udik, Kabupaten, Pasaman,

Sumatera Barat dan dari Pabrik Kapur Djaya, Ciampea ... 8 3. Sifat Fisik dan Kimia Kalsium, Kapur Api,

Kapur Sirih dan Batu Kapur berdasarkan

Komponen Kimia Murninya ... 9 4. Kelarutan CaO dan Ca(OH)2 di dalam Air ... 9 5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu Produk

Selama Pengeringan ... 14 6. Pengaruh Ketebalan Jahe terhadap Parameter yang Diamati. ... 26 7. Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api(CaO) dengan Jahe

terhadap Parameter yang Diamati ... 26 8. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Ketebalan Jahe (mm) terhadap

Kadar Air (%) ... 27

9. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api

Dengan Jahe Terhadap Kadar Air (%) ... 29 10. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Ketebalan Jahe (mm) dan Perbandingan banyaknya Kapur Api dengan jahe Terhadap Kadar Air (%) ... 31 11. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Ketebalan Jahe(mm) terhadap

Minyak Atsiri (%) ... 33 12. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur

Api Dengan Jahe terhadap Minyak Atsiri (%) ... 35 13. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Ketebalan Jahe (mm) terhadap

Nilai Organoleptik Warna (Numerik) ... 36 14. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur

(12)

15. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Interaksi Ketebalan Jahe (mm) dan Perbandingan Banyaknya Kapur Api dengan Jahe terhadap

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal

1. Kurva Laju Pengeringan ...18

2. Lemari Pengering Kemoreaksi ...22

3. Skema Penelitian ...25

4. Grafik Hubungan Ketebalan Jahe dengan Kadar Air (%) ...28

5. Histogram Hubungan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Air (%) ...29

6. Histogram Hubungan Kombinasi Ketebalan Jahe dan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Air (%) ...32

7. Grafik Hubungan Ketebalan Jahe dengan Minyak Atsiri (%) ...34

8. Histogram Hubungan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Minyak Atsiri ...35

9. Grafik Hubungan Ketebalan Jahe dengan Nilai Organoleptik Warna (Numerik) ...37

10. Histogram Hubungan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Nilai Organoleptik Warna (Numerik) ...39

11. Histogram Hubungan Kombinasi Ketebalan Jahe dan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Nilai Organoleptik Warna (Numerik) ...41

12. Grafik Profil RH Selama Proses Pengeringan Kemoreaksi yang Diambil Pada Ketebalan 6 mm (T3) ...42

13. Grafik Profil Suhu Selama Proses Pengeringan Kemoreaksi yang Diambil Pada Ketebalan 6 mm (T3) ...43

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Hal

1. Data Pengamatan Analisis Kadar Air (%) ...50

2. Data Pengamatan Analisis Kadar Minyak Atsiri (%) ...51

3. Data Pengamatan Analisis Nilai Organoleptik Warna (Numerik) ...52

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengeringan merupakan salah satu langkah terpenting dalam proses pengolahan hasil pertanian. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan memperhemat ruang pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga akan berkurang dengan demikian biaya produksi juga lebih murah. Keuntungan lainnya adalah mempertahankan daya fisiologis bahan, meningkatkan kualitas bahan dan dapat melakukan pemanenan lebih awal (Taib et al., 1988).

Di Indonesia, hasil pertanian umumnya dikeringkan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari. Pengeringan di industri umumnya dilakukan dengan menggunakan alat-alat pengering buatan. Pengeringan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari, meskipun tidak memerlukan biaya yang banyak, tetapi sangat tergantung pada keadaan cuaca, sukar dikontrol, memerlukan waktu yang lama dan produk yang dikeringkan mempunyai mutu yang beragam serta dapat terkontaminasi mikroorganisme atau kotoran yang lain. Keuntungan pengeringan dengan alat-alat mekanis adalah tidak tergantung cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak membutuhkan tempat yang luas serta kondisi pengeringannya dapat dikontrol. Tetapi pengeringan dengan menggunakan alat-alat mekanis membutuhkan biaya yang tinggi dan energi untuk memanaskan bahan serta alat pengering dan mengerakkan udara (Taib et al., 1988).

(16)

Proses pengeringan, baik secara alami maupun dengan menggunakan alat-alat pengeringan, menggunakan energi panas untuk menguapkan air dari bahan yang dikeringkan. Pada suhu pengeringan yang tinggi, maka laju penguapan air dari bahan ke lingkungan berlangsung cepat sehingga proses pengeringan akan menjadi cepat. Tetapi suhu pengeringan yang tinggi, dapat menyebabkan kerusakan terutama pada bahan-bahan yang peka terhadap suhu tinggi.

Untuk mengatasi penurunan kualitas akibat proses pengeringan dengan menggunakan suhu tinggi, maka telah dikembangkan metode pengeringan dengan menggunakan suhu rendah (pengeringan dingin), yaitu proses pengeringan bahan dengan menggunakan suhu ruang atau lebih rendah. Metode pengering dingin yang telah diaplikasi adalah metode pengeringan beku (freeze drying) dan pengeringan adsorpsi.

Metode pengeringan beku memerlukan biaya yang relatif mahal sehingga hanya efesien jika digunakan untuk mengeringkan bahan-bahan seperti vaksin, hormon, enzim, antibiotik atau bahan-bahan pangan bernilai ekonomis tinggi lainnya (Winarno, 1993).

Pengeringan adsorpsi adalah proses pengeringan dengan menggunakan bahan penyerap uap air atau adsorben. Cara pengeringan adsorpsi ini sudah dilakukan dengan menggunakan adsorben berupa gel silika ataupun CaCl2 yang umumnya digunakan untuk pengeringan sampel dalam kadar air bahan Penggunaan adsorben ini secara komersial untuk usaha pengeringan masih belum layak, karena harganya relatif mahal.

(17)

Kapur api (CaO) merupakan bahan yang mempunyai prospek untuk dikembangkan sebagai bahan penyerap uap air dalam proses pengeringan karena kemampuannya menyerap air dari lingkungannya (Hersasi, 1996).

Selain itu kapur api merupakan bahan yang murah dan mudah diperoleh di Indonesia. Pada umumnya kapur api dijadikan sebagai bahan kapur (Ca(OH)2) yang digunakan untuk berbagai kebutuhan bahan bangunan, industri cat, semen, keramik, dan berbagai industri kimia lainnya. Selama proses pembuatan bahan kapur, energi panas yang terkandung di dalam kapur biasanya terbuang, energi panas ini dapat dimanfaatkan untuk proses pengeringan. Pada proses pengeringan dengan menggunakan kapur api (CaO), suhu udara pengeringan hanya sedikit diatas suhu kamar, sehingga kerusakan akibat pemanasan dapat dihindarkan (Fuadi, 1999, Suzana, 2000).

Selama proses pengeringan dengan kapur api, maka uap air yang ada dalam lingkungan pengering akan diserap oleh CaO yang terdapat dalam kapur sehingga RH udara pengering menjadi rendah, dan ini mengakibatkan terjadinya penguapan air bahan yang dikeringkan ke lingkungan udara pengering. Uap air yang diserap oleh CaO ini akan bereaksi secara kimia dengan H2O dan membentuk Ca(OH)2 serta melepaskan sejumlah energi panas. Hal ini berbeda dengan pengeringan adsorpsi lain, seperti dengan gel silika yang memerlukan tambahan energi panas untuk mempercepat pengeringan serta dapat dipakai ulang untuk pengeringan dengan perlakuan regenerasi.

Pengeringan dengan suhu tinggi dapat menyebabkan penurunan kandungan minyak atsiri jahe serta mempengaruhi komposisi, bau dan rasa pada jahe yang dikeringkan, maka diperlukan metode pengeringan dengan suhu rendah.

