• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan hal itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. Berdasarkan hal itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang mencakup berbagai aspek kehidupan baik aspek politik, ekonomi, idiologi, sosial budaya dan keamanan secara berkesinambungan. Berdasarkan hal itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat secara adil dan merata. Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia pada dasarnya merupakan suatu proses dengan titik tolak pemikiran yang dilandasi oleh keinginan menuju kemajuan bangsa. Pelaksanaan pembangunan di seluruh pelosok tanah air di satu sisi terus mengalami penyempurnaan dan telah membawa banyak keberhasilan. Namun di sisi lain, dalam pelaksanaan pembangunan tersebut masih terdapat permasalahan yang belum dapat dipecahkan secara sempurna antara lain: masalah ketimpangan pendapatan, kependudukan dan kemiskinan.

Tujuan pembangunan ekonomi bukanlah hanya semata-mata untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang terlihat dari nilai Gross Domestic

Product (GDP) yang setinggi-tingginya seperti yang terjadi selama dasawarsa

1950-an dan 1960-an, namun lebih luas dari itu. Seers (1977) menyatakan bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi adalah penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang.

Kemiskinan yang merupakan salah satu manifestasi dari taraf hidup yang rendah (low levels of living) di negara-negara sedang berkembang, oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dianggap tetap merupakan tantangan besar

(2)

bagi upaya-upaya pembangunan. Penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bahkan dianggap merupakan inti dari semua masalah pembangunan dan merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di banyak negara. PBB menempatkan penghapusan kemiskinan dan kelaparan pada urutan pertama dari kedelapan Tujuan Pembangunan Millennium (Millenium

Development Goals) yang dicanangkan pada tahun 2000 (World Bank, 2004).

Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai negara yang ditandai oleh pengangguran, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan. Hal tersebut sesuai dengan kepedulian pemerintah untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Kepedulian tersebut kemudian dirumuskan dalam tujuan pembangunan ekonomi Indonesia yang tertuang dalam triple track

strategy: pro-growth, pro-job dan pro-poor. Track pertama dilakukan dengan

meningkatkan pertumbuhan dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Track kedua, menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja dan track ketiga, merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan (Yudhoyono, 2006).

Badan Pusat Statistik (2006), secara faktual telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin dari 54.20 juta jiwa atau 40.10 persen pada tahun 1976 menjadi 22.60 juta jiwa atau 17.47 persen pada tahun 1996. Angka kemiskinan mengalami perubahan yang cepat pada saat krisis multi-dimensi melanda Bangsa Indonesia (Suryahadi et al. 2003). Jumlah penduduk miskin meningkat menjadi dua kali lipat, yaitu 49.50 juta jiwa (24.23 persen) pada tahun 1998. Jumlah

(3)

penduduk miskin pada tahun 2002, 2003, 2004 dan Februari 2005 cenderung menurun, masing-masing 38.40 juta jiwa (18.20 persen), 37.30 juta jiwa (17.40 persen), 36.20 (16.66 persen) dan 35.10 juta jiwa (15.90 persen), namun pada tahun 2006 meningkat kembali menjadi 39.30 juta (17.75 persen).

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 1996– 2006

Jumlah Penduduk Miskin (Juta Jiwa)

Persentase Penduduk Miskin (%) Tahun

Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa

1996 9.42 24.59 34.01 13.39 19.78 17.47 1998 17.60 31.90 49.50 21.92 25.72 24.23 1999 15.64 32.33 47.97 19.41 26.03 23.43 2000 12.30 26.40 38.70 14.60 22.38 19.14 2001 8.60 29.30 37.90 9.76 24.84 18.41 2002 13.30 25.10 38.40 14.46 21.10 18.20 2003 12.20 25.10 37.30 13.57 20.23 17.42 2004 11.40 24.80 36.20 12.13 20.11 16.66 2005 12.40 22.70 35.10 11.68 19.98 15.97 2006 1) r) 14.49 24.81 39.30 13.47 21.81 17.75

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006 Catatan:

1) Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006

r) Merupakan angka revisi. Berdasarkan penghitungan awal yang diterbitkan dalam press release 1 September 2006, jumlah penduduk miskin pada Maret 2006 adalah 39.05 juta.

