• Tidak ada hasil yang ditemukan

Economic Dispatch Untuk Sistem Kelistrikan Microgrid Dengan Energy Storage Berbasis Adaptive Particle Swarm Optimization

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Economic Dispatch Untuk Sistem Kelistrikan Microgrid Dengan Energy Storage Berbasis Adaptive Particle Swarm Optimization"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

HALAMAN JUDUL

TUGAS AKHIR – TE141599

ECONOMIC DISPATCH UNTUK SISTEM KELISTRIKAN MICROGRID DENGAN ENERGY STORAGE BERBASIS ADAPTIVE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION

Nugroho Wicaksono NRP 2212 100 199 Dosen Pembimbing

Heri Suryoatmojo, ST., MT., Ph.D. Dr. Eng. Rony Seto Wibowo, ST., MT.

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO Fakultas Teknologi Industri

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2016

(2)

HALAMAN JUDUL

FINAL PROJECT – TE141599

ECONOMIC DISPATCH FOR MICROGRID ELECTRICAL SYSTEM WITH ENERGY STORAGE BASED ON ADAPTIVE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION

Nugroho Wicaksono NRP 2212 100 199 Advisor

Heri Suryoatmojo, ST., MT., Ph.D. Dr. Eng. Rony Seto Wibowo, ST., MT.

DEPARTMENT OF ELECTRICAL ENGINEERING Faculty of Industrial Technology

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2016

(3)
(4)

i

ECONOMIC DISPATCH

UNTUK SISTEM

KELISTRIKAN

MICROGRID

DENGAN

ENERGY

STORAGE

BERBASIS

ADAPTIVE PARTICLE SWARM

OPTIMIZATION

Nugroho Wicaksono

2212 100 199

Pembimbing I : Heri Suryoatmojo, ST., MT., Ph.D. Pembimbing II : Dr. Eng. Rony Seto Wibowo, ST., MT. Abstrak:

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa pengaruh akan meningkatnya kebutuhan akan daya listrik, namun ketersediaan sumber energi konvensional (fossil) semakin menipis yang tentunya akan berdampak pada tingkat ketahanan listrik. Oleh karenanya diperlukan pembangkit-pembangkit tersebar berskala kecil (microgrid). Pembangkit tersebar ini diupayakan bersumber pada energi terbarukan dengan meminimalkan pemakaian dari sumber energi konvensional serta digunakan energy storage untuk power balance. Oleh karena adanya

microgrid ini maka penting untuk menentukan besarnya pembangkitan daya listrik yang optimal dari masing-masing pembangkit dan kapasitas optimal energy storage sehingga kebutuhan daya listrik dapat dipenuhi dengan biaya yang optimal. Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai economic dispatch di dalam pengoperasian sistem kelistrikan

microgrid dengan energy storage. Algoritma APSO digunakan untuk memecahkan masalah minimalisasi total biaya sistem. Simulasi komputer menggunakan Matlab dilakukan untuk menunjukkan efektivitas dari metodologi yang diusulkan dan dampak dari harga dan sistem penyimpanan pada economic dispatch. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penggunaan metode APSO untuk ED pada sistem kelistrikan

microgrid memiliki performa kecepatan konvergensi yang lebih baik dibanding metode PSO dan dengan pemanfaatan energy storage pada sistem memberikan dampak penghematan biaya operasi.

Kata Kunci : Economic Dispatch (ED), Microgrid, Artificial Intelligence, Adaptive Particle Swarm Optimization, Energy Storage.

(5)

ii

(6)

iii

ECONOMIC DISPATCH FOR MICROGRID

ELECTRICAL SYSTEM WITH ENERGY STORAGE

BASED ON ADAPTIVE PARTICLE SWARM

OPTIMIZATION

Nugroho Wicaksono 2212 100 199

Supervisor I : Heri Suryoatmojo, ST., MT., Ph.D. Supervisor II : Dr. Eng. Rony Seto Wibowo, ST., MT.

Abstract

The development of science and technology also make the increasing need for electrical power, but the availability of conventional energy sources (fossil) depleting, which would certainly have an impact on the level of electrical resistance. Therefore distributed generation system (microgrid) is required. This distributed generation is strived from renewable energy sources to minimize the use of conventional energy sources and also used energy storage for power balance. With more distributed generation applied to the system, it is important to determine the optimal electrical power generation from each distributed generation and optimal energy storage capacity, so that electrical power needs can be met with an optimal cost. In this research, an analysis of the economic dispatch within microgrid operation of the electrical system with energy storage is done. APSO algorithm is used to solve the problem of minimizing the total cost of the system. Computer simulations using Matlab done to show the effectiveness of the proposed methodology and the impact of price and storage system in economic dispatch. The simulation results showed that the use of APSO methods for ED in microgrid electrical system performs better convergence speed compared PSO methods and the use of energy storage systems provide operating cost savings impact.

Keywords : Economic Dispatch (ED), Microgrid, Artificial Intelligence,

(7)

iv

(8)

vii

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR HALAMAN PENGESAHAN ABSTRAK... i ABSTRACT...iii KATA PENGANTAR...v DAFTAR ISI...vii DAFTAR GAMBAR...ix DAFTAR TABEL...xi BAB 1 PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang...1 1.2 Permasalahan...2 1.3 Batasan Masalah...3 1.4 Tujuan...3 1.5 Metodologi...3 1.6 Sistematika Penulisan...4 1.7 Relevansi...5

BAB 2 ECONOMIC DISPATCH UNTUK SISTEM KELISTRIKAN MICROGRID DENGAN ENERGY STORAGE...7

2.1 Sistem Kelistrikan Microgrid...7

2.1.1 Islanded...7

2.12. Grid – Connected...8

2.1.3 Sel Surya...9

2.1.4 Turbin Angin...10

2.1.5 Baterai (Energy Storage) ...11

2.1.6 Sel Bahan Bakar (Fuel Cell) ...13

2.1.7 Turbin Mikro...14

2.1.8 Generator Diesel...15

2.2 Economic Dispatch...16

BAB 3 PENERAPAN ADAPTIVE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION UNTUK ECONOMIC DISPATCH PADA SISTEM KELISTRIKAN MICROGRID...21

3.1 Particle Swarm Optimization (PSO) ...21

3.1.1 Pengertian PSO...21

3.1.2 Adaptive Particle Swarm Optimization (APSO) ...22

3.1.3 Pembatas Pergerakan Partikel ...24

(9)

viii

3.1.5 Simulasi Algoritma APSO untuk Menyelesaikan ED Sistem

Kelistrikan Microgrid...25

3.2 Implementasi dari Algoritma...28

BAB 4 SIMULASI DAN ANALIS...31

4.1 Data Spesifikasi CPU...31

4.2 Validasi Program APSO dengan Menggunakan Referensi Buku Allen J Wood...31 4.4 Studi Kasus 2...34 4.5 Studi Kasus 3...40 4.6 Studi Kasus 4...44 4.7 Studi Kasus 5 47 BAB 5 PENUTUP...53 5.1 Kesimpulan...53 5.2 Saran...53 DAFTAR PUSTAKA...55 LAMPIRAN...57 RIWAYAT HIDUP...83

(10)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2. 1 Sistem Kelistrikan Islanded Microgrid...7

Gambar 2. 2 Sistem Kelistrikan Grid-Connected Microgrid...8

Gambar 2. 3 Sistem Kelistrikan Microgrid...9

Gambar 2.4 Kurva Karakteristik Turbin Angin ReDriven 20 kW...10

Gambar 2. 5 Kurva Fungsi Biaya Baterai...12

Gambar 2. 6 Kurva Fungsi Biaya Sel Bahan Bakar...14

Gambar 2. 7 Kurva Fungsi Biaya Turbin Mikro...15

Gambar 2. 8 Kurva Fungsi Biaya Generator Diesel...16

Gambar 2. 9 Grafik Fungsi Biaya Pembangkit Keseluruhan...18

Gambar 3. 1 Diagram Alir APSO...28

Gambar 3.2 Diagram Alir Algoritma Economic Dispatch Islanded Microgrid...30

Gambar 4. 1 Grafik Konvergensi Studi Kasus 2 Pada Beban 125 kW....37

Gambar 4. 2 Grafik Konvergensi Studi Kasus 2 Pada Beban 138 kW....38

Gambar 4. 3 Grafik Konvergensi Studi Kasus 2 Pada Beban 148 kW....39

Gambar 4. 4 Grafik Konvergensi Studi Kasus 2 Pada Beban 158 kW....40

Gambar 4. 5 Grafik Konvergensi APSO saat Beban 125 kW (Percobaan ke -5)...50

Gambar 4. 6 Grafik Konvergensi APSO saat Beban 125 kW (Percobaan ke-5)...51

(11)

x

(12)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2. 1 Data Koefisien Harga Pembangkit...17

Tabel 4. 1 Profil Pembangkit...31

Tabel 4. 2 Data Masukan Studi Kasus 1...33

Tabel 4. 3 Hasil Simulasi Studi Kasus 1...33

Tabel 4. 4 Data Masukan Studi Kasus 2...35

Tabel 4. 5 Hasil Simulasi Daya Terbangkitkan Studi Kasus 2...35

Tabel 4. 6 Hasil Simulasi Biaya Operasi Studi Kasus 2...36

Tabel 4. 7 Data Masukan Studi Kasus 3...41

Tabel 4. 8 Hasil Simulasi Daya Terbangkitkan Studi Kasus 3...41

Tabel 4. 9 Hasil Simulasi Biaya Operasi Studi Kasus 3...42

Tabel 4. 10 Perbandingan Biaya Operasi Beban 77 kW...42

Tabel 4. 11 Perbandingan Biaya Operasi Beban 125 kW...43

Tabel 4. 12 Perbandingan Biaya Operasi Beban 138 kW...43

Tabel 4. 13 Perbandingan Biaya Operasi Beban 148 kW...44

Tabel 4. 14 Perbandingan Biaya Operasi Beban 158 kW...44

Tabel 4. 15 Data Masukan Studi Kasus 4...45

Tabel 4. 16 Hasil Simulasi Daya Terbangkitkan dan Waktu yang Dibutuhkan Studi Kasus 4 APSO...45

Tabel 4. 17 Hasil Simulasi Biaya Operasi Studi Kasus 4 APSO...46

Tabel 4. 18 Hasil Simulasi Daya Terbangkitkan dan Waktu yang Dibutuhkan Studi Kasus 4 Quadratic Programming...46

Tabel 4. 19 Hasil Simulasi Biaya Operasi Studi Kasus 4 Quadratic Programming...46

Tabel 4. 20 Hasil Simulasi PSO...48

Tabel 4. 21 Hasil Simulasi APSO...49

(13)

84

(14)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tenaga listrik dapat dikatakan telah menjadi kebutuhan primer bagi kehidupan manusia saat ini. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur, permintaan terhadap daya listrik terus bertambah [1]. Kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi juga memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan kebutuhan tenaga listrik. Namun peningkatan kebutuhan tenaga listrik ini tidak dapat secara langsung diatasi dengan menambah pasokan daya dari pembangkit tanpa memperhatikan biaya dan kemampuan dari masing-masing pembangkit yang digunakan.

