• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGARUS-UTAMAKAN PRB dalam PEMBANGUNAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MENGARUS-UTAMAKAN PRB dalam PEMBANGUNAN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

1. Kabupaten Bener Meriah

A. Letak dan Topografi

Kabupaten Bener Meriah terletak antara 40 33' 50” - 40 54' 50” Lintang Utara dan 960 40' 75” - 970 17' 50” Bujur Timur. Batas wilayah Kabupaten Bener Meriah: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bieuen, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah. Luas wilayahnya mencapai 1.888,70 km2 terbagi menjadi 116 gampong dari tujuh Kecamatan. Ibu Kota Kabupaten berada di Simpang Tiga Redelong.

Kabupaten Bener Meriah merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah berdasarkan UU No 41/2003 pada tanggal 18 Desember 2003. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Bener Meriah yang diperingati secara meriah sebagai pesta rakyat.

B. Posisi Strategis secara Ekologis

Kabupaten Bener Meriah menempati wilayah yang memiliki pengaruh besar bagi wilayah di bawahnya. Sebagai wilayah yang berada di ketinggian (hulu), secara ekologis memiliki peran penting sebagai pendukung dan penyeimbang fungsi ekologis di wilayah tengah dan hilir. Kabupaten Bener Meriah dan wilayah lain di bagian atas secara langsung maupun tidak menentukan kualitas lingkungan maupun risiko bencana pada wilayah di bawahnya, seperti Kabupaten Bireun, Lhoksuemawe, Aceh Utara, atau Aceh Timur. Bahkan keberadaan kawasan hutan di wilayah Bener Meriah mampu mereduksi emisi global Bumi.

(3)

Jasa ekologis t elah dit empat kan pada posisi sangat st rat egis seiring mulai t umbuhnya kesadaran masyarakat dunia t erhadap lingkungan hidup. Fungsi-fungsi ekologis, sepert i pengat uran suhu bumi, keberlanjut an ket ersediaan pangan, air bersih, maupun kebut uhan bahan baku indust ri menempat kan negara-negara pemilik sumberdaya mendapat kan posisi pent ing. Pepat ah at au sindiran Green Peace, sebuah lembaga lingkungan t erhadap kerakusan mengeksploit asi SDA t elah t erbukt i kebenarannya.

“ Jika air t erakhir t elah t ercemar, ikan t erakhir t elah t ert angkap dan pohon t erakhir t elah mat i, maka kit a akan menyadari kalau kit a t idak bisa makan uang” .

Hut an bukan hanya kayu. Fungsi hut an selain sumber plasma nut fah, menyedia air bersih, pengendali banjir, juga berperan sebagai penyeimbang suhu bumi. Tanaman hut an mampu menyerap emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilepas kegiat an indust ri, t ransport asi maupun kegiat an rumah t angga sebagai penyebab ut ama pemanasan global (global w arming). Unt uk it u, negara-negara indust ri sebagai negara yang mempunyai kemampuan finansial lebih sekaligus sebagai penyumbang emisi t erbesar harus membayar kompensasi kepada negara-negara pemilik hut an, khususnya negara berkembang. Pada saat ini sedang berlangsung diskusi/w acana/pembahasan baik di dalam negeri maupun di t ingkat int ernasional mengenai kompensasi pembayaran melalui skema REDD (reducing emissions f rom deforest at ion and degradat ion). Skema kompensasi pembelian carbon melalui pengelolaan hut an rencananya akan diberlakukan pada t ahun 2012 seiring berakhirnya masa berlakunya Prot okol Kyot o t ent ang rencana aksi perubahan iklim (climat e change).

Skema lain yang juga memanfaat kan jasa alam dan lingkungan adalah PES (Payment s for Environment al Sevices). Skema PES t idak hanya t erbat as pada kaw asan hut an, t api juga kaw asan lain yang berfungsi menjaga kualit as lingkungan, t ermasuk danau, daerah aliran sungai, raw a maupun hut an.

Dalam UU No 26 t ahun 2007 t ent ang Penat aan Ruang t elah diat ur juga t ent ang jasa lingkungan melalui skema int ensif dan disint ensif. Penerapan int ensif dan disint ensif sebagai upaya pengendalian pemanfaat an ruang agar t et ap menjaga daya dukung lingkungan t anpa mengurangi manfaat lain bagi pemilik w ilayah. Dalam Pasal 38 disebut kan :

(1) Dalam pelaksanaan pemanfaat an ruang agar pemanfaat an ruang sesuai dengan rencana t at a ruang w ilayah dapat diberikan insent if dan/at au disinsent if oleh Pemerint ah dan pemerint ah daerah.

(2) Insent if sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat at au upaya unt uk memberikan imbalan t erhadap pelaksanaan kegiat an yang sejalan dengan rencana t at a ruang, berupa:

a. keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sew a ruang, dan urun saham;

b. pembangunan sert a pengadaan infrast rukt ur; c. kemudahan prosedur perizinan; dan/at au

d. pemberian penghargaan kepada masyarakat , sw ast a dan/at au pemerint ah daerah.

(3) Disinsent if sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat unt uk mencegah, membat asi pert umbuhan, at au mengurangi kegiat an yang t idak sejalan dengan rencana t at a ruang, berupa:

a. pengenaan pajak yang t inggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibut uhkan unt uk mengat asi dampak yang dit imbulkan akibat pemanfaat an ruang; dan/at au

b. pembat asan penyediaan infrast rukt ur, pengenaan kompensasi, dan penalt i.

(4) Insent if dan disinsent if diberikan dengan t et ap menghormat i hak masyarakat .

(5) Insent if dan disinsent if dapat diberikan oleh:

a. Pemerint ah kepada pemerint ah daerah;

b. pemerint ah daerah kepada pemerint ah daerah lainnya; dan c. pemerint ah kepada masyarakat .

(6) Ket ent uan lebih lanjut mengenai bent uk dan t at a cara pemberian insent if dan disinsent if diat ur dengan perat uran pemerint ah.

Skema lain yang juga menjadi peluang unt uk memperoleh pendapat an dana dari jasa alam dan lingkungan adalah kew ajiban perusahaan menyediakan dana unt uk pengelolaan lingkungan at au program responsibilit as perusahaan unt uk kegiat an sosial (corporat e social responsibilit y - CSR). Selain berbagai dukungan program yang sifat nya suka rela dari banyak lembaga sw adaya masyarakat .

(4)

Pemda maupun masyarakat harus berperan ganda. Mengelola sekaligus menjaga, agar fungsi ekologis tetap berfungsi maksimal. Sebaliknya, menjadi penting mulai dipikirkan sistem pemanfaatan jasa ekologis bagi wilayah-wilayah penerima manfaat (daerah tengah maupun hilir), serta wilayah lain. Sehingga keterbatasan dalam pemanfaatan sumberdaya alam karena menjaga fungsi ekologis dapat tergantikan dengan keuntungan dari jasa ekologis.

C. Potensi

Tipe tanah padzolik yang mendominasi kawasan Bener Meriah telah menjadikan sebagian kawasan ini sebagai lahan subur dan cocok untuk pengembangan berbagai jenis tanaman holtikultura maupun tanaman keras.

Kesuburan tanahnya, memposisikan suku Gayo sebagai penduduk asli yang sangat ulung mengolah tanah pertanian. Kopi merupakan produk unggulan tanah gayo ini yang telah mulai dikembangkan sejak tahun 1908. Daerah Bener Meriah dan Aceh Tengah yang berada di ketinggian lebih dari 1.000 mdpl sangat cocok untuk budidaya kopi, khususnya jenis Arabika. Kedua Kabupaten yang sebelumnya menjadi satu memiliki kebun kopi terluas di Indonesia, 81.000 ha; 42.000 hektar di Kabupaten Bener Meriah dan 39.000 hektar di Aceh Tengah. Dari jumlah penduduk yang tinggal di sana sejumlah 113.193 jiwa, 15.724 jiwa merupakan petani kopi, dengan jumlah produksi 1.151.934 ton/tahun (data tahun 2006).

Trend dan kebutuhan terhadap kelestarian lingkungan berjalan seiring dengan pola pertanian kopi di Bener Meriah. Sistem organik yang diterapkan menjadikan produk kopi petani dari Bener Meriah diterima baik di pasar Internasional. Pasar kopi Gayo Mountain Organik Coffee ini antara lain: Amerika, Belanda, dan Jepang.

Kabupaten ini pun merupakan produsen hortikultura dan sayur-sayuran yang dipasok ke seluruh Aceh. Selain kopi, komoditi lain adalah coklat, kelapa, kelapa sawit, lada, nilam, tembakau dan tebu. Buah-buahan seperti alpokat, durian, nangka maupun markisa pun tumbuh subur. Komoditi pertanian lain adalah padi. Sekalipun bukan merupakan lumbung padi, namun beberapa kawasan di Bener Meriah merupakan areal persawahan. Padi tumbuh subur. Peternakan adalah sektor lain yang juga cukup baik dikembangkan di Kabupaten Bener Meriah. Agro wisata merupakan mimpi Kabupaten Bener Meriah yang menggabungkan keindahan alam dan komoditas unggulan dalam bidang pertanian dan peternakan.

Keindahan alam berupa hamparan hutan, gunung, sungai maupun beragam budaya menjadikan kabupaten ini pun sangat potensial sebagai kawasan tujuan wisata. Hutan Leuser, gunung api Bur Ni Telong, air terjun Bidin maupun hamparan perkebunan kopi menjadi daya tarik wisata, selain pemandian air panas.

(5)

Sumberdaya alam yang juga dimiliki Kabupaten Bener Meriah adalah tambang dan mineral. Teridentifikasi potensi tambang di Kabupaten Bener Meriah diantaranya adalah emas, timah hitam, dan tembaga di Blok Lampahan. Potensi tambang lain adalah galian C yang saat ini telah banyak di eksploitasi.

