2
Wujud Perlindungan Buruh Anak
Dalam Hukum Positif di Indonesia
Umu Hilmy
1Abstrak
Pasal 34 dan pasal 28 huruf B UUD 1945 merupakan pasal yang mengamanahkan negara
untuk melindungi anak. Pasal tersebut kemudian menjadi dasar dari pembentukan UU
Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak dan UU Ketenagakerjaan serta UU Nomor 1
Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dalam keempat
undang-undang tersebut telah mewujudkan perlindungan terhadap buruh anak, karena
telah mengatur tentang umur minimal seorang anak diperbolehkan bekerja beserta segala
persyaratannya, tempat-tempat kerja, beban pembuktian terbalik kepada pengusaha dan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak di mana anak dilarang bekerja pada
pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Abstract
The article 34 and article 28 point B of the Indonesian Constitution is an article that
mengamanahkan state to protect children. The article was later the basis of the
establishment of the Human Rights Act, the Child Protection Law and Labor Law and
Law No. 1 of 2000 on Ratification of the ILO Convention concerning the Prohibition and
Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour. In the fourth
law has put the protection of child labor, because it has regulated the minimum age a
child is allowed to work with all the requirements, workplaces, the burden of proof to the
employer and other forms of child labor in which children are forbidden to work on
the-job work.
Pendahuluan
Buruh anak merupakan salah satu
persoalan perburuhan yang sulit
ditanggulangi karena kemiskinan dan pendidikan atau pelatihan keluarga, sehingga dalam banyak hal menjadi masalah yang tersembunyi. Perusahaan yang berskala kecil sering menggunakan anak untuk menghemat biaya produksi dan kestabilan proses produksinya. Buruh anak yang penurut
merupakan hal menumbuhsuburkan
penggunaan buruh anak, selain tempat usahanya yang tersebar di rumah-rumah penduduk terutama di daerah kumuh membuat pengawas dari pemerintah yang dalam hal ini adalah Dinas
________________________ 1
Dosen Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Tenaga Kerja (Disnaker) sulit menjangkau-nya. Jumlah perusahaan juga merupakan hal yang menambah kesulitan tersebut. Di sisi lain, keluarga dari buruh anak juga
bersyukur karena punya tambahan
penghasilan. Jadi dari segala sisi, semua pihak yang terkait merasa mendapatkan keuntungan dengan buruh anak.
Tetapi banyak pihak tidak menyadari akan terjadinya kerugian yang luar biasa dengan penggunaan buruh anak tersebut, baik untuk pribadi-pribadi buruh anak itu sendiri, untuk keluarga dari buruh anak yang bersangkutan, maupun untuk bangsa dalam skala nasional. Anak memerlukan waktu, tenaga untuk mengecap pendidikan, dan tidak kalah pentingnya anak juga butuh waktu dan tenaga untuk bermain. Pendidikan untuk mengembangkan hard skill dan soft
3
skill, sedangkan bermain untuk
mempraktekkannya dalam dunia mereka, yakni dunia anak. Semua hal itu hilang dan tidak dapat diulang kembali ketika mereka bekerja untuk mencari nafkah untuk
memenuhi kelutuhan hidup karena
keluarganya miskin.
Dalam bernegara, hal tersebut sudah jauh dipikirkan oleh penggagas konstitusi pada saat memperjuangkan kemerdekaan.
Buktinya terdapat pasal 34 yang
mengemukakan bahwa: “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Jadi negara siapapun yang memerintah, wajib memenuhi perintah konstitusi tersebut. Ketika reformasi bergulir hak anakpun
mengalami perkembangan. Melalui
amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 yang mengatur tentang hak-hak warga negara ditambah dengan huruf a
sampai huruf j, bahkan hak anak
dicantumkan dalam huruf B ayat (2) setelah hak hidup dan hak untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah. Pada pasal 28 huruf B ayat (2) inilah diatur
tentang “setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan atas kekerasan dan diskriminasi.” Kalimat-kalimat itulah yang digunakan menjadi dasar untuk menentukan kebijakan terhadap anak pada umumnya dan buruh anak khususnya.
Tapi saat ini tidak mudah memenuhi hak untuk dipelihara dan dilindungi tersebut sebagai wujud dari kewajiban negara oleh konstitusi. Mengimplentasikan kewajiban dalam konstitusi membutuhkan peraturan pada tingkat yang lebih rendah, mulai dari
undang-undang dan semua peraturan
pelaksanaannya. Setiap rezim pemerintahan
punya kebijakan untuk melaksanakan
perintah konstitusi tersebut, yang kemudian dituangkan dalam peraturan perundangan beserta peraturan pelaksanaannya. Artikel ini akan menelusuri wujud dari perlindungan kepada anak yang menjadi buruh dalam hukum positif di Indonesia.
