Tergerusnya Kesultanan Ternate: dari Pusat (
Centre
) ke
Pinggiran (
Periphery
) Kekuasaan
Safrudin Amin
Antropologi Sosial, Universitas Khairun
Abstract
This article traces the change of political position of Ternate sultanate through history from an independent traditional state in pre-European colonialism
period, during its encounter with Europan colonialism from 16th centry to mid
19th century, and in the period of being part of Indonesian nation-state todays.
The author clearly argues that Ternate sultanate has undergone marginalization process during the above-mentioned period from a centre and powerful independent state, which had many peripheral regions gradually, becomes a powerless peripheral element of the present nation-state of Indonesia. The author also underlies some factors contributing to the marginalization process.
Keywords: Ternate Sultanate, Traditional state, Marginalization, Peripheral, Nation-state.
Pengantar
Ternate adalah nama suatu pulau, nama suatu suku bangsa, nama suatu bahasa, sekaligus nama suatu kesultanan. Sebagai suatu kesultanan, Ternate awal merupakan suatu kerajaan kecil yang hanya terpusat di pulau-pulau sekitar Pulau Ternate. Namun, pada abad ke-15, penguasa Ternate mulai melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya. Pada abad ke-16, terutama di bawah pemerintahan Sultan Babullah (1570-1584), wilayah Kesultanan Ternate meliputi sebagian wilayah perairan Indonesia Timur dan juga ke Selatan sampai Bima, sebelah Barat sampai Makassar, ke Timur sampai Banda, dan sebelah utara sampai Kepulauan Raja Ampat. Seorang misionaris Italia, Pigafeta, dalam cacatan perjalanannya menulis bahwa Babullah menguasai 72 pulau (Suryo, dkk., 2001: 127).
Selain wilayah kekuasaannya yang luas, Kerajaan Ternate juga memiliki kekuatan militer yang cukup tangguh untuk menaklukkan dan menjaga dominasinya, sekaligus mengontrol perdagangan bebas antara berbagai bangsa – Arab, India, Cina, Jawa, dan penguasa lokal. Dengan demikian, Ternate menjadi pusat kekuasaan politik, ekonomi perdagangan khususnya rempah-rempah, dan memiliki kekuatan militer. Di samping itu, pertemuan berbagai kebudayaan dari berbagai bangsa memperkaya khazanah kebudayaan Ternate yang bermuara pada Ternate menjadi
salah satu kekuatan kerajaan Islam di timur Indonesia.
Namun, pada saat ini, kita menyaksikan Ternate khususnya dan Maluku Utara umumnya, hanyalah sebuah provinsi kecil. Jika di masa lalu menjadi pusat kekuasaan dan transaksi ekonomi dunia (wilayah produsen rempah-rempah), maka sekarang menempati pinggiran kekuasaan politik dan ekonomi baik dalam pengertian substantif maupun geografis. Demikian juga, kesultanan yang pernah begitu besar kini hanyalah menjadi bagian dari pernik negara, menjadi sub dari sub-negara sebagai pernik departemen pariwisata saja. Artikel ini menelusuri proses keterpinggiran Ternate dengan mendiskusikan berbagai aspek yang dipandang ikut atau terkait dengan proses-proses dimaksud.
Kolonialisme Eropa
Persentuhan dengan kekuatan kolonial adalah awal dari kemunduran kekuasaan Ternate. Walaupun diakui bahwa persentuhan itu juga pada tataran tertentu ikut memperbesar hegemoni dan dominasi Ternate, namun kekuatan kolonial ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia bermanfaat memperkuat posisi kekuatan kesultanan Ternate menghadapi dengan rival-rival tradisionalnya, terutama Kesultanan Tidore dan Jailolo. Di sisi lain, penguasa kolonial juga menggerogoti dan melemahkan Kesultanan Ternate (Surjo dkk, 2001: 135).
Kolonialis yang bersentuhan dengan Ternate adalah bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Jepang. Inggris dan Jepang termasuk rezim yang tidak terlalu banyak berdampak pada kemerosotan kekuasaan Ternate. Berbeda dengan kekuatan kolonial Portugis, Spanyol, dan Belanda yang memberi dampak besar bagi kemunduran kekuasaan Kesultanan Ternate. Bahkan, dampaknya masih dirasakan hingga saat ini.