Perubahan terhadap Electric Power System (EPS) pun telah mengalami perubahan yang signifikan baik dalam struktur operasional dan organisasi. Perubahan ini dikombinasikan dengan kecenderungan untuk produksi yang efisien dan memberikan dampak lingkungan yang semakin baik, mengarahkan kita untuk mencari sumber energi alternatif baru untuk pembangkit listrik. Sehingga pembangkit dengan sumber energi baru-terbarukan dan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi menjadi faktor penentu perkembangan industri saat ini.

Salah satu efek dengan adanya perubahan terhadap EPS adalah adanya pembangkit tersebar (distributed generation). Hal ini menciptakan konsep baru terkait dengan peningkatan penggunaan sumber energi baru-terbarukan, memperkenalkan ide microgrid [2]. Microgrid

didefinisikan sebagai bagian dari sistem distribusi dan struktur dasarnya terdiri dari sumber energi yang terdistribusi, perangkat penyimpanan dan beban yang berubah-ubah. Sistem ini dapat dioperasikan dengan terhubung ke jala-jala atau dengan metode terisolasi (island-ing mode)

[3]. Konsep microgrid ini ini dapat dilihat sebagai bagian dari smart grid

jika menambahkan smart meter, akusisi data dan sistem komunikasi antara komponen dasar [2].

Dengan adanya konsep microgrid dan usaha peningkatan nilai ekonomis dalam pemenuhan kebutuhan beban sistem ini, maka dibutuhkan suatu konsep economic dispatch. Economic Dispatch (ED) merupakan instrumen yang sangat penting dalam kontrol dan operasi sistem tenaga [4]. Economic Dispatch (ED) mempunyai fungsi utama untuk mengatur pembagian beban ke setiap pembangkit untuk dapat

(15)

2

memenuhi kebutuhan beban dengan biaya pembangkitan yang paling optimal [5]. Beberapa pembangkit energi listrik yang dimodelkan pada penelitian ini adalah pembangkit sel surya, turbin angin, sel bahan bakar (fuel cell), turbin mikro dan generator diesel serta juga media penyimpanan energi (energy storage). Pembangkit sel surya dan turbin angin merupakan pembangkit dengan sumber energi baru-terbarukan sehingga kebutuhan akan bahan bakar hanya diperlukan untuk pengoperasian pembangkit sel bahan bakar (fuel cell), turbin mikro dan generator diesel [6]. Untuk memenuhi permintaan beban, energi listrik dapat dihasilkan secara langsung oleh keenam sumber energi tersebut. Masing-masing pembangkit dan sumber energi dalam sistem microgrid

dimodelkan secara terpisah sesuai dengan karakteristik dan batasannya. Berbagai metode untuk memecahkan masalah Economic Dispatch

(ED) telah menjadi topik penelitian sejak lama. Metode efisien berdasarkan tiga langkah untuk economic dispatch microgrids yang optimal, mempertimbangkan kendala unit commitment menjadi fungsi objektif merupakan salah satu penelitian yang telah dilakukan [7]. Selain itu algoritma berbasis iterasi untuk memecahkan economic dispatch microgrid tanpa mempertimbangkan losses dan kemudian dibandingkan dengan metode CPLEX juga telah dilakukan [8]. Namun dalam penelitian tersebut belum dipertimbangkan adanya sumber energi baru-terbarukan dan media penyimpanan energi. Dalam penelitian ini diusulkan solusi untuk Economic Dispatch (ED) dalam sistem kelistrikan microgrid

dengan sumber energi baru-terbarukan, pembangkit berbahan bakar dan media penyimpanan energi (baterai) dengan menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Artifical intelligence yang digunakan sebagai metode dalam penelitian ini adalah Adaptive Particle Swarm Optimization (APSO).

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana memodelkan pembangkit renewable energy dan cost function dari pembangkit berbahan bakar pada sistem kelistrikan

microgrid?

2. Bagaimana metode adaptive particle swarm optimization dapat diterapkan dalam permasalahan economic dispatch?

3. Bagaimana menentukan pembebanan yang optimal pada setiap unit pembangkit dan kapasitas charge-discharge energy storage

(16)

3

yang optimal sehingga kebutuhan beban dapat terpenuhi dengan biaya yang paling minimum?

1.3 Batasan Masalah

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah dan tidak menyimpang, maka masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi oleh beberapa hal sebagai berikut:

1. Ketersediaan bahan bakar tidak terbatas. 2. Rugi-rugi pada jaringan diabaikan. 3. Sistem dalam keadaan stabil.

4. Keandalan sistem pembangkitan dan transmisi dianggap seratus persen.

5. Perhitungan unit commitment tidak disertakan.

6. Model sistem microgrid yang digunakan berdasarkan referensi dari buku dan jurnal.

7. Simulasi dilakukan dengan menggunakan software matlab. 8. Kurs mata uang yang digunakan adalah per 24 April 2016.

1.4 Tujuan

Penelitian ini ditujukan untuk:

1. Mendapatkan pemodelan pembangkit renewable energy dan

cost function dari pembangkit berbahan bakar pada sistem kelistrikan microgrid.

2. Dapat menerapkan metode adaptive particle swarm optimization

dalam permasalahan economic dispatch.

3. Mendapatkan pembebanan yang optimal pada setiap unit pembangkit dan kapasitas charge-discharge baterai yang optimal sehingga kebutuhan beban dapat terpenuhi dengan biaya yang paling minimal.

1.5 Metodologi

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Studi literatur

Studi literatur yang digunakan dalam pengerjaan penelitian ini adalah mengumpulkan buku-buku dan referensi-referensi mengenai economic dispatch, sistem kelistrikan microgrid, penggunaan baterai (energy storage) dan Adaptive Particle Swarm Optimization (APSO). Fungsi dari studi literatur ini

(17)

4

adalah sebagai alat bantu dalam penelitian ini serta mendukung analisis-analisis dalam penelitian ini secara teoritis.

2. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dapat diperoleh dari data sheet

ataupun dari penelitian-penelitian sebelumnya meliputi: 1. Data parameter pembangkit.

2. Record beban.

3. Fungsi biaya tiap pembangkit pada sistem microgrid.

4. Kurs mata uang. 3. Pemodelan Sistem

Melakukan pemodelan terhadap sistem microgrid sehingga dapat diketahui fungsi biaya dari masing-masing pembangkit. 4. Simulasi dan Analisis

Data yang telah direkam kemudian diolah dengan menggunakan software MATLAB. Pengolahan data dalam pengerjaan penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana karakteristik algoritma adaptive particle swarm optimization

dalam optimisasi. Data-data yang diolah pada software adalah: 1. Biaya pembangkitan tiap pembangkit pada sistem

kelistrikan microgrid.

2. Daya pembangkitan tiap pembangkit pada sistem kelistrikan

microgrid.

3. Kapasitas baterai pada sistem kelistrikan microgrid. Dari data diatas dapat diperoleh biaya total sistem. 5. Penyusunan Laporan

Setelah mendapatkan data yang sudah diolah dan sudah melewati semua tahapan yang ada, maka dilakukan penyusunan buku. Penulisan buku merupakan hasil dari kesimpulan penelitian ini. Kesimpulan tersebut merupakan jawaban dari permasalahan yang dianalisis yakni economic dispatch microgrid dengan energy storage yang sesuai dengan jumlah beban sistem yang diminta.

1.6 Sistematika Penulisan

Laporan penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: BAB 1 PENDAHULUAN.

Penjelasan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian dan kontribusi penelitian.

(18)

5

BAB 2 ECONOMIC DISPATCH UNTUK SISTEM KELISTRIKAN MICROGRID DENGAN ENERGY STORAGE

Penjelasan mengenai economic dispatch dan sistem kelistrikan microgrid, adaptive particle swarm optimization.

BAB 3 PENERAPAN ADAPTIVE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION UNTUK ECONOMIC DISPATCH

PADA SISTEM KELISTRIKAN MICROGRID.

Penjelasan mengenai penerapan adaptive particle swarm optimization untuk permasalahan economic dispatch pada sistem kelistrikan microgrid.

BAB 4 SIMULASI DAN ANALISIS.

Menganalisis hasil optimasi permasalahan economic dispatch pada sistem kelistrikan microgrid dengan metode APSO.

BAB 5 PENUTUP.

Berisi kesimpulan dan saran.

