1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kimia adalah salah satu pilar dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri
(Cetingul, 2005, hlm.70). Melalui ilmu kimia, seseorang mampu memahami
gejala dan fenomena yang terjadi di alam berdasarkan susunan, struktur, sifat,
perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi. Hal tersebut
menjadi tuntutan khususnya bagi seorang pendidik untuk memiliki wawasan yang
luas dalam mengajarkan ilmu kimia agar mampu menyampaikannya secara jelas
dan berkesinambungan terhadap fenomena alam.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mata pelajaran kimia dianggap
sulit oleh siswa (Nakhleh, 1992, hlm.191; Cardellini, 2012, hlm.2;
Woldeamanuel, 2014, hlm.32). Hal ini diperkuat dengan temuan yang dilakukan
oleh Cardellini (2012, hlm.2) bahwa kimia dianggap sebagai mata pelajaran yang
sulit, abstrak, dan kompleks, yang membutuhkan kemampuan penalaran yang
tinggi dan usaha yang maksimal untuk dapat memahami. Sulitnya siswa dalam
memahami ilmu kimia yang abstrak menyebabkan rendahnya minat siswa
terhadap pembelajaran kimia (Nakhleh, 1992, hlm.191; Cardellini, 2012, hlm.2).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Griffith (Cetingul, 2005, hlm.70) telah
teridentifikasi beberapa pokok bahasan ilmu kimia yang dalam pembelajarannya
sering mengarah kepada miskonsepsi, diantaranya: kesetimbangan kimia, asam
basa, elektrokimia, sifat materi, ikatan, perubahan fisika dan kimia, serta larutan.
Materi kimia asam basa merupakan konsep dasar dalam mempelajari ilmu
kimia, karena pada hakikatnya hampir sebagian besar reaksi kimia yang terjadi
adalah reaksi asam basa (Cetingul, 2005, hlm.70). Selain itu, konsep asam basa
memiliki hubungan erat dengan kehidupan sehari-hari, sehingga jika siswa telah
memahami konsep asam basa maka diharapkan siswa mampu menjelaskan gejala
dan fenomena suatu larutan yang bersifat asam basa dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih dari itu, materi asam basa sangat penting dipelajari karena pemahaman
terhadap konsep asam basa akan berkontribusi pada pemahaman konsep materi
penyangga), konsentrasi larutan, reaksi reduksi-oksidasi, kesetimbangan kimia,
dan lain sebagainya (Chiu,dkk., 2004, hlm.1).
Beberapa temuan model mental mengenai asam basa menunjukkan bahwa
siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep asam basa sehingga
menimbulkan miskonsepsi. Seperti temuan model mental oleh Chiu (2005, hlm.
4) antara lain, siswa menggunakan karakteristik makroskopik atau fenomena
sehari-hari seperti sifat toksisitas dan korosif sebagai identitas untuk menentukan
apakah suatu larutan tersebut bersifat asam atau basa, siswa menganggap bahwa
larutan yang bersifat asam memiliki tingkat toksisitas yang lebih tinggi, lebih
bersifat korosif dan lebih berbahaya dibandingkan larutan yang bersifat basa.
Selain itu, siswa juga beranggapan bahwa untuk menentukan sifat asam basa dari
suatu larutan dapat ditentukan dengan cara melihat gugus fungsionalnya, seperti
larutan yang mengandung gugus OH merupakan larutan yang bersifat basa.
Miskonsepsi yang timbul akibat ketidakutuhannya model mental siswa terhadap
konsep asam basa, cenderung terjadi pada level makroskopik, seperti yang
teridentifikasi oleh Ross & Muby (1991) yaitu asam memiliki rasa yang pahit dan
pedas, semua senyawa yang memiliki aroma yang tajam dan kuat bersifat asam,
asam kuat memiliki pH yang lebih tinggi dibandingkan asam lemah, dan semua
senyawa yang bersifat basa berwarna biru serta tidak mengandung hidrogen
seperti asam. Temuan serupa mengenai miskonsepsi pada asam basa dikemukakan
oleh Cetingul (2005, hlm. 71) antara lain: 1) kekuatan asam bergantung pada
banyaknya jumlah atom H dan kekuatan basa bergantung pada banyaknya jumlah
atom OH; 2) hanya larutan yang bersifat asam yang dapat menghantarkan arus
listrik; dan 3) beberapa miskonsepsi lainnya.
