• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Pendidikan (Studi tentang Kitab Qami al-tugyan Karya Syeikh Nawawi) Oleh: Muh Saerozi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Politik Pendidikan (Studi tentang Kitab Qami al-tugyan Karya Syeikh Nawawi) Oleh: Muh Saerozi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Muh Saerozi

Abstrak

Kekuasaan sebagai salah satu unsur politik mendapat perhatian yang besar dalam kitab Qami’ al-Tugyan. Ada dua karakteristik kekuasaan, yaitu

kekuasaan yang baik dan kekuasaan yang buruk. Misi utama pendidikan terhadap kekuasaan maupun politik adalah menyiapkan generasi yang kelak dapat mengubah sistem politik menjadi lebih baik. Perubahan itu diawali dengan perbaikan sikap dan perilaku politik pendidik dalam proses pendidikan. Pendidik harus memiliki perilaku politik yang ideal, yaitu kritis terhadap kekuasaan, bukan apologis terhadapnya. Internalisasi sikap politik yang normatif dalam proses pendidikan dilakukan secara implisit.

Kata kunci: politik, kekuasaan, pendidikan, Banten, kolonialisme, Mekah

A. Pendahuluan

Qami’ al-Tugyan adalah nama kitab karya Syeikh Nawawi al-Bantani (1814-1897). Isi kitab memuat komentar (syarh) atas hasyiyah kitab Syu’ab

al-Iman karya Zain al-Din bin ‘Ali bin Ahmad al-Kusyini al-Malibari. L.W.C. Van den Berg dalam survei kitab kuning di Jawa dan Madura tahun 1888 tidak menyebut Qami’ al-Tugyan. Kitab yang disebut hanya

Syu’ab al- Iman.1 Martin Van Bruinessen2 dalam survei kitab Kuning

terkemuka di Indonesia dan Malaysia juga tidak menyebut Qami’ al-Tugyan maupun Syu’ab al- Iman. Hal serupa terdapat pula dalam tulisan Martin Muntadzim berjudul Pelopor Gerakan Islam Nusantara.3

Di tengah opini yang mengarah pada simpulan kitab Qami’ al-Tugyan tidak populer, penerbit Tiara Wacana Yogyakarta justru menerbitkan

Qami’ al-Tugyan dalam bentuk terjemahan dengan judul Mutiara-Mutiara

Keimanan. Kreativitas Tiara Wacana merupakan fenomena menarik bagi penulis yang sejak lama memperhatikan wacana tentang “kitab kuning”.

∗∗∗∗

Dosen STAIN Salatiga. Penulis buku “Politik Pendidikan Agama di Era Pluralisme terbitan Tiara Wacana Yogyakarta”.

1 Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kaca Mata Barat, (Yogyakarta: IAIN

Sunan Kalijaga Press, 1988), p. 155.

2 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in The

Pesantren Mileu, dalam Bijdragen Tot de Taal-, Land-En Volkenkeunde, Deel 146., 1990), pp. 247-259.

(2)

Ada dua alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, buku Mutiara-Mutiara

Keimanan tampil perfect dari penerbit berstandar nasional. Kedua, performen buku Mutiara-Mutiara keimanan berpeluang untuk dibaca kalangan non-pesantren. Bahkan mereka yang awam terhadap bahasa Arab sekalipun.

Kitab Qami’ al-Tugyan juga memiliki sisi unik dibandingkan dengan karya tauhid Syeikh Nawawi yang lain, seperti Tijan Durari dan Nur

al-Dhalam. Keunikan itu dapat disimak dalam dua hal. Pertama, Tijan

al-Durari dan Nur al-Dhalam hanya memaparkan sendi-sendi keimanan dalam aspek vertikal, seperti sifat haq bagi Allah, sifat mustahil bagi Allah, sifat

haq bagi Rasul, dan sifat mustahil bagi Rasul, sedangkan Qomi’ al-Tugyan memaparkan keimanan sampai menjangkau pada aspek horisontal. Kedua, salah satu aspek horisontal yang diuraikan dalam kitab Qomi’ al-Tugyan adalah tentang pendidikan. Ketiga, kitab Tijan al-Durari maupun Nur al-

Dhalam tidak menyebut signifikansi kitab secara tegas pada aspek horisontal, sedangkan Qami’ al-Tugyan menyebutnya secara eksplisit dalam mukadimahnya.

Menyimak pada fenomena tersebut di atas, penulis tertarik mengkaji isi kitab dengan harapan dapat memperoleh kontribusi konseptual untuk memperkaya konsep pemikiran politik pendidikan Islam di Indonesia. Adapun pembahasan diarahkan untuk menjawab pertanyaan berikut ini: Pertama, bagaimanakah Qami’ Al-Tugyan memposisikan politik dalam konteks pendidikan?. Kedua, bagaimanakah relevansi konsep politik pendidikan Qami’ al-Tugyan dalam konteks kekinian?

B. Metode Pembahasan, Model Penerbitan, dan Genealogi Kitab

Istilah naskah dalam definisi Steenbrink4 adalah tulisan-tulisan yang tidak bersifat tulisan pribadi atau tulisan resmi instansi, tetapi tulisan yang dimaksudkan untuk bacaan umum. Sesuai dengan kriteria tersebut, maka penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian naskah, sebab Qami’

al-Tugyan ditujukan untuk khalayak umum.

Langkah awal penelitian ini adalah mencermati isi naskah Qami’

al-Tugyan dari cetakan yang berbeda, sebab satu kitab kuning biasanya dicetak oleh beberapa penerbit. Pembahasan selanjutnya adalah menelusuri asal muasal syarh (komentar). Hal ini dimaksudkan untuk membedakan antara konsep Syeikh Nawawi dan konsep ulama pendahulunya. Dari situ akan terlihat pula pemikiran murni Syeikh Nawawi. Langkah ketiga adalah mencari makna kontekstual kitab dengan menyimak setting historisnya.

