• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Definisi Pendidikan Karakter Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau hal-hal yang penting dan berguna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Definisi Pendidikan Karakter Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau hal-hal yang penting dan berguna"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Nilai Karakter

a. Definisi Pendidikan Karakter

Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau hal-hal yang penting dan berguna bagi kehidupan manusia. Nilai adalah sesuatu yang berkaitan dengan kognitif dan afektif (Najib, 2015: 47). Nilai juga dapat dikatakan sebagai suatu norma atas sebuah standar yang sudah ditentukan dan diyakini secara psikologis telah menyatu dalam diri individu. Di dalam nilai-nilai terdapat pembakuan mengenai sesuatu yang dinilai baik dan buruk serta pengaturan perilaku (Abdul Majid, 2015: 23).

Selain itu nilai dapat diartikan sebagai norma-norma yang dianggap baik oleh setiap individu, hal inilah yang selanjutnya akan menuntun setiap individu menjalankan tugas-tugasnya seperti nilai kejujuran, nilai kesederhanaan dan lain sebagainya (Sanjaya, dalam Noor Yanti 2016 :2). Sedangkan karakter dapat dikatakan sebagai cerminan dari kepribadian seseorang, cara berpikir, sikap dan perilaku (Barnawi 2012 : 20). Selain itu nilai karakter dapat dikatakan sebagai suatu ide atau konsep yang dijadikan sebagai pedoman atau patokan dalam berperilaku bagi seseorang (Solichin, 2015 : 47).

Karakter yang baik akan menumbuhkan pribadi yang unggul dalam artian tidak hanya unggul dalam bidang kognitif atau intelegnsi tetapi juga mampu mengembangkan pengetahuan ke arah yang lebih baik. Setiap manusia diciptakan dengan karakter masing-masing yang jelas berbeda satu dengan yang lain.

(2)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) karakter merupakan sifat- sifat kewajiban, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010). Nilai yang unik-baik itu kemudian dalam Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 dimaknai sebagai tahun nilai kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik.

Dalam mengembangkan karakter siswa, guru sangat berperan penting sebagai layaknya sutradara dan siswa sebagai aktor dalam kehidupan nyata. Jika diibaratkan dalam secangkir kopi maka guru adalah sebagai gula dan siswa sebagai rasa. Jadi apapun hasil kepribadian siswa sangat dipengaruhi oleh didikan seorang guru, sehingga guru harus menjadi panutan dan menginspirasi siswauntuk berbuat baik. Guru harus mengetahui kemampuan, potensi, minat, hobi, sikap, kepribadian, kebiasaan catatan kesehatan, latar belakang keluarga, dan kegiatannya di sekolah.

Berdasarkan pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penanaman karakter dapat dilaksanakan melalui pendidikan yang baik serta lingkungan yang baik, terutama lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Karakter bangsa yang berkualitas perlu diberdayakan sejak dini. Pemberdayaan karakter sejak dini menjadikan pribadi yang kuat tidak mudah terkontaminasi budaya yang lain yang tidak sesuai dengan kepribadian dan jatidirinya.

b. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter diambil dari dua suku kata yang berbeda, “yaitu pendidikan dan karakter. Kedua kata ini mempunyai makna sendiri sendiri.

Pendidikan sendiri adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat,

(3)

dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat dimasa yang akan datang” (Mudyahardjo, 2010: 11).

Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan pendidikan hanya berlangsung pada lingkungan hidup kultural. Pendidikan merupakan kegiatan- kegiatan belajar yang dapat dilakukan secara formal maupun non-formal. Levengeld berpendapat bahwa “pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing kepada yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan” (Fadlillah dan Mualifatu, 2013: 17).

Pendidikan pada intinya ialah suatu bentuk bimbingan untuk mengembangkan potensi seseorang secara terarah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Menurut Dahama dan Bhatnagar (Ahmadi 2014: 35) “pendidikan merupakan proses membawa perubahan yang diinginkan dalam perilaku manusia”. Pendidikan juga didefinisikan sebagai proses perolehan pengetahuan dan kebiasan dan kebiasaan melalui pembelajaran atau studi. Jika pendidikan menjadi efektif hendaknya menghasilkan perubahan-perubahan dalam seluruh komponen perilaku (pengetahuan dan gagasan, norma dan keterampilan, nilai dan sikap, serta pemahaman dan perwujudan). Secara kultural hasil pendidikan memungkinkan seseorang atau masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan budaya masyarakat. Menurut Marimba (Fadlillah dan Mualifatu,2013: 18), “pendidikan merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.

