• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEHADIRAN PERMUDAAN ALAM MANGROVE DI KAWASAN SUNGAI BUAYA DAN SUNGAI PAMUSIAN, TARAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEHADIRAN PERMUDAAN ALAM MANGROVE DI KAWASAN SUNGAI BUAYA DAN SUNGAI PAMUSIAN, TARAKAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KEHADIRAN PERMUDAAN ALAM MANGROVE DI

KAWASAN SUNGAI BUAYA DAN

SUNGAI PAMUSIAN, TARAKAN

The Presence of Natural Regeneration of Mangrove in the

Areas of Buaya and Pamusian Rivers, Tarakan

Kadar Soetrisno1)

Abstract. The aimed this research were to identify whether any natural

regeneration at the ridge of Buaya and Pamusian rivers. The surface of soil of this area were covered by petroleum derived from oil company, but there was still influenced by sea and fresh waters periodically. Mangrove vegetations seemed to be hard to grow on this area. The research resulted that there were natural regeneration of mangrove species recorded along the ridge of both rivers. The three species of mangrove found in the area were Avicennia sp., Rhizophora apiculata and Ceriops tagal. The average number of regeneration of those three species were 12,752 seedlings/ha, 240 poles/ha and 2,320 trees/ha, respectively. Avicennia sp. was the most dominant species at those area. It is therefore suggested to use these three species for planting on such area.

Kata kunci: permudaan alam, mangrove, jenis dominan.

Hutan merupakan salah satu kekayaan sumberdaya alam yang tiada ternilai harganya dan berpotensi untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya sesuai dengan fungsi dan peranannya bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat, termasuk kawasan hutan mangrove dengan ekosistemnya yang khas.

Untuk memanfaatkan hutan sebagai sumberdaya alam, terutama harus didasarkan kepada konsep pemanfaatan dan perlindungan. Ini berarti bahwa setiap kegiatan yang berorientasi untuk memperoleh keuntungan dari hutan, harus berimbang dengan usaha pelestariannya. Dalam mengelola hutan, perlu diperhatikan agar hutan alam dan lingkungannya dilindungi sehingga tidak sampai terganggu dan tercemar. Konsep ganda ini harus senantiasa benar-benar menjadi pedoman dalam setiap langkah yang berniat memanfaatkan potensi hutan berikut keunikan ekosistemnya yang memang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Kelestarian hutan mangrove dengan keseluruhan fungsi gandanya amat penting artinya bagi sumber-sumber kekayaan yang ada.

Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang sangat unik dan memiliki multi fungsi, merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial. Fungsi hutan mangrove yang sangat menonjol dan tidak tergantikan oleh ekosistem lainnya adalah kedudukan hutan mangrove sebagai mata rantai yang menghubungkan ekosistem laut dan ekosistem darat.

_________________________________________________________________________________ 1) Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda

(2)

50 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005

Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah yang selalu atau secara teratur tergenang air laut. Terdapat pada tanah lumpur atau lumpur berpasir (Soetrisno, 1994). Pada pembentukan vegetasi hutan mangrove ini, iklim tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap komposisinya. Yang mempengaruhinya adalah faktor-faktor edafis antara lain secara fisik, kimia dan kelembapan tanah. Pada tegakan hutan mangrove, tumbuh-tumbuhan bawah, liana serta epifit kurang begitu banyak dijumpai kecuali pada daerah yang terbuka.

Penyebaran hutan mangrove di Kalimantan Timur menurut Wirakusumah dan Sutisna (1978) mulai dari sebelah selatan ditemui di pesisir Kabupaten Paser, selanjutnya di sekitar Balikpapan, muara Sungai Mahakam, Bontang, Sangkulirang, Berau dan pesisir-pesisir di sekitar pulau Tarakan, di utara pulau Tarakan sendiri hampir seluruh pulau-pulau di sekitarnya terdapat hutan mangrove, di mana potensinya diperkirakan seluas 100.000 ha.