Kerangka Pembahasan
Untuk membahas peraturan perundang-undangan yang terkait dengan buruh anak, maka kerangka pikir yang digunakan adalah:
UUD merupakan norma dasar, merupakan konstitusi yang harus “dipatuhi” oleh peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, yakni undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (untuk selanjutnya disingkat UU PPP), jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan dikemukakan bahwa yang paling dasar atau paling tinggi adalah UUD, kemudian Undang-Undang/PERPU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Pada ayat berikutnya dikemukakan bahwa jenis-jenis Peraturan Daerah yang dimaksud adalah Peraturan
Daerah Provinsi, Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa. Dalam UU PPP tidak disebut-sebut tentang keputusan, jadi artinya tidak
termasuk dalam hirarkhi peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Tapi karena dalam kenyataan masih banyak peraturan yang menggunakan keputusan, antara lain Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, kalau di daerah Keputusan Gubernur di tingkat provinsi dan Keputusan Bupati/Walikota di tingkat kabupaten/kota, maka pasal 7 ayat (4) mengatur tentang hal itu, yakni jenis peraturan lain selain yang disebutkan secara eksplisit tersebut “diakui keberadaannya” dan “mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undang yang lebih tinggi.”
Pasal 7 dalam UU PPP ini agak mirip dengan pemikiran Hans Kelsen yang mengemuka-kan tentang validitas semua norma dapat dilacak pada suatu atau beberapa norma dasar yang membentuk suatu sistem norma atau aturan dan norma yang validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi disebut norma dasar (basic norm) yang di dalam pasal 7 UU PPP adalah UUD. Norma dasar ini membentuk, sebagai sumber bersama, suatu ikatan antara semua norma-norma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan.1 Norma dasar ini membentuk, sebagai sumber bersama, suatu ikatan antara semua
1
Kelsen; General Theory; halaman 110-11;
4
norma-norma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan.
Jadi UUD 1945 merupakan grund
norm-nya, di mana masalah anak yang menjadi buruh tidak diatur secara eksplisit, yang diatur adalah tentang anak terlantar (pasal 34) dan hak anak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 28 huruf B ayat (2). Untuk perburuhan harus dikaitkan dengan perlindungan kepada buruh
pada umumnya, sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 28 huruf D ayat (2). Jadi setiap orang punya hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Bagaimana perlindungan hukum
diwujudkan dalam peraturan perundangan, sudah pasti harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) subyek hukum baik yang melindungi maupun yang melindungi harus jelas kriterianya atau definisinya dan tercantum secara eksplisit; (2) demikian juga substansi perlindungannya atau apa yang dilindungi; (3) tata cara atau mekanisme melaksanakan perlindungan, walaupun ini kemudian dapat didelegasikan lebih lanjut pada peraturan pelaksanaannya; (4) hak untuk complain dari subyek hukum yang dilindungi dengan berbagai yang berkaitan dengan hal ini, antara lain, lembaga tempat complain, tata cara atau mekanisme complain, batas waktu pelayanan untuk menangani complain, dll. yang tentu saja hal tersebut juga dapat didelegasikan pada peraturan pelaksanaan.2
Negara, dalam hal ini pemerintah, memiliki tugas dan kewajiban yang sangat penting, yaitu memberikan kemampuan agar rakyat benar-benar dapat hidup sejahtera. Meskipun rakyat memiliki kesadaran yang tinggi, kemauan yang tinggi, serta ikhtiar
yang sungguh-sungguh untuk hidup
sejahtera, tetapi bila tidak memiliki kemampuan maka tak akan bisa mencapai sasaran yang diharapkan. Oleh karena itu
2
Ciri-ciri wujud perlindungan didapat oleh penulis dari pengalaman pembuatan peraturan baik level UU maupun level peraturan daerah yang pernah dilakukan, ditambah pula pengalaman penulis dalam membantu masyarakat terutama menyelesaikan kasus-kasus TKI, KDRT atau perburuhan.
adalah kewajiban negara dalam hal ini pemerintah untuk memberi kemampuan tersebut. Negara berkewajiban menjamin kesejahteraan umum para warganya. Di negeri Belanda, usaha pemerintah untuk mencapai kesejahteraan bersama dilakukan dengan cara-cara:3
1. melindungi orang-orang terhadap risiko bekerja di industri modern, seperti kecelakaan perburuhan;
2. jaminan penghasilan minimum, juga karena sakit, kehilangan pekerjaan dan masa tua;
3. menyediakan sarana yang dibutuhkan oleh setiap orang agar dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat, seperti perumahan, pendidikan dan kesehatan; 4. memajukan kesejahteraan individu,
seperti penyaluran aspirasi politik, kebudayaan, olah raga dan sebagainya. Jadi dalam hal buruh anak, negara dalam hal ini pemerintah mempunyai tugas untuk melindungi terhadap risiko bekerja,
jaminan penghasilan, kalau sakit,
menyediakan saran seperti perumahan, pendidikan dan kesehatannya. Dalam artikel ini, membahas tentang wujud norma yang melindungi, jadi harus mendeskripsikan dan menganalisis apakah norma-norma yang seharusnya ada supaya perlindungan dapat dijalankan itu telah tercantum dalam hukum positif atau belum.
