• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP. Internsip Dokter sebagai Social Engineering Pendistribusian Dokter di. Indonesia, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP. Internsip Dokter sebagai Social Engineering Pendistribusian Dokter di. Indonesia, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berangkat dari paparan di atas tentang “Politik Hukum Program Internsip Dokter sebagai Social Engineering Pendistribusian Dokter di Indonesia”, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Substansi hukum program internsip dokter dipilih negara sebagai social engineering pendistribusian dokter karena negara mendapatkan momentum argumentatifnya berdasarkan standar pendidikan kedokteran dari World Federation For Medical Education (WFME) untuk kembali membuat konstruksi yuridis disebutkan sebagai pemahiran dan pemandirian serta mensyaratkan dokter harus mengikuti program internsip sebagai syarat mutlak untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) praktik mandiri dimana STR tersebut adalah syarat mutlak pengajuan Surat Izin Praktik (SIP) mandiri. Berkaitan fungsi dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia yaitu untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagai politik hukum permanen yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 yang diantaranya adalah memajukan kesejahteraan umum. Amandemen ke-4 UUD 1945 memberikan kepastian hukum bahwa penyediaan pelayanan kesehatan adalah termasuk tanggung jawab Negara. Dalam proses untuk mewujudkan kesejahteraan umum dari sektor kesehatan melalui penyediaan pelayanan kesehatan ini, bagi negara Indonesia terdapat suatu

(2)

problematika yang khas yakni pada distribusi tenaga kesehatan termasuk di dalamnya dokter. Mendasari data dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per 9 Mei 2016 yang dimuat pada harian Kompas, rasio satu dokter melayani 2.270 penduduk disandingkan dengan rasio ideal yang ditetapkan oleh pemerintah yakni satu dokter untuk 2.500 penduduk. Secara jumlah kebutuhan dokter telah terlampaui. Namun berdasar rasio distribusinya belum tercukupi. Untuk mengatasi problematika pendistribusian dokter tersebut telah diupayakan dengan Social Engineering sebagai politik hukum temporer yang selalu diperbaharui berdasar era dan substansi living law. Kebijakan yang diambil adalah program dokter dalam era digunakannya UU Wajib Kerja Sarjana sebagai sarana untuk memaksa dokter dapat didistribusikan oleh Dewan Penempatan Sarjana yang berkedudukan langsung di bawah dan diketuai oleh Menteri Perburuhan. Sejak tahun 1974 sampai dengan 1992, untuk mengatasi masalah distribusi dokter diberlakukan kebijakan Pengangkatan Dokter Inpres. Selanjutnya dioperasionalkannya program dokter wajib melaksanakan masa bakti sebagai dokter PTT berdasar Keputusan Presiden No. 37 Tahun 1991 tentang Pengangkatan Dokter sebagai Pegawai Tidak Tetap selama Masa Bakti. Pada tanggal 7 Mei 1999, mulai berlaku dan mengikat UU Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 105 Concerning The Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa). Pada tanggal 25 Maret 2003 mulai berlaku dan mengikat UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan yang menyatakan tidak

(3)

berlaku lagi UU Wajib Kerja Sarjana, akibatnya Program Dokter PTT kehilangan landasan hukum sifat pemaksanya yang semula bersifat wajib menjadi sukarela dan berdasar Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi, untuk dapat mendapatkan izin praktik dokter tidak dipersyaratkan terlebih dahulu telah mengikuti PTT. Selanjutnya WFME International Guidelines disahkan melalui Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20/KKI/KEP/IX/2006 tentang Pengesahan Standar Pendidikan Profesi Dokter. Selanjutnya berdasar Perkonsil Nomor 1/KKI/PER/ I /2010 tentang Registrasi Dokter Program Internsip, mensyaratkan untuk mendapatkan STR harus telah selesai mengikuti program internsip. Artinya berdasar kronologis tersebut sebelum diberlakukannya Perkonsil Nomor 1/KKI/PER/ I /2010 tentang Registrasi Dokter Program Internsip, semacam terdapat 2 (dua) kemungkinan. Kemungkinan pertama pada era pemberlakuan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi, metode / cara untuk mendistribusikan dokter dengan substansi hukum yang menekan atau memaksa dokter untuk didistribusikan memang tidak diperlukan. Kemungkinan kedua karena memang argumentasi untuk mewajibkan dokter sehingga dapat didistribusikan kehilangan momentum argumentatifnya karena isu pelanggaran HAM. Baru kemudian standarisasi dari WFME disahkan Konsil Kedokteran Indonesia dan dapat dijadikan argumentasi yuridik kembali untuk melancarkan proses