Hutan yang menutup 60 % kawasan Bener Meriah telah dan akan dimanfaatkan. Salah satu rencana pemanfaatan adalah keluarnya rekomendasi dari Pemerintah Propinsi untuk HTI (hutan tanaman industri) sebagai pemasok kebutuhan bahan baku bubur kertas. Perkebunan kelapa sawit nampaknya masih menjadi primadona untuk ditanam pada kawasan-kawasan yang dianggap cocok bagi pertumbuhannya.

Peluang atau kekuatan lain adalah mempertahankan dan melanjutkan pola pertanian yang telah ada dan berkembang menjadi lebih luas. Yakni ingin menjadikan Kabupaten Bener Meriah sebagai sentra organik dan memanfaatkan energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi listrik yang selama ini dipenuhi melalui tenaga fosil. Potensi panas bumi, sumberdaya air maupun panas matahari dapat menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan energi listrik baik berskala mikro maupun makro. Dari penelitian yang ada, panas bumi yang dihasilkan dari gunung api Bur Ni Telong mampu menyediakan energi listrik sebesar 400 Mega Watt. Sedangkan mikro hydro dapat menyediakan paling tidak 2,3 mega watt. Artinya, tenaga listrik yang akan dihasilkan sumberdaya alam terbarukan ini surplus dari kebutuhan energi listrik bagi Kabupaten sebesar 3 Mega watt.

Pemanfaatan sumber alam terbarukan yang tidak menghasilkan emisi sejalan dengan trend dunia yang sedang melakukan perang terhadap pemanasan global. Berbagai skema kerjasama dapat mulai dijajaki dan dibangun bersama lembaga atau masyarakat internasional. Satu peluang sekaligus tantangan Kabupaten Bener Meriah untuk menjadi lokomotif dalam melakukan upaya mereduksi pemanasan global atau global warming.

D. Ancaman Bencana

Kabupaten Bener Meriah memiliki potensi ancaman bencana cukup besar. Daerah berbukit dan bergunung dengan kemiringan yang tinggi berpotensi longsor atau banjir bandang. Demikian juga kehadiran empat gunungapi yang masih aktif. Tingkat kerentanan akan semakin tinggi jika dalam pemanfaatan ruang dan pengelolaan kawasan tidak disertai kajian dampak lingkungan maupun kajian risiko. Alih fungsi kawasan hutan untuk berbagai kepentingan akan menyebabkan fungsi ekologis kawasan berkurang atau bahkan hilang. Demikian juga berbagai aktifitas pertanian pada lahan-lahan dengan kemiringan di atas 30 %, penambangan galian C dapat memicu bencana ketika kapasitas warga masyarakat lebih rendah dibandingkan ancaman yang ada. Praktek pembalakan liar yang masih terjadi di beberapa kawasan hutan pun berpotensi mendatangkan bahaya, baik banjir maupun longsor. Selain konflik satwa dengan masyarakat pinggiran hutan. Ancaman letusan gunungapi di satu sisi, perlu kewaspadaan pada wilayah-wilayah yang masuk pada kawasan bahaya (daya jangkau erupsi).

Sebagaimana juga wilayah lain di Indonesia, secara alamiah Kabupaten Bener Meriah memiliki kerentanan yang tinggi terhadap bencana. Dari catatan kejadian bencana, ancaman bencana yang terdapat di Kabupaten Bener Meriah adalah :

(6)

a. Gempa bumi

Tatanan geologi dan tektonik Indonesia membentuk jalur gempa dan jalur gunungapi dengan ribuan titik pusat gempa dan ratusan gunungapi yang pernah dan terus berpotensi untuk menjadi ancaman. Gerakan seismik yang kemudian menimbulkan gempa bumi tektonik disebabkan oleh pergeseran di dalam perut bumi. Kabupaten Bener Meriah tidak bebas dari dampak seismik pergeseran lempeng bumi yang menyebabkan gempa bumi. Hampir seluruh wilayah Kabupaten Bener Meriah berpotensi terhadap ancaman gempa bumi tektonik. Saat kejadian gempa bumi yang diikuti gelombang tsunami di Aceh dan Sumatra Utara, getaran gempa sampai ke wilayah Bener Meriah. Bahkan beberapa saksi mata menyatakan, danau laut air tawar memuculkan gelombang besar.

Selain gempa tektonik, keberadaan gunungapi juga dapat memicu gempa vulkanik. Gempa yang disebabkan oleh aktifitas vulkanik.

b. Erupsi gunungapi

Terdapat empat gunungapi di Kabupaten Bener Meriah. Diantaranya adalah Gunungapi Bur Ni Telong dan Gereudong. Pascagempa 26 Desember 2004, banyak terjadi perubahan pada gunung berapi Bur Ni Telong ini. Perubahan itu merupakan indikasi aktivitas gunungapi ini mengalami peningkatan. Tanda-tanda itu antara lain meningkatanya suhu sekitar gunung berapi menjadi 550 C dari yang sebelumnya berkisar 45-480 C, temperatur air meningkat, kondisi geokimia (kimia tanah) berubah, tumbuhan lingkaran puncak gunung mengering semakin melebar.

Gunung Gereudong sudah pernah meletus dan kini dalam kondisi pasif. Sedangkan gunung berapi Bur Ni Telong pernah tidak pasif dalam jangka waktu 17 tahun. Gugusan gunungapi di Bener Meriah termasuk kawasan patahan Semangko (sesar Semangko) yang membujur sepanjang pulau Sumatera dan Jawa. Terjadinya patahan yang menyebabkan tumbukan keras di Samudera Indonesia tgl 26 Desember 2004 lalu telah memicu aktifnya sejumlah gunung berapi di Aceh termasuk Bur Ni Telong.

Ahli gunungapi menyimpulkan, bila gunung Bur Ni Telong meletus, maka akan memuntahkan magma –– batu panas dan material panas dari perut bumi lainnya –– sejauh lima kilometer dari kawahnya. Kawasan (area) radius lima kilometer kategorikan daerah bahaya, sedangkan dalam radius delapan kilometer digolongkan area waspada yang akan ditimpa gelindingan batu, debu, dan hawa panas. Dari penelitian yang teleh dilakukan, ditemukan tiga kawah (cordera) tempat keluarnya magma. Kawah terbesar dan termuda diduga sangat aktif mengarah ke bagian tenggara, tepat ke lokasi Kantor Bupati Bener Meriah sekarang. Bila lontaran magma sangat kuat dari perkiraan, maka kantor Bupati juga berada dalam kondisi bahaya.

Selain letusan, ancaman lain gunungapi adalah berupa gempa vulkanik, gas beracun dan banjir lahar dingin.

)

Gem pa bum i; rum ah yang dibangunan tidak didasarkan konstruksi tahan gem pa dapat m em bahayakan penghuninya akibat runtuhan bangunan (doc. gem pa dan tsunam i Aceh, 2004-sofyan

(7)

c. Tanah Longsor

Bencana tanah longsor sering terjadi di daerah yang memiliki derajat kemiringan tinggi, yang diperburuk oleh penataan penggunaan lahan yang tidak sesuai. Longsor umumnya terjadi pada musim basah di mana terjadi peningkatan curah hujan. Namun bukan berarti saat musim kemarau ancaman tanah longsor tidak terjadi. Beberapa pemicu terjadinya tanah longsor dapat terjadi tanpa mengenal musim.

Sebagai daerah yang didominasi oleh lahan-lahan yang berbukit dan bergunung, Kabupaten Bener Meriah sangat berpotensi terhadap terjadinya tanah longsor. Bahkan kejadian tanah longsor di Kabupaten Bener Meriah tidak mengenal musim. Intensitas terjadinya longsoran, baik di wilayah pemukiman, lahan pertanian maupun menutup badan jalan semakin tinggi saat musim penghujan.

Kerentanan terhadap tanah longsor akan menjadi lebih tinggi ketika sistem pemanfaatan lahan tidak menyesuaikan kondisi dan struktur tanah.

Tanah longsor yang menutup akses masyarakat dengan wilayah lain merupakan ancaman yang cukup serius. Kerentanan masyarakat dalam bentuk ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya dari luar akan menyebabkan ketergangguan penduduk. Dampaknya, terjadi ketergangguan sistem sosial pada wilayah terisolir. Sekalipun tanah longsor tidak langsung mengenai pemukiman maupun menimbulkan korban jiwa saat longsor terjadi, kejadian ini tetap dikategorikan sebagai bencana.

d. Angin ribut

Karakter klimatologi dan meteorologi Indonesia menimbulkan pertukaran musim yang diwarnai depresi tropis sampai dengan badai dan angin topan.

Beberapa kawasan di Kabupaten Bener Meriah seperti Kecamatan Permata, Syiah Utama, Bukit, Timang Gajah (2006), pintu Rime Gayo (2007) telah mengalaminya. Hujan yang disertai angin besar telah menyebabkan kerusakan serius.

e. Kabakaran

Kebakaran hutan dan lahan sudah terjadi sejak dulu, baik disebabkan oleh faktor alam maupun disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pembukaan lahan. Namun kecenderungan saat ini, kebakaran hutan dan lahan lebih disebabkan oleh aktifitas manusia. Hal ini terlihat dari titik api (hot spot) yang didominasi pada kawasan perkebunan skala besar (kelapa sawit), maupun kawasan-kawasan yang berdekatan dengan pemukiman.

Selain kebakaran lahan yang juga terjadi di Kabupaten Bener Meriah seperti di Kecamatan Bandar dan Syiah Utama, kebakaran juga terjadi di pemukiman penduduk. Kebakaran skala luas yang menyebabkan terganggunya sistem sosial, menimbulkan kerugian (jiwa, harta atau lingkungan) serta ketidakmampuan komunitas mengatasi masalahnya sendiri masuk dalam kategori bencana.