(18)

Salah satu metode pengeringan dengan suhu rendah adalah pengeringan kemoreaksi dengan menggunakan kapur api.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi kapur api sebagai bahan penyerap uap air dalam proses pengeringan kemoreaksi pada jahe (Zingiber officinale Roscoe).

Kegunaan Penelitian

- Sebagai sumber informasi untuk pengeringan kemoreaksi dengan kapur api (CaO) pada pengeringan suhu rendah untuk mengeringkan bahan jahe (Zingiber officinale Roscoe).

- Sebagai sumber data dalam penyusunan skripsi di Departemen Teknologi Pertanian, Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Hipotesa Penelitian

- Ada pengaruh ketebalan jahe terhadap mutu jahe kering.

- Ada pengaruh perbandingan banyaknya kapur api dengan jahe terhadap mutu jahe kering.

- Ada pengaruh kombinasi antara ketebalan jahe dengan perbandingan banyaknya kapur api dengan jahe terhadap mutu jahe kering.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Tanaman Jahe Klasifikasi ilmiah tanaman jahe :

Kerajaan : Tumbuhan Filum : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Familia : Zingibeaceae Genus : Zingiber

Spesies : Zingiber officinale

Jahe (Zingiber officinale Roscoe) merupakan salah satu dari sejumlah temuan dari family Zingiberaceae yang menempati posisi penting dalam perekonomian masyarakat Indonesia, karena peranannya dalam berbagai aspek kegunaan, perdagangan, kehidupan, adat kebiasaan, dan kepercayaan. Jahe juga termasuk komoditas yang sudah ada sejak ribuan tahun dan digunakan sebagai bagian dari ramuan rempah-rempah yang diperdagangkan secara luas didunia. Penggunaan komoditas jahe terus berkembang, baik jumlah, jenis, kegunaan, maupun nilai ekonominya (Kadin Indonesia, 2007).

Daerah asal jahe tidak diketahui dengan pasti, kemungkinan berasal dari daerah tropis di Asia, seperti India atau Cina. Keberadaan jahe di Indonesia telah diketahui sejak abad ke-13, dimana Marcopolo pada masa perjalanannya tahun 1271-1297 menemukan jahe tumbuh di Cina, Sumatera dan Malabar (Purseglove et al., 1981).

(20)

Di Indonesia ada 3 (tiga) tipe utama jahe, yaitu jahe putih besar atau jahe gajah atau jahe badak, jahe merah atau jahe sunti dan jahe putih kecil atau jahe emprit. Ketiga jenis ini didasarkan pada bentuk, warna, aroma rimpang (Rostiana et al., 1991).

Mutu jahe ditentukan oleh berbagai sifat seperti ukuran rimpang, kesehatan rimpang, kebersihan rimpang dan kadar serta komposisi biokimia dari rimpang. Hasil, komposisi kimia, aroma, flavor dan kepedasan jahe dipengaruhi oleh varietas, keadaan geografis, umur saat panen, jenis pelarut dan metode ekstraksi (Purseglove et al., 1981). Minyak atsiri jahe banyak digunakan dalam industri makanan, minuman, farmasi, parfum dan lain-lain.

Jahe mengandung komponen kimia turunan fenol yang dapat bersifat sebagai antioksidan, antara lain gingerol dan zingeberon. Senyawa-senyawa ini mampu menginaktifkan atau menetralisir Reactive Oxygen Species, penyebab stres oksidatif dalam tubuh, sehingga tidak sempat bereaksi dengan komponen-komponen biologis baik seluler, subseluler, sel imun, molekuler maupun jaringan. Jahe mampu meningkatkan aktivitas salah satu sel darah putih, yaitu sel

natural killer (NK) dalam melisis sel targetnya, yaitu sel tumor dan sel yang terinfeksi virus (Zakaria et al., 1999). Hasil tersebut mendukung keyakinan masyarakat bahwa jahe mempunyai kapasitas sebagai anti masuk angin, suatu gejala menurunnya daya tahan tubuh sehingga mudah terserang virus misalnya influenza. Peningkatan aktivitas sel NK membuat tubuh tahan terhadap serangan virus karena sel ini secara khusus mampu menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus.

(21)

Dari hasil penelitian diketahui bahwa komponen bioaktif jahe yaitu oleoresin, gingerol dan shogaol dapat meningkatkan kadar glutation didalam limfosit yang mengalami stres oksidatif. Glutation (γ-glutamil-sisteinil-glisin) adalah komponen non protein yang terdapat dalam jaringan hewan dan sel-sel eukariotik, dan berperan dalam fungsi-fungsi sel seperti sintesis DNA dan protein, detoksifikasi komponen xenobiotik serta menjaga fungsi imun (Tejasari dan Zakaria, 2006).

Proses pembuatan simplisia jahe meliputi tahap-tahap pencucian, pengecilan ukuran dan pengeringan. Untuk mendapatkan simplisia dengan tekstur yang menarik, sebelum diiris, jahe dapat diblansir (direbus) beberapa menit sampai terjadi proses gelatinisas. Cara-cara pengeringan jahe adalah menggunakan cahaya matahari langsung, alat pengering energi surya (secara tidak langsung) dan alat pengering mekanis (oven) (Kadin Indonesia, 2007). Standar mutu simplisia jahe dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar mutu simplisia jahe

No. Karakteristik Nilai

1. Kadar air, maksimum 12%

2. Kadar minyak atsiri, minimum 1.5%

3. Kadar abu, maksimum 8.0%

4. Berjamur/berserangga Tidak ada

5. Benda asing, maksimum 2.05%

(Kadin Indonesia, 2007).

Pengertian Kapur Api

Secara umum istilah kapur api terdiri atas batu kapur (limestone), kapur api (quicklime) dan kapur sirih (hydrated lime). Batu kapur adalah batuan sedimen yang terbentuk dari rombakan batu kapur yang lebih tua, endapan larutan

(22)

CaCO3 atau pelonggokan cangkang dan kerangka binatang (Mackenzie and Sharp, 1970).

Kapur api adalah bahan yang berasal dari batu kapur dari proses yang disebut kalsinasi. Sedangkan kapur sirih (Ca(OH)2) adalah bahan yang berbentuk bubuk, berasal dari kapur api yang telah mengalami hidrasi yaitu bereaksi dengan air dalam jumlah yang cukup untuk berikatan secara kimia (ASTM C51, 1975).

Komposisi Kapur Api

Komposisi kapur api sangat bervariasi tergantung dari sumber batu kapur

dan cara pembakarannya (Mackenzie and Sharp, 1980), seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia kapur api dari Kajaj dan Kamang Udik, Kabupaten, Pasaman, Sumatera Barat dan dari Pabrik Kapur Djaya, Ciampea.

Komposisi Kapur dari

Kajaj (Pasaman)* Kapur dari Kamang Udik (Pasaman)* Kapur dari Ciampea (Bogor)** CaO SiO MgO Gabungan Oksida ***

Hilang pada saat pembakaran

93.6 1.3 1.3 0.78 4.0 94.2 1.0 0.64 1.09 3.8 96.8 0.26 2.20 0.66 3.46

*) Gaspary and Bucher, 1981 **) Sucofindo, 1991

***) Oksidasi yang terdiri dari Al2O3,Fe2O3, SO3,K2O, Na2O, TiO2, Mn2O5 dan P2O5.

Komponen utama dari kapur api adalah CaO dan bahan-bahan kimia seperti oksida-oksida silika, besi, aluminium dan magnesium.

Sifat Fisik dan Kimia Kapur Api

Sifat-sifat fisik dan kimia kapur api (quicklime) dan kapur sirih (hydrated lime) dapat dilihat pada Tabel 3.

