• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH WAKTU PENGOMPOSAN TERHADAP RASIO UNSUR C/N DAN JUMLAH KADAR AIR DALAM KOMPOS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH WAKTU PENGOMPOSAN TERHADAP RASIO UNSUR C/N DAN JUMLAH KADAR AIR DALAM KOMPOS"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN 0853 - 0823

PENGARUH WAKTU PENGOMPOSAN TERHADAP RASIO UNSUR C/N

DAN JUMLAH KADAR AIR DALAM KOMPOS

Bambang Subali , Ellianawati

Jurusan Fisika FMIPA UNNES Kampus Sekaran Gunungpati Gd D7 Lt 2 bambangsbli@yahoo.com; ellianawati@yahoo.com

INTISARI

Dalam proses pembuatan kompos sebagian besar mempergunakan aktivator kompos. Aktivator kompos berfungsi untuk mempercepat proses pengomposan. Bahan aktivator yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah EM-4. Kompos adalah bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya. Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Metode pertama, pengomposan dilakukan dengan melakukan pengarangan sampah terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan fermentasi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa semakin lama proses pengomposan maka persentase unsur N dalam kompos semakin meningkat. Hal ini berlaku pada sampel dengan perbandingan sampah dengan kotoran hewan 1: 1; 1: 2 dan 1: 3. Peningkatan % unsur N terjadi setelah 28 hari. Sedangkan rasio C/N terjadi peningkatan rasio setelah 42 hari untuk ketiga sampel uji dengan perbandingan 1:1; 1:2 dan 1:3. Persentase kadar air dalam kompos mengalami penurunan seiring dengan penambahan waktu, hal ini terjadi setelah 28 hari proses pengomposan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah waktu pengomposan berpengaruh terhadap rasio C/N, dan rasio terbaik setelah 42 hari proses pengomposan. Hal ini berarti bahwa sampah telah mengalami proses pengomposan sempurna yang ditandai dengan warna merah kehitaman. Semakin lama proses pengomposan, maka kadar air dalam kompos semakin berkurang.

Kata kunci : Sampah Organik, EM-4, Pengomposan

I. PENDAHULUAN

Kebutuhan bahan organik bagi produktivitas pertanian sangat besar, penggunaan bahan organik yang berkualitas masih sangat terbatas ketersediaannnya. Di sisi lain ketersediaan bahan an-organik sebagai bahan penunjang utama peningkatan produktivitas pertanian semakin terbatas dan harganya sangat mahal seiring dengan dicabutnya berbagai subsidi oleh pemerintah. Sebagai contoh beberapa bulan yang lalu, hampir di seluruh daerah terjadi kelangkaan pupuk, sehingga harga pupuk melambung sangat tinggi dan sangat susah untuk mendapatkan barangnya. Para petani di beberapa daerah harus berjalan beberapa kilometer hanya untuk mendapatkan beberapa kilogram pupuk, itu pun harus mereka peroleh dengan perjuangan berat, karena ternyata di tempat tersebut sudah banyak petani lain yang antri untuk membeli pupuk di toko tersebut. Hal ini jelas sangat berpengaruh besar terhadap produktivitas pertanian, karena ketergantungan petani dan tanah petanian terhadap penggunaan bahan an-organik sudah sangat tinggi, tanpa pemakaian bahan an-organik tersebut, produksi berbagai hasil pertanian akan menurun secara signifikan. Sampah Organik rumah tangga juga mampu dimanfaatkan sebagai media tanam siap pakai dan kompos sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman hias (Bambang, 2008).

