• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Politik Kiai dan Dakwah Islam: Membaca Aktifitas Dakwah dan Politik Kiai pada Momentum Pemilu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gerakan Politik Kiai dan Dakwah Islam: Membaca Aktifitas Dakwah dan Politik Kiai pada Momentum Pemilu"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Gerakan Politik Kiai dan Dakwah Islam: Membaca Aktifitas Dakwah

dan Politik Kiai pada Momentum Pemilu

Fathor Rosi1

1STAI Nurul Huda Kapongan situbondo fathorrosy1991stainh@gmail.com

Abstract

When the momentum of the general election (Pemilu), the participation of the Kiai became a lot of spotlight and opposition because it was often considered political, and vice versa even though political activity was often a media of preaching. So the purpose of the discussion in this article is to read the preaching and political activities of the Kiai during the election momentum. This study uses literature review with empirical and theoretical analysis, including journals, books, and other communication media. The results of this article intend to emphasize that the preaching of the Kiai and politics can be combined by making politics as wasilah convey the message of Islamic da'wah. Because operationally it is recommended to use various methods and media, including power, but what needs to be underlined that power is not the purpose of da'wah. In the context of preaching, Kiai is closely related to politics. When the rulers of a country or region are hostile to Islam, the policies made can interfere with Islamic preaching activities. So, the relationship of politics or power with preaching will help achieve the goals of da'wah. So that the purpose of da'wah can run well if it is supported by a strong organization or by policy makers. At least between the Kiai as a religious figure who consistently carries out his preaching activities, fully supported by the ruling government, a synergy will be created between the Kiai as an ulama 'and the Government as an umara'.

Keywords: Politics, Political Islam, Islamic and Political Da'wah.

Abstrak

Ketika momentum pemilihan umum (Pemilu) keikut sertaan Kiai banyak menjadi sorotan dan tentangan karena sering dianggap berbau politik, demikian pula sebaliknya meskipun aktivitas politik sering menjadi media dakwah. Maka tujuan pembahasan dalam artikel ini untuk membaca aktivitas dakwah dan politik Kiai pada momentum pemilu. Kajian ini menggunakan kajian kepustakaan dengan analisis empiris dan teoritis, antara lain jurnal, buku, media komunikasi lainnya. Hasil dari artikel ini bermaksud menegaskan bahwa antara dakwah Kiai dan politik dapat digabungkan dengan menjadikan politik sebagai wasilah menyampaikan pesan dakwah Islam. Sebab secara operasional dakwah dianjurkan menggunakan berbagai motede dan media, termasuk kekuasaan, namun yang perlu digaris bawahi kekuasaan bukan merupakan tujuan dakwah. Dalam konteks dakwah Kiai sangat erat kaitannya dengan politik. Ketika penguasa suatu negara maupun wilayah memusuhi Islam, maka kebijakan yang dibuat dapat mengganggu aktifitas dakwah Islam. Maka, hubungan politik atau kekuasaan dengan dakwah akan membantu tercapainya tujuan dakwah. Sehingga tujuan dakwah dapat berjalan baik apabila didukung oleh organisasi kuat atau oleh pemangku kebijakan. Setidaknya antara Kiai sebagai tokoh agama yang konsisten melakukan aktifitas dakwahnya didukung penuh oleh pemerintah yang berkuasa maka akan tercipta suatu sinergitas antara Kiai sebagai ulama’ dan Pemerintah sebagai umara’.

(2)

Pendahuluan

Pembahasan Dakwah dan politik sebetulnya sudah lama terjadi dalam tradisi Islam, Sejak awal sejarah Islam, ketika para sahabat dihadapkan pada soal calon pemimpin setelah Nabi wafat, saat itulah persoalan seputar agama dan dakwah serta keterlibatan tokoh dalam politik menjadi bahasan yang diperbincangkan.

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Prof. Dr. H. Imam Suprayogo dalam sebuah bukunya mengangkat tema “Kyai Dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai”. Tema tersebut dewasa ini seringkali diperbincangkan ditengah masyarakat. Beliau mengusung tema ini berdasarkan beberapa hal antara lain; Pertama, ikut andilnya sosok kyai dalam kancah perpolitikan menimbulkan polemik yang berkepanjangan; Kedua, peran sentral kyai dalam masyarakat kerap kali menjadi incaran para politikus untuk mempermudah jalan mereka; Ketiga, menyikap tipologi kyai dan sepak terjangnya dalam ke-ikut sertaannya dalam politik praktis (Suprayogo, 2007:25).

Apabila mengingat percaturan politik yang ada pada pemilu di negara Indonesia, yakni dari pemilu pertama tahun 1955 hingga pemilu tahun 2009 dan tahun 2014 lalu, perdebatan soal kyai, dakwah islam dan politik menjadi perdebatan yang tidak pernah ada surutnya. Bahkan seringkali ada tulisan maupun artikel di berbagai media massa yang menyoal aktifitas dakwah kyai dengan keterlibatannya dalam pergerakan politik.

Selaras dengan peran kyai dalam politik, beberapa kyai sudah mewarnai dalam pemilu legislatif 2009 dan 2014. Pada pemilu, partai yang berbasis Islam misalnya PKB, PKNU, PAN, PPP, PKS dan lain sebagainya hampir tidak lepas dari peran dari kyai. Keberangkatan kyai yang memiliki corak berbeda-beda dalam mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Ada yang berangkat dari partai politik berbasis Islam, itupun bukan hanya dari satu golongan madzab dalam Islam, ada pula yang berangkat dari partai politik berbasis nasional, dan masih banyak peran kyai yang terlibat dalam politik meskipun tidak menjadi calon legislatif.

Keterlibatan langsung kyai dalam politik bukan hanya pada pemilu, tetapi pemilu-pemilu sebelumnya juga sama. Bahkan dahulu ada beberapa kyai yang sempat merintis dan mengembangkan organisasi politik Islam di tanah air. seperti Masyumi, MIAI, PSII, Perti. mak wajar kalau banyak kyai yang dikenal sebagai pejuang, seperti pada zaman dahulu KH. Hasyim Asari dan KH. Ahmad Dahlan, yang kemudian di kenal sebagai perintis organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

(3)

Sehingga tak dapat dipungkiri seorang kiai maupun ulama’ terjun dalam perpolitikan bukanlah hal yang asing. Semenjak dahulu, peran ulama dalam mendirikan bangsa Indonesia ini memang perlu diakui. Tidaklah mengherankan jika ulama terlibat dengan urusan politik, atau bahkan ulama itu sendiri yang dengan sengaja terjun sendiri ke panggung politik sebagai tokoh utama partai politik. Bukanlah hal asing jika ulama yang pada dasarnya telah memiliki umat (santri) yang banyak, mampu memberikan pengaruh kepada mereka sebagai umat karena kharismanya yang dianggap umatnya tinggi, terutama umat yang fanatik terhadap ulama tersebut. Selain itu, ulama adalah sosok yang terpandang di mata masyarakat, kharismanya melebihi lurah, camat, ataupun bupati sekalipun. Karena itu tak jarang para calon kepala desa, legislatif, atau bahkan bupati beserta wakilnya sering melakukan sowan kepada para ulama dengan dalih meminta restu.

Kehadiran sosok ulama hendaknya menjadi teladan bagi elit politik yang lain, juga kepada umat manusia di Indonesia khususnya. Ulama adalah sosok yang dikenal ‘alim (berlimu) dan mempunyai moralitas yang baik. dengan kehadiran ulama seharusnya bisa mewarnai politik kekuasaan menjadi harmonis dan lebih berintegritas.