Intervensi Politik dan Monopoli Perdagangan
Bentuk tindakan kolonial yang pelan-pelan menggerogoti kekuasaan dan kewibawaan Kesultanan Ternate adalah berupa campur tangan terhadap urusan politik dalam kesultanan. Portugis, Spanyol, dan Belanda misalnya mengabaikan mekanisme politik yang telah ada dalam kesultanan, dan langsung menaik-turunkan sultan sesuai keinginannya (Suryo dkk, 2001: 119, 145; Amal dan Andili, 2003: 103) melalui penaklukan militer dan penghianatan kemudian diikuti dengan perjanjian. Dengan perjanjian-perjanjian,”Ternate
merosot kemandiriannya dan berstatus tidak lebih dari sebuah kerajaan vazal Kompeni Belanda” dan “sejak saat itu, Sultan Ternate menjalankan pemerintahan atas nama dan kuasa kompeni” (Amal dan Andili 2003: 103-104). Senada dengan itu, Surjo dkk (2001: 139) menegaskan bahwa intervensi kolonial terhadap rekruitmen jabatan
politik ini menyebabkan “landasan legitimasi kekuasaan yang lama, dengan sendirinya mengalami erosi.”
Selain intervensi politik, pemaksaan monopoli perdagangan rempah-rempah juga dilakukan oleh Portugis, Belanda, dan Spanyol. Ketika mereka datang ke perairan Nusantara, umumnya di bandar-bandar telah berlangsung perdagangan bebas yang melibatkan banyak negara yang datang dan pergi. Di pelabuhan Ternate, berbagai bangsa seperti India, Cina, Arab, Bugis, dan Jawa serta pedagang lokal telah terlibat dalam perdagangan bebas. Para pendatang baru dari Eropa umumnya ingin memonopoli perdagangan dengan cara persuasif dan kekuatan militer untuk menghancurkan perdagangan bebas yang ada, kemudian melakukan tindakan monopoli. Dalam kasus serangan Portugis atas Malaka, Reid (1967: 126) menulis bahwa Portugis menyerang “the Muslims trading system directly and ruthlessly.” Dalam kasus VOC di Maluku, Ch.F. Van Fraaseen (1994: 423) menyatakan bahwa upaya monopoli VOC dalam perdagangan cengkeh telah mengganggu jalannya perdagangan bebas yang ada dan juga VOC berusaha mengontrol kehidupan politik di Maluku.
Pada 27 November 1606, setelah menaklukkan Ternate secara militer, Spanyol memaksa petinggi Kesultanan Ternate menandatangani perjanjian yang isinya mengakui raja Spanyol sebagai junjungan mereka
dan tunduk pada perintah Spanyol, dan hanya boleh berdagang dengan Spanyol (Amal dan Andili, 2003: 89-90). Belanda, dalam rangka menegakkan monopoli perdagangan rempah, selain membuat perjanjian yang merugikan dengan pihak kesultanan, dia juga seringkali membuat perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate. Akibatnya, sering terjadi bentrok kepentingan dan konflik terbuka antara pihak kesultanan dengan pihak penguasa lokal, yang juga merupakan aparat kesultanan yang ditempatkan di wilayah-wilayah kesultanan (Suryo dkk, 2001: 144-145).
Tindakan monopoli di atas tentu menggerogoti kedaulatan kesultanan sekaligus mengurangi pendapatan kesultanan yang berasal dari wilayah-wilayah sentra penghasil rempah-rempah. Monopoli yang dipaksakan oleh Portugis, Spanyol dan Belanda selain menjauhkan Ternate dari partner dagangnya yang telah berlangsung lama seperti India, Arab, Cina, Jawa, Makassar, juga melemahkan peran dan kekuasaan Kesultanan Ternate dalam mengontrol perdagangan.