Berdasarkan temuan miskonsepsi yang telah dikemukakan sebelumnya
menunjukkan bahwa siswa cenderung menggeneralisasi sifat asam basa hanya
dari fenomena yang mereka temukan sehari-hari tanpa melibatkan konsep asam
basa yang mereka pelajari di sekolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebenarnya siswa mengalami kesulitan dalam memahami ilmu kimia. Oleh karena
itu, dalam mempelajari ilmu kimia diperkenalkan istilah interteks sebagai suatu
media yang dapat menghubungkan fenomena kimia dengan konsep kimia secara
dan simbolik. Dengan melibatkan level representasi kimia, diharapkan siswa
dapat dengan mudah memahami ilmu kimia secara utuh. Pernyataan tersebut
sejalan dengan pendapat Chiu, dkk. (2004, hlm.8) yang menyatakan sumber
utama penyebab miskonsepsi pada siswa, khususnya pada materi asam basa, salah
satunya adalah kurang tepatnya strategi pembelajaran yang digunakan di sekolah,
yang sering kali mengabaikan penjelasan mengenai keterkaitan tiga level
representasi tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pembelajaran intertekstual yang
merupakan pembelajaran dengan menghubungkan tiga level representasi kimia
sehingga dapat meningkatkan penguasaan konsep kimia.
Selain diperlukan adanya kegiatan pembelajaran kimia yang menghubungkan
ketiga level representasi kimia, untuk memperoleh penguasaan konsep yang utuh,
siswa juga perlu meningkatkan keterampilan proses sains. Hal tersebut diperkuat
oleh temuan Cetingul (2011, hlm.119) yang menunjukkan bahwa siswa dengan
keterampilan proses sains yang tinggi memiliki penguasaan konsep yang tinggi
pula. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan proses
sains merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penguasaan konsep
kimia. Cetingul (2011, hlm.119) juga menambahkan salah satu yang
menyebabkan pentingnya peningkatan keterampilan proses sains siswa dalam
kegiatan pembelajaran kimia adalah karena konsep kimia, khususnya asam basa,
merupakan konsep yang abstrak dan teoritis yang membutuhkan keterampilan
siswa dalam melakukan proses sains dalam pembelajarannya. Keterampilan
proses sains merupakan kemampuan dalam mengolah dan mengkaji data,
melakukan eksperimen, dan kemampuan dalam memecahkan suatu masalah
ilmiah.
Pentingnya peran keterampilan proses sains dalam kegiatan pembelajaran
juga sesuai dengan arahan kurikulum 2013, yang menyatakan bahwa proses
pembelajaran sebaiknya dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan potensi siswa menjadi kemampuan yang semakin lama semakin
meningkat dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya
untuk hidup dan untuk bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada
kesejahteraan hidup umat manusia. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran
diharapkan (Permendikbud, 2013, hlm.3). Lebih lanjut, strategi pembelajaran
harus diarahkan untuk memfasilitasi pencapaian kompetensi yang bukan hanya
pada peningkatan penguasaan konsep atau kognitifnya, akan tetapi juga pada
peningkatan keterampilan proses sains siswa pun harus dijadikan target utama,
karena keterampilan proses sains memberikan kontribusi penting dalam
peningkatan penguasaan konsep kimia.
Berdasarkan analisis temuan dari penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
strategi pembelajaran pada materi asam basa yang selama ini telah dikembangkan
belum menghubungkan level representasi serta belum mampu meningkatkan
keterampilan proses sains siswa. POGIL (Process Oriented Guided Inquiry
Learning) merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan oleh Moog dan
Hanson bertujuan untuk membantu siswa dalam meningkatkan baik mengenai
konsep maupun keterampilan proses secara bersamaan (Hanson, 2006, hlm.3).
Menurut Nadelson (dalam Villagonzalo, 2014, hlm.2) pembelajaran menggunakan
strategi POGIL memegang peranan penting dalam membantu siswa untuk
menguasai materi pelajaran. Selain itu, Hanson menambahkan (dalam
Villagonzalo, 2014, hlm. 2) bahwa strategi POGIL dapat juga digunakan untuk
membantu siswa memahami ilmu kimia dengan melibatkan tiga level representasi,
yaitu makroskopik, submikroskopik, dan simbolik. POGIL mengedepankan
pembelajaran yang berpusat pada proses, yaitu pengembangan untuk memperoleh,
menerapkan, dan menghasilkan pengetahuan, yang tidak lain merupakan
pengembangan keterampilan proses sains siswa.