1.7 Relevansi

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Dapat menjadi acuan untuk menentukan daya listrik yang dibangkitkan oleh pembangkit-pembangkit tersebar dengan biaya yang paling optimal.

2. Dapat menjadi referensi bagi mahasiswa lain yang hendak mengambil masalah yang serupa untuk penelitian.

3. Dapat menjadi referensi penelitian untuk mengembangkan metode optimasi yang lebih handal.

(19)

6

(20)

7

BAB 2

ECONOMIC DISPATCH

UNTUK SISTEM

KELISTRIKAN

MICROGRID

DENGAN

ENERGY

STORAGE

2.1 Sistem Kelistrikan Microgrid

Beberapa pembangkit digunakan dalam sistem kelistrikan microgrid

diantaranya pembangkit berbahan bakar seperti pembangkit sel bahan bakar, pembangkit turbin mikro, pembangkit generator diesel serta pembangkit dengan sumber energi baru-terbarukan seperti pembangkit sel surya, pembangkit turbin angin dan juga media penyimpanan energi. Dengan menggunakan pembangkit tersebar berskala kecil, daya listrik dibangkitkan dekat dengan beban untuk meningkatkan keandalan dan mengurangi rugi-rugi jaringan. Terdapat dua mode operasi dalam sistem kelistrikan microgrid yaitu islanded dan grid-conected.

2.1.1 Islanded

Islanded adalah mode operasi dimana sistem kelistrikan tidak terhubung dengan jala-jala (main grid PLN) seperti yang ada pada gambar 2.1. Pembangkit yang ada beroperasi secara mandiri dalam memenuhi kebutuhan sistem, sehingga pembangkit dalam sistem harus mampu menopang seluruh beban yang ada dalam sistem dan mengharuskan generator bekerja secara continuous dan stabil. Mode operasi ini menekankan pada stabilitas sistem terutama frekuensi dan tegangan.

(21)

8

2.12. Grid – Connected

Berbeda dengan mode operasi islanded, mode operasi grid-connected merupakan mode operasi dimana sistem terhubung dengan jala-jala (main grid PLN) seperti yang ada pada gambar 2.2. Pembangkit yang ada beroperasi bersama dengan PLN dalam memenuhi kebutuhan sistem. Mode operasi ini menenkankan pada minimisasi harga impor daya dari PCC (Point of Common Coupling), meningkatkan power factor di PCC dan optimasi profil tegangan sistem.

Gambar 2. 2 Sistem Kelistrikan Grid-Connected Microgrid

Pada penelitian ini, tipe mode operasi sistem kelistrikan microgrid

yang digunakan adalah islanded. Dengan tipe operasi ini pembangkit yang ada beroperasi secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan sistem yang ada. Beberapa sumber energi listrik yang dimodelkan dalam sistem

microgrid ini yakni sel surya, turbin angin, sel bahan bakar (fuel cell), turbin mikro dan generator diesel. Pemodelan sistem kelistrikan

microgrid ini mendekati kondisi nyata sistem kelistrikan di pulau-pulau terpencil dimana tidak mendapatkan suplai daya dari jala-jala PLN.

Sistem kelistrikan microgrid yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang ditampilkan pada gambar 2.3 dimana kebutuhan daya sistem disuplai oleh pembangkit energi baru-terbarukan yakni pembangkit sel surya dengan kapasitas rating 25 kW, pembangkit turbin angin dengan kapasitas rating 20 kW dan pembangkit berbahan bakar (konvensional

thermal) yakni pembangkit sel bahan bakar 25 kW, turbin mikro 75 kW, generator diesel 50 kW dan baterai dengan kapasitas maksimal charge-discharge 30 kW.

(22)

9

Gambar 2. 3 Sistem Kelistrikan Microgrid 2.1.3 Sel Surya

Pembangkit sel surya merupakan instrumen yang memanfaatkan cahaya matahari untuk menghasilkan energi listrik. Karakteristik dari sel surya saat dioperasikan dapat berbeda dengan kondisi saat standar tes (radiasi matahari 1000 W/m2, suhu sel 25oC). Maka pengaruh kondisi radiasi dan suhu aktual pada karakteristik sel surya dimodelkan. Pengaruh intensitas matahari dimodelkan dengan mempertimbangkan ouput daya dari modul sel surya yang akan sebanding dengan radiasi matahari aktualnya. Daya keluaran dari modul sel surya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

𝑃𝑝𝑣 = 𝑀(𝑃𝑠𝑡𝑐 𝐺𝑎𝑐𝑡

𝐺𝑠𝑡𝑐(1 + 𝑘(𝑇𝑐 − 𝑇𝑟))) (2.1)

Keterangan:

Ppv = Daya keluaran dari modul sel surya saat radiasi Gact (W). Pstc = Daya modul sel surya saat Standard Test Condition (STC) (W). Gact = Radiasi aktual (W/m2).

Gstc = Radiasi saat Standard Test Condition (STC) (1000W/m2). M = Jumlah modul sel surya.

k = Koefisien suhu untuk daya modul (%/C). Tc = Suhu sel (oC).

(23)

10

Modul sel surya yang digunakan pada penelitian ini adalah SOLAREX MSX-83 sebanyak 302 modul, dimana modul sel surya ini memiliki karakteristik [6]:

Daya maksimum saat STC (Pstc) = 83 Tegangan saat daya maksimum = 17.1 V Arus saat daya maksimum = 4.85 A Arus short circuit saat STC = 5.27 A Tegangan open circuit saat STC = 21.2 V Koefisien suhu untuk daya (k) = -0.5 2.1.4 Turbin Angin

Pembangkit turbin angin merupakan instrumen yang mengubah tenaga angin menjadi energi listrik. Terdapat 2 hal penting yang perlu diperhitungkan ketika mendesain turbin angin yaitu ketersediaan angin dan kurva karakteristik daya yang dimiliki oleh turbin angin tersebut. Keluaran daya listrik dari turbin angin merupakan fungsi dari kecepatan angin. Untuk memodelkan performansi dari turbin angin diperlukan kurva karakteristik daya dari turbin angin tersebut.

Pada penelitian ini digunakan turbin angin ReDriven 20 kW sebanyak 2 unit. Kurva karakteristik daya dari turbin angin ini adalah sebagai berikut [15]:

(24)

11

Berdasarkan model karakteristik kurva daya tersebut, maka dapat diperoleh persamaan sebagai berikut:

Pwt = 0 , Vact < Vci

𝑃𝑤𝑡 = 𝑎. 𝑉𝑎𝑐𝑡3+ 𝑏. 𝑉𝑎𝑐𝑡2+ 𝑐. 𝑉𝑎𝑐𝑡 + 𝑑 𝑉𝑐𝑖 ≤ 𝑉𝑎𝑐𝑡 ≤ 𝑉𝑟

Pwt = 22, Vr < Vact < Vco (2.2)

Pwt = 0 Vact > Vco

Pwt = Pwt x J

Berdasarkan hasil plottingpolyfit dan polyval dari kurva karakteristik maka didapatkan parameter-parameter sebagai berikut:

a = -0.0196. b = 0.5874. c = -2.6814. d = 4.0076. Pwt,r = 20 kW. Vr = 11 m/s. Vci = 2 m/s. Vco = 18 m/s. Keterangan:

Pwt = Daya keluaran dari turbin angin (kW). Pwt,r = Rating daya WT (kW).

J = Jumlah turbin angin yang terpasang (unit). Vci = Kecepatan cut-in (m/s).

Vco = Kecepatan cut-out(m/s). Vr = Rating kecepatan angin (m/s). Vact = Kecepatan angin aktual (m/s). 2.1.5 Baterai (Energy Storage)

Pada penelitian ini digunakan baterai sebagai media penyimpanan energi untuk menjaga power balance di sistem kelistrikan microgrid. Baterai disini digunakan sebagai salah satu sumber penghasil daya pada sistem dan juga sebagai media penyimpanan daya apabila daya yang dihasilkan pembangkit energi baru-terbarukan melebihi kebutuhan daya sistem. Baterai yang digunakan memiliki koefisien biaya 0.0043$/kWh [12]. Dengan menggunakan kurs dollar-euro per tanggal 24 April 2016 dimana 1$ sama dengan 0.89098766 €, maka didapatkan koefisien biaya

(25)

12

baterai adalah 0.003831 €/kWh. Kapasitas maksimal yang dapat disimpan oleh baterai adalah 300 kWh dengan SOC minimum baterai 60 kWh. Baterai ini juga memiliki kapasitas maksimal daya yang dapat di charge-discharge sebesar 30 kW [12]. Adapun kurva fungsi biaya dari baterai ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2. 5 Kurva Fungsi Biaya Baterai

Baterai yang digunakan pada simulasi ini beroperasi pada kemampuan daya maksimal charge-discharge-nya yakni 30 kW tanpa mempertimbangkan berapa daya yang sudah tersimpan atau terpakai sebelumnya pada baterai.

Ketika kondisi beban microgrid lebih kecil dari total pembangkitan oleh pembangkit energi baru-terbarukan maka daya yang disimpan ke dalam baterai dapat dimodelkan sebagai berikut:

Prenew = Ppv + Pwt (2.3)

Pbatt = Prenew – Beban (2.4) Keterangan:

Ppv = Daya terbangkitkan oleh pembangkit sel surya (kW). Pwt = Daya terbangkitkan oleh pembangkit turbin angin (kW). Prenew = Total daya terbangkitkan oleh pembangkit energi

(26)

13

Beban = Total kebutuhan daya sistem (kW). Pbatt = Daya yang disimpan dalam baterai (kW).