(8)

f. Banjir

Daerah yang berbukit dan bergunung di Kabupaten Bener Meriah memiliki tingkat kerawanan yang tinggi, khususnya banjir bandang (flash flood). Banjir bandang yang pernah terjadi di Kabupaten Meriah seperti di Kecamatan Bandar dan merusak sejumlah rumah warga tidak lepas dari pemanfaatan ruang yang ada, baik sebagai pemukiman maupun lahan pertanian. Alih fungsi hutan menjadi lahan

pertanian pada kemiringan tertentu menjadi ancaman yang sangat besar pada kawasan dengan topograpi berbukit. Air hujan yang tertahan dan menjadi bendungan pada jalur lintasan air (run off) akan menjadi sangat berbahaya ketika jebol. Air dalam jumlah banyak akan menggelontor secara bersamaan dengan membawa matrial yang sanggup dibawa. Menghancurkan apa yang dilewati, termasuk rumah, lahan pertanian, infrastruktur maupun jiwa manusia.

g. Kekeringan

Ancaman alam yang lain adalah kerawanan pangan akibat kemarau panjang. Sekalipun kecil kemungkinan untuk wilayah Kabupaten Bener Meriah, namun tetap perlu diwaspadai. Kekeringan selain mengakibatkan krisis pangan karena gagal panen, juga menyebabkan kurangnya ketersediaan air bersih. Dampaknya adalah kualitas kesehatan masyarakat yang buruk. Jika sampai terjadi wabah disentri atau diare yang meluas, maka ini pun masuk dalam katagori bencana.

Ancaman kekeringan semakin tinggi seiring dengan terjadinya perubahan iklim. Beberapa daerah yang sebelumnya tidak pernah mengalami krisis air bersih atau pangan, bisa jadi menjadi kawasan yang terkena. Untuk itu, memetakan kawasan yang rawan bencana akibat kekeringan menjadi penting dilakukan.

h. Hama Penyakit Tanaman

Hama dan penyakit tanaman dapat menyerang tanaman secara besar-besaran sehingga mengakibatkan kerusakan tanaman pertanian dan kegagalan panen, seperti yang pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Hama belalang pernah menyerang wilayah Lampung dan NTT.

Kabupaten Bener Meriah sebagai sentra holtikultura dan pertanian kopi tidak menutup kemungkinan mengalami itu. Tidak hanya hama belalang atau tikus seperti yang pernah menyerang beberapa wilayah di Indonesia, tapi juga berbagai hama penyakit tanaman lainnya yang dapat mengancam tanaman komoditas petani di Kabupaten Bener Meriah.

i. Epidemi, Wabah, Kejadian Luar Biasa

Epidemi, Wabah dan Kejadian Luar Biasa merupakan ancaman yang diakibatkan oleh menyebarnya penyakit menular yang berjangkit di

u Rusaknya hutan m enciptakan petaka bagi m asyarakat . (doc. Banjir bandang di Aceh Tenggara, 2006 - WALHI Aceh)

(9)

suatu daerah tertentu. Pada skala besar, epidemi/wabah/KLB dapat mengakibatkan korban jiwa dan meningkatnya jumlah penderita penyakit.

Mewabahnya Flu Burung (avian flu) dan Flu Babi telah menggegerkan beberapa wilayah di Indonesia. Dampaknya tidak hanya bagi kesehatan, tapi juga berdampak pada iklim investasi dan pariwisata.

Wabah yang juga perlu diwaspadai adalah yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan. Diare, disentri, campak atau demam berdarah merupakan wabah yang kerap melanda beberapa wilayah di Indonesia. Banyaknya penderita kerap membuat fasilitias kesehatan yang tersedia tidak mencukupi. Kondisi ini menyebabkan penduduk terkena wabah semakin menderita. Penanganan yang tidak maksimal dapat menyebabkan kematian.

j. Kegagalan Teknologi

Pada era kemajuan teknologi yang sangat pesat saat ini, banyak dijumpai kecelakaan-kecelakaan yang diakibatkan oleh kelalaian maupun kesalahan desain teknologi. Akibatnya sangat fatal. Selain korban jiwa, juga harta dan kerusakan lingkungan. Kebocoran yang terjadi di pusat nuklir Chernobyl Rusia, misalnya menimbulkan kerugian yang luar biasa. Kawasan tersebut menjadi tertutup karena radiasi radio aktif sampai waktu bertahun-tahun.

Kegagalan teknologi transgenik juga merupakan salah satu ancaman potensial berkenaan Negara Indonesia sebagai pasar terbuka bagi berbagai produk pertanian. Sekalipun dalam kebijakan pemerintah telah menggunakan pendekatan kehati-hatian dalam uji coba tanaman transgenik, namun tidak menutup kemungkinan uji coba dilakukan secara illegal.

k. Pencemaran Lingkungan

Di negara kita pertumbuhan industri melaju dengan pesat. Akibat dari munculnya industri-industri baru, timbul masalah pencemaran yang dihasilkan dari limbah industri-industri yang dapat mencemari lingkungan, baik melalui udara, tanah maupun air.

Adanya potensi tambang emas sangat berpotensi memunculkan pencemaran tanah dan air. Mercuri dan atau arsen sebagai media memisahkan logam emas dengan tanah/batuan jika tidak dikelola dengan baik akan mencemari air bersih yang dikonsumsi warga. Tailing atau limbah pertambangan juga memiliki tingkat racun logam berat yang secara akumulatif dapat merusak kesehatan masyarakat.

Industri rumah tangga perlu disikapi secara bijak. Kemampuan yang rendah dalam mengelola limbah perlu difasilitasi oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan limbahnya. Membuat instalasi air limbah (IPAL) terpadu akan sangat membantu upaya pengelolaan lingkungan sekaligus menjaga usaha masyarakat skala kecil tetap berjalan.

l. Konflik sosial

Konflik sosial dapat berupa kerusuhan atau konflik bersenjata. Aceh telah memiliki pengalaman kelam selama puluhan tahun dilanda konflik bersenjata. Tidak saja berbagai infrastruktur menjadi rusak, hancur atau terbengkalai, tapi juga roda kehidupan masyarakat maupun pemerintah menjadi terganggu.

(10)

Keragaman suku, budaya maupun agama merupakan aset Negara. Namun perlu upaya yang terus menerus menjaga keharmonisan dalam menjalankan kehidupan.

Konflik antar komunitas maupun unit sosial di atasnya terjadi apabila secara langsung maupun tidak langsung ada upaya saling mengambil aset-aset atau mengganggu proses mengakses aset-aset penghidupan tersebut di atas. Pengambilan aset maupun gangguan atas akses penghidupan dapat dipicu oleh permasalahan lingkungan. Aktifitas komunitas maupun unit sosial di atasnya yang memunculkan permasalahan lingkungan akan menjadi ancaman bagi pihak lain apabila aset-aset penghidupannya dan akses penghidupannya terganggu.

m. Konflik satwa

Gangguan satwa liar terhadap kehidupan penduduk merupakan ancaman lain. Jika komunitas masih mampu mengatasi gangguan satwa tersebut dan tidak menimbulkan ketergangguan sistem sosial, masih dapat ditolelir. Namun jika komunitas tidak lagi mampu mengatasi, dan keberadaan satwa liar tersebut mengganggu sistem kehidupan, maka ini merupakan bagian dari bencana.

Masuknya satwa liar dalam lingkungan masyarakat disebabkan banyak faktor. Diantaranya adalah karena pemukiman penduduk merupakan jalur lintasan hewan tersebut. Misalnya gajah yang hidup secara berkelompok. Pada priode waktu tertentu, gajah akan kembali lagi pada jalur yang dilewati sebelumnya. Berubahnya habitat lintasan menjadi pemukiman maupun lahan pertanian telah menyebabkan konflik terjadi.

Selain itu penyebabnya adalah karena tidak mencukupinya lagi makanan di dalam hutan karena kerusakan lingkungan atau perburuan satwa makanan predator. Harimau dapat memasuki perkampungan dan memakan hewan ternak penduduk. Tidak jarang manusia menjadi korban. Sedangkan monyet ekor panjang (macaca) atau babi hutan lebih dikarenakan makanan atau habitatnya rusak.

Banyaknya pemukiman di Kabupaten Bener Meriah yang berbatasan dengan hutan berpotensi terhadap terjadinya konflik satwa liar.

Catatan peristiwa bencana selama tahun 2007 memperlihatkan kejadian ancaman yang berpotensi menjadi bencana. Diantaranya adalah tanah longsor 10 kali, banjir bandang 6 kali, gempa bumi 2 kali, kebakaran 14 kali, angin topan 10 kali. Kejadian-kejadian tersebut tidak menimbulkan korban jiwa. Dibandingkan tahun 2006, beberapa kejadian tahun 2007 mengalami penurunan. Seperti kebakaran mengalami penurunan yang mencapai 20 kali pada tahun 2006. Namun beberapa peristiwa juga mengalami peningkatan, seperti banjir bandang dan longsor, sebelumnya masing-masing lima kali kejadian, dan angin ribut 13 kali kejadian. Terdapat korban jiwa pada kejadian tahun 2006 sebanyak 13 orang.

2. Mengarus-utamakan PRB dalam Pembangunan

Pada dasarnya upaya pengurangan risiko bencana (PRB) telah berjalan di Kabupaten Bener Meriah. Namun, upaya tersebut masih bersifat sektoral dan berjalan sendiri-sendiri di masing-masing instansi. Yang perlu dilakukan adalah mengintegrasikan serta memperkuat upaya-upaya PRB dalam satu kerangka besar. Menjadikan PRB sebagai arus utama pembangunan.

(11)

Risiko upaya PRB yang dilakukan secara sektoral, selain memungkinkan terjadinya tumpang tindih, juga bisa jadi memunculkan dampak meningkatnya risiko dari sektor lain yang kurang mendapatkan perhatian. Kurangnya perhatian bisa dikarenakan dianggap bukan menjadi wewenang sektor pelaksana proyek. Salah satu yang banyak terjadi adalah pembangunan fisik berupa pembangunan jalan untuk menghubungkan kawasan-kawasan terisolasi.