Buruh anak, tidak ada interpretasi formalnya, yang ada adalah inerpretasi anak dan buruh secara sendiri-sendiri. Dalam interpretasi formal, anak diartikan sebagai setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan buruh diartikan sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan demikian, kalau dikaitkan antara keduanya, maka buruh anak adalah setiap orang yang di bawah usia 18 tahun yang bekerja dengan menerim upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3
Satjipto Raharjo; 2008; Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya; Genta Press; Yogyakarta: halaman: 29.
5 Menurut ILO (International Labour Organisation) yang dimaksud dengan pekerja anak adalah:
“Children who lost their chidhood and future, prematurely leading adult lives, working long hours for low wages under conditions damaging to their health and their physical and mental development”.
Dalam definisi tersebut terkandung “kata kunci” anak, kehilangan masa anak dan masa depan (yang menjadi haknya), melakukan pekerjaan orang dewasa, jam kerja panjang, gaji rendah, kondisi kerja
yang membahayakan kesehatan dan
perkembangan fisik dan mental. ILO membedakan antara pekerjaan ringan (light
work) dengan pekerjaan berbahaya
(hazardous work). Anak yang bekerja pada pekerjaan ringan diperbolehkan sedangkan anak yang bekerja yang berbahaya dilarang.4 Dalam konteks inilah ILO memandang fenomena pekerja anak.
Pembahasan Wujud Perlindungan Buruh Anak dalam Hukum Positif di Indonesia
1. Kondisi empiris buruh anak
Secara empiris, kondisi nyata buruh anak menunjukkan, bahwa: (1) tidak banyak perusahaan besar yang menggunakan buruh anak, kecuali perusahaan rokok, itupun seringkali yang terjadi dalam kondisi nyata perusahaan membuat syarat umur bagi buruh yang diterima dan buruh yang umurnya kurang memalsukan identitasnya, kemudian perusahaan tidak lagi mempersoalkan apakah buruh tersebut kondisi fisiknya sesuai atau tidak dengan umur yang ada dalam identitas formalnya (surat kelahiran atau surat kenal lahir atau bahkan
menggunakan KTP saudaranya yang
umurnya sudah memenuhi persyaratan; (2) Kalau perusahaan menengah ke bawah, banyak yang menggunakan buruh anak, dan mayoritas tidak memenuhi syarat yang tercantum dalam pasal 68 ayat (2); (3)
4
Definisi dari ILO dimuat dalam Pedoman Tehnis Pelayanan Pendidikan Bagi Pekerja Anak Sektor Informal; dari Depdiknas tahun 2001; Jakarta.
apalagi perusahan kecil, industri rumah tangga dan house-hold employment atau pekerja dalam keluarga yang hampir seluruhnya tidak dibayar oleh orang tuanya karena hanya dianggap membantu orang tua
untuk memenuhi kebutuhan nafkah
keluarga; (4) studi terakhir memperlihatkan, lebih 30 persen pekerja anak masih bersekolah. Dalam penelitian mengenai pekerja anak di Indonesia (1993-1996), Irwanto dari Pusat penelitian Atma Jaya mengatakan, angka masuk sekolah dari anak-anak berusia 7-15 tahun adalah 91,5 persen (SD) dan 40 persen (SMP) pada tahun 1993. Ini berarti terdapat 8,5 persen atau 2,5 juta anak dan 60 persen atau tujuh juta anak yang tidak lulus SD dan SMP.Dengan kata lain, ada sekitar 9,5 persen anak berusia antara 7-15 tahun yang tidak menyelesaikan pendidikan SD dan SMP, dan hampir bisa dipastikan, mereka memasuki pasar kerja, baik formal maupun informal.5
2. UU yang terkait dengan Buruh Anak
a) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
b) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
c) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
d) UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
a. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
Berdasarkan proses pembuatannya,
Undang-undang HAM ini dibuat sebelum pasal 28 UUD diamandemen. Jadi ketika mengamandemen pasal-pasal dalam UUD,
pada dasarnya pasti disesuaikan
(dikonsistenkan atau disinkronisasikan) dengan ruh dari pasal-pasal yang ada dalam UU HAM. Agaknya ini merupakan proses pembuatan yang terbalik. Dalam keadaan normal, norma dasar seharusnya dibuat dulu
baru norma dalam undang-undang.
5
http//.www.google.com/persoalan_anak/php. diakses tanggal 22/11/2008.
6
Walaupun demikian, seharusnya
berdasarkan Hans Kelsen dalam Asshiddiqi dan Safa‟at6 norma dasar merupakan pembentuk dan merupakan sumber bersama, serta merupakan suatu ikatan antara semua norma-norma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan. Tapi dalam terminologi waktu pasal 28A-J diamandemen setelah UU HAM disahkan. Tapi analisis normatif tetap harus menganalisis konsistensinya.
UU HAM mencantumkan perlindungan
terhadap anak, khususnya yang ada
kaitannya dengan buruh anak, ada pada Bab III tentang Hak Asasi Manusia dan
Kebebasan Dasar Manusia; Bagian
Kesepuluh tentang Hak Anak yang dianalisis hanya yang ada kaitannya, yakni hak atas
pelayanan kesehatan dan hak untuk
memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang membahayakan dirinya.