Secara fisik hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang potensi vegetasi dan perairannya memberikan produk langsung. Selain itu, karena bentuknya demikian kompleks telah memberikan kekhasan tersendiri, baik dari segi keragaman jenis tumbuhan, keunikan maupun plasma nutfah yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya sifat-sifat tersebut, hutan mangrove tidak bisa dinilai secara ekonomis (Darsidi, 1982).

Hutan mangrove yang mempunyai aneka ragam fungsi merupakan salah satu kekayaan alam yang berfungsi tinggi yaitu sebagai sumber bahan bakar, bahan bangunan, perkakas, pulp dan bahan penyamak. Selain itu juga mempunyai peranan yang cukup penting terhadap lingkungannya seperti menahan gelombang air laut, menangkap sedimen-sedimen lumpur dari sungai, menahan lajunya abrasi atau pengikisan pantai serta mengurangi pencemaran air laut ke daratan dan stabilisator ekosistem perairan (Alrasyid, 1977).

Setiap bentuk pengusahaan yang dilakukan pada dasarnya bermula dari adanya fungsi ekonomi yang begitu menonjol dibanding fungsi lainnya, sehingga bentuk usaha pemanfaatan masih bersifat tradisional antara lain dengan penebangan hutan untuk memperoleh kayu bakar, arang, daun-daun untuk atap rumah, untuk penangkapan udang dan jenis-jenis ikan lainnya. Dalam perjalanan selanjutnya, pemanfaatan ini berkembang ke dalam bentuk usaha-usaha yang dilakukan secara besar-besaran, baik dalam bentuk pengusahaan hutan yang dilakukan pada suatu areal hutan tetap dengan pola yang lebih teratur oleh perusahaan perkayuan, maupun usaha pertambakan penduduk yang makin luas. Di samping itu, dengan adanya pertambahan penduduk yang makin meningkat, bentuk pemanfaatan tidak saja dilakukan terhadap hasil yang diperoleh dari hutan tersebut, tetapi malah berkembang ke bentuk pemanfaatan lahannya sendiri untuk usaha-usaha lainnya seperti untuk pertanian, perkebunan dan pemukiman (Darsidi, 1986).

Kartawinata dkk. (1978) menyatakan, bahwa jenis-jenis mangrove yang banyak dimanfaatkan ialah Rhizophora sp., Bruguiera sp., Ceriops sp., Avicennia sp., Nypa fruticans dan Oncosper). Di Tarakan khususnya, hutan mangrove sudah lama dimanfaatkan oleh masyarakat terutama nelayan secara tradisional. Pengusahaan mangrove untuk industri baru dirintis sejak tahun 1970-an, yaitu dengan dibukanya industri chip (chipwood) oleh PT Chipdeko pada tahun 1974.

(3)

Soetrisno (2005). Kehadiran Permudaan Alam Mangrove 51

Jenis-jenis yang umum terdapat di kawasan hutan mangrove di Kalimantan Timur pada umumnya dan khususnya di daerah pantai Tarakan adalah sebagai berikut: Rhizophora sp., Sonneratia alba, Bruguiera sp., Xylocarpus sp., Ceriops sp., Aegiceras corniculatum, Heritiera littoralis, Lumnitzera sp., Cynometra ramiflora, Avicennia sp., Excoecaria agallocha dan Cerbera odolatum

Hutan mangrove mempunyai berbagai peranan lingkungan yang penting terhadap lahan, satwa liar perikanan serta telah diolah oleh manusia untuk memperoleh hasil-hasil alam. Pengolahan hutan mangrove oleh manusia telah menimbulkan pengaruh-pengaruh yang penting terhadap ekosistem hutan mangrove (Anwar, 1984). Keadaan dimana ekosistem hutan mangrove yang telah rusak, biasanya peremajaannya sangat sulit dilakukan dan untuk mengembalikan kondisi hutan mangrove seperti sediakala melalui peremajaan buatan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Bertitik tolak dari hal tersebut, maka Darsidi (1982) mengemukakan bahwa sebagai sumberdaya alam, hutan mangrove perlu dimanfaatkan dan diusahakan secara intensif dengan pengelolaan yang baik serta teratur agar diperoleh hasil yang optimal dan terjamin ekosistemnya serta kelestariannya, minimal dapat dipertahankan seperti keadaan semula. Hal ini sejalan dengan usaha pemerintah sekarang yaitu menggalakkan penghijauan daerah sekitar pantai untuk mencegah terjadinya abrasi pantai.

