• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wujud Perlindungan Buruh Anak Dalam Hukum Positif di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Wujud Perlindungan Buruh Anak Dalam Hukum Positif di Indonesia"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2

Wujud Perlindungan Buruh Anak

Dalam Hukum Positif di Indonesia

Umu Hilmy

1

Abstrak

Pasal 34 dan pasal 28 huruf B UUD 1945 merupakan pasal yang mengamanahkan negara

untuk melindungi anak. Pasal tersebut kemudian menjadi dasar dari pembentukan UU

Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak dan UU Ketenagakerjaan serta UU Nomor 1

Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai Pelarangan dan Tindakan

Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dalam keempat

undang-undang tersebut telah mewujudkan perlindungan terhadap buruh anak, karena

telah mengatur tentang umur minimal seorang anak diperbolehkan bekerja beserta segala

persyaratannya, tempat-tempat kerja, beban pembuktian terbalik kepada pengusaha dan

bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak di mana anak dilarang bekerja pada

pekerjaan-pekerjaan tersebut.

Abstract

The article 34 and article 28 point B of the Indonesian Constitution is an article that

mengamanahkan state to protect children. The article was later the basis of the

establishment of the Human Rights Act, the Child Protection Law and Labor Law and

Law No. 1 of 2000 on Ratification of the ILO Convention concerning the Prohibition and

Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour. In the fourth

law has put the protection of child labor, because it has regulated the minimum age a

child is allowed to work with all the requirements, workplaces, the burden of proof to the

employer and other forms of child labor in which children are forbidden to work on

the-job work.

Pendahuluan

Buruh anak merupakan salah satu

persoalan perburuhan yang sulit

ditanggulangi karena kemiskinan dan pendidikan atau pelatihan keluarga, sehingga dalam banyak hal menjadi masalah yang tersembunyi. Perusahaan yang berskala kecil sering menggunakan anak untuk menghemat biaya produksi dan kestabilan proses produksinya. Buruh anak yang penurut

merupakan hal menumbuhsuburkan

penggunaan buruh anak, selain tempat usahanya yang tersebar di rumah-rumah penduduk terutama di daerah kumuh membuat pengawas dari pemerintah yang dalam hal ini adalah Dinas

________________________ 1

Dosen Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Tenaga Kerja (Disnaker) sulit menjangkau-nya. Jumlah perusahaan juga merupakan hal yang menambah kesulitan tersebut. Di sisi lain, keluarga dari buruh anak juga

bersyukur karena punya tambahan

penghasilan. Jadi dari segala sisi, semua pihak yang terkait merasa mendapatkan keuntungan dengan buruh anak.

Tetapi banyak pihak tidak menyadari akan terjadinya kerugian yang luar biasa dengan penggunaan buruh anak tersebut, baik untuk pribadi-pribadi buruh anak itu sendiri, untuk keluarga dari buruh anak yang bersangkutan, maupun untuk bangsa dalam skala nasional. Anak memerlukan waktu, tenaga untuk mengecap pendidikan, dan tidak kalah pentingnya anak juga butuh waktu dan tenaga untuk bermain. Pendidikan untuk mengembangkan hard skill dan soft

(3)

3

skill, sedangkan bermain untuk

mempraktekkannya dalam dunia mereka, yakni dunia anak. Semua hal itu hilang dan tidak dapat diulang kembali ketika mereka bekerja untuk mencari nafkah untuk

memenuhi kelutuhan hidup karena

keluarganya miskin.

Dalam bernegara, hal tersebut sudah jauh dipikirkan oleh penggagas konstitusi pada saat memperjuangkan kemerdekaan.

Buktinya terdapat pasal 34 yang

mengemukakan bahwa: “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Jadi negara siapapun yang memerintah, wajib memenuhi perintah konstitusi tersebut. Ketika reformasi bergulir hak anakpun

mengalami perkembangan. Melalui

amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 yang mengatur tentang hak-hak warga negara ditambah dengan huruf a

sampai huruf j, bahkan hak anak

dicantumkan dalam huruf B ayat (2) setelah hak hidup dan hak untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah. Pada pasal 28 huruf B ayat (2) inilah diatur

tentang “setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang serta berhak atas perlindungan atas kekerasan dan diskriminasi.” Kalimat-kalimat itulah yang digunakan menjadi dasar untuk menentukan kebijakan terhadap anak pada umumnya dan buruh anak khususnya.

Tapi saat ini tidak mudah memenuhi hak untuk dipelihara dan dilindungi tersebut sebagai wujud dari kewajiban negara oleh konstitusi. Mengimplentasikan kewajiban dalam konstitusi membutuhkan peraturan pada tingkat yang lebih rendah, mulai dari

undang-undang dan semua peraturan

pelaksanaannya. Setiap rezim pemerintahan

punya kebijakan untuk melaksanakan

perintah konstitusi tersebut, yang kemudian dituangkan dalam peraturan perundangan beserta peraturan pelaksanaannya. Artikel ini akan menelusuri wujud dari perlindungan kepada anak yang menjadi buruh dalam hukum positif di Indonesia.