1. Hak anak atas pelayanan kesehatan
Dalam hal hak anak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan juga terkait erat dengan buruh anak, yang hal ini di dalam UU HAM diatur dalam pasal 62: “Setiap anak berhak
untuk memperoleh pelayanan
kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya”.
Pasal 62 mengeksplisitkan hak anak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang layak, jadi ketika anak, sekolah ataupun bekerja, dia
punya hak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan juga. Oleh karena itu harus ada aturan yang mengatur secara eksplisit tentang hak atas pelayanan kesehatan bagi buruh anak dan hak atas jaminan sosial yang
layak sesuai dengan kebutuhan
mereka, baik kebutuhan fisik yang dalam buruh anak dikonotasikan dengan upah buruh anak; sedangkan kebutuhan mental itu dikonotasikan dengan hak beristirahat, bermain, bergaul dan berekreasi.
6
Kelsen dalam Asshiddiqie dan Safa‟at; Op Cit; halaman 95.
2. Hak anak untuk memperoleh
perlindungan dari kegiatan eksploitasi
ekonomi dan pekerjaan yang
membahayakan dirinya
Terdapat 2 (dua) pasal yang
melindungi anak dari ekploitasi ekonomi, yakni pasal 64 dan pasal 65. Adapun pasal 64 itu mengatur tentang kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya. Jadi kalau pasal 58 itu merupakan pasal yang melindungi
anak atas haknya untuk tidak
mendapatkan kekerasan dalam arti luas, dan yang berkaitan dengan buruh anak adalah kerasan ekonomi atau penelataran, atau eksploitasi dengan memaksa anak untuk bekerja, dari sisi orang tua atau wali atau pihak-pihak lain yang mengasuh anak, maka pasal 64 itu perlindungan dari perlakuan pihak pemberi kerja, pengusaha dan perusahaan, walaupun tidak ada satu
katapun yang eksplisit
mengemukakan hal itu. Pasal 64
berikut mengemukakan hal itu:
“Setiap anak berhak untuk
memperoleh perlindungan dari
kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral,
kehidupan sosial, dan mental
spiritualnya”.
Selanjutnya pasal 65 mengatur hak anak untuk memperoleh perlindungan
dari kegiatan eksploitasi dan
seterusnya, penyalahgunaan narkotika dan seterusnya, sebagai berikut:
“Setiap anak berhak untuk
memperoleh perlindungan dari
kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotro-pika, dan zat adiktif lainnya”.
Pasal inipun merupakan pasal untuk melindungi buruh anak dari pihak
pemberi kerja, pengusaha,
perusahaan, tapi itu masih diperluas dengan perlindungan dari kegiatan kejahatan berkelompok, kelompok
7 kota/kabupaten, provinsi, nasional maupun internasional atau disebut dengan organized crime. Biasanya kejahatan-kejahatan tersebut merupa-kan kejahatan jual beli senjata, perdagangan manusia, perdagangan narkotika dan psikotropika dan zat adiktif lainnya.
Pasal-pasal tersebut merupakan derivasi dari pasal 28B ayat (2), di mana anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
b. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UU tentang Perlindungan Anak (untuk selanjutnya disingkat menjadi UU PA) merupakan undang-undang yang melindungi semua hal tentang anak, dari orang tuanya,
dari pihak lain yang hendak
memanfaatkannya, atau masyarakat bahkan pemerintah yang biasanya dilakukan oleh penegak hukum ketika mereka bermasalah dengan hukum. Oleh karena itu undang-undang ini merupakan undang-undang-undang-undang
payung bagi anak. Adapun yang
dikategorikan anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
Dalam UU PA, tidak satupun pasal yang melindungi anak yang bekerja pada umumnya, dan buruh anak khususnya, tetapi ada beberapa pasal yang berkait erat dengan perlindungan anak yang bekerja, antara lain: hak anak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial; hak atas pendidikan dan pengajaran; dan hak untuk beristirahat dan bermain, bergaul, berekreasi dan berkreasi. Sedangkan yang terkait langsung adalah perlindungan terhadap eksploitasi ekonomi.
1. Hak anak atas pelayanan kesehatan Dalam UU PA anak juga diberikan
hak atas pelayanan kesehatan
sebagaimana tercantum dalam pasal 18 berikut: “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial”.
Hak atas pelayanan kesehatan dan jaminan sosial, juga hampir sama
dengan hak beristirahat dan untuk mengembangkan diri, perbedaannya ada pada kata ”secara layak”. Jadi dalam hal ini UU HAM-lah yang memiliki kelebihan, karena punya standar secara layak.
2. Hak anak untuk memperoleh
perlindungan dari kegiatan eksploitasi
ekonomi dan pekerjaan yang
membahayakan dirinya
Juga hak anak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi
ekonomi dan pekerjaan yang
membahayakan dirinya. Pasal 66 mengatur hal tersebut.