Strategi besar pembangunan di masa lalu seperti diuraikan di atas adalah mencapai pertumbuhan yang cepat dengan melakukan trade off terhadap pemerataan. Atmosfer strategi ini memunculkan budaya konglomerasi yang diharapkan akan menghasilkan trickle down effects kepada berbagai lapisan ekonomi. Pendekatan ini memfokuskan diri pada pembangunan industri secara besar-besaran, dimana kedudukan pemerintah sebagai pendorong kekuatan

enterpreneur. Permasalahan yang timbul adalah kemacetan mekanisme trickle down effects, dimana mekanisme tersebut sangat diyakini akan terbentuk sejalan

dengan akumulasi kapital dengan perkembangan institusi ekonomi yang mampu menyebarkan kesejahteraan yang merata. Penerapan pendekatan ini di satu sisi

(4)

telah berhasil membangun akumulasi kapital yang cukup besar, namun disisi lain juga telah menciptakan proses kesenjangan secara simultan, baik kesenjangan desa dan kota, maupun kesenjangan antar kelompok di masyarakat. Hal tersebut ditunjukan oleh Tabel 1 dimana jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah perkotaan. Tahun 2006 jumlah penduduk miskin di pedesaan sebesar 24.81 juta jiwa atau sekitar 21.81 persen sedangkan jumlah penduduk miskin di perkotaan adalah sebesar 14.49 juta jiwa atau sekitar 13.47 persen.

Kesenjangan tingkat kesejahteraan antara pedesaan dan perkotaan ditunjukan oleh perbedaan kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2). Indeks P1 di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Perbedaan indeks P1 relatif tinggi terjadi pada periode 2000–2001 dimana di pedesaan sebesar 4.68 sedangkan diperkotaan hanya sebesar 1.74. Angka tersebut mengindikasikan bahwa jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan di pedesaan relatif lebih jauh bila dibandingkan dengan di daerah perkotaan.

3 .5 2 1 .8 9 1 .7 4 2 .5 9 2 .5 5 2 .1 8 2 .0 5 2 .6 3 4 .8 4 4 .6 8 4 .6 8 3 .3 4 3 .5 3 3 .4 3 3 .3 4 4 .1 9 4 .3 3 3 .5 1 3 .4 2 3 .0 1 3 .1 3 2 .8 9 2 .7 8 3 .4 3 0 1 2 3 4 5 6 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 T a h u n P 1 K o t a D e s a K o t a + D e s a Sumber: BPS, 2006

Gambar 1. Indeks Kedalaman Kemiskinan di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 1999– 2006

(5)

Indeks P2 di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Perbedaan terbesar terjadi pada tahun 2001 dimana indeks P2 di pedesaan adalah 1.36 sedangkan di perkotaan sebesar 0.45. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi pengeluaran penduduk miskin di pedesaan memiliki ketimpangan yang lebih tinggi dari ketimpangan distribusi pengeluaran penduduk miskin di perkotaan. 0.98 0.51 0.45 0.71 0.74 0.58 0.60 0.78 1.39 1.39 1.36 0.85 0.93 0.89 1.22 1.23 1.02 0.97 0.79 0.85 0.78 0.76 1.00 0.90 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun P 2

Kota Des a Kota+Des a

Sumber: BPS, 2006

Gambar 2. Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 1999 - 2006

Jumlah penduduk miskin di Banten khususnya sejak krisis (1997) nampak mengalami fluktuasi. Penduduk miskin pada tahun 1996 sebesar 9.55 angka ini terus mengalami peningkatan, pada tahun 1999 mencapai 19.66 persen. Tahun 2000 yang juga titik awal lahirnya Provinsi Banten, insiden kemiskinan dapat ditekan menjadi 14.93 persen, namun terjadi peningkatan kembali menjadi 17.24 persen pada tahun 2001. Persentase penduduk miskin tahun 2006 mencapai 9.79 persen.

(6)

0.0 500.0 1000.0 1500.0 2000.0 Tahun J u m la h ( 0 0 0 ) 0 5 10 15 20 25 (% ) Jumlah 1547.8 1184.1 1424.0 786.7 855.8 779.2 805.9 904.3 Persen 19.66 14.93 17.24 9.22 9.56 8.58 8.65 9.79 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber: BPS Banten, 2006

Gambar 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Banten, Tahun 1999– 2006

Angka kemiskinan tahun 2004 hingga 2006 di Provinsi Banten seperti disajikan pada Tabel 2, memperlihatkan bahwa kantong kemiskinan berada di pedesaan yang jumlahnya hampir dua kali lipat dibanding penduduk miskin perkotaan. Penduduk miskin di desa sebesar 11.99 persen pada tahun 2004 dan sebesar 13.34 persen pada tahun 2006. Persentase penduduk miskin di kota pada tahun 2004 tercatat sebesar 5.69 persen dan 7.47 persen tahun 2006.

Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Banten Menurut Tipe Daerah, Tahun 2004– 2006

2004 2005 2006 Daerah Jumlah (000 Jiwa) Persentase (%) Jumlah (000 Jiwa) Persentase (%) Jumlah (000 Jiwa) Persentase (%) Kota 279.9 5.69 370.2 6.56 417.1 7.47 Desa 499.3 11.99 460.3 12.34 487.1 13.34 Total 779.2 8.58 830.5 8.86 904.3 9.79 Sumber: BPS Banten, 2006

Jumlah penduduk miskin menurut hasil perhitungan BPS di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2007 masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 176 812 jiwa atau 15.64 persen. Angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya dimana data sebelum krisis yaitu pada tahun 1993 sebesar 13.35

(7)

persen, 1996 sebesar 11.94 dan tahun 2005 sebesar 13.89 persen. Selama kurun waktu 1993 – 2007, pada tahun 2000 merupakan angka tertinggi baik jumlah maupun persentase penduduk miskin di Kabupaten Pandeglang yaitu sebesar 198 983 jiwa atau sekitar 19.80 persen.

Kabupaten Pandeglang merupakan kabupaten di Provinsi Banten yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) terbesar yaitu masing-masing sebesar 3.23 dan 1.07. Hal ini menunjukkan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan di Kabupaten Pandeglang relatif lebih jauh bila dibandingkan dengan di kabupaten lain. Begitu pula dengan distribusi pengeluaran penduduk miskin di Kabupaten Pandeglang memiliki ketimpangan yang lebih tinggi dari ketimpangan distribusi pengeluaran penduduk miskin di kabupaten lain di Provinsi Banten.

Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, P1 dan P2 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Tahun 2006

Kab/Kota Jumlah Penduduk Miskin (000 Jiwa) Persentase Penduduk Miskin (%) P1 P2 Pandeglang 177.8 15.82 3.23 1.07 Lebak 172.4 14.55 2.04 0.47 Tanggerang 279.1 8.28 1.38 0.31 Serang 170.8 9.55 1.51 0.38 Kota Tanggerang 95.1 6.41 0.92 0.19 Kota Cilegon 16.6 4.99 0.81 0.18 Prov. Banten 904.3 9.79 2.04 0.55 Sumber: BPS, 2007

Melihat kondisi di atas maka jelas bahwa kemiskinan di Kabupaten Pandeglang masih merupakan persoalan yang serius dan oleh karena itu diperlukan upaya-upaya pemecahan yang lebih serius di masa mendatang.

(8)

Kemiskinan menjadi penting mendapat perhatian karena kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat, sehingga mengakibatkan antara lain: tingginya beban sosial-ekonomi masyarakat, rendahnya kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia serta menurunnya ketertiban umum (Yudhoyono dan Harniati, 2004).

Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta negara donor namun tingkat kemiskinan masih tinggi. Bermacam program aksi penanggulangan kemiskinan telah dirancang dan diimplementasikan oleh berbagai instansi pemerintah dengan berbagai pendekatan. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2005) dan Harniati (2007) menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah selama ini belum cukup efektif untuk mengurangi kemiskinan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa kelemahan mendasar, antara lain: (1) pembangunan terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhatikan aspek pemerataan, (2) cenderung lebih menekankan pendekatan sektoral dan kuatnya arogansi sektoral, (3) kurang mempertimbangkan persoalan-persoalan kemiskinan yang multidimensi, (4) cenderung terfokus pada orientasi kedermawanan, (5) menganggap diri lebih hebat dan tahu segala-galanya, (6) monopoli pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan, dan (7) kurangnya pemahaman tentang akar penyebab kemiskinan (Sumodiningrat, 2003; Mega, 2003 dalam Papilaya 2006). Harniati (2007) menyebutkan bahwa upaya pengurangan kemiskinan selama ini dicirikan oleh antara lain: (1) terlalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi makro, (2) lebih banyak bersifat menyembuhkan (curative) bahkan lebih banyak bersifat

(9)

karitatif (charity), (3) kebijakan yang tidak memperhitungkan indikator dan karakteristik kemiskinan, (4) kurang berkesinambungan dalam implementasinya, dan (5) kebijakan yang terpusat dan cenderung seragam.