Membuka keterisolasian wilayah merupakan bagian dari upaya PRB, baik untuk membuka peluang masyarakat memasarkan produknya, membuka akses informasi, pengetahuan dan kemampuan maupun membuka ruang pada pihak lain untuk mendorong proses pengembangan kawasan (investasi). Namun begitu, upaya membuka keterisolasian sebagai bagian dari upaya PRB dapat berimplikasi atau memunculkan dampak negatif jika tidak disertai kajian yang mendalam tentang risiko. Disinilah pentingnya pengitegrasian atau mengarus-utamakan PRB dalam kontek pembangunan. Selain mengkaji rencana pembangunan jalan itu sendiri, juga perlu dikaji dampak lingkungan dan risiko serta penyiapan komunitas atas terbukanya akses setelah jalan tersebut dibangun. Disini dapat disimpulkan, pembangunan jalan bukan hanya sekedar membangun secara fisik jalan itu sendiri dan menjadi wewenang dinas PU, tapi juga perlu ada keterlibatan dinas atau pihak lain, seperti akademisi maupun masyarakat itu sendiri.

Terbukanya kawasan melalui akses jalan dapat mereduksi meningkatnya risiko. Untuk itu, mungkin dibutuhkan kebijakan khusus yang dapat mencegah dampak negative dari pembukaan jalan tersebut. Misalnya terbuka akses transportasi justru meningkatkan aktifitas pembalakan liar, alih fungsi kawasan hutan dan pertanian, munculnya pemukiman baru pada kawasan konservasi dll. Terbukanya akses kawasan, juga perlu diimbangi dengan penyiapan sumberdaya manusia ditingkat masyarakat. Sehingga masyarakat mampu mengakses atau memiliki posisi tawar yang kuat pada sektor ekonomi (investasi).

Strategi dalam pembangunan dengan mengarus-utamakan pengurangan risiko bencana secara ringkas diartikan sebagai pola atau rencana yang sistematis dalam arus keputusan atau tindakan dalam pembangunan (perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi) yang menempatkan pengurangan risiko bencana sebagai landasan berpikir yang mempengaruhi strategi yang ada.

Untuk menyusun sebuah strategi pembangunan, idealnya disusun sebuah Perencanaan Strategis ( R E N S T R A ) P e m b a n g u n a n Kabupaten Bener Meriah dengan mengarus-utamakan pengurangan risiko bencana. Penyusunan RENSTRA melibatkan seluruh sektor terkait dengan mandat yang jelas dari penanggung jawab instansi. Sekalipun tidak diikuti secara langsung oleh Kepala Dinas, hasil RENSTRA harus mengikat dan menjadi landasan pembangunan di Kabupaten Bener Meriah. Dokumen

(12)

RENSTRA sebagai hasil analisis bersama yang dilandasi data dan informasi yang kuat, akan menghasilkan rencana aksi (action plan) dan pembagian kerja yang mengarah pada satu visi, missi dan tujuan bersama. Dokumen renstra sendiri akan menjadi dokumen penting dalam penyusunan rencana kerja masing-masing instansi.

Secara ringkas, kebutuhan dalam mengimplementasikan pengarusutamaan PRB dalam pembangunan antara lain ;

A. Komitmen Bersama

Komitmen untuk menjalankan agenda atau membangun strategi bersama pengurangan risiko bencana mutlak dibutuhkan. Karena komitmen inilah yang melandasi sinergitas dalam menjalankan keberlanjutan dari strategi yang telah tersusun. Tidak lagi menjadi milik satu instansi, tapi menjadi milik bersama, milik Pemerintah Kabupaten Bener Meriah.

Masyarakat maupun organisasi swadaya masyarakat (LSM), baik LSM Lokal, Nasional maupun internasional yang bekerja di Kabupaten Bener Meriah perlu dilibatkan secara aktif. Selain kelompok bisnis tentunya. Pelibatan pemangku kepentingan selain sebagai bagian dari transparansi, mendapatkan masukan maupun dalam kerangka merumuskan agenda bersama. Komitmen bersama dapat diikat dalam sebuah nota kesepahaman atau bentuk lain. Termasuk mewadahi para pemangku kepentingan dalam sebuah wadah atau forum.

Untuk menjamin komitmen bersama ini terus berjalan sesuai skenario dan kebutuhan, penting dipikirkan media pengikat, seperti komitmen politik yang mengikat. Komitmen politik kerap dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU). Untuk meng-operasionalkannya, dapat dijabarkan dalam bentuk penyusunan rencana strategis (RENSTRA) yang disusun secara bersama-sama oleh para pemangku kepentingan.

Sebagai bagian dari menjaga dan memperkuat komitmen bersama adalah dilakukannya pengawasan (monitoring) dan evaluasi. Dari proses ini, akan diketahui tingkat keberhasilan maupun kendala-kendala yang dihadapai. Baik saat perencanaan maupun pelaksanaan dari pengarus-utamaan pengurangan risiko bencana dalam pengelolaan pariwisata.

Komitmen pemimpin pemerintahan dan legislative merupakan langkah awal, bagaimana arah pembangunan akan dijalankan. Dari komitmen kepala daerah dan pejabat di lingkungan Kabupaten Bener Meriah, akan menciptakan sebuah arah pembangunan yang mengarah pada pemenuhan perlindungan dan keselamatan penduduk, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Komitmen yang tinggi akan melahirkan bebagai kebijakan yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan komitmen itu sendiri.

B. Kebijakan

(13)

penderitaan yang dialami penduduk terkena bencana (PTB) yang berkepanjangan. Selain bencana pun akhirnya menciptakan kemiskinan baru. Dampak bencana yang luas, menyebabkan anggaran Negara tersedot dalam kerangka pemilihan dan pembangunan kembali.

Kondisi ini menciptakan pemahaman, pembangunan yang dilakukan harus berwawasan lingkungan yang secara otomatis juga sebagai upaya PRB. Menjaga fungsi lingkungan secara otomatis juga sebagai upaya mengurangi risiko bencana. Lebih jauh, PRB menjadi media refleksi terhadap sistem pengelolaan lingkungan sendiri. PRB tidak bersifat kaku yang mengharam-kan sebuah kawasan konservasi tidak bisa disentuh sama sekali. PRB pada dasarnya menyeimbangkan fungsi alam dan lingkungan dengan kebutuhan manusia. Harmonisasi tersebut saling disadari dan dijaga melalui berbagai kesepakatan, baik tertulis maupun tidak tertulis disertai penegakan hukum yang kuat.

Dukungan berupa kebijakan masih menjadi kunci pelaksanaan PRB dalam pembangunan. Sekalipun mainstreaming (pengarus-utamaan) PRB telah menjadi tuntutan dan menjadi trend di tingkat Internasional, namun di Indonesia isu PRB masih tegolong baru. PRB masih dipahami sektoral dan menjadi kewenangan instansi tertentu. Demikian juga dengan kerja-kerja masing-masing bidang. Seperti mitigasi struktural, seolah hanya menjadi bidang kerja Departemen atau Dinas PU atau Departemen atau Dinas Kehutanan. Masuknya beberapa kegiatan dalam instansi lain dianggap sebagai sebuah kebetulan atau melengkapi.

Kebijakan penanggulangan bencana telah disahkan melalui UU No 24 tahun 2007. Untuk mengoperasionalkan beberapa pasalnya, teleh juga dikeluarkan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden. Untuk implementasi di level daerah masih dibutuhkan perangkat kebijakan, baik dalam bentuk Peraturan Daerah atau Qanun di tingkat Propinsi Aceh/Kabupaten/Kota maupun surat keputusan kepala daerah. Qanun ini akan menjadi landasar Propinsi Aceh maupun Kabupaten Bener Meriah untuk menjalankan kerja-kerja penang-gulangan bencana secara komprehensip. Termasuk menyelaraskan berbagai kebijakan dan program pembangunan dalam kontek penanggulangan bencana.

Kebijakan setingkat Undang-undang yang sangat berkaitan erat dengan upaya PRB adalah UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang Penataan Ruang telah dengan tegas mewajibkan pengelolaan ruang atau kawasan memperhatikan aspek ancaman bencana dan pengurangan risiko terhadap dampak bencana. Demikian juga UU PPLH yang sebagai upaya tindakan preventif dan mitigasi bencana.

Selain UU Penanggulangan Bencana di tingkat Nasional, untuk menjadikan PRB sebagai arus utama dalam pembangunan

telah dikeluarkan RAN PRB oleh B A P P E N A S . H a r a p a n n y a , m a s i n g - m a s i n g d a e r a h menterjemahkannya melalui penyusunan RAD PRB oleh B A P P E D A P r o p i n s i a t a u Kabupaten/ kota.

Sangat disadari, untuk proses penyusunan dua landasan k e b i j a k a n t e r s e b u t

(14)

membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Dibutuhkan keterlibatan masyarakat, sektor swasta selain lintas sektor di tingkat Pemerintah Daerah sendiri. Dan untuk menjalankan atau untuk memenuhi kebutuhan menyusun rencana strategis (RENSTRA) pembangunan mengarus-utamakan PRB di level Kabupaten Bener Meriah , dapat dilakukan dalam bentuk surat keputusan Kepala Kabupaten (Bupati). Surat keputusan Kepala Kabupaten akan mengikat seluruh instansi pemerintah maupun masyarakat untuk bersama-sama mensinergiskan program kerja yang ada dalam satu kerangka strategis dengan memasukan PRB sebagai arus utama.

Dari pembahasan RENSTRA, akan memunculkan berbagai kebutuhan mau-pun program yang akan ditindak lanjuti. Jika dibutuhkan kebijakan setingkat Qanun, maka penyusunan kebijakan daerah tersebut menjadi bagian dari program kerja yang akan dilakukan. Salah satunya adalah melakukan analisis kelembagaan penanggulangan bencana (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) atau Qanun tentang penanggulangan bencana. Beberapa kegiatan penting dan harus segera dibuat, dapat menjadi agenda bersama seperti pemetaan kawasan rawan dan komunitas rentan, rencana kontijensi atau rencana kedaruratan, peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan masyarakat, maupun berbagai fasilitas publik yang dirancang sebagai sarana untuk kondisi darurat.