(4)

Menurut uraian Pusat Bahasa Depdiknas (Fadlillah dan Mualifatu,2013: 18) yang mengartikan “karakter sebagai bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak.” Bila mengacu pada pengertian ini, karakter memiliki arti yang sangat luas. Kesemuanya itu erat kaitannya dengan segala bentuk tingkah laku seseorang dalam kehidupan kesehariannya. Jalal (Fadlillah dan Mualifatu,2013: 21) menyebutkan bahwa

“karakter ialah nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku”.

Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan perilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika. “Karakter tersusun dari tiga bagian yang saling berhubungan yaitu moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan moral), dan moral behavior (perilaku moral). Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan pengetahuan tentang kebaikan (knowing the good), keinginn terhadap kebaikan (desiring the good), dan berbuat kebaikan (doing the good). Dalam hal ini, diperlukan pembiasaan dalam pemikiran (habits of the mind), pembiasaan

(5)

dalam hati (habits of the heart), dan pembiasaan dalam tindakan (habits of the action)” (Fadlillah dan Mualifatu, 2013: 21).

Pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada siswa untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. “Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik- buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati” (Samani dan Hariyanto, 2012: 45). Menurut Buchori (dalam Muslich,2011: 87) “pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata”. Permasalahan pendidikan karakter selama ini ada di setiap satuan pendidikan perlu segera dikaji, dan dicari alternatif- alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diterapkankan di sekolah.

Menurut Fitri (2012:156), pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Karena itu, pembelajaran nilai-nilai karakter seharusnya tidak hanya diberikan pada atas kognitif saja, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di sekolah dan di masyarakat. Pendidikan karakter menjadi sesuatu yang penting untuk membentuk generasi yang berkualitas.

(6)

Pendidikan karakter merupakan salah satu alat untuk membimbing seseorang menjadi orang baik, sehingga mampu memfilter pengaruh yang tidak baik.

Pengertian pendidikan karakter tingkat dasar haruslah menitikberatkan kepada sikap maupun keterampilan dibandingkan pada ilmu pengetahuan lainnya.

Dengan pendidikan dasar inilah seseorang diharapkan akan menjadi pribadi yang lebih baikdalam menjalankan hidup hingga ke tahapan pendidikan selanjutnya.

Pendidikan karakter tingkat dasar haruslah membentuk suatu fondasi yang kuat demi keutuhan rangkaian pendidikan tersebut. Karena semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin luas pula ragam ilmu yang didapat dari seseorang dan akibat yang akan didapatkannyapun semakin besar jika tanpa ada landasan pengertian pendidikan karakter yang diterapkan sejak usia dini.

Dalam pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan karakter ini merupakan alat yang sangat penting bagi peserta didik untuk menjadikan generasi yang berkualitas. Pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter akan menjadi buta karena pendidikan karakter merupakan tongkat bagi pendidikan kognitif yang artinya pendidikan karakter sangat berperan penting dalam pendidikan untuk menciptakan generasi emas di masa depan

c. Tujuan Pendidikan Karakter

Peran pendidikan sebenarnya sangatlah penting dalah perkembangan peserta didik baik di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan di sekolah diharapkan tidak hanya mampu mengembangkan kemampuan akademik, tetapi juga harus mampu membentuk karakter atau pribadi peserta didik.

Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 3, yang menyebutkan bahwa “pendidikan

(7)

nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsayang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan pendidikan berbasis karakter guna mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut”

(Praheto, dkk. 2016: 53).

Lockwood (Samani dan Hariyanto,2012: 45) “memerinci ada tiga proposisi sentral dalam pendidikan karakter. Pertama, bahwa tujuan pendidikan moral dapat dikejar/ dicapai, tidak semata-mata membiarkannya sekedar sebagai kurikulum tersembunyi yang tidak terkontrol, dan bahwa tujuan pendidikan karakter telah memiliki dukungan yang nyata dari masyarakat dan telah menjadi konsensus bersama. Kedua bahwa tujuan behavioral tersebut adalah bagian dari pendidikan karakter, dan ketiga, perilaku anti sosial sebagai bagian dari kehidupan anak-anak adalah sebagai hasil dari ketidakhadiran nilai-nilai dalam pendidikan”.

Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa menurut Kementrian Pendidikan Nasional Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan (2010:7) adalah:

a. (1)Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, (2) Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didikyang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius, (3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai

(8)

penerus bangsa, (4) Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan, (5) Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreatifitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.

a. Sedangkan tujuan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter menurt Kemendikbud (2010: 16) antara lain: (1) Mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan makna dan nilai karakter sebagai jiwa atau generator utama penyelenggaraan pendidikan, (2) Membangun dan membekali Generasi Emas Indonesia 2045 menghadapi dinamika perubahan dimasa depan dengan keterampilan abad 21, (3) Mengembalikan pendidikan karakter sebagai ruh dan fondasi pendidikan melalui harmonisasi olah hati (etik dan spiritual), olah rasa (estetik),olah pikir (literasi dan numerisasi), dan olah raga (kinestetik), (4) Merevitalisasi dan memperkuat kapasitas ekosistem pendidikan (kepala sekolah, guru, peserta didik, pengawas, dan komite sekolah) untuk mendukung perluasan implementasi pendidikan karakter, (5) Membangun jejaring pelibatan masyarakat (publik) sebagai sumber-sumber belajar di dalam dan di luar sekolah, (6) Membangun jejaring pelibatan masyarakat (publik) sebagai sumber-sumber belajar di dalam dan di luar sekolah, (7) Melestarikan kebudayan dan jati diri bangsa Indonesia dalam mendukung Gerakan Nasional revolusi Mental (GNRM).

d. Pengertian Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)

Menurut PERPRES RI No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter bahwa “ Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) adalah sebuah gerakan

(9)

pendidikan yang diterapkan oleh satuan pendidikan yang berguna untuk memperkuat pembentuk karakter siswa”. Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) merupakan kelanjutan dan kesinambungan dari sebuah Gerakan Nasional Pendidikan Karakter Bangsa tahun 2010 serta sebagai bagian integral dari Nawacita. Pada butir 8 Nawacita mengenai Revolusi Karakter Bangsa dan Gerakan Revolusi Mental dalam pendidikan yang mendorong seluruh pemangku kepentingan dalam mengadakan perubahan paradigma atau pandangan yakni mengenai perubahan pola pikir dan cara bertindak serta mengelola sekolah (Kemendikbud, 2017). Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa gerakan PPK meletakkan nilai-nilai karakter sebagai bagian integral dari pendidikan yang membuat pelaku pendidikan menjadi manusia yang berbudaya dan beradab serta menjadikan pendidikan karakter sebagai proses pendidikan.

Gerakan PPK diciptakan untuk mengintegrasikan atau memadukan, memperdalam, memperluas, serta menyelaraskan berbagai program dan kegiatan pendidikan karakter yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Pemaduan pendidikan karakter berupa pemaduan jegiatan di dalam kelas atau diluar kelas, di masyarakat, pemaduan ke dalam kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler yang melibatkan seluruh warga sekolah, keluarga, dan masyarakat, memperdalam serta memperluas pengembangan karakter melalui kegiatan yang positif, adanya penambahan kegiatan belajar, dan pengaturan ulang waktu belajar, kemudian penyelelarasan yang berupa penyesuaian tugas pokok seorang guru, manajemen berbasis sekolah, dan fungsi komite sekolah sesuai kebutuhan Gerakan PPK (Kemendikbud,2017).

(10)

e. Tujuan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)

Salah satu potensi yang perlu dikembangkan adalah sikap atau berhubungan dengan karakter. Istilah karakter dianggap sebagai kepribadian seseorang yang terbentuk dan hasil internalisasi nilai-nilai ada yang diyakini serta digunakan sebagai landasan dalam berpikir maupun bertindak (Safitri,2015).

Setiap tahunnya pendidikan karakter selalu dikembangkan, karena pendidikan karakter itu sendiri memiliki tujuan yang luar biasa. Pendidikan karakter mempunyai tujuan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pelaksanaan pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia pada diri siswa. Karakter dan akhlak tersebut dibentuk secara utuh, terpadu dan seimbang dengan menyesuaikan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan.

Karakter yang baik akan didukung oleh adanya pengetahuan tentang suatu hal-hal yang bersifat baik (kabaikan), adanya keinginan untuk berlaku baik, serta bersedia melakukan kebaikan (Iriany, 2014).