Pemisahan Wilayah
Proses pelemahan Kesultanan Ternate juga dilakukan melalui tindakan politik yang bersifat memisahkan wilayah-wilayah tertentu dari kekuasaan Ternate. Para kolonialis memiliki cara berbeda dalam memisahkan
beberapa wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate. Ambon dan sekitarnya, secara de facto, pelan-pelan terpisah dari kekuasaan Ternate sejak Portugis secara diam-diam memperkuat basisnya di Ambon dan sekitarnya, dan lebih-lebih lagi setelah terusir dari Maluku Utara oleh Babullah dan menjadikan Ambon sebagai wilayahnya. Spanyol, setelah menaklukan Ternate, getol mendorong pemisahan diri beberapa wilayah kekuasaan Ternate. Amal dan Andili (2003: 89) menulis: “Komandan ekpedisi Spanyol, Juan de Esquivel, mengirim utusan ke petinggi wilayah-wilayah taklukan Ternate di Sulawesi Utara … dan mengumumkan kemerdekaan mereka dari tirani Ternate” serta menawarkan perlindungan pada mereka.
Belanda juga lewat staatsblad
1907 No. 367 Kepulauan Banggai, yang merupakan wilayah Kesultanan Ternate sejak awal abad ke-14, dipisahkan dari Ternate dan digabungan dalam Gubernemen
Sulawesi yang berpusat di Makassar (Amal, 2003: 78). Selain itu, keputusan Belanda mengambil-alih dan menjadikan Ambon sebagai pusat ekonomi dan politik, melalui berbagai RR dan besluit, semakin memperkuat pemisahan Ambon secara de facto dan de jure dari kekuasaan Ternate (Amal, 2003, 74-78).
Selain tujuan ekonomi, tujuan bangsa Eropa datang ke Asia Tenggara adalah untuk penyebaran agama. Sejarawan Clive Christie (1996: 130) menyatakan bahwa salah satu tujuan ekspansi awal bangsa-bangsa Eropa ke Asia Tenggara adalah “the crusading desire to outflank and check Islam at a global level.” Dan, ekpansi agama ini telah menjadi bagian dari instrumen penjajahan untuk melemahkan kekuatan dan kekuasaan para kesultanan Islam, termasuk di Maluku umumnya dan Ternate khususnya.
Portugis menjadikan Ternate bukan saja sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dan gudang penyimpanan komoditi sebelum dikirim ke Eropa, tapi juga Ternate yang menjadi pusat Islam di Maluku justru dijadikan sebagai pusat misi penyebaran agama Katolik di Maluku (Suryo dkk, 2001: 120). Dalam kasus Sultan Tabariji yang diturunkan dari tahta oleh Portugis, kemudian diasingkan ke Goa, dan kemudian berganti agama menjadi seorang Katolik. Dari sultan yang telah menjadi katolik ini, Portugis mendapat surat wasiat dari sang Sultan yang telah berganti nama menjadi Dom Manuel yang isinya adalah bahwa Portugis mendapatkan konsesi perdagangan atas Ambon dan menyatakan bahwa Ternate adalah kerajaan Kristen (Katolik) (Suryo dkk, 2001: 119), sesuatu yang ditolak oleh Sultan Khairun, pengganti Tabariji.
Di daerah-daerah kekuasaan Ternate yang agak jauh dari Pulau Ternate, Portugis secara diam-diam dan hati-hati memperkuat posisi dengan misi agamanya, misalnya di Pulau Buru dan Ambon, Portugis membangun pusat-pusat misionaris. Selain itu, di wilayah ini juga dibangun perkebunan rempah-rempah yang sebenarnya secara tradisional merupakan hak Kesultanan Ternate (Suryo dkk, 2001: 121).