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka diperlukan
penelitian mengenai pengembangan strategi pembelajaran intertekstual dengan
POGIL pada materi asam basa untuk meningkatkan kemampuan penguasaan
konsep dan keterampilan proses sains siswa.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah
secara umum pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengembangan strategi
pembelajaran intertekstual dengan POGIL pada materi asam basa untuk
Agar penelitian ini lebih terarah dan memberikan gambaran yang jelas
mengenai masalah yang akan diteliti maka masalah tersebut dapat dirinci dalam
bentuk pertanyaan penelitian berdasarkan komponen-komponen dalam
pengembangan strategi pembelajaran, yaitu:
1. Bagaimanakah indikator penguasaan konsep berdasarkan kurikulum 2013
pada materi asam basa?
2. Bagaimanakah indikator keterampilan proses sains berdasarkan kurikulum
2013 pada materi asam basa?
3. Bagaimanakah rancangan kegiatan pembelajaran yang dikembangkan dalam
strategi pembelajaran intertekstual dengan POGIL pada materi asam basa
untuk meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan proses sains
siswa?
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini mencakup pada pembatasan kajian
materi asam basa yang dikembangkan, yaitu konsep asam basa menurut teori
Arrhenius dan asam basa menurut teori Brønsted-Lowry.
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan uraian yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini secara
umum bertujuan untuk memperoleh strategi pembelajaran intertekstual pada
materi asam basa dengan POGIL untuk meningkatkan penguasaan konsep dan
keterampilan proses sains siswa. Adapun tujuan khususnya antara lain:
1. Memperoleh indikator penguasaan konsep berdasarkan kurikulum 2013 pada
materi asam basa;
2. Memperoleh indikator keterampilan proses sains berdasarkan kurikulum 2013
pada materi asam basa; dan
3. Memperoleh rancangan kegiatan pembelajaran dalam strategi pembelajaran
intertekstual dengan POGIL pada materi asam basa untuk meningkatkan
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, berupa strategi pembelajaran intertekstual dengan POGIL
yang diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran, khususnya mata
pelajaran kimia pada materi asam basa, yang bertujuan untuk meningkatkan
penguasaan konsep dan keterampilan proses sains siswa;
2. Dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan strategi pembelajaran
intertekstual menggunakan POGIL;
3. Dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran kimia yang
menghubungkan tiga level representasi kimia untuk menghindari miskonsepsi,
khususnya pada materi asam basa;
F. Penjelasan Istilah
Berikut ini adalah penjelasan dari setiap istilah yang akan digunakan dalam
penelitian untuk menghindari adanya perbedaan interpretasi terhadap istilah atau
terminologi.
1. Strategi Pembelajaran diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang
rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
(Sanjaya, 2013, hlm.186).
2. Intertekstual merupakan suatu media yang dapat menghubungkan fenomena
kimia dengan konsep kimia secara utuh berupa level representasi kimia (level
makroskopik, submikroskopik, dan simbolik) (Wu, 2003, hlm.869).
3. Strategi Pembelajaran Intertekstual merupakan suatu rencana dalam merangkai
kegiatan dan langkah pembelajaran yang melibatkan keterkaitan tiga level
representasi kimia (Wu, 2003, hlm.871).
4. POGIL merupakan strategi pembelajaran yang berpusat pada pengusaan
konsep dan keterampilan proses sains, dengan urutan langkah pembelajaran:
orientasi, eksplorasi, pembentukan atau penemuan konsep, aplikasi, dan
5. Penguasaan Konsep merupakan gambaran aspek pengetahuan dari seseorang
yang mengacu pada level kognitif dari Taksonomi Bloom-Anderson
(mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan
menciptakan).
6. Keterampilan Proses Sains merupakan cara berpikir sains dalam menemukan
suatu konsep melalui penelitian yang perlu dilatih melalui pembelajaran
meliputi: mengamati, menafsirkan, menerapkan konsep, merekam data,
mengukur, meniru (replicating), membuat kesimpulan (inferring), bertanya,
merumuskan hipotesis, membuat model, melakukan percobaan, dan
mengkomunikasikan (Carin, 1997, hlm.11-13; Padilla, 1990, hlm 1-2; dan
Lancour, 2009, hlm.1).
