• Tidak ada hasil yang ditemukan

S JEP 1105525 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "S JEP 1105525 Chapter1"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Dalam pembelajaran bahasa Jepang, banyak pembelajar di Indonesia

berpendapat bahwa bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa yang sangat

sulit dipelajari. Informasi yang ditemukan oleh peneliti dalam situs web

Japanesestation.com yang diinformasikan tanggal 7 Februari 2014, menurut

NSA (National Security Agency) Amerika Serikat, bahasa Jepang merupakan

bahasa yang paling sulit bagi penutur yang menggunakan huruf abjad. Adapun

berikut kriteria kesulitan bahasa yaitu sistem suara (phonology), struktur

bahasa, pembentukan pola kalimat, makna dan penggunaan kata-kata, sistem

menulis I (karakter non Latin ), sistem menulis II (lebih dari 1000 karakter),

sistem menulis III (lebih dari 1 cara baca per karakter dan ilmu gaya bahasa).

Huruf yang digunakan dalam bahasa Indonesia yaitu huruf abjad (a – z),

sama seperti bahasa Inggris. Berbeda dengan huruf dalam bahasa Jepang yaitu

huruf Kana dan Kanji. Bagi pembelajar bahasa Jepang, mempelajari huruf

Kana masih terbilang mudah, karena jumlah coretannya yang tidak banyak

sehingga dapat diingat dengan cepat dan cara bacanya hanya satu cara baca.

Berbeda dengan huruf Kanji, satu huruf Kanji yang kompleks terdiri dari

banyak karakter yang berbeda dan maknanya dapat berubah saat karakter

tersebut dibaca bersama dengan karakter lain atau bergabung dengan bushu

karakter lain. Terlebih lagi kerumitan coretan karakter yang variatif dari 1

coretan hingga 30 coretan, seperti yang tercantum di kanji jiten online pada

situs http://jiten.go-kanken.com. Hal-hal seperti perbedaan huruf, banyaknya

ragam cara baca karakter, dan banyaknya jumlah huruf Kanji yang harus

diingat menjadi suatu kendala bagi pembelajar bahasa Jepang khususnya di

Indonesia.

Seperti yang telah disebutkan pada paragraf pertama, melafalkan huruf dan

kata dalam bahasa Jepang merupakan salah satu kesulitan pembelajar bahasa.

(2)

om/2012/06/pemahaman-terhadap-lafal-tekanan.html pada tanggal 29 Juni

2015, Lafal adalah cara mengucapkan lambang-lambang bunyi. Orang

Indonesia susah melafalkan suatu kata yang terdapat 2 sampai 3 deretan

konsonan. Biasanya kata yang memiliki urutan konsonan berturut-turut

terdapat dalam kumpulan kata bahasa Inggri. Misal, kata serapan dari bahasa

Inggris yang digunakan dalam bahasa Jepang, kata milk dan test (Sudjianto &

Dahidi, 2012, hlm. 22). Bagi orang Indonesia yang belum tahu bunyi kedua

kata tersebut saat dibacakan (dalam bahasa Inggris), kata milk dibaca /milek/

dan kata test dibaca /tes/. Padahal seharusnya untuk mengetahui cara baca kata

serapan tersebut dalam bahasa Jepang (gairaigo) harus memahami sistem

bahasa Jepang karena bahasa asing tersebut dijepangkan (Sudjianto & Dahidi,

2012, hlm. 104). Kemudian penggunaan huruf bahasa Indonesia yang berbeda

dengan bahasa Jepang mengakibatkan tata cara pengucapan yang berbeda.

Huruf bahasa Jepang yang susah dilafalkan oleh orang Indonesia seperti huruf

‘tsu’ biasanya malah dilafalkan ‘tu’, ‘cu’, bahkan ada yang melafalkan ‘su’. Padahal, ‘tsu’ tidak sama dengan ‘tu’, ‘cu’, dan ‘su’. Kemudian huruf ‘shi’

malah dilafalkan ‘si’, padahal seharusnya pelafalannya mendekati ’syi’. Hal

ini dikarenakan perbedaan sistem Phonology (sistem suara) dalam bahasa

Jepang dengan bahasa Indonesia.

Setiap kata dalam bahasa Jepang memiliki aksen yang berbeda, terutama

pada kata yang kata dan tulisannya sama, namun berbeda arti (homofon).

Penggunaan aksen dalam bahasa Jepang sangat penting, sampai-sampai

terdapat kamus-kamus khusus yang membahas mengenai aksen setiap kata

dalam bahasa Jepang seperti situs accent.u-biq.org untuk digunakan para guru

bahasa Jepang(dibuat oleh tim U-biq). Untuk beberapa kata yang

pengucapannya sama namun artinya berbeda, hanya dengan mengetahui

perbedaan aksen orang Jepang akan tahu bahwa kedua kata tersebut memiliki

makna yang berbeda. Sedangkan aksen tidak ada di dalam bahasa Indonesia.