Sebenarnya yang dititikberatkan adalah peranan ulama dalam melakukan aktualisasinya di hadapan semua umatnya. Jika seorang ulama itu ikut andil dalam dunia politik, maka tidak lain adalah untuk menjadi figur dan teladan yang baik, baik itu kepada tokoh politikus atau masyarakat yang memandangnya. Namun jika ulama tersebut tidak mau berkecimpung dalam dunia politik, maka sewajarnya menjadi ulama yang sebenarnya. Artinya, ulama yang memang benar-benar mengasuh dan menuntun umat agar mendapat siraman rohani dalam menjalani kehidupan bersosial vertikal dan horizontal.

Sekarang yang menjadi fokus pembahasan adalah saat ulama sudah tidak mampu menjalankan perannya dalam pemerintahan yakni sebagai teladan bagi para elit politik dan para birokrat serta memberikan wejangan-wejangan terhadap penguasa dalam hal ini pemerintah bilamana terdapat suatu kekeliruan dalam roda pemerintahan yang dipimpinnya.

Dalam konteks Pemilu serentak yang akan digelar desember 2020 diketahui terdapat sejumlah tokoh. Ulama’ khususnya Kiai terlibat aktif dalam kancah perpolitikan baik sebagai kontestan maupun sebagai pendukung utama bakal calon, satu sisi seorang kiai dikenal sebagai Da’i yang harus menanamkan nilai-nilai dakwah islam

(4)

kepada ummat atau harus mengajak untuk amar ma’ruf nahi munkar namun sisi yang lain kiai harus membantu memenangkan calon yang didukungnya.

Sehingga ada asumsi bahwa para ulama maupun kiai telah keluar jalur yang seharusnya, mereka dengan terang-terangan mendukung salah satu calon dan menjadi tim sukses salah satu calon dan terlibat aktif dalam pemenangan kontestasi politik dimaksud. selanjutnya banyak muncul pertanyaan seperti bagaimana hubungan Dakwah islam dengan Politik dan bagaimana seharusnya Kiai menyikapi politik? Termasuk bagaimana menentukan sikap politik dalam kontestasi pemilu serentak ditahun 2020?

Setelah melihat uraian latar belakang masalah di atas penulis mencoba untuk mendeskripsikan dan menguraikan secara mendalam sisi lain yang jarang dibahas tentang eksistensi Kiai di tengah-tengah masyarakat sebagai da’i dan tim pemenangan terutama bagaimana memahami aktifitas dakwah islam melalui gerakan politik kiai dengan membaca momentum pemilihan umum di tahun 2020.

Kajian normatif tentang Dakwah Islam

Aktifitas dakwah merupakan suatu pengetahuan yang mengajarkan seni dan tehnik menarik perhatian orang agar mengikuti suatu ideologi atau pekerjaan tertentu atau ilmu yang mengajarkan cara-cara mempengaruhi, alam pikiran manusia (Tuanany, 2007:17).

Secara umum Dakwah Islam merupakan sebuah proses penyampaian pesan keIslaman oleh Da’i (komunikator) kepada Mad’u (komunikan/yang mendengarkan) dengan menggunakan berbagai materi/pesan serta metode-metode tertentu. Dalam pandangan sejarah, dakwah merupakan penentu bagi proses difusi dan perkembangan islam di seluruh dunia, Tanpa adanya dakwah islam tidak akan bisa di nikmati oleh umat Islam dunia termasuk juga muslim Indonesia.

Pembahasan di bidang dakwah sudah selayaknya mendapat perhatian yang serius. Sebab berbagai pendekatan dakwah baik dakwah bil lisan, dakwah bil qalam (dakwah melalui tulisan, media cetak), maupun dakwah bil hal (dakwah dengan alam nyata, keteladanan) perlu di modifikasi sedemikian rupa sesuai dengan tuntutan modernitas (Samsul, 2008:27).

Penyampaian ajaran Islam sesuai dengan misinya sebagai "Rahmatan Lil Alamin" haruslah dengan wajah yang menarik supaya manusia melihat kehadiran Islam bukan sebagai ancaman bagi eksistensi mereka melainkan membawa kedamaian dan

(5)

ketentraman bagi kehidupan mereka sekaligus pengantar menuju kesejahteraan dunia dan akhirat (Amin, 1997:1-2).

Sebagai muslim aktifitas dakwah hendaknya dapat memahami kondisi yang menjadi objek dakwahnya. Ia harus mampu melihat persoalan-persoalan dengan lebih teliti dan mampu untuk memberikan solusi yang terbaik dalam setiap permasalahan. Oleh karena itu, persoalan dakwah tidak bisa terlepas dengan persoalan realita yang terjadi dalam masyarakat, karena tidak selamanya proses dakwah akan berjalan sesuai dengan yang diinginkan sehingga diperlukan perencanaan yang baik sebagai sarana agar pesan-pesan dakwah atau tujuan dari dakwah itu sendiri bisa diterima oleh umat manusia.

Dalam proses pelaksanaan dakwah ini, selayaknya harus mengetahui metode-metode dalam penyampaiannya, Seperti yang telah diterangkan cara-cara berdakwah tersebut, Allah Swt berfirman:

ُعْدُا

ىلِا

ِلْبِب َس

َكِّبَر

ِة َمْكِحْلااِب

َو

ِة َظِعْوَمْلا

ِةَن َسَحْلا

ْمُهْلِدا َجَو

يِتَّلا ِب

َيِه

َن َسْحَا

ۗ

َّنِا

َكَّبَر

َو ُه

ُمَلْعَا

ْنَمِب

َّل َض

ْنَع

ِهِلْيِب َس

َو ُهَو

ُمَلْعَا

نْيِد َتْهُملااِب

(

لحنلا

:

۱۲۵

)

“Serulah kepada jalan tuhanmu dengan hikmah, mauidzah hasanah, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik, Tuhanmu Maha Mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan ia Maha Mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”.(QS. An-Nahl/16:125).

Berdasarkan ayat diatas jelaslah bahwa seorang juru dakwah harus memperhatikan metode-metode tersebut sehingga visi dan misi dalam berdakwah dapat tercapai, yang mana susunan metode tersebut disajikan sebagai acuan dalam berdakwah sesuai kondisi dan situasi yang ada dalam masyarakat.

Sayyid Qutb menulis dalam karyanya “Fiqh Dakwah”, bahwa Al-Qur’an merupakan kitab dakwah yang memiliki ruh pembangkit, yang berfungsi sebagai penguat dan berperan sebagai penjaga, penerang, penjelas, sehingga pendakwah di dalam Al-Qur’an menjadi suatu undang-undang yang konsepsional dan universal yang merupakan tempat kembali satu-satunya bagi para penyeru dakwah dalam mengambil rujukan dalam melakukan kegiatan dakwah, dalam menyusun suatu konsep gerakan dakwah salanjutnya (Qutb, 1995:1).

(6)

Konsepsi tentang Politik, Islam Dan Negara

Filsuf yunani Aristoteles (384-322 SM) memaknai politik sebagai usaha untuk mewujudkan negara yang sempurna, dengan tujuan memanusiakan manusia. Melalui hidup bernegara manusia akan mampu mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi dan bermartabat. Manusia dapat mencapai kebajikan yang tinggi melalui moralitas yang terpuji dan itulah yang membedakan manusia dengan mahluk tuhan lainnya. Aristoteles juga memandang bahwa negara dibangun untuk kebaikan tertinggi (the highets good, dan bukan untuk kepentingan perorangan atau kelompok dan bukan pula untuk negara itu sendiri, melainkan untuk keseluruhan warga. Dengan demikian negara dianggap sebagai alat untuk dapat mengupayakan dan menjamin kesejahteraan bersama (Sofyan, 2012:132-133).