Kerangka Pembahasan

Untuk membahas peraturan perundang-undangan yang terkait dengan buruh anak, maka kerangka pikir yang digunakan adalah:

UUD merupakan norma dasar, merupakan konstitusi yang harus “dipatuhi” oleh peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, yakni undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (untuk selanjutnya disingkat UU PPP), jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan dikemukakan bahwa yang paling dasar atau paling tinggi adalah UUD, kemudian Undang-Undang/PERPU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Pada ayat berikutnya dikemukakan bahwa jenis-jenis Peraturan Daerah yang dimaksud adalah Peraturan

Daerah Provinsi, Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa. Dalam UU PPP tidak disebut-sebut tentang keputusan, jadi artinya tidak

termasuk dalam hirarkhi peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Tapi karena dalam kenyataan masih banyak peraturan yang menggunakan keputusan, antara lain Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, kalau di daerah Keputusan Gubernur di tingkat provinsi dan Keputusan Bupati/Walikota di tingkat kabupaten/kota, maka pasal 7 ayat (4) mengatur tentang hal itu, yakni jenis peraturan lain selain yang disebutkan secara eksplisit tersebut “diakui keberadaannya” dan “mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undang yang lebih tinggi.”

Pasal 7 dalam UU PPP ini agak mirip dengan pemikiran Hans Kelsen yang mengemuka-kan tentang validitas semua norma dapat dilacak pada suatu atau beberapa norma dasar yang membentuk suatu sistem norma atau aturan dan norma yang validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi disebut norma dasar (basic norm) yang di dalam pasal 7 UU PPP adalah UUD. Norma dasar ini membentuk, sebagai sumber bersama, suatu ikatan antara semua norma-norma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan.1 Norma dasar ini membentuk, sebagai sumber bersama, suatu ikatan antara semua

1

Kelsen; General Theory; halaman 110-11;

(4)

4

norma-norma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan.

Jadi UUD 1945 merupakan grund

norm-nya, di mana masalah anak yang menjadi buruh tidak diatur secara eksplisit, yang diatur adalah tentang anak terlantar (pasal 34) dan hak anak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 28 huruf B ayat (2). Untuk perburuhan harus dikaitkan dengan perlindungan kepada buruh

pada umumnya, sebagaimana yang

tercantum dalam pasal 28 huruf D ayat (2). Jadi setiap orang punya hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Bagaimana perlindungan hukum

diwujudkan dalam peraturan perundangan, sudah pasti harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) subyek hukum baik yang melindungi maupun yang melindungi harus jelas kriterianya atau definisinya dan tercantum secara eksplisit; (2) demikian juga substansi perlindungannya atau apa yang dilindungi; (3) tata cara atau mekanisme melaksanakan perlindungan, walaupun ini kemudian dapat didelegasikan lebih lanjut pada peraturan pelaksanaannya; (4) hak untuk complain dari subyek hukum yang dilindungi dengan berbagai yang berkaitan dengan hal ini, antara lain, lembaga tempat complain, tata cara atau mekanisme complain, batas waktu pelayanan untuk menangani complain, dll. yang tentu saja hal tersebut juga dapat didelegasikan pada peraturan pelaksanaan.2

Negara, dalam hal ini pemerintah, memiliki tugas dan kewajiban yang sangat penting, yaitu memberikan kemampuan agar rakyat benar-benar dapat hidup sejahtera. Meskipun rakyat memiliki kesadaran yang tinggi, kemauan yang tinggi, serta ikhtiar

yang sungguh-sungguh untuk hidup

sejahtera, tetapi bila tidak memiliki kemampuan maka tak akan bisa mencapai sasaran yang diharapkan. Oleh karena itu

2

Ciri-ciri wujud perlindungan didapat oleh penulis dari pengalaman pembuatan peraturan baik level UU maupun level peraturan daerah yang pernah dilakukan, ditambah pula pengalaman penulis dalam membantu masyarakat terutama menyelesaikan kasus-kasus TKI, KDRT atau perburuhan.

adalah kewajiban negara dalam hal ini pemerintah untuk memberi kemampuan tersebut. Negara berkewajiban menjamin kesejahteraan umum para warganya. Di negeri Belanda, usaha pemerintah untuk mencapai kesejahteraan bersama dilakukan dengan cara-cara:3

1. melindungi orang-orang terhadap risiko bekerja di industri modern, seperti kecelakaan perburuhan;

2. jaminan penghasilan minimum, juga karena sakit, kehilangan pekerjaan dan masa tua;

3. menyediakan sarana yang dibutuhkan oleh setiap orang agar dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat, seperti perumahan, pendidikan dan kesehatan; 4. memajukan kesejahteraan individu,

seperti penyaluran aspirasi politik, kebudayaan, olah raga dan sebagainya. Jadi dalam hal buruh anak, negara dalam hal ini pemerintah mempunyai tugas untuk melindungi terhadap risiko bekerja,

jaminan penghasilan, kalau sakit,

menyediakan saran seperti perumahan, pendidikan dan kesehatannya. Dalam artikel ini, membahas tentang wujud norma yang melindungi, jadi harus mendeskripsikan dan menganalisis apakah norma-norma yang seharusnya ada supaya perlindungan dapat dijalankan itu telah tercantum dalam hukum positif atau belum.

Buruh anak, tidak ada interpretasi formalnya, yang ada adalah inerpretasi anak dan buruh secara sendiri-sendiri. Dalam interpretasi formal, anak diartikan sebagai setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan buruh diartikan sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan demikian, kalau dikaitkan antara keduanya, maka buruh anak adalah setiap orang yang di bawah usia 18 tahun yang bekerja dengan menerim upah atau imbalan dalam bentuk lain.

