• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V NILAI-NILAI, DASAR DAN BENTUK-BENTUK PERTUKARAN DALAM TRADISI BAJAPUIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V NILAI-NILAI, DASAR DAN BENTUK-BENTUK PERTUKARAN DALAM TRADISI BAJAPUIK"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUKARAN DALAM TRADISI BAJAPUIK

5.1.Nilai Pertukaran Dalam Tradisi Bajapuik

Tradisi bajapuik merupakan sub sistem dari sistem perkawinan masyarakat sejak dulu sampai sekarang diwilayah Pariaman dan sekitarnya. Ciri spesifik yang melekat dalam tradisi bajapuik adalah laki-laki dijemput dengan sejumlah uang atau benda dalam pelaksanaan perkawinan dengan melibatkan dua pihak keluarga. Artinya pihak keluarga perempuan memberi dan pihak keluarga laki-laki menerima uang japuik.

Nilai pertukaran dalam tradisi bajapuik adalah nilai yang mendasari terjadinya tradisi bajapuik. Dalam pandangan orang Pariaman dorongan memberi uang japuik dalam tradisi bajapuik dilakukan untuk mendapatkan jodoh bagi anak perempuannya, seperti dijelaskan oleh informan TM (66 tahun) berikut ini:

Dalam masyarakat Pariaman laki-laki yang dipinang, sedangkan di daerah lain laki-laki yang meminang. Pariaman ini kuat adatnya dan yang dilakukan itu memang ada hikmahnya, makanya perempuan meminang laki-laki, agar supaya nampak baiknya. Baiknya tradisi

bajapuik adalah untuk mendapatkan jodoh bagi anak perempuan,

sehingga yang buta, lumpuh dan tuli ada jodohnya.

Fakta tersebut menjelaskan bahwa yang mendorong pihak keluarga perempuan untuk melaksanakan tradisi bajapuik adalah untuk mendapatkan jodoh bagi anak perempuan. Hal ini mendukung proposisi bahwa semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu. Selain itu dorongan pihak keluarga perempuan melakukan tradisi bajapuik lebih didasarkan atas nilai-nilai budaya (orientasi nilai budaya) adat Minangkabau.

Dalam konteks adat Minangkabau, dorongan pihak keluarga perempuan melakukan tradisi bajapuik karena adanya nilai adat yang mengatakan, gadih gadang alun balaki merupakan malu keluarga dan kaum”. Artinya gadis dewasa yang telah cukup umur yang belum bersuami dapat mengakibatkan malu keluarga dan kaum. Begitu juga dengan penggunaan harta pusaka di perbolehkan untuk itu, asalkan jodoh untuk anak perempuan didapatkan. Berdasarkan nilai adat itu, maka

(2)

orang Pariaman menerjemahkan dengan pemberian uang japuik untuk mendapatkan seorang menantu atau suami bagi anak perempuan.

Lebih jauh dalam adat dikatakan, sebuah keluarga akan punah, bila tidak mempunyai keturunan terutama anak perempuan, sedangkan keturunan adalah untuk mewarisi harta pusaka. Oleh sebab itu, adanya tradisi bajapuik terkait dengan sistem matrilineal, seperti yang dijelaskan oleh informanBgd L (80 tahun)

Munculnya tradisi bajapuik disebabkan oleh orang Minangkabau berguru ke alam—seluruh yang beranak apapun /siapapun, baik hewan ataupun manusia dekat kepada ibunya dan tidak kepada ayahnya, Mengapa demikian? Di Minangkabau ada yang dinamakan dengan pusaka. Pusaka ini adalah milik kolektif dan tidak dapat dijual. Pusaka tinggi ini tidak satupun orang yang punya—itu adalah milik paruik, kaum, suku dan nagari atau disebut dengan tanah ulayat yang kepemilikannya jatuh ketangan kaum perempuan, sedangkan laki-laki tidak berhak atas tanah pusaka, meskipun sawah, ladang itu dibawah kekuasaan/pengawasannya.

Fakta tersebut menjelaskan bahwa kaum perempuan yang mempunyai harta pusaka. Maka dari itu pada awal tradisi bajapuik tidak mempertimbangkan pekerjaan dan pendapatan dari calon mempelai laki-laki. Yang penting berasal dari keturunan yang jelas. Bagi pihak keluarga perempuan pertimbangan menerima seorang menantu adalah laki-laki yang bergelar keturunan (bangsawan) karena dianggap mempunyai bibit, bebet dan bobot. Sementara itu untuk kebutuhan hidup sehari-hari diperoleh melalui harta pusaka yang dimiliki oleh pihak keluarga perempuan.

Kemudian seiring dengan pertumbuhan penduduk, dan menyempitnya lahan yang dimiliki, maka pertimbangan itu beralih kepada status sosial ekonomi, seperti yang terlihat dalam tabel 15 berikut ini:

Tabel 15. Laki-laki yang di Jemput Menurut Responden Dalam Tradisi Bajapuik Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008

Laki-laki Bergelar Keturunan

Status Sosial Ekonomi Laki-laki Punya Pendidikan Laki-laki Punya Pekerjaan Laki-laki Punya Pendapatan Ya 0 (0,0) 309 (85,8) 353 (98,1) 356 (98,1) Tidak 360 (100) 51 (14,2) 7 (1,9) 4 (1,1) Total 360 (100) 360 (100) 360 (100) 360 (100)

(3)

Tabel 15 di atas menunjukan laki-laki yang dijemput dalam tradisi bajapuik adalah mereka yang mempunyai pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Status sosial ekonomi (prestasi) menempati posisi dominan dalam pemilihan menantu saat ini. Laki-laki yang mempunyai gelar keturunan/kebangsawanan tidak lagi mendapat perhatian masyarakat.

Meskipun dasar pertukaran telah berubah dari gelar kebangsawanan (keturunan) menjadi status sosial ekonomi (achievement status), namun perilaku bagi pihak keluarga perempuan untuk mendapatkan seorang menantu atau suami untuk anak perempuannya tidak mengalami perubahan. Kasus keluarga Z (54 tahun) menggambarkan hal itu:

Bapak Z, mempunyai dua orang anak terdiri 1 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Anak yang pertama perempuan dan yang kedua laki-laki. Ketika anak perempuan akan menikah bapak Z mau memberi uang sebesar 15 juta kepada pihak keluarga laki-laki. Pertimbangannya dari pada anak tidak mendapat suami biarlah merugi sedikit dan beban kita sebagai orang tua sudah lepas.

Hal ini menjelaskan bahwa pertukaran yang berlangsung mengarah kepada nilai adat dan sesuai dengan kepentingan individu dari pihak keluarga perempuan. Karena dalam pencarian jodoh menjadi tanggungjawab orang tua dan mamak, seperti yang dijelaskan oleh informan TM (66 tahun):

Anak perempuan, sewaktu kecil merintang ibu dan ayah, dan ketika sudah besar merintang mamak. Walaupun kini lebih banyak orang tua yang terlibat mencarikan jodoh untuk anaknya, tetapi dalam kasus-kasus tertentu mamak juga turut serta.

Dengan demikian alasan nilai budaya, lebih mendominasi munculnya tradisi bajapuik. Mengacu kepada Homans, adanya reward dan punishment yang diterima mendorong aktor melakukan tradisi bajapuik.

5.2. Status Sosial sebagai Dasar Pertukaran Perkawinan Dalam Tradisi Bajapuik

Status sosial adalah kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat (Soekanto, 1982). Status sosial menempatkan seseorang pada posisi tertentu—

(4)

apakah di atas atau dibawah, karena status sosial mengandung berbagai macam penilaian-penilaian terhadap seorang individu dalam masyarakat.

Dalam tradisi bajapuik, status sosial menjadi pertimbangan mencari atau menerima seorang laki-laki yang akan dijadikan menantu. Selanjutnya melalui status sosial pula, pertimbangan tinggi-rendahnya uang japuik yang harus diberikan oleh keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki. Sub bab berikut ini akan menjelaskan status sosial yang menjadi pertimbangan dalam perjalanan tradisi bajapuik dalam masyarakat dari dulu hingga sampai saat ini.

5.2.1. Gelar Kebangsawan Sebagai Dasar Pertukaran Dalam Tradisi Bajapuik Pada Awalnya

Bangsawan menurut Poerwadarminta (1976), berarti keturunan orang mulia, berasal dari keturunan raja dan kerabatnya yang memiliki hak istimewa dalam kehidupan dan diwarisi secara turun-temurun. Bagi masyarakat Pariaman, khususnya dalam tradisi bajapuik, gelar kebangsawanan adalah gelar keturunan yang diwarisi dari ayah kepada anak laki-laki. Gelar keturunan ini mengandung makna laki-laki yang akan diterima sebagai menantu mempunyai keturunan yang jelas—anak siapa dan bagaimana latar belakang keturunannya.

Gelar keturunan yang dimaksudkan adalah sidi, bagindo dan sutan. Ketiga gelar ini mempunyai asal-usul kata yang berbeda. Gelar sidi berasal dari Syaidina: yakni Syaidina Muhammad artinya penghulu atau pemuka agama; gelar bagindo berasal dari baginda: yakni baginda Rasul yang artinya raja atau pimpinan dan gelar sutan berasal dari kata sultan yang berarti raja atau pemimpin. Munculnya gelar sutan sebagai salah satu gelar keturunan dalam tradisi bajapuik juga tidak terlepas dari pengaruh Islam. Bahkan dalam sejarah disebutkan gelar sutan itu berasal dari sebutan seorang raja dari Aceh1

Berdasarkan makna yang terkandung dalam ketiga gelar keturunan itu, ternyata pengaruh Islam tertanam kuat di dalam kehidupan masyarakat. Bahkan

yang besar pengaruhnya dalam mengembangkan agama Islam di Pariaman. Meskipun mempunyai asal-usul kata yang berbeda, namun ketiganya mempunyai makna yang sama yaitu pemimpin.