Secara lebih luas, Miriam Budiarjo memandang politik sebagai sebuah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima sebagian besar masyarakat untuk suatu tujuan kehidupan yang baik dan harmonis. untuk menacapainya, diperlukan suatu kebijakan umum (public policy) yang menyangkut peraturan dan alokasi (allocation) atau distribusi dari sumber daya alam, serta adanya kekuatan (power) serta wewenang (authority) dalam mengatur urusan bersama tersebut dan untuk menyelesaikan konflik yang akan timbul. Tujuan dari proses politik bukan untuk pemenuhan kebutuhan pribadi-pribadi melainkan untuk kepentingan masyarakat secara luas (Budiarjo, 2008:15).

Politik dalam konsep ideal berarti berusaha untuk mewujudkan kebaikan di dalam masyarakat, yang dipahami sebagai pengaturan urusan rakyat atau umat, baik urusan dalam negeri maupun luar negeri (Sudjana, 2008:183).

Dalam hal ini, Ramlan Surbakti memberikan sebuah pandangan mengenai politik. Pertama, politik adalah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting (Surbakti, 1992:1-2).

Dalam kajian kontemporer politik sering dikaitkan dengan persoalan kekuasaan, kepentingan dan konflik. Sehingga politik syarat dengan berbagai aktivitas sosial yang

(7)

menyangkut terjadinya perebutan dan distribusi kekuasaan yang rentan diwarnai dengan konflik.

Sehingga politik dapat dipahami sebagai suatu dinamika sosial yang memiliki tiga karakteristik: Pertama, masyarakat terlibat langsung maupun tidak langsung. Kedua, dalam politik terdapat institusi legal yaitu partai politik, parlemen, media dan elemen lainnya. Ketiga, adanya aturan dan etika yang mengatur interaksi aktor-aktor politik dan menghindari konflik yang tidak sehat. konflik dalam politik sesuatu yang tidak mungkin dihindari, sebab dalam politik terjadi interaksi-interaksi berbagai kepentingan yang berbeda dan dengan tujuan yang berbeda pula. Kepentingan yang berbeda dalam politik didasarkan pada keinginan-keinginan dari aktor politik yang menyuarakan aspirasi kelompok masing-masing dalam negara yang menganut sistem demokrasi (Firmansyah, 2007:29).

Sekilas tentang Politik dalam Islam

Dikalangan masyarakat Islam pada umumnya kurang melihat hubungan politik dengan agama, kebanyakan mereka memisahkan secara tegas keduanya. hal tersebut disebabkan karena pemahaman yang tidak utuh terhadap ajaran Islam. Sedangkan menurut Kuntowijoyo. bahwa Islam dimaknai dan dipahami sebagai persoalan individual dan melupakan kalau Islam sebenarnya agama sosial. Padahal Islam menekan kesadaran melakukan aksi bersama untuk mewujudkan kebaikan. Kuntowijoyo secara tegas menyatakan pentingnya kesadaran kumunitas dan bekerjasama untuk mewujudkan kemaslahatan. untuk mewujudkan hal itu adalah melalui aktivitas politik dalam wadah sebuah negara (Kuntowijoyo, 1997:27).

Konsepsi politik dalam Islam secara jelas diungkapkan dalam teks-teks Al-qur’an yang menyebutkan sejumlah prinsip-prinsip politik berupa keadilan, musyawarah, toleransi, hak-hak dan kewajiban, amar ma’ruf dan nahi mungkar, kejujuran, amanah serta penegakan hukum. Selain itu, konsep dan dasar politik dalam Islam juga dapat dilihat dari praktek politik Nabi Muhammad SAW dalam penyelengaraan pemerintahan Islam, yaitu bagaimana beliau ketika menjalankan fungsi pemerintahan di Madinah (Sofyan, 2012:16).

Posisi Nabi Muhammad di Madinah, tidak hanya sebagai seorang Rasul yang menyampaikan risalah illahi, melainkan juga memainkan peran ganda sebagai kepala negara, yang mengatur urusan kemasyarakatan. Pola kepemimpinan Nabi Muhammad

(8)

oleh para ahli politik dikategorikan sebagai bentuk teo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang diterapkan berdasarkan asas musyawarah untuk menyikapi dan memutuskan persoalan yang terjadi serta menyandarkan solusi berdasarkan ketetapan dari Allah, yaitu wahyu (Nata, 2000:270).

Sejarah politik Islam adalah sejarah dakwah dalam penegakan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kedua hal itu sangat diperlukan untuk ditegakkan agar masyarakat dapat hidup secara tentram dan aman. Nabi Muhammad di Madinah merepresentasikan sebuah upaya penegakan kebajikan di muka bumi, dengan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. pemerintahan Nabi menggambarkan bentuk pemerintahan Islam yang sangat toleran dengan agama lain, yang terdokumentasi dalam piagam Madinah yang berisikan antara lain toleransi terhadap pemeluk agama yang berbeda, hidup bertetangga secara damai, kerjasama dalam keamanan, dan perlindungan terhadap pihak-pihak yang teraniaya. Nabi Muhammad Saw. benar-benar telah mencontohkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin dalam praktek kehidupan sosial dan bernegara.

Pemerintahan negara Madinah kemudian diteruskan oleh Abu Bakar, Umar Ibn al-Khattab, Usman Ibn ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib yang dikenal Khulafa Ar-Rasyidin. corak pemerintahan yang dipraktekkan dimasa itu sedikit berbeda dengan Nabi, yaitu mengambil bentuk aristokrat demokratik. Meskipun terjadi banyak konflik politik masa itu, tetapi secara konsisten pemerintahan Islam pada masa itu tetap menjaga warisan tradisi kepemimpinan Rasullullah yakni selalu menegakkan keadilan, musyawarah, toleransi dan nilai-nilai moral Islam lainnya.

Selanjutnya pasca kepemimpinan khulafa ar-rasyidin, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh Bani Umayyah dan Abbasiyah yang menunjukkan pasang surutnya pemerintahan Islam. Sejarah mengungkapkan bahwa pemerintahan tetap konsisten mengedepankan nilai moralitas (Sofyan, 2012:17).

Berdasarkan penelusuran sejarah tersebut di atas, setidaknya telah memberikan gambaran bahwa Islam sejak kelahirannya telah mengenal bentuk pemerintahan atau sudah menerapkan suatu sistem politik. Sistem demokratis maupun oligarki atau kerajaan tidak menjadi persoalan sebab Islam dapat menerima bentuk dan sistem pemerintahan apapun sepanjang hal tersebut dapat menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan lahir dan batin serta mampu mewujudkan rasa aman, damai dan sejahtera (Nata, 2000:272).

(9)

Meluruskan Pemahaman Politik Kekinian

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa politik dimaknai sebagai upaya mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun prakteknya seringkali mengorbankan kepentingan masyarakat hanya untuk sebuah perebutan kekuasaan dan kepentingan politik semata.