Keindahan sebuah tanaman terlihat dari tumbuhnya daun dan bunga yang wajar. Artinya, daun atau bunga terlihat sehat dan cerah. Sebaliknya, jika dari sosoknya sudah terlihat tak indah, berarti ada sesuatu yang terjadi pada tanaman tersebut. Bisa jadi karena dimakan hama, kekurangan air, atau salah memilih media tanam. Media tanam sangat menentukan tanaman bisa tumbuh baik atau tidak (Nursery,2007). Beberapa jenis bahan yang sekarang ini banyak digunakan sebagai media tanam, misalnya sekam bakar, serbuk pakis, cocopeat, moss, pupuk kandang dan lain-lain. Jenis media yang digunakan dipilih sesuai syarat tumbuh optimal suatu jenis tanaman. Sebagai contoh, tanaman anthurium cocok ditanam di media dari bahan pakis dan kompos, sedangkan keladi serta jenis tanaman Philodendrum yang lebih menyukai kondisi lembab sangat cocok ditanam pada media sekam dicampur tanah (Siong dan Budiana, 2007). Sementara Euphorbia sangat cocok ditanam pada media dengan prorositas tinggi, misalnya campuran sekam bakar, pasir malang dan kompos atau pupuk kandang (Lingga, 2006; Harjanto dan Prayugo, 2007).

Pada berbagai komposisi media tanam biasanya selalu mengandung pupuk organik, yaitu semua bahan yang berasal dari jasad atau mahluk hidup (sehingga disebut juga bahan organik hayati). Termasuk pupuk jenis ini adalah kompos atau pupuk hijau serta pupuk kandang (kotoran ternak). Proses perubahan bahan mentah menjadi kompos berlangsung secara molekuler bukan secara reaksi ion, sehingga memakan waktu lama. Proses ini tunduk dalam pengaruh biokatalisator yang dibuat dan memiliki jasad renik atau mikroba. Setiap boikatalisator mempunyai kondisi spesifik agar kinerjanya optimum, yaitu mencakup kondisi suhu, pH, udara, kelembaban dan objek makanan bagi mikroba (Sudarmin, 1999).

(2)

ISSN 0853 - 0823

Mikroba mengambil energi untuk kegiatannya, dari kalori yang dihasilkan dalam reaksi biokimia perubahan bahan limbah hayati terutama bahan zat karbohidrat, terus menerus sehingga kandungan zat karbon sampah organik turun makin rendah, karena ujung reaksi pernapasannya mengeluarkan gas CO2

dan H2O yang menguap. Sedangkan zat nitrogennya menjadi protein dan membentuk sel-sel baru, tidak

keluar, sehingga relatif tetap. Dengan demikian perbandingan komposisi zat karbon (zat arang) dibandingkan zat Nitrogen (zat lemas) dalam sampah organik yang semula tinggi (misalnya: Perbandingan C dan N serbuk gergaji 450, jerami padi 100, daun-daunan 60, dan sebagainya) berangsur turun menuju stabilitas menjadi mineral. Pada saat perbandingan C dan N mencapai angka 15 – 25 barulah berstatus kompos setengah matang, dan jika mencapai 10 – 15 sudah berstatus kompos matang. Percepatan pengomposan oleh mikroba dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, antara lain dengan pengkondisian bahan makanannya, suhunya, jenis mikrobanya, kelembabannya, pH-nya, dan udara atau oksigennya.

Berdasarkan kebutuhan oksigennya, mikroba pengompos dikelompokkan menjadi dua golongan. Pertama: mikroba aerob. Mikroba jenis ini memerlukan oksigen dalam jumlah cukup dari udara. Kedua: mikroba anaerob, yang tidak mutlak memerlukan oksigen dari udara. Kedua jenis mikroba tersebut dapat bekerja secara bersamaan atau bergiliran. Mikroba pertama (aerob) bekerja pada kedalaman hingga 50 -75 cm dari permukaan tumpukan limbah organik, sedangkan mikroba kedua (anaerob) terjadi dilapisan yang lebih dalam lagi.

Setelah kompos matang atau dapat digunakan sebagai pupuk, barulah dilakukan proses pengeringan. Proses ini dapat dilakukan secara alami (panas matahari) ataupun panas buatan. Untuk proses massal akan lebih menguntungkan bila proses pengeringan dilakukan dengan panas buatan karena tidak tergantung dengan cuaca. Setelah proses pengeringan selesai pupuk organik tersebut dapat digunakan. Namun untuk memudahkan petani dalam penggunaan pupuk akan lebih mudah ditaburkan bila pupuk organik tersebut dibuat dalam bentuk pallet, bentuk tersebut dibuat pada mesin pallet. Bahan baku pupuk organik kemudian di-press sehingga menghasilkan pallet (Sudarmin, 2000).