C. Biaya/Anggaran

Biaya atau anggaran adalah item penting dalam menjalankan sebuah kegiatan. Sebelum menyusun strategi pembangunan yang mengarus-utamakan PRB yang akan melibatkan banyak komponen, dibutuhkan kepastian anggaran untuk menjamin agenda-agenda tersebut dapat dilakukan. Anggaran tersebut, dapat disediakan oleh Pemerintah Daerah sendiri (APBD), Pemerintah Nasional (APBN) atau pihak lain yang berkomitmen mendukung agenda penyusunan RENSTRA atau pelaksanaan dari strategi itu sendiri. Kepastian pembiayaan menjadi penting untuk memastikan seluruh agenda dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan.

Lebih lanjut, dalam pelaksanaannya dapat dikelola oleh masing-masing instansi penanggung jawab/instansi teknis melalui sebuah sistem koordinasi terpadu. Hal ini untuk melihat sinergis antar bidang yang saling berkaitan.

Perlu disadari, PRB masih menjadi “barang baru” di Indonesia. Sekalipun telah berjalan hampir lima tahun atau dua tahun setelah UU PB di sahkan. Untuk menjamin sinergitas seluruh agenda, perlu dipertimbangan membentuk unit kerjasama antar bidang dalam satu wadah (forum lintas instansi). Forum ini melibatkan berbagai instansi yang ada di Kabupaten Bener Meriah ditambah perwakilan masyarakat, akademisi, LSM dan organisasi profesi dan kemasyarakatan maupun kelompok bisnis. Dalam forum ini, akan saling melaporkan hasil atau capaian dari kerja-kerja masing-masing dikaitkan dengan focus kerja bersama. Mengkaji kendala-kendala yang dihadapi sekaligus mencari solusinya.

(15)

karena Satlak PB bentuknya ad hoc, maka perlu ditunjuk pelaksana teknis atau pelaksana harian. Berkaitan konsekuensi pembiayaan, baik bentuknya forum atau Satlak PB yang akan memfasilitasi bebagai kebutuhan untuk menjalankan tahap awal PRB, idealnya menggunakan dana pemerintah daerah (APBD). Jika belum teranggarkan, maka dapat diusulkan pada anggaran perubahan.

Jika pilihannya forum, maka sifatnya hanya sementara/tidak permanen, sampai ada lembaga pemerintah yang bersifat permanen. RENSTRA akan menjawab dan menjalankan kebutuhan kelembagaan ini termasuk pembiayaannya.

Transparansi dan keterbukaan kepada publik dalam penggunaan anggaran untuk PRB merupakan keharusan. Hal ini akan berdampak kepada kepercayaan dan dukungan publik terhadap kegiatan PRB Kabupaten Bener Meriah. Selain itu dengan adanya mekanisme transparansi dan laporan publik akan berdampak kepada kinerja dan efektifitas dalam menjalankan program atau rencana yang telah disekati. Transparansi penggunaan anggaran dana secara tidak langsung juga merupakan usaha untuk mengatasi salah satu akar masalah kerentanan yag secara umum ada di Indonesia.

D. Data-Data PRB

Kegiatan pengurangan risiko bencana merupakan proses kegiatan yang didasarkan kondisi obyektif. Untuk itu, data dan informasi yang valid merupakan syarat utama dalam menyusun agenda kerja maupun strategi pengurangan risiko bencana.

Ancaman bencana bersifat dinamis karena dipengaruhi banyak hal. Dalam kontek penanggulangan bencana, tinggi rendahnya risiko dipengaruhi oleh akar masalah dan faktor dinamis. Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi tingkat risiko bencana dari kerentanan dan ancaman yang ada.

Untuk menyusun strategi pengarusutamaan PRB dalam pembangunan demikian. Data dan informasi bukan berarti harus dilengkapi secara menyeluruh baru agenda dapat disusun dan dijalankan. Belum adanya data ancaman yang berpotensi menjadi bencana (data bahaya atau hazard map), indek risiko atau data kapasitas dan kerentanan warga masyarakat akan menyulitkan penyusunan agenda-agenda PRB dan pendekatannya. Untuk itu, pendataan atau mengumpulan data dan analisis menjadi kerja awal yang harus dilakukan sebelum menyusun kerangka strategis.

Data-data dasar yang sebagai acuan menyusun kerangka strategis antara lain:

1) peta bahaya (hazard map), 2) sejarah dan respon kebencanaan, 3) data kajian kemampuan dan kerentanan, baik pada tingkat pemerintah maupun masyarakat, 4) kelembagaan penanggulangan bencana serta kebijakan-kebijakan

y a n g b e r h u b u n g a n d e n g a n k e g i a t a n penanggulangan bencana.

Keberadaan data-data tersebut sangat penting sebagai pijakan mengetahui inti permasalahan yang ada. Sehingga memudahkan dalam pembahasan dan menarik benang merah dan kesimpulan serta menyusun berbagai skenario dan kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan, baik primer, sekunder maupun tersier serta bagaimana melakukannya.

(16)

transfer informasi dan pengetahuan kepada masyarakat. Proses dialog antar pemerintah dan masyarakat akan terjadi, termasuk gagasan-gagasan upaya PRB dari masyarakat.

Pengelolan data merupakan kegiatan lanjutan yang harus dilakukan secara terus menerus. Data kebencanaan bersifat dinamis, sehingga secara priodik harus dilakukan pembaharuan atau up date agar data yang ada selalu valid. Pengelolaan data juga penting karena akan dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Pengelolaan sistem data baik dilakukan melalui sebuah sitem data base akan memudahkan dalam penggunaan.

3. Langkah-langkah Menuju Pengurangan Risiko Bencana

Kesadaran atas potensi ancaman bencana, baik yang dipicu oleh alam (seperti gempa bumi, erupsi gunungapi, angin ribut) maupun oleh faktor lain (seperti gabungan atau intervensi manusia: banjir, longsor atau konflik satwa) telah mendorong sikap siaga instansi pemerintah dan masyarakat dalam merespon kejadian bencana. Namun pendekatan penanggulangan bencana di Kabupaten Bener Meriah masih menggunakan pendekatan respon. Kelembagaan penanggulangan bencana melalui Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) baru bergerak setelah adanya kejadian yang diindentifikasikan sebagai bencana. Saat ini (berdasarkan UU No. 24 tahun 2007) telah terjadi pergeseran yang sangat mendasar tentang pengertian dan cara pandang terhadap bencana serta pendekatan dalam penanggulangan bencana:

£ dari reaktif atau respon darurat menjadi pengurangan resiko (risk reduction) atau manajemen risiko (risk management),

£ perlindungan penduduk sebagai kewajiban Negara, dan

£ penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama, antara pemerintah, masyarakat maupun swasta.

Masih memisahkan antara upaya penanggulangan bencana dengan pembangunan menunjukan tingkat kerentanan dari pemerintah maupun masyarakatnya. Karena tujuan dari keduanya salah satu, mendorong meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri.

Refleksi dan evaluasi dari kejadian bencana yang menghancurkan hasil pembangunan serta menyedot sumber daya Negara untuk menangani dampak bencana merupakan pembelajaran berharga, bagaimana landasan dan arah pembangunan harus dijalankan. Pemanfaatan SDA untuk mendapatkan devisa Negara harus sebanding dengan risiko yang mungkin ditimbulkannya. Atau perlu upaya maksimal menekan risiko dalam pemanfaatan SDA atau pemanfaatan ruang.

(17)

Untuk mengurangi risiko bencana, perlu diambil langkah-langkah mengarus-utamakan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dalam pembangunan, sebagai berikut:

A. Pemetaan kawasan rawan dan komunitas rentan

a. Pememetaan kawasan rawan bencana

Mengetahui secara pasti kawasan-kawasan yang rawan bencana merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Kebutuhan tersebut dapat dipenuhi melalui pemetaan yang dilakukan secara baik dan benar. Tersedianya peta kawasan yang memiliki kerawanan bencana akan menjadi dasar berbagai upaya, baik pemanfaatan sumberdaya alam, pemanfaatan ruang maupun upaya mitigasi dan kesiap-siagaan yang harus dilakukan pada kawasan-kawasan berisiko. Hal ini merupakan wujud dari upaya perlindungan dan penyelamatan penduduk dari ancaman bencana.

Mengetahui jenis, risiko dan dampak ancaman bencana di seluruh wilayah Kabupaten Bener Meriah merupakan langkah awal untuk segera dilakukan. Bukan untuk membuat penduduk takut, atau membatasi upaya pemanfaatan SDA dan pembangunan. Tapi sebagai media melakukan tindakan preventif; bagaimana pemanfaatan SDA dan pemanfaatan ruang harus dilakukan serta mendorong seluruh pihak untuk membangun kesiapsiagaan dan melakukan upaya peredaman (mitigasi).

Masyarakat harus dipastikan mengetahui jenis ancaman, risiko dan dampaknya di masing-masing wilayah. Melalui pemetaan yang melibatkan masyarakat (participatory mapping), akan terjadi tranfer informasi, pengetahuan maupun pemahaman tentang jenis, karakter, tingkat risikonya maupun dampaknya bagi masyarakat dan kehidupan mereka sejak proses awal pemetaan dilakukan. Pemetaan partisipatif pun dapat mengumpulkan berbagai solusi dari masyarakat dalam mengatasi risiko bencana yang ada sesuai dengan karakteristik setempat maupun kearifan lokal yang ada. Tinggal Pemerintah Kabupaten Bener Meriah memfasilitasi untuk penyusunan rencana aksi dan pembagian peran yang jelas antara Pemerintah Kabupaten dan masyarakat sendiri.