Lokasi penelitian ini adalah di kawasan Sungai Buaya dan Sungai Pamusian yang masih terendam pasang surut air laut dan dialiri oleh air laut yang mengandung minyak setiap pasangnya tetapi tegakan mangrove masih dapat tumbuh. Kawasan seperti ini banyak terdapat di Tarakan dan sangat luas, tetapi umumnya hanya terdapat sekelompok-kelompok saja dan tidak menyebar merata, karena semai-semai dibawa oleh air pada saat pasang saja, kemudian menetap di suatu tempat pada saat surut dan membentuk ekosistem mangrove, sedangkan di lahan itu sendiri tidak ditemui pohon induk karena telah diusahakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas maka kehadiran permudaan alam mangrove di kelompok hutan mangrove Sungai Pamusian dan Sungai Buaya di desa Kampung Empat Kota Tarakan perlu diteliti.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang kehadiran permudaan alam mangrove di daerah Sungai Pamusian dan Sungai Buaya desa Kampung Empat Tarakan. Dalam hal ini adalah mengenai potensi kehadiran, kerapatan pohon dan penyebaran dari masing-masing jenis yang ada. Dimana karakter dari lokasi penelitian adalah kawasan tambang minyak yang secara periodik terendam (pasang surut) air laut. Pada kawasan ini dijumpai permudaan jenis-jenis mangrove

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk dapat dijadikan bahan informasi tentang sejauh mana kehadiran berbagai jenis permudaan alam mangrove tersebut sebagai salah satu bahan acuan dan dasar pertimbangan serta penyempurnaan sistem silvikultur hutan mangrove di masa yang akan datang. Selain itu, memberikan masukan tentang keadaan, lokasi sebagai bahan acuan dan dasar pertimbangan dalam pengelolaan areal tersebut, di masa yang akan datang

(4)

52 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005

sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang ada serta fungsi yang diharapkan dari hutan mangrove tersebut

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2003, di kawasan Sungai Buaya dan Sungai Pamusian di daerah kampung Empat Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur.

Sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu dilakukan orientasi lapangan untuk menentukan plot pengamatan agar dapat memenuhi kriteria sesuai dengan tujuan penelitian. Orientasi lapangan ini dilakukan dengan menggunakan perahu/speedboat untuk melihat secara umum keseluruhan daerah dan melihat lebih dekat lokasi penelitian. Dari hasil orientasi lapangan, kemudian dipilih daerah yang masih utuh (primer) untuk pengambilan data Setelah itu ditentukan tempat untuk membuat plot pengambilan data.

Plot-plot pengamatan dibuat di pinggir Sungai Buaya dan Sungai Pamusian dengan jarak antar plot adalah 50 m. Plot yang dibuat berbentuk persegi empat berukuran 50 m x 50 m (0,4 ha) dengan cara membuat garis kompas dari arah laut menuju darat. Pada setiap plot dibagi atas 5 sub plot untuk pengamatan tingkat semai, pancang dan pohon. Dibuat sebanyak 4 plot dengan ketentuan 2 di Sungai Buaya dan 2 di Sungai Pamusian.

Jenis-jenis yang sudah dikenal di lapangan, namanya langsung dimasukkan dalam daftar isian (tally sheet). Untuk jenis yang belum dikenal, diambil contoh materialnya kemudian dibawa ke laboratorium Dendrologi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman untuk diidentifikasi.

Untuk tingkat semai: nama jenis, jumlah (N), tinggi (T).