Karena itu, politik dalam prakteknya harus didasarkan pada sebuah nilai-nilai universal yang mampu mengontrol politik agar tidak keluar dari tujuannya. Dalam hal ini jika didasarkan nilai-nilai Islam, maka politik yang dipraktekkan ditengah-tengah masyarakat dapat digolongkan menjadi dua yaitu politik kualitas tinggi (high politics) dan politik berkualitas rendah (low politics) (Rais, 1991:30-33).

Setidaknya terdapat tiga ciri yang harus dimiliki oleh mereka yang mengizinkan terselenggaranya high politics. Pertama, Setiap jabatan politik hakekatnya berupa amanah dari masyarakat yang harus dipelihara sebaik-baiknya dan dipertanggungjawabkan kepada manusia dan Allah SWT. amanah tidak boleh disalahgunakan, misalnya untuk memperkaya diri seperti korupsi atau menguntungkan kepentingan golongan sendiri dan mengabaikan kepentingan umum. Kedua, kegiatan politik harus dikaitkan secara ketat dengan prinsip ukhwah dan toleransi, yakni persaudaraan diantara sesama umat manusia dan saling menghargai, menghormati martabat kemanusiaan, menghargai perbedaan seperti perbedaan etnik, rasial, agama, latar belakang sosial, keturunan dan lain sebagainya. Politik kualitas tinggi diharapkan mampu menghindari gaya politik konfrontatif yang penuh dengan konflik dan melihat pihak lain sebagai pihak yang harus dieliminasi. Ketiga, kegiatan politik harus mengedepankan kepentingan agama dan negara di atas segala kepentingan yang ada (Rais, 1991:30-33).

Sedangkan politik kualitas rendah (low politics) yaitu politik yang dipraktekkan tidak sesuai dengan tujuan dakwah, melainkan sebaliknya justru menghambat dakwah, merusak akhlak masyarakat yang Islami. Berikut adalah ciri-ciri low politics yang dikutip Amin Rais dari buku The Prince karangan Machiavellis yang dikenal dengan Politik Machiavellies. Pertama, politik ini cenderung pada suatu kekerasan, kekejaman dan paksaan yang dilakukan oleh penguasa atau menghalkan berbagai cara untuk mewujudkan tujuan negara atau kepentingan politik tertentu. Kedua, menjadikan musuh-musuh politik adalah pihak-pihak yang dapat mengganggu stabilitas kekuasaan,

(10)

maka harus dihancurkan atau dibunuh. Ketiga, menjalankan kehidupan politik seorang penguasa harus dapat bermain seperti binatang buas, dalam arti tidak ada sikap toleransi bagi yang menentang kekuasaan maupun kebijakan negara (Rais, 1991:30-33).

Relasi Politik dan Negara Perspektif Islam

Dalam Islam politik dikaitkan dengan kekuasaan dan kepemimpinan (imamah) dalam suatu negara, sedangkan berdasarkan ijma’ ulama yang mendasarkan ushul fiqh, bahwa suatu kewajiban tidak sempurna terpenuhi kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana tersebut juga wajib dipenuhi. Artinya menciptakan dan memelihara kemashlahatan adalah kewajiban umat, sedangkan sarana untuk mewujudkannya adalah negara, maka mendirikan negara juga menjadi wajib (fardu kifayah).

Negara dianggap mampu menjadi penghubung atau alat untuk menciptakan kemaslahatan manusia tersebut, hal itu didasarkan pada pendapat Al-Ghazali bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu perlunya manusia hidup bermasyarakat dan bernegara. Pembentukan negara bukan sekedar upaya untuk memenuhi kebutuhan dunia semata, tetapi sebagai persiapan untuk kehidupan akhirat kelak. secara tegas Al-Ghazali menyatakan bahwa agama dan negara bagaikan saudara kembar yang lahir dari seorang ibu dan keduanya bersifat koplemetaritas (Iqbal, 2010:58-59).

Pemikir Islam kontemporer memiliki pandangan yang berbeda ketika membicarakan hubungan agama dengan negara dalam tiga meanstrem.

Pertama, kelompok integralis yang memandang Islam sebagai agama yang sempurna karena mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk politik. Umat Islam harus meneladani politik yang dijalankan Nabi Muhammad Saw. dan sahabat tanpa harus meniru Barat. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Muhammad Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, al-Maududi, dan Sayyid Quthub.

Kedua, kelompok sekuleris. Mereka berpandangan bahwa Islam dan politik adalah dua hal yang berbeda. Islam tidak mewariskan aturan politik yang baku dan Nabi Muhammad diutus tidak berpretensi untuk mendirikan negara. Sehingga untuk kemajuan politik umat Islam harus meniru kebudayaan yang sudah maju yaitu Barat. Umat Islam tidak perlu ragu untuk mengadopsi politik Barat. tokoh-tokohnya adalah Mushtafa Kemal Ataturk, Ali Abdurraziq dan Thaha Husein.

Ketiga, kelompok moderat. Mereka berpandangan bahwa umat Islam boleh mengadopsi ide-ide dan sitem maupun praktik politik Barat, sejauh tidak bertentangan

(11)

dengan nilai-nilai Islam yang bersumber al-Quran dan as-Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya adalah Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Muhammad Syaltut dan Muhammad Natsir (Iqbal, 2010:61).

Sementara itu, M. Quraish Shihab berpandangan bahwa agama sangat menekankan perlunya kehadiran pemerintahan demi menata kehidupan masyarakat. Bagi Quraish Shihab ketenteraman dan stabilitas masyarakat merupakan kebutuhan mutlak dan hal tersebut tidak dapat terwujud tanpa adanya peraturan yang mengikat dan dilaksanakan oleh sebuah institusi yang memiliki kekuatan dan dilegitimasi oleh masyarakat yaitu negara.

Negara adalah sebuah institusi yang dijalankan berdasarkan petunjuk al-Quran. Banyak ayat al-Qur’an yang memerintah untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan memutuskan sesuatu perkara secara adil. Selain itu terdapat petunjuk dari hadis agar mengangkat pemimpin. Kedua hal itu dalam pandangan Quraish Shihab merupakan sebagian prinsip umum yang telah diletakkan Islam tentang pentingnya suatu pemerintahan (Iqbal, 2010:63).

Dalam konteks Indonesia yang diketahui memiliki kemajemukan dalam agama, Quraish Shihab secara tegas tidak sepakat dengan kelompok yang mengintegrasikan antara agama dan negara, dalam arti bahwa segala sesuatu harus diatur secera formalistik simbolis melalui pendekatan penafsiran agama. Quraish juga tidak sepakat dengan kelompok sekularis yang memisahkan secara tegas agama dari kehidupan sosial politik. Bagi Shihab, kewajiban negara adalah menerapkan nilai-nilai agama dalam rangka menata kehidupan masyarakat sebagaimana Nabi Muhammad membangun negara Madinah.

Hal yang utama bukanlah formalisasi ajaran agama kedalam kehidupan sosial politik, melainkan bagaimana nilai-nilai agama dapat terinternalisasikan dalam kehidupan riil bernegara, seperti keadilan, musyawarah, toleransi, terpenuhi hak dan kewajiban, amar ma’ruf nahi munkar, termasuk penegakan hukum dan sebagainya (Iqbal, 2010:64-65).

Eksistensi Dakwah Islam dan Politik

Eksistensi dakwah dalam Islam menduduki posisi yang strategis. Dakwah berfungsi sebagai upaya rekontruksi masyarakat Muslim sesuai dengan cita-cita sosial Islam melalui pelembagaan ajaran Islam sebagai rahmat sejagat (rahmatan lil ‘alamin).