3

Satjipto Raharjo; 2008; Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya; Genta Press; Yogyakarta: halaman: 29.

(5)

5 Menurut ILO (International Labour Organisation) yang dimaksud dengan pekerja anak adalah:

Children who lost their chidhood and future, prematurely leading adult lives, working long hours for low wages under conditions damaging to their health and their physical and mental development”.

Dalam definisi tersebut terkandung “kata kunci” anak, kehilangan masa anak dan masa depan (yang menjadi haknya), melakukan pekerjaan orang dewasa, jam kerja panjang, gaji rendah, kondisi kerja

yang membahayakan kesehatan dan

perkembangan fisik dan mental. ILO membedakan antara pekerjaan ringan (light

work) dengan pekerjaan berbahaya

(hazardous work). Anak yang bekerja pada pekerjaan ringan diperbolehkan sedangkan anak yang bekerja yang berbahaya dilarang.4 Dalam konteks inilah ILO memandang fenomena pekerja anak.

Pembahasan Wujud Perlindungan Buruh Anak dalam Hukum Positif di Indonesia

1. Kondisi empiris buruh anak

Secara empiris, kondisi nyata buruh anak menunjukkan, bahwa: (1) tidak banyak perusahaan besar yang menggunakan buruh anak, kecuali perusahaan rokok, itupun seringkali yang terjadi dalam kondisi nyata perusahaan membuat syarat umur bagi buruh yang diterima dan buruh yang umurnya kurang memalsukan identitasnya, kemudian perusahaan tidak lagi mempersoalkan apakah buruh tersebut kondisi fisiknya sesuai atau tidak dengan umur yang ada dalam identitas formalnya (surat kelahiran atau surat kenal lahir atau bahkan

menggunakan KTP saudaranya yang

umurnya sudah memenuhi persyaratan; (2) Kalau perusahaan menengah ke bawah, banyak yang menggunakan buruh anak, dan mayoritas tidak memenuhi syarat yang tercantum dalam pasal 68 ayat (2); (3)

4

Definisi dari ILO dimuat dalam Pedoman Tehnis Pelayanan Pendidikan Bagi Pekerja Anak Sektor Informal; dari Depdiknas tahun 2001; Jakarta.

apalagi perusahan kecil, industri rumah tangga dan house-hold employment atau pekerja dalam keluarga yang hampir seluruhnya tidak dibayar oleh orang tuanya karena hanya dianggap membantu orang tua

untuk memenuhi kebutuhan nafkah

keluarga; (4) studi terakhir memperlihatkan, lebih 30 persen pekerja anak masih bersekolah. Dalam penelitian mengenai pekerja anak di Indonesia (1993-1996), Irwanto dari Pusat penelitian Atma Jaya mengatakan, angka masuk sekolah dari anak-anak berusia 7-15 tahun adalah 91,5 persen (SD) dan 40 persen (SMP) pada tahun 1993. Ini berarti terdapat 8,5 persen atau 2,5 juta anak dan 60 persen atau tujuh juta anak yang tidak lulus SD dan SMP.Dengan kata lain, ada sekitar 9,5 persen anak berusia antara 7-15 tahun yang tidak menyelesaikan pendidikan SD dan SMP, dan hampir bisa dipastikan, mereka memasuki pasar kerja, baik formal maupun informal.5

2. UU yang terkait dengan Buruh Anak

a) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

b) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

c) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

d) UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

a. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

Berdasarkan proses pembuatannya,

Undang-undang HAM ini dibuat sebelum pasal 28 UUD diamandemen. Jadi ketika mengamandemen pasal-pasal dalam UUD,

pada dasarnya pasti disesuaikan

(dikonsistenkan atau disinkronisasikan) dengan ruh dari pasal-pasal yang ada dalam UU HAM. Agaknya ini merupakan proses pembuatan yang terbalik. Dalam keadaan normal, norma dasar seharusnya dibuat dulu

baru norma dalam undang-undang.

5

http//.www.google.com/persoalan_anak/php. diakses tanggal 22/11/2008.

(6)

6

Walaupun demikian, seharusnya

berdasarkan Hans Kelsen dalam Asshiddiqi dan Safa‟at6 norma dasar merupakan pembentuk dan merupakan sumber bersama, serta merupakan suatu ikatan antara semua norma-norma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan. Tapi dalam terminologi waktu pasal 28A-J diamandemen setelah UU HAM disahkan. Tapi analisis normatif tetap harus menganalisis konsistensinya.

UU HAM mencantumkan perlindungan

terhadap anak, khususnya yang ada

kaitannya dengan buruh anak, ada pada Bab III tentang Hak Asasi Manusia dan

Kebebasan Dasar Manusia; Bagian

Kesepuluh tentang Hak Anak yang dianalisis hanya yang ada kaitannya, yakni hak atas

pelayanan kesehatan dan hak untuk

memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang membahayakan dirinya.

1. Hak anak atas pelayanan kesehatan

Dalam hal hak anak untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan juga terkait erat dengan buruh anak, yang hal ini di dalam UU HAM diatur dalam pasal 62: “Setiap anak berhak

untuk memperoleh pelayanan

kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya”.

