• Tidak ada hasil yang ditemukan

Verifikasi Akurasi Posisi Pasien IMRT Kanker Nasofaring dengan Registrasi Citra DRR/EPID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Verifikasi Akurasi Posisi Pasien IMRT Kanker Nasofaring dengan Registrasi Citra DRR/EPID"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Verifikasi Akurasi Posisi Pasien IMRT Kanker Nasofaring dengan Registrasi

Citra DRR/EPID

Susi Nofridianita [1], Heru Prasetio [2],, Harman J [3], dan Supriyanto A P[1] Departemen Fisika – Medis, Universitas Indonesia

[2] Staff Fisika Medis Radioterapi RSCM Abstrak

Teknik IMRT dapat mengurangi efek akut dan kronik, dengan cakupan dosis maksimal pada tumor dan dosis minimal pada organ/jaringan sehat di sekitarnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan verifikasi akurasi posisi pasien IMRT Kanker Nasofaring dengan registrasi citra DRR/EPID. Analisis data retrospektif terhadap citra DRR/EPID dari 35 pasien proyeksi AP dan Lateral (140 citra) yang telah diverifikasi secara manual kemudian secara simulatif diterapkan metode fusi semiotomatis dengan program FIJI. Penggunaan program FIJI dapat memperbaiki kualitas citra DRR/EPID sehingga memudahkan dalam verifikasi geometri radioterapi. Hasil penelitian ini secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara verifikasi manual dengan metode fusi pada radioterapi pasien kanker nasofaring, namun secara deskriptif terdapat kecenderungan bahwa metode fusi dengan program FIJI memberikan verifikasi geometri radioterapi yang lebih baik dibandingkan metode manual. Verifikasi akurasi posisi pasien sangat penting dilakukan karena besarnya translasi sangat mempengaruhi PTV dan dosis yang diterima jaringan sehat disekitarnya serta organ beresiko.

Kata kunci : kanker nasofaring, verifikasi geometri, DRR,EPID,PTV,IMRT

Abstract

Radiotherapy is one of common treatment modality for Nasopharyngeal Cancer. The development of intensity modulated radiotherapy (IMRT technique) gives satisfactory results in the nasopharyngeal cancer treatment, both clinically and dosimetry. IMRT can reduce the effects of acute and chronic, with a maximum dose coverage to the tumor and minimal dose to the organ or normal tissue surrounding target value. The purpose of this study is to compare the accuracy of patient positioning verification of Nasopharyngeal Cancer IMRT with DRR / EPID image registration. Retrospective data analysis of the AP and Lateral projections DRR and EPID images 35 patients (140 images) were then manually verified by simulative applied fusion semiautomatic with FIJI program. FIJI program improved the image quality of the DRR and EPID to facilitate the image registration. Results of this study shows no statistically significant difference between the manual verification and semiautomatic fusion method of nasopharyngeal cancer patients, but there is a tendency that the semiautomatic method with FIJI program provides verification geometry radiotherapy better a result than manual methods. Accuracy verification of patient positioning is very important because it greatly affects the magnitude of translational PTV and the dose received by surrounding healthy tissue and organs at risk.

(2)

1. Pendahuluan

Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas, dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (kanker nasofaring mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).1

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan kanker nasofaring karena bersifat radioresponsif . Teknik IMRT memberikan hasil yang cukup memuaskan dalam penanganan kanker (khususnya kanker nasofaring) baik secara klinis maupun dosimetri.3 Efektifitas IMRT ini sangat tergantung pada akurasi pengaturan posisi pasien dan imobilisasi dalam tatalaksana terapi radiasi. Sedangkan akurasi pengaturan posisi pasien diukur dan dikoreksi melalui mekanisme verifikasi akurasi posisi pasien di pesawat radiasi dengan perencanaan radiasi. Adapun verifikasi dilakukan pada pesawat Linear Accelator (Linac) dengan mengunakan portal film seperi Gammagrafi, Electronik Portal Imaging Device (EPID) juga menggunakan CT yang berbasis Cone Beam dengan modulasi kV atau MV.