Sedangkan ketika kondisi beban microgrid lebih besar dari total pembangkitan oleh pembangkit energi baru-terbarukan maka daya dari baterai akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan beban sistem dan dapat dimodelkan sebagai berikut:

Prenew = Ppv + Pwt (2.5)

Pbatt = Load – Prenew (2.6) Keterangan:

Ppv = Daya terbangkitkan oleh pembangkit sel surya (kW). Pwt = Daya terbangkitkan oleh pembangkit turbin angin (kW). Prenew = Total daya terbangkitkan oleh pembangkit energi

baru-terbarukan (kW).

Beban = Total kebutuhan daya sistem (kW). Pbatt = Daya yang digunakan dari baterai (kW). 2.1.6 Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)

Sel bahan bakar merupakan salah satu instrumen pembangkit yang memiliki emisi yang rendah dan efisiensi yang tinggi. Fuel cell

membangkitkan daya melalui reaksi elektrokimia antara hidrogen dan oksigen. Proses reaksi ini sangat efisien dan hanya meninggalkan air dan panas sebagai produk sisanya. Biaya operasi dari sel bahan bakar ini dapat dimodelkan dengan polinomial kuadrat. Biaya operasi untuk sel bahan bakar adalah sebagai berikut:

𝐹(𝑃𝑓𝑐) = a + b. Pfc + c. 𝑃𝑓𝑐2 (2.7)

Keterangan:

F(Pfc) = Total biaya operasi sel bahan bakar (€/h). a, b, c = Koefisien biaya sel bahan bakar.

Pfc = Keluaran daya dari sel bahan bakar (kW).

Pada penelitian ini digunakan sel bahan bakar dengan daya output

maksimal 25 kW dengan koefisien bahan bakar [13]:

a = 12 b = 45

(27)

14

c = 0.01

Adapun kurva fungsi biaya dari sel bahan bakar ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2. 6 Kurva Fungsi Biaya Sel Bahan Bakar 2.1.7 Turbin Mikro

Turbin mikro merupakan instrumen yang merubah energi mekanik menjadi energi listrik, generator turbin gas kecepatan tinggi bertenaga mulai 25–500 kW. Frekuesinya berada pada rentang 1.4–4 kHz. Dengan menggunakan konverter, frekuensi ini dapat dirubah menjadi 50/60 Hz. Biaya operasi dari turbin mikro ini dapat dimodelkan dengan polinomial kuadrat. Biaya operasi untuk turbin mikro sebagai berikut:

𝐹(𝑃𝑡𝑚) = a + b. Ptm + c. 𝑃𝑡𝑚2 (2.8)

Keterangan:

F(Ptm) = Total biaya operasi turbin mikro (€/h). a, b, c = Koefisien biaya turbin mikro.

Ptm = Keluaran daya dari turbin mikro (kW).

Pada penelitian digunakan turbin mikro dengan daya output

(28)

15

a = 12

b = 48 c = 0.01

Adapun kurva fungsi biaya dari turbin mikro ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2. 7 Kurva Fungsi Biaya Turbin Mikro 2.1.8 Generator Diesel

Generator diesel banyak digunakan di berbagai sektor ekonomi dengan skala yang luas mulai dari 1 kW hingga puluhan kW. Generator diesel banyak digunakan karena memiliki efisiensi dan keandalan yang tinggi. Biaya operasi dari generator diesel ini dapat dimodelkan dengan polinomial kuadrat. Biaya operasi untuk generator diesel sebagai berikut: 𝐹(𝑃𝑑𝑔) = a + b. Pdg + c. 𝑃𝑑𝑔2 (2.9)

Keterangan:

F(Pdg) = Total biaya operasi generator diesel (€/h). a, b, c = Koefisien biaya generator diesel.

(29)

16

Pada penelitian ini digunakan generator diesel dengan daya output

maksimal 50 kW dan memiliki koefisien bahan bakar [13]: a = 10

b = 40 c = 0.01

Adapun kurva fungsi biaya dari generator diesel ini sebagai berikut:

Gambar 2. 8 Kurva Fungsi Biaya Generator Diesel

2.2

Economic Dispatch

Economic dispatch merupakan suatu teknik yang digunakan untuk membagi daya yang dibangkitkan oleh setiap pembangkit pada kondisi beban tertentu. Pembagian daya yang dibangkitkan oleh pembangkit bertujuan untuk mendapatkan biaya pembangkitkan yang paling ekonomis. Economic dispatch tidak memperhatikan batas ramp rate

sehingga tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan beban dalam rentang waktu tertentu. Karakteristik tiap pembangkit berbeda-beda sehingga berpengaruh pada fungsi kebutuhan dan biaya bahan bakarnya. Perbedaan karakteristik itu dipengaruhi oleh jenis bahan bakar dan efisiensi dari pembangkit. Fungsi total biaya dari setiap generator unit-i dimodelkan dengan persamaaan polinomial kuadrat yang dirumuskan sebagai berikut:

(30)

17

𝐶𝐹(𝑃) = ∑𝑖𝑛=1𝐶𝑖 𝑥 𝐹𝑖(𝑃𝑖) (2.10) 𝐹𝑖(𝑃𝑖) = (𝑎𝑖+ 𝑏𝑖. Pi + 𝑐𝑖. 𝑃𝑖2) (2.11)

Keterangan:

Fi = Biaya pembangkitan pada pembangkit unit-i. Pi = Daya output dari pembangkit unit-i.

Ci = Biaya bahan bakar pada pembangkit unit-i. ai,bi,ci = Koefisien biaya dari generator ke-i.

Sistem microgrid yang digunakan pada penelitian ini menggunakan dua jenis pembangkit energi baru-terbarukan dan tiga jenis pembangkit berbahan bakar serta satu jenis energy storage. Pembangkit berbahan bakar tersebut adalah sel bahan bakar (fuel cell), turbin mikro dan generator diesel, dimana tiap pembangkit berbahan bakar tersebut membutuhkan bahan bakar untuk beroperasi. Selain ketiga pembangkit berbahan bakar tersebut, baterai sebagai media penyimpanan energi juga memerlukan biaya dalam pengoperasiannya. Biaya operasi dari baterai ini didapatkan berdasarkan biaya saat investasi pembelian dan perawatan. Sehingga didapatkan fungsi biaya total operasi dari keseluruhan pembangkit tersebut adalah:

CF(P) = CF(Pbatt) + CF(PFC) + CF(PMT) + CF(PDG). (2.12) Keterangan:

CF(Pbatt) = Total biaya operasi baterai (€/h).

CF(PFC) = Total biaya operasi pembangkit sel bahan bakar (€/h). CF(PMT) = Total biaya operasi pembangkit turbin mikro (€/h). CF(PDG) = Total biaya operasi pembangkit generator diesel (€/h). CF(P) = Total biaya operasi keseluruhan pembangkit (€/h).

Berdasarkan penjelasan pada sub-bab sebelumnya, maka parameter fungsi biaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Tabel 2. 1 Data Koefisien Harga Pembangkit Koefisien Sel Bahan

Bakar Turbin Mikro Generator Diesel Baterai

a 0.01 0.01 0.01

(31)

18

Tabel 2. 1 Data Koefisien Harga Pembangkit lanjutan Koefisien Sel Bahan

Bakar Turbin Mikro Generator Diesel Baterai

c 12 12 10

Berdasarkan data pada tabel 2.1 maka dapat diplot grafik untuk melihat bagaimana perbandingan biaya operasi dari keseluruhan pembangkit yang digunakan pada penelitian ini secara grafis. Adapun hasil dari plot grafik tersebut adalah:

Gambar 2. 9 Grafik Fungsi Biaya Pembangkit Keseluruhan 2.2.1 Constraints

Terdapat beberapa constraint yang perlu dipertimbangkan dalam operasi economic dispatch yakni:

1. Keseimbangan daya (equalilty cosntraint).

𝑛𝑖=1Pi = PL (2.13)
(32)

19

2. Kapasitas pembangkit (inequality constraint).

𝑃𝑖𝑚𝑖𝑛 ≤ 𝑃𝑖 ≤ 𝑃𝑖𝑚𝑎𝑥 (2.14)

Dimana Pimin adalah daya minimum yang dapat dibangkitkan oleh pembangkit unit-i dan Pimax adalah daya maksimum yang dapat dibangkitkan dari pembangkit unit-i. Kedua constraint ini ada sebagai batasan dan syarat untuk sistem ini beroperasi.

2.2.1.1 Equality Constraint

Equality constraint merupakan batasan yang merepresentasikan keseimbangan daya dalam sistem. Karena terdapat dua jenis pembangkit energi baru-terbarukan dan satu energy storage, maka beban daya sistem yang akan dioptimasi oleh economic dispatch ini adalah total beban sistem dikurangi daya yang dihasilkan oleh pembangkit energi baru-terbarukan. Fungsi persamaannya dapat dinyatakan sebagai berikut:

Popt = Beban – Prenew. (2.15)

Keterangan:

Popt = Daya yang dioptimasi oleh pembangkit berbahan bakar dan baterai.

Beban = Besarnya permintaan daya pada sistem.

Prenew = Daya total yang dapat disuplai oleh pembangkit energi baru-terbarukan.