4 Steenbrink, Mencari Tuhan, p. 84.

(3)

Dari hasil penelitian diketahui bahwa kitab Qami’ al-Tugyan dicetak oleh beberapa penerbit di Indonesia. Penerbit Ahmad bin Nabhan Surabaya mencetak Qami’ al-Tugyan menyatu dengan hidayah al-Adzkiya’

ila thariq al-Auliya’ karya Zain ad-Din al-Malibari. Kitab Hidayah ini berisi ajaran tasawuf akhlaqi. Model penerbitan Ahmad bin Nabhan seperti itu diikuti pula oleh penerbit Toha Putra Semarang.

Ada implikasi positif dari model penerbitan yang memuat Qami’

al-Tugyan dan hidayah al-Adzkiya’ dalam satu lembaran kitab. Misalnya, kitab

Qami’ al- Tugyan yang semula kurang pupuler terdongkrak popularitasnya dengan kitab hidayah yang telah populer sejak abad ke-19.5 Seseorang yang membaca kitab hidayah Al-adzkiya’ sekurang-kurangnya akan tertarik membaca Qami’ al-Tugyan lantaran keduanya berada dalam lembaran kitab yang sama.

Perwajahan cetakan Qami’ Tugyan dalam terbitan Toha Putra dan Ahmad bin Nabhan memiliki perbedan dalam judul dan gambar cover. Meskipun demikian, isi, jenis huruf, serta paragraf dalam tiap-tiap halaman masih sama.

Genealogi kitab Qami’ al-Tugyan tampak pula dalam sampul kitab terbitan Toha Putra maupun Ahmad bin Nabhan. Genealogi tersebut selanjutnya dipertegas dalam uraian mukadimahnya.

Skema 1.1. Genealogi Kitab:

5 Ibid., p. 156.

SYU’AB AL- IMAN VERSI

BAHASA PERSI (NURUDIN AL-IJI)

SYU’AB AL- IMAN

VERSI RINGKASAN DAN TERJEMAHAN

ARAB

(ZAINUDDIN BIN ALI BIN AHMAD

AL-KUSYUNI) (872

NAWAWI AL-BANTANI (QAMI’ AL-TUGYAN)

(4)

Syeikh Nawawi dalam Qami’ al-Tugyan menjabarkan secara kreatif yang terkandung dalam bait-bait syair Syu’ab al-Iman sebagaimana etika

Syarh. Sebagaimana diketahui bahwa dalam karya syarh tidak akan pernah dijumpai perbedaan pendapat, apalagi pertentangan, antara “guru” dengan “murid”. Syeikh Nawawi menyatakan dalam kitabnya yang lain, Maraqiy

al-ubudiyah6 bahwa murid tidak boleh bertentangan pendapat dengan guru. Dalam rangka menjaga prinsip ketaatan tersebut, Syeikh Nawawi selaku penganut madzhab Syafi’i sejak awal telah memilih kitab-kitab bermadzhab sama Syafi’i sebagai obyek komentarnya. Identitas Syafi’iyah disebut secara eksplisit—misalnya—ketika menyebut nama Zain Din al-Malibari dengan sebutan Asy’syafi’i.7

Sebagaimana telah disebut di muka bahwa Qami’ al-Tugyan merupakan syarh dari kitab Syu’ab al-Iman. Di dalamnya disebutkan 77 aspek iman. Adapun cabang iman yang terkait dengan aspek horisontal disebutkan sebagai berikut: (1) menuntut Ilmu, (2) mengagungkan agama, (3) hidup bersih, (4) zakat, (5) jihad, (6) menjaga lisan, (7) menyampaikan amanat, (8) hidup rukun dengan sesama muslim, (9) memberikan makanan dan harta, (10) tidak dengki, (11) menjaga kehormatan sesama Muslim, (12) menyesal atas perbuatan buruk, (13) berkorban dan aqiqah, (14) menegakkan hukum, (15) memerintah yang ma’ruf, (16) menjaga hak keluarga dan anak, (17) memberi nafkah dan mengajarkan ilmu kepada keluarga, (18) menengok orang sakit, (19) membalas kedamaian, (20) memuliakan tetangga, (21) memuliakan tamu, (22) menutup aib sesama muslim, (23) berbuat baik kepada orang tua, (24) berbuat baik kepada pembantu dan mengajar agama kepada mereka, (25) menghormati orang yang lebih tua dan mengasihi yang lebih muda, (26) mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri.

Dari tema-tema tersebut, sisi pendidikan dan politik disebutkan secara eksplisit eksplisit. Hanya saja uraian-uraian tentang pendidikan dan politik tidak terdapat dalam satu bab saja.

C. Perspektif Politik

Istilah politik dalam bahasa Arab lazim disebut siyasah8 Kitab Qami’

al-Tugyan tidak menyebut istilah tersebut. Dari 6 unsur politik yang

6 Syeikh Muhammad bin Umar al-Nawawi, Maraqy al-‘Ubudiyah, (Semarang:

Pustaka al-Alawiyah, t.t.), p. 88.

7Syeikh Muhammad bin Umar al-Nawawi, Qami’ al-Tughyan, (Semarang: Toha

Putera, t.t.), p. 3.

8 Ahmad Warson Munawir, Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), p.

(5)

disebut ilmuan politik kontemporer seperti Miriam Budiardjo9 hanya ada satu yang disentuh secara eksplisit, yaitu kekuasaan dan kebijakan. Adapun unsur yang lain seperti negara (state), pengambilan keputusan (decicion making), dan pembagian (distribution) atau alokasi (alocation) tidak disebut secara eksplisit. Hal ini dapat dimaklumi sebab Qami’ al-Tugyan memang bukan murni kitab politik pendidikan.

Beberapa aspek kekuasaan yang disebut dalam Qami’ al-Tugyan sebagai berikut:

Tabel 1.2.