Pada saat ini penggunaan EPID untuk verifikasi terapi sudah cukup luas digunakan secara klinis. Keuntungannya, lapangan radiasi dengan cepat dapat dimunculkan dan dikoreksi dengan Algorithma sistem komputer, sebelum terapi definitif diberikan. Namun,masalah utamanya adalah rendahnya kualitas gambar yang dihasilkan karena penggunaan energi tinggi (megavoltase), sehingga menyulitkan verifikasi. Untuk dapat memperbaiki kualitas gambar EPID tersebut, peneliti mencoba mencari pemecahan masalah dengan menggunakan software semi otomatis Fiji sehingga citra EPID mempunyai resolusi yang tinggi dan di registrasi dengan Digitally Reconstructed Radiograph (DRR) diharapkan hasilnya lebih akurat dan presisi dibandingkan dengan cara manual. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin melakukan penelitian berjudul Verifikasi Akurasi Posisi Pasien IMRT Kanker Nasofaring dengan Registrasi Citra DRR/EPID.

2. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini dipilih verifikasi pasien dengan EPID pada kasus kanker nasofaring yang menggunakan teknik IMRT (Intensity Modulated Radiotherapy) sebanyak

(3)

35 pasien citra DRR/EPID proyeksi AP dan Lateral (140 citra),dimana masing-masing pasien menghasilkan 4 citra.

2.1 Metode Verifikasi Manual (i View GT)

Verifikasi dengan registrasi citra DRR/EPID dengan menggunakan software I View pada pesawat LINAC Elekta Synergy’s. Hasil EPID secara otomatis terekam pada iView. Setelah DRR dan EPID dimunculkan pada layar komputer dengan posisi DRR disebelah kiri dan EPID disebelah kanan layar (side by side), koreksi diperoleh dengan cara membandingkan Citra DRR yang dihasilkan dari planning TPS dibandingkan dengan citra EPID. Pengamat kemudian mengatur pencahayaan citra untuk memudahkan deteksi struktur tulang acuan, kemudian pengamat mengukur jarak tulang acuan terhadap sumbu X ,Y dan Z yang melalui titik pusat (isocenter). Dari citra AP diperoleh translasi sumbu X dan Y, sedangkan dari citra lateral diperoleh translasi dari sumbu Y dan Z. Kemudian dilakukan reposisi jika nilai translasi melebihi 3 mm.

(4)

2.2. Metode Verifikasi Fusi semi otomatis (Fiji)

DRR dan EPID dari database iView diekspor menjadi file citra berformat .tiff (Tagged Image File Format) dalam suatu folder. Pada penelitian ini digunakan software FIJI sebagai program verifikasi geometri. Program ini dijalankan pada windows XP dengan processor intel ® atom. Instruksi program dijalankan dengan menggunakan bahasa macros. Macros yang digunakan terdiri atas dua bagian, yakni :

− Preregistrasi, mencakup proses penyesuaian skala dan filter dengan tujuan untuk meningkatkan ketajaman citra secara otomatis

− Registrasi, menentukan titik anatomi (landmark) acuan yang ditentukan oleh pengamat.

Proses Preregistrasi

EPID yang dihasilkan pada pesawat Synergi S memiliki ukuran citra yang seragam, yakni 10,12 x 10,12 inci (1024 x 1024 pixel), 16 bit. Sedangkan ukuran citra DRR bervariasi tiap citra, hal ini terjadi pada waktu rekontruksi citra dengan Pinnacle Plan dan Precise Plan, program ini secara otomatis menskala DRR yang berbeda pada setiap lapangan radiasi, sehingga perlu penyeragaman ukuran DRR untuk memudahkan verifikasi. Kemudian digunakan DRR dengan ukuran citra paling besar untuk penyeragaman ukuran, yakni 12,39 x 12,39 inci (600 x 600 pixel), 16 bit.