Menurut Sudjianto dan Dahidi (2012, hlm.50) “Di dalam bahasa Indonesia

tidak ada aksen, walaupun ada kata yang sama namun tidak ada perbedaan

(3)

Pengucapan kata bisa yang berarti ‘mampu’ atau ‘dapat’ sama dengan

pengucapan kata bisa yang berarti ‘racun ular’.”

Kemudian, terdapat satu hal lagi yaitu intonasi. Saat seseorang berbicara

pasti ada suatu maksud dari pembicaraan seseorang tersebut. Misal saat

bertanya, biasanya seseorang cenderung menaikkan nada di akhir kalimat,

sedangkan saat menyatakan, menjelaskan, menegaskan nada di akhir

kalimatnya cenderung menurun. “Pada umumnya intonasi muncul di akhir

kalimat untuk menyatakan keputusan, pertanyaan, maksud, rasa kagum atau

rasa heran, rasa kecewa, dan sebagainya.” (Kitahara di dalam Sudjianto &

Dahidi, 2012, hlm.52) Intonasi bahasa Indonesia dengan bahasa asing seperti

bahasa Jepang tidak jauh berbeda, karena pada umumnya penggunaan intonasi

berlaku secara universal, sehingga kalimat tanya nada di akhir kalimatnya

cenderung menaik, kalimat perintah di akhir kalimat cenderung tegas dan

nadanya menurun, begitu pula saat terkejut, terkagum-kagum dan sebagainya.

Walaupun bahasa Jepang dirasa sulit, maraknya festival Jepang yang

diadakan berbagai sekolah dan perguruan tinggi begitu pula komunitas di

Indonesia merupakan fakta bahwa penggemar budaya Jepang sangat banyak.

Hal ini searah dengan bertambahnya jumlah pembelajar bahasa Jepang di

Indonesia yang kian meningkat. Berikut tabel perubahan jumlah pembelajar

bahasa Jepang di Indonesia oleh Japan Foundation di dalam laporan tim

investigasi PT.Oriental Konsultan (2014, hlm.2)

Gambar 1.1

(4)

Berkaca pada pengalaman peneliti, bahwa pembelajaran yang dilakukan

karena tertarik akan sangat berpotensi membangkitkan gairah belajar peserta

didik. Seperti yang dikatakan oleh Naim,

“Aktivitas apa pun, kalau dilaksanakan dengan penuh minat dan

kegembiraan, akan membawa hasil yang memuaskan. Demikian juga dengan belajar. Belajar yang dilakukan dengan penuh minat dan rasa suka akan membawa hasil yang jauh lebih baik dibandingkan dengan belajar

yang dilaksanakan karena terpaksa.”(Naim, 2011 hlm.93)

Salah satu pengalaman yang pernah dilalui oleh peneliti yaitu mengikuti

kelas VAEX (Voice Acting Experience). VAEX adalah kelas kreatif yang

merupakan gerakan inisiatif dari tempat kursus bahasa Jepang Aki No Sora

(dikutip tanggal 8 Agustus 2015 dari situs web http://autumnskyid.com/VAEX

-v-2/). Adapun kelas Guntai dalam studi kasus ini juga merupakan salah satu

kelas di Aki No Sora. Kelas Guntai merupakan kelas yang diperuntukkan

kepada pembelajar tingkat dasar. “Di kelas Guntai, peserta didik akan

mempelajari bahasa Jepang yang sederhana dari level pemula dalam hal

kosakata, tata bahasa, dan percakapan agar mereka dapat memahami bahasa

Jepang pemula.“ (dikutip tanggal 7 Oktober 2015 dari situs

http://autumnskyid.com/autumn-sky-v-02/).

Kembali ke kelas VAEX, di dalam kelas ini peserta didik memperoleh

pengalaman belajar bahasa Jepang dengan kesempatan memperoleh

pengalaman mengisi suara (voice acting) atau melakukan seiyuu karakter

anime yang disukai peserta didik. Peserta didik dituntut dapat berbicara

layaknya penutur asli bahasa Jepang, atau melakukan teknik seiyuu Jepang

seperti seorang Seiyuu. Teknik belajar ini dapat dikatakan teknik belajar baru,

karena peneliti belum pernah menemukan penelitian yang berkaitan dengan

teknik seiyuu menggunakan anime.