2.2.1.2 Inequality Constraint

Inequality constraint merupakan batasan yang merepresentasikan kapasitas daya dari pembangkit. Terdapat tiga jenis pembangkit berbahan bakar dalam sistem kelistrikan microgrid yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sel bahan bakar (fuel cell), turbin mikro dan generator diesel. Pembangkit berbahan bakar tersebut mempunyai kapasitas daya maksimum dan minimum yang berbeda-beda. Fungsi pertidaksamaannya adalah sebagai berikut:

𝑃𝐹𝐶𝑚𝑖𝑛 ≤ 𝑃𝐹𝐶 ≤ 𝑃𝐹𝐶𝑚𝑎𝑥 (2.16) 𝑃𝑀𝑇 𝑚𝑖𝑛 ≤ 𝑃𝑀𝑇 ≤ 𝑃𝑀𝑇𝑚𝑎𝑥 (2.17) 𝑃𝐷𝐺𝑚𝑖𝑛 ≤ 𝑃𝐷𝐺 ≤ 𝑃𝐷𝐺𝑚𝑎𝑥 (2.18) 𝑃𝑏𝑎𝑡𝑡𝑐ℎ𝑎𝑟𝑔𝑒𝑚𝑖𝑛 ≤ 𝑃𝑏𝑎𝑡𝑡 ≤ 𝑃𝑏𝑎𝑡𝑡𝑐ℎ𝑎𝑟𝑔𝑒𝑚𝑎𝑥 (2.19)

(33)

20

Keterangan:

PFC min = Pembangkitan daya minimum dari pembangkit sel bahan bakar.

PFC max = Pembangkitan daya maksimum dari pembangkit sel bahan bakar.

PMT min = Pembangkitan daya minimum dari pembangkit turbin mikro.

PMT max = Pembangkitan daya maksimum dari pembangkit turbin mikro.

PDG min = Pembangkitan daya minimum dari pembangkit generator diesel.

PDG max = Pembangkitan daya maksimum dari pembangkit generator diesel.

Pbattchargemin = Pembangkitan daya maksimum dari baterai. Pbattchargemax = Pembangkitan daya minimum dari baterai. PFC min = 5 kW. PFC max = 75 kW. PMT min = 5 kW. PMT max = 25 kW. PDG min = 5 kW PDG max = 50 kW. Pbattchargemin = 0 kW. Pbattchargemax = 30 kW.

(34)

21

BAB 3

PENERAPAN ADAPTIVE

PARTICLE SWARM

OPTIMIZATION

UNTUK

ECONOMIC DISPATCH

PADA SISTEM KELISTRIKAN

MICROGRID

3.1

Particle Swarm Optimization

(PSO)

3.1.1 Pengertian PSO

Algoritma Particle Swarm Optimization (PSO) merupakan salah satu algoritma dalam bidang kecerdasan buatan (artificial intelligence). PSO termasuk ke dalam kategori swarm intelligence yang merupakan algoritma yang terinspirasi oleh perilaku sosial kolektif koloni serangga atau koloni binatang.

Particle Swarm Optimization (PSO) merupakan algoritma optimasi berbasis kecerdasan buatan yang terinspirasi oleh kecerdasan koloni burung dan ikan. Pergerakan burung yang direpresentasikan sebagai pergerakan partikel ditentukan oleh nilai posisi sebelumnya dan nilai kecepatan saat ini. Nilai posisi dari partikel ini yang kemudian merepresentasikan solusi yang mungkin pada kasus optimasi, sedangkan nilai kecepatan digunakan untuk update posisi partikel.

Algoritma PSO ini pertama kali diperkenalkan oleh J. Kennedy [9] pada tahun 1995. Algoritma PSO dimulai dengan inisialisasi partikel solusi secara acak. Nilai dari fungsi objektif partikel-partikel tersebut akan mendeskripsikan kualitas dari posisi partikel atau sebagai alternatif solusi. Algoritma PSO akan beriterasi memperbaharui nilai posisi partikel sebagai fungsi dari perubahan kecepatan partikel sampai iterasi maksimal terpenuhi. Output dari hasil iterasi algoritma PSO ini didapatkan hasil nilai optimasi. Persamaan update rule yang digunakan oleh algoritma ini: Vit = Vit-1 + C1.rand.(Pbestit – Xit-1) + C2.rand.(Gbestit-Xit-1). (3.1) Xit = Xit-1 + Vit. (3.2) Keterangan:

Vit = Kecepatan partikel saat ini.

Vit-1 = Kecepatan partikel pada iterasi sebelumnya. Xit = Posisi partikel saat ini.

Xit-1 = Posisi partikel pada iterasi sebelumnya. Pbestit = Posisi terbaik partikel.

(35)

22

Gbestit = Posisi terbaik dari seluruh partikel. C1 = Konstanta cognitive.

C2 = Konstanta social acceleration.

rand = Nilai random yang terdistribusi dari 0-1.

Pada tahun yang sama, R. Eberhart memperkenalkan algoritma lokal PSO. Prinsip dari teori lokal PSO adalah bahwa suatu partikel mengalami percepatan yang diakibatkan oleh partikel-partikel yang menjadi tetangga partikel yang bersangkutan, bukan diakibatkan oleh Gbest (posisi terbaik dari seluruh partikel). Sehingga persamaan update rule menjadi:

Vit = Vit-1 + C1.rand.(Pbestit – Xit-1) + C2.rand.(Lbestit-Xit-1) (3.3) Xit = Xit-1 + Vit. (3.4) Keterangan:

Xit = Posisi partikel saat ini. Vit = Kecepatan partikel saat ini. Xit-1 = Posisi partikel iterasi sebelumnya. Vit-1 = Kecepatan partikel iterasi sebelumnya. Pbestit = Posisi terbaik dari partikel.

Lbestit = Posisi terbaik yang pernah dicapai oleh tetangga-tetangga dari suatu partikel.

C1 = Konstanta cognitive.

C2 = Konstanta sosial acceleration.

rand = Nilai random yang terdistribusi dari 0-1.

Perbedaan metode PSO dari J. Kennedy dan R. Eberhart adalah dengan metode J. Kennedy akan menghasilkan nilai optimasi yang konvergen dalam waktu yang sangat cepat namun dengan hasil yang kurang baik karena menggunakan Gbest sebagai dasar acuan pencarian posisi terbaiknya sedangkan metode R. Eberhart akan menghasilkan konvergensi nilai optimasi yang lebih lambat namun dengan hasil performa yang lebih baik.

3.1.2 Adaptive Particle Swarm Optimization (APSO)

Salah satu metode adaptive PSO yang dapat digunakan untuk optimasi adalah mengubah nilai inertia weight PSO setiap iterasinya [10]. Variasi ini merupakan pengembangan dari metode yang telah

(36)

23

dikembangkan oleh J. Kennedy dan R. Eberhart. Dengan demikian inertia weight setiap iterasinya menjadi:

𝑊𝑖𝑡 = 𝑊𝑚𝑎𝑥 − 𝑊𝑚𝑖𝑛 ∗(𝑖𝑡𝑚𝑎𝑥−𝑖𝑡).𝑖𝑡

𝑖𝑡𝑚𝑎𝑥 + 𝑊𝑚𝑖𝑛 (3.5)

Keterangan:

Wmax = Koefisien inertia weight maksimal. Wmin = Koefisien inertia weight minimal. it = Iterasi yang sedang berlangsung.

itmax = Nilai maksimal dari iterasi yang digunakan. Wit = Inertia weight pada iterasi saat ini.

Sehingga persamaan kecepatan partikel setiap iterasinya menjadi: Vit = Wit.Vit-1 + C1.rand.(Pbestit – Xit-1) + C2.rand.(Gbestit-Xit-1) (3.6) Keterangan:

Vit = Kecepatan partikel saat ini.

Vit-1 = Kecepatan partikel iterasi sebelumnya. Xit-1 = Posisi partikel iterasi sebelumnya. Pbestit = Posisi terbaik dari partikel. Gbestit = Posisi terbaik dari seluruh partikel. C1 = Konstanta cognitive.

C2 = Konstanta sosial acceleration.

rand = Nilai random yang terdistribusi dari 0-1.

Selain itu dengan besarnya nilai konstanta cognitive dan kecilnya nilai konstanta social di saat awal iterasi memungkinkan partikel untuk bergerak di sekitar ruang pencarian, sehingga tidak langsung bergerak menuju populasi terbaik secara prematur. Selama tahap optimasi selanjutnya semakin kecilnya nilai konstanta cognitive dan semakin besarnya nilai konstanta social memungkinkan partikel untuk menuju ke suatu titik global optimum [11]. Sehingga konstanta akselerasi berubah secara adaptive seiring dengan bertambahnya iterasi menjadi:

𝐶1=

(𝐶

1𝑓𝑖𝑛𝑎𝑙− 𝐶1𝑖𝑛𝑖𝑡𝑖𝑎𝑙

) (

𝑖𝑡𝑒𝑟 𝑖𝑡𝑒𝑟𝑚𝑎𝑥

)

+ 𝐶1
(37)

24

𝐶2=

(𝐶

2𝑓𝑖𝑛𝑎𝑙− 𝐶2𝑖𝑛𝑖𝑡𝑖𝑎𝑙

) (

𝑖𝑡𝑒𝑟 𝑖𝑡𝑒𝑟𝑚𝑎𝑥

)

+ 𝐶2 𝑖𝑛𝑖𝑡𝑖𝑎𝑙, C2final > C2initial (3.8) Keterangan: C1 = Konstanta cognitive.

C2 = Konstanta sosial acceleration.

C1final = Konstanta cognitive akhir. C1initial = Konstanta cognitive awal.

C2final = Konstanta sosial acceleration akhir. C2initial = Konstanta sosial acceleration awal. iter = Iterasi yang sedang berlangsung.

itermax = Nilai maksimal dari iterasi yang digunakan. 3.1.3 Pembatas Pergerakan Partikel

Dengan adanya keragaman posisi partikel ketika di-update setiap iterasinya maka diperlukan adanya pembatas pergerakan pada setiap partikel. Pembatas pergerakan partikel mempunyai fungsi sebagai pembatas agar posisi partikel tetap pada batasannya atau tetap pada jalurnya masing-masing. Seperti halnya pada pergerakan koloni burung atau ikan, setiap kali koloni tersebut bergerak ke sisi kiri atau kanan maka tidak akan ada anggota dalam koloni tersebut yang saling membentur sesama anggota yang lainnya dan selalu seragam. Pembatas pergerakan partikel tersebut dapat direpresentasikan sebagai berikut:

𝑋𝑚𝑖𝑛 ≤ 𝑋𝑖𝑡 ≤Xmax (3.9)

Keterangan:

Xmin = Posisi minimum partikel. Xmax = Posisi maksimum partikel.