Untuk tingkat pancang: nama jenis, jumlah (N), diameter batang (D) dan tinggi (T). Untuk tingkat pohon: nama jenis, jumlah (N), diameter batang (D) dan tinggi (T). Diameter batang diukur pada ketinggian kurang lebih 20 cm dari pangkal akar tunjang/banir atau setinggi dada (130 cm).

Berdasarkan data primer yang telah diambil dari hasil pengukuran di lokasi penelitian, maka potensi kehadiran (frekuensi) tegakan dapat dihitung sebagai berikut:

a. Diameter pohon. Nilai diameter diperoleh dari hasil konversi data keliling, dengan menggunakan rumus: d = K /  yang mana d = diameter (cm), K = keliling (cm) dan  = konstanta (3,1415926654)

b. Luas bidang dasar. Luas bidang dasar dihitung dengan menggunakan rumus: BA = 0,25  (d2), yang mana BA = luas bidang dasar (cm2),  = konstanta

(3,141592654) dan d = diameter (cm)

Dengan diketahui besarnya luas bidang dasar (LBD) setiap sub plot, maka luas bidang dasar setiap hektarnya dapat diketahui dengan menggunakan rumus: LBD/ha = (10.000 / luas plot) x jumlah pancang/pohon

Luas bidang dasar dapat digunakan untuk menyatakan kerapatan pohon yang ada di lantai hutan mangrove.

(5)

Soetrisno (2005). Kehadiran Permudaan Alam Mangrove 53

c. Jumlah permudaan. Untuk mengetahui jumlah permudaan hutan mangrove di kelompok hutan mangrove Sungai Pamusian dan Sungai Buaya baik tingkat semai, pancang maupun pohon, maka dihitung banyaknya pohon pada plot penelitian yang dibuat sesuai dengan kebutuhan di lapangan dan hasilnya kemudian dikonversikan dalam setiap hektar dengan menggunakan rumus: (10.000 / luas plot) x jumlah semai atau pancang atau pohon.

d. Kehadiran (frekuensi). Frekuensi adalah keseringan hadirnya suatu jenis pada setiap plot contoh. Ukuran frekuensi ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebaran jenis di lapangan. Penyebaran jenis permudaan dinyatakan dalam frekuensi yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Curtis and Cottam (1964) yang dikutip oleh Matius (1988) sebagai berikut: Frekuensi = jumlah plot ditemukan jenis tertentu/jumlah plot keseluruhan x 100 %

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Potensi Permudaan Alam

Secara geografis Tarakan terletak pada 1176′ Bujur Timur dan 033′ Lintang Utara. Tambang minyak ini terdapat di Kota Tarakan yang terletak antara 11734′ Bujur Timur dan 11738′ Bujur Barat serta di antara 319′ Lintang Utara dan 320′ Lintang Selatan. Dengan adanya perkembangan dan pemekaran wilayah sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Tarakan yang sebelumnya terdiri dari 3 kecamatan menjadi 4 kecamatan dan 18 desa/kelurahan. Keempat kecamatan tersebut adalah Tarakan Barat, Tarakan Tengah, Tarakan Timur dan Tarakan Utara.

Luas wilayah Kota Tarakan berdasarkan data terakhir yang diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Kalimantan Timur adalah seluas 657,33 km2. Sebagian kecil adalah luas daratan yaitu 250,8 km2 atau 39,37 % dan selisihnya adalah wilayah perairan.

Kota Tarakan mempunyai batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan pesisir pantai Pulau Bunyu, sebelah selatan berbatasan dengan pesisir pantai Tanjung Palas, sebelah timur berbatasan dengan laut Sulawesi dan sebelah barat berbatasan dengan pesisir pantai Kecamatan Sesayap

Kota Tarakan mempunyai iklim tropis dengan musim yang hampir sama dengan wilayah Indonesia pada umumnya yaitu adanya musim kemarau dan musim penghujan. Rata-rata curah hujan tertinggi sebesar 684,40 mm pada bulan November dan terendah pada bulan April sebesar 232,30 mm, dengan suhu udara berkisar antara 23,7031,50 C. Kelembapan udara berkisar antara 8487 % dan kecepatan angin berkisar antara 56 knot (Anonim, 1999).