Spanyol juga melakukan hal yang sama. Atas nama Sri Paduka Raja Spanyol, Ternate dipaksa tunduk dan diambil alih pada tanggal 10 April 1607. Mereka merestorasi gereja Portugis, Gereja Sao Paolo, dan mengembalikannya kepada misi Jesuit. Tindakan lain yang sangat merendahkan Ternate adalah mengkonversi Mesjid Gamlamo, Mesjid Kesultanan, menjadi gereja oleh misi Jesuit dan diberi nama baru, Gereja San Francisco. Rumah pribadi adik perempuan sultan dikonversi dan diberi nama San Agustin, dan rumah pribadi seorang pangeran lain dikonversi dan diberi nama Santo Dominggo. Selain itu, Sultan Saidi dan para bobato-nya dipaksa melakukan sumpah setia serta tidak akan menghalangi orang-orang Islam mengganti agamanya menjadi Katolik (Amal dan Andili, 2003: 88).
Belanda juga melakukan penghinaan yang provokatif yang langsung menyerang jantung identitas dan basis kebudayaan kesultanan. Suryo dkk (2001:
133-134) menulis, “Belanda kemudian tidak lagi segan-segan membakar mesjid-mesjid dan memaksa orang-orang Islam memeluk agama Kristen. Sebagai penghinaan istimewa mereka dipaksa makan daging babi. Selanjutnya, orang-orang Kristen yang menjadi penganut agama Islam [mualaf] ditangkapi untuk kemudian dibuang ke daerah lain”. Wilayah-wilayah yang masyarakatnya dikonversi ke Katolik atau Kristen Protestan perlahan mengalami kerenggangan dengan Kesultanan Ternate yang muslim, dan umumnya di kemudian hari wilayah ini menjadi basis pertahanan utama para penjajah karena dibantu oleh komunitas tersebut dalam melawan Kesultanan Ternate, terutama di Maluku bagian selatan.
Tindakan mensubordinasikan Kesultanan Ternate juga dalam bentuk dominasi kekuasaan secara langsung ataupun tidak. Ternate harus menerima kenyataan bahwa dalam wilayah kekuasaannya terdapat pemerintahan dan kekuasaan lain yang tidak di bawah kendalinya. Lebih dari itu, Kesultanan Ternate hanya dijadikan sebagai aparat pemerintahan tidak langsung oleh Belanda. Pelaksanaan pemerintahan Belanda di Maluku Utara dijalankan dengan corak gabungan yaitu ada daerah tertentu yang langsung berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda dan ada daerah tertentu yang berpemerintahan tidak langsung yaitu pemerintahan Belanda di bawah para sultan dan bobato-nya
(Amal, 2003: 79-80). Dengan kata lain, Belanda menempatkan sultan dan aparatnya di bawah kendalinya dalam menjalankan pemerintahan Belanda di wilayah kesultanan. Pemerintahan dengan corak gabungan ini bertahan sampai datangnya Jepang tahun 1942. Keterpinggiran Geografis
Selain berbagai tindak-tanduk kolonialisme Eropa yang mengkerdilkan kekuasaan Kesultanan Ternate di atas, Ternate sebagai suatu negara tradisional (traditional state) saat itu juga terus mengalami marjinalisasi secara geografis dalam konteks ekonomi dan politik. Bahasan berikut akan mengurai beberapa perkembangan yang memarjinalkan Ternate secara geografis dari posisi awal sebagai pusat (centre) kekuasaan politik dan ekonomi, kemudian bergeser ke posisi pinggiran (periphery).
Munculnya Ambon Sebagai Pusat Ekonomi dan Politik Baru
Selain mengalami kemunduran karena kekuasaan politik dan ekonomi, serta kultural (agama) pada tataran tertentu juga dikendalikan penguasa asing, Ternate juga harus menghadapi keterpinggiran secara geografis. Terusirnya Portugis dari Maluku bagian utara, pada tahun 1581, dan hanya bisa bertahan di beberapa wilayah Maluku Selatan membuat mereka berusaha mengembangkan wilayah selatan, terutama Ambon, sebagai pusat perdagangan dan penyiaran agama,
serta wilayah pertahanan menghadapi gempuran Ternate atau menyerang wilayah kekuasaan Ternate di selatan, misalnya serangan ke Hitu tahun 1602. Pada tahun 1605 Belanda mengusir Portugis dari Ambon dan mengambil alih Ambon sebagai pusat perdagangan di selatan Maluku. Suryo dkk (2001: 131) menulis: “Sejak itu situas umum di Maluku telah berubah sama sekali. Ambon yang semula hanya pelabuhan persinggahan para pedagang Eropa untuk mencapai Ternate, mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan penting, sementara Ternate hanya menjadi pusat aktivitas politik di kawasan itu”.