1

Raja itu bernama Sultan Zulkarnaen, yakni seorang raja yang sangat berambisi sekali dalam mengembangkan agama Islam. Sehingga pada zamannya itu, Islam berkembang di sepanjang pesisir Sumatera. Untuk wilayah Sumatera Barat Islam masuk mulai dari Pariaman dan setelah itu baru menyebar ke wilayah Minangkabau lainnya.

(5)

pada saat itu, laki-laki yang bergelar sidi, diyakini sebagai orang yang mempunyai pengetahuan lebih tentang agama Islam dan menjadi perioritas utama diterima sebagai menantu. Kondisi ini menurut Weber dalam Giddens (2002) terdapat dalam masyarakat tradisional di mana status sosial sering ditentukan oleh oleh pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dan itu dapat berubah sesuai dengan perkembangan waktu.

Oleh sebab itu pada awalnya dalam tradisi bajapuik, laki-laki yang diterima sebagai menantu adalah yang mempunyai gelar. Meskipun pada saat itu tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, laki-laki yang bergelar mendapat perioritas utama diterima sebagai menantu. Pertimbangan pihak keluarga perempuan mencari seorang laki-laki adalah untuk mendapatkan keturunan yang baik (Hamka, 1982). Oleh sebab itu laki-laki tersebut harus mempunyai asal-usul yang jelas. Sementara itu untuk ekonomi rumah tangganya ditanggung oleh keluarganya (dari harta pusaka). Dengan demikian pertimbangan menerima laki-laki--laki yang bergelar adalah agar mendapatkan keturunan yang baik.

Kemudian sesuai dengan perkembangan masyarakat gelar keturunan (bangsawan) tidak memungkinkan diterapkan lagi, seperti dijelaskan oleh informan B (73 tahun):

Itu merupakan sesuatu yang logis saja terjadi dalam masyarakat. Masyarakat tentu akan berfikir dengan apa dia akan hidup, jika hanya mengandalkan gelar keturunan. Jika dahulu mungkin masih luas lahan yang akan digarap dan masih ada mamak yang akan memperhatikan. Tetapi sekarang semuanya itu berubah, seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Fakta di atas menjelaskan, bahwa gelar keturunan tidak mungkin lagi menjadi pertimbangan bagi pihak keluarga perempuan menerima seorang laki-laki menjadi menantu. Sekarang yang berbekas bagi gelar keturunan hanya sebagai sebutan penghargaan kepada seorang menatu (sumando), yang diwariskan setelah pernikahan berlangsung. Perilaku yang demikian sesuai pula dengan nilai adat yang mengatakan “ketek banamo, gadang bagala”. Artinya waktu kecil diberi nama dan setelah besar diberi gelar dan diwarisi ke pada anak laki-laki setelah menikah. Sebutan gelar keturunan sebagai penghormatan hanya diberlakukan

(6)

kepada pihak keluarga perempuan dan yang usianya lebih besar dari isterinya2, seperti; ibu, ayah, mamak, apak, mintuo, etek, kakak (perempuan dan laki-laki), kakek, dan nenek. Bahkan dalam prakteknya, ada kecenderungan gelar keturunan tidak lagi menjadi sebutan kepada seorang menantu atau sumando. Kondisi ini terutama terjadi apabila: 1) Kedua calon telah saling mengenal sebelum pernikahan berlangsung (berpacaran), sehingga di antara keduanya telah dikenalkan kepada keluarga masing-masing. Frekuensi kedatangan calon mempelai laki-laki yang relatif sering ke rumah calon mempelai perempuan, sehingga anggota keluarga dari pihak keluarga perempuan menjadi terbiasa dengan sebutan nama aslinya3

2

Artinya dari seorang laki-laki yang melakukan pernikahan.

3

Artinya nama pemberian orang tua semenjak lahir.

. Bagi pihak keluarga perempuan menjadi sulit untuk merubahnya dengan sebutan gelar keturunan. 2) Kedekatan kedua calon pengantin dengan keluarga pihak keluarga perempuan membawa implikasi kepada calon pengantin laki-laki. Calon pengantin laki-laki menjadi risih dipanggil dengan sebutan gelar keturunannya dan lebih menyukai dengan sebutan nama aslinya. 3) Kedua keluarga calon pengantin berdomisili di luar daerah Pariaman, meskipun keduanya berasal dari daerah yang sama. 4) Salah satu, terutama pihak keluarga perempuan berasal dari luar Pariaman dan berdomisili di luar Pariaman. Sebutan dengan nama kecil tidak mengurangi rasa penghargaan kepadanya, itu yang menjadi alasannya. Namun sebaliknya bagi masyarakat yang menetap di daerah asal yang melingkupi budaya bajapuik, orang luar dari Pariamanpun akan tetap disebut dengan gelar kebangsawanan tersebut.

5.2.2. Prestasi (Achievement) Sebagai Dasar Pertukaran Perkawinan Saat Ini Dalam Tradisi Bajapuik

Prestasi adalah sesuatu yang diraih melalui usaha individu, termasuk pendidikan, pekerjaan dan pendapatan yang diperoleh oleh seseorang atau yang disebut dengan status sosial ekonomi. Secara umum prestasi yang diraih oleh seseorang akan berimplementasi kepada kehidupan seseorang yang akan dijalankannya di dalam masyarakat. Oleh sebab itu prestasi dipandang sebagai sesuatu yang berharga dan menempati posisi yang lebih tinggi dalam suatu masyarakat, terutama dalam tradisi bajapuik.

(7)

Sebagaimana telah disinggung juga sebelumnya, ternyata masyarakat telah mempunyai beberapa pilihan dan akan menetapkan salah satu di antaranya yang dianggap memiliki nilai yang menguntungkan baginya. Pilihan itu lebih mengarah kepada prestasi yang dimiliki oleh seorang laki-laki yakni berupa pekerjaan yang tetap dari pada gelar keturunan. Adapun pekerjaan yang menempati posisi tertinggi dalam masyarakat adalah yang mempunyai SK seperti; Pegawai Negeri Sipil (PNS), BUMN, TNI/Polri. Kemudian diikuti oleh pekerjaan lain, seperti swasta dan sektor informal. Pekerjaan-pekerjaan inilah dipandang masyarakat dapat menghasilkan uang dan dapat menggerakan kehidupan rumah tangga yang akan di bangun. Kondisi yang demikian pada hakekatnya sesuai dengan persyaratan perkawinan dalam adat Minangkabau yang dijelaskan oleh Sukmasari (1983), di mana calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

Bagi pihak keluarga laki, pekerjaan yang dimiliki oleh anak laki-lakinya mempunyai nilai tawar yang tinggi dalam masyarakat begitu juga sebaliknya. Pekerjaan dengan status/posisi yang tinggi, uang japuiknya akan tinggi pula. Semakin tinggi status sosial ekonomi laki-laki maka semakin tinggi pula uang hilang-nya4

4

Sebutan untuk uang hilang sering pula disamakan dengan uang jemputan. Kedua bentuk pertukaran ini pada hakikatnya mempunyai makna dan tujuan yang berbeda. Penyamaan kedua bentuk uang itu kecenderungan terdapat di daerah perkotaan. Sementara untuk daerah yang berada pada kawasan pedesaan kedua konsep tersebut berbeda dan mempunyai makna dan tujuan masing-masing.

(lihat tabel 24). Dengan demikian tinggi rendahnya uang japuik merefleksikan tinggi-rendahnya status sosial seorang laki-laki, sekaligus berimplikasi kepada tinggi-rendahnya jumlah uang japuik. Dengan mengikuti terminologi Marx sebagaimana yang dikutip Smelser (1973); Giddens, 2002), faktor ekonomi menempati seseorang pada lapisan tertentu dalam masyarakat.

Adanya perubahan dasar pertukaran dalam tradisi bajapuik dari gelar keturunan kepada prestasi (status sosial ekonomi) yang diwujudkan dalam bentuk pekerjaan dan pendapatan merupakan suatu yang logis yang dapat diterima dalam kehidupan masyarakat saat ini. Kondisi ini mendukung proposisi rasionalitas dari Homans di mana seseorang akan memilih satu di antaranya yang dia anggap saat ini memiliki nilai (v) untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.

(8)

5.3. Bentuk-bentuk Pertukaran Perkawinan Dalam Tradisi Bajapuik

Bentuk-bentuk pertukaran diartinya sama dengan macam-macam uang yang terdapat dalam tradisi bajapuik dan menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan. Adanya macam-macam uang itu merupakan sebagai implikasi dari perubahan yang terjadi pada dasar pertukaran dari gelar keturunan kepada prestasi (achievement status). Adapun macam-macam uang itu antara lain; uang jemputan, uang hilang, uang selo dan uang tungkatan.

5.3.1. Uang Jemputan

Secara konseptual uang jemputan adalah uang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki sebagai persyaratan dalam pelaksanaan perkawinan dan dikembalikan lagi kepada pihak perempuan melalui mempelai perempuan (anak daro) pada saat mengunjungi mertua untuk pertama kalinya (manjalang). Uang jemputan merupakan bentuk uang yang pertama kali muncul dalam tradisi bajapuik, seperti penuturan informan B (73 tahun), TM (66 tahun), IM (80 tahun), pada awalnya uang yang ada dalam perkawinan di Pariaman adalah uang jemputan dan tidak ada uang-uang lainnya. Setelah itu diikuti dengan bentuk-bentuk lain seperti; uang hilang, uang selo dan uang tungkatan.