Aspek-Aspek Uraian Tentang Kekuasaan

NO. ASPEK DESKRIPSI

1 Otoritas penguasa Semua rakyat wajib taat kepada penguasa sejauh kebijakannya tidak makruh ataupun haram. Kewajiban tersebut berlaku untuk semua rakyat10

2 Tanggung jawab terhadap wilayah

Bagi seseorang yang memiliki kekuasaan dan sanggup mengatasi fitnah, ancaman, dan lain sebagainya, maka menetap di negeri Muslim adalah lebih baik baginya. Adapun bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan, maka boleh berhijrah ke negeri lain yang lebih aman.11

3 Kekuasaan sebagai tolok ukur keulamaan

Salah satu karakter ulama akrerat adalah seseorang tidak terlalu melibatkan diri dalam soal pemerintahan (politik) kecuali dalam hal-hal yang sesuai dan proporsional dengan perannya sebagai seorang ahli ilmu, seperti memberikan nasihat mencegah kelaliman dan menuntun pemerintah ke arah yang diridlai Allah.12

Dari tabel tersebut ada empat hal pokok yang dapat dikemukakan. Pertama, kekuasaan memiliki dua wajah, yaitu kekuasaan yang baik dan kekuasaan yang buruk. Kedua, rakyat wajib taat pada penguasa yang baik. Ketiga, Di antara kriteria penguasa yang baik adalah tidak membuat kebijakan yang makruh atau haram. Keempat, ulama yang baik bertindak proporsional terhadap kekuasaan dan memerankan diri sebagai pencegah kelaliman yang terjadi dalam tubuh kekuasaan tersebut.

Pandangan Syeikh Nawawi terhadap politik kekusaan memiliki akar sejarah sosial dan politik Banten abad ke-19. Nama Banten atau Jawa

9 Miriam Budirdjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2001), p. 9.

10 Syeikh Nawawi, Qami’, p. 16. 11 Ibid., p. 21.

(6)

memang tidak disebut secara eksplisit dalam Qami’ al-Tugyan, tetapi pada bagian mukadimahnya disebutkan secara implisit:

ﺎﺣﻼﻓ

دارأ

ﻦﳑ

ﻰﺴﻨﺟ

ءﺎﻨﺑﻷو

ﺎﻌﻓﺎﻧ

ﺎﺣﺮﺷ

ﺎﻬﻴﻠﻋ

ﺐﺘﻛأ

نأ

تدرأ

(Saya bermaksud menulis komentar atas kitab tersebut (Syu’ab al-Iman), yang mudah-mudahan bermanfaat untuk diriku dan generasi bangsaku

yang telah lama mendambakan kebahagiaan)13

Istilah “bangsa” yang digunakan oleh syeikh Nawawi, menurut hemat penulis, menunjuk pada generasi Muslim di Banten dan wilayah-wilayah Muslim lain di Indonesia. Interpretasi ini sangat dekat dengan latar historis kehidupan Syeikh Nawawi yang berasal dari Banten. Ada dua alasan terhadap interpretasi ini. Pertama, Syeikh Nawawi (1813-1897) sampai usia 15 tahun berada di Banten dan beberapa kota di Jawa. Setelah tiga tahun berada di Mekah, ia pulang lagi ke kampung halamannnya

selama tiga tahun dan akhirnya kembali lagi ke Mekah.14 Menurut konsep

psikologi, seseorang yang berusia lebih dari sebelas tahun memiliki sifat-sifat amat realistik, ingin tahun dan ingin belajar. O. Kroh menyebutnya dengan masa realisme.15 Oleh karena itu, Syeikh Nawawi yang ketika itu berusia mendekati dua puluh tahun tentu telah memiliki rekaman dan tanggapan psikologis terhadap fenomena kehidupan masyarakat di sekelilingnya. Kedua, Meskipun Qami’ al-Tugyan ditulis di Mekah, tetapi informasi tentang kondisi politik, pendidikan, ekonomi, dan keagamaan di Tanah Air tetap mengalir kepada Syeikh Nawawi melalui saluran jamaah haji yang datang setiap tahun ke sana. Hurgronje mencatat Banten sebagai wilayah yang mengirim jamaah haji terbesar di Nusantara pada abad ke-19.16 Di antara jamaah haji, ada sebagian yang terus bergegas pulang setelah bulan Dzulhijjah, tetapi ada pula yang menetap beberapa tahun di Mekah. Laporan statistik abad ke-19 menyebutkan bahwa jumlah jamaah haji yang kembali ke tanah air lebih sedikit dari yang datang ke Mekah. Selisih itu disebabkan karena banyak di antara mereka yang tetap tinggal di Mekah untuk belajar atau karena sebab lain, seperti meninggal dunia.17

Mereka yang menetap beberapa tahun di Mekah kemudian dikenal dengan sebutan komunitas Jawah.18 Dari komunitas Jawah inilah aktivitas tukar informasi tentang kehidupan di Tanah Air mengalir deras.

13 Ibid., p. 2.

14 Ma’ruf Amin dan Nasruddin Anshory, “Pemikiran Syeikh Nawawi Al-Bantani”,

dalam Pesantren, No.1/Vol/VI/ 1989, p. 96.

15Sumadi Suryabrata, 1990, p. 236. 16 Steenbrink, Mencari Tuhan, p. 117.

17 M. Saleh Putuhena, Historiografi Haji, (Yogyakarta: LKiS, 2007), p. 130.

18 Sartono Kartodordjo, Pemberontakan Petani Banten, Terjemahan Hasan Basari,

(7)

Di antara issu yang diperbincangan di kalangan komunitas jawah adalah kondisi di tanah air yang memprihatinkan dari aspek keagamaan, pendidikan, perpolitikan, dan perekonomian. Obyek perbincangan tersebut dapat dideteksi dari sikap-sikap mereka yang anti kolonialisme.