Namun, pada periode-periode selanjutnya, Ambon bukan saja tumbuh sebagai pusat aktivitas ekonomi, tapi juga menjadi pusat aktivitas politik (Suryo dkk, 2001: 135). Dengan mengganti
Regeringsreglement (RR) 1610 yang menempatkan pusat pemerintahan
Gubernemen Maluku ada di Ternate dengan RR 1815 dimana pusat pemerintahan pindah ke Ambon dan gubernur berkedudukan di Ambon, semakin menjauhkan Ternate dari pusat kekuasaan. Selanjutnya, kolonial Belanda mengeluarkan berbagai peraturan dalam bentuk
besluit dan UU yang menempatkan Ternate hanya bagian dari Ambon, berada di bawah kendali pemerintahan kolonial di Ambon. Misalnya, besluit kerajaan Belanda S.1921, no. 430 tanggal 16 April 1921 Ternate diturunkan statusnya
dari keresidenan menjadi afdeling di bawah keresidenan Ambon. Di tahun 1926 ditetapkan UU Pembaruan Pemerintahan Maluku dimana
pemerintahan Maluku
disederhanakan mencakup Keresidenan Ambon dan afdeling Ternate (Amal, 2003: 72-80).
Tahun 1930 pemerintah Belanda mengeluarkan Self Bestuur Regeling yang menetapkan pembagian Maluku Utara kedalam tiga swapraja yaitu kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, dan Kesultanan Bacan. Tidap kesultanan dibagi kedalam distrik-distrik yang dikepalai kepala distrik yang membawahi oder-distrik. Kepala distrik diangkat dan diberhentikan oleh masing-masing sultan di daerahnya. Peraturan ini terkesan mengembalikan kekuasaan pemerintahan pada kesultanan kecuali wilayah Maluku Selatan termasuk Ambon. Sayangnya, tidak demikian. Pemerintahan yang dijalankan oleh para sultan hanyalah bagian dari pemerintahan Belanda. Ada wilayah yang mutlak dikuasai langsung oleh Belanda dan sisanya pemerintahan Belanda yang dijalankan oleh kesultanan. Sistem ini berlangsung sampai datangnya tentara Jepang tahun 1942.
NKRI: Keterpinggiran Geografis dan Politik
Negara Sentralistik
Anderson benar ketika menegaskan bahwa pada umumnya di negara-negara Asia Tenggara, kesadaran para pejuang nasional
(nationalists) awal tentang batas wilayah nasional dibentuk oleh negara kolonial (1991: 170-178). Cakupan wilayah NKRI diputuskan sesuai peta batas wilayah kolonial Belanda, di mana Maluku yang secara historis di masa pra kolonial merupakan nation yang independen juga ikut dimasukan dalam peta nasional. Namun hal ini bukan tanpa alasan, kesadaran tentang tumbuhnya suatu nation dan perjuangan untuk mewujudkan
nation yang disebut Indonesia juga melibatkan putra-putri Maluku Utara, termasuk perjuangan bersenjata di samping perjuangan politik (Amal dan Andili, 2003: 126-127).
Keinginan Sultan Ternate, Jabir Syah yang kala ikut aktif di NIT, agar negara Indonesia berbentuk federal ternyata tidak mendapatkan sambutan baik di pusat (Djafaar, 2005). Padahal, menurut Kahin bahwa untuk negara sebesar dan begitu bervariasinya seperti Indonesia bentuk administrasi pemerintahan yang federal justru yang lebih baik (1997: 17). Tidak ada pilihan lain, Ternate dan Maluku Utara harus masuk ke NKRI dan melupakan ide federasi.