(1) Perlindungan khusus bagi anak
yang dieksploitasi secara
ekonomi dan/atau seksual
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan melalui:
a. penyebarluasan dan/atau
sosialisasi ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. pemantauan pelaporan, dan
pemberian sanksi; dan c. pelibatan berbagai instansi
pemerintah, perusahaan
serikat pekerja, LSM, dan
masyarakat dalam
penghapusan eksploitasi
terhadap anak secara
ekonomi dan/atau seksual.
(3) Setiap orang dilarang
menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut
melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Apabila dibandingkan dengan UU HAM, maka kedua pasal
8 berbeda secara signifikan. Pada UU HAM merupakan pasal yang mengemukakan hak atas perlindungan dari kegiatan
eksploitasi ekonomi yang
umum. Dalam pasal yang ada di UU HAM dikemukakan tujuan dari perlindungan terhadap kegiatan eksploitasi ekonomi, yakni supaya tidak terganggu
pendidikannya, kesehatan
fisiknya, moralnya, kehidupan
sosialnya dan mental
spiritualnya. Sedangkan dalam UU PA dikemukakan cara-cara perlindungannya: a-c (ayat 2)
dan ayat (3)-nya bahkan
mengatur tentang pembiaran dan turut serta. Jadi lebih rinci. Masih dalam UU PA terdapat pasal yang mengatur tentang anak yang “menjadi korban” narkotika, alkohol, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya, maka pasal 67 mengatur akan hal tersebut.
(1)Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza)
sebagaimana dimaksud
dalam pasal 59, dan terlibat
dalam produksi dan
distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
(2)Setiap orang dilarang
dengan sengaja
menempatkan, membiarkan
melibatkan, menyuruh
melibatkan anak dalam
penyalahgunaan, produksi
dan distribusi napza
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal yang tercantum dalam UU PA juga kalau dibandingkan dengan pasal-pasal dalam UU HAM, maka keduanya juga jauh berbeda, juga UU PA lebih
lengkap pasal 65 dalam UU HAM dan pasal 67 UU PA mengatur perlindungan terhadap kegiatan bukan hanya ekonomi, tetapi juga kekerasan seksual, penculikan dan penyalahgunaan narkotika.
Polanya sama pasal yang pada UU HAM merupakan pasal yang pokok dan UU PA lebih rinci. Kalau dalam pasal-pasal yang
sebelumnya hampir sama
kalimatnya dalam hal
perlindungan pada umumnya,
perlindungan dalam masalah
perlindungan hak anak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi pasal-pasal yang ada dalam UU HAM dan pasal-pasal yang ada dalam UU PA berbeda secara signifikan. Perbedaannya adalah dalam UU HAM yang
diatur hal-hal yang umum,
sedangkan dalam UU PA lebih rinci.
Rincian yang ada pada UU PA tercantum dalam pasal 66 yang terdiri dari 3 ayat. Ayat pertama, mengatur tentang pihak-pihak mana saja yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi, yaitu yang utama pihak pemerintah dan yang kedua baru masyarakat. Ayat ini kurang konsisten dengan pasal 20 UU PA, karena di pasal tersebut yang dibebani kewajiban
dan tanggung jawab yang
pertama negara, kemudian
pemerintah, ketiga masyarakat, keempat keluarga dan kelima
orang tua. Mengapa diatur
sedemikian rupa? Analisis yang dapat dideskripsikan adalah sebagai berikut: keluarga dan orang tua tidak dicantumkan dalam perlindungan terhadap
eksploitasi, karena mereka
(keluarga dan orang tua) sering
menjadi pelakunya. Tapi
mengapa yang ada di pasal 20 dicantumkan? Karena pasal 20
9 perlindungan terhadap hak anak yang umum, mulai hak atas
pendidikan, hak untuk
beristirahat, bermain dan
mengembangkan kreasinya, hak atas pelayanan kesehatan dan jaminan sosial, dan lain-lainnya. Jadi pasal 20 memang sudah
seharusnya mencantumkan
semua pihak yang berkewajiban melindungi hak-hak anak.
Ayat kedua, diatur secara rinci tentang berbagai cara melindungi anak dari kegiatan eksploitasi, di
mana huruf a merupakan
perlindungan preventif menurut Hadjon (1987)7. Alasannya adalah kalimat yang ada pada
huruf a merupakan merupakan deskripsi tentang cara melindungi sebelum terjadinya eksploitasi, yakni tentang penyebarluasan
informasi tentang semua
peraturan yang berkaitan dengan
perlindungan atas kegiatan
eksploitasi ekonomi, yang ada pada beberapa undang-undang: UU Pemberantasan Perdagangan
Manusia; UU Penghapusan
KDRT, dll. Penyebarluasan
informasi bisa dilakukan dengan berbagai cara, membuat brosur, menyiarkan di media elektronik, media cetak, buku-buku kecil dengan bahasa yang mudah,
kesemuanya intinya adalah
sosialisasi. Sedangkan huruf b,
merupakan pemantauan
pelaporan dan pemberian sanksi, yang oleh Hadjon (1987) disebut dengan perlindungan represif8. Terakhir, ayat (2) huruf c yang
mengatur tentang pemberian
beban kepada pihak-pihak yang ada pada ayat (1) yaitu pihak pemerintah (berbagai instansi)
dan masyarakat dengan
melibatkan LSM untuk
7
Phillipus Hadjon; 1987; Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia; Bina Ilmu; Jakarta; hlm.: 2.