Uang jemputan pada umumnya berwujud benda yang bernilai ekonomis. Dalam perjalanan tradisi bajapuik, uang jemputan terus mengalami perubahan mulai dari model sampai kepada wujud. Dari segi model terdapat pada wujud uang jemputan yang berwujud emas, di mana pada awalnya model awalnya berupa rupiah dan ringgit emas5

Kemudian pada dekade terakhir ini wujud uang jemputan tidak hanya berbentuk emas, tetapi juga dalam bentuk benda lainnya, seperti kendaraan roda

. Karena model itu sudah ketinggal zaman, sehingga tidak diminati masyarakat dan berubah menjadi cincin, gelang dan kalung emas. Jumlah uang jemputan dalam wujud emas ini berkisar antara 2 hingga 20 emas tergantung kepada kesepakatan dan kemampuan dari pihak perempuan.

5

1 rupiah emas berjumlahnya 16,6 gram atau lebih kurang 6,5 emas. Kemudian 1 ringgit emas berjumlah 33 gram atau lebih kurang 13 emas.

(9)

dua ataupun roda empat, hingga dibuatkan sebuah rumah. Meskipun telah terjadi perubahan wujud uang jemputan menjadi bentuk lain, namun wujud yang pertama tetap ada dan masih diminati oleh masyarakat. Kondisi ini dalam perspektif evolusionisme Comte merupakan sebagai bentuk kesempurnaan masyarakat (Etzioni, 1973). Berikut gambaran mengenai wujud uang jemputan yang terdapat di dalam masyarakat.

Tabel 16. Wujud Uang Jemputan Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008

Kategori Generasi Muda Generasi Menengah Generasi Tua

Total Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

Uang 22 (36,7) 18 (30,0) 15 25,0 17 (28,3) 8 (13,3) 6 (10,0) 86 (23,9) Emas 26 (43,3) 29 (48,3) 38 (63,3) 40 (66,7) 43 (71,7) 44 (73,3) 220 (61,1) Benda Lain 12 (20,0) 13 (21,7) 7 (11,7) 3 (5,0) 9 (15,0) 10 (16,7) 54 (15,0) Total 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 360 (100)

Sumber: Data Primer 2008

Tabel 16 menunjukkan adanya variasi mengenai konsepsi uang jemputan, yakni berwujud uang, emas dan benda lain. Ada sebanyak 76,1 persen yang mengatakan wujud uang jemputan berupa benda ekonomis, yang masing-masing terdiri dari 61,1 persen yang berwujud emas, dan benda lainnya 15,0 persen. Kemudian 23,9 persen yang mengatakan wujud uang jemputan berupa uang. Pada umumnya mereka berasal generasi muda dan generasi sedang (pelaku) yang jumlahnya mencapai 20,0 persen dan bermukim di daerah perkotaan. Sacara spesifik antara jenis kelamin tidak terdapat perbedaan yang signifikan yakni 10,3 dan 9,7 persen mengenai wujud uang pada uang jemputan.

Terdapatnya bermacam-macam wujud uang jemputan dalam tradisi bajapuik, ternyata memberikan makna yang berbeda terhadap uang jemputan. Uang jemputan yang berwujud uang mempunyai makna yang sama dengan uang hilang dan kecenderungannya terdapat di daerah Pariaman Tengah. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan daerah setempat yang kurang memakai konsep uang jemputan dalam arti yang sesungguhnya. Di Pariaman Tengah konsep uang jemputan lebih diartikan sebagai uang hilang. Pendapat mengenai uang jemputan sama dengan uang hilang seperti di tuturkan oleh informan SM (72 tahun) dan AG (51 tahun), di mana di kota di Pariaman uang hilang disebut juga dengan

(10)

uang jemputan. Artinya istilah uang jemputan tetap ada, tetapi maknanya berbeda sehingga uang jemputan dengan wujud emas relatif tidak ada. Berbeda dengan uang jemputan dalam bentuk benda lain di kedua daerah relatif ada. Bagi responden yang menerima uang jemputan dalam wujud benda lain, maka uang hilang dalam pelaksanan perkawinannya disebut dengan bantuan uang dapur atau uang juluk. Sementara itu di Kecamatan Sungai Limau, antara uang jemputan dan uang hilang mempunyai makna yang berbeda. Jadi kedua bentuk pertukaran itu tetap ada dalam pelaksanaan perkawinan.

Bagi pihak laki-laki, uang jemputan berwujud emas, akan dikembali lagi kepada pihak keluarga perempuan melalui mempelai perempuan (anak daro). Tepatnya ketika anak daro pergi berkunjung (manjalang) ke rumah orang tua mempelai laki-laki. Pengembalian uang jemputan ditujukan kepada anak daro dan wujudnya tidak hanya berwujud emas6

Uang jemputan dalam bentuk benda lain tidak dikembalikan kepada pihak perempuan melalui anak daro. Tetapi menjadi hak milik mempelai laki-laki (marapulai) atau orang tuanya, tergantung jenis benda dan kepada siapa uang jemputan itu di tujukan oleh pihak keluarga perempuan. Akan tetapi uang jemputan berwujud kendaraan, baik roda dua atau roda empat biasanya di tujukan kepada calon mempelai laki-laki dan dipergunakan secara bersama dengan mempelai perempuan (dalam rumah tangga barunya). Uang jemputan dalam

, tetapi ditambah dengan benda-benda lain seperti; kain sarung, alas kasur, dan perabotan rumah tangga. Ada kecenderungan pengembalian uang japuik yang relatif besar dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki yang mempunyai kemampuan ekonomi relatif mampu dengan uang hilang mempelai laki-laki relatif besar pula. Karena dibalik pengembalian uang jemputan relatif besar merefleksikan; status sosial ekonomi mempelai laki-laki dan keluarganya. Menurut Mauss (1992), pemberian mengandung kehormatan dari sipemberi dan penerima dan di dalamnya akan terlihat tukar-menukar yang saling mengimbangi di antara keduanya karena yang dipertukarkan sebagai prestasi (prestation) yaitu nilai menurut sistem makna yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukan nilai harfiah dari pemberian itu.

6

Emas yang dikembalikan oleh pihak keluarga laki-laki tidak hanya sejumlah uang japuik semula, tetapi ditambah lagi oleh orang tua, kakak dan mamak. Kisaran penambahan uang japuik antara 2 sampai 5 emas.

(11)

bentuk kendaraan ini, biasa calon mempelai laki-laki belum/tidak memiliki kendaraan, sehingga kendaraan yang diberikan sebagai uang jemputan menjadi hak miliki mempelai laki-laki.

Begitu juga dengan uang jemputan berwujud rumah, tergantung kepada siapa rumah itu di tujukan. Uang jemputan berwujud rumah ini ada pula dua tujuan; yakni kepada mempelai laki-laki atau kepada orang tuanya. Jika uang jemputan ditujuka n kepada mempelai laki-laki, maka rumah itu menjadi hak miliknya dan digunakan secara bersama dengan mempelai perempuan dalam menjalankan rumah tangga barunya. Bila uang jemputan berwujud rumah ditujukan kepada orang tua mempelai laki-laki, maka hak milik dan penggunaannya diberikan kepada orang tuanya. Uang jemputan yang ditujukan kepada orang tua mempelai laki-laki, biasa berasal kalangan ekonomi lemah, tetapi mempelai laki-laki mempunyai status sosial ekonomi/posisi pekerjaan yang tinggi dalam masyarakat.

Jika uang jemputan berwujud benda lain maka uang hilang yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan jumlahnya relatif sedikit dan fungsinya hanya sebagai bantuan saja kepada pihak keluarga laki-laki. Berbeda dengan wujud uang jemputan berbentuk emas, uang hilang yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan ditentukan berdasarkan status pekerjaan dan jumlahnya relatif lebih besar dari uang jemputan. Dengan demikian pemberian uang jemputan yang berwujud benda lain dapat merupakan simbolisasi status sosial ekonomi calon mempelai laki. Semakin besar jumlah uang jemputan, mengindikasikan laki-laki yang dijemput mempunyai kedudukan dan prestise yang tinggi pula.

Meskipun demikian, apapun wujud uang jemputan merupakan suatu bentuk pemberian yang mengandung makna dan tujuan tertentu. Makna yang terkandung dalam uang jemputan meliput i makna ekstrinsik dan instrinsik. Secara ektrinsik merupakan simbolisasi dari status sosial ekonomi dari calon pengantin laki-laki dan status sosial ekonomi dari pihak keluarga perempuan. Secara intrinsik uang jemputan sebagai bentuk penghormatan kepada calon mempelai laki-laki yang terkait dengan orang asa. Orang asa yang dimaksudkan disini adalah orang yang pertama menempati (manaruko) suatu daerah di Minangkabau. Di dalam falsafah adat Minangkabau disebutkan, “darek berpenghulu, rantau ba

(12)

rajo” (Mansoer, 1970). Secara eksplisit falsafah ini menggambarkan, bahwa orang Minangkabau mendiami dua kawasan yang berbeda yakni darek dan rantau. Sebagai sebutan untuk orang yang mendiami daerah darek adalah penghulu yang berarti pemimpin7

Uang jemputan dalam tradisi bajapuik ditentukan oleh pihak keluarga laki-laki, yang dalam hal ini adalah orang tua dan mamak. Pada awalnya uang japuik lebih dominan ditentukan oleh mamak, kemudian bergeser kepada kedua orang tua. Tempat tinggal yang berjauhan dengan kemenakan karena mata pencarian yang diguluti, memaksa mamak tidak banyak ambil bagian dalam penentuan uang jemputan. Kalaupun ada mamak yang ikut serta dalam penentuan jumlah uang jemputan berarti mamak bertempat tinggal atau domisili berdekatan dengan saudara perempuan dan kemenakannya. Adakalanya mamak hanya menerima keputusan akhir saja dari saudara perempuannya seperti dituturkan oleh informan M (60 tahun), di mana sewaktu anaknya dipinang, jumlah uang jemputan ditentukan sendiri. Begitu juga dengan informan A (70 tahun), AM (65 tahun), dan TM (66 tahun), dimana mamak sekarang tidak banyak mengambil bagian dalam penentuan jumlah uang jemputan untuk kemenakannya dan lebih . Untuk daerah rantau, sebutan untuk pemimpinnya adalah rajo (raja). Kedua sebutan yang akan diwarisi kepada keturunannya dan mengisyaratkan orang asa di Minangkabau. Orang asa di dalam struktur orang Minangkabau menempati posisi di atas, jika dibandingkan dengan orang datang. Berkaitan dengan perkawinan di Minangkabau, orang asa inilah yang diutamakan diterima sebagai menantu, karena dipahami oleh masyarakat sebagai orang yang mempunyai asal-usul yang jelas. Sebagai penghargaan kepada orang asa ini, di dalam perkawinan di Minangkabau diberi uang jemputan.