Pendidikan karakter diharapakan mampu membentuk siswa untuk lebih mandiri dalam menggunakan dan meningkatkan pengetahuannya serta merealisasikan ilmu yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari, baik berpikir maupun bertindak sesuai nilai-nilai karakter. Pendidikan karakter pada tingkat satuan pendidikan lebih mengarah pada pembentukan budaya sekolah, seperti penanaman nilai-nilai yang melandasi berperilaku, tradisi sekolah, kebiasaan sehari-hari di sekolah dan simbol-simbol yang dicontohkan oleh setiap warga sekolah (Zaenul, 2012). Berdasarkan hal tersebut, maka tidak hanya siswa saja yang terlibat dalam pendidikan karakter, namun guru dan semua warga sekolah harus bersama-sama memberikan contoh yang baik bagi siswa agar tercipta satu keutuhan dalam penanaman nilai-nilai karakter.

(11)

Menurut Kemendikbud (2017) Penguatan Pendidikan Karakter memiliki tujuan diantaranya yaitu : (1) Mengembangkan program atau rencana kerja pendidikan nasional dengan menempatkan nilai karakter sebagai jiwa dalam penyelenggaraan pendidikan; (2) Membangun dan membekali generasi muda bangsa menjadi Generasi Emas Indonesia 2045 dalam menghadapi dinamika di masa depan melalui keterampilan abad 21; (3) Pendidikan karakter dikembalikan sebagai Ruh dan fondasi pendidikan melalui harmonisasi tiga dimensi diantaranya yaitu olah pikir (literasi dan numerasi), olah hati (etik dan spiritual), olah raga (kinestetik), dan olah rasa (estetik); (4) Merevitalisasi dan memperkuat kapasitas ekosistem pendidikan (kepala sekolah, guru, siswa, pengawas, dan komite sekolah) untuk mendukung perluasan implementasi pendidikan karakter; (5) Membangun hubungan dengan masyarakat (publik) sebagai sumber belajar baik di dalam maupun di luar sekolah; dan (6) Melestarikan kebudayaan serta jati diri bangsa Indonesia sebagai bukti dukungan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan Penguatan Pendidikan Karakter adalah menjadikan generasi bangsa atau penerus generasi muda sebagai individu yang berpotensi unggul baik dari segi inetelektual maupun karakter sehingga mereka mampu bersaing di masa depan. Pencapaian tujuan tersebut perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak baik seluruh warga sekolah, komite, orang tua/wali, dan masyarakat.

f. Nilai-nilai dalam dalam Penguatan Pendidikan Karakter

Dalam aturan Kemendikbud (2017) terdapat lima nilai utama karakter yang dikembangkan serta saling berkaitan hingga membentuk jejaring nilai sebagai prioritas utama gerakan PPK, yaitu Religius, Nasionalis, Mandiri, Gotong royong,

(12)

dan integritas. Berikut adalah pemaparan kelima nilai-nilai karakter dalam penguatan pendidikan karakter yang tercantum di bawah ini :

a) Religius

Nilai karakter religious berhubungan dengan Pencipta yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nilai karakter ini terwujud pada perilaku dalam melaksanakan ajaran agama atau kepercayaan yang dianut, adanya sikap saling mengahrgai dan memelihara sikap toleransi terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, mencerminkan sikap hidup rukun dan damai daam perbedaan agama atau kepercayaan. Subnilai karakter religius adalah cinta akan kedamaian, percaya diri, sikap toleransi, mengahrgai perbedaan agama atau kepercayaan, persahabatan, mempunyai sikap dalam teguh berpendirian, atin kekerasan, ketulusam, mempunyai kehendak, melindungi yang kecil dan tersisih, serta mencintai lingkungan sekitar,.

b) Nasionalis

Nilai kaarkter nasionalis yang dikembangan dalam PPK merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat. Hal-hal tersebut menunjukkan adanya sikap kepedulian, kesetiaan, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa , lingkungan ( fisik, sosial, budaya, ekonomi) dan politik bangsa serta menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan diri sendiri maupun kelompok. Subnilai nasionalis meliputi apresiasi terhadap budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, berprestasi, unggul, menjaga lingkungan, taat pada hokum, disiplin, menghormati keberagaman (suku, budaya, agama), serta cinta tanah air.