8
Ibid;hlm.: 3.
melindungi anak yang
dieksploitasi, baik ekonomi
maupun seksual. Hal yang
spesifik dalam huruf c adalah pelibatan perusahaan dan serikat pekerja.
Pada ayat (3), diatur tentang perluasan delik formal, yaitu larangan tentang “menempatkan,
membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan atau turut serta” melakukan eksploitasi ekonomi dan seksual. Kata kerja
yang berderet itu dapat
dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis: (1) perbuatan pasif: pembiaran dan (2) perbuatan aktif yang dilakukan
bersama-sama (deel naming):
menempatkan, melakukan,
menyuruh melakukan atau turut serta. Tapi kalau ada unsur perdagangan manusianya lebih baik kalau menggunakan pasal-pasal yang ada dalam UU
Pemberantasan Perdagangan
Manusia (UU Nomor 21 Tahun 2007).
Dalam pada itu, pasal 64 yang
ada dalam UU HAM
mencantumkan tentang tujuan perlindungannya, yakni ….”
sehingga dapat mengganggu
pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya”.
c. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK)
Undang-undang ini merupakan undang-undang yang mengatur hubungan antara pengusaha dengan buruh, pada Bab X yang mengatur tentang perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan. Di bagian kesatu diatur tentang perlindungan terhadap buruh anak yang terdiri dari 8 pasal yang dimulai dengan larangan terhadap pengusaha untuk mempekerjakan anak (pasal 68) sebagai berikut:
“Pengusaha dilarang mempekerjakan anak”.
Larangan memang ditujukan kepada pengusaha, alasannya adalah masalah
10 kemiskinan yang membuat banyaknya anak
yang tidak mampu melanjutkan
pendidikannya dan kemudian mereka
bekerja pada usia di bawah 18 tahun. Oleh karena itu pasal 69 memberikan “peluang” untuk menampung kondisi-kondisi sosial-ekonomi para orang tua dan anak yang
“terpaksa” bekerja untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarganya,
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 69 berikut:
(1)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun
untuk melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2)Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana
dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi persyaratan:
a. izin tertulis dari orang tua atau wali; b. perjanjian kerja antara pengusaha
dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; d. dilakukan pada siang hari dan tidak
mengganggu waktu sekolah; e. keselamatan dan kesehatan kerja; f. adanya hubungan kerja yang jelas;
dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Dari pasal 69 yang mengemukakan tentang pengecualian dapat dianalisis sebagai berikut:
Pertama, pasal 69 ini merupakan pengecualian yang telah diperhitungkan dengan cermat oleh pembentuk undang-undang, yakni dalam usia 13 tahun dan batasan atasnya 15 tahun. Usia 13 tahun merupakan usia normal anak-anak lulus Sekolah Dasar, sedangkan usia 15 tahun
merupakan batas usia minimal yang
diperbolehkan bekerja berdasarkan
Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja yang disahkan melalui UU Nomor 20 Tahun
1999. Tujuan dari pembatasan usianya
adalah supaya tidak terganggu
perkembangan fisik, mental dan sosialnya. Kalau dikaitkan dengan pasal 9 danpasal 11 UU PA yang mengatur tentang hak anak atas pendidikan dan hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, maka kedua undang-undang tersebut telah konsisten untuk melindungi anak.
Kedua, perlindungan dari UUK berikutnya adalah dengan memberikan persyaratan untuk anak yang bekerja, yakni: izin tertulis dari orang tua atau walinya, perjanjiannya ditandatangani oleh orang tua atau walinya, waktu kerjanya siang hari yang tidak mengganggu waktu sekolah, dilindungi keselamatan dan kesehatan kerjanya dan upahnya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan persyaratan yang cukup berat ini memang ditujukan untuk membuat pengusaha tidak “menyukai“ mempekerjakan buruh anak. Akan tetapi dalam ayat berikutnya persyaratan tersebut, masih juga ada perkecualiannya, yakni bagi mereka yang bekerja sebagai house hold employment, yang bekerja pada usaha keluarga.
Pengecualian lain adalah pada pasal 70, di mana pasal tersebut mengatur tentang anak yang bekerja karena menjalani bagian dari ketentuan kurikulum yang sah (telah disahkan oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini adalah pejabat dari Kementerian Pendidikan Nasional. Untuk yang terakhir ini ada juga persyaratan umurnya, yakni minimal 14 tahun. Selain itu harus pula ada yang mengawasi dan membimbingnya serta keselamatan dan kesehatannya, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 70 berikut:
(1)Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan
yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
(2)Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun.