Pasal 62 mengeksplisitkan hak anak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang layak, jadi ketika anak, sekolah ataupun bekerja, dia

punya hak untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan juga. Oleh karena itu harus ada aturan yang mengatur secara eksplisit tentang hak atas pelayanan kesehatan bagi buruh anak dan hak atas jaminan sosial yang

layak sesuai dengan kebutuhan

mereka, baik kebutuhan fisik yang dalam buruh anak dikonotasikan dengan upah buruh anak; sedangkan kebutuhan mental itu dikonotasikan dengan hak beristirahat, bermain, bergaul dan berekreasi.

6

Kelsen dalam Asshiddiqie dan Safa‟at; Op Cit; halaman 95.

2. Hak anak untuk memperoleh

perlindungan dari kegiatan eksploitasi

ekonomi dan pekerjaan yang

membahayakan dirinya

Terdapat 2 (dua) pasal yang

melindungi anak dari ekploitasi ekonomi, yakni pasal 64 dan pasal 65. Adapun pasal 64 itu mengatur tentang kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya. Jadi kalau pasal 58 itu merupakan pasal yang melindungi

anak atas haknya untuk tidak

mendapatkan kekerasan dalam arti luas, dan yang berkaitan dengan buruh anak adalah kerasan ekonomi atau penelataran, atau eksploitasi dengan memaksa anak untuk bekerja, dari sisi orang tua atau wali atau pihak-pihak lain yang mengasuh anak, maka pasal 64 itu perlindungan dari perlakuan pihak pemberi kerja, pengusaha dan perusahaan, walaupun tidak ada satu

katapun yang eksplisit

mengemukakan hal itu. Pasal 64

berikut mengemukakan hal itu:

“Setiap anak berhak untuk

memperoleh perlindungan dari

kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral,

kehidupan sosial, dan mental

spiritualnya”.

Selanjutnya pasal 65 mengatur hak anak untuk memperoleh perlindungan

dari kegiatan eksploitasi dan

seterusnya, penyalahgunaan narkotika dan seterusnya, sebagai berikut:

“Setiap anak berhak untuk

memperoleh perlindungan dari

kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotro-pika, dan zat adiktif lainnya”.

Pasal inipun merupakan pasal untuk melindungi buruh anak dari pihak

pemberi kerja, pengusaha,

perusahaan, tapi itu masih diperluas dengan perlindungan dari kegiatan kejahatan berkelompok, kelompok

(7)

7 kota/kabupaten, provinsi, nasional maupun internasional atau disebut dengan organized crime. Biasanya kejahatan-kejahatan tersebut merupa-kan kejahatan jual beli senjata, perdagangan manusia, perdagangan narkotika dan psikotropika dan zat adiktif lainnya.

Pasal-pasal tersebut merupakan derivasi dari pasal 28B ayat (2), di mana anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

b. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UU tentang Perlindungan Anak (untuk selanjutnya disingkat menjadi UU PA) merupakan undang-undang yang melindungi semua hal tentang anak, dari orang tuanya,

dari pihak lain yang hendak

memanfaatkannya, atau masyarakat bahkan pemerintah yang biasanya dilakukan oleh penegak hukum ketika mereka bermasalah dengan hukum. Oleh karena itu undang-undang ini merupakan undang-undang-undang-undang

payung bagi anak. Adapun yang

dikategorikan anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.

Dalam UU PA, tidak satupun pasal yang melindungi anak yang bekerja pada umumnya, dan buruh anak khususnya, tetapi ada beberapa pasal yang berkait erat dengan perlindungan anak yang bekerja, antara lain: hak anak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial; hak atas pendidikan dan pengajaran; dan hak untuk beristirahat dan bermain, bergaul, berekreasi dan berkreasi. Sedangkan yang terkait langsung adalah perlindungan terhadap eksploitasi ekonomi.

1. Hak anak atas pelayanan kesehatan Dalam UU PA anak juga diberikan

hak atas pelayanan kesehatan

sebagaimana tercantum dalam pasal 18 berikut: “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan

jaminan sosial sesuai dengan

kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial”.

Hak atas pelayanan kesehatan dan jaminan sosial, juga hampir sama

dengan hak beristirahat dan untuk mengembangkan diri, perbedaannya ada pada kata ”secara layak”. Jadi dalam hal ini UU HAM-lah yang memiliki kelebihan, karena punya standar secara layak.

2. Hak anak untuk memperoleh

perlindungan dari kegiatan eksploitasi

ekonomi dan pekerjaan yang

membahayakan dirinya

Juga hak anak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi

ekonomi dan pekerjaan yang

membahayakan dirinya. Pasal 66 mengatur hal tersebut.

(1) Perlindungan khusus bagi anak

yang dieksploitasi secara

ekonomi dan/atau seksual

sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan melalui:

a. penyebarluasan dan/atau

sosialisasi ketentuan

peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. pemantauan pelaporan, dan

pemberian sanksi; dan c. pelibatan berbagai instansi

pemerintah, perusahaan

serikat pekerja, LSM, dan

masyarakat dalam

penghapusan eksploitasi

terhadap anak secara

ekonomi dan/atau seksual.