Sehingga ketika diterapkan dalam optimasi economic dispatch, maka Xmin merepresentasikan daya output minimum pembangkit dan Xmax merepresentasikan daya output maksimum pembangkit.

3.1.4 Prosedur Standar Algoritma Particle Swarm Optimization Prosedur standar untuk menerapkan algoritma PSO adalah sebagai berikut:

1. Inisiasi partikel dan kecepatan awal, jumlah iterasi dan parameter PSO.

(38)

25

2. Evaluasi fungsi fitness setiap partikel.

3. Inisiasi posisi fitness awal sebagai penentuan posisi partikel terbaik. 4. Update posisi partikel.

5. Batasi pergerakan partikel.

6. Bandingan tiap calon Gbest dari nilai fungsi fitness agar mendapatkan nilai Gbest yang terbaik.

7. Lakukan sampai batas iterasi atau sampai mendapatkan Gbest dengan fungsi fitness yang paling optimum atau yang terbaik.

3.1.5 Simulasi Algoritma APSO untuk Menyelesaikan ED Sistem Kelistrikan Microgrid

Pada bagian ini metode Adaptive Particle Swarm Optimization

(APSO) digunakan untuk mencari kombinasi dari parameter-parameter pembangkitan yang paling optimal dengan biaya yang paling minimal. APSO merupakan salah satu teknik yang memiliki banyak kesamaan dengan Firefly Algorithm (FA). APSO mampu menyelesaikan permasalahan non-linear, non-differentiable dan multimodal objective function. APSO terdiri dari jumlah partikel yang akan dioptimasi atau berapa kali partikel tersebut optimasi.

3.1.5.1 Inisiasi Awal APSO

Pada proses inisiasi, posisi partikel pada APSO dibangkitkan secara acak diantara range batas atas dan batas bawah yang diijinkan. Posisi partikel ini merepresentasikan besarnya daya aktif yang dibangkitkan oleh setiap pembangkit serta batas atas dan batas bawah dari kasus

economic dispatch ini adalah daya maksimum (Pmax) dan daya minimum (Pmin) yang dibangkitkan oleh setiap unit pembangkit dan daya maksimum-minimum charge-discharge dari baterai (energy storage) seperti yang digambarkan pada persamaan 3.10 berikut ini:

Pi = Pi, Jika 𝑃𝑖𝑚𝑖𝑛 ≤ 𝑃𝑖 ≤ 𝑃𝑖𝑚𝑎𝑥

Pi = Pimin, Jika 𝑃𝑖 <Pimin (3.10) Pi = Pimax, Jika 𝑃𝑖 > 𝑃𝑖𝑚𝑎𝑥

Keterangan:

Pi = Daya yang dibangkitkan oleh pembangkit unit-i

Pimin = Batas daya minimum yang dapat dibangkitkan oleh pembangkit unit-i

(39)

26

Pimax = Batas daya maksimum yang dapat dibangkitkan oleh pembangkit unit-i

Dengan demikian inequality constraint akan terpenuhi namun untuk

equality constraint dapat belum terpenuhi karena dengan dibangkitkannya posisi partikel secara acak maka belum ada batasan posisi pertikel tersebut akan bernilai total sama dengan beban. Oleh karenanya digunakan metode pengurangan atau penambahan nilai posisi partikel sehingga nilai pembangkitan akan disamakan dengan beban seperti pada persamaan berikut ini:

Ptot =

𝑃𝑖 (3.11) Ptot = Beban (3.12)

Keterangan:

Pi = Daya yang dibangkitkan oleh pembangkit unit-i Ptot = Daya total yang dibangkitkan oleh semua pembangkit. Beban = Total kebutuhan beban sistem.

Dengan langkah ini maka inequality constraint dan equality constraint akan terpenuhi semua.

3.1.5.2 Perhitungan Biaya Pembangkitan

Perhitungan biaya pembangkitan didapat dengan memasukkan nilai posisi partikel yang telah dievaluasi secara inequality dan equality constraint ke dalam persamaan kuadrat polinomial dari fungsi biaya masing-masing pembangkit. Bandingan dengan nilai fitness awal yang telah didapatkan pada saat inisiasi awal posisi partikel. Apabila ada biaya pembangkitan yang lebih minimum daripada fitness awal maka dijadikan

fitness partikel terbaik sementara hingga iterasi maksimal terpenuhi. Perhitungan biaya untuk setiap partikel dapat direpresentasikan sebagai berikut:

𝐹𝑖(𝑃𝑖) = ∑𝑖𝑛=1(𝑎𝑖Pi + 𝑏𝑖Pi + ci) (3.13)

Keterangan:

i = Pembangkit unit ke-i.

ai,bi,ci = Koefisien biaya dari pembangkit unit ke-i. Pi = Posisi partikel tiap pembangkit unit ke-i.

(40)

27

n = Banyak jumlah pembangkit yang dioptimasi.

Total biaya yang paling optimum (minimal) akan dijadikan Gbest untuk persamalahan Economic Dispatch (ED) menggunakan metode APSO.

3.1.5.3 Update Posisi Partikel

Setelah dilakukan proses perhitungan Economic Dispatch (ED) untuk iterasi pertama, maka posisi partikel akan di-update dengan kecepatan partikel yang didapatkan secara random. Tujuan dari update

posisi partikel pada metode Adaptive Particle Swarm Optimization ini berfungsi untuk memberi gangguan pada partikel yang awalnya tadi tidak mungkin untuk dijadikan sebagai calon solusi menjadi mungkin untuk dijadikan sebagai calon solusi. Begitupun sebaliknya, bisa jadi calon solusi yang awalnya mungkin untuk dijadikan solusi dibuat menjadi tidak mungkin pada iterasi selanjutnya. Akan tetapi dengan dilakukan update

maka posisi terbaik yang ingin dicapai akan menjadi terpenuhi dan kondisi konvergensi akan tercapai. Proses ini terus berulang sampai batasan iterasi maksimal terpenuhi.

3.1.5.4 Hasil Akhir

Hasil akhir berupa hasil perhitungan nilai pembagian daya optimal yang dibangkitkan oleh setiap unit pembangkit pada sistem kelistrikan

microgrid, dimana dengan pembagian daya terbangkitkan untuk setiap pembangkit yang optimal tersebut dapat diperoleh biaya total operasi sistem yang paling optimal (minimum). Daya yang terbangkitkan tersebut harus dapat memenuhi equality constraint dan inequality constraint yakni daya yang terbangkitkan harus dapat memenuhi kebutuhan beban sistem dengan setiap daya yang terbangkitkan oleh setiap unit pembangkit harus berada pada rentang daya minimum sampai daya maksimum yang dapat dibangkitkannya. Berikut kurva konvergensi dari metode Adaptive Particle Swarm Optimization juga ditampilan. Hasil ini merupakan solusi dari permasalahan Economic Dispatch (ED) pada sistem kelistrikan

(41)

28

1.1.5.5 Diagram Alir APSO

Gambar 3. 1 Diagram Alir APSO

3.2 Implementasi dari Algoritma

Dalam penelitian ini, terdapat algoritma yang digunakan untuk mengoperasikan sistem kelistrikan microgrid model islanded secara optimal. Alur algoritma tersebut adalah sebagai berikut:

1. Inisiasi parameter, rating daya, biaya bahan bakar dari setiap pembangkit berbahan bakar.

(42)

29

2. Daya keluaran dari pembangkit sel surya dihitung sesuai dengan kondisi dari radiasi matahari dan temperatur suhu aktual.

3. Daya keluaran dari pembangkit turbin angin dihitung sesuai dengan kondisi dari kecepatan angin aktual.

4. Diasumsikan bahwa pembangkit sel surya dan pembangkit turbin angin tidak membutuhkan biaya saat beroperasi.

5. Jika total permintaan beban lebih kecil dari daya keluaran sel surya dan turbin angin maka kebutuhan beban hanya akan dipenuhi oleh pembangkit energi baru-terbarukan dan jika ada daya pembangkitan lebih dari pembangkit energi baru-terbarukan maka daya lebih tersebut akan disimpan di dalam baterai (energy storage).

6. Jika total permintaan beban lebih besar daya keluaran sel surya dan turbin angin namun masih dapat disuplai jika ditambah dengan daya dari baterai, maka permintaan beban akan disuplai oleh daya keluaran sel surya, turbin angin dan ditambah dengan daya dari baterai. 7. Beban netto untuk dioptimasi menggunakan economic dispatch

dihitung hanya jika daya keluaran dari pembangkit sel surya, turbin angin dan baterai lebih kecil dari permintaan beban sistem.

8. Beban netto yang dioptimasi dihitung berdasarkan beban total permintaan dikurangi dengan beban yang dapat disuplai oleh pembangkit sel surya dan turbin angin (pembangkit energi baru-terbarukan).

9. Beban netto disuplai oleh pembangkit berbahan bakar (sel bahan bakar, turbin mikro, generator diesel) dan baterai yang kemudian pembagian beban per pembangkitnya ditentukan berdasarkan

optimasi economic dispatch.

Secara detail urutan algoritma diatas dapat ditunjukkan dengan diagram alir pada gambar 3.2 berikut ini:

(43)

30

Gambar 3. 2 Diagram AlirAlgoritma Economic Dispatch Islanded Microgrid

(44)

31

BAB 4

SIMULASI DAN ANALIS

Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil simulasi economic dispatch dengan menggunakan metode adaptive particle swarm optimization. Hasil perhitungan yang diperlihatkan berupa tabel-tabel yang meliputi pembangkitan optimal, biaya optimal dengan berbagai kondisi beban. Hasil dari simulasi ini akan memperlihatkan perbandingan dari aplikasi metode terhadap beberapa studi kasus.