(23)

Tabel 3. Sifat fisik dan kimia kalsium, kapur api, kapur sirih dan batu kapur berdasarkan komponen kimia murninya.

Produk Rumus Kimia Berat Molekul Titik Leleh Titik Didih Densitas (g/cm3) Bentuk Kristal Kapur api Kapur sirih Batu kapur Kalsium CaO Ca(OH)2 CaCO3 Ca 56.08 74.08 100.09 40.08 25700C - - 8100C 28500C - - 11700C 3.40 2.34 - 1.55 Kubus Heksagonal Rombohedral Kubus (www. cheney

Kelarutan (gram/100 gram bahan)

lime. com, 2002)

Kapur api (CaO) hanya dapat larut di dalam air jika sudah berubah menjadi Ca(OH)2. Kelarutan CaO dan Ca(OH)2 di dalam air pada berbagai suhu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kelarutan CaO dan Ca(OH)2 di dalam air.

0 C CaO Ca(OH)2 0 25 50 75 100 0.140 0.120 0.097 0.075 0.054 0.185 0.159 0.128 0.098 0.071

(Kirk and Othmer, 1952).

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa kelarutan CaO dan Ca(OH)2 dalam air akan semakin menurun dengan meningkatnya suhu. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kelarutan CaO dan Ca(OH)2 di dalam air adalah ukuran partikel serta sodium dan kalium hidroksida. Kelarutan kapur api di dalam air akan menurun dengan adanya sodium hidroksida (NaOH) dan kalium hidroksida (KOH). Magnesium, silika serta kalsium karbonat tidak mempengaruhi kelarutan Cao dan Ca(OH)2 di dalam air tetapi mempengaruhi laju kelarutannya. Kelarutan Ca(OH)2 yang masih baru (freshly slaked lime) dengan ukuran partikel yang lebih kecil, 10% lebih besar dibandingkan Ca(OH)2 yang sudah lama (aged slaked lime) (Kirk and Othmer, 1952).

(24)

Kekerasan kapur api bervariasi dari sangat lunak hingga keras tergantung pada kemurnian batu kapurnya dan suhu kalsinasi. Jika batu kapur asalnya mengandung kalsium yang tinggi dan suhu kalsinasinya juga tinggi, maka akan dihasilkan batu kapur yang keras. Nilai kekerasan batu kapur api berkisar antara 2-4 skala Mohs sedangkan kapur sirih 2-3 skala Mosh (Kirk and Othmer, 1952).

Skala Mohs adalah skala yang digunakan untuk menentukan kekerasan mineral dengan nilai antara 1-10. Nilai 1 merupakan mineral yang paling lunak yaitu talk dan 10 untuk yang paling keras yaitu berlian. Kekerasan kapur api berada diantara 2-4, yaitu antara gipsum dan florit, sedangkan kapur sirih 2-3, yaitu antara gipsum dan kalsit (Fay, 1972).

Porositas kapur api merupakan sifat fisik yang penting, karena secara langsung akan berpengaruh terhadap reaktivitas kimianya. Proses kalsinasi batu kapur (CaCO3) akan menyebabkan hilangnya CO2 dan menghasilkan batu kapur api (CaO) dengan porositas dan reaktivitas yang lebih tinggi dari pada CaCO3 (Chang and Tikkanen, 1988). Porositas total kapur api tergantung pada tingkatan pembakarannya. Pada soft burnt lime, porositas totalnya adalah 46-55% sedangkan pada medium burnt lime 34-46% dan pada hard burnt lime < 34% (Gaspary and Bucher, 1981).

Potensi Adsorpsi Kapur Api

Kapur api merupakan bahan yang sangat reaktif dengan air dan membentuk Ca(OH)2 dalam proses yang disebut hidrasi atau slaking. Jika banyaknya air yang bereaksi sesuai dengan yang dibutuhkan oleh CaO untuk membentuk Ca(OH)2 maka akan dihasilkan kapur sirih (hydrated lime) yang

(25)

berbentuk bubuk putih, tapi jika air yang bereaksi jumlahnya berlebihan maka akan terbentuk susu kapur (milky lime).

Reaksi CaO dengan air dapat ditulis sebagai berikut (Chang and Tikkanen, 1988) :

CaO (s) + H2O (l) Ca(OH)2 (s) ∆H0 = -64.8 kJ

Dari reaksi diatas dapat dilihat bahwa secara teoritis air yang dapat serap oleh CaO dalam pembentukan Ca(OH)2 adalah sebesar 8.02/56.08 atau 1/3 kali berat CaO (BM CaO = 56.08, H2O = 18).

Sifat kapur api yang sangat reaktif dengan air dapat dimanfaatkan dalam proses pengeringan. Jika bahan yang basah diletakkan dalam suatu ruangan tertutup yang di dalamnya terdapat kapur api (CaO), maka akan terjadi proses pengeringan dengan ruang tertutup sebagai ruang pengering. Proses pengeringan itu berlangsung melalui berbagai proses, yaitu :

1) Uap air di dalam ruangan diserap dan bereaksi dengan CaO.

2) Reaksi itu melepaskan energi panas dan menurunkan RH ruang pengering.

3) Energi panas diserap bahan untuk menguapkan kandungan air dari bahan.

4) Uap air dari bahan mengalir ke ruang pengering untuk kemudian diserap oleh CaO.

Demikian seterusnya hingga tercapai keseimbangan (Soekarto, 2000).

Suhu bahan selama proses pengeringan hampir konstan, karena energi panas yang dikeluarkan oleh kapur api akan terus diserap oleh bahan dan segera digunakan untuk penguapan air yang dikandung bahan, hasil akhir dari proses ini

(26)

berupa produk kering dan bahan kapur (Ca(OH)2) yang juga merupakan bahan yang bermanfaat (Soekarto, 2000).

Kapur Api sebagai Sumber Panas

Berdasarkan persamaan reaksi antara CaO dengan H2O, dapat dilihat bahwa reaksi antara CaO dan air merupakan reaksi eksoterm. Magnesium oksida (MgO) yang terdapat pada kapur api, juga dapat berekasi dengan air, tetapi pada tekanan atmosfir laju reaksinya lebih kecil dibanding laju reaksi CaO dengan air. Pada suhu 250C, panas yang dilepaskan pada reaksi antara CaO dan MgO dengan air berturut-turut adalah 15.300 dan 8.000-10.000 kalori/gram-mol (Kirk and Othmer, 1952).

Energi panas yang dikeluarkan dari reaksi antara kapur api dan air ini dapat digunakan untuk menguapkan air dari bahan dalam proses pengeringan adsorpsi, karena reaksi penguapan air ini merupakan reaksi endotermis (Brandy, 1999) dan dapat ditulis sebagai berikut :

H2O (l) H2O (g) ∆H0 = +44 kJ

Berdasarkan persamaan reaksi diatas, diketahui bahwa untuk menguapkan satu mol air dibutuhkan energi 44 kJ, sedangkan perubahan satu mol CaO menjadi satu mol Ca(OH)2 melepaskan energi 64.8 kJ. Energi panas yang dilepaskan pada reaksi pembentukan Ca(OH)2 ini dapat dimanfaatkan untuk menguapkan air yang terdapat di dalam bahan yang dikeringkan.

(27)

Proses Pengeringan

Proses pengeringan hasil pertanian adalah suatu proses pengeluaran atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan sampai kadar air keseimbangan dengan udara lingkungan atau sampai kadar air tertentu dimana jamur, enzim dan serangga yang bersifat merusak tidak dapat lagi aktif (Hall, 1957).

Dasar pengeringan adalah terjadinya penguapan air dari bahan ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Dalam hal ini udara mengandung uap air atau kelembaban nisbi yang lebih rendah sehingga terjadi penguapan (Taib et al., 1988).