Peta bahaya yang telah dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Bener Meriah tahun 2007 melalui Bagian Penyusunan Program Sekretariat Daerah Kabupaten Bener Meriah belum cukup menjelaskan tingkatan, risiko maupun dampak dari berbagai ancaman yang berpotensi bencana yang ada. Selain itu, peta bahaya masih belum cukup detil untuk mengetahui secara lebih rinci tingakatan kerentanan atau risko. Tingkatan risiko melalui penilaian frekwensi kejadian bencana masih sangat umum.

Idealnya, peta bahaya setingkat Kabupaten mempunyai skala 1 : 25.000 atau paling tidak 1 : 50.000. Semakin ditingkat lebih bawah semakin detil. Misalnya ditingkat kecamatan menggunakan skala 1 : 10.000, setingkat Mukim atau Kecamatan telah menggunakan skala peta 1 : 5000. Semakin besar skala yang digunakan (dalam angka menjadi semakin kecil), maka akan semakin detil. Melalui skala 1 : 10.000, akan dapat dilihat kawasan-kawasan berisiko terhadap longsor pada sebuah kecamatan. Untuk setingkat desa, peta bahaya harusnya telah memetakan pemukiman maupun lahan-lahan pertanian yang berisiko. Detilnya peta bahaya akan memudahkan penanganan maupun perlakukan terhadap aset-aset yang berisiko.

Peta bahaya harus menyajikan juga aset-aset berisiko, termasuk infrastruktur. Misalnya

(18)

jaringan transportasi, komunikasi atau sarana publik. Sehingga, ketika terjadi bencana, maka dapat diprediksi jenis kerusakan serta bagaimana bantuan akan dilakukan. Termasuk dalam mengerahkan sumberdaya untuk menangani bencana.

Peta bahaya sebaiknya menggunakan peta dasar standar yang berlaku atau digunakan oleh pengguna peta ditingkat nasional. Dalam hal ini, peta standar yang digunakan di Indonesia adalah peta yang dikelurkan Bakorsurtanal. Penggunaan peta standar akan memudahkan cara baca oleh setiap orang yang membutuhkannya.

Dari uji coba pemetaan menggunakan pendekataan GIS dalam pelatihan PRB yang diikuti oleh anggota TAGANA, satu desa dapat dipetakan secara ringkas selama 2 – 3 hari. Jika pemetaan dilakukan bersama masyarakat dengan juga memetakan sumberdaya yang ada di masyarakat, diperkirakan pemetaan partisipatif dalam satu kecamatan dapat diselesaikan dalam waktu 1 sampai dua bulan. Jika pemetaan dilakukan secara serempak diseluruh kecamatan, maka dalam waktu tiga bulan, Kabupaten Bener Meriah telah memiliki peta bahaya yang detil dan lengkap. Asumsinya, waktu satu bulan digunakan untuk mengolah data digital ke dalam software pemetaan digital.

Ketepatan dari sisi waktu dalam pemetaan sangat dipengaruhi sumberdaya manusia, peralatan pemetaan dan ketersediaan dana. Sumberdaya manusia dapat disiapkan melalui pelatihan pemetaan. Sedangkan kebutuhan alat pemetaan dan pemetaan itu sendiri dipengaruhi oleh ketersediaan dana atau jaringan.

b. Kajian kapasitas dan kerentanan

Kajian kapasitas dan kerentanan dapat dilakukan bersamaan dengan proses pemetaan dilakukan. Metode PRA (Participatory risk assessment) sebagai pengembangan metode PRA (Participatory rural appraisal) yang digagas oleh Robert Chamber tahun 80-an dapat diterapkan. Alat pengkajian secara partisipatif seperti kajian sejarah desa/kota, pemetaan sumberdaya, transek, mobilitas penduduk, diagram ven, perubahan dan kecenderungan dapat menggali dan menganalisis kapasitas dan kerentanan masyarakat.

Alat-alat PRA sebagai media menggali data dan informasi sekaligus sebagai media dialog antar masyarakat berkaitan dengan penanggulangan bencana. Dalam pemetkan sumberdaya yang ada di desa atau gampong akan dikaitkan dengan jenis-jenis ancaman yang berpotensi menjadi bencana. Dialog akan terjadi saat komunitas sebagai peserta diskusi menceritakan jenis, kejadian yang telah terjadi, upaya yang pernah dilakukan maupun gagasan untuk mengatasi masalah. Saling memberi data dan informasi maupun masukan merupakan bagian distribusi atau transfer pengetahuan antar masyarakat sendiri. Fasilitator memposisikan diri sebagai pengatur lalu lintas diskusi ditingkat masyarakat atau mencoba mempertajam pembahasan. Proses ini juga dilakukan saat menggali informasi tentang peta mobilitas, sejarah desa, maupun pengamatan langsung dilapangan melalui transek.

Untuk menyediakan tenaga fasilitator, dapat dilakukan pelatihan tentang PRA dengan peserta dari masyarakat sendiri. Pendamping atau konsultan diperlukan untuk memberi masukan atau konsultasi yang dibutuhkan fasilitator dilapangan, baik kendala-kendala yang dihadapi maupun memberi masukan tentang proses, memberi arahan dll.

(19)

masyarakat, sekaligus mencoba untuk menghubungkan antara hasil kajian dari satu alat dengan alat yang lainnya. Berbagai gagasan yang disampaikan peserta dicatat dengan jelas.

Catatan gagasan ini akan menjadi bahan dasar ketika penyusunan rencana aksi masyarakat. Gagasan awal akan didiskusikan kembali berdasarkan peluang dan tantangannya maupun hambatan dan ancamannya. Dan yang lebih penting, tentu kemungkinan rencana aksi tersebut dapat dijalankan. Rencana aksi yang paling mungkin bisa dilakukan, seperti membuat SOP (standard operation procedure) tentang penanggulangan bencana ditingkat lokal, memetakan kelompok rentan, memetakan pemukiman dan lahan pertanian yang berisiko, membuat jalur evakuasi, melakukan rehabilitasi lahan dapat menjadi prioritas karena dapat dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Sedangkan kegiatan yang harus menyertakan atau mendapatkan dukungan dari luar, dapat menjadi prioritas selanjutnya. Kecuali kegiatan tersebut menjadi sangat urgen, seperti early warning system sebagai tanda bahaya.

c. Indek risiko

Indek risiko adalah sebuah paramater untuk mengukur tingkat risiko pada sebuah wilayah. Risiko bencana bersifat dinamis. Pada satu saat, risiko akan meningkat, tapi pada saat tertentu bisa menurun. Bukan semata-mata karena ancamannya yang mengikuti alur waktu, seperti banjir dan longsor yang semakin tinggi risikonya karena faktor musim hujan, tapi juga karena manusianya (kesempatan dan kesiapan). Ancaman yang terjadi pada malam hari, disaat penduduk sendang tidur memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan siang hari di saat penduduk sedang beraktifitas dan memiliki kesempatan menghindar lebih besar. Demikian juga dengan pengetahuan dan kemampuan penduduk yang bisa berubah dari waktu ke waktu.

Indek risiko, selain perlu dibuat ditingkat Kabupaten, juga penting untuk dibuat ditingkat desa/gampong. Indek risiko akan menjadi rujukan aset yang berisiko untuk mendapatkan perhatian lebih, jika risikonya tinggi. Indek risiko juga dapat menjadi rujukan untuk terus melakukan upaya atau tindakan preventif, mitigasi maupun kesiapsiagaan. Indek risiko juga akan menjadi rujukan perencanaan kontijensi.

Karena sifatnya yang dinamis, maka indek risiko harus terus diperbaharui berdasarkan tingkat risiko yang ada. Indek risiko dapat disusun jika data dan informasi tentang kebencanaan pada suatu wilayah tersedia dan cukup lengkap. Termasuk kondisi jalan menuju wilayah berisiko dan fasilitas publik yang tersedia.

B. Review kebijakan pemanfaatan ruang (tata ruang) dan pengelolaan SDA

Review atau melihat kembali berbagai kebijakan maupun tata ruang merupakan tindakan preventif yang perlu dilakukan. Berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan berkaitan dengan pengelolaan SDA maupun penataan ruang dikaji kembali untuk dilihat tingkat risiko yang bisa ditimbulkan.

(20)

Qanun sebagai kebijakan tertinggi akan menjadi prioritas utama. Studi komparasi antar qanun dapat dilakukan untuk melihat, apakah terjadi tumpang tindih atau bahkan saling bertentangan. Bahkan bisa jadi terdapat Qanun yang memicu meningkatnya risiko bencana. Izin pertambangan galian C misalnya, tentu mempunyai rujukan dari Qanun yang mengatur tentang pertambangan galian C, baik dari proses perijinan, ekploitasi maupun pemasukan pendapatan ke kas daerah. Demikian juga perizinan mendirikan bangunan (IMBB), apakah telah mensyaratkan dibangun ditempat yang relatif aman serta mensyaratkan kualitas atau model bangunan yang disesuaikan dengan jenis ancaman yang ada?

Kebijakan pemanfaatan ruang akan berkontribusi besar terhadap upaya perlindungan dan keselamatan. Untuk itu, perlu aturan yang memberikan jaminan dokumen tata ruang yang akan ditetapkan menjadi Perda/Qanun berlandaskan analisis risiko bencana.

C. Kebijakan

Kebijakan yang terbukti memicu meningkatkan risiko bencana atau bahkan meningkatkan risiko bencana harus segera disikapi. Apakah bentuknya di cabut atau dilakukan amandemen. Untuk kebijakan setingkat Qanun, perlu dilakukan dialog yang konstruktif dengan DPRK. Agar pencabutan, amandemen atau pembuatan kebijakan yang baru telah memberikan jaminan tidak memuculkan atau meningkatkan risiko bencana.