Secara umum Kota Tarakan merupakan dataran rendah yang selalu tergenang air. Dengan frekuensi pasang surut yaitu dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari satu malam. Keadaan pasang surut menunjukkan bahwa air pasang naik sampai 3,5 m di atas permukaan normal. Pasang surut yang menggenangi hutan payau lebih kurang 100 m masuk ke arah daratan dari arah pantai, hal ini terjadi apabila air sedang pasang (Anonim, 1990 dan 1993).

Dari hasil penelitian terhadap kehadiran permudaan alam hutan mangrove Sungai Buaya dan Sungai Pamusian Desa Kampung IV, diketahui bahwa kehadiran

(6)

54 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005

permudaan alam tingkat semai, pancang dan tiang secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

2592 10160 96 1136 144 1184 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

Sungai Buaya Sungai Pamusian

Kawasan

Jum

la

h

/h

a

Semai Pancang Pohon

Gambar 1. Grafik Jumlah Semai, Pancang dan Pohon per Hektar Seluruh Jenis di Kawasan Sungai Buaya (Plot 1 dan 2) dan Sungai Pamusian (Plot 3 dan 4)

Jumlah permudaan alam dari seluruh jenis untuk semai pada plot 1, 2, yang terletak di Sungai Buaya masing-masing adalah 2.592 batang/ha untuk tingkat semai, 96 batang/ha untuk tingkat pancang dan 1136 batang/ha untuk tingkat pohon. Di plot 3 dan 4 yang terletak di Sungai Pamusian masing-masing adalah 10.160 batang/ha untuk tingkat semai, 144 batang/ha untuk tingkat pancang dan 1.184 batang/ha untuk tingkat pohon.

Adapun tingkat semai yang ditemukan di lokasi penelitian adalah jenis Avicennia sp., Rhizophora apiculata dan Ceriops tagal. Jenis Avicennia sp. merupakan jenis yang mendominasi tingkat semai. Hal ini disebabkan keadaan lantai hutan berpasir dan terletak di sepanjang pantai, sehingga membentuk kelompok dan kemudian mendominasi di pinggir anak sungai. Jenis Avicennia sp. ini sama seperti Sonneratia sp. tergolong jenis pioner dalam ekosistem mangrove. Hutan mangrove yang biasanya membentuk zona bagian luar terendam setiap pasang surut menengah sebanyak 1 sampai dengan 2 kali sehari (sedikitnya 20 hari setiap bulan).

Banyaknya pohon induk dari jenis Avicennia sp. menjadikan kehadiran permudaan alam tingkat semai untuk jenis ini berbeda dengan kedua jenis yang lain yaitu, Rhizophora apiculata dan Ceriops tagal yang ditemukan dalam jumlah relatif sedikit. Hal ini dikarenakan pohon induk yang ada jumlahnya sedikit dan hanya menghasilkan buah dalam jumlah yang kecil, selain itu faktor kondisi tanah, pasang surut air laut dan kadar salinitas air laut juga turut mempengaruhi. Jenis Avicennia sp. biasanya tumbuh dengan kondisi tanah pasir lebih banyak dari lumpur dan selalu tergenang air laut, sedangkan untuk jenis Rhizophora apiculata dan Ceriops tagal tumbuh dengan kondisi tanah berlumpur dan frekuensi genangan air laut lebih sedikit bila dibandingkan dengan kondisi tempat tumbuh Avicennia sp.

(7)

Soetrisno (2005). Kehadiran Permudaan Alam Mangrove 55

Menurut Soetrisno (1995), produksi semai alam pada hutan mangrove tidak hanya ditentukan oleh banyaknya pohon besar yang berdiameter besar, melainkan juga karena adanya pancang yang produktif dan dapat menghasilkan buah, dalam hal ini dapat digunakan istilah pancang induk (mother sapling) dan pohon induk (mother tree).