Pengeringan menyangkut perpindahan massa (uap) dari bahan dan energi panas ke bahan secara simultan. Proses pindah panas yang terjadi dari lingkungan sekitar bahan akan menguapkan air dipermukaan bahan. Air dapat di pindahkan ke permukaan produk dan kemudian diuapkan, atau secara internal pada sebuah

interfasa uap dan cair, kemudian dibawa sebagai uap ke permukaan (Okos et al., 1992).

Proses pindah panas pada pengeringan tergantung pada suhu, kelembaban udara, laju aliran udara, permukaan bahan yang langsung berhubungan dengan udara serta tekanan. Laju perpindahan uap air dari bahan ke udara tergantung pada sifat fisik bahan yang terdiri dari suhu, komposisi dan kadar air awal. Alat-alat pengering biasanya menggunakan proses konduksi, konveksi ataupun radiasi pada

proses pindah panas dari sumber panas ke bahan yang dikeringkan (Okos et al., 1992).

Barbosa-Canovas and Vega-Mercoda (1996) menyebutkan enam mekanisme fisik untuk penjelasan gerakan air di dalam bahan, yaitu 1) gerakan

(28)

cairan karena gaya permukaan (aliran kapiler), 2) difusi cairan karena adanya perbedaan konsentrasi, 3) difusi permukaan, 4) difusi uap air di dalam pori-pori yang berisi udara, 5) aliran karena adanya perbedaan tekanan dan 6) aliran karena terjadinya penguapan dan kondensasi.

Pada proses pengeringan, udara pengering sangat berpengaruh terutama suhu, kelembaban relatif dan kecepatan aliran udara. Semakin besar suhu udara pengering, maka perbedaan suhu bahan dan suhu udara pengering akan semakin besar, dan ini merupakan faktor pendorong pindah panas dari udara pengering ke bahan. Oleh karena itu penggunaan suhu udara pengering yang semakin tinggi akan mempercepat laju pindah panas (Brooker et al., 1981).

Proses pengeringan dapat mempengaruhi mutu produk yang dikeringkan. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa pengeringan dapat merubah sifat-sifat kimiawi, fisik maupun nilai gizi dari bahan yang dikeringkan.

Tabel 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu produk selama pengeringan

Kimiawi Fisik Nilai gizi

Reaksi pencoklatan Oksidasi lemak Kehilangan warna Rehidrasi Kelarutan Tekstur Kehilangan aroma Kehilangan vitamin Kerusakan protein Kerusakan mikrobiologis (Okos et al., 1992).

Pengaruh proses pengeringan terhadap mutu produk kering terutama oleh penggunaan suhu yang tinggi dan nilai aktivitas air (aw) dari produk yang dikeringkan.

Suhu dan RH udara pengering juga dapat mempengaruhi laju dan periode pengeringan. Semakin tinggi suhu pengeringan pada RH yang konstan, maka waktu pengeringan akan semakin pendek, dan dengan semakin tinggi RH pada

(29)

suhu udara yang konstan maka waktu pengeringan akan semakin panjang (Sigge et al., 1998).

Pengeringan absorpsi adalah proses pengeringan di mana air dalam bahan diserap oleh suatu material penghisap yang disebut adsorben yang bersifat sangat higroskopis. Mekanisme yang terjadi adalah proses penarikan air oleh adsorben dari dalam bahan pangan dengan prinsip penyerapan uap air dari bahan tersebut. Air yang terhisap adsorben tidak hanya pada bagian permukaan adsorben tersebut, tetapi terdistribusi secara merata keseluruh bagian adsorben (Hall, 1957).

Pengeringan kemoreaksi adalah pengeringan yang juga menggunakan bahan penyerap uap air (adsorben) tetapi melalui mekanisme reaksi kimia antara uap air dari bahan yang dikeringkan dengan adsorben yang disebabkan karena reaksitivitas adsorben yang tinggi terhadap air. Kapur api merupakan bahan penyerap uap air yang mengandung CaO sebagai bahan aktif. CaO akan bereaksi secara kimia dengan uap air yang terdapat di dalam bahan yang dikeringkan sehingga kadar air bahan akan berkurang (Julianti, 2003)

Jika kapur api diletakkan pada ruangan tertutup, maka akan terjadi penurunan kandungan uap air di dalam ruangan tersebut. Selain itu, pada awal proses juga akan terjadi peningkatan suhu, karena pada awal proses pengeringan kandungan CaO masih cukup banyak untuk bereaksi dengan air dan menimbulkan energi panas. Kecepatan penurunan kandungan uap air di dalam ruangan tertutup ini dipengaruhi oleh luas permukaan yang langsung bersinggungan dengan udara, di mana semakin besar luas permukaan maka penyerapan uap air di udara oleh CaO berlangsung lebih banyak sehingga lebih cepat terjadi penurunan kandungan uap air di udara (Fuadi, 1999).

(30)

Menurut Soekarto (1981), pengeringan kemoreaksi dengan kapur api memiliki beberapa keunggulan, yaitu :

1. Kapur api mudah didapatkan dan harganya mudah. 2. Daya pengeringannya kuat.

3. Cocok untuk pengeringan bahan yang peka terhadap suhu tinggi. 4. Dapat mencegah kehilangan zat volatil selama pengeringan.

5. Tidak memerlukan bahan bakar yang dapat mencemari lingkungan.

6. Hasil sampingnya berupa bahan kapur (Ca(OH)2) yang banyak manfaatnya.

7. Laju pengeringannya dapat dikendalikan.

Laju Pengeringan

Laju pengeringan dalam proses pengeringan suatu bahan mempunyai arti penting, dimana laju pengeringan akan menggambarkan bagaimana kecepatan pengeringan itu berlangsung. Laju pengeringan dinyatakan dengan berat air yang diuapkan per satuan berat kering per jam (Muljohardjo,1987).

Mekanisme pengeringan sering diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang dapat diuapkan dari bahan yang akan dikeringkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan dan yang pertama kali mengalami penguapan. Laju penguapan air bebas sebanding dengan perbedaan tekanan uap pada permukaan air terhadap uap air pengering (Henderson and Pabis, 1961).

Setelah air permukaan habis, maka selanjutnya difusi air dan uap air dari bagian dalam bahan terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap antara bagian dalam dan bagian luar bahan (Henderson and Perry, 1976). Laju pengeringan pada periode ini sebanding dengan perbedaan tekanan uap antara

(31)

bagian dalam dan luar biji. Pada laju pengeringan konstan, perbedaan tekanan uapnya juga konstan, tetapi dengan adanya penguapan maka tekanan uap didalam bahan semakin rendah, oleh karena itu laju pengeringannya semakin menurun. Periode ini disebut dengan laju pengeringan menurun.

Kurva laju pengeringan dapat dilihat pada Gambar 1. Periode antara A (atau A’) dan B biasanya singkat dan sering diabaikan dalam analisa waktu pengeringan. Periode B-C disebut juga laju pengeringan konstan yang mewakili proses pengeluaran air tidak terikat dari produk yaitu air yang terdapat di permukaan produk dengan nilai aw mendekati 1 (Geankoplis, 1983).

Laju pengeringan konstan terjadi pada awal proses pengeringan yang kemudian diikuti oleh laju pengeringan menurun (titik C), kedua periode laju pengering ini dibatasi oleh kadar air kritis (Mc). Periode laju pengeringan menurun dibagi atas dua subperiode yaitu : 1) laju pengeringan menurun I, yang terjadi jika air di permukaan produk sudah habis dan permukaan mulai mengering, 2) laju pengeringan II, dimulai dari titik D ketika permukaan sudah kering sempurna (Geankoplis, 1983).