(4)

mendistribusikan dokter dengan memasukkan klausul pemandirian dan pemahiran, memberikan tekanan melalui konstruksi yuridik hubungan kausal antara selesai mengikuti program internsip sebagai syarat mutlak mendapatkan STR praktik mandiri dimana STR tersebut adalah syarat mutlak pengajuan SIP praktik mandiri. Sehingga dengan konstruksi yuridikal seperti ini dokter yang belum memiliki SIP mau tidak mau harus mengikuti program internsip. Justifikasi bahwa substansi program internsip adalah politik hukum sebagai social engineering pendistribusian dokter mendapat validitasinya, tercermin dalam Risalah Rapat Paripurna DPR RI tanggal 11 Juli 2013 Agenda Nomor 5 yakni Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran. Pada halaman 48 disebutkan bahwa ... Banyak dokter-dokter terkumpul di kota-kota besar, sementara di tempat-tempat terpencil dan tertinggal sulit mendapatkan dokter. Internship sebagaimana diatur dalam RUU Pendidikan Kedokteran merupakan salah satu strategi yang tepat untuk dapat mengatasi masalah kekurangan dokter tersebut .... Selanjutnya pada halaman 48 disebutkan bahwa ... Di samping itu program internship sebagai bagian dari penempatan wajib sementara bagi lulusan pendidikan kedokteran ... Dengan demikian, tidak ada lagi Rumah Sakit atau Wahana Kesehatan yang tidak terisi oleh dokter-dokter, terutama di daerah 3T (terpencil, terluar dan tertinggal). RUU Pendidikan Kedokteran ini telah meletakkan arsitektur ini yang sangat mendasar sekali lagi RUU

(5)

Pendidikan Kedokteran ini telah meletakan arsitektur pengembangan pendidikan kedokteran di Indonesia untuk mengisi abad 21 dan diharapkan mampu mengintegrasikan dua aspek pendidikan dan pelayanan dalam satu kebijakan yang utuh.

2. Konsekuensi yuridis dimasukkannya substansi hukum program internsip dokter sebagai social engineering pendistribusian dokter pada masa sekarang (ius constitutum) dalam historynya pembentukannya kontradiksi dengan Teori Stufenbau menurut Han Kelsen dan dari sudut pandang HAM menurut konstitusi Indonesia tidak dapat dikatakan melanggar HAM, serta memunculkan barrier to entry bagi dokter untuk segera dapat praktik mandiri. Dari sudut pandang teori legislasi terdapat kontradiksi dengan Teori Stufenbau menurut Han Kelsen, kontradiksi dengan kaidah derogasi dan derivatif. Artinya materi substansi hukum program internsip yang secara history terlebih dahulu diatur berdasar Permenkes kemudian mewarnai sebagai materi yang diatur dalam salah satu pasal dalam Batang Tubuh UU Pendidikan Kedokteran yang secara history ada setelah Permenkes dan secara hierarki lebih tinggi daripada Permenkes. Sehingga idealnya secara history dan hierarki substansi program internsip yang terlebih dahulu diatur berdasar UU baru kemudian dijabarkan lebih lanjut pada peraturan pelaksanaannya. Dari sudut pandang kewenangan untuk menguji karena secara hierarki pewajiban untuk mengikuti program internsip telah bergeser yang semula hanya diatur pada Permenkes yang kemudian diatur sebagai salah satu pasal dalam UU maka kewenangan