Kemudian dilakukan penyamaan skala antara citra DRR dengan EPID berdasarkan penyesuaian portal radiasi antara kedua citra. Dengan demikian posisi isosenter kedua citra masing-masing tepat berada pada pusat citra. Setiap EPID memiliki tepi citra yang membayang, sehingga dilakukan pengurangan ukuran 224 x 224 pixel menjadi 7,91 x 7,91 inci (800 x 800 pixel), 16 bit,untuk mengurangi gangguan tersebut. Kemudian dilakukan penyesuaian skala pixel dengan DRR menjadi 7,91 x 7,91 inci (600 x 600 pixel), 16 bit. Selanjutnya untuk menyamakan ukuran DRR dengan EPID digunakan faktor skala 1,57(12,39/7,91 inci) dan dikonversi dalam sentimeter (1 inci = 2,54 cm), sehingga ukuran kedua citra menjadi 20,08 x 20,08 cm (600 x 600 pixel), 16 bit. Namun karena tepi citra pada EPID masih mengganggu dilakukan penyesuaian ukuran menjadi 600 x 480 pixel, sehingga ukuran kedua citra menjadi 20,08 x 16,06 cm ( ± 0,02 cm).

(5)

Untuk meningkatkan visualisasi tulang dan lapangan radiasi pada kedua citra,maka digunakan metode convolve dengan kernel dan unsharp mask filter. Hasil proses tersebut seperti terlihat pada gambar 2 dibawah ini :

(a ) (b) (c)

(a ) (b) (c)

Gambar 2. DRR; (a )sebelum diolah (b) setelah penyesuaian skala dan pengaturan kontras (c) setelah filter dengan metode convolve dan unsharp mask.

(6)

(a ) (b) (c)

( a ) ( b) (c)

Gambar 3. EPID; (a) sebelum diolah (b) setelah penyesuaian skala dan pengaturan kontras (c) setelah filter dengan metode convolve dan unsharp mask

Gambar 4. (a) DRR yang sudah dengan software Fiji, (b) EPID yang sudah diolah dengan Software Fiji

(7)

(c)

Gambar 4. (c )DRR/EPID yang sudah difusi dengan Software Fiji, hasil pergeseran dalam pixel

Registrasi

Selanjutnya satu titik acuan tulang ditempatkan secara manual pada masing-masing citra. Kedua citra tersebut terfusi secara otomatis berdasarkan titik acuan tersebut dengan menggunakan aplikasi 2D stitching pada FIJI. Warna merah menunjukkan citra DRR sedangkan warna biru menunjukkan citra EPID. Aplikasi ini juga secara otomatis menunjukkan kesalahan set-up, tapi masih dalam skala pixel. Kemudian untuk mendapatkan skala pengukuran dalam sentimeter, hasil yang didapatkan dikali dengan faktor 0,03. Nilai 0,03 didapatkan dari hasil kalibrasi kedua citra dalam satuan sentimeter. Gambar dibawah ini memperlihatkan proses registrasi citra DRR-EPID dengan titik acuan pada ujung distal korpus vertebra servikalis 2 anterior, dan hasilnya didapatkan pergeseran meja terhadap :

sumbu Z dari isosenter = -2 x 0,03 = 0,06 cm sumbu Y dari isosenter = 8 x 0,03 = 0,24 cm

(8)

3. Hasil

3.1. Verifikasi manual dan fusi semi otomatis terhadap ordinat X (right-left)

Metode Manual Metode Fusi Semiotomatis

(a) (a) (b) (b) (c) ( c)

Gambar 5. Diagram perbandingan verifikasi manual dengan metode fusi semiotomatis terhadap sumbu X

(9)

Untuk mempermudah melihat perbedaan antara kedua metode yang digunakan, data disajikan dalam bentuk diagram seperti diatas (diagram 4.1)

a. Diagram frekuensi b. Grafik normalitas

c. Nilai pergeseran rata-rata, nilai maksimum dan nilai minimum.

Pada grafik terlihat tabulasi pergeseran terhadap sumbu X metode manual pada 35 pasien. Pada metode manual didapatkan 2 pasien yang melebihi toleransi 3 mm ini berarti verifikasi dengan koreksi dengan frekuensi kummulatif sebanyak 5,3%. Nilai rata-rata 1,67 mm dan data minimum 0,0 data maksimum 5,5 mm. Standar deviasi 1,32. Sedangkan pada metode verifikasi fusi semi otomatis, nilai rata-rata pergeseran pada sumbu X adalah 1,4 mm lebih kecil dibandingkan dengan metode manual dan data minimum 0,0 mm, data maksimum 5,2 mm dengan standar deviasi 1,12. Dilihat dari grafik normalitas, ada 3 data yang jauh dari garis, hal ini berarti ada pasien yang melebihi toleransi 3 mm dan harus dikoreksi sebanyak 8,5%, pada metode fusi semi otomatis ini data yang dikoreksi lebih banyak dibandingkan dengan metode manual.