Setelah Ternate dan kesultanannya masuk ke NKRI, kebijakan Sukarno dan kemudian Suharto yang sentralistik telah menutup peluang bagi Ternate dan kesultanannya untuk mengelola pemerintahan sendiri yang otonom dalam naungan NKRI. Padahal, sebenarnya di pertengahan 1951 desentralisasi administrasi telah
dibuat sesuai dengan batas-batas propinsi yang telah ditentukan setahun sebelumnya (10 provinsi). Namun, desentralisasi pemerintahan ini tidak berjalan karena perhatian masih terfokus pada masalah-masalah yang dihadapi pemerintah pusat, pusat belum mampu memberikan orang yang tepat untuk menjalankan administrasi di provinsi, dan provinsi belum diberikan kewenangan untuk memungut pajak di wilayahnya (Kahin, 1969: 466). Ironisnya, di era Orde Baru ketika administrasi provinsi telah berjalan, penarikan pajak dilakukan provinsi, sumber daya manusia pengelola pemerintahan cukup banyak, tapi desentralisasi dan otonomi tidak diberikan. Dorojatun Kuntjara Jakti mengemukakan bahwa pada masa awal pemerintahannya penguasa ORBA melihat desentralisasi dan otonomi adalah sesuatu yang dibutuhkan, namun “…berpotensi untuk melahirkan instabilitas pemerintahan, atau bahkan dapat memicu munculnya kembali gerakan kedaerahan” (Hidayat, 2005: 123-124).
Sikap pemerintah pusat tersebut semakin membiarkan Ternate terpinggirkan karena selain terpinggir dari Ambon karena jarak dan rentang kendali pemerintahan yang jauh, juga terpinggirkan dari pemerintah pusat karena tidak adanya praktik otonomi di daerah. Selain itu, juga ada beban historis bagi orang-orang Ternate karena harus menerima kenyataan bahwa
bekas “bawahan” sekarang menjadi “pimpinan” dan mengontrol mereka.
Ambon Sebagai Provinsi Maluku
Pada akhir Agustus 1950 negara kesatuan RI dibagi atas 10 propinsi (belum termasuk Irian Jaya), di antaranya terdapat provinsi Maluku, dan ibukota provinsi ditempatkan di Ambon, dan sebagai Gubernur Maluku pertama ditunjuk Mr. Latuharhary, seorang putra Ambon yang pernah studi di Belanda. Mengapa provinsi harus di Ambon dan mengapa gubernur harus orang Ambon adalah pertanyaan yang muncul di benak para tokoh nasionalis di Ternate.
Akibat pendidikan yang dijalankan Portugis kemudian dilanjutkan secara sangat agresif oleh Belanda terutama kepada kalangan Kristen Ambon (Chauvel, 1990: 25-38) maka jauh sebelum, selama gerakan kemerdekaan, dan periode setelah kemerdekaan orang-orang Ambon umumnya merupakan suatu komunitas dengan jumlah kaum terpelajar yang cukup banyak. Banyak di antara mereka belajar di negeri Belanda, berinteraksi intensif dengan Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda sekaligus menyerap ide-ide nasionalisme Indonesia. Hal ini sekaligus membentuk jaringan gerakan nasional mereka ketika kembali ke tanah air. Inilah yang memungkinkan banyak kaum terpelajar Ambon bergaul secara intensif dengan tokoh pergerakan ketika kembali ke tanah air dan bahu-membahu dalam gerakan nasional (walaupun terdapat banyak
juga orang Ambon terpelajar yang pro Belanda atau paling tidak pro-federal).
Sementara tokoh-tokoh Maluku Utara, walaupun tidak ketinggalan dalam gerakan nasionalisme dengan berbagai aktivitas politik mereka namun lebih banyak berkutat di daerah. Sultan Jabir Syah sendiri hanya masuk dalam jajaran utama pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT), sebelum kemudian menjadi staf di kementerian dalam negeri dalam masa pemerintahan NKRI (Djafaar, 2005: 156). Satu-satunya tokoh Maluku Utara yang sempat masuk dalam pentas gerakan politik berskala nasional saat itu adalah Arnold Mononutu. Sebelum terbentuk Negara Kesatuan RI, pada Desember 1949, kabinet pertama dibentuk Hatta yang di dalamnya terdapat Johannes Leimena, seorang Ambon yang pro RI, dan Arnold Mononutu dari Ternate yang juga pro RI, namun berasal dari NIT yang federalis (Kahin, 1969: 448-49).