Sementara itu uang jemputan bertujuan sebagai modal bagi kedua mempelai dalam menjalankan rumahtangga dan dapat digunakan secara bersama-sama. Dengan memakai terminologi dari Homans dalam Turner (1998:266); Ritzer dan Goodmann (2004:364), tindakan seperti ini, dikenal dengan tindakan yang bernilai (value behavior). Gejala ini menciptakan melanggengkan uang jemputan dalam tradisi bajapuik.

7

Seseorang diangkat sebagai pemimpin, berarti orang yang menempati atau menguasai daerah itu pertama kalinya.

(13)

banyak diserahkan kepada orang tuanya masing-masing. Sebagai gambaran dapat dilihat dalam tabel 17.

Tabel 17. Penentuan Uang Jemputan Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008

Kategori

Generasi Muda Generasi Menengah Generasi Tua

Total Laki-laki Pempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

Orang Tua 54 (90,0) 52 (86,7) 45 (75,0) 41 (68,3) 48 80,0 42 (70,0) 282 (78,4) Calon Mempelai 1 (1,7) 2 (3,3) 3 (5,0) 0 (0) 1 (1,7) 0 (0) 7 (1,9) Mamak 5 (8,3) 6 (10,0) 12 (20,0) 19 (31,7 11 (18,3) 18 (30,0) 71 (19,7) Total 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 360 (100)

Sumber Data Primer 2008

Tabel 17 menunjukkan pada umumnya (78,4 persen), uang jemputan ditentukan oleh orang tua. Kemudian diikuti oleh mamak 19,7 persen dan calon mempelai 1,9 persen. Dominannya orang tua dalam penentuan uang jemputan karena mamak domisili jauh dari saudara perempuannya. Jadi keterbatasan jarak dan waktu membatasi keterlibatan mamak dalam penentuan uang jemputan.

Setelah semua disepakati oleh kedua belah pihak, uang jemputan diserahkan dari pihak keluarga perempuan kepada pihak keluarga laki-laki. Penyerahan itu pada umumnya dilakukan ketika mempelai laki-laki dijemput untuk melangsung pernikahan seperti terlihat dalam tabel 18 berikut ini.

Tabel 18. Waktu Uang Jemputan diberikan Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008

Kategori

Generasi Muda Generasi Menengah Generasi Tua

Total Laki-laki Pempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

1-6 bulan Sebelum Akad Nikah 2 (3,3) 6 (10,0) 2 (3,3) 7 (11,7) 0 (0,0) 2 (3,3) 19 (5,3) Saat Akad Nikah 58 (96,7) 54 (90,0) 58 (96,7) 53 (88,3) 60 (100) 58 (96,7) 341 (94,7) Total 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 360 (100)

Sumber Data Primer 2008

Tabel 18 menunjukkan, bahwa pada umumnya uang jemputan diberikan pada saat akad nikah yang jumlahnya 94,7 persen. Pemberian uang jemputan sebelum akad nikah jumlahnya relatif kecil yakni 5,3 persen. Adanya pemberian uang jemputan sebelum akad nikah, disebabkan oleh pemaknaan yang sama terhadap konsep uang jemputan dan uang hilang. Ini terjadi oleh kebiasaan dari masyarakat setempat (kota) yang tidak lagi memakai uang jemputan dalam arti yang

(14)

sebenarnya. Konsep uang jemputan yang diidentikkan dengan uang hilang menyebabkan pemaknaan responden untuk pemberian uang jemputan pada pelaksanaan tradisi bajapuik seperti yang terlihat pada tabel di atas. Secara lebih spesifik 1,1 persen pandangan yang sama itu berasal dari laki-laki dan 3,6 persen dari perempuan. Dari perbandingan itu, dapat dikatakan laki-laki lebih memahami tentang tradisi bajapuik jika dibandingkan perempuan.

Selanjutnya pemberian uang jemputan dilakukan di rumah pihak keluarga laki-laki. Adapun aktor yang melakukan pemberian dan penerimaan adalah ninik mamak dari keluarga kedua belah pihak yang hadiri oleh keluarga masing-masing seperti; mamak, kakak, mande8

Kategori

, isteri dari mamak (orang sumando) dan ninik mamak. Bersamaan dengan pemberian uang jemputan diserahkan pula persyaratan adat lainnya seperti uang hilang dan kampia sirih.

5.3.2. Uang Hilang

Uang hilang adalah uang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki sebagai persyaratan dalam perkawinan dan tidak kembali lagi. Uang hilang yang diberikan itu dapat dipergunakan sepenuhnya di rumah pihak keluarga laki-laki. Dalam praktek tradisi bajapuik, uang hilang berwujud uang. Sebagai gambaran dapat dilihat dalam tabel 19.

Tabel 19. Wujud Uang Hilang Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008

Generasi Muda Generasi Menengah Generasi Tua

Total Laki-laki Pempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

Uang 55 (91,7) 48 (80,0) 57 (95,0) 53 (88,3) 59 (98,3) 58 (96,7) 330 (91,7) Emas 1 (1,7) 6 (10,0) 0 (0) 2 (3.4) 1 (1,7) 2 (3,3) 12 (3,3) Benda Lain 4 (6.6) 6 (10,0) 3 (5,0) 5 (8,3) 0 (0) 0 (0) 18 (5,0) Total 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 360 (100)

Sumber Data Primer 2008

Dari tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar (91,7 persen) wujud uang hilang berupa uang. Kemudian ada sekitar 8,3 persen, wujud uang hilang berupa emas dan benda lainnya. Adanya anggapan mengenai wujud uang hilang berupa emas atau benda lain disebabkan oleh pemahaman yang sama antara uang hilang dengan uang jemputan. Anggapan itu pada umumnya berasal dari generasi muda

8

(15)

dan generasi menengah (pelaku), yang berasal dari daerah perkotaan. Kemudian secara spesifik 2,2 persen dari laki-laki dan 5,5 persen dari perempuan. Dengan demikian tingkat pemahaman nilai adat tradisi bajapuik pada jenis kelamin laki-laki lebih tinggi di bandingkan dengan jenis kelamin perempuan.

Nama lain dari uang hilang adalah uang dapur. Uang dapur diartikan adalah untuk membeli kebutuhan dapur. Pada awalnya pembelian kebutuhan dapur yang dimaksud adalah mempersiapkan makanan yang akan dihidangkan ketika mempelai perempuan datang ke rumah mempelai laki-laki untuk bertamu secara adat atau disebut dengan menjalang. Sekarang penggunaan uang hilang menjadi bertambah, seperti yang jelaskan oleh informan K (46 tahun) berikut ini:

Saat ini uang hilang digunakan untuk pelaksanaan pesta dan sekaligus menyambut anak daro ketika datang menjalang. Selain itu uang hilang diambil sebagian untuk menambah paragiahjalang. Bahkan kadang uang

hilang juga digunakan untuk membeli kebutuhan marapulai seperti

membeli sepatu, pakaian atau sebagian diberikan kepada marapulai untuk bekal/modal awal berumah tangga.

Dari penuturan informan diatas terlihat, bahwa uang hilang digunakan sepenuhnya untuk kepentingan penyelenggaraan pesta di rumah pihak keluarga laki-laki. Adanya macam-macam kegunaan uang hilang diatas menunjukan, konsep uang hilang dalam tradisi bajapuik, tidak benar-benar hilang. Tetapi terdapat pendistribusian uang tersebut kepada pos-pos lain, seperti disebutkan di atas dalam tradisi bajapuik. Meskipun demikian, pada kasus-kasus tertentu, kemungkinan uang hilang benar-benar hilang tetap ada, seperti dikatakan oleh informan SM, 72 tahun.

Uang hilang atau disebut uang japuik disini (Kota Pariaman) tidak

dibunyi kan dan sudah ada kesepakatan dibelakang saja, karena takut dicemoohkan bahwa anaknya dijual. Jika orang punya malu tentu ada basa-basinya kepada keluarga pihak perempuan, terutama untuk anak daro. Sebodoh-bodohny a orang, dua emas barang akan dibelikan dan diberikan kepada anak daro. Tetapi di sini (kota Pariaman) kecenderunganya lain, tidak mau mengembalikan agak sedikitpun. Di satu sisi dia malu disebut-sebut oleh orang banyak, tetapi meminta uang japuik dilakukannya juga. Akhirnya di muka umum tidak terlihat kewajibannya keluarga pihak laki-laki untuk memberikan sesuatu kepada anak daro dalam pelaksanaan perkawinan

(16)

itu. Disinilah banyak orang tua yang tidak mengerti dan tidak memahami tradisi ini.