(3) Setiap orang dilarang

menempatkan, membiarkan,

melakukan, menyuruh

melakukan, atau turut

melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Apabila dibandingkan dengan UU HAM, maka kedua pasal

(8)

8 berbeda secara signifikan. Pada UU HAM merupakan pasal yang mengemukakan hak atas perlindungan dari kegiatan

eksploitasi ekonomi yang

umum. Dalam pasal yang ada di UU HAM dikemukakan tujuan dari perlindungan terhadap kegiatan eksploitasi ekonomi, yakni supaya tidak terganggu

pendidikannya, kesehatan

fisiknya, moralnya, kehidupan

sosialnya dan mental

spiritualnya. Sedangkan dalam UU PA dikemukakan cara-cara perlindungannya: a-c (ayat 2)

dan ayat (3)-nya bahkan

mengatur tentang pembiaran dan turut serta. Jadi lebih rinci. Masih dalam UU PA terdapat pasal yang mengatur tentang anak yang “menjadi korban” narkotika, alkohol, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya, maka pasal 67 mengatur akan hal tersebut.

(1)Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza)

sebagaimana dimaksud

dalam pasal 59, dan terlibat

dalam produksi dan

distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2)Setiap orang dilarang

dengan sengaja

menempatkan, membiarkan

melibatkan, menyuruh

melibatkan anak dalam

penyalahgunaan, produksi

dan distribusi napza

sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1).

Pasal yang tercantum dalam UU PA juga kalau dibandingkan dengan pasal-pasal dalam UU HAM, maka keduanya juga jauh berbeda, juga UU PA lebih

lengkap pasal 65 dalam UU HAM dan pasal 67 UU PA mengatur perlindungan terhadap kegiatan bukan hanya ekonomi, tetapi juga kekerasan seksual, penculikan dan penyalahgunaan narkotika.

Polanya sama pasal yang pada UU HAM merupakan pasal yang pokok dan UU PA lebih rinci. Kalau dalam pasal-pasal yang

sebelumnya hampir sama

kalimatnya dalam hal

perlindungan pada umumnya,

perlindungan dalam masalah

perlindungan hak anak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi pasal-pasal yang ada dalam UU HAM dan pasal-pasal yang ada dalam UU PA berbeda secara signifikan. Perbedaannya adalah dalam UU HAM yang

diatur hal-hal yang umum,

sedangkan dalam UU PA lebih rinci.

Rincian yang ada pada UU PA tercantum dalam pasal 66 yang terdiri dari 3 ayat. Ayat pertama, mengatur tentang pihak-pihak mana saja yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi, yaitu yang utama pihak pemerintah dan yang kedua baru masyarakat. Ayat ini kurang konsisten dengan pasal 20 UU PA, karena di pasal tersebut yang dibebani kewajiban

dan tanggung jawab yang

pertama negara, kemudian

pemerintah, ketiga masyarakat, keempat keluarga dan kelima

orang tua. Mengapa diatur

sedemikian rupa? Analisis yang dapat dideskripsikan adalah sebagai berikut: keluarga dan orang tua tidak dicantumkan dalam perlindungan terhadap

eksploitasi, karena mereka

(keluarga dan orang tua) sering

menjadi pelakunya. Tapi

mengapa yang ada di pasal 20 dicantumkan? Karena pasal 20

(9)

9 perlindungan terhadap hak anak yang umum, mulai hak atas

pendidikan, hak untuk

beristirahat, bermain dan

mengembangkan kreasinya, hak atas pelayanan kesehatan dan jaminan sosial, dan lain-lainnya. Jadi pasal 20 memang sudah

seharusnya mencantumkan

semua pihak yang berkewajiban melindungi hak-hak anak.

Ayat kedua, diatur secara rinci tentang berbagai cara melindungi anak dari kegiatan eksploitasi, di

mana huruf a merupakan

perlindungan preventif menurut Hadjon (1987)7. Alasannya adalah kalimat yang ada pada

huruf a merupakan merupakan deskripsi tentang cara melindungi sebelum terjadinya eksploitasi, yakni tentang penyebarluasan

informasi tentang semua

peraturan yang berkaitan dengan

perlindungan atas kegiatan

eksploitasi ekonomi, yang ada pada beberapa undang-undang: UU Pemberantasan Perdagangan

Manusia; UU Penghapusan

KDRT, dll. Penyebarluasan

informasi bisa dilakukan dengan berbagai cara, membuat brosur, menyiarkan di media elektronik, media cetak, buku-buku kecil dengan bahasa yang mudah,

kesemuanya intinya adalah

sosialisasi. Sedangkan huruf b,

merupakan pemantauan

pelaporan dan pemberian sanksi, yang oleh Hadjon (1987) disebut dengan perlindungan represif8. Terakhir, ayat (2) huruf c yang

mengatur tentang pemberian

beban kepada pihak-pihak yang ada pada ayat (1) yaitu pihak pemerintah (berbagai instansi)

dan masyarakat dengan

melibatkan LSM untuk

7

Phillipus Hadjon; 1987; Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia; Bina Ilmu; Jakarta; hlm.: 2.

8

Ibid;hlm.: 3.

melindungi anak yang

dieksploitasi, baik ekonomi

maupun seksual. Hal yang

spesifik dalam huruf c adalah pelibatan perusahaan dan serikat pekerja.

Pada ayat (3), diatur tentang perluasan delik formal, yaitu larangan tentang “menempatkan,

membiarkan, melakukan,

menyuruh melakukan atau turut serta” melakukan eksploitasi ekonomi dan seksual. Kata kerja

yang berderet itu dapat

dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis: (1) perbuatan pasif: pembiaran dan (2) perbuatan aktif yang dilakukan

bersama-sama (deel naming):

menempatkan, melakukan,

menyuruh melakukan atau turut serta. Tapi kalau ada unsur perdagangan manusianya lebih baik kalau menggunakan pasal-pasal yang ada dalam UU

Pemberantasan Perdagangan

Manusia (UU Nomor 21 Tahun 2007).