Program Kredit Usaha Tani (KUT) merupakan salah satu di antara serangkaian program pemerintah, yang menuai kegagalan. Sejak tahun 2000, program KUT yang dianggap gagal total diganti pemerintah dengan program baru yakni Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Pelaksanaan Program KKP diserahkan sepenuhnya kepada bank, pemerintah hanya bertindak sebagai pemberi subsidi pada tahap awal. Berdasarkan target pemerintah, program ini menuai sukses tahun 2004, tetapi mengalami kegagalan karena kesulitan bank menyalurkan kredit kepada petani dan kesulitan petani membayar bunga kredit. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakan program lain dalam penanggulangan kemiskinan. Program ini bertujuan mengurangi kemiskinan di tingkat pedesaan, sekaligus memperbaiki kinerja pemerintah daerah dengan cara memberi bantuan modal dan pengadaan infrastruktur. Program ini di beberapa daerah mengalami kegagalan, karena tidak ada perencanaan yang matang dan transparansi penggunaan dan alokasi anggaran yang rendah (Sahdan, 2005).

Belajar dari kegagalan penanganan kemiskinan di masa lalu, kebijakan penanggulangan kemiskinan secara makro memang penting tetapi tidak cukup, perlu ada perspektif di tingkat mikro. Kebijakan pengurangan kemiskinan di suatu wilayah tidak dapat mengacu pada resep-resep pengentasan kemiskinan dari daerah lain secara keseluruhan ataupun pendekatan spasial dengan skala agregat. Hal ini berkaitan dengan kekhasan fenomena sekaligus keragaan masyarakat di wilayah tersebut.

(10)

Mengingat keterbatasan sumberdaya pemerintah daerah ataupun pemangku kepentingan (stakeholders) lain dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Pandeglang, maka alokasi sumberdaya haruslah tepat sasaran dan jenis intervensinya. Analisis mengenai faktor penyebab dan karakteristik kemiskinan di wilayah pedesaan berdasarkan tipologi sangat diperlukan. Strategi penanggulangan kemiskinan yang sesuai untuk sasaran tertentu, titik masuk pengurangan kemiskinan, prioritas berdasarkan urgensi, keterbatasan sumberdaya dan rentang waktu intervensi dapat diketahui dengan menganalisis kemiskinan berdasarkan tipologi.

Karakteristik atau faktor-faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin di Kabupaten Pandeglang perlu juga mendapat perhatian dalam merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan. Harniati (2007) menyatakan bahwa faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin adalah suatu

archetype kemiskinan: household that is consider to be the poor because they have all their most important characteristics.

Berdasarkan uraian di atas, maka strategi penanggulangan kemiskinan tidak dapat seragam untuk semua wilayah tetapi harus memperhatikan faktor penyebab dan karakteristik kemiskinan wilayah desa dan rumahtangga di wilayah tersebut. Hal ini didasari pemikiran bahwa keragaman kemiskinan mencerminkan perbedaan peluang-peluang ekonomi, peluang usaha serta harga sumberdaya yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.

1.2 Perumusan Masalah

Seiring dengan perubahan waktu, jumlah penduduk suatu wilayah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga kebutuhan dasar mereka

(11)

seperti sandang, pangan dan papan menjadi bertambah, sedangkan lahan yang tersedia tidak mengalami perubahan dalam ukurannya, yang pada akhirnya akan mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar oleh setiap orang. Berawal dari kondisi seperti inilah maka muncul fenomena bahwa dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar setiap orang dalam jangka waktu yang cukup lama akan menimbulkan apa yang disebut kemiskinan.

Pembangunan yang tidak dikaitkan dengan masalah kemiskinan akan menimbulkan permasalahan jangka pendek dan jangka panjang yang pada akhirnya akan membahayakan proses pembangunan itu sendiri. Mengangkat permasalahan kemiskinan dan mencari alternatif upaya penanggulangannya menjadi suatu prioritas dalam pembangunan merupakan hal yang sangat tepat.

Kebijakan makro seperti pertumbuhan ekonomi, pengurangan angka pengangguran, dan kebijakan lain yang pro poor merupakan prasyarat penting dalam upaya pengurangan kemiskinan yang tidak dapat ditinggalkan (Tambunan, 2004 dan Squire, 1993). Pelaksanaan kebijakan makro ini saja belum cukup, diperlukan perspektif mikro yang selama ini terabaikan dalam upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. Perspektif mikro dalam dimensi kemiskinan antara lain peningkatan kapabilitas individu dan rumahtangga, perbaikan kelembagaan dan lingkungan. Pembangunan sosial dan ekonomi dapat dilakukan mulai dari tingkat bawah (Harniati, 2007).