Untuk tingkat pancang jumlahnya tidak sebanyak tingkat semai, karena dalam tegakan hutan baik di hutan alam maupun di hutan mangrove terjadi perjuangan hidup, persaingan memperoleh sinar matahari, ruang tumbuh dan hara mineral. Demikian juga dengan dominasi jenis, yang mana tingkat pancang Avicennia sp. mendominasi di lokasi penelitian dibandingkan dengan jenis Rhizophora apiculata dan Ceriops tagal. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari jumlah permudaan pada tingkat semai dari jenis Avicennia sp. yang juga relatif lebih banyak, sehingga memungkinkan jenis tersebut memiliki peluang yang lebih besar untuk berkembang sampai pada tingkat pancang.

Gangguan alam lain yang turut mempengaruhi adalah akibat kekuatan ombak ataupun lumpur yang dibawa oleh aliran sungai. Ombak yang kuat dapat menghanyutkan semai-semai yang belum memiliki perakaran yang kokoh, begitu pula endapan lumpur yang terlalu banyak dapat menutupi semai dan menghilangkan kemampuan semai untuk melakukan aktivitas hidup (Anonim, 1976 dalam Kasno, 1994).

Permudaan tingkat pohon jumlahnya relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan tingkat pancang, hal ini dikarenakan adanya pohon induk yang lebih dahulu ada di lokasi penelitian, kemudian dari pohon induk ini diperoleh semai yang merupakan cikal bakal untuk perkembang biakan selanjutnya, di mana pada tingkat ini yang mendominasi adalah jenis Avicennia sp., sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa jenis ini adalah paling dominan yang ditemukan pada plot penelitian hutan mangrove baik yang di Sungai Buaya dan Sungai Pamusian. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa tegakan Avicennia sp. merupakan spesies awal yang menduduki daerah Sungai Buaya dan Sungai Pamusian, namun seiring dengan perubahan keadaan alam misalnya gerakan air ataupun sedimentasi dan perubahan salinitas air laut secara terus menerus, akhirnya memberikan peluang pada jenis lain seperti Rhizophora apiculata dan Ceriops tagal untuk tumbuh dan berkembang di daerah tersebut.

Zonasi dalam mangrove tergantung keadaan, sangat sering ditemukan bahwa Sonneratia sp. maupun Avicennia sp. merupakan pionir, tetapi daerah seperti danau yang terlindung dari pengaruh gelombang, Rhizophora sp. merupakan pionir. Mangrove bukan merupakan penyebab dari pengendapan lumpur di pantai, melainkan mangrove mengikuti pola pengendapan tersebut.

Kerapatan Tegakan

Kerapatan tegakan diperoleh dari hasil pengukuran diameter tingkat pohon masing-masing jenis dengan menghitung luas bidang dasar tegakan. Tingkat kerapatan tegakan ditampilkan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat bahwa jumlah LBD Avicennia sp. mendominasi di dua lokasi yaitu Sungai Buaya dan

(8)

56 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005

Sungai Pamusian masing-masing 3,559 m2/ha dan 14,184 m2/ha. Perbedaan jumlah kerapatan tegakan ini sangat dipengaruhi oleh distribusi rataan diameter batang dalam suatu tegakan. Semakin besar rataan diameter, maka semakin besar pula nilai LBD tegakan tersebut, sebaliknya semakin kecil distribusi rataan diameter, maka semakin kecil pula nilai LBD dari tegakan tersebut.

Dengan melihat rataan diameter batang, maka dapat disimpulkan bahwa pada hutan mangrove vegetasi cenderung berkembang ke arah pembentukan vegetasi tegakan yang seragam dan tidak dijumpai adanya pohon-pohon raksasa serta tidak terlihat adanya stratifikasi tajuk.