3.2 Verifikasi manual dan fusi semi otomatis terhadap ordinat Y (Supeior-Inferior)

Pengolahan data koreksi geometri pada sumbu Y sama dengan pengolahan data pada sumbu X, pengolahan data disajikan dalam bentuk grafik sebagai berikut

Metode Manual Metode Fusi Semi otomatis

(10)

Gambar 6 a. diagram frekuensi, b.grafik normalitas, c. grafik boxplot verifikasi manual dan fusi semiotomatis terhadap sumbu Y.

Pada Gambar 4.3 terlihat tabulasi pergeseran terhadap sumbu Y metode manual pada 35 pasien. Nilai rata-rata pergeseran pada sumbu Y adalah 1,23 dan data minimum 0,0 data maksimum 3. Standar deviasi 1. Dilihat dari grafik normalitas, sebaran data berada disekitar garis, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pasien yang melebihi toleransi 3 mm ini berarti verifikasi 100% tanpa koreksi.

Metode Manual Metode Fusi Semi otomatis

(b) (b)

(11)

Sedangkan verifikasi dengan metode semiotomatis dengan software Fiji pada 35 pasien. Nilai rata-rata pergeseran pada sumbu Y adalah 1,02 lebih kecil dibandingkan dengan metode manual dan data minimum 0,0 data maksimum 4,2. Standar deviasi 1,06. Dilihat dari grafik normalitas, ada 2 sebaran data berada jauh dari garis, hal ini menunjukkan bahwa ada pasien yang melebihi toleransi 3 mm ini berarti harus dikoreksi dengan frekuensi 5,7% yang di koreksi. Padahal verifikasi dengan metode manual tidak ditemukan data yang melebihi toleransi.

3.3 Verifikasi manual dan fusi semi otomatis terhadap ordinat Z (Anterior-Posterior)

Metode Manual Metode Fusi Semi otomatis

(a) (a)

(12)

Gambar 7 a. diagram frekuensi, b.grafik normalitas, c. grafik boxplot verifikasi manual dan fusi semiotomatis terhadap sumbu Z.

Pada tabel diatas terlihat tabulasi pergeseran terhadap sumbu Z metode manual pada 35 pasien. Nilai rata-rata pergeseran dengan metode manual adalah 1,34 mm dan data minimum 0,0 mm, data maksimum 7 mm dengan standar deviasi 1,43. Dilihat dari grafik normalitas, ada satu data yang jauh dari garis, hal ini menunjukkan bahwa ada satu data pasien yang tidak normal dan harus dikoreksi, dengan frekuensi kumulatif 2,9%. Nilai pergeseran yang sangat jauh dibandingkan dengan batas toleransi. Sedangkan metode Fusi semiotomatis dengan software Fiji nilai rata-rata pergeseran pada sumbu Z adalah 1,38 mm lebih besar dibandingkan metode manual dan data minimum 0,0 data maksimum 5,1 mm dengan standar deviasi yang lebih kecil dibandingkan metode manual yaitu sebesar 0,9. Dilihat dari grafik normalitas, ada satu data yang jauh dari garis, hal ini menunjukkan bahwa ada satu data pasien yang tidak normal dan harus dikoreksi, dengan frekuensi kumulatif 2,9% tetapi data yang melebihi toleransi ini tidak terlalu ekstrim bila dibandingkan dengan metode manual.

3.3 Hasil Analisis Statistik perbandingan Verifikasi Manual dengan Metode Fusi Semiotomatis

Tabel 1 Perbandingan verifikasi manual dengan metode fusi semiotomatis terhadap sumbu X

Metode Verifikasi

Terhadap Sumbu X Jumlah

Verifikasi tanpa koreksi Verifikasi dengan koreksi Manual 33 2 35 Fusi Semiotomatis 32 3 35 Jumlah 65 5 70

Fisher’s Exact test, P =0,500

(13)

Gambar 8. Diagram batang perbandingan verifikasi manual dengan metode fusi semi otomatis terhadap sumbu X.