Sebagaimana dideskrepsikan oleh Sartono Kartodirdjo19 Banten pada abad

ke-19 berada pada kondisi politik dan ekonomi yang kurang menguntungkan masyarakat awam. Kalangan elit sebagai “panutan” terbelah menjadi tiga golongan yang terlibat konflik kepentingan, yaitu bangsawan, pamongpraja, pejabat agama, dan “ulama non-pejabat”. Sultan dan alat-alat politiknya sejak aneksasi Dandeles tahun 1808 ditempatkan di bawah pengawasan ketat pemerintah Belanda. Gelar Sultan boleh dipakai, tetapi posisinya hanya semacam boneka. Dalam cuaca politik seperti itu, Golongan Pamong Praja secara keseluruhan memperlihatkan sikap menyesuaikan diri dengan sistem politik Belanda. Mereka menjadi “mesin birokrasi kolonial” dan cenderung berperilaku hidup sekuler. Indikasi perilaku mereka yang mudah dibaca adalah semakin mengasingkan diri dari umat dan jauh dari semangat keagamaan. Di pihak lain ada golongan ulama non pejabat dan pejabat agama. Golongan ulama non-pejabat memposisikan diri anti kekuasaan Belanda. Mereka adalah para kyai atau haji sebagai guru-guru ngaji dan tarekat, sehingga tidak memiliki kedudukan dalam sistem administrasi pemerintahan tradisional dan sistem sekuler. Visi politik ulama non pejabat sangat dekat dengan para alumni komunitas jawah yang berada di Mekah. Di antara karakteristik mereka yang mudah disaksikan adalah konservatisme dan fundamentalisme. Penolakan mereka terhadap kekuasaan kolonial semakin keras seiring dengan berlangsungnya modernisasi serta gejala sekularisasi. Ulama non-pejabat ini berbeda dengan pejabat agama di Banten, sebab golongan yang disebut terakhir masuk ke dalam kerangka sistem administratif. Mereka juga membentuk satu kelas administratif religius berdampingan dengan kelas admnistratif sekuler. Pejabat agama memiliki akses yang mudah untuk berkomunikasi dengan pihak keraton dan kalangan atas birokrasi. Eksistensi mereka diakui di kalangan borikrasi Banten, sebab tiap-tiap sultan berposisi sebagai kepala agama Islam di wilayahnya.

Di simak dari kategorisasi empat golongan tersebut, ide-ide Qami’

al-Tugyan tampak berada pada posisi pemikiran ulama non-pejabat. Isi fatwa bernada kritis terhadap kekuasaan sekuler dan golongan ulama yang mendekat dengan kekuasaan.

19 Ibid., pp. 114-139.

(8)

D. Perspektif Pendidikan 1. Epistemologis

Syeikh Nawawi20 menggunakan istilah muta’allim untuk menyebut

murid. Adapun istilah muallim digunakan untuk menyebut guru. Istilah

muta’addib dan mu’addib seperti ditulis oleh Naquib al-Attas tidak digunakan oleh Syeikh Nawawi.21 Begitu pula istilah mutarabbi dan murabbi seperti yang digunakan oleh Al-Ahwani.22 Dari penggunaan istilah ta’lim

dan muta’allim dapat diketahui bahwa Syeikh Nawawi cenderung menggunakan istilah ta’lim untuk menyebut istilah pendidikan.

Istilah ta’lim yang digunakan oleh Syeikh Nawawi mencakup pengembangan subyek didik pada aspek jasmani, rasio, dan hati. Konsep semacam ini dipegang kuat oleh para pemikir pendidikan Islam

kontemporer di Indonesia, seperti dalam buku Noeng Muhajdir,23 Ahmad

Tafsir,24 dan Achmadi.25 Makna istilah ta’lim juga dekat dengan istilah

ta’dib yang dikemukakan oleh Naquib Al-Attas. Dari sudut pandang tersebut, maka maksud istilah ta’lim yang dimaksud oleh Syeikh Nawawi juga berbeda dengan istilah Islamic Studies sebagaimana sering dipahami para orientalis. “Islamic studies” hanya mendorong seseorang sampai pada tahapan mengetahui ilmu-ilmu keislaman, sedangkan istilah ta’lim Syeikh Nawawi lebih dekat dengan dorongan untuk mengamalkan Islam secara konsisten. Salah satu penegasan Syeikh Nawawi tentang hal ini tercermin dalam salah satu pernyatannnya tentang karakteristik ilmuan akherat, yaitu mereka senantiasa melaksanakan hal-hal yang diucapkan dan menjadi pelopor terhadap ucapannya.26

Makna istilah ta’lim selajutnya dikembangkan dalam bentuk kurikulum yang terdiri dari empat kelompok bidang ilmu sebagai berikut:

Tabel 1.3. Kategorisasi Ilmu

NO. JENIS ILMU DEFINISI FUNGSI &

ASPEK ILMU YANG TERKAIT 1 Fiqh Pengetahuan yang membahas Untuk agama/ Aspek Hati

Bahasa Arab, Al-Qur’an, Al-Hadits,

20 Syeikh Nawawi, Qami’, p. 7.

21Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terjemahan

Haidar Baqir, (Jakarta: Mizan, 1992), pp. 69-170.

22Achmadi, 1992, p. 7.

23 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Rakesarasin,

1993), p. 5.

24 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosyda Karya,

1992), p. 33.

25 Achmadi, 1992, p. 7. 26 Syeikh Nawawi, Qami’, p. 7.

(9)

tentang hukum-hukum Islam

Ulum al-Qur’an, Ulum al-Hadits, Ushul al- Fiqh, Tarikh Tasyri’. 2 Ilmu Kedokteran Pengetahuan tentang pengobatan penyakit jasmani Untuk kesehatan badan/ Aspek jasmani Biologi, Kimia, Matematika, Farmasi. 3 Ilmu Astronomi Pegetahuan

untuk mengetahui keadaan masa, cuaca, dan keadaan luar angkasa. Untuk prediksi masa, cuaca, dan kepentingan-kepentingan tekologi luar angkasa secara empirik/ aspek akal

Fisika, Matematika, Geografi. 4 Ilmu Tata Bahasa Pengetahuan yang membahas tentang kebahasaan Untuk memahami pesan atau menyampaikan pesan Antropologi, Sosiologi, Sejarah.

Ilmu politik tidak disebut secara eksplisit sebagai bahan ajar, tetapi diposisikan sebagai “hidden currikulum” dalam proses pendidikan. Jenis-jenis ilmu dalam kolom terakhir—sebagai improvisasi penulis—juga tidak berkaitan langsung dengan ilmu politik.

Keterkaitan antarbidang ilmu dalam kolom di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 1.4.