Tabel 1. Jumlah LBD (m2/ha) Vegetasi Tingkat Pohon dari Masing-masing Jenis pada Plot yang Berbeda Jenis Plot Sungai

Buaya Plot Sungai Pamusian Rata-rata Avicennia sp. 3,559 14,184 8,8715 Ceriops tagal 1,576 0 0,788 Rhizophora apiculata 0 0 0

Sebagaimana yang ditegaskan Samingan (1972), bahwa hutan mangrove adalah vegetasi agak seragam, hijau dan hanya memiliki satu lapisan tajuk serta berkembang dengan baik didaerah yang berlumpur dan berada dalam jangkauan peristiwa pasang-surut, dengan bentuk akar yang khas.

Penyebaran Permudaan

Kehadiran (frekuensi) untuk tingkat semai dan pohon ternyata mendominasi areal plot penelitian dibandingkan dengan tingkat pancang, hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

90 30 80 100 20 90 0 20 40 60 80 100

Semai Pancang Pohon

Tingkat pertumbuhan F re kue n si (%

Sungai Buaya Sungai Pamusian

Gambar 2. Kehadiran Tingkat Semai, Pancang dan Pohon Seluruh Jenis di Kawasan Sungai Buaya dan Sungai Pamusian

(9)

Soetrisno (2005). Kehadiran Permudaan Alam Mangrove 57

Pada Gambar 2 terlihat, bahwa penyebaran permudaan mangrove untuk tingkat semai dan pohon lebih banyak ditemukan pada plot yang terletak di Sungai Pamusian, sedangkan jumlah terbesar pada penyebaran tingkat pancang ditemukan pada plot di Sungai Buaya. Tegakan Avicennia sp. yang umumnya memiliki batas bebas cabang yang cukup tinggi menyebabkan daerah di sekitar tegakan memiliki cukup banyak areal yang terbuka sehingga memungkinkan intensitas sinar matahari yang masuk menjadi lebih besar, sehingga pancang memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk berkembang menjadi pohon dewasa.

Ada beberapa faktor lingkungan yang dapat diidentifikasi saling berhubungan dan sangat menentukan dalam pertumbuhan dan penyebaran jenis-jenis mangrove yaitu keadaan tanah (lumpur/berpasir), kadar garam, lamanya penggenangan (pasang surut air laut).

Keadaan pada lokasi penelitian merupakan respon atas keadaan lingkungan yang tidak sesuai dengan persyaratan tumbuh dari jenis-jenis tersebut. Dimana pada daerah tersebut terdapat genangan minyak yang berasal dari unit pengolahan minyak yang berada dekat dengan lokasi penelitian.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Di dalam plot penelitian hutan mangrove Sungai Buaya dan Sungai Pamusian ditemukan 3 jenis permudaan alam mangrove yaitu Avicennia sp., Rhizophora apiculata dan Ceriops tagal, berarti ketiga jenis ini mampu beradaptasi pada areal yang berminyak. Jenis Avicennia sp. merupakan jenis yang mendominasi semua tingkat permudaan, baik semai, pancang maupun pohon.

Jenis Avicennia sp. merupakan jenis yang mendominasi untuk tingkat semai dan pancang, dan tingkat pohon, dibandingkan dengan jenis Rhizophora apiculata dan Ceriops tagal.

Kerapatan tegakan Avicennia sp. mendominasi di dua lokasi yaitu Sungai Buaya dan Sungai Pamusian masing-masing 3,559 m2/ha dan 14,184 m2/ha. Saran

Perlu adanya tindakan silvikultur dalam mengembalikan fungsi dan peran dari hutan mangrove seperti sedia kala.

Disarankan untuk menanam di lahan yang berminyak di tepi Sungai Buaya dan Pamusian dengan menggunakan jenis Avicennia sp., Rhizophora apiculata dan Ceriops tagal.

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, H. 1977. Kelestarian Hutan Mangrove. Seminar II Perikanan Udang. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.