Beberapa kebijakan yang dibutuhkan sebagai hasil kajian, perlu ditindak lanjuti. Jika dalam kajian kebijakan, perlu dibentuk kelembagaan penanggulangan bencana yang operasional, maka dibutuhkan Qanun pembentukan badan baru penanggulangan bencana (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Jika cukup dengan semodel pusat pengendalian operasi (Pusdalops), maka dukungan politis tetap dibutuhkan untuk membiayai operasinal kelembagaan tersebut. Atau jika akan menggunakan dan mengelola kelembagaan yang telah ada, seperti SATLAK PB.

Kebijakan awal setelah komitmen terbangun ditingkat eksekutif dan legislatif adalah meyusunan rencana strategis (RENSTRA), penyusunan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana, penyusunan rencana kontijensi atau rencana kedaruratan, early warning sistem, maupun kebijakan yang dapat menjadi landasan kegiatan pengurangan risiko bencana. Seperti penyiapan tanda dan jalur evakuasi, pemanfaatan sarana publik (sekolah, puskesmas dll) sebagai tempat pengungsian sementara yang memadai tanpa mengganggu operasional dari tempat publik sendiri.

Rambu-rambu agar seluruh pembangunan di Kabupaten Bener Meriah mengarusutamakan PRB perlu dipikirkan bentuknya. Yang ideal berbentuk Qanun penanggulangan bencana yang akan saling melengkapi dengan Qanun penataan ruang.

D. Penyadaran dan peningkatan kapasitas

a. Penyadaran masyarakat

(21)

Penyadaran masyarakat dilakukan untuk seluruh komponen masyarakat. Baik anak-anak, orang dewasa, laki dan perempuan, di desa maupun di perkotaan. Penyadaran ini harus dipastikan disampai dan dipahami oleh masyarakat.

Penyadaran masyarakat pun dapat dilakukan dengan menggunakan media seni budaya yang berkembang di masyarakat. Melalui lagu-lagu gayo, pesan untuk bersama-sama melakukan melakukan upaya pengurangan risiko bencana dapat efektif sampai ke masyarakat, khususnya kelompok muda.

b. P e n i n g k a t a n k a p a s i t a s S D M d a n kelembagaan

Peningkatkan pengetahuan dan kapasitas SDM dan kelembagaan masyarakat adalah upaya lain yang penting dilakukan dalam kerangka meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap ancaman bencana. Dalam menghadapi ancaman bencana, terkadang setiap orang harus mengandalkan kemampuan dirinya sendiri untuk dapat berlindung dan selamat dari ancaman bencana. Untuk itu, setiap orang menjadi penting mempunyai pengetahuan yang cukup bagaimana melakukan penanggulangan bencana, baik buat dirinya sendiri maupun orang lain.

Peningkatan pengetahuan dan kapasitas SDM dapat dilakukan melalui kegiatan yang bersifat formal maupun informal. Kegiatan formal dapat dilakukan melalaui kurikulum di sekolah. Artinya, setiap siswa, dari mulai pendidikan usia dini sampai sekolah menengah umum (SMU) mendapatkan materi bagaimana mengenal dan memahami berbagai jenis ancaman yang berpotensi menjadi bencana yang ada di Kabupaten Bener Meriah. Selain memahami jenis dan karekter, risiko dan dampaknya, juga mengatahui bagaimana tanda-tanda ancaman akan datang, bagaimana menghindar atau menyelamatkan diri, dimana tempat yang aman ataupun bagaimana bertahan hidup pada kondisi darurat.

Peningkatan kapasitas SDM di masyarakat dapat dilakukan melalui pelatihan atau mengikuti berbagai kursus atau kegiatan diskusi. Intinya adalah, bagaimana kepasitas masyarakat terus meningkat dalam PRB.

Selain SDM, kelembagaan masyarakat pun perlu kuat dan memasukan agenda PRB sebagai agenda kerjanya. Salah satunya adalah tim siaga bencana ditingkat masyarakat, prosedur operasi standar (SOP; standard operation procedure) saat terjadi kondisi emergency, pembagian peran yang jelas dll. Kelembagaan komunitas yang siap siaga terutama dibutukan pada kawasan-kawasan yang memiliki tingkat ancaman bencana cukup tinggi.

E. Kelembagaan penanggulangan bencana

Kelembagaan penanggulangan bencana (PB) di Kabupaten Bener Meriah perlu dikaji kembali efektifitasnya. PB sampai saat ini dibawah koordinasi satuan pelaksana penanggulangan bencana (SATLAK PB). Sebuah lembaga ad hoc yang dibentuk sesuai dengan Peraturan Presiden No 83/2005 setelah dua kali mengalami penyesuaian. Dasar kebijakan ini sudah tidak berlaku dengan diundangkannya UU No 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Kelembagaan ditingkat Nasional telah berganti dari BAKORNAS PB yang juga bersifat ad hoc

Peningkatan kapasitas SDM atau kelem bagaan dapat dilakukan m elalui diskusi bersam a m asyarakat . (diskusi pem etaan kawasan rawan bencana - TAGANA Kab. Bener Meriah, Doc. Sofyan - 2009)

(22)

menjadi Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang bersifat permanen. Ditingkat daerah, UU mewajibkan pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah pada level propinsi. Sedangkan ditingkat Kabupaten, diserahkan kepada Kabupaten Masing-masing.

Melalui kelembagaan SATLAK PB, penanggulangan bencana di Kabupaten Bener Meriah cenderung untuk merespon kejadian bencana. Pelaksanaan operasional dilakukan oleh instansi teknis seperti Dinas Sosial untuk bantuan pangan dan hunian sementara (tenda), pelayanan kesehatan oleh dinas kesehatan. Instansi lain akan mendukung sesuai dengan kebutuhan. Dalam fase pembangunan kembali /rehabilitasi dan rekonstruksi, akan ditangani oleh dinas pekerjaan umum untuk pembanguna fisik dan recovery lingkungan juga akan ditangani oleh dinas lain.

UU PB mengganti kelembagaan PB dari BAKORNAS PB menjadi BNPB karena melihat ketidak efektifan lembaga PB dalam kerja-kerja penanggulangan bencana, baik fase tanggap darurat maupun proses pembangunan kembali. Semakin tidak efektif peran kelembagaan ini pada kegiatan sebelum bencana, baik upaya preventif, mitigasi maupun kesiapsiagaan.

Ketidak efektifan kelembagaan PB sebelumnya karena bersifat ad hoc. Sementara, penanggulangan bencana harus dilakukan secara terus menerus dan membutuhkan kecepatan dan ketepatan. Selain itu, pendanaan untuk memenuhi operasional PB pun perlu skema khusus untuk memenuhi kebutuhan kecepatan dan ketepatan.

Masih sesuai atau tidak, atau perlu diberikan wewenang lebih tanpa harus merubah nama lembaga PB di Kabupaten Bener Meriah baru dapat terjawab setelah dilakukan kajian mendalam dan evaluasi kerja-kerja SATLAK PB dalam melakukan kerja-kerja PB. Namun yang pasti, kesiapsiagaan melalui SDM yang berkapasitas cukup, didukung perlengkapan yang memadai dan wewenang yang cukup akan membuat kelembagaan PB dapat menjalankan mandat atau kewajibannya dalam melakukan upaya PRB.

F. Mitigasi dan kesiap-siagaan

a. Mitigasi (mitigation)

Mitigasi adalah tindakan-tindakan yang memfokuskan perhatian pada pengurangan dampak dari ancaman sehingga dengan demikian mengurangi kemungkinan dampak negatif kejadian bencana terhadap kehidupan. (ADB, 1991:41) dengan cara-cara alternatif yang lebih dapat diterima secara ekologi. Kegiatan-kegiatan mitigasi termasuk tindakan-tindakan non-rekayasa seperti upaya-upaya peraturan dan pengaturan, pemberian sanksi dan penghargaan untuk mendorong perilaku yang lebih tepat, dan upaya-upaya penyuluhan dan penyediaan informasi untuk memungkinkan orang mengambil keputusan yang berkesadaran. Upaya-upaya rekayasa termasuk pananaman-penanaman modal untuk bangunan struktur tahan ancaman bencana dan/atau perbaikan struktur yang sudah ada supaya lebih tahan ancaman bencana (Smith, 1992:84-86). Cuny (1983:206) berargumen bahwa kegiatan-kegiatan utama mitigasi bencana, terutama tataruang dan peraturan bangunan, sulit berhasil di negara-negara sedang berkembang karena mereka memerlukan upaya-upaya yang kompleks dan kurang praktis.

Secara ringkas, dalam UU No 24/2007, Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

(23)

Dengan dasar data dan informasi yang ada, maka upaya mitigasi, baik struktural (pembangunan fisik) maupun non struktural, seperti pembuatan kebijakan dapat dilakukan.

b. Kesiapsiagaan (preparedness)

Penduduk yang siap siaga, akan mengurangi tingkat risiko bencana. Penduduk Kobe – Jepang, secara sistemik telah dibentuk untuk siap siaga mengahadapi gempa. Wilayahnya yang berada di daerah rawan gempa, memposisikan seluruh penduduk menyiapkan diri menghadapi kondisi darurat. Pengetahuan tentang gempa, risiko dan dampak terus menerus diberikan. Latihan atau simulasi wajib dilakukan oleh seluruh sekolah, kantor-kantor pemerintah maupun swasta. Masyarakat terlibat secara aktif dalam proses simulasi yang dilakukan enam bulan sekali. Seluruh elemen secara sadar, melakukan ujicoba seberapa kesiapan mereka menghadapi gempa bumi. Evaluasi yang dilakukan diakhir kegiatan akan menjadi rekomendasi yang harus dilakukan dan kembali di uji coba pada masa berikutnya.

Pengetahuan tentang tsunami atau yang dikenal dengan smong oleh masyarakat Simeuleu, mampu menyelamatkan penduduknya dari gelombang tsunami, 26 Desember 2004. Hal yang sama terjadi dibanyak wilayah. Misalnya masyarakat Merapi yang mengenal karakteristik awan panas maupun lahar dingin Gunung Merapi. Sebaliknya, ketidaktahuan telah menghantarkan banyak penduduk menjadi korban bencana yang sebetulnya dapat dihidari.