Dalam pada itu, pasal 64 yang

ada dalam UU HAM

mencantumkan tentang tujuan perlindungannya, yakni ….”

sehingga dapat mengganggu

pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya”.

c. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK)

Undang-undang ini merupakan undang-undang yang mengatur hubungan antara pengusaha dengan buruh, pada Bab X yang mengatur tentang perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan. Di bagian kesatu diatur tentang perlindungan terhadap buruh anak yang terdiri dari 8 pasal yang dimulai dengan larangan terhadap pengusaha untuk mempekerjakan anak (pasal 68) sebagai berikut:

“Pengusaha dilarang mempekerjakan anak”.

Larangan memang ditujukan kepada pengusaha, alasannya adalah masalah

(10)

10 kemiskinan yang membuat banyaknya anak

yang tidak mampu melanjutkan

pendidikannya dan kemudian mereka

bekerja pada usia di bawah 18 tahun. Oleh karena itu pasal 69 memberikan “peluang” untuk menampung kondisi-kondisi sosial-ekonomi para orang tua dan anak yang

“terpaksa” bekerja untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi keluarganya,

sebagaimana yang tercantum dalam pasal 69 berikut:

(1)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun

untuk melakukan pekerjaan ringan

sepanjang tidak mengganggu

perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.

(2)Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana

dimaksud dalam ayat (1) harus

memenuhi persyaratan:

a. izin tertulis dari orang tua atau wali; b. perjanjian kerja antara pengusaha

dengan orang tua atau wali;

c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; d. dilakukan pada siang hari dan tidak

mengganggu waktu sekolah; e. keselamatan dan kesehatan kerja; f. adanya hubungan kerja yang jelas;

dan

g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(3)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

Dari pasal 69 yang mengemukakan tentang pengecualian dapat dianalisis sebagai berikut:

Pertama, pasal 69 ini merupakan pengecualian yang telah diperhitungkan dengan cermat oleh pembentuk undang-undang, yakni dalam usia 13 tahun dan batasan atasnya 15 tahun. Usia 13 tahun merupakan usia normal anak-anak lulus Sekolah Dasar, sedangkan usia 15 tahun

merupakan batas usia minimal yang

diperbolehkan bekerja berdasarkan

Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja yang disahkan melalui UU Nomor 20 Tahun

1999. Tujuan dari pembatasan usianya

adalah supaya tidak terganggu

perkembangan fisik, mental dan sosialnya. Kalau dikaitkan dengan pasal 9 danpasal 11 UU PA yang mengatur tentang hak anak atas pendidikan dan hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, maka kedua undang-undang tersebut telah konsisten untuk melindungi anak.

Kedua, perlindungan dari UUK berikutnya adalah dengan memberikan persyaratan untuk anak yang bekerja, yakni: izin tertulis dari orang tua atau walinya, perjanjiannya ditandatangani oleh orang tua atau walinya, waktu kerjanya siang hari yang tidak mengganggu waktu sekolah, dilindungi keselamatan dan kesehatan kerjanya dan upahnya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan persyaratan yang cukup berat ini memang ditujukan untuk membuat pengusaha tidak “menyukai“ mempekerjakan buruh anak. Akan tetapi dalam ayat berikutnya persyaratan tersebut, masih juga ada perkecualiannya, yakni bagi mereka yang bekerja sebagai house hold employment, yang bekerja pada usaha keluarga.

Pengecualian lain adalah pada pasal 70, di mana pasal tersebut mengatur tentang anak yang bekerja karena menjalani bagian dari ketentuan kurikulum yang sah (telah disahkan oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini adalah pejabat dari Kementerian Pendidikan Nasional. Untuk yang terakhir ini ada juga persyaratan umurnya, yakni minimal 14 tahun. Selain itu harus pula ada yang mengawasi dan membimbingnya serta keselamatan dan kesehatannya, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 70 berikut:

(1)Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan

yang disahkan oleh pejabat yang

berwenang.

(2)Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun.

(3)Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat: a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara

(11)

11 bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan

b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Perkecualian berikutnya adalah

perkecualian untuk anak yang bekerja karena bakat dan minat. Pasal 71 berikut mengatur tentang hal:

(1)Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. (2)Pengusaha yang mempekerjakan anak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat:

a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;

b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan

c. kondisi dan lingkungan kerja tidak

mengganggu perkembangan fisik,

mental, sosial, dan waktu sekolah. (3)Ketentuan mengenai anak yang bekerja

untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Mengembangkan bakat dan minat merupakan hak anak juga, didalamnya ada segi pendidikannya. Akan tetapi betapapun harus ada batasan yang jelas, sebagaimana

yang dikemukakan dalam kerangka

pembahasan bahwa dalam mengatur pasal tentang perlindungan harus jelas batasan subyek yang dilindungi, masalah yang

dilindungi, mekanisme pelaksanaan

perlindungannya dan hak serta penyelesaian complain.9 Dalam pasal 71 tersebut yang jelas hanyalah batasan subyek, dan masalah yang dilindungi, sedangkan mekanisme dan complain-nya tidak tercantum dalam undang-undang karena didelegasikan kepada Keputusan Menteri.