Anwar. 1984. Ekologi Sumatera. Pusat Penelitain Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Universitas Sumatera Utara, Medan. Gadjah Mada University Press.

(10)

58 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005

Anonim. 1990. Studi Evaluasi Lingkungan Hak Pengusahaan Hutan PT Karyasa Kencana di Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur, Jakarta.

Anonim. 1993. Sekilas Tentang Yayasan Mangrove. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Mangrove. Jakarta.

Anonim. 1999. Kota Tarakan Dalam Angka (Tarakan in Figures) 1999. Kerja sama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tarakan Dengan BPS (Badan Pusat Statistik) Tarakan.

Darsidi, A. 1982. Pengelolaan Hutan Payau. Makalah pada Seminar II Ekosistem Mangrove tanggal 3–4 Agustus 1982 di Batu Raden, Jawa Tengah.

Darsidi, A. 1986. Perkembangan Hutan Mangrove di Indonesia. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove di Denpasar Bali 5–8 Agustus 1986.

Kasno. 1994. Penyebaran Semai Hutan Alam Mangrove pada Daerah Teluk Kaba Taman Nasional Kutai Bontang Kalimantan Timur. Skripsi Sarjana Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda.

Kartawinata, K.; S. Adisumarto dan I.G.M. Tantra. 1978. Status Pengelolaan Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove I. Direktorat Jenderal Kehutanan, Jakarta.

Matius, P. 1988. Suksesi Sekunder dan Dinamika Hutan Dipterocarpaceae Dataran Rendah Bekas Terbakar. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi, Samarinda

Samingan, M.T. 1972. Tipe-tipe Vegetasi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Soetrisno, K. 1994. Struktur dan Komposisi Hutan Mangrove Setelah Penebangan. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Indonesia, Samarinda.

Soetrisno, K. 1995. Perkembangan Hutan Mangrove Setelah Penebangan. Makalah Seminar Man and Forest. Universitas Mulawarman, Samarinda.

Suharlan, A. dan J. Sudiono. 1973. Diktat Ilmu Ukur Kayu. Bagian Pendidikan Sekretariat Jenderal Kehutanan, Bogor.

Wirakusumah, R.S. dan M. Sutisna. 1978. Sedikit tentang Aspek Sosial Ekonomi Hutan Mangrove di Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. LON/LIPI, Jakarta.

Gambar

Gambar  1.  Grafik  Jumlah  Semai,  Pancang  dan  Pohon  per  Hektar  Seluruh  Jenis  di  Kawasan Sungai Buaya (Plot 1 dan 2) dan Sungai Pamusian (Plot 3 dan 4)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pengertian–pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa biaya produksi merupakan biaya–biaya yang digunakan dalam proses produksi meliputi biaya bahan baku,

Tujuan dari penelitian ini ialah mengetahui pengaruh penggunaan space dan polarization diversity dalam mengatasi efek yang ada dalam sistem antena MIMO, dilihat dari

Area Perubahan Reformasi Birokrasi 8 AREA PERUBAHAN Tatalaksana Peraturan Perundang- undangan Sumber daya manusia aparatur Pengawasan Akuntabilitas Pelayanan Publik

Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) sebagai organisasi yang bertujuan untuk membangun industri kartu kredit yang sehat dan bertanggung jawab bagi penerbit kartu kredit,

Secara khusus yang menjadi perhatian dalam tulisan ini adalah benda eagar budaya di Papua yang merupakan sisa-sisa kebudayaan manusia pada masa lalu dan

Anton Wibowo bisa diarani dadi paraga tambahan amarga dheweke mung disebutake sethithik ing sajrone carita NK lan nyengkuyung prekara kang tuwuh antarane Fransiska

Sebaik apapun mutu sebuah produk, semenarik apapun bentuk rupanya atau sebesar apapun manfaatnya, jika tidak ada orang yang mengetahui tentang keberadaannya,

Isolasi dan perbanyakan fragmen gen 16S rDNA dari koloni tunggal dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) tidak berhasil dilakukan karena tidak dihasilkan