Ilustrasi ini menggambarkan, bagaimana kesiapsiagaan menjadi salah satu penentu atas jatuhnya korban jiwa maupun harta benda setelah upaya mitigasi dilakukan dengan baik. Kesiapsiagaan yang sejalan dengan mitagasi akan memberikan ruang dan peluang lebih besar bagi penduduk untuk terlindungi dan terselamatkan dari ancaman bencana.

Preparedness is activities and measures taken before hazard events occur to forecast and warn against them, evacuate people and property when they threaten and ensure effective response

7

(e.g., stockpiling food supplies).

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU No 28 Tahun 2007).

Kesiapsiagaan, dalam kontek pembangunan merupakan upaya sistematis, terpadu dan teroganisir untuk mengantisipasi terjadinya bencana pada wilayah-wilayah berisiko. Upaya tersebut dapat berupa peringatan terhadap akan terjadinya bahaya (peringatan dini), memindahkan penduduk (evakuasi), menyelamatkan dan melindungi harta benda yang diperkirakan akan terkena dampak bencana, menyiapkan posko pengungsian maupun menyiapkan rencana pada kondisi tak menentu (contingency planning).

Kesiapsiagaan tidak dapat dilepaskan dari kerja-kerja mitigasi maupun upaya preventif dalam skema pengelolaan risiko bencana. Melakukan kajian kawasan berisiko, tingkat risiko maupun penyiapan jalur evakuasi, infrastruktur peringatan dini adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam menyiapkan kesiapsiagaan. Demikian juga dengan sarana prasarana yang dibangun dan kembangkan dalam kerangka meredam risiko bencana.

Fungsi-fungsi mitigasi harus berjalan sesuai skenario. Tugas dan tanggung jawab yang telah disiapkan mengantisipasi terjadinya ancaman bencana dipastikan berjalan dengan baik. Tanda peringatan dini misalnya, harus berfungsi untuk memberikan peringatan atau tanda penduduk bersiaga dan secara terorganisir melakukan upaya penyelamatan melalui jalan/jalur evakuasi yang telah disiapkan.

(24)

G. Perencanaan Kontijensi (contingency planning)

Perencanaan kontinjensi bermakna sebagai ”Proses perencanaan ke depan, dalam ketidakpastian keadaan, dimana skenario dan tujuan sudah disepakati, tindakan-tindakan manajerial dan teknis sudah ditentukan, dan rancangan sistem tanggapan sudah diatur pelaksanaannya, guna mencegah atau menanggapi, keadaan darurat.”

Perencanaan kontinjensi harus dianggap sebagai proses perencanaan yang mendasari tersusunnya suatu rencana kontinjensi. Proses perencanaan tersebut melibatkan sekelompok orang atau organisasi yang bekerjasama secara berkelanjutan untuk merumuskan (dan mensepakati) tujuan-tujuan bersama dan mendefinisikan tanggung jawab dan tindakan-tindakan yang harus diambil oleh masing-masing pihak.

Perencanaan kontinjensi akan mengefektifkan kerja-kerja tanggap darurat sehingga dapat berjalan cepat dan tepat (efektif). Tidak adanya perencanaan kontinjensi, banyak waktu yang terbuang karena pananganan kondisi darurat disibukan oleh persoalan komunikasi maupun koordinasi. Komunikasi dan koordinasi selalu menjadi persoalan tersendiri karena berkaitan juga dengan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan pemilik sumberdaya untuk melakukan respon darurat.

Perencanaan kontijensi dapat memangkas sistem birokrasi melalui sebuah kesepakatan yang telah dibangun sebelumnya. Secara otomatis dapat dengan cepat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak pada penanganan respon darurat. Seperti penyediaan dan penggunaan perlengkapan komunikasi, kendaraan, penyediaan tenda, penyediaan air bersih, bahan pangan, obat-obatan maupun sumberdaya manusia, baik medis, paramedis, tim evakuasi, tim yang mengamankan harta benda masyarakat dll. Selain itu, perencanaan kontijensi yang baik dengan data yang akurat serta sistem data dan informasi yang baik dapat dengan cepat memperkirakan jumlah penduduk yang berisiko.

Perencanaan kontijensi disusun untuk satu ancaman bencana. Beragamnya ancaman bencana (multi hazard) pada satu wilayah di Indonesia lebih tepat menggunakan perencanaan kedaruratan. Di Indonesia saat ini, pemaknaan perencanaan kontijensi (contingency planning) dan rencana kedaruratan (emergency planning) cenderung dipersamakan. Artinya, istilah perencanaan kontijensi tidak hanya digunakan untuk satu jenis ancaman bencana, tapi digunakan untuk multi ancaman/bahaya (multi hazard).

Perencanaan kontijensi atau perencanaan kedaruratan, selain membutuhkan komitmen bersama, juga sebuah kebijakan yang melandasi perencanaan dapat berjalan secara otomatis ketika kondisi darurat terjadi yang ditandai dengan peringatan dini. Kesepahaman bersama (MoU) antar sektor selanjutnya diperkuat dengan kebijakan berupa surat keputusan aturan yang dikeluarkan oleh Bupati Kepala Daerah serta mendapatkan persetujuan DPRK. Kebijakan ini penting ada untuk menjamin seluruh elemen bergerak tanpa menunggu mandat atau keputusan dari pengambil kebijakan di masing-masing instansi dalam mengerahkan sumberdaya merespon kondisi tidak menentu (darurat) pada lokasi-lokasi terkena bencana.

Perencanaan kontijensi atau perencanaan

(25)

kedaruratan baru dapat disusun jika peta bahaya dan tingkatan risiko telah terpetakan disertai data kerentanan atau komponen berisiko. Perencanaan kotijensi harus sampai detil memetakan sumberdaya yang siap dimobilisasi setiap saat, baik sumberdaya manusia maupun sumber daya yang dibutuhkan. Sumberdaya yang telah terpetakan dikomparasikan dengan tingkat risiko yang ada. Jika masih terdapat GAP antara kebutuhan dan ketersediaan, maka perlu upaya/dicari bagaimana memenuhinya.

Perencanaan kotijensi secara otomatis akan berjalan sesaat peringatan dini memberikan tanda-tanda peringatan akan terjadinya bahaya. Untuk itu, perencanaan kontijensi memiliki hubungan yang erat dengan sistem peringatan dini.

H. Sistem Peringatan Dini (Early Warning System)

Sistem peringatan dini (early warning sistem), yaitu upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi. Pemberian peringatan dini mencukupi: (1) menjangkau dan dipahami komunitas (accessible), (2) segera (immediate), (3) tegas tidak membingungkan (coherent), (4) bersifat resmi (official).

Sistem peringatan dini merupakan kewajiban Negera yang harus dipenuhi. UU No 24 Tahun 2007, pasal 1 (8) menyatakan;

peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.

Fungsi peringatan sangat penting sebagai tanda peringatan yang memungkinkan masyarakat untuk segera menghindar/menyelamatkan diri dari wilayah berisiko. Untuk itu, peringatan dini harus lah jelas, menjangkau, segera dan tidak membingungkan. Untuk menghindari terjadinya kekacauan, sistem peringatan dini menjadi wewenang pemerintah yang secara khusus diberi tanggung jawab untuk memberikan tanda peringatan tersebut.

Pengalaman menunjukkan, tidak adanya sistem peringatan dini menyebabkan kepanikan yang luar biasa. Karena masyarakat mencari tempat yang aman dari ancaman bencana tanpa didasari informasi yang jelas. Baik jenis ancamannya, tempat yang aman dari ancaman maupun ketidak tersediaan fasilitas penyelamatan. Kekacauan yang ditimbulkan akibat isu yang tidak jelas, justru menimbulkan bencana sekunder dari ancaman sesungguhnya. Isu tsunami setelah gempa yang beberapa kali terjadi di Aceh paska bencana 26 Desember 2004 telah membuktikan hal tersebut.

Pengalaman juga menunjukan, tidak adanya sistem peringatan dini dan berbagai fasilitas penyelamatan seperti informasi dan jalur evakuasi menuju tempat yang aman, tidak sedikit masyarakat yang berencana menyelamatkan diri menuju tempat yang aman justru sebaliknya, menuju tempat yang tidak aman.

Peringatan dini berkaitan erat dengan perencanaan kontijensi. Perencanaan kontijensi secara otomatis berjalan seiring adanya peringatan dini. Kontijensi yang dipahami juga sebagai rencana kedaruratan akan melihat, jenis bahaya dan respon apa yang harus segera dilakukan terhadap kondisi tidak menentu yang terjadi.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

R, SP DITETAPKAN DI : TOBOALI PADA HARI/TANGGAL : SELASA, 02 APRIL 2019 KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN BANGKA SELATAN... Pindah

Akan tetapi berdasarkan uji sampling yang dilakukan oleh Badan POM yang tercantum dalam Press Release pada tahun 2001 tentang Hasil Sampling dan Pengujian

- Sebenarnya prospek hasil olahan buah naga sangat besar, namun keberadaan pengolahan masih bersifat individual dan belum adanya mitra usaha yang mau mengembangkan

Data input yang digunakan adalah data tahun 2012 pada Stasiun Tandun dan Stasiun Pantai Cermin untuk meramalkan tinggi muka air Stasiun Pantai Cermin tahun 2012

Guru harus memiliki moral yang baik dan menunjukkan sikap disiplin yang tinggi agar dapat menjadi panutan bagi anak didiknya, sehingga proses pendidikan yang dilaksanakan

(1) Subbidang Tenaga Teknis Kegrafikaan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan penyusunan program, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi, dan penyusunan laporan pengembangan

(2) Kemukiman Pemango Kute Derma Kecamatan Bandar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 7 (tujuh) Kampung, yaitu :b. Kampung Belang Pulo;dan