(13)

c) Mandiri

Nilai karakter mandiri adalah sikap yang tidak mudah bergantung pada orang lain kemudian menggunakan segala pikiran, tenaga, dan waktu untuk mewujudkan mimpi maupun cita-cita yang diinginkan. Beberapa subnilai mandiri yang ada yaitu kerja keras, tangguh, memiliki daya juang yang tinggi, kreatif, berani, menjadi pembelajar sepanjang hayat, dan profesional.

d) Gotong royong

Gotong-royong merupakan nilai karakter yang mencerminkan suatu tindakan menghargai semangat kerja sama dalam menyelesaikan persoalanbersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, serta memberi bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Subnilai gotong-royong pada PPK ini meliputi sikap menghargai, bekerja sama, berkomitmen atas keputusan bersama, musyawarah dalam mencapai mufakat, inklusif, tolong-menolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap kerelawanan.

e) Integritas

Integritas merupakan nilai karakter dengan upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu bisa dipercaya baik dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Integritas juga dapat diartikan sebagai sikap yang memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Subnilai karakter integritas meliputi kejujuran, kesetiaan, cinta pada kebenaran, berkomitmen tinggi, tanggungjawab, anti korupsi, keadilan, keteladanan, serta menghargai individu baik penyandang disabilitas maupun tidak.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa penguatan pendidikan karakter penting untuk dilaksanakan melalui penanaman nilai-nilai karakter. Hal itu

(14)

dikarenakan bahwa pendidikan karakter itu sendiri dapat membantu pembentukan karakter individu serta dengan adanya pembimbingan dan pembiasaan positif yang kontinu akan mampu memantapkan kepribadian individu menjadi manusia yang berakhlak mulia. Akhlak mulia yang mantap bukan hanya nampak di sekolah, namun juga di luar sekolah (kehidupan masyarakat). Setiap sekolah memiliki cara, strategi, maupun kebijakan tersendiri dalam melaksanakan penguatan pendidikan karakter yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan sekolah.

g. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah

Kurikulum 2013 bertujuan mengubahsikap pembelajar agar lebih santun melalui nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya. Artinya jika memiliki sikap dan mental yang terpuji maka pembelajar akan mampu menyerap ilmu dengan baik dan tentu menjadi generasi yang bersih. Pembelajaran dalam kurikulum 2013 harus mengembangkan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan dengan lintasan perolehan yang bertahap. Sikap diperoleh melalui aktivitas menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan.

Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Adapunketerampilan melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyajikan, dan mencipta. Tahap-tahap belajar dan mengajar itu sarat dengan pendidikan kesabaran.Untuk mendapatkan konsep tertentu, siswa harus melakukan proses yang panjang. Begitu pula guru harus mampu mengendalikan diri untuk tidak segera memberitahu dan harus sabar untuk memberi kesempatan siswa menemukan konsep dengan usaha sendiri.Dengan proses semacam ini diharapkan siswa

(15)

mendapatkan ilmu yang sesuai dengan kenyataan, tertanam dalam ingatan dalam waktu lama, menjawab berbagai problem hidup, dan mampu menerapkan perolehan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Pembangunan karakter dan pendidikankarakter menjadi suatu keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didikmenjadi cerdas, tetapi juga mempunyai budi pekerti dansopan santun, sehingga keberadaannya sebagaianggota masyarakat menjadi bermakna baik bagidirinya maupun orang lain. Pembinaan karakteryang termudah dilakukan adalah ketika anak-anakmasih duduk di bangku SD. Itulah sebabnya pemerintah memprioritaskan pendidikan karakterdi SD. Bukan berarti pada jenjang pendidikan lain-nya tidak mendapat perhatian namun porsinyasaja yang berbeda (Mendiknas, 2010).

Pendidikan karakter yang diterapkan disekolah-sekolah tidak diajarkan dalam matapelajaran khusus. Namun, dilaksanakan melaluikeseharian pembelajaran yang sudah berjalan disekolah. Wakil Mendiknas, Fasli Jalal, mengatakanpendidikan karakter yang didorong pemerintahuntuk dilaksanakan di sekolah-sekolah tidak akanmembebani guru dan siswa. Sebab, nilai-nilai yangterkandung dalam pendidikan karakter sebenar-nya sudah ada dalam kurikulum, namun selamaini tidak dikedepankan dan diajarkan secara tersurat. Kita mintakan pada guru supaya nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaranmaupun dalam kegiatan diluar kelas disampaikan dengan jelas pada siswa.

Pendidikan karakterbisa terintegrasi juga menjadi budaya sekolah.