Target pembelajaran utama teknik seiyuu ini bukan tata bahasa(bunpou)

atau huruf Jepang seperti Kana, melainkan motivasi keinginan belajar

berbicara bahasa Jepang. Bahkan bagi peserta didik yang sering menonton

anime dan drama pun berbicara layaknya penutur asli bukanlah hal yang

mudah. Seperti target pembelajaran yang telah dijelaskan sebelumnya,

(5)

diperoleh di kelas pembelajaran bahasa Jepang di sekolah. Teknik seiyuu

berperan sebagai teknik pembelajaran baru yang digunakan oleh peserta didik.

Diungkapkan Alwasilah (2009, hlm.14), yang memberikan alternatif

pembelajaran CTL adalah “sebuah sistem belajar yang didasarkan pada

filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap

makna dalam materi akademis dan siswa akan lebih memahami apabila

mereka dapat mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan

pengalaman baru yang sudah mereka miliki. Apabila peserta didik dapat

membuat keterkaitan yang bermakna, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif

dan melakukan pekerjaan yang berarti untuk mencapai standar yang tinggi.”

Apabila pembelajar mampu menggunakan teknik ini sebaik-baiknya sampai

dapat berbicara layaknya penutur asli, peserta didik akan lebih termotivasi

dalam belajar berbicara bahasa Jepang.

Selanjutnya dijelaskan oleh Alwasilah (2009, hlm.15) “Pentingnya peran

pendidik sebagai sosok profesional yang dapat menunjukkan perilaku yang

terkait dengan keinginan siswa belajar berbicara, dan sebagai pengarah sistem

sosial di kelas yang berujung pada motivasi keinginan belajar berbicara

siswa.” Teknik belajar baru seperti teknik seiyuu yang akan dijadikan teknik

pembelajar tentu harus dikuasai oleh pengajar. Pentingnya peran pengajar

dalam pembelajar diungkapkan oleh Holden sebagai berikut,

“The teacher also has a role in the discussion which normally follows each scene. He(the teacher) can probe and direct this discussion by asking certain question himself. The students should be encouraged to describe what they did, interpret what they saw or explain why they choose to do something particular way. This can lead to discussion of different ways of doing the excercise.“(Holden, 1981, hlm.14)

Pernyataan di atas dapat diartikan “Seorang guru juga memiliki peran

dalam sebuah diskusi yang biasanya diperlukan pada saat-saat tertentu. Guru

dapat menelusuri dan mengarahkan ke mana arah diskusi yang siswa lakukan

dengan menanyakan beberapa hal kepada diri gurunya(karena guru juga

berperan sebagai evaluator). Siswa harus bisa menggambarkan tindakan apa

yang mereka lakukan, menjelaskan apa yang mereka lihat atau mendefinisikan

mengapa mereka memilih melakukan sesuatu dengan cara tertentu. Hal ini

(6)

pelatihan yang berbeda.” Apabila kegiatan yang disarankan dijalankan, yaitu

diskusi antar murid dan diarahkan oleh pengajar seperti yang telah

diungkapkan oleh Holden di atas, maka peserta didik akan menunjukan

motivasi keinginan belajar yang besar.

Mengingat bahwa dalam pembelajaran di dalam KTSP dan Kurikulum

2013, kompetensi pembelajar bahasa diarahkan ke dalam empat keterampilan

berbahasa, yaitu keterampilan; membaca, berbicara, menyimak, dan

mendengarkan, semua aspek tersebut dapat diperoleh dengan teknik seiyuu.

Dalam pelaksanaan teknik seiyuu, untuk dapat menguasai keempat aspek

keterampilan tersebut, pertama, pembelajar memahami jalan cerita suatu

anime. Kedua, memilih karakter yang suaranya disesuaikan dengan

kesanggupan peserta didik dalam memilih karakter yang diinginkan. Apabila

peserta didik bingung memilih karakter yang sesuai, pengajar akan membantu

memilihkan karakter yang mendekati karakter suara peserta didik. Ketiga,

peserta didik memahami cara berbicara karakter meliputi pelafalan, aksen dan

intonasi secara sedikit demi sedikit. Peserta didik menyaksikan anime tersebut

berulang-ulang, sehingga semakin memahami ekspresi karakter yang

diperankan. Terakhir, peserta didik menyaksikan sambil menirukan karakter

anime berulang-ulang sampai terbiasa. Dengan melakukan langkah-langkah

tersebut, peserta didik tidak hanya meningkatkan keinginan belajar berbicara,

tetapi juga aspek keterampilan berbahasa lain.