Perhatian pemerintah yang besar terhadap program penanggulangan kemiskinan pada tingkat wilayah administratif seperti kabupaten/kota bahkan hingga tingkat desa semakin mendesak untuk dapat menghasilkan informasi dan besaran dan karakteristik rumahtangga miskin. Tantangan akan ketersediaan

(12)

informasi dasar mengenai besaran rumahtangga miskin selama ini hanya dapat dipenuhi pada tahun-tahun tertentu yang ada kegiatan pengumpulan data Potensi Desa (PODES) yang pelaksanaannya bersamaan dengan diselenggarakannya kegiatan Sensus yang dilakukan oleh BPS. Sumber data kedua melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dengan mengumpulkan informasi dari data kor (core data) dan modul konsumsi yang dilakukan dalam periode loncatan tiga tahun sekali pengamatan dan akan menghasilkan estimasi kemiskinan di tingkat provinsi dan nasional saja. BPS melakukan penghitungan dengan data SUSENAS Kor yang dilakukan setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan data pada tahun-tahun yang tidak ada kegiatan survei modul konsumsi. BPS hingga saat ini masih mengalami kesulitan dalam memperkirakan penduduk miskin pada tingkat kabupaten/kota terlebih desa, terutama dalam penggunaan metode perhitungan/penetapan penduduk miskin dengan pendekatan moneter atau non moneter apabila menggunakan data kor tersebut. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan cakupan variabel yang dimiliki untuk dapat menjelaskan fenomena mengenai kemiskinan itu sendiri (Mulia, 2004).

Mengapa mengukur kemiskinan?. Justifikasi yang paling kuat adalah yang diberikan oleh Ravallion (1997) yang mengatakan bahwa “a credible measure of poverty can be a powerfull instrument for focusing the attention of policy makers on the living conditions of the poor (pengukuran kemiskinan yang

dapat dipercaya dapat menjadi instrumen yang tangguh bagi penitikberatan perhatian pengambil kebijakan pada kondisi hidup orang miskin)”. Data

kemiskinan dapat memberikan informasi bagi penyusunan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Menurut Mulia (2004),

(13)

sebuah pengukuran kemiskinan yang baik akan: (1) memungkinkan seseorang untuk mengevaluasi akibat dari pelaksanaan proyek, krisis atau kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, (2) memungkinkan seseorang untuk membandingkan kemiskinan antar waktu, (3) memungkinkan seseorang untuk membuat perbandingan antar provinsi, kabupaten/kota, dan (4) menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki posisi.

Salah satu upaya untuk mencapai Millenium Development Goals

(MDGs) tujuan pertama yaitu untuk mengurangi angka kemiskinan dan

kerawanan pangan di dunia sampai setengahnya di tahun 2015 dan menjalankan program pembangunan yang tertuang di dalam triple track strategy yaitu track ketiga, merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan, sejak tahun 2006 Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian telah meluncurkan Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Lokasi sasaran pada Program Aksi Desa Mandiri Pangan adalah desa miskin dan rawan pangan dengan kelompok sasaran yaitu rumahtangga miskin.

Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu kabupaten pelaksana Program Aksi Desa Mandiri Pangan karena seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa Kabupaten Pandeglang memiliki jumlah penduduk miskin yang masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 177 895 jiwa atau 15.82 persen pada tahun 2006. Selain itu apabila dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu kabupaten yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) terbesar.

(14)

Faktor yang menjadi penyebab kemiskinan wilayah pedesaan dan faktor penciri rumahtangga miskin di Kabupaten Pandeglang tentunya akan beragam, berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu wilayah ke wilayah lain, bahkan dari satu waktu ke waktu yang lain. Strategi penanggulangan kemiskinan yang bersifat seragam tidaklah tepat. Kebijakan pengurangan kemiskinan perlu disesuaikan dengan karakteristik tipologi desa dan tidak membuat ketergantungan penduduk miskin.

Permasalahan yang ada adalah pada saat ini belum tersedia informasi mengenai faktor penyebab kemiskinan wilayah pedesaan berdasarkan tipologi desa dan faktor penciri rumahtangga miskin di Kabupaten Pandeglang untuk merumuskan strategi yang dapat dilakukan agar lebih efektif dan tepat sasaran. Dalam rangka memberikan kontribusi untuk menjawab permasalahan dan keterbatasan-keterbatasan penelitian tentang kemiskinan, maka tesis ini dirumuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemiskinan dan bagaimana karakteristik desa miskin berdasarkan tipologi desa di Kabupaten Pandeglang?