Keterkaitan Jenis-Jenis Ilmu

NO. JENIS ILMU ILMU YANG TERKAIT

1 Fiqh Bahasa Arab, Al-Qur’an, Hadits, Ulum

al-Qur’an, Ulum al-Hadits, Ushul al- Fiqh, Tarikh Tasyri’.

2 Ilmu Kedokteran Biologi, Kimia, matematik, farmasi. 3 Ilmu Astronomi Fisika, Matematika, Geografi.

4 Ilmu Tata Bahasa Filsafat, Antropologi, Sosiologi, Sejarah.

Sumber ajaran fiqh adalah al-Qur’an dan Hadits yang terdeskripsi dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, bahasa Arab dengan berbagai aspek keilmuannya menjadi syarat mutlak untuk dipelajari, seperti nahwu, sorf, dan

balaghah. Al-Qur’an sebagai wahyu juga turun di masyarakat Arab yang telah memiliki budaya, bukan hampa budaya. Selain itu, teks al-Qur’an yang terkumpul dalam tiga puluh juz tersusun berdasarkan “tata aturan ilahiyah” yang spesifik. Oleh karena itu, diperlukan 'ulum al-Qur’an untuk memahami asbab al-nuzul, munasabah al- ayat, dan lain-lain. Ajaran fiqh juga harus dipahami dari segi dasar-dasar pengambilan kuputusan hukum melalui kaidah ushul fiqh dan tarikh tasyri’.

(10)

Pada saat proses pewahyuan al-Qur’an, penafsir utamanya adalah Rasulullah Muhammad. Sabda-sabda Rasulullah ditulis secara masif setelah Rasulullah wafat. Sabda-sabda tersebut juga bukan hampa budaya, sebab disampaikan kepada para sahabat yang hidup dalam tradisi Hejaz. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman asbab al-wurud, tahrij al-hadits, dan aspek-aspek keilmuan hadits yang lain.

Ilmu kedokteran memiliki obyek forma manusia yang dilihat dari sisi anatominya. Dalam ranah praktis, seorang dokter bukan hanya melakukan diagnosa fisiologis terhadap orang sakit, tetapi juga memberi resep obat kepadanya. Oleh karena itu, calon dokter sekurang-kurangnya memerlukan pengetahuan tentang biologi yang membahas anatomi dan ilmu kimia yang sebagai dasar ilmu farmasi.

Ilmu astronomi ditujukan untuk mengetahui perubahan-perubahan cuaca, waktu, dan keadaan luar angkasa. Cuaca dan waktu sangat terkait dengan letak geografis. Prediksi waktu dan cuaca juga memerlukan penghitungan yang cermat. Oleh karena itu, orang yang mempelajari astronomi memerlukan kemampuan ilmu fisika, matamatika, dan geografi.

Ilmu tata bahasa memiliki peran sentral terhadap ketiga ilmu yang lain (fiqh, kedokteran, dan astronomi), sebab ketiganya “diabdikan” untuk umat manusia yang memiliki bahasa lisan dan bahasa tulis. Agar produk-produk ilmu dapat ditranformasikan pada manusia yang beragam daerah dan budaya, maka perlu “bahasa” sebagai alat bantu komunikasinya. Mengingat setiap bahasa memiliki gramatika sepesifik dan latar budaya, maka para pengguna harus memahami asas-asas tersebut. Kesalahan menerapkan tata gramatika akan merusak tujuan komunikasi. Begitu pula kesalahan dalam memahami latar budaya bahasasa. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman secara benar terhadap tata bahasa Arab dan tata bahasa dan latar budayanya.

2. Posisi Kekuasaan

Tujuan pendidikan dalam Qami’ Al-Tugyan kental dengan politik. Hal ini dapat dilihat dalam statemen berikut ini:

ﺐﳚو

ﻰﻠﻋ

ﻢﻠﻌﺘﳌا

نأ

ىﻮﻨﻳ

ﻞﻴﺼﺤﺘﺑ

ﻢﻠﻌﻟا

ﺎﺿر

ﷲا

ﱃﺎﻌﺗ

راﺪﻟاو

ةﺮﺧﻷا

ﺔﻟازاو

ﻞﻬﳉا

ﻦﻋ

ﻪﺴﻔﻧ

ﻦﻋو

ﺮﺋﺎﺳ

لﺎﻬﳉا

ءﺎﻴﺣاو

ﻦﻳﺪﻟا

ءﺎﻘﺑاو

مﻼﺳﻹا

ﺎﺑ

ﻢﻠﻌﻟ

ﻻو

ىﻮﻨﻳ

ﻪﺑ

لﺎﺒﻗا

سﺎﻨﻟا

ﻪﻴﻟا

بﻼﺠﺘﺳاو

عﺎﺘﻣ

ﺎﻴﻧﺪﻟا

ماﺮﻛﻹاو

ﺪﻨﻋ

نﺎﻄﻠﺴﻟا

ﻩﲑﻏو

Artinya: Dan wajib bagi penuntut ilmu agar berniat meraih ridla Allah dan bekal di akherat, menghilangkan kebodohan (diri sendiri dan orang lain), dan menghidupkan serta mengokohkan agama Islam,

(11)

bersyukur atas nikmat akal dan kesehatan badan. Seorang Muslim tidak selayaknya berniat yang rendah dan jelek dalam menuntut ilmu. Misalnya niat yang diarahkan untuk manusia, mencari kesenangan–kesenangan duniawi, dan kedudukan di sisi penguasa.27

Ada lima herarkhi tujuan belajar yang dapat dirumuskan dari deskripsi tersebut:

Tabel 1.5.

Tingkatan Tujuan Belajar

NO. TUJUAN LEVEL KET.

1 Meraih ridla Allah 1 (satu)

2 Memperoleh bekal akherat 2 (dua) 3 Menghilangkan kebodohan diri

sendiri dan orang lain

3 (Tiga) 4 Bersyukur atas nikmat akal dan

kesehatan badan.

4 (Empat)

5 Kedudukan di sisi penguasa. 5 (Lima) Memiliki

prasyarat, yaitu untuk amar ma’ruf dan nahi munkar.