(12)

Sosialisasi Islam melalui dakwah diharapkan akan memungkin proses islamisasi nilai-nilai sehingga dihayati dan diamalkan dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara untuk kebahagiaan manusia dunia dan akhirat.

Sejarah mencatat bahwa Islam pernah berhasil membangun peradaban besar yang diakui oleh dunia tentu tidak terlepas dari pengaruh dakwah dan politik. Peradaban Islam dari zaman Nabi Muhammad Saw. sampai hari ini tidak dapat dipisahkan dari dua hal tersebut.

Dapat dikatakan bahwa maju dan mundurnya masyarakat Islam sangat dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya dakwah dan politik Islam. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah Islam, persoalan dakwah dan politik telah menjadi perhatian serius. Sebagian ulama menganggap bahwa dakwah dan politik tidak boleh dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Islam, sedangkan yang lain berpandangan bahwa dakwah dan politik adalah hal sangat berlawanan dan tidak boleh dicampur-adukkan satu dengan lainnya (Don, 2005:13).

Perbedaan pandangan tersebut sering kali dijumpai di tengah-tengah masyarakat hingga saat ini. Pendapat, pikiran dan prasangka negatif ditujukan khususnya kepada politik yang dianggap sesuatu yang tidak banyak memberikan kemaslahatan kepada masyarakat. Pada sisi lain dakwah diposisikan sebagai kegiatan suci yang merupakan warisan para nabi dan tidak boleh bercampur baur dengan politik.

Fenomena tersebut kerapkali tertanam dalam benak masyarakat, sehingga sangat tepat jika Hasan Al Banna mengungkapkan bahwa sedikit sekali orang berbicara tentang politik dan Islam, kecuali ia memisahkan antara keduanya dan diletakkan masing-masing secara independen. Keduanya tidak mungkin bersatu dan dipertemukan. Pada sisi lain sebahagian organisasi Islam yang bergerak dalam aktivitas dakwah dengan tegas mencatumkan bahwa organisasi tersebut tidak berpolitik. Namun dalam prakteknya selalu bersentuhan dan berdimensi politik (Al-Wa’iy, 2003:39).

Fenomena diatas menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kurang memamahi hubungan fungsional antara dakwah dan politik dalam konteks keagamaan. Umumnya masyarakat menganggap bahwa dakwah tidak boleh dicampuri oleh politik, dan politik tidak boleh mengatasnamakan dakwah. Diskursus tersebut terkesan bahwa politik merupakan sebuah sesuatu yang kotor, penuh kemunafikan, tipu muslihat, kelicikan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tokoh-tokoh politik hanya dekat dengan rakyat menjelang pemilihan umum. Sementara dakwah diposisikan

(13)

sebagai kegiatan mulia untuk memberikan petunjuk kehidupan sesuai dengan tuntunan agama, sehingga dakwah tidak dapat disandingkan dengan politik (Rais, 1991:23).

Pemahaman diatas merupakan hal yang wajar karena didasarkan pada pengalaman yang ada. Secara realitas kanca politik memang selalu diwarnai dengan tontonan yang bersifat negatif dalam pandangan masyarakat. sementara aktivitas dan topik dakwah tidak banyak menyentuh ranah politik. Dakwah banyak membahas aspek ibadah, halal-haram dan syurga-neraka, sesuatu yang bersifat khilafiyah dan perbedaan paham dalam beribadah.

Dakwah dalam buhungannya dengan aspek politik cenderung terabaikan. Sedangkan Islam sebagaimana yang telah disebutkan di atas murupakan ajaran universal yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia dan seperti ditegaskan oleh Hasan Al Banna bahwa Islam sebuah sistem universal yang lengkap dan mencakup seluruh aspek kehidupan.

Sesungguhnya dakwah dan politik dalam praktek kehidupan sosial harus dipahami bagaikan dua sisi mata uang. Satu sama lain saling melengkapi, tidaklah dianggap sempurna apabila satu diantaranya tidak ada. artinya dakwah dan politik itu tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan.

Intergrasi dakwah dan Politik

Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas telah memberikan gambaran secara jelas bahwa politik mempunyai tempat yang istimewa dalam Islam. Karena islam sebagai ajaran universal dengan jelas dan tegas tidak memisahkan masalah keduniaan dan keagamaan dengan politik. Bahkan politik dianggap sebagai wasilah atau jalan untuk meninggikan agama dan dakwah dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga senada dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Al Mawardi, politik harus digunakan untuk tujuan dan kepentingan agama atau dakwah.

Politik (siyasah) pada umumnya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan dan cara menggunakannya. Kekuasaan terwujud apabila terdapat lembaga, yaitu negara sebagai wadah untuk menjalankan kekuasaan. Politik dalam tradisi Islam mempunyai hubungan yang erat dengan manajemen pemerintahan dalam mengurus kepentingan masyarakat dan membawa mereka kepada kemaslahatan dan menjauhkannya dari kemudaratan (Pulungan, 1999:24).

(14)

Seharusnya tujuan politik sejalan dengan dakwah. Namun dalam prakteknya, politik terkadang memperalatkan agama bagi kepentingan politik. Hakikatnya, menurut konsep Islam, politiklah yang sepatutnya menjadi alat untuk mengembangkan dan mensukseskan dakwah. Menurut Ali Sodiqin bahwa strategi penyampaian dakwah tidak dapat dilepaskan dari upaya membangun kekuatan politik umat Islam dan antara kekuatan politik dan penyebaran agama menyatu dan bersinergi (Sodiqin, 2008:83).

Salahsatu bentuk politik dalam dakwah dapat dilihat melalui hubungan erat di antara ulama dan penguasa atau pemerintah. Idealnya hubungan keduanya bersifat timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak dalam konteks dakwah dan politik. Penguasa memberikan tempat kepada ulama, sebaliknya ulama memberikan legitimasi keagamaan kepada penguasa. Kondisi ini sebenarnya telah terjadi sepanjang sejarah Islam (Buyung, 2003:152).

Politik Islam menyumbang wacana pemikiran yang menyangkut simbiosisme agama dan politik. Pemikiran pra-moden cenderung di bawah arahan politik ke dalam agama, dan paradigma moden sebaliknya, yaitu di bawah arahan agama ke dalam politik. Paradigma pra-moden cenderung untuk mempolitikkan agama. Politik Islam dalam kasus ini mengambil bentuk pemunculan atau pembentukan idea dan lembaga politik untuk menjustifikasi proses politik yang sedang berjalan (Sihombing, 2003:152).

Menjadikan dakwah sebagai alat politik adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Dakwah harus diposisikan pada dimensi yang bebas dan tidak monopoli daripada lembaga atau kekuatan politik tertentu. Sebaliknya dakwah harus menjadi bagian dari berbagai pihak yaitu negara, organisasi, lembaga dan partai politik, dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu didasarkan pada pemikiran sejarah bahwa dakwah lebih tua usianya daripada politik dan dakwah bersifat universal.

Namun kerena berbagai kepentingan yang bersifat duniawi, politik seringkali menyimpang daripada tujuan semula. Politik dengan sifat relativismenya mudah larut pada kepentingan sesaat, terutama untuk kepentingan pemilih, sehingga keputusan politik sangat mementingkan konstituennya. Dengan kata lain, seorang politikus menjadi wakil daripada orang yang memilihnya. Sedangkan dalam dakwah, bukan kepentingan sasaran yang utama, tetapi nilai-nilai kebenaran yang bersumberkan al-Qur’an dan Sunnah yang harus disampaikan (Sihombing, 2003:152).