Penuturan informan di atas menggambarkan uang hilang yang benar-benar hilang, kecenderungannya ada di daerah kota. Meskipun itu ada, fenomena itu merupakan kasuistik saja dan tidak dapat digeneralisasi sebagai karakteristik dari tradisi bajapuik. Kasus ini terutama terjadi pada keluarga-keluarga yang tidak memahami nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi bajapuik. Padahal di dalam uang hilang mengandung makna esktrinsik dan instrinsik seperti yang dijelaskan oleh IM (80 tahun) berikut ini;

Untuk jaman kini penghargaan kepada seorang laki-laki yang diterima sebagai menantu terletak pada uang hilang. Karena dengan uang hilang, berarti laki-laki itu mempunyai harga diri dan tidak sebagai orang yang kurang. Dari situ juga menggambarkan keturunan yang jelas dari laki-laki. Dan yang lebih nyata sekali adalah menunjukan status sosial dari seorang laki-laki, apakah dia orang berpangkat atau tidak. Karena itu akan menentukan besar-kecilnya jumlah uang hilang.

Fakta tersebut mendukung proposisi nilai di mana makin tinggi nilai hasil tindakan seseorang bagi dirinya, makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan itu (Homans dalam Ritzer dan Goodman, 2004).

Kapan dan siapa yang menentukan uang hilang? Kemudian untuk penentuan jumlah uang hilang secara resmi, ditetapkan pada saat pertunangan (tukar cincin) oleh ninik mamak keluarga kedua belah pihak. Penentuan ini bersamaan dengan penetapan uang jemputan. Pada kesempatan yang sama, juga dibicarakan persyaratan lain seperti kampia sirih yang harus dibawa oleh keluarga pihak perempuan untuk penjemputan marapulai pada saat akan melangsungkan pernikahan. Penentuan uang hilang (uang hilang) oleh ninik mamak ini adalah sebagai formalitas saja, karena jauh sebelum penetapan ini, kedua belah pihak terutama orang tua bertemu dan membicarakan mengenai jumlah uang hilang (uang japuik). Tepatnya pada saat merasek atau merasok. Pada saat ini aktor yang terlibat dalam penentuan uang hilang antara lain; orang tua dan mamak. Pembicaraan mengenai penentuan uang hilang dapat terjadi 2 sampai 3 kali pertemuan. Ini terjadi apabila keluarga kedua belah pihak belum sepakat

(17)

mengenai jumlah uang hilang. Mengenai aktor-aktor yang terlibat dalam penentuan uang hilang ini dapat dilihat pada tabel 20 berikut ini:

Tabel 20. Penentuan Uang Hilang Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008

Kategori

Generasi Muda Generasi Menengah Generasi Tua

Total Laki-laki Pempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

Orang Tua 52 (86,7) 48 (80,0) 54 (90,0) 55 (91,7 56 (93,3) 58 (96,7) 323 (89,7) Calon Mempelai 1 (1,7) 3 (5,0) 2 (3,3) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 6 (1,7) Mamak 7 (11,6) 9 (15,0) 4 (6,7) 5 (8,3) 4 (6,7) 2 (3,3) 31 (8,6) Total 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 360 (100)

Sumber Data Primer 2008

Meskipun ada tiga macam golongan orang yang ikut menentukan jumlah uang hilang, namun keputusan akhir tetap berada di tangan orang tua. Orang tua dalam hal lebih mempunyai wewenang dalam penentuan uang hilang. Dari ketiga golongan tersebut orang tua menduduki peringkat teratas yakni sebesar 89,7 persen. Kemudian baru diikuti oleh mamak dan calon pengantin yang masing-masingnya 8,6 persen dan 1,7 persen, seperti yang tergambar dalam tabel di atas. Sementara itu untuk pemberian uang hilang, ada tiga pilihan waktu yang dapat dilakukan oleh pihak perempuan, seperti terlihat pada tabel 21 berikut ini.

Tabel 21. Waktu Pemberian Uang Hilang Menurut Responden Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008

Kategori

Generasi Muda Generasi Menengah Generasi Tua

Total Laki-laki Pempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

1-6 bulan Sebelum Akad Nikah 3 (5,0) 2 (3,4) 0 (0) 3 (5,0) 2 (3,4) 1 (1,7) 11 (3,1) Saat Akad Nikah 56 (93,3) 56 (93,3) 55 (91,7) 55 (91,7) 58 (96,7) 59 (98,3) 339 (94,2) Sesudah Pesta 1 (1,7) 2 (3,3) 5 (8,3) 2 (3,3) 0 (0) 0 (0) 10 (2,7) Total 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 60 (100) 360 (100)

Sumber Data Primer 2008

Secara umum, pemberian uang hilang dilakukan pada saat akad nikah yakni 94,2 persen. Pemberian uang hilang pada waktu yang lain seperti; sebelum dan sesudah pesta dipandang masyarakat mempunyai sisi positif dan negatif Pemberian uang hilang lebih awal dapat membantu pihak keluarga laki-laki terdapat 3,1 persen. Pemberian uang hilang pada awal adalah atas dasar permintaan keluarga pihak laki-laki dengan tujuan untuk mempersiapkan segala

(18)

sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan seperti memperbaiki rumah. Namun dilain pihak, kemungkinan terjadinya kemungkiran dipihak laki-laki besar pula terjadi. Begitu juga dengan pemberian uang hilang setelah akad nikah terdapat 2,7 persen. Waktu pemberian uang hilang ini jarang terjadi dan biasanya atas permintaan keluarga pihak perempuan. Kondisi ini terpaksa dilakukan karena kondisi yang sangat mendesak dan tidak ada pilihan lain bagi keluarga pihak perempuan untuk memenuhi uang hilang sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Kemampuan ekonomi yang kurang, baik dari keluarga batih (nuclear family) maupun keluarga besar (extended family) serta kurangnya sarana menyentuh kehidupan masyarakat dan ketakutan berhubungan dengan lembaga ekonomi menyebabkan keluarga pihak perempuan mengambil tindakan itu. Sisi negatif dari pemberian uang hilang setelah pesta dilaksanakan, ada kemungkinan pihak perempuan menghindari pemberian uang hilang dengan dalih bermacam-macam. Dengan pernikahan yang telah dilaksanakan, berarti calon mempelai laki-laki sudah syah menjadi suami anak perempuannya. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, sebelum akad nikah dibuat kesepakatan yang dihadiri oleh orang tua dan ninik mamak kedua belah pihak. Apabila terjadi kemungkiran salah satu di antara mereka akan mendapat sanksi adat. Sanksi yang biasa dikenakan kepada yang melangggar adalah mengganti satu kali sampai dua kali lipat kerugian yang yang dialami oleh masing-masing pihak yang dirugikan dan penetapan sanksi itu diutarakan pada saat tukar cincin (pertunangan).

Untuk pemberian uang hilang ini, aktor yang terlibat adalah keluarga luas (extended family), dari pihak ibu dan tetangga terdekat dibawah satu komando yakni ninik mamak. Pada saat itu, ninik mamak kedua belah pihak berperan dalam rangka memberi dan menerima uang hilang, disamping yang lain turut menyaksikan dan sekaligus mensyahkan persyaratan yang telah ditetapkan.

Meskipun terdapat tiga macam waktu pemberian uang hilang dalam tradisi bajapuik, namun saat ini kecenderungan uang hilang hanya diberikan pada saat pernikahan akan dilangsungkan. Kemudahan yang diperoleh masyarakat untuk mendapat peminjaman di bank dan pengetahuan luas mengenai sarana ekonomi, memperkecil peluang keluarga pihak perempuan untuk mengulur waktu pemberian uang hilang. Kondisi ini jarang sekali terjadi, karena jauh hari sebelum

(19)

pernikahan dilaksanakan pihak keluarga perempuan, telah mempersiapkan dana untuk pelaksanaan perkawinan nanti, selain bantuan (partisipasi) dari keluarga luas (extended family) tetap ada dalam tradisi bajapuik.

Menelusuri sejarah uang hilang sampai saat ini, merupakan suatu rangkaian cerita dari mulut ke mulut. Walaupun lukisan cerita itu sangat terang dan mudah dipahami, namun sangat susah dijadikan sebagai tonggak sejarah dan masih diragukan kebenarannya mengenai munculnya uang hilang. Makin jauh, menyelami pendapat masyarakat, maka semakin banyak diperoleh informasi tentang penyebab munculnya uang hilang. Adapun penyebab munculnya uang hilang dalam tradisi bajapuik antara lain:

Pertama, uang hilang muncul sebagai kompensasi atau imbalan sesuatu masalah. Dimana adanya suatu keluarga yang mempunyai anak gadis yang telah “rusak” (tidak gadis lagi). Masalah ini sudah menjadi rahasia umum, di mana untuk mencarikan jodoh bagi anak gadis tersebut tentu saja akan mengalami kesulitan. Kondisi anak gadis seperti ini dianggap hina dan tidak ada laki-laki yang mau untuk mempersuntingnya. Jalan keluar yang ditempuh oleh orang tuanya adalah mencarikan seorang laki-laki yang mau mempersunting anaknya tersebut. Sebagai imbalan dari kesedian dari laki-laki itu diberilah uang oleh pihak keluarga yang perempuan. Uang inilah yang semula disebut dengan uang hilang.