Dengan keunggulan
pendidikan, maka wakil Maluku di Voksraad biasanya dipilih dari Ambon Raad. Dalam pandangan Leirissa, ini adalah suatu ketentuan yang pincang karena Ambon tidak identik dengan Maluku, Ambon hanya sebagian kecil dari Maluku. Menurutnya, “keunggulan ini disebabkan pada waktu itu golongan intelektual Maluku kebanyakan berasal dari kepulauan Ambon dan Lease (1975: 80). Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di the Hague,
terdapat dua orang Ambon yaitu Pupella dan Pellaupessy (Chauvel, 1990: 297). Kemudian, setelah terbentuknya negara kesatuan RI, terbentuk kabinet pertama masa NKRI di bawah Muhammad Natsir dari Masyumi. Kabinet Natsir terbentuk 6 September 1950 dimana terdapat dua orang Ambon yaitu Dr. Johannes Leimena (menteri Kesehatan) dan M.A.Pellaupessy (Menteri Informasi) (Kahin, 1969: 468).
Tingkat pendidikan tinggi, pergaulan dan intensitas keterlibatan pada gerakan nasional, tidak mustahil menjadi pertimbangan pemerintah untuk mempercayakan wilayah Maluku dipimpin oleh orang Ambon dan berkedudukan di Ambon. Pengukuhan Ambon sebagai ibukota provinsi Maluku, dan bukan Ternate, tampak bagi masyarakat Maluku Utara adalah suatu kelanjutan dari praktik kolonial yang terus mereduksi kedaulatan dan meminggirkan Ternate. Sejak Portugis terusir dari Maluku Utara dan bertahan membangun pusat ekonomi dan politik di Ambon dan kemudian dilanjutkan Belanda sampai menjelang memasuki periode kemerdekaan. Dan, kini pemerintah NKRI melanjutkan peminggiran tersebut. Ini adalah suatu ironi dimana Ambon pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate, namun kemudian direbut oleh penguasa kolonial dan menjadi pusat kekuatan kolonial. Setelah kemerdekaan dicapai pemerintah pusat justru
mengakui kebijakan kolonial dengan menjadikan Ambon sebagai pusat, bukannya mengembalikan kepada Ternate sebagai pemilik sah kepulauan Ambon.
Provinsi Sendiri: Adakah Ruang bagi Kesultanan?
Ketidakpuasan muncul dimana-mana. Sangat mungkin karena pertimbangan di atas maka sejak Ambon menjadi ibukota Provinsi Maluku, aspirasi untuk menjadikan Maluku Utara sebagai provinsi tersendiri terpisah dari Ambon terus muncul. Ketika Bung Hatta berkunjung ke Maluku Utara tahun 1950, aspirasi itu disampaikan ke Hatta, dan beliau menyetujuinya dengan mengatakan “justru Maluku harus dijadikan dua provinsi” (Amal dan Djafaar, 2003: 324). Sayangnya, hampir setengah abad kemudian, janji itu tidak pernah terpenuhi.
Ketidakpuasan terus berkembang menjadi perjuangan yang lebih keras sehingga beberapa aktivisnya harus ditangkap dan dikirim ke penjara di Nusakambangan. Puluhan diantaranya ditahan di Ambon dan Ternate tanpa proses hukum. Pada masa pemberontakan Permesta 1959, beberapa orang membonceng pada gerakan tersebut dan memobilisasi rakyat untuk menuntut Daerah Tingkat I Maluku Utara. Mereka kemudian dipenjara, namun akhirnya mendapat abolisi dari Presiden Sukarno. Setelah itu, delegasi-demi delegasi dikirim ke Jakarta untuk tujuan yang sama.