(15)

Pada hakekatnya dakwah merupakan tugas suci umat Islam yang identik dengan misi utama para Nabi dan Rasul. Al-Quran dan As-Sunah telah menggambarkan betapa pentingnya dakwah dalam menegakkan agama Allah dimuka bumi. Secara historis dakwah menduduki posisi penting, sentral, startegis dalam menentukan kebangkitan dan kejayaan peradaban Islam. Betapa pentinya dakwah dalam realitas kehidupan pribadi dan sosial umat, maka dakwah senantiasa menjadi perhatian, kajian dan kegiatan yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Sementara, menurut beberapa ulama dan ahli-ahli ilmu dakwah seperti Syeikh ‘Ali Mahfuz (1880-1942 M), meneyebutkan bahwa dakwah sebagai upaya mendorong dan memotivasi manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk dan menyuruh mereka berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan mungkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat (Mahfuzh, 1952:62).

Secara lebih spesifik dakwah menurut Abd. Munir Mulkhan adalah sebuah upaya merubah umat dari suatu situasi kepada situasi lain yang lebih baik di dalam segala segi penghidupan dengan tujuan merealisasikan ajaran Islam didalam kenyataan hidup sehari-hari, baik bagi penghidupan seorang pribadi, penghidupan keluarga maupun masyarakat sebagai suatu keseluruhan tata penghidupan bersama (Mulkhan, 1993:100)

Secara lebih luas, tujuan dakwah berdasarkan misi kerasulan dari zaman ke zaman, senantiasa sama yaitu sebagai upaya menyeru kejalan Allah, mengajak umat manusia agar menyembah hanya kepada Allah Swt. Serta memberikan pemahaman keimanan dengan baik, serta memotivasi manusia untuk mematuhi ajaran Allah dan Rasul-Nya dalam kehidupan keseharian, sehingga tercipta manusia yang berakhlak mulia, dan terdidik individu yang baik dan berkualitas (khoirul al-fardiyah), keluarga yang sakinah dan harmonis (khairu al-usrah), komunitas masyarakat yang tangguh (khoiru al-jama’ah), terwujud masyarakat madani atau civil society (kkairu ummah) dan pada akhirnya akan terbentuklah suatu bangsa dan negara yang maju dan sejahtera lahir bathin atau dalam istilah al-Qur’an baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur (Saputra, 2011:9).

Secara umum kata ma’ruf di atas dapat diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik, atau yang diperintahkan oleh syara’, sedangkan kata munkar adalah sesuatu yang dipandang buruk, diharamkan atau dibenci oleh syara’. Namun secara lebih luas al ma’ruf dapat diartikan sebagai kebaikan (al khair) yang diakui secara universal, yaitu Islam. Adapun al munkar dapat dipahami sebagai apa saja yang secara fitrah ditolak

(16)

atau dibenci oleh nurani manusia. Kemudian kedua kata tersebut menunjukkan pada kenyataan suatu kebaikan dan keburukan dalam masyarakat (Ridwan, 2001:145).

Dalam konteks tersebut, Sayyid Quţb (1906-1966 M) mengatakan bahwa al-amr bi al-ma‘ruf wa al-nahy ‘an al-munkar merupakan dua tugas utama umat Islam dalam menegakkan manhaj Allah s.w.t. di muka bumi, dalam upaya memenangkan kebenaran dan mengatasi kebatilan. Sedangkan menurut Yusuf al Qardawi, dua tugas itu adalah kewajiban asasi dalam Islam, yang dengan sebab itu Allah Swt. memberikan kelebihan dan keutamaan kepada umat Islam dibandingkan dengan umat-umat yang lain.

Selanjutnya Sayyid Quthub menekankan bahwa harus ada suatu kekuasaan dalam pengelolaan dakwah. Hal ini karena dalam aktivitas al-amr bi al-ma‘ruf wa al-nahy ‘an al-munkar terdapat perintah kepada yang makruf dan larangan kepada yang mungkar. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan baik, kecuali oleh orang yang memiliki kekuasaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa manhaj Allah di bumi tidak hanya terbatas pada nasihat, bimbingan dan pengajaraan. Namun mencakup aspek menegakkan kekuasaan untuk memerintah dan melarang membuat peraturan, mewujudkan yang makruf dan meninggalkan yang mungkar dalam kehidupan manusia dan memelihara kebiasaan umat Islam untuk berakhlak mulia, melaksanakan perintah Allah serta mengikis kebiasaan buruk dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Yusuf al Qardawi, ketika ingin menghentikan suatu kemungkaran harus memperhatikan syarat-syarat berikut. Pertama, suatu kemungkaran merupakan perkara yang disepakati pengharamannya. Mengerjakan sesuatu perkara yang makruh atau meninggalkan sesuatu yang sunat, tidak dianggap sebagai suatu kemungkaran. Sesuatu perkara yang diharamkan oleh nas-nas syara’ atau kaedahnya yang qat’i dan sebagai kemungkaran. Kedua, kemungkaran itu sepatutnya dapat dilihat dengan jelas. Kemungkaran yang disembunyikan oleh para pelakunya daripada pandangan mata orang lain, maka seorangpun tidak boleh mencari-cari kemungkaran yang belum nyata adanya. Ketiga, mempunyai kekuatan untuk mengubah kemungkaran tersebut.

Oleh karena itu, pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar menuntut sebuah kemampuan dalam memahmai nash-nash al-Quran dan as-sunnah, ditambah lagi kemampuan memahami lingkungan sosial, politik, dan budaya sebagai wadah terwujudnya kebaikan yang nyata.

(17)

Dakwah sebagaimana disebutkan di atas merupakan sebuah kegiatan untuk merekonstruksi masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga seluruh aspek kehidupan manusia adalah arena dakwah. Untuk merealisasikan dakwah dalam setiap bentuk aktivitas manusia, maka seluruh kegiatan atau profesi manusia juga merupakan sarana maupun alat (instrumen) dakwah Islam. Tanggung jawab dakwah tidak hanya tugas ulama, kiyai atau ustadz akan tetapi merupakan tugas ekonom, politikus penguasa dan profesi lainnya. Pada diri mereka juga ada kewajiban dan tanggung jawab untuk melaksanakan dakwah menurut kemampuan dimilikinya (Rais, 1991:27).

Dalam prakteknya, politik selalu dihubungkan dengan cara dan proses dalam pengelolaan pemerintahan suatu negara. Oleh karena itu politik merupakan salah satu kegiatan penting dalam masyarakat, dikarenakan hampir seluruh masyarakat di dunia ini hidup dalam suatu sistem politik.

Dalam konteks itu, menarik sekali mengikuti jalan pikiran Ibn Khaldun (1332-1406 M). Menurut beliau pemerintah akan lebih berwibawa jika pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan berdasarkan nilai-nilai agama. Bahkan hal tersebut akan bertahan apabila dalam pelaksanaannya mengikut nilai-nilai kebenaran, kerana hati manusia hanya dapat disatupadukan dengan pertolongan Allah Swt. Kekuasaan yang berasaskan agama akan menjadi kokoh kerana mendapat dukungan rakyat. Selain itu agama dapat meredakan pertentangan dalam masyarakat dan rasa iri hati untuk terwujudnya persaudaraan sejati (Issawi, 1976:180).