(6)

untuk menguji pasal yang mengatur internsip dalam UU Pendidikan Kedokteran menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dari sudut pandang positivistik Hak Asasi Manusia menurut UUD 1945 amandemen ke-4. Dengan dimasukkannya bahwa kebijakan hukum program internsip dalam UU Pendidikan Kedokteran dan dihubungkan dengan sudut pandang nilai-nilai HAM nasional dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD RI 1945 amandemen ke-4 yang pada pokoknya adalah pembatasan kepada setiap orang dalam menjalankan hak dan kewajibannya harus diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan hierarki jenis Undang-undang dengan demikian bahwa pemberlakuan kebijakan program internsip pasca diberlakukannya UU Pendidikan Kedokteran adalah tidak dapat dikatakan melanggar HAM para dokter baru yang belum memiliki SIP karena diberlakukan atas dasar substansi hukum dalam bentuk UU. Dari perspektif pertanggung jawaban pemerintah atas kewajiban hukumnya. Pemerintah belum melaksanakan kewajiban hukumnya yang diamanatkan oleh Pasal 7 ayat (9) UU Pendidikan Kedokteran. Ditambah fakta belum ada standar operasional untuk pembimbingan sampai tahun kelima berjalannya program internsip ini sebagaimana dapat diketahui dari hasil diskusi Peran IDI di lapangan dalam kebijakan Internship, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, akibatnya ada wahana (Rumah Sakit dan Puskesmas penerima dokter internsip) yang melaksanakan ujian kepada dokter internsip namun ada juga wahana yang tidak melaksanakan mengindikasikan kelemahan tidak adanya standar

(7)

operasional untuk pembimbingan pemahiran dan pemandirian. Implikasinya menjadikan tujuan pelaksanaan program internsip sebagai pemahiran dan pemandirian, rawan menjadi faktor like and dislike sehingga dalam penetapan seorang dokter telah atau belum memenuhi unsur pemahiran dan pemandirian adalah subjektif dari dokter senior selaku pembimbing karena tidak ada parameter yang terukur sebagai patokan atas unsur pemahiran dan pemandirian dalam pelaksanaan program internsip dan menjadi legal barriers to entry bagi dokter yang artinya hambatan bagi dokter untuk dapat berpraktik mandiri karena telah selesai mengikuti program internsip adalah syarat mutlak untuk mendapatkan STR praktik mandiri sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh SIP. Hal demikian pada pokoknya telah disadari dalam uraian pada risalah rapat paripurna mengenai urgensi diterbitkannya Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan program internsip. Namun hingga saat ini pengaturan masih dalam jenis Peraturan Menteri Kesehatan belum diatur dalam Peraturan Pemerintah.

3. Bahwa yang harus diperbaiki dalam substansi hukum program internsip dokter sebagai social engineering pendistribusian dokter pada masa yang akan datang (ius constituendum) adalah segera dibuat standar operasional untuk pembimbingan dan dibuat standarisasi silabus serta dimasukkannya unsur positif yang sudah ada pada substansi program-program sebelumnya namun tidak muncul pada program internsip ini dalam hal bentuk penghasilan, jaminan kesehatan dan jumlah tunjangan apabila meninggal

(8)