Waktu yang dibutuhkan oleh bahan untuk melewati keempat periode pengeringan ini berbeda-beda tergantung dari kadar air awal bahan dan kondisi pengeringan. Jika panas diberikan dengan laju yang tinggi, maka laju pengeringan konstan akan lebih pendek, tetapi jika rendah maka periode penyesuaian awal hingga tercapainya kadar air kritis akan lebih panjang dan periode laju pengeringan konstan sangat pendek sehingga dapat diabaikan (Okos et al., 1992).

(32)

Laju Pengeringan Laju Pengeringan Laju Pengeringan (kg air/jam m2) Menurun konstan

C B A’ A D E Mc Kadar air Gambar 1. Kurva laju pengeringan (Geankoplis, 1983).

(33)

BAHAN DAN METODA

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jahe merah dan kapur api (CaO). Jahe merah diperoleh di pasar sore daerah Padang Bulan dan Kapur api (CaO) diperoleh dari Pabrik Kapur di daerah Tanjung Anom.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April-Juni 2008 di Laboratorium Analisa Kimia Bahan Pangan Departemen Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Alat Penelitian

Lemari Pengering, Oven, Desikator, Thermohigrometer, Thermometer Air Raksa, Timbangan, Pisau stainless steel, Kertas saring, Talenan, Label, Timbangan, Penggaris

Metode Penelitian (Bangun, 1991)

Penelitian ini menggunakan Metoda Rancang Acak Lengkap (RAL). Faktorial yang terdiri dari 2 faktor, yaitu:

Faktor I : Ketebalan Jahe (T) T1 = 2 mm T2 = 4 mm T3 = 6 mm T4 = 8 mm

(34)

Faktor II : Perbandingan Banyaknya Kapur Api dengan Jahe (K) K1 = 2 : 1

K2 = 3 : 1 K3 = 4 : 1 K4 = 5 : 1

Banyaknya kombinasi perlakuan (tc) adalah 4 x 4 = 16, maka jumlah ulangan (n) adalah sebagai berikut :

tc ( n – 1 ) ≥ 15 16 ( n – 1 ) ≥ 15 16n – 16 ≥ 15 16n ≥ 31

n ≥ 1, 93 ……… dibulatkan menjadi n = 2

Maka untuk ketelitian, dilakukan ulangan sebanyak 2 (dua) kali.

Model Rancangan (Bangun, 1991)

Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan model :

Ŷijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Dimana :

Ŷijk : Hasil Pengamatan dari Faktor T dari taraf ke-I dan Faktor T pada taraf ke–j dengan ulangan k

µ : Efek nilai tengah

αi : Efek dari Faktor T pada taraf ke–I

(35)

(αβ)ij : Efek interaksi faktor T pada taraf ke–I dan faktor K pada taraf ke–j

εijk : Efek galat dari faktor T pada taraf ke–I dan faktor K pada taraf ke–j dalam ulangan k.

Prosedur Penelitian Penyediaan Bahan

• Adapun jahe yang digunakan adalah jahe merah, dipilih dengan benar-benar baik dan segar dan kemudian dicuci.

Pengirisan

• Jahe diiris dengan ketebalan 2 mm, 4 mm, 6 mm, dan 8 mm. Pemblansiran

• Pemblansiran (perebusan) adalah suatu proses pemanasan yang diberikan kepada bahan mentah selama 5 menit pada suhu 550C yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas produk yang diolah.

Penyediaan Tempat Pengeringan Kemoreaksi

• Alat pengeringan yang digunakan dalam pengeringan kemoreaksi adalah alat yang berukuran 50 cm x 50 cm x 60 cm. Lemari pengering terlebih dahulu diisi dengan kapur api sebanyak 1 kg selama 12 jam agar RH di dalam lemari pengering menjadi rendah dan stabil, kemudian kapur api dikeluarkan. Setelah itu dimasukkan kapur api di rak bawah dan jahe yang akan dikeringkan di rak atas.

(36)

Dinding Kayu 50 cm 60 cm 50 cm Rak Bahan Pintu Lapisan Rak Kapur Api

Pintu Fiber Glass

Gambar 2. Lemari Pengering Kemoreaksi (Julianti, 2003)

Pengamatan dan Pengukuran Data

Kadar Air (%) (Dengan Metode Oven) (AOAC, 1984)

Ditimbang 5 gr jahe kedalam alumunium foil yang telah diketahui berat kosongnya. Kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 0C selama 4 jam lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang. Selanjutnya dipanaskan lagi dalam oven selama 30 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perlakukan ini diulang sampai diperoleh berat yang konstan.

100% Awal Berat Akhir Berat Awal Berat Air Kadar = − ×

(37)

Penentuan Suhu

Kapur api dalam bentuk bongkahan (berukuran tidak seragam) diletakkan pada rak yang terdapat dalam lemari pengering, kemudian dilakukan pengamatan terhadap suhu ruang pengering, suhu kapur serta perubahan berat kapur api dalam selang waktu tertentu dengan menggunakan alat thermometer.

Penentuan RH (Relative Humidity)

Sebelum kapur api dan jahe dimasukkan kedalam lemari pengering, dilakukan penurunan dan penstabilan RH penyimpanan dengan meletakkan sebanyak 1 kg kapur api (CaO) dalam lemari penyimpanan selama 1 hari. Pengukuran RH dilakukan dengan menggunakan alat higrometer.

Kadar Minyak Atsiri (Harris, 1987)

Giling jahe kering sebanyak 10 gr, kemudian masukkan ke dalam thimble dan tutup thimble dengan kapas. Tempatkan thimble ke dalam alat ekstraksi. Timbang erlemeyer yang berisi 1 butir batu apung yang sebelumnya sudah dikeringkan pada suhu mendekati 1000C dan didinginkan ke dalam desikator selama 15 menit, kemudian masukkan pelarut heksan ke dalam erlemeyer yang berisi batu apung. Pasanglah labu ke alat ekstraksi di atas alat pemanas sehingga kecepatan ekstraksi sekurang-kurangnya 3 tetes setiap detik (pendidihan berlangsung secukupnya tetapi tidak keras). Sesudah ekstraksi berlangsung selama 4 jam, biarkanlah menjadi dingin kembali. Keluarkan erlemeyer yang berisi batu apung dan masukkan ke dalam oven dengan suhu mendekati 1000C selama 1 jam kemudian dinginkan ke dalam desikator selama 15 menit. Kemudian timbang erlemeyer yang berisi batu apung.

(38)

Kadar Minyak Atsiri = Berat Akhir Erlemeyer – Berat Awal Erlemeyer

Adapun skala hedonik yang digunakan sebagai berikut :

Skala hedonik Skala numerik

x 100% Berat Jahe

Nilai Organoleptik Warna (Soekarto, 1981)

Nilai organoleptik dilakukan dengan cara uji hedonik (kesukaan) terhadap warna dari jahe. Jahe sebanyak 2 gr ditempatkan cawan petridish dan disajikan pada 10 panelis.

Amat suka 4

Suka 3

Agak suka 2

(39)

Gambar 3. Skema Penelitian

Jahe Merah

Ketebalan Jahe dengan ukuran : T1 = 2 mm T2 = 4 mm T3 = 6 mm T4 = 8 mm Pemblansiran Pengeringan dengan kapur api

Perbandingan Banyaknya Kapur api dengan Jahe : K1 = 2 : 1 K2 = 3 : 1 K3 = 4 : 1 K4 = 5 : 1 Analisa - Kadar Air - Penentuan Suhu - Penentuan RH - Kadar Minyak Atsiri - Nilai Organoleptik Warna Pengirisan

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketebalan jahe berpengaruh terhadap kadar air (%), nilai organoleptik warna (numerik), dan kadar minyak atsiri (%) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh Ketebalan Jahe terhadap Parameter yang Diamati Ketebalan Jahe (T) Kadar Air (%) Kadar Minyak Atsiri (%) Organoleptik Warna (Numerik) T1 (2 mm) 12.38 4.44 3.05 T2 (4 mm) 14.25 6.30 3.20 T3 (6 mm) 16.00 6.93 3.55 T4 (8 mm) 17.75 5.94 3.50

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa semakin tebal jahe maka kadar airnya semakin tinggi. Nilai organoleptik warna (numerik) dan kadar minyak atsiri (%) tertinggi terdapat pada perlakuan 6 mm (T3) dan terendah pada 2 mm (T1).

Perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berpengaruh terhadap kadar air (%), nilai organoleptik warna (numerik), dan kadar minyak atsiri (%) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api(CaO) dengan Jahe terhadap Parameter yang Diamati

Perbandingan banyaknya Kapur Api (CaO) dengan

jahe (T) Kadar Air (%) Kadar Minyak Atsiri (%) Organoleptik Warna (Numerik) K1 (2 : 1) 27.38 6.68 3.04 K2 (3 : 1) 23.13 6.82 3.23 K3 (4 : 1) 6.25 6.09 3.48 K4 (5 : 1) 3.63 4.02 3.56

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa semakin tinggi perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe maka kadar airnya (%) semakin rendah. Sedangkan nilai organoleptik warna (numerik) semakin meningkat. Kadar minyak atsiri (%) tertinggi terdapat pada 3 : 1 (K2) dan terendah pada 5 : 1 (K4).

(41)

Hasil analisis statistik terhadap masing-masing parameter yang diamati dari setiap perlakuan dapat dilihat dari uraian berikut.

Kadar Air (%)

Pengaruh Ketebalan Jahe terhadap Kadar Air (%)

Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 1, dapat dilihat bahwa ketebalan jahe berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar air. Hasil pengujian beda rataan perlakuan dengan metode LSR pengaruh ketebalan jahe terhadap kadar air dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Ketebalan Jahe (mm) terhadap Kadar Air (%)

Jarak LSR Ketebalan Jahe Rataan Notasi

0.05 0.01 (mm) 0.05 0.01

- - - T1 = 2 12.38 d C

2 1.339 1.843 T2 = 4 14.25 c B

3 1.406 1.937 T3 = 6 16.00 b AB

4 1.442 1.986 T4 = 8 17.75 a A

Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa perlakuan T1 berbeda sangat nyata terhadap T2, T3, T4. Perlakuan T2 berbeda sangat nyata terhadap T4 dan berbeda tidak nyata terhadap T3. Perlakuan T3 berbeda tidak nyata terhadap T4. Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan T4 (8 mm) sebesar 17.75 % dan terendah pada perlakuan T1 (2 mm) sebesar 12.38 %.

Hubungan antara ketebalan jahe terhadap kadar air dapat dilihat pada Gambar 4.

(42)

Gambar 4. Grafik Hubungan Ketebalan Jahe dengan Kadar Air (%)

Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan T4 (8 mm) sebesar 17.75 % dan terendah pada T1 (2 mm) sebesar 12.38 %. Hal ini menunjukkan bahwa ketebalan bahan dapat mempengaruhi kadar air yang terdapat pada bahan itu sendiri. Kecepatan penurunan kandungan uap air di dalam ruangan tertutup dipengaruhi oleh luas permukaan bahan, jenis bahan dan ketebalan bahan yang langsung bersinggungan dengan udara, dimana semakin besar ketebalan bahan maka penyerapan uap air di udara oleh CaO berlangsung lebih sedikit sehingga penurunan kandungan uap air di udara semakin rendah (Fuadi, 1999).

Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Air (%)

Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 1, dapat dilihat bahwa perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar air.

Ŷ = 0.8938x + 10.625 r = 0.9997 12.00 14.00 16.00 18.00 0 2 4 6 8 Ketebalan Jahe (mm) Ka d a r Ai r ( % )

(43)

Hasil pengujian beda rataan pelakuan dengan metode LSR pengaruh perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe terhadap kadar air dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api Dengan Jahe terhadap Kadar Air (%)

Jarak LSR Perbandingan Banyaknya Rataan Notasi 0.05 0.01 Kapur Api Dengan Jahe 0.05 0.01

- - - K1 = 2:1 27.38 a A

2 1.339 1.843 K2 = 3:1 23.13 b B

3 1.406 1.937 K3 = 4:1 6.25 c C

4 1.442 1.986 K4 = 5:1 3.63 d D

Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 berbeda sangat nyata terhadap K2, K3, K4. Perlakuan K2 berbeda sangat nyata terhadap K3 dan K4. Perlakuan K3 berbeda sangat nyata terhadap K4. Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan K1 (2:1) sebesar 27.38 % dan terendah pada perlakuan K4 (5:1) sebesar 3.63 %.

Hubungan antara perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe terhadap kadar air dapat dilihat pada Gambar 5.

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 2:1 3:1 4:1 5:1

Perbandingan Banyaknya Kapur Dengan Jahe

K a d a r A ir ( % )

Gambar 5. Histogram Hubungan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Air (%)

(44)

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa kadar air jahe tertinggi diperoleh pada perlakuan K1 (2:1) sebesar 27.38 % dan terendah pada perlakuan K4 (5:1) sebesar 3.63 %. Hal ini disebabkan karena kapur api (CaO) bereaksi secara kimia dengan uap air yang terdapat di dalam bahan yang dikeringkan sehingga kadar air bahan akan berkurang. Reaksi penguapan air ini merupakan reaksi endotermis (Brandy, 1999) dan dapat ditulis sebagai berikut :

H2O (l) H2O (g) ∆H0 = +44 kJ

Berdasarkan persamaan reaksi diatas, diketahui bahwa untuk menguapkan satu mol air dibutuhkan energi 44 kJ, sedangkan perubahan satu mol CaO menjadi satu mol Ca(OH)2 melepaskan energi 64.8 kJ. Energi panas yang dilepaskan pada reaksi pembentukan Ca(OH)2 ini dapat dimanfaatkan untuk menguapkan air yang terdapat di dalam bahan yang dikeringkan, sehingga semakin tinggi perbandingan banyaknya kapur dengan jahe maka kadar air yang terdapat pada jahe akan semakin rendah.

Pengaruh Kombinasi Ketebalan Jahe dan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Air (%)

Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 1, dapat dilihat bahwa kombinasi ketebalan jahe dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berpengaruh nyata (P>0.01) terhadap kadar air jahe.

Hasil pengujian beda rataan perlakuan dengan metode LSR pengaruh kombinasi ketebalan jahe dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe terhadap kadar air dapat dilihat pada Tabel 10.

(45)

Tabel 10. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Ketebalan Jahe (mm) dan Perbandingan Banyaknya Kapur Api dengan Jahe terhadap Kadar Air (%)

Jarak LSR Perlakuan Rataan Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01 - - - T1K1 23.00 cd CDE 2 2.678 3.687 T1K2 19.00 e DE 3 2.812 3.874 T1K3 5.00 fgh EF 4 2.883 3.972 T1K4 2.50 gh F 5 2.946 4.053 T2K1 6.65 fg EF 6 2.982 4.106 T2K2 22.50 cd CDE 7 3.008 4.169 T2K3 5.50 fgh EF 8 3.026 4.213 T2K4 3.50 gh EF 9 3.044 4.249 T3K1 28.50 b B 10 3.062 4.276 T3K2 24.50 cd CD 11 3.062 4.303 T3K3 7.00 fg E 12 3.071 4.321 T3K4 4.00 gh EF 13 3.071 4.338 T4K1 32.50 a A 14 3.080 4.356 T4K2 26.50 bc BC 15 3.080 4.374 T4K3 7.50 f E 16 3.089 4.383 T4K4 4.50 fgh EF

Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan T4K1 sebesar 32.50 % dan terendah diperoleh pada perlakuan T1K4 sebesar 2.50 %.