Tujuan belajar untuk meraih kekuasaan ditempatkan pada level terendah. Level ini disetarakan dengan tujuan meraih material duniawiyah. Konsep substantif tujuan belajar dalam Qami’ al-Tugyan merupakan penegasan Syeikh Nawawi terhadap konsep tujuan belajar yang dirumuskan oleh ulama sebelumnya. Agak sulit menentukan nama ulama yang tepat yang menjadi rujukan Syeikh Nawawi, sebab Al-Ghazali yang disebut-sebut dalam Qami’ al-Tugyan tidak menyebut redaksi tujuan belajar seperti itu.28 Satu-satunya konsep yang sangat dekat dengan konsep Qami’

al-Tugyan secara substansial maupun redaksional adalah dari Al-Nu’man ibn Ibrahim ibn Al-Khalil Al-Zarnuji Taj Al-Din Al-Zarnuji (570-636 H.) dalam Ta’lim Al-Muta’allim. Teks konsep tersebut dapat disandingkan sebagai berikut:

Tabel: 1.6.

Kesamaan Redaksional Konsep Tujuan Belajar Syeikh Nawawi dan Al-Zarnuji

NO. SYEIKH NAWAWI AL-ZARNUJI

1. ﻢﻠﻌﻟا ﻞﻴﺼﺤﺘﺑ ىﻮﻨﻳ نأ ﻢﻠﻌﺘﳌا ﻰﻠﻋ ﺐﳚو ﺎﺿر ﷲا ﱃﺎﻌﺗ راﺪﻟاو ةﺮﺧﻷا ﺔﻟازاو ﻞﻬﳉا ﻦﻋ ﻰﻐﺒﻨﻳو نأ ىﻮﻨﻳ ﻢﻠﻌﺘﳌا ﺐﻠﻄﺑ ﻢﻠﻌﻟا : ﺎﺿر ﷲا ﱃﺎﻌﺗ راﺪﻟاو ،ةﺮﺧﻷا ﺔﻟازاو ﻞﻬﳉا ﻦﻋ ﻪﺴﻔﻧ ﻦﻋو ﺮﺋﺎﺳ 27Syeikh Nawawi, Qami’, p. 7.

28 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ ‘ulum al-Din, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), p. 66.

(12)

ﻪﺴﻔﻧ ﻦﻋو ﺮﺋﺎﺳ لﺎﻬﳉا ءﺎﻴﺣاو ﻦﻳﺪﻟا ءﺎﻘﺑاو مﻼﺳﻹا ﻢﻠﻌﻟﺎﺑ ىﻮﻨﻳو ﻪﺑ ﺮﻜﺸﻟا ﻰﻠﻋ ﺔﻤﻌﻧ ،ﻞﻘﻌﻟا ﺔﺤﺻو ،نﺪﺒﻟا ﻻو يﻮﻨﻳ ﻪﺑ لﺎﺒﻗا سﺎﻨﻟا ﻪﻴﻟا بﻼﺠﺘﺳاو عﺎﺘﻣ ﺎﻴﻧﺪﻟا ماﺮﻛﻹاو ﺪﻨﻋ نﺎﻄﻠﺴﻟا ﻩﲑﻏو

(Dan wajib bagi penuntut ilmu agar berniat meraih ridla Allah dan bekal di akherat, menghilangkan kebodohan (diri sendiri dan orang lain), dan menghidupkan serta mengokohkan agama Islam, bersyukur atas nikmat akal dan kesehatan badan. Seorang Muslim tidak selayaknya berniat yang rendah dan jelek dalam menuntut ilmu. Misalnya niat yang diarahkan untuk manusia, mencari kesenangan–kesenangan duniawi, dan kedudukan di sisi penguasa.29

،لﺎﻬﳉا ءﺎﻴﺣاو ،ﻦﻳﺪﻟا ءﺎﻘﺑاو ،مﻼﺳﻹا نﺎﻓ ءﺎﻘﺑ مﻼﺳﻻا ،ﻢﻠﻌﻟﺎﺑ ... ىﻮﻨﻳو ﻪﺑ ﺮﻜﺸﻟا ﻰﻠﻋ ﺔﻤﻌﻧ ،ﻞﻘﻌﻟا ﺔﺤﺻو ،نﺪﺒﻟا ﻻو ىﻮﻨﻳ ﻪﺑ لﺎﺒﻗا سﺎﻨﻟا ،ﻪﻴﻟا و بﻼﺠﺘﺳاﻻ مﺎﻄﺣ ﺎﻴﻧﺪﻟا ماﺮﻛﻹاو ﺪﻨﻋ نﺎﻄﻠﺴﻟا ﻩﲑﻏو

(Dan sebaiknya penuntut berniat meraih ridla Allah dan bekal di akherat, menghilangkan kebodohan (diri sendiri dan orang lain), dan menghidupkan serta mengokohkan agama Islam. ...dan berniat bersyukur atas nikmat akal dan kesehatan badan. Seorang Muslim tidak selayaknya berniat yang rendah dan jelek dalam menuntut ilmu. Misalnya niat yang diarahkan untuk manusia, mencari kesenangan–kesenangan duniawi, dan kedudukan di sisi penguasa.30

Teks tujuan belajar tersebut meskipun secara substantif sama, tetapi secara redaksional memiliki perbedaan sedikit. Perbedaan agak prinsip hanya terletak pada awal kata. Al-Zarnuji mengawali kalimat dengan istilah “sebaiknya” (

ﻰﻐﺒﻨﻳو

), sedangkan Syeikh Nawawi mengawali kalimat dengan istilah “seharusnya” (

ﺐﳚو

).