Pada tabel menunjukkan hasil analisis perbandingan verifikasi manual dengan metode fusi terhadap sumbu X. Pada tabel 2 x 2 tersebut, uji chi-squre tidak memenuhi syarat, sehingga digunakan uji alternatif, yakni uji fisher dengan nilai P > 0,05. Berarti tidak ada perbedaan secara statistik antara metode manual dengan fusi terhadap sumbu X.

Tabel 2. Perbandingan verifikasi manual dengan metode fusi semiotomatis terhadap sumbu Y.

Metode Verifikasi

Terhadap Sumbu Y Jumlah

Verifikasi tanpa koreksi Verifikasi dengan koreksi Manual 35 0 35 Fusi Semiotomatis 33 2 35 Jumlah 68 2 70

Fisher’s Exact test,P=0,246

Gambar 9. Diagram batang perbandingan verifikasi manual dengan metode fusi terhadap sumbu Y.

(14)

Hal yang sama dilakukan terhadap sumbu Y, nilai P > 0,05. Berarti tidak ada perbedaan secara statistik antara metode manual dengan fusi terhadap sumbu Y.

Tabel 3 Perbandingan verifikasi manual dengan metode fusi semiotomatis terhadap sumbu Z.

Metode Verifikasi

Terhadap Sumbu Z Jumlah

Verifikasi tanpa koreksi Verifikasi dengan koreksi Manual 34 1 35 Fusi Semiotomatis 34 1 35 Jumlah 68 2 70

Fisher’s Exact test, P=0,754

Gambar 10. Diagram batang perbandingan verifikasi manual dengan metode fusi terhadap sumbu Z. Hal yang sama terjadi pada sumbu Z, nilai P > 0,05. Berarti tidak ada perbedaan secara statistik antara metode manual dengan fusi terhadap sumbu Z.

4. Pembahasan

Berdasarkan Analisis statistik perbandingan verifikasi manual dengan metode Fusi semiotomatis diatas. Pada uji fungsi dapat diperlihatkan bahwa program FIJI dapat memperbaiki kualitas citra DRR-EPID, sehingga memudahkan dalam menilai struktur anatomi acuan. Perbandingan metode fusi menggunakan program FIJI ini dengan program XVI menunjukkan tidak ada perbedaan rerata yang signifikan, sehingga dapat dianggap bahwa verifikasi geometri radioterapi dengan program FIJI dapat digunakan dalam verifikasi geometri radioterapi pembanding.

Hasil statistik pada penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara metode manual dengan metode fusi baik terhadap sumbu X, Y, maupun sumbu Z, dengan toleransi pergeseran 3 mm. Namun secara deskriptif terdapat kecenderungan metode fusi

(15)

menunjukkan koreksi verifikasi pada pasien yang lebih banyak dibanding dengan metode manual. Berarti, ada pasien yang menurut verifikasi metode manual tidak perlu dikoreksi, sedangkan menurut verifikasi metode fusi harus dikoreksi karena melebihi toleransi 3 mm. Menurut kepustakaan ada 3 studi yang masing-masing menggunakan perangkat lunak yang dikembangkan secara otomatis maupun semiotomatis dan kemudian dibandingkan dengan metode manual.

Sutherland dkk membandingkan metode manual dengan perangkat lunak yang dikembangkan sendiri. Perangkat lunak tersebut memerlukan 3 titik acuan yang ditentukan oleh pengamat untuk menyesuaikan skala dan rotasi masing-masing citra, sedangkan pada penelitian ini penyesuaian skala berdasarkan penyesuaian portal radiasi masing-masing citra secara otomatis tanpa titik acuan. Selain itu, perangkat lunak tersebut juga menggunakan algoritma registrasi citra mutual information, penelitian ini menggunakan algoritma citra transformasi fourier. Hasilnya didapatkan perbedaan rerata kurang dari 3 mm pada verifikasi regio kepala. Yoon dkk juga mengembangkan sendiri perangkat lunak verifikasi geometri otomatis menggunakan program matlab dan kemudian membandingkannya dengan metode metode manual. Perangkat lunak tersebut menggunakan algoritma Canny edge detection pada masing-masing citra verifikasi, sedangkan pada penelitian ini langsung memperbaiki kualitas citra dengan penyesuaian kontras dan filter. Hasilnya didapatkan perbedaan rerata kurang dari 3 mm pada 8 pasien kanker kepala dan leher. Asvestas PA dkk membandingkan perangkat lunak registrasi semiotomatis (ESTERR-PRO) dengan jarak kesalahan set-up aktual, menggunakan 12 citra phantom DRR-EPID regio kepala, didapatkan hasil 0,8 ±0,3 mm, yang berarti hasilnya kurang dari 3 mm.