Penggunaan kompos untuk pupuk tanaman telah banyak dilakukan masyarakat sejak dahulu, dan dewasa ini sedang digalakkan lagi sebagai pupuk untuk pertanian. Kualitas pupuk organik secara umum dan sederhana dapat dilakukan sifat fisik, kimiawi dan hayati (Nersery, 2007). Kompos adalah bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya. Proses pengomposan akan segera berlansung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50o - 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekmposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu

akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan. EM-4 adalah kultur campuran dari mikroorganisme. Larutan effective microorganisme 4 yang disingkat EM-4 ini pertama kali ditemukan oleh Prof. Teruo Higa dari Universitas Ryukyus. Jepang. Dalam EM 4 ini terdapat sekitar 80 genus microorganisme fermentor. Microorganisme ini dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam memfermentasikan bahan organik. Secara global terdapat 5 golongan yang pokok yaitu bakteri Fotosintetik, Lactobacillus sp, Streptomycetes sp, Ragi (yeast) dan Actinomycetes. EM-4 digunakan untuk mempercepat pengomposan sampah organik atau kotoran hewan (aktivator kompos), membersihkan air limbah, serta meningkatkan kualitas air pada tambak udang dan ikan.

II. METODE PENELITIAN

Metode Penelitian pada kegiatan ini menggunakan Metode Penelitian Pengembangan (Research

and Development). Populasi dari Penelitian ini adalah warga dan mahasiswa di sekitar Kampus

UNNES Sekaran Gunungpati Semarang. Teknik pengambilan datanya menggunakan random sampling. Terdapat 2 kegiatan utama dalam penelitian ini, yaitu pendayagunaan sampah organik rumah tangga menjadi kompos, dan pemuliaan sampah anorganik jenis plastik menjadi kerajinan rumah tangga. Target penelitian ini adalah dua tahap, yaitu pengolahan sampah organik dan pendayagunaan sampah anorganik menjadi kerajinan rumah tangga bagi mahasiwa. Desain Penelitian adalah sebagai berikut:

(3)

ISSN 0853 - 0823

Gambar 1. Desain Penelitian Research and Development

Langkah 1 pada penelitian ini diawali dengan melakukan indentifikasi jumlah kost dan rumah

warga di sekitar Kampus UNNES dan cara pembuangan sampah. Melakukan penelitian skala laboratorium untuk melakukan uji pengolahan sampah organic rumah tangga dan melakukan desan pemuliaan sampah anorganik jenis plastik merupakan langkah 2 dalam tahapan penelitian ini.

Langkah 3 adalah merupakan target awal atau luaran dari penelitian ini yaitu memperoleh model

pengolahan sampah organic dan desain corak pemuliaan sampah anoraganik pada skala laboratorium. Tim Peneliti melakukan rancangan teknik pengolahan sampah rumah tangga dan bagaimana mengelola menjadi kompos dan kerajinan rumah tangga merupakan langkah 4, dan membuat modul teknik pengolahan dan pemuliaan sampah rumah tangga menjadi kompos dan kerajinan rumah tangga (langkah 5). Langkah 6 adalah pengadaan mesin pengolah sampah organik Model Rolling Rotary

Mesin. Melakukan pembinaan wirausaha bagi mahasiswa dan warga sekitar UNNES dengan

memanfaatkan sampah rumah tangga merupakan langkah 7. Melakukan analisis dan riset implementasi teknik pengolahan dan pemuliaan sampah rumah tangga menjadi kompos dan industri/kerajinan rumah tangga (langkah 8), dan melakukan evaluasi dan analisis tindakan (langkah

9). Langkah 10 adalah menganalisis efektivitas pengolahan dan pemuliaan sampah rumah tangga. Langkah 2:

Melakukan penelitian skala laboratorium untuk mengolah sampah organik rumah tangga dan

desain pemuliaan sampah anorganik Langkah 3 Target:

1. Memperoleh sampel empiris model pengolahan sampah organik.

2. Melakukan desain corak/model pemuliaan sampah plastic menjadi kerajinan

Langkah 1:

Mengidentifikasi jumlah kost dan rumah warga di Sekitar Kampus UNNES dan cara

pembuangan sampah rumah tangga

Langkah 4:

Merancang teknik pengolahan dan pemuliaan sampah rumah tangga menjadi Kompos dan Industri Rumah

Tangga

Langkah 8:

Melakukan analisis dan riset implementasi teknik pengolahan dan pemuliaan sampah rumah tangga menjadi Kompos dan Industri Rumah

Tangga

Langkah 10:

Analisis Efektivitas Pengolahan dan Pemuliaan Sampah Rumah Tangga

Langkah 9:

Evaluasi dan Analisis Tindakan

Langkah 5:

Membuat Modul teknik pengolahan dan pemuliaan sampah rumah tangga menjadi Kompos dan

Kerajinan/Industri Rumah Tangga

Langkah 6:

PembuatanMesin Pengolah Sampah Organik (Rolling Rotary Mesin)

Langkah 7:

Melakukan pembinaan wirausaha rumah tangga dari bahan bekas atau sampah rumah tangga untuk

mahasiswa dan masyarakat sekitar UNNES

Reser ch an d Develop m en t Mod el p emb el a jaran

(4)

ISSN 0853 - 0823

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara umum diperoleh hasil bahwa proses pengomposan terlah berjalan dengan baik, hal ini dapat telihat pada Gambar 2 tampak bahwa semakin lama proses pengomposan maka persentase rasio C/N dalam kompos semakin meningkat. Proses peningkatan rasio C/N terjadi setelah 42 hari untuk ketiga sampel uji dengan perbandingan 1:1; 1:2 dan 1:3. Jika dilihat dari rasio C/N dengan komposisi campuran sampah organik dan kotoran hewan tampak bahwa semakin besar perbandingan sampah dan kotoran hewan rasio C/N semakin besar hal ini karena keberadaan microorganisme lebih banyak dari yang memiliki perbandingan lebih kecil seperti terlihat pada Gambar 2. Hal ini terjadi karena jumlah komposisi memiliki pengaruh yang berarti terhadap tumbuh kembangnya mikroorganisme, seperti yang dikemukakan oleh Gaser Z(2005) bahwa mikroorganisme tumbuh baik dengan banyaknya unsur C dan unsur lainnya.

Gambar 2. Grafik pengaruh lama fermentasi/pengomposan terhadap persentase rasio C/N Kandungan pH untuk kompos cukup baik, sebab kompos tersebut pada daerah yang mempunyai nilai keasaam cukup baik, sehingga bakteri mampu tumbuh dengan baik pula. Temperatur kompos pada minggu pertama rata-rata 34 o C. Temperatur kompos pada minggu pertama ini cukup baik untuk hidup microorganisme pengurai kompos, sehingga proses pengomposan mampu berjalan dengan baik.

Gambar 3. Grafik pengaruh lama fermentasi/pengomposan terhadap persentase kadar air Pada Gambar 3 terlihat bahwa jumlah kadar air dalam kompos semakin lama semakin berkurang. Berkurangnya kadar air dalam kompos dengan bertambahnya waktu karena suhu kompos dalam tanah semakin meningkat karena kandungan air dalam kompos dipergunakan untuk menjaga temperatur kompos. Pada penelitian ini temperatur kompos masih dalam kisaran normal, yaitu 34 o C. Suhu tersebut masih dalam rentang kehidupan mikroorganisme pengurai kompos, dan bakteri yang hidup pada rentang suhu tersebut adalah mesofilik.