Dengan pemikiran di atas peneliti memperkirakan bahwa berbagai aspek

berbahasa khususnya aspek belajar berbicara, dapat mendukung pembelajaran

secara maksimal. Dengan demikian, penulis mencoba mencari informasi

mengenai teknik seiyuu yang sudah dijalankan oleh lembaga kursus Aki No

Sora kepada kelas VAEX sebagai upaya motivasi keinginan belajar berbicara

bahasa Jepang, dan menentukan judul ‘Seiyuu sebagai Upaya Memotivasi

Keinginan Belajar Berbicara Bahasa Jepang (Studi Kasus kelas VAEX dan

(7)

B. Rumusan Masalah Penelitian

1. Bagaimana pelaksanaan teknik seiyuu di kelas VAEX?

2. Bagaimana motivasi keinginan belajar berbicara bahasa Jepang pada

kelas VAEX dan kelas Guntai?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk memperoleh informasi terkait maksud dari istilah seiyuu yang

diadopsi dalam pembelajaran bahasa Jepang di kelas VAEX

2. Untuk memperoleh informasi mengenai motivasi keinginan belajar

berbicara bahasa Jepang pada kelas VAEX dan kelas Guntai

D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan lebih

khususnya dalam bidang bahasa Jepang, yakni teknik seiyuu sebagai

teknik pembelajaran baru. Dengan kata lain, penelitian ini dapat

bermanfaat untuk disiplin ilmu pendidikan. Penelitian ini juga dapat

dijadikan salah satu metode pembelajaran baru bahasa Jepang guna

memotivasi keinginan belajar berbicara pembelajar bahasa Jepang level

dasar.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, Penelitian ini dapat bermanfaat bagi:

1. Bagi penulis, penelitian teknik seiyuu ini merupakan teknik

pembelajaran yang terbilang baru yang dapat digunakan oleh

pendidik bahasa Jepang dalam pembelajaran guna memotivasi

keinginan peserta didik untuk belajar berbicara bahasa Jepang.

2. Bagi lembaga pendidikan, penelitian teknik seiyuu diharapkan

dapat memberikan kontribusi yang baik bagi lembaga kursus yang

bersangkutan (Aki No Sora), maupun lembaga pendidikan lain yang

terlibat dalam pembelajaran bahasa Jepang.

3. Bagi pembaca, diharapkan penelitian motivasi keinginan belajar

(8)

dikembangkan oleh peneliti yang memiliki minat yang kaitannya

erat dengan motivasi keinginan belajar berbicara bahasa Jepang.

E. Sistematika Penulisan

Urutan Penelitian yang penulis susun diawali dengan Bab I pendahuluan

berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian yakni rumusan

masalah penelitian dan batasan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan sistematika penulisan. Kemudian dilanjutkan dengan Bab II

yang berisi landasan teori yang terdiri dari subbab penjelasan istilah seiyuu,

motivasi keinginan belajar, dan berbicara bahasa Jepang. Setelah landasan

teori dilanjutkan dengan Bab III, yakni metode penelitian yang memuat

mengenai pendekatan, desain penelitian, partisipan, sampel penelitian, tahapan

penelitian, yakni angket dan wawancara, rancangan instrumen dan

pengumpulan data, dan analisis data. Kemudian Bab IV pelaksanaan teknik

seiyuu di kelas VAEX dan hasil analisis angket motivasi keinginan belajar

berbicara bahasa Jepang untuk menjawab masalah pada rumusan masalah.

Pembahasan terakhir yaitu Bab V yang berisi simpulan, implikasi, dan

rekomendasi, agar para pembaca maupun peneliti lain yang berminat pada

bidang yang serupa dengan penelitian ini dapat melakukan revisi apabila ada

Gambar

Gambar 1.1 Perubahan jumlah pembelajar bahasa Jepang di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penggemar film ketika ingin mendapat informasi tentang film, penggemar tersebut akan mencari informasi dan bertanya kepada kerabat atau temannya. Biasanya para penggemar film

menghadiri Klarifikasi hasil evaluasi ini dianggap menerima seluruh hasil keputusan Pokja ULP perihal hasil penawaran yang ingin diperjelas oleh Pokja ULP dalam

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam dua siklus dengan menerapkan model Advance Organizer dalam pembelajaran untuk materi

Sebagaimana disingggung di atas, Komisaris Pajak dapat memberikan rekomendasi kepada Kepala Dinas Fiskal Pusat agar suatu hutang berkenaan dengan pajak menurut Peraturan 2000/18 dan

Pemakaian jasa Internet sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang cepat dan akurat salah satunya adalah pemanfaatan Internet untuk menyajikan suatu informasi mengenai Horoskop

SMP IT AYATUL HUSNA PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING. DI SMP IT AYATUL HUSNA TAHUN

[r]