(3)Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat: a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara
11 bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Perkecualian berikutnya adalah
perkecualian untuk anak yang bekerja karena bakat dan minat. Pasal 71 berikut mengatur tentang hal:
(1)Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. (2)Pengusaha yang mempekerjakan anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat:
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak
mengganggu perkembangan fisik,
mental, sosial, dan waktu sekolah. (3)Ketentuan mengenai anak yang bekerja
untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Mengembangkan bakat dan minat merupakan hak anak juga, didalamnya ada segi pendidikannya. Akan tetapi betapapun harus ada batasan yang jelas, sebagaimana
yang dikemukakan dalam kerangka
pembahasan bahwa dalam mengatur pasal tentang perlindungan harus jelas batasan subyek yang dilindungi, masalah yang
dilindungi, mekanisme pelaksanaan
perlindungannya dan hak serta penyelesaian complain.9 Dalam pasal 71 tersebut yang jelas hanyalah batasan subyek, dan masalah yang dilindungi, sedangkan mekanisme dan complain-nya tidak tercantum dalam undang-undang karena didelegasikan kepada Keputusan Menteri.
Pasal 72 dan 73 merupakan lanjutan perlindungan terhadap larangan anak untuk bekerja.
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan
bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus
dipisahkan dari tempat kerja
pekerja/buruh dewasa. Pasal 73
9
Lihat catatan kaki nomor 2.
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Pasal 72 merupakan perlindungan terhadap buruh anak terhadap perilaku buruh dewasa, karena sering dalam kondisi nyata perlakuan buruh dewasa kalau tidak menyuruh-nyuruh kepada buruh anak untuk melakukan pekerjaan mereka, bisa juga
melakukan pelecehan seksual maupun
pembicaraan antar pekerja dewasa yang seharusnya belum boleh didengar oleh seorang buruh anak. Sedangkan pasal 73, merupakan pasal yang melindungi anak, dengan membebankan kepada pengusaha apabila ada anak yang berada di tempat kerja. Jadi merupakan beban pembuktian terbalik, hal ini dibuat untuk memaksa pengusaha bertindak hati-hati tidak membiarkan ada anak yang dibawah usia 13 tahun berada di tempat kerja, baik memang untuk bekerja maupun karena dibawa oleh buruh mereka (pengusaha) yang dewasa. Pasal 74
(1)Siapapun dilarang mempekerjakan dan
melibatkan anak pada
pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.
(2)Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. segala pekerjaan dalam bentuk
perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; c. segala pekerjaan yang memanfaatkan,
menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan
minuman keras, narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
e. Jenis-jenis pekerjaaan yang
membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral anak
sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 74 merupakan pasal yang
sebenarnya dibuat dalam upaya untuk melaksanakan Konvensi tentang Pekerjaan
12 terburuk anak yang dibahas setelah
pembahasan UUK. Pada pasal ini
merupakan pasal yang eksplisist melarang “siapa saja” mempekerjakan anak di tempat-tempat yang tercantum dalam ayat (2). Kategori subyek hukum yang dilarang dibuat secara luas dengan kata kunci siapa saja, yang secara ekstensif interpretasi dapat diartikan: pengusaha, yayasan-yayasan, orang tua, wali atau siapapun. Adapun jenisnya pekerjaan yang dilarang memang eksplisit dalam huruf a, b dan c, tetapi huruf d, pembentuk undang-undang memberikan peluang bagi Menteri Tenaga Kerja untuk mengembangkan pekerjaan-pekerja yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.
Terakhir, pasal 75 merupakan pasal yang mengatur tentang pekerja anak yang di luar hubungan kerja, yang berarti merupakan anak yang bekerja secara mandiri, antara lain anak jalanan, anak yang berjualan di jalan, sebagai pedagang asongan, dan lain-lain sebagaimana pasal 75 berikut.
(1)Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja.
(2)Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
d. UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Pekerjaan terburuk anak yang telah diratifikasi dan diundangkan dengan UU Nomor 2 Tahun 2000; dan konvensi tersebut sebenarnya telah digunakan dalam hukum positif di Indonesia, yakni dalam pasal 74 UUK. Konvensi, karena merupakan hukum internasional, sudah tentu terdapat
pasal-pasal yang mewajibkan negara yang
meratifikasi untuk menaati dan melaporkan apakah kewajiban yang dibebankan kepada negara telah dilaksanakan serta sampai di
mana pelaksanaannya. Kalau tentang
definisi anak sama, yakni di bawah 18 tahun. (1)Negara anggota ILO yang mengesahkan
Konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin
pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. (2)“anak" berarti semua orang yang berusia
di bawah 18 (delapan belas) tahun. (3)Pengertian "bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak" adalah :
a. segala bentuk perbudakan atau
praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk
dimanfaatkan dalam konflik
bersenjata;
b. pemanfaatan, penyediaan atau
penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
c. pemanfaatan, penyediaan atau
penawaran anak untuk kegiatan
terlarang, khususnya untuk produksi
dan perdagangan obat-obatan
sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
d. pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat
membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral anak-anak. (4)Negara anggota ILO yang mengesahkan
Konvensi ini wajib menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
(5)Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil langkah-langkah agar ketentuan Konvensi ini dapat diterapkan secara efektif, termasuk pemberian sanksi pidana.