Pengaruh Kom posisi Cam puran (Sam pah dan Kotoran Hew an) Terhadap % Rasio C/N 0 5 10 15 20 25 30 35 1:1 1:2 1:3

Kom posisi Cam puran

% R asi o C /N Uji 1 Uji 2 Uji 3

Pengaruh Lama Pengomposan Terhadap Jumlah Kadar Air

0 5 10 15 20 25 30 35 40 14 28 42 56

Lam a Pengom posan

% K a da r A ir Uji 1 Uji 2 Uji 3

(5)

ISSN 0853 - 0823

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah waktu pengomposan berpengaruh terhadap rasio C/N, dan rasio terbaik setelah 42 hari proses pengomposan. Hal ini berarti bahwa sampah telah mengalami proses pengomposan sempura yang ditandai dengan warna merah kehitaman. Semakin lama proses pengomposan, maka kadar air dalam kompos semakin berkurang.

V. DAFTAR PUSTAKA

Andrian Bejan., 1984, “Convection Heat Transfer”, John Wiley & Sons.,New York.

Bambang S, dkk. 2008. Peningkatan Produktivitas Tanaman Hias Melalui Penyediaan Media Tanam Siap Pakai Dengan Memanfaatkan Sampah Organik Rumah Tangga Dengan Model Rolling Rotary. Laporan Program Vucer Tahun 2008 DP2M Dikti.

Gaser, Z. 2005. Bio Production of compost with low pH ang high soluble phoshorus from sugar cane bagasse enriched with rock phosphate. Worl Journal of Microbiologi and Biotecnologi, 21:747-745

Harjanto, H. dan Prayugo, S., 2007, Mudah dan Praktis Melebatkan bunga Euphorbia, Depok, Penebar Swadaya.

Lingga, L., 2006, Sukses Menanam dan Merawat Euphorbia, Tangerang , Agromedia Pustaka. Nursey O.S, 2007, Media dan Tanaman, Sentul Bogor.

Siong, Y.K., dan Budiana,N.S., 2007, Philodendrom (tanaman hias daun yang menawan) cetakan ke2, Depok, Penebar Swadaya.

Sudarmin, 1999, Pemanfaatan EM4 sebagai Biofermentasi pada Sampah Organik Rumah Tangga, Laporan Penerapan IPTEKS Dikti.

Sudarmin, 2000, Pengolahan Sampah Kota menjadi Pupuk Organik untuk Tanaman Obat, Laporan Penerapan IPTEKS Dikti.

Gambar

Gambar 1. Desain Penelitian Research and Development
Gambar 3. Grafik pengaruh lama fermentasi/pengomposan terhadap persentase kadar air

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan sisa obat dapat dihitung kepatuhan pasien dengan cara jumlah sisa obat dibagi dengan jumlah obat yang didapat di kali dengan 100% dari hasil itu dapat

Kemampuan hitung anak tunanetra sangat rendah hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kurangnya latihan operasi hitung, penyajian yang monoton, h kurang variatif, h situasi

Lembaga wakaf dalam hal ini membuka kesempatan kepada calon wakif untuk mewakafkan tanah, bangunan, unit usaha tertentu dalam berbagai bidang, atau wakaf uang yang

Sejauh yang penulis teliti dari ketiga skripsi diatas terjadi perbedaan antara karya yang penulis buat dengan ketiga skripsi tersebut, letak perbedaannya yaitu terdapat pada

Obat analgesik yang digunakan pada pasien cedera kepala, baik terapi awal maupun terapi lanjutan, merupakan analgesik non-opioid dengan penggunaan... secara tunggal

Surat-surat pendek adalah surat-surat yang ada di dalam al quran yang memiliki jumlah ayar relatif sedikit dan ayatnya singkat-singkat atau pendek-pendek (Rahmawati

Irma Yuliana, Nim. MENCIPTAKAN LINGKUNGAN BERSIH MELALUI EDUKASI SADAR SAMPAH DI DESA BANGGLE KECAMATAN LENGKONG KABUPATEN NGANJUK. Skripsi ini membahas tentang

Berdasarkan hasil pengujian pada gambar 8 untuk akurasi training , maka dapat jelaskan bahwa semakin banyak data training peningkatan akurasi semakin besar Pada saat menggunakan