Kedua, sebagai balas jasa langsung. Bagi orang tua, tentu mempunyai harapan kepada anaknya nanti setelah dewasa. Untuk itu anaknya disekolahkan mulai dari SD sampai ke Perguruan Tinggi, dengan maksud setelah menamatkan pendidikan itu akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Apakah akan menjadi pegawai negeri, pegawai swasta ataupun berwiraswasta. Orang tua mengharapkan penghasilan sianak itu nanti dapat membantu kehidupannya kelak dan juga dapat membantu menyekolahkan adik-adiknya. Untuk mendukung keberhasilan si anak, orang tua tidak segan-segan untuk mengorbankan apa saja untuk biaya sekolahnya. Tapi baru saja anak mulai berkerja atau diujung pendidikannya, sudah ada saja keluarga yang mempunyai anak gadis untuk meminangnya atau meminta sianak untuk dijadikan menantu. Pada kondisi ini, orang tua dihadapkan kepada dua pilihan. Di satu sisi orang tua menyadari, bahwa sudah menjadi kodratnya manusia di mana seorang gadis apabila telah

(20)

menginjak dewasa tentu akan bersuami dan jejaka akan beristeri. Namun di sisi yang lain, jika anak sudah mempunyai isteri sudah pasti akan mempunyai tanggungjawab kepada keluarganya (anak dan isteri). Bantuan kepada orang tua dan adik-adiknya sudah barang tentu akan berkurang bahkan tidak ada sama sekali. Sering terjadi, apabila anak sudah beristeri, sianak lupa akan kewajibanya kepada orang tua dan adik-adiknya. Inilah yang mencemaskan bagi sebagian orang tua di Pariaman. Dari sini muncul hasrat orang tua untuk meminta uang hilang sebagai balas jasa selama membesarkan sianak mulai dari kecil hingga menjadi orang. Apalagi jika si anak itu baik sikapnya dan mempunyai kedudukan yang baik pula, banyak orang tua yang mempunyai anak gadis untuk meminangnya dan dijadikan menantu. Maka disinilah berlaku prinsip ekonomi, kalau permintaan banyak, maka harga akan tinggi dan bila permintaan sedikit, maka harga menjadi rendah. Atas dasar inilah uang hilang menjadi berjuta-juta.

Ketiga, karena kekayaan yang dimiliki oleh pihak perempuan, atau dengan istilah “dek ameh kameh, dek padi menjadi”, artinya dengan uang bisa didapatkan apa saja, termasuk untuk mendapatkan menantu. Suatu keluarga yang mempunyai anak gadis dan mampu secara ekonomi, sudah barang tentu berkeinginan untuk mendapatkan menantu yang terpandang seperti kedudukan, pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang tetap atau pedagang besar, walaupun anak gadisnya tidak cantik dan berpendidikan tinggi. Dengan uang atau kemampuan ekonomi yang dimilikinya dapat menawarkan uang yang cukup banyak kepada pria yang dituju asalkan mau diterima menjadi menantu. Uang inilah yang disebut dengan uang hilang.

Keempat, sebagai kebanggaan kedua keluarga, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan sama-sama mempunyai kemampuan dalam bidang ekonomi. Untuk menunjuk kepada masyarakat banyak, maka keluarga itu memberi uang hilang.

Kelima, latah atau Ikut-ikutan. Oleh karena banyak masyarakat yang melaksanakan uang hilang, baik oleh karena mengharapkan balas jasa, pamer moral dan lain-lain maka hampir semua masyarakat dalam daerah Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman melaksanakan uang hilang dalam rangkain acara perkawinan.

(21)

Dari kelima penyebab di atas tidak satupun yang menyertai dengan tahun munculnya uang hilang, sehingga itu berimplikasi pada sulitnya menentukan tongggak sejarah munculnya uang hilang itu sendiri. Namun demikian, dari sejarah tentangPariaman tempo dulu yang di tulis oleh Zakaria (1932)9

Jumlah uang tungkatan ditentukan oleh kepalo mudo dan diberikan pada saat itu juga oleh pihak keluarga perempuan

, diperoleh informasi setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1929 tradisi bajapuik mengalami perubahan. Pada masa itu, orang yang yang bergelar seperti Sidi, Bagindo dan Sutan di jemput dengan sesukanya oleh orang yang datang. Bagi laki-laki yang mempunyai usaha sendiri seperti berniaga atau guru agama besarnya uang hilangnya sekurang-kurangnya f 30 sampai f 300. Kemudian uang hilang ini akan semakin bertambah jumlahnya, apabila seorang laki-laki tersebut mempunyai pangkat yang tinggi dan mempunyai gaji yang besar. Dengan kondisi itu, maka dapat dikatakan uang hilang sudah ada semejak tahun 1929.

5.3.3. Uang Tungkatan

Selain uang-uang di atas, uang yang lain yang terdapat dalam tradisi bajapuik adalah uang tungkatan. Uang tungkatan adalah uang diberikan kepada kepalo mudo atau capiang marapulai. Bagi pihak keluarga laki-laki, uang ini sebagai tembusan dari benda-benda tungkatan yang dibawa oleh pihak keluarga perempuan sebagai persyaratan untuk menjemput mempelai laki-laki untuk melakukan pernikahan dan diminta kembali untuk dibawa pulang ke rumah pihak keluarga perempuan. Ringkasnya uang tungkatan adalah uang tebusan dari benda-benda tungkatan.

10

9

Di tulis ulang oleh Anas Navis (1992) dalam salin naskah tentang Riwayat Kota Pariaman. Namun sebutan untuk uang hilang, disebut dengan uang jemputan. Jika kembali kepada konsep awal dari uang jemputan dan uang hilang mempunyai perbedaan. Uang jemputan berupa benda-benda ekonomis; seperti emas, kendaraan atau rumah dan uang hilang berupa uang. Atas dasar itu penyebutan untuk uang jemputan di atas dianggap keliru dan yang benarnya adalah uang hilang. Sehingga dapatlahlah dikatakan yang dimaksudnya oleh pengarang adalah uang hilang.

10

Pemberian uang tungkatan dari pihak keluarga perempuan diwakili oleh mamak.

. Jumlah uang tungkatan itu berkisar antara Rp 150.000 - 200.000. Uang tungkatan yang diberikan itu dapat dipahami sebagai uang lelah atau belaian kepada kapalo mudo/tuo marapulai atas luangan waktunya untuk mendampingi mempelai laki-laki pada saat melangsungkan

(22)

pernikahan dan berguna untuk membeli rokok atau minuman bagi ketua marapulai.

Pada awalnya pihak keluarga perempuan hanya menyediakan benda-benda tungkatan. Jumlah benda-benda tungkatan yang dibawa oleh keluarga pihak perempuan tergantung pada tinggi rendahnya martabat kaum tersebut—apakah berasal dari golongan bangsawan (keturunan raja), penghulu dan biasa. Jika laki-laki berasal dari keturunan raja, maka jumlah benda tungkatannya tujuh, terdiri dari tiga macam cincin dilengkapi dengan sewah, payung, pedang dan tongkat. Laki-laki yang berasal dari keturunan penghulu, jumlah tungkatan lima, tediri dari tiga macam cincin dilengkapi dengan sewah dan payung. Terakhir, laki-laki yang berasal dari golongan biasa, maka jumlah benda tungkatan tiga terdiri dari emas, suaso dan perak, atau yang disebut dengan cincin tigo bantuak (tiga bentuk). Dengan demikian banyak-sedikitnya jumlah benda tungkatan menunjukan status sosial seorang laki-laki. Tetapi yang terjadi saat ini, jumlah tungkatan yang lazim dibawa oleh keluarga pihak perempuan adalah tungkatan tiga yang terdiri dari tiga macam bentuk cincin yang diikat kain kuning dan tungkatan lima dan tujuh nyaris tidak/jarang dilakukan dalam pelaksanaan perkawinan.

Bagi pihak keluarga laki-laki, semua benda-benda tungkatan itu pada awalnya berfungsi sebagai pelindung atau menjaga diri calon mempelai laki-laki (marapulai) dari bahaya yang akan mengancam ditengah jalan. Karena dahulu pernikahan dilakukan pada malam hari. Sekarang semua benda-benda tungkatan itu hanya sebagai simbol yang mencirikan seseorang laki-laki berasal dari keturunan yang jelas (Pariaman), apalagi pernikahan pada dekade terakhir ini pada umumnya di laksanakan pada siang hari (Wawancara, tanggal 8 Agustus 2008).

Selain benda-benda tungkatan itu, pihak keluarga perempuan juga diharuskan membawa kampia sirih, yang terdiri daun sirih, gambir, pinang, tembakau dan sadah (kapur) atau yang disebut dengan salapah. Salapah ini merupakan ketentuan adat yang harus dipenuhi dalam setiap perkawinan di Minangkabau dan berlaku dari dulu hingga saat ini. Bagi pihak keluarga laki-laki salapah pada awalnya digunakan untuk mengetahui perawan atau tidaknya penganten perempuan. Oleh sebab itu yang menerima kampia sirih dan salapah adalah kapalo mudo/tuo marapulai. Kapalo mudo/tuo marapulai inilah yang akan

(23)

menerima dan menilai salapah itu. Biasanya dalam penerimaan salapah, kapalo mudo memeriksa satu persatu dan disaksikan keluarga kedua belah pihak. Jika terjadi suatu keganjilan, maka wewenang kapalo mudo untuk menyampaikan kepada ninik mamak dari calon pengantin laki-laki dan untuk diteruskan kepada ninik mamak dari calon pengantin perempuan. Untuk selanjutnya ninik mamak inilah yang akan membuat perhitungan atau konsensus baru. Dari benda-benda salapah ini, perkawinan dapat menjadi batal atau dibuat perhitungan baru lagi mengenai uang hilang. Jika dibuat perhitungan baru, biasa jumlah uang hilang yang diminta kepada pihak keluarga perempuan dinaikan 50 persen sampai 100 persen. Meskipun saat ini fungsinya hanya sebagai syarat adat saja dalam pelaksanaan perkawinan.