4.5 Hubungan antara verifkasi geometri dengan PTV dan organ beresiko

Keberhasilan radioterapi dengan teknik IMRT tergantung distribusi dosis pada Planning Tumor Volume (PTV) serta dosis pada organ beresiko di dekat target. Mengingat secara geometri akurasi posisi pasien sangat menetukan keberhasilan teknik IMRT, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap hasil perencanaan radioterapi seperti evaluasi pada DVH (Dose Volume Histogram).

Dalam penelitian ini telah dilakukan evaluasi perencanaan IMRT untuk kasus kanker nasofaring terhadap 5 pasien Berdasarkan data epid dari verifikasi manual dan semiotomatis sebelumnya didapatkan nilai yang melebihi toleransi 3 mm, ada beberapa data berkisar antara 4-7 mm. Untuk itu dilakukan pengambilan data sebanyak 5 pasien dan digeser 0 mm (sesuai

(16)

dengan perencannan), 3mm (batas toleransi), 5mm, 7mm dan 10 mm dilakukan di TPS Pinnacle. Kemudian dibandingkan PTV (Planning Tumor Volume) dan organ beresiko dari ke-5 data tersebut. Berikut ini adalah tampilan DVH (Dose Volume Histogram ) kumulatif dari pasien 1.

Gambar 11 a.Perbandingan Dose Volume Histogram (DVH) kumulatif untuk PTV dengan masing-masing nilai translasi (mm)

Untuk lebih jelas dalam mengetahui pengaruh besar translasi, maka berikut ini akan ditampilkan grafik masing-masing pasien dengan nilai yang menunjukkan distribusi dosis rata-rata, dan standar deviasi (SD) pada PTV (Planning Tumor Volume) penyinaran.

Gambar 11 b. Distribusi dosis pada PTV 5 pasien

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 5500 5600 5700 5800 5900 6000 6100 6200 6300 6400 6500 6600 6700 6800 6900 7000 7100 0 3 5 7 10 S D m e an ( cG y ) Translasi (mm) mean sample 1 mean sample 2 mean sample 3 mean sample 4 mean sample 5 SD sample 1 SD sample 2 SD sample 3 SD sample 4 SD sample 5

(17)

Dari gambar kurva PTV dari 5 pasien diatas , maka dapat disimpulkan bahwa besarnya translasi sangat berpengaruh terhadap nilai PTV. Dari semua pasien terlihat jelas bahwa semakin besar pergeseran/translasi, nilai rata-rata distribusi dosis radiasi pada PTV makin menurun dengan standar deviasi meningkat. Batas toleransi dalam verifikasi adalah 2-3mm. Dari data terlihat pada pergeseran 3 mm nilai PTV berkurang 1 % dibandingkan dengan nilai PTV penyinaran sebenarnya, tetapi nilai makin meningkat dengan bertambah besarnya translasi dan melebihi nilai batas toleransi. Jika ini dibiarkan dan tidak dikoreksi sampai akhir masa penyinaran, maka kemungkinan yang terjadi adalah target penyinaran tidak teradiasi seluruhnya dan ada bagian yang under dose dan jaringan sehat disekitar tumor mendapatkan radiasi.

Berikut ini ditampilkan gambar distribusi dosis dari TPS, dapat dilihat confirmity dari pengaruh translasi terhadap PTV pada gambar 4.10. Garis biru pada gambar adalah PTV sedangkan warna merah distribusi dosis 100% pada PTV, dan warna hijau dosis 95 % pada PTV. Pada translasi 5 mm,7mm dan 10 mm ada bagian yang kosong, ini menunjukkan bahwa jika ini tidak dikoreksi maka bagian yang kosong ini akan mengalami under dose. Dan distribusi dosis 95 % dan 100% yang keluar dari target PTV, maka jaringan ini akan mendapatkan radiasi. Kedua hal ini nanti akan menimbulkan dampak terhadap pasien.