Nabi Muhammad S.A.W dalam menjalankan dakwahnya tidak terlepas dari praktek-praktek politik untuk melaksanakan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi politik dalam penyebaran agama menjadi relevan dan penting dipraktekkan. Agama dan politik mempunyai kaitan yang sukar dipisahkan. Sebab hidup di dunia tidak hanya untuk kepentingan dunia semata, tapi dunia harus mampu membawa setiap muslim untuk kebahagiaan di akhirat.

Sesungguhnya kehidupan di dunia bukanlah tujuan akhir dari kehidupan manusia. Kehidupan di dunia hanya satu babak yang dijalani menuju kehidupan akhirat. Ajaran Islam yang bersifat politik menaruh perhatian terhadap kehidupan dunia. Disebabkan itu, imamah merupakan warisan yang ditinggalkan Nabi Saw. untuk melaksanakan hukum-hukum Allah swt. demi terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

(18)

Menurut M. Amien Rais aktivitas politik dinilai baik, bilamana memberi manfaat bagi seluruh rakyat dan sesuai dengan konsep rahmat sejagat (Rais, 2004:10) atau menurut istilah al-Quran rahmah li al-‘alamin. Selanjutnya ia menyatakan bahwa politik harus difahami dalam tiga kategori. Pertama, politik sebagai amanah dari masyarakat yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Kedua, aktivitas politik harus dipertanggungjawabkan kepada Allah Ketiga, aktivitas politik harus sejalan dengan prinsip-prinsip persaudaraan dalam Islam.

Analisis Dakwah dan Politik Kiai di tengah momentum PEMILU

Dalam kehidupan sebagian masyarakat di Indonesia, Seorang Kiai menduduki posisi sentral. Kiai adalah sebuah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli Agama Islam yang biasanya memiliki atau menjadi pimpinan pesantren. Juga disebut sebagai “Ulama” bentuk jamak dari kata“Alim” (yaitu orang yang dalam pengetahuan Islamnya).Mereka diakui sebagai “Centre of Solidarity” (pusat solidaritas) lebih-lebih bila ia berada pada sebuah komunitas yang Pathernalistik. Sehingga kesehariannya Kiai berposisi sebagai tokoh yang multi-fungsional atau dalam istilah Geetzs sebagai “Cultural Broker” (makelar budaya).

Bahkan Kiai tidak hanya dipresentasikan sebagai seorang yang memahami persoalan-persoalan keagamaan (ahli Agama) atau sebagai pemimpin acara-acara ritual keagamaan, namun juga sebagai tempat bertanya dari masyarakatnya tentang persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan bahkan tentang hal yang berkaitan dengan perpolitikan. Pada tingkat kharisma dan kealiman tertentu seorang Kiai juga menjadi tumpuan ummat lain di luar Islam.

Seorang Kiai umumnya memimpin Pondok Pesantren walaupun ada pula seseorang yang dipanggil Kiai karena kapasitas keilmuannya. Pondok Pesantren cukup menarik peneliti untuk mendalaminya. Berbagai kajian yang dilakukan oleh para ahli ilmu sosial yang menempatkan Kiai sebagai sosok yang pandangannya berpengaruh terhadap kehidupan pengikutnya telah banyak dilakukan. Tulisan-tulisan tersebut menyoroti kehidupan Kiai dari berbagai dimensinya. Diantaranya tulisan Arifin (1993) dan Mastuhu (1994) yang mencoba menggambarkan pola kepemimpinan Kiai terhadap dunianya. Sementara jika membaca karya Sukamto (1999) akan semakin jelas dapat diperoleh informasi tentang tipe-tipe kepemimpinan Kiai.

(19)

Karya lain yang juga berfokus kepada Kiai dalam kapasitasnya sebagai penganut Thariqat dan Pemimpin Thariqat (Mursyid) yang menjadi penentu bagi jamaahnya berkenaan dengan afiliasi terhadap partai politik tertentu seperti karya, Syam (1997), juga penelitian Moesa (1999).

Sedang dari sisi pemikiran keagamaannya telah juga dilakukan penelitian, misalnya : Haidar (1994:17), Irsyam (1984) dan Van Bruinnessen (1992). Namun dari sekian banyak penelitian yang terfokus pada Kiai belum diketahui ada yang meneliti tentang corak pemikirannya terutama menyangkut pendekatan Fiqh dalam mengatasi masalah sosial keagamaan. Sedang dalam tulisan Ali Haidar lebih menfokuskan kepada sisi Fiqh Politik. Ia menyatakan bahwa Fiqh Politik yang dijadikan acuan kiai NU adalah tradisi keilmuan menurut Ahlussunnah wal Jamaah.

Disamping hal di atas secara subyektif ketertarikan penulis pada pemikiran Kiai, disebabkan oleh beberapa hal : pertama, bahwa peran Kiai dalam kehidupan bermasyarakat, barbangsa dan beragama terlihat nampak menonjol, terutama ketika bangsa Indonesia mulai dilanda krisis yang kemudian berakibat “lengsernya” Soeharto. Dilanjutkan dengan pemerintahan Habibie yang tidak legitimate, sementara situasi semakin memburuk dan cenderung mengarah kepada disintegrasi.

Pada kondisi yang demikian Kiai / Ulama ternyata mampu menjadi pemimpin alternatif yang dapat menenangkan semua pihak. Hal ini terbukti dengan terpilihnya KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden R.I. ke empat dan termasuk KH Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden RI saat ini, Kecenderungan keterlibatan tokoh maupun kiai ini juga terjadi di daerah-daerah seperti provinsi dan kabupaten/kota di indonesia.

Kemudian Kedua, keberhasilan Kiai dipercaya untuk memimpin Bangsa ini bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, namun telah melalui usaha/ikhtiar yang pada mulanya hanya merupakan usaha memperbaiki kehidupan rakyat yang dilakukan sejak lama dengan melalui pendekatan kultural pada sisi praksis serta mengembangkan wacana demokrasi dan pluralisme di sisi teoritis. Hal ini dilakukan dengan penuh keikhlasan karena didasari oleh ajaran-ajaran Agama. Bagi seorang Muslim (Kiai), Agama menjadi suatu sikap hidup yang membuat orang mampu mengatasi kesulitan sebagai manusia, dengan memberikan jawaban yang memberi kepuasan spititual pada pertanyaan mendasar tentang teka-teki alam semesta dan peranan manusia di dalamnya, dengan memberikan ajaran praktis untuk hidup di alam semesta.

(20)

Kesimpulan

Pada bagian kesimpulan ini, penulis akan menjawab berbagai asumsi maupun argumentasi yang terdapat pada bahasan diatas tentang Politik Kiai dan Dakwah islam dalam momentum Pemilu.

Membahas politik dalam dakwah perlu dilihat melalui hubungan erat di antara Kiai sebagai ulama’ dan penguasa atau pemerintah sebagai umara’. Idealnya hubungan keduanya bersifat timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak dalam konteks dakwah dan politik memang seharusnya saling mendukung dan melengkapi demi tegaknya nilai-nilai dakwah islam, sehingga penguasa memberikan tempat kepada Kiai, sebaliknya Kiai memberikan legitimasi keagamaan kepada penguasa. Kondisi keterkaitan politik kiai dan dakwah ini sebenarnya telah terjadi sepanjang sejarah Islam.