2. Apa faktor penciri dan bagaimana karakteristik kemiskinan tingkat rumahtangga di daerah pertanian di Kabupaten Pandeglang?

3. Bagaimana strategi penanggulangan kemiskinan yang dapat dilakukan di Kabupaten Pandeglang di tingkat wilayah dan tingkat rumahtangga?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kemiskinan pedesaan dan strategi penanggulangannya di Kabupaten Pandeglang. Secara lebih spesifik tujuan dari penelitian ini adalah:

(15)

1. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kemiskinan dan mengetahui

karakteristik desa miskin berdasarkan tipologi desa di Kabupaten Pandeglang.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor penciri dan mengetahui karakteristik

rumahtangga miskin di daerah pertanian di Kabupaten Pandeglang.

3. Merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan yang dapat dilakukan di

Kabupaten Pandeglang baik di tingkat wilayah maupun tingkat rumahtangga. Informasi yang lebih baik dan terkini (up-to-date) tentang penduduk miskin sangat penting untuk membantu pemerintah Kabupaten Pandeglang dalam mendesain kebijakan yang efektif untuk memerangi kemiskinan. Siapa yang miskin?. Berapa jumlah penduduk yang miskin?. Dimana mereka tinggal?. Kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk membantu penduduk miskin tidak dapat berjalan dengan sukses jika pemerintah daerah tidak mengetahui siapa yang miskin dan bagaimana kemungkinan penduduk miskin merespon beberapa strategi pertumbuhan yang dilaksanakan pemerintah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat baik untuk masyarakat, para peneliti, akademisi serta pemerintah. Hasil rumusan metodologi identifikasi diharapkan berguna untuk analisis desa miskin oleh berbagai pihak yang membutuhkan pada berbagai ruang lingkup kegiatan terutama di pedesaan.

Tujuan terpenting dari informasi kemiskinan adalah untuk mendukung usaha-usaha bagi penentuan sasaran sumberdaya pembangunan terhadap wilayah miskin, yang bertujuan untuk menurunkan kemiskinan agregat melalui sasaran wilayah. Manfaat lain dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran

(16)

penanganan penduduk miskin secara tepat dan terarah. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian lanjutan dalam konteks pengurangan kemiskinan dan pencegahan pertambahan penduduk miskin.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup dan keterbatasan dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian tentang karakteristik dan faktor penyebab kemiskinan di wilayah desa dilakukan dengan menggunakan data Podes 2005 dengan membagi wilayah sesuai tipologinya yaitu: (1) berdasarkan jenis usaha (pertanian dan non pertanian), (2) jumlah penduduk (jarang, sedang dan padat), dan (3) letak geografis (pesisir dan non pesisir).

2. Analisis rumahtangga miskin hanya dilakukan pada desa yang memiliki jenis usaha dibidang pertanian. Karakteristik rumahtangga pada desa yang dibagi berdasarkan kepadatan penduduk dan letak geografis tidak diteliti.

Gambar

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 1996 – 2006
Gambar  1.  Indeks  Kedalaman  Kemiskinan  di  Indonesia Menurut  Daerah, Tahun 1999 – 2006
Gambar  2.  Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 1999 - 2006
Tabel  2.  Jumlah  dan  Persentase  Penduduk  Miskin  di Provinsi  Banten  Menurut Tipe Daerah, Tahun 2004 – 2006

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu pada penelitian ini dibuat alat untuk melengkapi kekurangannya.Alat ini dilengkapi RFID Reader untuk memudahkan saat masuk ke area parkir

Di pasar sentral rakyat Sungguminasa kabupaten gowa dapat dikatakan sudah memenuhi standar karena para pemotong ayam sudah mengikuti pelatihan khusus yang di

Hasil SEM menunjukkan tekstur yang merata, halus, dan rongga yang besar sehingga dapat menghasilkan hasil nilai keempukan nugget ayam terbaik yaitu sebesar 10,11

Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan

Dalam penelitian ini akan digunakan metode support vector machine dan akan dilakukan seleksi atribut dengan menggunakan particle swarm optimization untuk

Sebagai pembanding digunakan pasta gigi Enzym™, hal ini didasarkan bahwa pasta gigi ini mengandung zat aktif berupa enzim juga, karena pada pengujian tingkat

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi menggunakan ekstraksi ciri Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM) pada varietas Durio zibethinus

DN : Ya itu masing-masing unit dalam membuat dan mengembangkan aplikasinya berkoordinasi dengan kita dan seluruh unit kita memfasilitasi supaya bagaimana