Kesamaan redaksional dalam konsep Qami’ Tugyan dan Ta’lim

al-Muta’allim tidak serta merta dapat menggiring pembaca untuk menyimpulkan bahwa pendapat pertama mengutip pendapat kedua. Kesimpulan tentang hal ini harus dilakukan hati-hati, sebab; pertama, nama Al-Zarnuji tidak disebut secara eksplisit dalam Qami’ al-Tugyan. Kedua, kitab Ta’lim belum populer di Jawa dan Madura pada abad abad ke-19.31

Namun demikian, seseorang yang menyatakan konsep tujuan belajar dalam Qami’ al-Tugyan bukan berasal dari Ta’lim Al-Muta’allim juga gegabah. Sebab Syeikh Nawawi hidup di Mekah sampai wafatnya. Informasi tentang kitab Ta’lim al-Muta’allim di wilayah tersebut juga belum ditemukan sampai sekarang. Oleh karena itu, absah saja jika seseorang

29 Syeikh Nawawi, Qami’, p. 7.

30 Imam Ghazali Sa’id, Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, (Surabaya:

Diyanatama, t.t.), p. 32.

(13)

memiliki “hipotesis” bahwa konsep tujuan belajar dalam Qomi’ al-Tugyan bersumber dari Ta’lim. Di antara aspek-aspek yang menguatkan hipotesis tersebut adalah:

1. kesamaan redaksi yang terdapat dalam Qami’ Tugyan dan Ta’lim

al-Muta’allim. Kesamaan semacam itu tidak ditemukan dalam sumber-sumber otoritatif pendidikan Islam yang lain.

2. Syeikh Nawawi dan Syeikh Al-Zarnuji meskipun memiliki perbedaan

pemikiran Fiqh dan kalam, tetapi keduanya masih bertemu dalam

mainstream pemikiran Sunni. Sebagaimana diketahui bahwa Syeikh Nawawi penganut madzhab fiqh Syafi’i dan Madzhab kalam Asy’ari, sedangkan Al-Zarnuji bermadzhab fiqh Hanafi dan bermadzhab kalam

Ahlu sunnah maturidiyah Bukhara.32 Kecenderungan pemikiran

Al-Zarnuji dan Syeikh Nawawi tersebut menjadi semacam tradisi sejarah.

Menurut Watt,33 para pengikut madzhab Fiqh Hanafi cenderung

mengikuti madzhab kalam Maturidi. Sedangkan pengikut madzhab Syafi’i dan Maliki mengikuti madzhab kalam Asy’ari. Muhammad Abu Zahrah juga berpendapat bahwa para ulama Hanafiah mengakui hasil yang dicapai oleh Al-Maturidi persis sama dengan yang dicapai oleh

Abu Hanifah dalam bidang akidah.34

3. konsep tujuan belajar tidak termasuk dalam inti persoalan fiqh dan kalam yang menjadi perbedaan pendapat antara Syeikh Al-Zarnuji dan Syeikh Nawawi.

Konsep tujuan belajar dalam Qami’ al-Tugyan selain mengarahkan subyek didik agar cermat terhadap praktik politik kekuasaan, juga menggiring supaya proses pendidikan terhindar dari sikap apolitis. Subyek didik dibawa ke dalam kesadaran kritis terhadap praktik politik pemerintah. Hal ini disebabkan oleh realitas pendidikan sepanjang sejarah Islam yang tidak selalu berada dalam suatu wilayah kekuasaan yang baik. Ada pula praktik pendidikan yang berada dalam suasana praktik kekuasaan yang buruk. Fenomena seperti itu terjadi pula di Jawa, termasuk Banten sebagai tanah kelahiran Syeikh Nawawi. Misalnya, pemberlakuan strategi Tanam paksa (cultuurstelsel) oleh pemerintah kolonial Belanda yang membentuk sekolah sebagai alat produksi pegawai murah di perkebunan.

Pegawai rendah yang menjadi pendukung otoritas kekuasan kolonial35dan

32 Imam Ghazali Sa’id, Ta’lim, p. 14.

33 W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim,

(Jakarta: P3M, 1987), p. 96.

34 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Madzhab Islami I, (Mesir: Dar Fikr

al-Arabi, t.t.), p. 195.

(14)

akhirnya berpola hidup sekuler. Diskriminasi antara anak-anak rakyat

jelata dan bangsawan untuk memperoleh kesempatan pendidikan.36

Qami’ al-Tugyan mengambil posisi berhadap-hadapan dengan kekuasaan yang dipersepsikan buruk. Salah satu konsep paradigmatik yang dibangun untuk maksud tersebut adalah “kategorisasi ulama”. Ada ulama yang dikategorikan sebagai “ulama dunia” dan “ulama akherat”. Derajat ulama akhirat diposisikan lebih tinggi dibandingkan dengan “ulama dunia”. Di antara kerakter pokok untuk mendapatkan predikat ulama akherat adalah berperilaku kritis terhadap kekuasaan. Hal ini berbeda dengan seseorang yang telah merasa cukup dengan predikat “ulama dunia”. Mereka bisa hanya apologis terhadap kekuasaan.

E. Simpulan

1. Qami’ al-Tugyan memposisikan kekuasaan dalam tingkat terendah dalam tujuan tujuan belajar. Hal ini sama artinya dengan mengakui adanya keterkaitan antara pendidikan dan politik. Pendidikan memang memiliki tugas utama mentransformasikan ilmu, tetapi sekurang-kurangnya secara “hidden” memiliki tugas pula untuk membuka ruang pencerahan politik bagi subyek didik sebagai agen perubahan politik di masa depan.

2. Ada empat aspek politik yang perlu diajarkan kepada subyek didik: Pertama, karakteristik kinerja kekuasaan yang baik. Kedua, karakteristik kinerja kekuasaan yang buruk. Ketiga, kewajiban rakyat pada penguasa. Keempat, batas kewajiban terhadap penguasa. Kelima, proporsionalitas keterlibatan ulama dalam politik. Keenam, tata cara hidup dalam krisis politik. Aspek-aspek tersebut dijadikan pijakan untuk membentuk subyek didik menjadi orang-orang yang kelak konsisten dengan prinsip

amar ma’ruf nahi munkar dalam hiruk pikuk praktik politik. Mereka diharapkan tetap bertahan dalam prinsip kebaikan meskipun berada dalam arus deras praktik politik buruk.

3. Pemikiran Syeikh Nawawi yang mengkorelasikan antara pendidikan

dan politik menambah serangkaian daftar ulama sebelumnya yang memikiki semangat pemikiran yang sama. Di antara ulama-ulama tersebut, misalnya Al-Ghazali dalam Ihya “ulum al-Din, Ibnu Jama’ah dalam Tadzkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim, dan Al-Zarnuji dalam Ta’lim

al-Muta’allim.