Sekalipun ada sebagian orang tidak setuju untuk digabungkan, dengan alasan tujuan dari politik adalah kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara, sedangkan tujuan dari dakwah adalah diterimanya seruan-seruan yang mengajak kepada kebaikan. Bagi mereka politik adalah kotor dan dakwah adalah sesuatu yang netral (bersih). Bahkan menjadikan dakwah sebagai alat politik adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Dakwah harus diposisikan pada dimensi yang bebas dan tidak monopoli daripada lembaga atau kekuatan politik tertentu. Sebaliknya dakwah harus menjadi bagian dari berbagai pihak yaitu negara, organisasi, lembaga dan partai politik, dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu didasarkan pada pemikiran sejarah bahwa dakwah lebih tua usianya daripada politik dan dakwah bersifat universal.

Menurut hemat penulis menyimpulkan antara kiai sebagai tokoh agama yang konsisten melakukan aktifitas dakwahnya didukung penuh oleh pemerintah yang berkuasa maka akan tercipta suatu sinergitas antara Kiai sebagai ulama’ dan Pemerintah sebagai umara’. sehingga ditengah kontestasi politikdengan dakwah kiai itu bisa digabungkan, dengan alasan politik digunakan sebagai alat untuk menyampaikan dakwah. Berdakwah dengan menggunakan media jelas lebih efektif, namun jika media itu belum dimiliki, bukan berarti dakwah tidak bisa dimulai. Dakwah ada hubungan erat dengan politik. Ketika yang menguasai perpolitikan suatu wilayah yang memusuhi Islam, maka kebijakan yang dikeluarkan berpotensi mengganggu umat Islam. karena itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim terutama para kiai dalam melaksanakan dakwah dapat bekerja sama, bersama dengan pihak manapun untuk mensukseskan dakwah dan senantiasa berpedoman kepada ajaran islam. Oleh karenanya hubungan

(21)

politik atau kekuasaan dengan dakwah akan sangat membantu mempercepat tercapainya tujuan dakwah islam.

Daftar Pustaka

Abdullah. (2012) Dakwah Kultural dan Struktural: Telaah Pemikiran dan Perjuangan Dakwah HAMKA dan M. Natsir. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Abdullah. (2002) Wawasan Dakwah: Kajian Epistemologi, Konsepsi dan Aplikasi Dakwah, Medan IAIN Press.

Abdul Ghafar Don. (2005) “Integrasi Politik dan Dakwah” dalam Zulkiple Abd. Ghani dan Mohd. Syukri Yeoh Abdullah (ed), Dakwah dan Etika Politik di Malaysia, (Kuala Lumpur: Utusan Publication dan Distributors Sdn Bhd)

Arifin, I. (1993). Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Kalimasahada Press.

Ali Sodiqin. (2008) Antropologi Al-Quran: Model Dialektika Wahyu dan Budaya. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Al Qardawiy, Yusuf. (1993) Anatomi Masyarakat Islam. (Terj.) Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Al-Qur’an Terjemahan Kemenag RI. (2009). Bandung: CV Insan Kamil..

Al-Wa’iy, Taufiq Yusuf. (2003) Pemikiran Politik Kontemporer Al-Ikhwan Al-Muslimun : Studi Analitis, Observatif, Dokumentatif, Solo: Era Intermedia.

Bruinnessen, Martin Van. (1992) Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Jakarta : Mizan.

Budiarjo. (2008) Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dhofier,Zamakhsyari. (1994) Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, cet.VI, Jakarta: LP3ES.

Firmansyah. (2007) Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas Politi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Iqbal, Muhammad. (2010) Etika Politik Qur’ani: Penafsiran M. Quraish Shihab Terhadap Ayat-ayat Kekuasaan. Medan: IAIN Press.

J. Suyuthi Pulungan. (1999) Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Jumah Amin Abd al-‘Aziz, (1997) Fiqh-Dakwah. (Terj.) Abdus Salam Masykur. Solo: Citra Islami Press.

(22)

Kuntowijoyo. (1997) Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan. Madjid, Nurcholish (2009) Cita-Cita Politik Islam. Jakarta: Paramadina.

Mahfuzh,Ali. (______) hidayah al-Mursyidin ,Al-Qahirah: Dar al-Kitabah, 19520. Mastuhu. (1994).Dinamika sistem pendidikan pesantren: suatu kajian tentang unsur

dan nilai sistem pendidikan pesantren. INIS.

Moesa, Ali Maschan. (1999) Kiai & Politik dalam Wacana Civil Society. Surabaya : LEPKISS.

Moesa, AM (1999). Kiai & politik dalam wacana masyarakat sipil. Diterbitkan Oleh Lepkiss Atas Kerja Sama Arya Ikapi Dan Ford.

Mulkhan, Abdul Munir. (1993) Paradigma Intelektual Muslim. Yogyakarta: Sipress. Nata, Abuddin. (2000) Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Porwadarminta. (1991) Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Puteh, M. Jakfar dan Saifullah (ed). (2001) Dakwah Tekstual Dan Kontekstual; Peran

dan Fungsinya dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Rais, M. Amien. (1991) Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan. Saputra, Wahidin (2011) Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: Raja Grafindo Persada Sihombing, Buyung Ali. (2003) “Realitas dan Idealitas Politik Islam: Simbiosis Politik

dengan Dakwah”, dalam Jurnal Miqot. Vol. XXII, Nombor 1.. Medan: IAIN Press.

Sodiqin,Ali. (2008) Antropologi al-Quran: Model Dialektika Wahyu dan Budaya. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sudjana, Eggi.(2008) Islam Fungsional. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada: 2008. Sukamto. (1999). Kepemimpinan kiai dalam pesantren. Lp3es.

Surbakti. Ramlan (1992) Memahami Ilmu Politik. Jakarta:PT. Gramedia. Sofyan, Ayi. (2012) Etika Politik Islam, Bandung: Pustaka Setia.

Syam, N. (1997). Agama dan Politik: Makna Afiliasi Politik Penganut Tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah Di Wilayah Kemursyidan Cukir Jombang. doctoral dissertation, universitas airlangga.

Irsyam, M. (1984). Ulama dan partai politik: upaya mengatasi krisis. Yayasan Perkhidmatan.

(23)

Zulkiple Abd. Ghani dan Mohd. Syukri Yeoh Abdullah (ed.). (2005) Dakwah dan Etika Politik di Malaysia,Selangor : Lohprint SDN.BHD.

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian pakan awal pada larva ikan bawal laut terjadi se- telah proses penyerapan kuning telur berakhir yaitu sekitar 35:30-46:30 jam, namun se- belum butir

Kunci sukses pengumpulan informasi adalah dilihat dari proses wawancara dan kecakapan dari pewawancara dalam berintraksi dengan responden untuk mendapatkan informasi

Potensi penjualan beras organik grade 1 ternyata masih cukup besar karena pada diagram affinitas mengenai pendapat responden terhadap produk tersebut paling banyak

Salah satu tujuan kurikuler pendidikan IPA di Sekolah Dasar adalah “mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan

Analisis kimia serbuk minuman herbal kunyit putih yang diperoleh pada penelitian ini yaitu : kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan 2:1 dan terendah pada

Tabel 2 menunjukkan 124 kasus DBD tahun 2011 di Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat dengan Nilai indeks tetangga terdekat (Rn) yang diperoleh sebesar -7,89 hal ini

Untuk mendapatkan respon ternormalisasi oleh bobot maka digunakan metode AHP dengan standar penilaian mutu tablet yang terdiri atas tingkat kekerasan, daya keregasan

yang sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui potensi kegiatan wisata bahari yang masih bisa dikembangkan dengan mengkaji kesesuaian kawasan dan