Pada masa pemerintahan Suharto, sistem politik yang ketat saat itu tidak membuka peluang untuk perjuangan tersebut. Ketika angin reformasi bertiup dan melahirkan tuntutan otonomi daerah dan bahkan ada juga wacana federasi, seluruh komponen masyarakat Maluku Utara, termasuk kalangan kesultanan, menyambutnya dengan penuh harapan bahwa Maluku Utara akan menjadi suatu provinsi sendiri. Pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, “seorang putra Guruntalo yang memahami nurani rakyat Maluku Utara”, menyetujui UU no.46 tahun 1999, dan sejak 14 Oktober 1999 Maluku Utara resmi menjadi salah satu provinsi di Indonesia (Amal dan Andili, 2003: 132-135).
Jika Maluku Utara, lewat perjuangan yang panjang semua pihak termasuk pihak kesultanan akhirnya mendapatkan status provinsi dengan nama Provinsi Maluku Utara, tidak demikian dengan Kesultanan Ternate. Pihak kesultanan yang mencoba memanfaatkan perkembangan demokratisasi dan otonomi daerah pasca reformasi untuk kembali ke panggung politik ternyata harus menelan pil pahit. Beberapa kali upaya untuk merebut posisi sebagai Gubernur Maluku Utara ternyata gagal (Klinken, 2007). Demikian pula dengan permaisuri kesultanan yang mencoba merebut kursi Walikota Ternate juga gagal (Smith, 2009: 303-326). Walaupun keinginan untuk kembali ke panggung kekuasaan
politik belum pupus dan berbagai aktivitas dan strategi politik terus dibangun oleh pihak kesultanan, namun dengan wafatnya Sultan Mudaffar Syah tahun ini, harapan akan kebangkitan kesultanan untuk meraih kekuasaan politik formal di masa kini dan masa depan tampaknya akan semakin suram. Daftar Pustaka
Amal, M. Adnan dan Irza Arnyta Djafaar. 2003. Maluku Utara: Perjalanan Sejarah 1800-1950 (Jilid 2). Ternate: Universitas Khairun.
Amal, M. Adnan dan Syamsir Andili. 2003. “Ternate dalam Perspektif Sejarah” dalam Fachri Ammari dan J.W. Siokona (ed), Ternate. Ternate: Pemerintah Kota Ternate. Anderson, Benedict, 1991, “Census,
Maps, Museum” dalam
Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism.
London: Verso.
Chauvel, Richard, 1990, Nationalists, Soldiers and Separatists.
Leiden: KITLV.
Christie, Clive J, 1996, A Modern History of Souteast Asia: Decolonization, Nationalism and Separatism. London: I.B. Taurus Publishers.
Djafaar, Irza Arnyta, 2005, Dari Moloku Kie Raha Hingga
Negara Federal. Yogyakarta: Bio Pustaka.
Hidayat, Syarif, 2005, “Desentralisasi dan Otonomi Daerah Masa Orde Baru (1966-1998)”, dalam Anhar Gonggong (ed),
Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta: Institute for Local Development dan Yayasan Tifa.
Kahin, George McT, 1969,
Nationalism and Revolution in Indonesia. Itacha and London: Cornell University Press. Kahin, George McT, 1997, “Some
Recollections From And Reflections on the Indonesian Revolution”, dalam Taufik Abdullah (ed), The Heartbeat of Indonesian Revolution. Jakarta: Gramedia dan LIPI. Klinken, Gerry van, 2007, Perang
Kota Kecil. Jakarta: Obor-KITLV.
Leirissa, R.Z, 1975, Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia. Jakarta: Fak. Sastra UI.
Reid, Anthony, 1967, “Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia”,
Journal of Asian Studies 26 (2): 267-283.
Smith, Claire Q, 2009, “The Return of the Sultan? Patronage, Power, and Political Machines in “Post”-Conflict North Maluku”, dalam Maribeth Erb dan
Priyambudi Sulistiyanto (ed),
Deepening Democracy in Indonesia?: Direct Elections for Local Leaders (Pilkada). Singapore: Institute of South East Asian Studies.
Surjo, Djoko, dkk, 2001, “Bulan Sabit di Bawah Rerimbunan Cengkeh” dalam Agama dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: LKPSM.
Van Fraassen, CH.F, 1994, “Leonard Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period” (Book Review), Bijdragen, Deel 150, 2e Aflevering, hal: 423-426.