5.3.4. Uang Selo

Uang selo merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam uang yang yang terdapat dalam tradisi bajapuik. Uang selo adalah uang berasal dari keluarga pihak perempuan dan diberikan kepada ninik mamak dari pihak laki-laki yang hadir pada saat pertunangan (tukar cincin). Oleh sebab itu uang selo ini disebut juga dengan uang ninik mamak.

Seperti dengan uang lain dalam tradisi bajapuik, jumlah uang selo tidak mempunyai standar yang tetap. Ada kecenderungan jumlah bervariasi sesuai permintaan ninik mamak dari pihak laki-laki. Permintaan besar kecilnya uang selo, selain didasarkan kepada banyaknya jumlah ninik mamak yang datang menghadiri, juga dengan melihat kondisi ekonomi orang yang datang (pihak perempuan). Jumlah uang selo yang berlaku sekarang berkisar antara Rp 200.000 sampai Rp 700.000 (1 emas). Pada kasus-kasus tertentu terdapat pula jumlah uang selo hingga 1 juta. Ini merupakan jumlah yang relatif besar untuk ukuran uang selo. Tetapi untuk sebagian masyarakat tidak menjadi persoalan, karena uang itu akan dibagi-bagi pula untuk sejumlah orang dan ninik mamak yang hadir pada acara tersebut, sehingga masing-masing bisa mendapat bagian antara Rp 25.000 sampai Rp 75.000. Besar-kecilnya pembagian uang tungkatan didasarkan pula pada peran serta dan kedudukannya dalam masyarakat.

Dengan berpedoman kepada jumlah uang selo yang bervariasi itu, salah satu nagari di Kabupaten Padang Pariaman membuat Perna (Peraturan Nagari)

(24)

tentang uang selo. Tujuannya agar jumlah uang selo lebih tertip dan tidak berlebihan. Peraturan tentang uang selo pertama kali dibuat oleh Kenagarian Pilubang Kecamatan Sungai Limau. Karena dipandang gagasan itu baik oleh nagari lain, maka hampir 50 persen dari jumlah kenagarian yang ada di lingkungan Kabupaten Padang Pariaman menerapkan Perna tersebut dalam pelaksanaan perkawinan (Wawancara, AM 65 tahun). Sementara itu nagari-nagari yang tidak mempunyai Perna mengenai uang selo, maka jumlah uang selo ditetapkan berdasarkan kesepakatan dari keluarga kedua belah pihak.

Pada dasarnya, adanya uang selo ini dalam tradisi bajapuik, tidak menjadi beban, seperti uang hilang yang dirasakan oleh sebagian masyarakat saat ini. Ketika uang selo di minta oleh pihak keluarga laki-laki sebagai sebuah persyaratan yang harus dipenuhi, biasanya pihak keluarga perempuan menerima dan memenuhi permintaan uang selo ini. Jarang sekali terjadi penawaran dalam penetapan jumlah uang selo dari pihak perempuan, karena jumlah yang relatif kecil dan masih terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat.

Tujuan uang selo sebagai wujud perhatian kepada ninik mamak yang telah meluangkan waktunya dalam pelaksanaan pertunangan. Mereka telah meninggalkan pekerjaan untuk beberapa saat dan bahkan kadang-kadang sampai satu hari, sehingga pada hari itu mereka tidak mempunyai penghasilan yang akan memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai pengganti waktunya untuk berusaha itu, maka diberilah uang selo. Uang itu bagi ninik mamak digunakan untuk membeli rokok dan minuman atau memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Alasan ini secara rasional dapat diterima, karena seharian waktunya dihabiskan untuk menghadiri salah satu bagian dari prosesi perkawinan. Apalagi kehidupan di desa pada umumnya di bidang pertanian. Artinya dalam hal ini, jika tidak berusaha maka mereka tidak akan mendapat uang. Sementara mereka harus menghidupi anak dan keluarganya. Jadi wajar ninik mamak diberi sedikit uang jasa untuk membeli kebutuhan hidupanya pada hari itu.

Uang selo hanya diberikan kepada ninik mamak pihak laki-laki dan tidak kepada ninik mamak dari pihak perempuan. Pertimbangan karena sesuai dengan adat Minangkabau yang berlaku umum dan tidak terkecuali di Pariaman, bahwa dalam adat perkawinan, pihak perempuan adalah orang yang datang. Sebagai

(25)

orang datang dipahami, sebagai orang yang mempunyai kepentingan11

11

Untuk menikahkan anak perempuannya, karena dalam adat Minangkabau perempuan yang telah cukup umur menjadi beban keluarga dan kaum. Oleh sebab itu tidak salahnya juga pihak perempuan berkorban materi, untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar yakni menantu.

dalam hal ini. Oleh sebab itu sebagai orang yang mempunyai kepentingan tidak salah untuk sedikit berkorban untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Atas dasar itu sewajarnyalah pihak perempuan memberi uang selo kepada ninik mamak untuk pihak laki-laki. Tanpa kehadiran ninik mamak pada acara tersebut, pertunangan tidak akan berjalan sebagaimana mesti. Maka dari itu peran ninik mamak sangat diperlukan pada saat pertunangan ini, sebagai orang yang mengetahui tentang adat-istiadat.

Untuk Penentuan uang selo, jauh hari sebelum tukar cincin, telah di bicarakan oleh keluarga kedua belah pihak. Tepatnya pada tata cara meresek telah dibuat kerangkanya mengenai bentuk bentuk uang yang harus disediakan oleh pihak perempuan. Ketika waktu tiba, keluarga pihak perempuan hanya menjalankan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Penentuan uang selo dilakukan di rumah pihak laki-laki, karena dalam adat perkawinan yang berlaku umum pihak perempuan yang datang ke rumah calon pengantin laki-laki, maka pada itu uang selo juga ditentukan disana.

Pada saat penentuan uang selo, dipihak keluarga perempuan selain dihadiri oleh orang tua, dan saudara yang terdekat, juga didampingi pula oleh salah seorang mamak. Begitu juga sebaliknya dari pihak laki-laki telah menunggu pula orang yang sama. Pada pertemuan antar keluarga inilah uang selo dibicarakan. Dalam pertemuan itu juga dibicarakan hal-hal lain yang menyangkut persyaratan yang harus di penuhi oleh pihak perempuan seperti uang jemputan dan uang hilang dan uang tungkatan.

Untuk pemberian uang selo dilakukan pada saat tukar cincin atau pertunangan. Pemberian itu dilakukan oleh ninik mamak dari pihak perempuan kepada ninik mamak pihak penganten laki-laki. Penyerahan berlangsung di rumah calon pengantin laki-laki yang dihadiri oleh oleh ninik mamak, orang tua serta kerabat dari calon pengantin laki-laki.

(26)

Munculnya uang selo dalam tradisi bajapuik tidak banyak diketahui, karena tidak ada bukti-bukti tertulis yang dapat menjelaskannya. Meskipun demikian dari pengalaman (life histori) dari informan penelitian dan sekaligus sebagai pelaku perkawinan yang tergolong berusia lanjut, yakni antara 69 sampai 80 tahun, tidak semuanya memakai uang selo dalam pelaksanaan perkawinannya. Hanya 4 orang di antaranya yang melaksana uang selo dalam perkawinannya. Rata-rata usia perkawinannya antara 30-45 tahun. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa uang selo muncul setelah adanya uang jemputan. Sebagai gambaran dapat dilihat dalam tabel 22 berikut ini.

Tabel 22. Perkiraan Muncul Uang Selo Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008

No Kode Informan Umur Tahun Menikah Pakai Uang selo

1 A G 70 1964 − 2 F 69 1962 − 3 S M 72 1962 − 4 I M 80 1954 − 5 S 74 1965 √ 6 M L 80 1960 − 7 A Z 65 1970 √ 8 B 73 1958 − 9 B 73 1960 − 10 T M 66 1968 √ 11 U A 80 1953 − 12 M R 75 1960 − 13 M 70 1963 √ 14 A 78 1955 −

Sumber : Data Primer 2008

Kemudian prakteknya uang selo lebih marak dilakukan sekitar tahun 1970-an. Penyebab munculnya uang selo lebih dikarenakan oleh semakin berkurangnya kadar sosial masyarakat, seperti yang diungkap oleh informan A (78 tahun) berikut ini.

Ninik mamak yang duduk pada acara tukar cincin itu, meninggalkan

usahanya. Semestinya dia mendapat uang dari usahanya itu, tetapi dengan mengikuti acara tersebut mereka tidak memperolehnya. Jadi sebagai penggantinya diberilah uang dari uang selo ini. Selain itu sosial orang kini sudah mulai kurang, yang disebabkan oleh ekonomi yang semakin sulit. Orang semakin banyak, namun pekerjaan tidak kunjung didapat. Untuk itu, tentu orang akan lebih utama memikirkan diri dan keluarganya terlebih dahulu dari pada orang lain. Maka suatu yang wajar,

(27)

jika mereka diberi uang penganti dari mata pencaharian yang tinggalnya pada saat itu.

Dengan demikian faktor ekonomi sangat besar pengaruhnya pada kehidupan masyarakat, dan tidak terkecuali dalam pelaksanaan perkawinan. Begitu kuatnya pengaruh ekonomi ini telah terbukt ikan jauh hari sebelum itu. Dengan mengacu pada kajian sejarah mengenai adat perkawinan Pariaman tempo dulu yang dikarang oleh Said Zakaria (1932) dan ditulis ulang oleh Anas Navis (1992), baik secara intrinsik dan ekstrinsik tidak ada membahas tentang uang selo. Atas dasar itu, semakin menguatkan informasi sebelumnya.