dunia. Memperhatikan hasil diskusi Peran IDI di lapangan dalam kebijakan Internship, di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dapat penulis simpulkan sebagai ius constituendum adalah segera dibuat standar operasional untuk pembimbingan agar tidak terjadi peluang adanya subjektifitas, faktor like and dislike oleh pembimbing kepada dokter internsip yang akibatnya sebagai law barriers to entry bagi dokter yang belum memiliki surat izin praktik (SIP) mandiri. Hal ini menjadikan kontraproduktif terhadap tujuan penyediaan pelayanan kesehatan. Hendaknya dilema antara: (1) tujuan penyebaran dokter dengan (2) pembinaan dan pemahiran, dijembatani dengan dibuat standarisasi silabus sehingga memperkuat kekuatan berlaku secara sosiologis dari program internsip sebagaimana diamanatkan UU Pendidikan Kedokteran. Hendaknya peran IDI lebih ditingkatkan mengingat IDI sebagai struktur hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan substansi program internsip. Memperbandingkan tujuan pendistribusian dokter pada program internsip dengan program-program sebelumnya yang telah diuraikan pada uraian sebelumnya dapat diketahui unsur positif yang sudah ada pada substansi program-program sebelumnya namun tidak muncul pada program internsip ini. Dalam Kepres 37/1991 tentang Pengangkatan Dokter sebagai Pegawai Tidak Tetap selama Masa Bakti, negara telah memberikan kepastian hukum secara tegas kepada dokter yang sedang menjalankan program negara ini dalam hal bentuk penghasilan, jaminan kesehatan dan jumlah tunjangan apabila meninggal dunia. Yang hak atas jumlah

(9)

tunjangan apabila meninggal dunia tersebut telah terdegradasi dalam Permenkes Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap. Dalam substansi Program Internsip juga tidak ada tunjangan ketika ada kasus dokter internsip yang meninggal saat mengikuti program internsip.

B. Saran.

Politik hukum temporer pendistribusian dokter dengan substansi hukum program internsip dari sudut pandang kepastian hukum telah memiliki landasan operasional secara yuridis, namun sudut pandang tercapainya tujuan meratanya penyediaan pelayanan kesehatan oleh dokter agar sampai ke seluruh wilayah geografis NKRI serta dilain pihak dokter internsip sebagai subjek hukum bukan aparat negara yang mau tidak mau ikut berkontribusi memberikan penyediaan pelayanan kesehatan, terpenuhi sisi keadilannya secara hukum kodrat. Karena meskipun hukum positif secara legal telah mendapatkan legalitas berlakunya namun dari sisi legitimasinya belum otomatis legitimed. Untuk itu penulis sarankan agar ius constituendum dari kesimpulan tesis ini, dapat dipenuhi.

Memperhatikan data pada tahun 2005 menurut laporan kajian Kebijakan Perencanaan Tenaga Kesehatan Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2005, yang pada pokoknya menurut perspektif penulis dapat dipahami bahwa meskipun program PTT sifatnya menjadi sukarela, apabila menggunakan indikator rasio dokter dan jumlah

(10)

penduduk maka distribusi lebih menyebar, namun berpotensi menimbulkan permasalahan karena peminat cenderung ke provinsi yang memberikan pembayaran besar sebagaimana rasio tertinggi adalah di Provinsi Kalimantan Timur dengan 18,23 dokter umum per 100.000 penduduk, karena provinsi tersebut memberikan penghasilan tertinggi di Indonesia. Selain sistem penggajian, disarankan adalah insentif sebagai reward untuk penugasan daerah terpencil, terluar dan tertinggal dengan beasiswa dokter spesialis.

Referensi

Dokumen terkait

Mengacu pada hasll pembahasan rugi daya saluran transmisi antara Kebonagung dan Sengkallng, make dapat dlslmpulkan bahwa terjadi rugi daya yang cukup besar

Penerapan Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Make a Match untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa kelas VIII-B MTs Al-Huda Bandung Tulungagung,

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga dengan Kehendak-nya penulis dapat

[r]

Ahli teori ini juga akan menyatakan bahwa alasan untuk rasa ketertarikan remaja terhadap satu sama lain tidak disadari, remaja tidak menyadari bagaimana warisan biologis mereka

Individu dengan DM mudah terjadi penyakit yang berhubungan dengan aterosklerosis, dan diyakini bahwa lebih dari dua pertiga kematian pasien DM akibat penyakit

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) upaya layanan bimbingan konseling Islam yang dilakukan guru konselor untuk menyadarkan perilaku merokok pada siswa di SMP Negeri 5

Merujuk pada pengertian kinerja dan mengajar sebagaimana telah diuraikan terdahulu, dapat disimpulkan kinerja mengajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah unjuk kerja