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 12. Confirmity dan distribusi dosis pada PTV dengan translasi; (a) 0 mm (b) 3 mm (c) 5 mm (d) 7 mm (e) 10 mm.

(18)

Dosis pada Medulla spinalis

Organ beresiko yang dievaluasi pada kasus kanker Nasofaring dalam penelitian ini adalah medulla spinalis. Didapatkan hasil seperti terlihat pada tabel 4.6.

Tabel 4. Dosis 2% Volume Medulla spinalis

Translasi (mm) D2% (cGy) Pasien 1 D2% (cGy) Pasien 2 D2% (cGy) Pasien 3 D2% (cGy) Pasien 4 D2% (cGy) Pasien 5 0 4169,7 3871,9 4286,8 4278,4 4079,0 3 4120,6 4007,6 4592,9 4586,8 4546,1 5 4064,0 4063,5 5214,3 4731,1 5006,9 7 4036,4 4083,4 5527,6 4853,1 5526,1 10 4015,0 4068,0 5996,4 5163,6 6107,3

Kemudian untuk mempermudah analisis, data tersebut dibuat dalam bentuk grafik seperti dibawah ini :

Gambar 4.11 Dosis maksismum pada medulla spinalis (n=5)

Dosis yang diterima pasien 1 pada organ medulla spinalis adalah dengan bertambahnya translasi dosis yang diterima semakin menurun, sedangkan pasien yang lainnya dosis yang diterima medulla spinalis semakin besar dengan bertambahnya translasi. Ini dapat disimpulkan bahwa dosis yang diterima tergantung dari arah pergeseran, jika ketidak akuratan geometri mendekati organ medulla spinalis maka dosis yang diterima semakin besar, dan begitu juga sebaliknya. Batas dosis untuk medulla spinalis adalah Dmax < 4500 cGy atau 1 cc < 5000 cGy, apabila melebihi batas ambang tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada organ tersebut seperti bisa mengakibatkan kelumpuhan pada pasien. Jadi, verifikasi akurasi

3500 3750 4000 4250 4500 4750 5000 5250 5500 5750 6000 0 3 5 7 10 D o si s (c G y ) Translasi (mm) pasien 1 pasien 2 pasien 3 pasien 4 pasien 5

(19)

posisi pasien sangat penting dilakukan, agar sesuai dengan tujuan radioterapi dan meningkatkan efektifitas teknik IMRT.

5. Kesimpulan

Verifikasi pada 35 pasien IMRT nasofaring yang diverifikasi dengan menggunakan EPID dapat disimpulkan:

1. Metode Verifikasi manual didapatkan pergeseran rata-rata 1,67 mm (±1,32 mm) terhadap sumbu X, 1,23 mm (±1mm) terhadap sumbu Y dan 1,34 mm (±1,43mm) terhadap sumbu Z.

2. Metode Verifikasi menggunakan software Fiji semi otomatis didapatkan pergeseran rata-rata 1,4 mm (±1,12 mm) terhadap sumbu X . 1,02 mm (±1,06 mm) terhadap sumbu Y dan 1,38 mm (±0,9 mm) terhadap sumbu Z.

3. Hasil penelitian ini secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara verifikasi manual dengan metode fusi pada radioterapi pasien kanker nasofaring, namun secara kualitatif terdapat kecenderungan bahwa metode fusi dengan program FIJI memberikan verifikasi geometri radioterapi yang lebih baik dibandingkan metode manual.

4. Besar nilai pergeseran sangat mempengaruhi dosis yang diterima pada PTV. Semakin besar nilai pergeseran maka distribusi dosis pada PTV akan menurun sehingga menyebabkan daerah target penyinaran ada bagian yang under dose dan jaringan sehat disekitar tumor mendapatkan radiasi.

5. Besar pergeseran mempengaruhi dosis yang diterima oleh organ beresiko. Semakin besar pergeseran, standar deviasi meningkat. Sedangkan, untuk besarnya dosis yang diterima tergantung dari arah pergeseran. Jika arah pergeseran makin mendekati organ beresiko maka dosis yang diterima juga semakin besar, dan begitu sebaliknya.