4.1 Data Spesifikasi CPU

Processor : Intel(R) Core(TM) i5-3210M

Speed Processing : 2.50 Ghz

Installed Memory (RAM) : 4.00 GB

System Type : 64-bit Operating System Windows 10

4.2 Validasi Program APSO dengan Menggunakan Referensi

Buku Allen J Wood

Hasil program optimasi yang telah dibuat dalam penelitian ini divalidasi terlebih dahulu dengan menggunakan contoh permasalahan

economic dispatch pada contoh 3.A referensi buku Allen J Wood Edisi 3 untuk kemudian hasil optimasi menggunakan iterasi lambda yang sudah diberikan pada referensi tersebut akan dibandingkan dengan metode kecerdasan buatan APSO yang digunakan pada penelitian ini.

Tabel 4. 1 Profil Pembangkit

No Jenis Pembangkit Daya (MW) Minimum Maksimum 1 Pembangkit batu bara 150 600 2 Pembangkit minyak 100 400 3 Pembangkit minyak 50 200

Sedangkan fungsi biaya operasi untuk setiap unit pembangkit yang digunakan pada kasus ini adalah:

F1(P1) = (561 + 7.92 P1 + 0.001562 P12) $/h F2(P2) = (310 + 7.85 P2 + 0.00194 P22) $/h F3(P3) = (78 + 7.97 P3 + 0.00482 P32) $/h

(45)

32

Ketiga pembangkit berbahan bakar ini digunakan untuk menyuplai beban 850 MW. Jika menggunakan metode iterasi lambda seperti yang ada pada referensi buku Allen J Wood didapatkan nilai daya yang dibangkitkan setiap unit pembangkit adalah:

Pembangkit batu bara = 393.2 MW Pembangkit minyak = 334.6 MW Pembangkit minyak = 122.2 MW

Nilai pembangkitkan tiap pembangkit ini jika dimasukkan ke dalam fungsi biaya masing-masing pembangkit maka didapatkan nilai biaya operasi total dari setiap pembangkit seperti berikut:

F1(393.2) = (561 + 7.92*393.2 + 0.001562*393.22) $/h = 3916. 638947 $/h F2(334.6) = (310 + 7.85*334.6 + 0.00194*334.62) $/h = 3153.80689 $/h F3(122.2) = (78 + 7.97*122.2 + 0.00482*122.22) $/h = 1123.910289 $/h

Sehingga didapatkan total biaya dari keseluruhan pembangkit adalah 8194.356126 $/h

Sedangkan jika menggunakan metode yang digunakan pada penelitian ini yakni kecerdasan buatan APSO didapatkan nilai daya yang dibangkitkan setiap unit pembangkit adalah:

Pembangkit batu bara = 393.1698 MW Pembangkit minyak = 334.6038 MW Pembangkit minyak = 122.2264 MW

Nilai pembangkitkan tiap pembangkit ini jika dimasukkan ke dalam fungsi biaya masing-masing pembangkit maka didapatkan nilai biaya operasi total dari setiap pembangkit seperti berikut:

F1(393.1698) = (561 + 7.92*393.1698 + 0.001562*393.16982) $/h = 3916.3630 $/h

F2(334.6038) = (310 + 7.85*334.6038 + 0.00194*334.60382) $/h = 3153.8412 $/h

(46)

33

F3(122.2264) = (78 + 7.97*122.2264 + 0.00482*122.22642) $/h = 1124.1519 $/h

Sehingga didapatkan total biaya dari keseluruhan pembangkit adalah 8194.3561 $/h. Penerapan kedua metode ini menunjukkan perbedaan hasil total biaya operasi dari keseluruhan pembangkit yang tidak terlalu signifikan. Berdasarkan validasi ini dapat disimpulkan bahwa metode

adaptive particle swarm optimization yang digunakan pada penelitian ini dapat diterapkan untuk permasalahan economic dispatch.

4.3 Studi Kasus 1

Pada studi kasus 1 total permintaan beban lebih kecil dari daya keluaran pembangkit sel surya dan pembangkit turbin angin sehingga akan ada daya sisa pembangkitan dari kedua pembangkit baru-terbarukan ini yang akan disimpan ke dalam baterai (energy storage). Baterai (energy storage) yang digunakan pada simulasi ini beroperasi pada kemampuan daya maksimal charge-discharge-nya yakni 30 kW tanpa mempertimbangkan berapa daya yang sudah tersimpan atau terpakai sebelumnya pada baterai (energy storage).

Tabel 4. 2 Data Masukan Studi Kasus 1

Ka-sus Beban Total (kW) Kece-patan Angin (m/s) Jumlah Turbin Angin (unit) Radiasi Matahari (W/m2) Suhu (oC) Jumlah Sel Surya (modul) 1 35 10 2 1000 30 302 2 20 10 2 1000 30 302 3 20 8 2 600 50 302 4 25 12 2 800 30 302

Berdasarkan data diatas, maka didapatkan hasil simulasi seperti berikut: Tabel 4. 3 Hasil Simulasi Studi Kasus 1

Kasus Daya Sel Surya (kW)

Daya Turbin

Angin (kW) Total Daya Renewable

(kW) Total Energi Tersimpan (kW) 1 24.44 10.56 35 22.07 2 20 0 20 37.07 3 13.16 6.84 20 13.37 4 19.55 5.45 25 38.55

(47)

34

Berdasarkan hasil simulasi tersebut dapat terlihat perbedaan daya yang dibangkitkan oleh pembangkit sel surya dan pembangkit turbin angin ketika mendapatkan nilai masukan yang bervariasi. Hal ini disebabkan karena setiap pembangkit mempunyai karakteristik yang berbeda seusai dengan fungsi pembangkitannya masing-masing seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Daya yang dibangkitkan oleh pembangkit sel surya dipengaruhi oleh kondisi radiasi matahari, suhu, dan jumlah dari pembangkit. Sedangkan daya yang dibangkitkan oleh pembangkit turbin angin dipengaruhi oleh kondisi kecepatan angin dan jumlah pembangkitnya. Berbagai variasi total beban disimulasikan untuk mengetahui berapa sisa daya terbangkit yang mampu disimpan ke dalam

energy storage. Berdasarkan kasus 1 dan kasus 2 dapat terlihat bahwa penggunaan daya dari pembangkit sel surya untuk pemenuhan kebutuhan sistem diutamakan terlebih dahulu sebelum pemanfaatan daya dari pembangkit turbin angin.

4.4 Studi Kasus 2

Pada studi kasus 2 total permintaan beban lebih besar dari total daya keluaran pembangkit sel surya dan pembangkit turbin angin sehingga dibutuhkan pembangkit berbahan bakar (pembangkit sel bahan bakar, pembangkit turbin mikro dan pembangkit generator diesel) untuk memenuhi total permintaan beban. Pada studi kasus 2 ini juga digunakan baterai (energy storage) pada sistem. Baterai (energy storage) yang digunakan pada simulasi ini beroperasi pada kemampuan daya maksimal

charge-discharge-nya yakni 30 kW tanpa mempertimbangkan berapa daya yang sudah tersimpan atau terpakai sebelumnya pada energy storage. Adaptive particle swarm optimization digunakan untuk menentukan daya pembangkitan yang optimal untuk masing-masing pembangkit berbahan bakar dan energy storage tersebut. Pada adaptive particle swarm optimization ini diterapkan jumlah iterasi sebanyak 25 kali dengan jumlah partikel sebanyak 15. Untuk mengetahui perbedaan daya yang dibangkitkan oleh pembangkit berbahan bakar dan baterai (energy storage) maka data masukan pembangkit baru-terbarukan disamakan yakni kecepatan angin diasumsikan 10 m/s, jumlah pembangkit turbin angin sebanyak 2 unit, radiasi matahari pada kondisi optimal yakni 1000 W/m2, suhu 30 oC dan jumlah pembangkit sel surya sebanyak 302 modul.

(48)

35

Tabel 4. 4 Data Masukan Studi Kasus 2

Ka-sus Beban Total (kW) Kecepatan Angin (m/s) Jumlah Turbin Angin (unit) Radiasi Matahari (W/m2) Suhu (oC) Jumlah Sel Surya (modul) 1 77 10 2 1000 30 302 2 125 10 2 1000 30 302 3 138 10 2 1000 30 302 4 148 10 2 1000 30 302 5 158 10 2 1000 30 302

Beban yang digunakan pada studi kasus ini bervariasi sehingga didapatkan pola pengoperasian dari pembangkit berbahan bakar dan baterai yang berbeda-beda yang dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini: Tabel 4. 5 Hasil Simulasi Daya Terbangkitkan Studi Kasus 2

Ka-sus

Daya Pembangkitan (kW/h) Sel

Surya Turbin Angin Bahan Sel Bakar

Turbin

Mikro Generator Diesel Baterai

1 24.44 32.63 - - - 19.93

2 24.44 16.32 5 5 27.93 30

3 24.44 32.63 5 5 40.93 30

4 24.44 32.63 5.93 5 50 30

5 24.44 32.63 15.93 5 50 30

Berdasarkan hasil simulasi tersebut, dapat terlihat perbedaan daya yang dibangkitkan oleh pembangkit berbahan bakar dan baterai dengan asumsi data masukan untuk parameter pembangkitan dari pembangkit energi baru-terbarukan besarnya sama sehingga akan menghasilkan daya yang sama dalam berbagai variasi beban. Pengoperasian baterai menjadi prioritas utama dibandingkan dengan pembangkit berbahan bakar. Setelah penggunaan baterai, pengoperasian pembangkit generator diesel mendapat prioritas pengoperasian karena memiliki biaya operasi lebih murah dibandingkan dengan pembangkit berbahan bakar yang lainnya. Sedangkan pembangkit turbin mikro mendapatkan prioritas terakhir dalam pengoperasiannya karena memiliki biaya operasi yang paling mahal.