4. Syeikh Nawawi memiliki genealogi pemikiran dengan Al-Ghazali, tetapi

dalam konsep tujuan belajar lebih dekat dengan Al-Zarnuji yang

36 I. Jumhur dan H. Danasaputra, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV Ilmu, 1974), p.

(15)

berbeda madzhab fiqh dan kalam. Perbedaan tersebut dapat diterima Syeikh Nawawi, sebab Al-Zarnuji masih berada dalam mainstrem madzhab kalam Sunni. Di samping itu, konsep tujuan belajar tidak termasuk prinsip pokok dalam ajaran madzhab fiqh dan kalam.

5. Konsep-konsep Qami’ al-Tugyan tentang pendidikan dan politik

memiliki relevansi dengan latar kehidupan pengarangnya yang memiliki sikap patriotik terhadap nasib rakyat di tanah kelahirannnya, Banten dan Indonesia secara umum abad ke-19. Hal ini sangat jelas dalam mukadimah kitab yang menyatakan bahwa Qami’ al-Tugyan didedikasikan untuk generasi bangsanya. Dimaksud dengan istilah bangsa dalam konteks ini adalah Banten atau Indonesia.

6. Menyimak pemikiran Syeikh Nawawi dalam Qami’ al-Tugyan serta

pemikiran ulama-ulama lain, seperti Al-Ghazali dan Al-Zarnuji, maka slogan-slogan seperti “keep polititics out of the school; keep the school out of politics!”, 37 atau ide non-political school yang pernah berkembang

di Amerika38 tidak ada tempat dalam pemikiran pendidikan Islam. Para

pemikir pendidikan Islam cenderung mengaitkan antara pendidikan dan politik. Pendidikan harus dapat mencetak generasi tangguh yang kelak merubah kondisi politik menjadi lebih baik. Begitu sebaliknya, praktik politik harus dapat merubah kondisi pendidikan menjadi lebih baik. Dalam kerangka pemikiran ini, maka statemen seperti dikemukakan Kneller terasa lebih relevan, “A nation’s political and

educational system are mutually reinforcing”.39Rumusan tujuan

pendidikan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia juga tampak relevan dengan prinsip pemikiran ahli didik Muslim, sebab prinsip pendidikan dan politik dibedakan di dalamnya, tetapi antara keduanya ditegaskan ada relasi dalam ranah praktis.40

37 George F. Kneller, (ed.), Foundations of Education, (New York: John Wiley and

Sons, 1983), p. 126.

38 M. Sirozi, Politik Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), p. 22. 39 Kneller, Foundations, p. 128.

40 Redaksi Wacana Intelektual, Undang-undang Guru dan Dosen, (Jakarta: Wacana

(16)

Daftar Pustaka

Al-Attas, Syed Muhammad Al-Naquib, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Baqir, Jakarta: Mizan, 1992.

Al-Ghazali, Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya’ ‘ulum

al-Din, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, t.t..

Amin, Ma’ruf dan Nasruddin Anshory, “Pemikiran Syeikh Nawawi Al-Bantani”, dalam Pesantren, No.1/Vol/VI/ 1989.

Asari, Hasan, Etika Akademis dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008. Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in The Pesantren Mileu, dalam Bijdragen Tot de Taal-, Land-En

Volkenkeunde, Deel 146., 1990.

Budirdjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Jumhur, I dan H. Danasaputra, Sejarah Pendidikan, Bandung: CV Ilmu, 1974.

Kartodordjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten, terj. Hasan Basari, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

Kneller, George F. (ed.), Foundations of Education, New York: John Wiley and Sons, 1983.

Muhadjir, Noeng, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Rakesarasin, 1993.

Nasution, S., Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Nawawi, Muhammad bin Umar, Maraqy al-‘Ubudiyah, Semarang: Pustaka

al-Alawiyah, t.t.

_______, Mutiara-Mutiara Keimanan, Terjemahan Muhammad Khalil, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

_______, Nur al-Dzalam, Bandung: Al-Ma’arif, t.t. _______, Qami’ al-Tughyan, Semarang: Toha Putera, t.t. Putuhena, M. Saleh, Historiografi Haji, Yogyakarta: LKiS, 2007.

Redaksi Wacana Intelektual, Undang-undang Guru dan Dosen, Jakarta: Wacana Intelektual, 2006.

(17)

Sa’id, Imam Ghazali, Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, Surabaya: Diyanatama, t.t.

Sirozi, M., Politik Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Steenbrink, Karel A., Mencari Tuhan dengan Kaca Mata Barat, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.

_______, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosyda Karya, 1992.

Watt, W. Montgomery, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, Jakarta: P3M, 1987.

Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh Madzhab Islami I, Mesir: Dar Fikr al-Arabi, t.t.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka isi yang akan dibahas pada perencanaan TPS 3R Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo yaitu meliputi

Untuk mencapai semangat kerja yang tinggi maka perusahaan harus memperhatikan dan memenuhi kebutuhan dari karyawannya yaitu dengan program kesejahteraan yang sesuai

Tabel 14 :Distribusi Frekuensi Cabang Olahraga yang Dijadikan Sampel di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta Tahun 2017.... Tabel 17 :Distribusi Frekuensi Tingkat Kecukupan Lemak

Dublin Core adalah satu set metadata yang terdiri dari 15 set elemen telah dibangun untuk mendukung temu kembali informasi perpustakaan dengan lebih mudah.. Dublin core term

Dari seluruh Anggota KELOMPOK SEJAHTERA MANDIRI, diketahui bahwa seluruh bahan baku kayu bulat hutan alam telah dilengkapi dengan dokumen angkutan yang sah, hasil DPKB

1) Menganalisis informasi tentang potensi daerah yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, kekayaan alam, dan sumber daya manusia yang ada di daerah, serta

Objek penelitian ini adalah hubungan sistem otomasi terhadap pemustaka di perpustakaan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Subyek penelitian ini adalah