G. Struktur Organisasi Skripsi
Skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu bab I mengenai pendahuluan, bab II
mengenai kajian pustaka, bab III mengenai metodologi penelitian, bab IV
membahas hasil penelitian, dan bab V berisi kesimpulan dan saran.
Bab I terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, penjelasan istilah, dan struktur organisasi skripsi.
Latar belakang penelitian merupakan pemaparan konteks penelitian yang akan
dilakukan berdasarkan masalah-masalah yang melatarbelakangi
keterlaksanaannya penelitian, rasionalisasi penelitian yang akan dilakukan, dan
berdasarkan kepentingan penelitian sehingga perlu dilakukan penelitian. Rumusan
masalah memuat identifikasi permasalahan yang akan diteliti secara spesifik.
Tujuan penelitian merupakan jawaban dari rumusan permasalahan pada penelitian
yang telah disampaikan pada bagian rumusan masalah. Manfaat penelitian berisi
mengenai penguraian manfaat temuan penelitian yang berguna bagi kajian ilmu
teoritis dan pihak-pihak yang terkait khususnya dalam bidang pendidikan kimia.
Definisi operasional merupakan pemaparan definisi dari setiap variabel yang
terdapat dalam konteks penelitian. Struktur organisasi skripsi berisi mengenai
sistematika penulisan skripsi yang menggambarkan kandungan setiap bab serta
keterkaitan antar satu bab dengan bab lainnya sehingga menjadi kerangka utuh
Bab II memuat kajian pustaka dari teori-teori yang dijadikan landasan dalam
melakukan penelitian. Landasan teori yang peneliti kaji meliputi strategi
pembelajaran intertekstual, level representasi kimia, POGIL, penguasaan konsep,
keterampilan proses sains, deskripsi materi asam basa khususnya teori asam basa
Arrhenius dan Brønsted-Lowry, serta penelitian terdahulu yang relevan dengan
bidang yang akan diteliti.
Bab III merupakan bagian yang mengemukakan rancangan alur penelitian
yang akan dilakukan meliputi metode penelitian yang digunakan, langkah
penelitian dalam bentuk bagan serta pemaparannya yang dirancang dalam proses
penelitian, objek penelitian yang memuat tentang konsep asam basa, khususnya
teori asam basa Arrhenius dan Brønsted-Lowry, instrumen yang digunakan dalam
penelitian, prosedur pengumpulan data (langkah-langkah yang dilakukan dalam
penelitian untuk memperoleh data), dan teknik analisis data yang berisi mengenai
cara pengolahan data.
Bab IV merupakan pembahasan mengenai temuan yang diperoleh mengenai
strategi pembelajaran intertekstual menggunakan POGIL pada materi asam basa
untuk meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan proses sains. Strategi
tersebut dikembangkan melalui beberapa tahap, yaitu analisis kurikulum 2013
mengenai kompetensi dasar yang membahas konsep asam basa, perumusan
indikator penguasaan konsep dan indikator keterampilan proses sains, analisis
level representasi kimia pada konsep asam basa, analisis mengenai miskonsepsi
pada konsep asam basa, analisis strategi pembelajaran menggunakan POGIL,
analisis literatur mengenai penjelasan keterampilan proses sains dan konsep asam
basa, perumusan strategi pembelajaran intertekstual menggunakan POGIL yang
sesuai dengan tingkat penguasaan konsep dan deskripsi keterampilan proses sains.
Selain membahas mengenai pengembangan strategi pembelajaran, dalam bab IV
juga membahas mengenai data hasil validasi oleh dosen dan guru kimia. Sehingga
memperoleh indikator penguasaan konsep, konsep, indikator keterampilan proses
sains, penjelasan keterampilan proses sains, dan strategi pembelajaran
intertekstual menggunakan POGIL untuk meningkatkan penguasaan konsep dan
Bab V memuat kesimpulan dan saran yang menyajikan penafsiran mengenai
hasil analisis temuan serta mengajukan hal-hal penting yang dapat dimanfaatkan
oleh berbagai pihak yang bersangkutan dari hasil penelitian. Kesimpulan berisi
jawaban dari rumusan masalah yang telah dibuat, yaitu indikator penguasaan
konsep, indikator keterampilan proses sains, dan kegiatan pembelajaran
intertekstual dengan POGIL. Saran berisi masukan atau ide yang ditujukan kepada
praktisi (guru), dan peneliti lain mengenai strategi pembelajaran intertekstual