(20)

Daftar Acuan

1. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (Departemen Kesehatan RI),2011, Kanker di Indonesia Tahun 2006,Badan Registrasi Kanker (Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia), Yayasan Kanker Indonesia.

2. Broderick Maria, Leech Michelle, Coffey Mary. Direct aperture optimization as a means of reducing the complexity of intensity modulated radiation therapy plans. http://www.ro-journal.com/content/4/1/8. Radiation Oncology 2009, 4:8.

3. On target : ensuring geometric accuracy in radiotherapy. http://www rcr ac uk/docs/oncology/pdf/BFCO(08)5_On_target pdf 2013 March 2.

4. Hurkmans CW, Remeijer P, Lebesque JV, Mijnheer BJ. Set-up verification using portal imaging; review of current clinical practice. Radiotheraphy Oncol0gy. 2001

5. Stroom JC,Heijmen BJM. Geometrical Uncertainties, radiotherapy planning margins, and the ICRU report-62. Radiotherapy and Oncology:2002:75-83

6. Blanco,A.L and K.Chao. Intensity Modulated Radiation Therapy in Head and Neck Cancer 2002 New York

7. Conselo Bastida, Jumila Jorge. DRR and Portal Image Registration for Automatic Patient Positioning in Radiotherapy Treatment.2011

8. George K Matsopoulus,Pantelis A.Registration of Electronic Portal Images for Patient Set-Up Verification.2004

9. Moseley J,Munto P.A. Semiautomatic method of Registration of Portal Images.Med Phys.1994.

10. Sutherland K, Ishikawa M, Bengua G, Ito YM, Miyamoto Y, Shirato H. Detection of patient setup errors with a portal image - DRR registration software application. J Appl Clin Med Phys 2011;12(3):3492

11. Yoon M, Cheong M, Kim J, Shin DH, Park SY, Lee SB. Accuracy of an automatic patient-positioning system based on the correlation of two edge images in radiotherapy. J Digit Imaging 2011 Apr;24(2):322-30.

12. Asvestas PA, Delibasis KK, Mouravliansky NA, Matsopoulos GK. ESTERR-PRO: a setup verification software system using electronic portal imaging. Int J Biomed Imaging 2007

Gambar

Gambar 1 : tampilan verifikasi dengan metode manual
Gambar 2. DRR; (a )sebelum diolah (b) setelah penyesuaian skala dan pengaturan kontras (c)  setelah filter dengan metode convolve dan unsharp mask
Gambar 3. EPID;  (a) sebelum diolah (b) setelah penyesuaian skala dan pengaturan kontras (c)  setelah filter dengan metode convolve dan unsharp mask
Gambar 4. (c )DRR/EPID yang sudah difusi dengan Software Fiji, hasil pergeseran dalam  pixel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan kualitas hidup pasien kanker nasofaring yang mendapatkan kemoterapi di ruang

bahwa jumlah pasien baru dengan penyakit kanker nasofaring yang. menjalani rawat inap di

Judul Skripsi : Hubungan Antara Tingkat Asupan Energi dan Protein dengan Status Gizi Pada Pasien Kanker Nasofaring di RSUD Dr... Dan segala nikmat yang

Tujuan Umum : Mengetahui hubungan antara tingkat asupan energi dan protein dengan status gizi pada pasien kanker nasofaring di. ruang

Kedua data tersebut dilihat dari catatn medik pasien kanker nasofaring yang mendapat radioterapi sebelum dan setelah yang diambil dari bagian catatan RSUP Dr Kariadi Semarang..

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi yang berjudul “ Perbedaan Berat Badan Pada Pasien Karsinoma Nasofaring Sebelum dan Sesudah Radioterapi pada

Hubungan tingkat pengetahuan gizi, asupan energi dan protein dan status gizi pasien kanker nasofaring dengan kemoterapi yang dirawat inap di RSUD Dr.. Dengan demikian dapat

Dari hasil analisis hasil citra pasien kanker nasofaring dari HU awal sampai HU 20x2Gy terdapat efek samping yaitu berkurangnya volume jaringan pada organ parotis