Pasal 72 dan 73 merupakan lanjutan perlindungan terhadap larangan anak untuk bekerja.

Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjakan

bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus

dipisahkan dari tempat kerja

pekerja/buruh dewasa. Pasal 73

9

Lihat catatan kaki nomor 2.

Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Pasal 72 merupakan perlindungan terhadap buruh anak terhadap perilaku buruh dewasa, karena sering dalam kondisi nyata perlakuan buruh dewasa kalau tidak menyuruh-nyuruh kepada buruh anak untuk melakukan pekerjaan mereka, bisa juga

melakukan pelecehan seksual maupun

pembicaraan antar pekerja dewasa yang seharusnya belum boleh didengar oleh seorang buruh anak. Sedangkan pasal 73, merupakan pasal yang melindungi anak, dengan membebankan kepada pengusaha apabila ada anak yang berada di tempat kerja. Jadi merupakan beban pembuktian terbalik, hal ini dibuat untuk memaksa pengusaha bertindak hati-hati tidak membiarkan ada anak yang dibawah usia 13 tahun berada di tempat kerja, baik memang untuk bekerja maupun karena dibawa oleh buruh mereka (pengusaha) yang dewasa. Pasal 74

(1)Siapapun dilarang mempekerjakan dan

melibatkan anak pada

pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.

(2)Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. segala pekerjaan dalam bentuk

perbudakan atau sejenisnya;

b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; c. segala pekerjaan yang memanfaatkan,

menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan

minuman keras, narkotika,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau

d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

e. Jenis-jenis pekerjaaan yang

membahayakan kesehatan,

keselamatan, atau moral anak

sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 74 merupakan pasal yang

sebenarnya dibuat dalam upaya untuk melaksanakan Konvensi tentang Pekerjaan

(12)

12 terburuk anak yang dibahas setelah

pembahasan UUK. Pada pasal ini

merupakan pasal yang eksplisist melarang “siapa saja” mempekerjakan anak di tempat-tempat yang tercantum dalam ayat (2). Kategori subyek hukum yang dilarang dibuat secara luas dengan kata kunci siapa saja, yang secara ekstensif interpretasi dapat diartikan: pengusaha, yayasan-yayasan, orang tua, wali atau siapapun. Adapun jenisnya pekerjaan yang dilarang memang eksplisit dalam huruf a, b dan c, tetapi huruf d, pembentuk undang-undang memberikan peluang bagi Menteri Tenaga Kerja untuk mengembangkan pekerjaan-pekerja yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.

Terakhir, pasal 75 merupakan pasal yang mengatur tentang pekerja anak yang di luar hubungan kerja, yang berarti merupakan anak yang bekerja secara mandiri, antara lain anak jalanan, anak yang berjualan di jalan, sebagai pedagang asongan, dan lain-lain sebagaimana pasal 75 berikut.

(1)Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja.

(2)Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

d. UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Pekerjaan terburuk anak yang telah diratifikasi dan diundangkan dengan UU Nomor 2 Tahun 2000; dan konvensi tersebut sebenarnya telah digunakan dalam hukum positif di Indonesia, yakni dalam pasal 74 UUK. Konvensi, karena merupakan hukum internasional, sudah tentu terdapat

pasal-pasal yang mewajibkan negara yang

meratifikasi untuk menaati dan melaporkan apakah kewajiban yang dibebankan kepada negara telah dilaksanakan serta sampai di

mana pelaksanaannya. Kalau tentang

definisi anak sama, yakni di bawah 18 tahun. (1)Negara anggota ILO yang mengesahkan

Konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin

pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. (2)“anak" berarti semua orang yang berusia

di bawah 18 (delapan belas) tahun. (3)Pengertian "bentuk-bentuk pekerjaan

terburuk untuk anak" adalah :

a. segala bentuk perbudakan atau

praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk

dimanfaatkan dalam konflik

bersenjata;

b. pemanfaatan, penyediaan atau

penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;

c. pemanfaatan, penyediaan atau

penawaran anak untuk kegiatan

terlarang, khususnya untuk produksi

dan perdagangan obat-obatan

sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;

d. pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat

membahayakan kesehatan,

keselamatan, atau moral anak-anak. (4)Negara anggota ILO yang mengesahkan

Konvensi ini wajib menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

(5)Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil langkah-langkah agar ketentuan Konvensi ini dapat diterapkan secara efektif, termasuk pemberian sanksi pidana.

(6)Negara anggota ILO yang mengesahkan

Konvensi ini wajib melaporkan

pelaksanaannya.

Dalam hal ketentuan mengenai bentuk-bentuk “pekerjaan terburuk anak”, juga hampir sama, hal ini wajar, karena undang-undang tentang ratifikasinya disahkan tahun 2000 dan undang-undang ketenagakerjaan-nya dibuat tahun 2003. Jadi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak sudah tentu menggunakan UU Nomor 1 Tahun 2000 sebagai dasar untuk menentukan pasal 74 UUK. Namun ada juga perbedaan, yakni: pada konvensi pengertian tentang bentuk perbudaan lebih rinci karena ada kalimat

(13)

13 lanjutan sebagai contoh. Sedangkan pada UUK tidak terdapat contoh. Hal yang demikian ini akan merugikan, karena dalam praktek, dengan tidak adanya contoh akan menyulitkan para penegak hukum untuk menghukum pelaku. Sebenarnya terdapat kalimat yang baik untuk ditambahkan, yakni: “adalah, tapi tidak terbatas pada” penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata.