Kombinasi ketebalan jahe dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe terhadap kadar air dapat dilihat pada Gambar 6.

(46)

Gambar 6. Histogram Hubungan Kombinasi Ketebalan Jahe dan

Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Air (%)

Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan T4K1 sebesar 32.50 % dan terendah diperoleh pada perlakuan T1K4 sebesar 2.50 %. Hal ini menunjukkan bahwa ketebalan jahe dan perbandingan banyaknya kapur api dengan jahe dapat mempengaruhi kadar air pada jahe itu sendiri. Semakin tebal jahe dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe semakin sedikit maka kadar air yang terdapat pada jahe akan semakin tinggi. Dimana kecepatan penurunan kandungan uap air di dalam ruangan tertutup dipengaruhi oleh luas permukaan bahan, jenis bahan dan ketebalan bahan yang langsung bersinggungan dengan udara, dimana semakin besar ketebalan bahan maka penyerapan uap air di udara oleh CaO berlangsung lebih sedikit sehingga penurunan kandungan uap air di udara semakin rendah (Fuadi, 1999). Dan juga banyaknya kapur api (CaO) yang bereaksi secara kimia dengan uap air yang terdapat di dalam bahan yang dikeringkan sangat mempengaruhi kadar air bahan tersebut.

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 2:1 3:1 4:1 5:1

Perbandingan Banyaknya Kapur Api dengan Jahe

Kad

ar ai

r

(%)

(47)

Kadar Minyak Atsiri (%)

Pengaruh Ketebalan Jahe terhadap Kadar Minyak Atsiri (%)

Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 2, dapat dilihat bahwa ketebalan berpengaruh nyata (P>0.01) terhadap kadar minyak atsiri. Hasil pengujian beda rataan perlakuan dengan metode LSR pengaruh ketebalan jahe terhadap kadar minyak atsiri dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Ketebalan Jahe(mm) terhadap Kadar Minyak Atsiri (%)

Jarak LSR Ketebalan Jahe Rataan Notasi

0.05 0.01 (mm) 0.05 0.01

- - - T1 = 2 4.44 b B

2 1.481 2.039 T2 = 4 6.30 a A

3 1.555 2.143 T3 = 6 6.93 a A

4 1.595 2.197 T4 = 8 5.94 a A

Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa perlakuan T1 berbeda nyata terhadap T2, T3, T4. Perlakuan T2 berbeda tidak nyata terhadap T3, T4. Perlakuan T3 berbeda tidak nyata terhadap T4. Kadar minyak atsiri tertinggi diperoleh pada perlakuan T3 (6 mm) sebesar 6.93 % dan terendah pada perlakuan T1 (2 mm) sebesar 4.44 %.

Hubungan antara ketebalan jahe terhadap kadar minyak atsiri dapat dilihat pada Gambar 7.

(48)

Gambar 7. Grafik Hubungan Ketebalan Jahe dengan Kadar Minyak Atsiri (%)

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa kadar minyak atsiri tertinggi diperoleh pada perlakuan T3 (6 mm) sebesar 6.93 % dan terendah pada perlakuan T1 (2 mm) sebesar 4.44 %. Semakin besar tingkat ketebalan jahe maka kandungan minyak atsirinya akan semakin besar sampai ketebalan 6 mm dan kadar minyak atsiri menurun pada ketebalan 8 mm karena tinggi nya kadar air yang terdapat pada jahe yang dikeringkan, menyebabkan kerusakan pada jahe (berjamur) sehingga kadar minyak atsiri nya pun menurun.

Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api(CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Minyak Atsiri (%)

Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 2, dapat dilihat bahwa perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berpengaruh berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar minyak atsiri.

Hasil pengujian beda rataan pelakuan dengan metode LSR pengaruh perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe terhadap kadar minyak atsiri dapat dilihat pada Tabel 12.

Ŷ = -0.1781T2 R2= -0.9977 4.00 5.00 6.00 7.00 0 2 4 6 8 Ketebalan Jahe (mm) M in yak At si ri ( %) + 2.0391T + 1.0494

(49)

Tabel 12. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api Dengan Jahe terhadap Kadar Minyak Atsiri (%)

Jarak LSR Perbandingan Banyaknya Rataan Notasi

0.05 0.01 Kapur Api Dengan Jahe 0.05 0.01

- - - K1 = 2:1 6.68 a A

2 1.481 2.039 K2 = 3:1 6.82 a A

3 1.555 2.143 K3 = 4:1 6.09 a A

4 1.595 2.197 K4 = 5:1 4.02 b B

Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 berbeda tidak nyata terhadap K2, K3 dan berbeda sangat nyata terhadap K4. Perlakuan K2 berbeda tidak nyata terhadap K3 dan berbeda sangat nyata terhadap K4. Perlakuan K3 berbeda sangat nyata terhadap K4. Kadar minyak atsiri tertinggi diperoleh pada perlakuan K2 (3:1) sebesar 6.82 % dan terendah pada perlakuan K4 (5:1) sebesar 4.02 %.

Hubungan antara perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe terhadap kadar minyak atsiri dapat dilihat pada Gambar 8.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 2:1 3:1 4:1 5:1

Perbandingan Banyaknya Kapur Api Dengan Jahe

M in yak A tsi ri ( % )

Gambar 8. Histogram Hubungan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Minyak Atsiri (%)

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa kadar minyak atsiri jahe tertinggi diperoleh pada perlakuan K2 (3:1) sebesar 6.82 % dan terendah pada perlakuan K4 (5:1) sebesar 4.02 %. Hal ini menunjukkan bahwa kadar minyak atsiri mudah menguap terhadap panas. Sesuai menurut (Ames dan Matthews, 1968) yang

(50)

menyatakan bahwa minyak atsiri adalah minyak yang mudah menguap yang terdiri atas campuran zat yang mudah menguap dengan komposisi dan titik didih yang berbeda. Sebagian besar minyak atsiri diperoleh dengan cara penyulingan atau hidrodestilasi.

Pengaruh Kombinasi Ketebalan Jahe dan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Kadar Minyak Atsiri (%)

Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 2, dapat dilihat bahwa kombinasi ketebalan jahe dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap kadar minyak atsiri jahe sehingga uji LSR tidak dilanjutkan. Dimana kadar minyak atsiri tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan T3K2 sebesar 7.71 % dan terendah pada kombinasi perlakuan T1K4 sebesar 2.73 %.

Nilai Organoleptik Warna (Numerik)

Pengaruh Ketebalan Jahe terhadap Nilai Organoleptik Warna (Numerik) Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 3, dapat dilihat bahwa ketebalan berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap nilai organoleptik warna. Hasil pengujian beda rataan perlakuan dengan metode LSR pengaruh ketebalan jahe terhadap nilai organoleptik warna pada Tabel 13.

Tabel 13. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Ketebalan Jahe (mm) terhadap Nilai Organoleptik Warna (Numerik)

Jarak LSR Ketebalan Rataan Notasi

0.05 0.01 Jahe (mm) 0.05 0.01

- - - T1 = 2 3.05 c C

2 0.084 0.115 T2 = 4 3.20 b B

3 0.088 0.121 T3 = 6 3.55 a A

4 0.090 0.124 T4 = 8 3.50 a A

Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%

(51)

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa perlakuan T1 berbeda sangat nyata terhadap T2, T3, T4. Perlakuan T2 berbeda sangat nyata terhadap T3, T4. Perlakuan T3 berbeda sangat nyata terhadap T4. Nilai organoleptik warna tertinggi diperoleh pada perlakuan T3 (6 mm) sebesar 3.55 dan terendah pada perlakuan T1 (2 mm) sebesar 3.05.