5.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dasar dan Bentuk-bentuk Pertukaran Perkawinan Dalam Tradisi Bajapuik

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa pertukaran awal dalam tradisi bajapuik adalah gelar kebangsawanan, ketika itu penduduk belum banyak, hasil harta pusaka seperti sawah dan ladang masih memadai untuk menghidupi anggota keluarga. Bahkan dapat dikatakan kehidupan masyarakat relatif tradisional, dimana mata pencaharian masih homogen yakni di bidang pertanian, dan tanah relatif luas untuk digarap. LKAAM (1987) dalam buku menyebutkan bahwa seorang laki-laki diterima sebagai menantu adalah untuk menyambung keturunan dan suami bagi anak perempuan, sementara itu soal ekonomi dari calon menantu kurang dipertimbangkan. Ini bukan berarti pihak suami tidak bertanggung jawab melainkan hasil harta pusaka seperti sawah dan ladang memadai karena penduduk belum sebanyak seperti sekarang ini, sehingga untuk menerima seorang laki-laki tidak perlu mempertimbangkan pekerjaan/pendapatan yang di miliki.

Gambaran tentang kriteria laki-laki yang demikian dalam perkembangan selanjutnya tradisi bajapuik tidak mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Azwar (2001), gelar kebangsawanan ini tidak mendatangkan kesejahteraan bagi keluarga yang akan dibina. Begitu juga ketika wawancara di lapangan dengan sejumlah informan serta tokoh masyarakat, terungkap; saat ini yang menjadi pertimbangan masyarakat adalah status sosial ekonomi (prestasi) atau kedudukan seorang laki-laki pada instansi atau lembaga

(28)

tertentu. Oleh sebab itu pekerjaan dan pendapatan menjadi perioritas utama untuk menerima seseorang sebagai menantu.

Pilihan masyarakat pada status sosial ekonomi seperti uraian di atas dapat merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari perkembangan masyarakat, khusus faktor ekonomi seperti yang diungkapkan oleh informan B (73) berikut ini.

Itu merupakan suatu yang logis terjadi dalam masyarakat. Masyarakat tentu akan berfikir dengan apa dia akan hidup, jika hanya mengandalkan gelar keturunan. Jika dahulu mungkin masih luas lahan yang akan digarap dan masih ada mamak yang akan memperhatikan. Tetapi sekarang semuanya itu sudah berubah. Jadi perubahan yang terjadi pada tradisi bajapuik khususnya dari gelar kebangsawanan kepada gelar status sosial karena seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.

Selanjutnya AZ (65 tahun) mengatakan:

Pergeseran itu terjadi karena kebutuhan ekonomi yang sulit dan orang tidak mungkin lagi berfikir kestatus sosial yang tidak menghasilkan uang. Apalagi jika ditinjau dari adat Minangkabau, uang japuik itu termasuk kedalam adat nan diadatkan.

Dengan demikian ada faktor internal dan ekternal yang mempengaruhi dasar dan bentuk-bentuk pertukaran dalam tradisi bajapuik. Namun kedua tetap bermuara pada faktor ekonomi. Faktor internal berupa desakan dari dalam masyarakat sendiri berupa pertambahan penduduk, keterbatasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat dan keterlibatan mamak dalam kehidupan keluarga besarnya. Begitu juga dengan faktor ekternal, ditunjukan oleh kajian sejarah dalam perkawinan adat Pariaman tempo dulu yang dikarang oleh Said Zakaria tahun 1932 dan ditulis ulang oleh Anas Navis (1992), dimana pengaruh ekonomi global secara tidak langsung ikut pula berpengaruh pada kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya berimplementasi kepada mata pencarian penduduk yang semakin terbatas.

Kondisi seperti itu memungkinkan seseorang untuk lebih berfikir secara rasional dan memutuskan sesuatu tentang hidupnya yang sesuai dengan kebutuhannya saat itu. Dijadikan pendidikan, pekerjaan dan pendapatan sebagai

(29)

pertimbangan umum dari status sosial dan pekerjaan secara lebih spesifik yang menjadi pertimbangan saat ini sebagai pertukaran dalam tradisi bajapuik merupakan faktor yang secara langsung dapat berpengaruh terhadap kehidupan calon pengantin nantinya dalam mengarungi kehidupan rumahtangga.

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa faktor yang dapat menyebabkan peralihan dari status gelar kebangsawanan kepada gelar status sosial adalah akibat dari pengaruh faktor ekonomi. Kemudian secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat terutama pendidikan, dan pertumbuhan penduduk.

5.5. Ringkasan Bab

Bab lima terbagi atas tiga sub bab. Sub bab pertama menjelaskan nilai yang mendasari tradisi bajapuik; kedua dasar pertukaran dan ketiga bentuk-bentuk pertukaran. Adapun nilai yang mendorong individu untuk melakukan pertukaran dalam tradisi bajapuik disebabkan oleh faktor nilai budaya (orientasi nilai budaya), yang terkait dengan sistem materilineal. Adapun nilai budaya itu adalah “anak perempuan yang telah cukup umur menjadi malu keluarga dan kaum, meskipun saat ini telah dipersempit skopnya menjadi malu keluarga besar (extended family)”. Nilai inilah yang masih tertanam kuat dalam masyarakat Pariaman khususnya pihak keluarga perempuan untuk mendapatkan menantu atau suami bagi anak perempuan. Meskipun dasar pertukaran dan bentuk pertukaran telah berubah, namun tradisi bajapuik dengan uang japuik tetap dilaksanakan.

Kedua, dasar pertukaran. Dalam sejarah perjalanan tradisi bajapuik terdapat dua dasar pertukaran yakni; gelar kebangsawanan atau gelar keturunan dan status sosial ekonomi atau yang disebut prestasi. Jika pada awalnya diperioritas pada laki-laki yang bergelar keturunan (bangsawan) saat ini berubah menjadi status sosial ekonomi (prestasi). Perubahan itu disebabkan oleh faktor ekonomi khususnya pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan menyempitnya lahan. Selain itu faktor pendidikan merantau dan modernisasi secara tidak langsung turut pula dalam perubahan itu.

Ketiga, bentuk-bentuk pertukaran. Terdapat berbagai macam bentuk pertukaran yang merupakan sebagai implikasi dari dasar pertukaran yang berubah. Perubahan pada dasar pertukaran dari gelar keturunan kepada status sosial ekonomi khusus pekerjaan yang jelas yang di miliki oleh seorang laki-laki

(30)

berimplikasi kepada bentuk pertukaran yang pada awalnya hanya berupa uang jemputan, kemudia berkembang menjadi uang jemputan, uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. Sebagai gambaran perubahan pertukaran itu dapat dilihat pada tabel 23 berikut ini.

Tabel 23. Ringkasan Bentuk-bentuk Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008

No

Macam-Macam Uang

Definisi Konsep

Tujuan Makna Waktu

Penentuan Pemberian

1 Uang

Jemputan

Kembali Orang tua laki-laki

Pemberian orang tua kepada anak perempuan atau menantu nya Tukar Cincin Saat Akad Nikah 2 Uang Hilang Tidak kembali Orang tua Laki-laki Bantuan kepada orang tua laki-laki

Tukar Cincin

Saat Akad Nikah

3 Uang Selo Tidak

kembali Ninik Mamak Perhatian kepada ninik mamak laki-laki Meresek Tukar Cincin 4 Uang Tungkat-an Tidak kembali Kepalo Mudo Perhati- an pada Kepalo Mudo Setelah pernikah-an Saat marapu- lai pulang ke rumah orang tua setelah pernikah-an dilaku- kan

Sumber : Data Primer 2008

Tabel di atas menunjukan, ada empat macam bentuk-bentuk pertukaran yang terdapat pada tradisi bajapuik. Munculnya bentuk-bentuk pertukaran itu seiring dengan perubahan pada dasar pertukaran; dari status gelar kebangsawanan/keturunan menjadi status sosial ekonomi (prestasi) tidak sama seiringan dengan perubahan nilai pertukaran menjadi prestasi (achievement), akibat faktor ekonomi.

Gambar

Tabel 17. Penentuan Uang Jemputan Menurut Responden Di Kecamatan Sungai  Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008
Tabel 20. Penentuan Uang Hilang Menurut Responden Di Kecamatan Sungai  Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008
Tabel  22. Perkiraan Muncul Uang Selo Di Kecamatan Sungai Limau dan  Pariaman Tengah Tahun 2008
Tabel 23. Ringkasan Bentuk-bentuk Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik   Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008

Referensi

Dokumen terkait

Inferensi rule dalam logika fuzzy yang digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat kesejahteraan keluarga di Desa Citamiang, diukur dengan operator and yang

platynota di Sumber Belajar Ilmu Hayati (SBIH) Ruyani yang nantinya akan dilepas di area konservasi kampus UNIB, aklimasi ini dilakukan untuk melihat bagaimana

sebagi berikut: Konstanta sebesar 6,982 menyatakan bahwa jika tidak ada peningkatan motivasi (X1) dan Disiplin Belajar (X2), maka hasil bela.jar tetap sebesar 6,982

On the other hand, Greenaway et al., (2009), find non-monotonic relationship between foreign ownership and company value, joint venture has better performance than companies

Salah satu cara yang paling efektif untuk menambah kemampuan pengamatan dan kesanggupan membeda-bedakan hal-hal yang penting dan yang tidak penting adalah dengan selalu

Berdasarkan pohon regresi yang terbentuk, peubah penjelas yang muncul dalam pohon regresi adalah status penggunaan KB, pengeluaran per kapita per bulan, dan penggunaan

Jika sms masuk dari pengirim untuk menyalakan lampu 1, maka pengirim harus mengirimkan karakter “a” ke nomor sms gateway dan secara otomatis label lampu 1

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa dalam pembelajaran matematika melalui Pembelajaran Berbasis