Penutup

a. Kesimpulan

Dari analisis normatif dapat

disimpulkan:

1. Keempat hukum positif di Indonesia yang melindungi buruh anak, UU HAM, UU PA, UUK dan ratifikasi konvensi melalui UU Nomor 1 Tahun 2000, merupakan implentasi pasal 28 huruf b dan pasal 34 dalam UUD 1945 serta UU HAM.

2. Keempat undang-undang tersebut

mewujudkan perlindungan terhadap

buruh anak dalam hal pengaturan umur minimal seorang anak diperbolehkan bekerja beserta segala persyaratannya, tempat-tempat kerja, beban pembuktian terbalik kepada pengusaha dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak di mana anak dilarang bekerja pada pekerjaan-perkerjaan tersebut. Dalam hal yang terakhir ini pengertian dalam konvensi lebih rinci dari pada pasal yang ada dalam UUK.

3. Dalam UU HAM ada bagian yang

mengatur tentang hak-hak anak yang apabila dibandingkan dengan UU PA terhadap pasal-pasal yang terkait dengan buruh anak menghasilkan analisis sebagai berikut: (1) sebagian besar pasal-pasal yang mengatur tentang hak atas pendidikan dan pengajaran baik anak yang normal maupun yang cacat fisik dan mental hampir sama, hanya berbeda tambahan satu dua kata saja; (2) demikian pula tentang hak beristirahat, bermain, berekreasi dan berkreasi; (3) juga pada hak atas pelayanan kesehatan.

Yang berbeda adalah hak untuk tidak mendapatkan kekerasan, eksploitasi ekonomi, seksual dan kegiatan-kegiatan yang membahayakan yakni perdagangan obat terlarang, pornografi, perdagangan manusia. Untuk ini pasal-pasal yang ada dalam UU HAM merupakan pasal yang lebih pokok, sedangkan UU PA lebih rinci, sehingga lebih aplikatif untuk

digunakan dalam praktek untuk

melindungi anak yang berkaitan dengan mereka yang bekerja. Tetapi kedua UU tersebut masih konsisten dalam tujuan untuk melindungi anak pada umumnya dan hal-hal yang berkaitan dengan buruh anak pada khususnya.

b. Rekomendasi

Hasil analisis normatif tersebut memunculkan rekomendasi:

1. Hendaknya kalimat dan kata yang ada dalam pasal-pasal yang hampir sama dari

keempat undang-undang tersebut

sebaiknya disamakan, supaya dapat

diterapkan lebih mudah dalam

menangani masalah hak-hak anak yang bekerja.

2. Dalam UUK, bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak mengenai pengertian

„segala pekerjaan dalam bentuk

perbudakan atau sejenisnya‟ hendaknya menggunakan pengertian yang ada dalam konvensi, karena lebih rinci. Tapi harus pula ada tambahan kalimat “tapi tidak terbatas pada”.

3. Penegak hukum hendaknya lebih banyak menggunakan pasal-pasal yang ada pada UU PA dalam hal memerinci hak-hak buruh anak, karena lebih rinci sehingga lebih dapat digunakan untuk melindungi anak pada umumnya dan buruh anak khususnya.

Daftar Pustaka

Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa‟at; 2006; Teori Hans Kelsen Tentang Hukum; Penerbit buku ini merupakan kerjasama Konsti-tusi Press dengan PT Syamil Cipta Media; Jakarta.

(14)

14 Phillipus Hadjon; 1987; Perlindungan

Hukum Bagi Rakyat Indonesia; Bina Ilmu; Jakarta.

Satjipto Raharjo; 2008; Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat-nya; Genta Press; Yogyakarta.

Definisi dari ILO dimuat dalam Pedoman Tehnis Pelayanan Pendidikan Bagi Pekerja Anak Sektor Informal; dari Depdiknas tahun 2001; Jakarta.

http//.www.google.com/persoalan_anak/php. diakses tanggal 22/11/2008.

Referensi

Dokumen terkait

Kajian hukum perlindungan hak buruh migran oleh negara dalam kedudukannya sebagai subyek hukum internasional membawa implikasi bagaimana peran negara dalam

Galanter merupakan hokum modern, yang memiliki ciri-ciri: (1) sistem hukum tersebut terdiri dari peraturan-peratiran yang seragam, baik dari segi isi maupun

peraturan terebut agar tercipta kehidupan yang baik bagi anak maupun orang tuanya. Tugas pemerintah melindungi anak, khusus anak yang lahir dari perkawinan yang

Seseorang dan/atau lembaga yang dengan segaja memperdagangkan anak untuk tujuan menguntukan diri sendiri dan/atau lembaga dapat dikenai sanksi pidana yang tercantum dalam pasal 83

Definisi hukum secara umum : himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata.. kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan

Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam dalam melindungi wanita ketika konflik bersenjata adalah sebagai berikut.. Perbudakan dalam Hukum Humaniter Internasional adalah

Penegakan hukum dalam hal ini peran kejaksaan sebagai penuntut umum diperlukan guna melindungi konsumen dan terciptanya kepastian dan keadilan hukum.Peraturan-peraturan hukum

Tindak pidana Phedofilia tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundangan di Indonesia, namun apabila dipahami mengenai phedofilia itu sendiri yang berarti suatu perbuatan