(49)

36

Tabel 4. 6 Hasil Simulasi Biaya Operasi Studi Kasus 2

Kasus Biaya (€/h)

Sel Bahan

Bakar Turbin Mikro Generator Diesel Baterai Biaya Total Operasi 1 - - - 0.08 0.08 2 237.25 252.25 1135.01 0.11 1624.62 3 237.25 252.25 1663.96 0.11 2153.57 4 279.21 252.25 2035.00 0.11 2566.57 5 731.39 252.25 2035.00 0.11 3018.76

Pada kasus pertama, kebutuhan beban sistem adalah 77 kW, dengan pembangkit energi baru-terbarukan yang dapat menghasilkan daya sebesar 57.07 kW masih ada kekurangan daya terbangkitkan sebesar 19.93 kW. Kekurangan daya terbangkitkan ini dipenuhi oleh baterai sebesar 19.93 kW. Pembangkit berbahan bakar belum beroperasi karena kebutuhan dalam sistem sudah dapat terpenuhi dengan pembangkit energi baru-terbarukan dan baterai. Pembangkit berbahan bakar akan beroperasi jika kebutuhan beban dalam sistem tidak dapat terpenuhi oleh pembangkit energi baru-terbarukan dan baterai tersebut.

Pada kasus kedua, kebutuhan beban sistem adalah 125 kW, dengan pembangkit energi baru-terbarukan yang dapat menghasilkan daya sebesar 57.07 kW masih ada kekurangan daya terbangkitkan sebesar 67.93 kW. Kekurangan daya terbangkitkan ini dipenuhi oleh baterai sebesar 30 kW, sel bahan bakar sebesar 5 kW, turbin mikro sebesar 5 kW, generator diesel sebesar 27.93 kW. Baterai dan generator diesel memiliki prioritas pengoperasian karena biaya operasi baterai merupakan yang paling murah dan biaya operasi generator diesel merupakan yang termurah diantara pembangkit berbahan bakar yang lainnya. Pembangkit sel bahan bakar dan turbin mikro beroperasi pada kapasitas minimumnya masing-masing yaitu 5 kW. Adapun grafik konvergensi untuk beban 125 kW adalah sebagai berikut:

(50)

37

Gambar 4. 1 Grafik Konvergensi Studi Kasus 2 Pada Beban 125 kW Grafik diatas menunjukkan konvergensi dari metode adaptive particle swarm optimization pada beban 125 kW. Terdapat perubahan nilai fitness pada iterasi awal antara 0 sampai 7 dan kemudian mencapai nilai konvergennya sampai iterasi ke 25. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan 25 iterasi ini yakni sekitar 0.17 detik.

Pada kasus ketiga, kebutuhan beban sistem adalah 138 kW, dengan pembangkit energi baru-terbarukan yang dapat menghasilkan daya sebesar 57.07 kW masih ada kekurangan daya terbangkitkan sebesar 80.93 kW. Kekurangan daya terbangkitkan ini dipenuhi oleh baterai sebesar 30 kW, sel bahan bakar sebesar 5 kW, turbin mikro sebesar 5 kW, generator diesel sebesar 40.93 kW. Baterai dan generator diesel memiliki prioritas pengoperasian karena biaya operasi baterai merupakan yang paling murah dan biaya operasi generator diesel merupakan yang termurah diantara pembangkit berbahan bakar yang lainnya. Pembangkit sel bahan bakar dan turbin mikro beroperasi pada kapasitas minimumnya masing-masing yaitu 5 kW. Adapun grafik konvergensi untuk beban 138 kW adalah sebagai berikut:

(51)

38

Gambar 4. 2 Grafik Konvergensi Studi Kasus 2 Pada Beban 138 kW Grafik diatas menunjukkan konvergensi dari metode adaptive particle swarm optimization pada beban 138 kW. Terdapat perubahan nilai fitness pada iterasi awal antara 0 sampai 6 dan kemudian mencapai nilai konvergennya sampai iterasi ke 25. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan 25 iterasi ini yakni sekitar 0.18 detik.

Pada kasus keempat, kebutuhan beban sistem adalah 148 kW, dengan pembangkit energi baru-terbarukan yang dapat menghasilkan daya sebesar 57.07 kW masih ada kekurangan daya terbangkitkan sebesar 80.93 kW. Kekurangan daya terbangkitkan ini dipenuhi oleh baterai sebesar 30 kW, sel bahan bakar sebesar 5 kW, turbin mikro sebesar 5 kW, generator diesel sebesar 40.93 kW. Baterai, generator diesel dan sel bahan bakar memiliki prioritas pengoperasian karena biaya operasi baterai merupakan yang paling murah dan biaya operasi generator diesel dan sel bahan kabar lebih murah dibandingkan pembangkit turbin mikro. Adapun grafik konvergensi untuk beban 148 kW adalah sebagai berikut:

(52)

39

Gambar 4. 3 Grafik Konvergensi Studi Kasus 2 Pada Beban 148 kW Grafik diatas menunjukkan konvergensi dari metode adaptive particle swarm optimization pada beban 148 kW. Terdapat perubahan nilai fitness pada iterasi awal antara 0 sampai 8 dan kemudian mencapai nilai konvergennya sampai iterasi ke 25. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan 25 iterasi ini yakni sekitar 0.17 detik.

Pada kasus kelima, kebutuhan beban sistem adalah 158 kW, dengan pembangkit energi baru-terbarukan yang dapat menghasilkan daya sebesar 57.07 kW masih ada kekurangan daya terbangkitkan sebesar 100.93 kW. Kekurangan daya terbangkitkan ini dipenuhi oleh baterai sebesar 30 kW, sel bahan bakar sebesar 15.93 kW, turbin mikro sebesar 5 kW, generator diesel sebesar 50 kW. Baterai, generator diesel dan sel bahan bakar memiliki prioritas pengoperasian karena biaya operasi baterai merupakan yang paling murah dan biaya operasi generator diesel dan sel bahan kabar lebih murah dibandingkan pembangkit turbin mikro. Adapun grafik konvergensi untuk beban 158 kW adalah sebagai berikut:

(53)

40

Gambar 4. 4 Grafik Konvergensi Studi Kasus 2 Pada Beban 158 kW Grafik diatas menunjukkan konvergensi dari metode adaptive particle swarm optimization pada beban 158 kW. Terdapat perubahan nilai fitness pada iterasi awal antara 0 sampai 7 dan kemudian mencapai nilai konvergennya sampai iterasi ke 25. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan 25 iterasi ini yakni sekitar 0.17 detik.

4.5 Studi Kasus 3

Pada studi kasus 3 total permintaan beban lebih besar dari total daya keluaran pembangkit sel surya dan pembangkit turbin angin sehingga dibutuhkan pembangkit berbahan bakar (pembangkit sel bahan bakar, pembangkit turbin mikro dan pembangkit generator diesel) untuk memenuhi total permintaan beban. Berbeda dengan studi kasus 2 yang menggunakan baterai (energy storage) dengan kapasitas tertentu pada sistem kelistrikan microgrid, pada studi kasus 3 ini tidak digunakan baterai pada sistem. Adaptive particle swarm optimization digunakan untuk menentukan daya pembangkitan yang optimal untuk masing-masing pembangkit berbahan bakar tersebut. Pada adaptive particle swarm optimization ini diterapkan jumlah iterasi sebanyak 25 kali dengan jumlah partikel sebanyak 15. Untuk mengetahui perbedaan daya yang dibangkitkan oleh pembangkit berbahan bakar maka data masukan pembangkit baru-terbarukan disamakan yakni kecepatan angin diasumsikan 10 m/s, jumlah pembangkit turbin angin sebanyak 2 unit,

(54)

41

radiasi matahari pada kondisi optimal yakni 1000 W/m2, suhu 30 oC dan jumlah pembangkit sel surya sebanyak 302 modul.

Tabel 4. 7 Data Masukan Studi Kasus 3

Ka-sus Beban Total

Gambar

Gambar 2. 1 Sistem Kelistrikan Islanded Microgrid
Gambar 2. 2 Sistem Kelistrikan Grid-Connected Microgrid
Gambar 2. 4 Kurva Karakteristik Turbin Angin ReDriven 20 kW
Gambar 2. 5  Kurva Fungsi Biaya Baterai
+7

Referensi

Dokumen terkait

(Jalan Keselamatan). Injil Markus dan Yohanes dalam bahasa Sengoi selesai diterjemah pada tahun 1954. Injil ini kemudiannya telah diterbitkan oleh Persatuan Alkitab

Untuk mendapatkan informasi tentang semua jenis alat tradisional yang ada di Indonesia perlu dirancang suatu aplikasi dengan basis multimedia interaktif sehingga pengguna

Berdasarkan hasil dari kedua pengamatan yang dilakukan pada saat pengguna menggunakan laptop menggunakan meja belajar dan menggunakan meja existing yang berada di dalam

memiliki Competitive advantage. Sebuah lembaga pendidikan harus berusaha mencapai keunggulan memberikan layanan prima dengan superior customer service dan menghasilkan

Kekuasaan DPR dalam bidang legislasi ini semakin kuat diperteguh lagi dengan Pasal 20 ayat (5), di mana dikatakan bahwa rancangan undang-undang (RUU) yang telah mendapat

Pasal 7A ayat (1) yang menyatakan, “Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan

Tahun Cetak / Pem- belian U P B SD No.4 Banyuning KABUPATEN BULELENG KARTU INVENTARIS BARANG (KIB) E. ASET