Hubungan antara ketebalan jahe terhadap nilai organoleptik warna dapat dilihat pada Gambar 9.

Ŷ = 0.085T + 2.9 r = 0.8377 3.00 3.10 3.20 3.30 3.40 3.50 3.60 3.70 0 2 4 6 8 10 Ketebalan Jahe (mm) N il ai O rg an o lep ti k W ar n a (N u m er ik)

Gambar 9. Grafik Hubungan Ketebalan Jahe dengan Nilai Organoleptik Warna (Numerik)

Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik tertinggi diperoleh pada perlakuan T3 (6 mm) sebesar 3.55 dan terendah pada perlakuan T1 (2 mm) sebesar 3.05. Hal ini menunjukkan bahwa ketebalan jahe berpengaruh terhadap nilai organoleptik warna, semakin tinggi tingkat ketebalan jahe maka nilai organoleptik warna semakin tinggi pula. Dalam hasil penelitian, perlakuan T1 (2 mm) jahe akan semakin kering dan menyebabkan warna pada jahe menjadi coklat. Sedangkan pada perlakuan T3 (6 mm) warna pada jahe menjadi kuning kecoklatan dan lebih disukai para panelis.

(52)

Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api(CaO) dengan Jahe terhadap Nilai Organoleptik Warna (Numerik)

Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 3, dapat dilihat bahwa perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap nilai organoleptik warna.

Hasil pengujian beda rataan pelakuan dengan metode LSR pengaruh perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe terhadap nilai organoleptik warna dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Perbandingan Banyaknya Kapur Api Dengan Jahe terhadap Nilai Organoleptik Warna (Numerik) Jarak LSR Perbandingan Banyaknya Rataan Notasi

0.05 0.01 Kapur Api Dengan Jahe 0.05 0.01

- - - K1 = 2:1 3.04 c C

2 0.084 0.115 K2 = 3:1 3.23 b B

3 0.088 0.121 K3 = 4:1 3.48 a A

4 0.090 0.124 K4 = 5:1 3.56 a A

Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%

Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 berbeda sangat nyata terhadap K2, K3, K4. Perlakuan K2 berbeda sangat nyata terhadap K3 dan K4. Perlakuan K3 berbeda sangat nyata terhadap K4. Nilai organoleptik warna tertinggi diperoleh pada perlakuan K4 (5:1) sebesar 3.56 dan terendah pada perlakuan K1 (2:1) sebesar 3.04.

Hubungan antara perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe terhadap nilai organoleptik warna dapat dilihat pada Gambar 10.

(53)

2.60 2.80 3.00 3.20 3.40 3.60 3.80 2:1 3:1 4:1 5:1

Perbandingan Banyaknya Kapur Api Dengan Jahe

N il ai O rg an o lep ti k W ar n a (N u m er ik)

Gambar 10. Histogram Hubungan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Nilai Organoleptik

Warna (Numerik)

Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik warna tertinggi diperoleh pada perlakuan K4 (5:1) sebesar 3.56 dan terendah pada perlakuan K1 (2:1) sebesar 3.04. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berpengaruh terhadap nilai organoleptik warna, semakin tinggi perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe maka nilai organoleptik warna semakin tinggi pula. Perbandingan banyaknya kapur api (CaO) terhadap jahe sangat mempengaruhi tingkat kekeringan jahe, dimana semakin tinggi perbandingan banyaknya kapur api (CaO) maka jahe akan semakin kering. Dalam hasil penelitian bahwa perlakuan K1 (2:1), jahe yang dikeringkan tidak optimal dimana kadar air yang terdapat pada jahe masih tinggi sehingga bakteri dapat hidup dalam jahe tersebut dan mengakibatkan kerusakan pada jahe. Warna yang ditimbulkan pada perlakuan tersebut tidak disukai para panelis. Sedangkan pada perlakuan K4 (5:1) warna jahe yang dihasilkan lebih disukai para panelis karena pengeringan pada jahe tersebut lebih baik.

(54)

Pengaruh Kombinasi Ketebalan Jahe dan Perbandingan Banyaknya Kapur Api (CaO) dengan Jahe terhadap Nilai Organoleptik Warna (Numerik)

Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 3, dapat dilihat bahwa kombinasi ketebalan jahe dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe berpengaruh nyata (P>0.01) terhadap nilai organoleptik warna.

Hasil pengujian beda rataan perlakuan dengan metode LSR pengaruh kombinasi ketebalan jahe dan perbandingan banyaknya kapur api (CaO) dengan jahe terhadap kadar air dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Interaksi Ketebalan Jahe (mm) dan Perbandingan Banyaknya Kapur Api dengan Jahe terhadap

Organoleptik Warna (Numerik)

Jarak LSR Perlakuan Rataan Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01 - - - T1K1 2.75 i GH 2 0.168 0.231 T1K2 2.85 hi GH 3 0.176 0.243 T1K3 3.25 efg DE 4 0.181 0.249 T1K4 3.35 de CDE 5 0.184 0.254 T2K1 2.95 h FG 6 0.187 0.257 T2K2 3.15 fg EF 7 0.188 0.261 T2K3 3.25 efg DE 8 0.190 0.264 T2K4 3.45 cd BCD 9 0.191 0.266 T3K1 3.15 g EF 10 0.192 0.268 T3K2 3.45 cd BCD 11 0.192 0.269 T3K3 3.80 a A 12 0.192 0.271 T3K4 3.80 a A 13 0.192 0.272 T4K1 3.30 def DE 14 0.193 0.273 T4K2 3.45 cd BCD 15 0.193 0.274 T4K3 3.60 bc ABC 16 0.193 0.274 T4K4 3.65 ab AB

Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%

Gambar

Tabel 1. Standar mutu simplisia jahe
Tabel 2.  Komposisi kimia kapur api dari Kajaj dan Kamang Udik, Kabupaten,   Pasaman, Sumatera Barat dan dari Pabrik Kapur Djaya, Ciampea
Tabel 4. Kelarutan CaO dan Ca(OH)2 di dalam air.
Gambar 1. Kurva laju pengeringan (Geankoplis, 1983).
+7

Referensi

Dokumen terkait

tertinggi terjadi di Kota Malang sebesar 5,19 persen, diikuti Kota Surabaya sebesar 4,75 persen, Kabupaten Jember sebesar 4,60 persen, Kabupaten Sumenep sebesar 4,48 persen,

Plak gigi adalah deposit mikroba yang terbentuk pada permukaan jaringan keras pada rongga mulut, terdiri dari bakteri yang hidup ataupun mati beserta produk-produknya, bersama

Orang tua dapat menemani siswa mengukur panjang benda yang ada di rumah menggunakan alat ukur tidak baku.. Misalnya mengukur panjang tempat tidur menggunakan jengkal, mengukur

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah memberikan kesehatan dan kesabaran serta semangat untuk senantiasa berusaha menyelesaikan

dengan waktu optimum 3 jam, Kemudian larutan dianalisis dengan metode MBAS 3.4.15 dan diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan nilainya

Skripsi berjudul “Pengaruh Lamanya Menderita Tuberkulosis Paru Terhadap Tingkat Depresi Pada Pasien di Puskesmas Sumbersari Kabupaten Jember” telah diuji dan disahkan

Ijab yang merupakan batas Desa Sungai Buluh Kecamatan Labuan Amas  Utara  Kabupaten  Hulu  Sungai Tengah 

Oleh karena itu data yang diperlukan data primer dan data sekunder dalam hukum Nasional Indonesia yang berkenaan dengan judul penelitian yaitu Kendala-Kendala