(6)Negara anggota ILO yang mengesahkan
Konvensi ini wajib melaporkan
pelaksanaannya.
Dalam hal ketentuan mengenai bentuk-bentuk “pekerjaan terburuk anak”, juga hampir sama, hal ini wajar, karena undang-undang tentang ratifikasinya disahkan tahun 2000 dan undang-undang ketenagakerjaan-nya dibuat tahun 2003. Jadi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak sudah tentu menggunakan UU Nomor 1 Tahun 2000 sebagai dasar untuk menentukan pasal 74 UUK. Namun ada juga perbedaan, yakni: pada konvensi pengertian tentang bentuk perbudaan lebih rinci karena ada kalimat
13 lanjutan sebagai contoh. Sedangkan pada UUK tidak terdapat contoh. Hal yang demikian ini akan merugikan, karena dalam praktek, dengan tidak adanya contoh akan menyulitkan para penegak hukum untuk menghukum pelaku. Sebenarnya terdapat kalimat yang baik untuk ditambahkan, yakni: “adalah, tapi tidak terbatas pada” penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata.
Penutup
a. Kesimpulan
Dari analisis normatif dapat
disimpulkan:
1. Keempat hukum positif di Indonesia yang melindungi buruh anak, UU HAM, UU PA, UUK dan ratifikasi konvensi melalui UU Nomor 1 Tahun 2000, merupakan implentasi pasal 28 huruf b dan pasal 34 dalam UUD 1945 serta UU HAM.
2. Keempat undang-undang tersebut
mewujudkan perlindungan terhadap
buruh anak dalam hal pengaturan umur minimal seorang anak diperbolehkan bekerja beserta segala persyaratannya, tempat-tempat kerja, beban pembuktian terbalik kepada pengusaha dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak di mana anak dilarang bekerja pada pekerjaan-perkerjaan tersebut. Dalam hal yang terakhir ini pengertian dalam konvensi lebih rinci dari pada pasal yang ada dalam UUK.
3. Dalam UU HAM ada bagian yang
mengatur tentang hak-hak anak yang apabila dibandingkan dengan UU PA terhadap pasal-pasal yang terkait dengan buruh anak menghasilkan analisis sebagai berikut: (1) sebagian besar pasal-pasal yang mengatur tentang hak atas pendidikan dan pengajaran baik anak yang normal maupun yang cacat fisik dan mental hampir sama, hanya berbeda tambahan satu dua kata saja; (2) demikian pula tentang hak beristirahat, bermain, berekreasi dan berkreasi; (3) juga pada hak atas pelayanan kesehatan.
Yang berbeda adalah hak untuk tidak mendapatkan kekerasan, eksploitasi ekonomi, seksual dan kegiatan-kegiatan yang membahayakan yakni perdagangan obat terlarang, pornografi, perdagangan manusia. Untuk ini pasal-pasal yang ada dalam UU HAM merupakan pasal yang lebih pokok, sedangkan UU PA lebih rinci, sehingga lebih aplikatif untuk
digunakan dalam praktek untuk
melindungi anak yang berkaitan dengan mereka yang bekerja. Tetapi kedua UU tersebut masih konsisten dalam tujuan untuk melindungi anak pada umumnya dan hal-hal yang berkaitan dengan buruh anak pada khususnya.
b. Rekomendasi
Hasil analisis normatif tersebut memunculkan rekomendasi:
1. Hendaknya kalimat dan kata yang ada dalam pasal-pasal yang hampir sama dari
keempat undang-undang tersebut
sebaiknya disamakan, supaya dapat
diterapkan lebih mudah dalam
menangani masalah hak-hak anak yang bekerja.
2. Dalam UUK, bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak mengenai pengertian
„segala pekerjaan dalam bentuk
perbudakan atau sejenisnya‟ hendaknya menggunakan pengertian yang ada dalam konvensi, karena lebih rinci. Tapi harus pula ada tambahan kalimat “tapi tidak terbatas pada”.
3. Penegak hukum hendaknya lebih banyak menggunakan pasal-pasal yang ada pada UU PA dalam hal memerinci hak-hak buruh anak, karena lebih rinci sehingga lebih dapat digunakan untuk melindungi anak pada umumnya dan buruh anak khususnya.
Daftar Pustaka
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa‟at; 2006; Teori Hans Kelsen Tentang Hukum; Penerbit buku ini merupakan kerjasama Konsti-tusi Press dengan PT Syamil Cipta Media; Jakarta.
14 Phillipus Hadjon; 1987; Perlindungan
Hukum Bagi Rakyat Indonesia; Bina Ilmu; Jakarta.
Satjipto Raharjo; 2008; Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat-nya; Genta Press; Yogyakarta.
Definisi dari ILO dimuat dalam Pedoman Tehnis Pelayanan Pendidikan Bagi Pekerja Anak Sektor Informal; dari Depdiknas tahun 2001; Jakarta.
http//.www.google.com/persoalan_anak/php. diakses tanggal 22/11/2008.