Jadi, pendidikan karakter yang hendak diterapkansecara nasional tidak membebani kurikulum yangada saat ini. Pendidikan karakter yang dikembang-kan adalah yang dapat membangun wawasankebangsaan serta mendorong inovasi dan

(16)

kreasisiswa. Selain itu, nilai-nilai yang perlu dibangundalam diri generasi penerus bangsa secaranasional yakni kejujuran, kerja keras, menghargaiperbedaan, kerjasama, toleransi, dan disiplin.Sekolah bebas untuk memilih dan menerapkannilai-nilai yang hendak dibangun dalam diri siswa. Bahkan pemerintah mendorong munculnya keragaman untuk pelaksanaan pendidikan karakter. Nilai- nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bersumber dari: 1) Agama, 2) Pancasila, 3) Budaya, dan 4) Tujuan Pendidikan Nasional (Pusat Kurikulum, 2010).

2. Pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar a. Pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar

Bahasa Jawa adalah suatu bahasa daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional Indonesia, yang hidup dan tetap dipergunakan dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Bahasa Jawa yang terus berkembang maka diperlukan penyesuaian ejaan huruf Jawa. Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah sehingga perlu dilestarikan supaya tidak hilang keberadaannya.

Kurikulum Bahasa Jawa pelestarian dan pengembangan Bahasa Jawa didasarkan pada beberapa hal sebagai berikut :

a. bahasa Jawa sebagai alat komunikasi sebagian besar penduduk Jawa, b. bahasa Jawa memperkokoh jati diri dan kepribadian orang dewasa,

c. bahasa Jawa, termasuk didalamnya sastra dan budaya Jawa, mendukung kekayaan khasanah budaya bangsa,

d. bahasa, Sastra dan budaya Jawa merupakan warisan budaya adiluhung, e. bahasa, Sastra, dan budaya Jawa dikembangkan untuk mendukung life skill.

Menyikapi masalah kurang diperhatikannya pelajaran bahasa Jawa saat ini, upaya paling tepat dan efektif dalam pelestarian kebudayaan dan bahasa Jawa

(17)

adalah melalui jalur pendidikan, yaitu melalui pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dalam kerangka budaya yang ada di masing-masing daerah dijelaskan bahwa kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa Daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan: satu, bahasa Indonesia merupakanbahasa Nasional. dua, bahasa daerah merupakan bahasa ibu siswa. Tiga, bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa Internasional yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global.

Pembelajaran bahasa Jawa baik menyangkut masalah penyusunan rencana pembelajaran, penyajian materi maupun evaluasi hasil belajar. Mata pelajaran bahasa Jawa dalam pelaksanaannya di sekolah dasar juga mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Sudjarwadi dalam konggres Bahasa Jawa menjelaskan tujuan pembelajaran bahasa Jawa bagi sekolah dasar sebagai berikut :

a) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Jawa sebagai bahasa daerah dan berkewajiban mengembangkan serta melestarikannya,

b) siswa memahami bahasa Jawa dari segi bentuk, makna dan fungsi serta menggunakannya dengan tepat untuk bermacam-macam tujuan keperluan, keadaan, misalnya di sekolah, dirumah, di masyarakat dengan baik dan benar, c) siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Jawa yang baik benar, d) siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Jawa yang baik dan benar

untuk meningkatkan keterampilan, kemampuan intelektrual (berfikir kreatif menggunakan akal sehat, menerapkan kemampuan yang berguna, menggeluti konsep abstrak, dan memecahkan masalah), kematangan emosional dan sosial, e) siswa dapat bersikap positif dalam tata kehidupan sehari-hari di

lingkungannya.

(18)

Fungsi bahasa Jawa yang tadinya lebih luas meliputi sampai pada bahasa resmi di kalangan pemerintahan dan ilmu pengetahuan di sekolah sekarang menjadi lebih singkat.Sabdwara (Supartinah, 2010: 24) fungsi bahasa Jawa antara lain:

a. “bahasa Jawa adalah bahasa budaya di samping berfungsi komunikatif juga berperan sebagai sarana perwujudan sikap budaya yang sarat dengan nilai- nilai luhur, b) sopan santun berbahasa Jawa berarti mengetahui akan batas-batas sopan santun, mengetahui cara menggunakan adat yang baik dan mempunyai rasa tanggungjawab untuk perbaikan hidup bersama, dan c) agar mencapai kesopanan yang dapat menjadi hiasan diri pribadi seseorang, maka syarat yang harus ditempuh adalah sebagai berikut: 1) Pandai menegangkan perasaan orang lain di dalam pergaulan, 2) pandai menghormati kawan maupun lawan, dan 3) pandai menjaga tutur kata, tidak kasar, dan tidak menyakiti hati orang lain”.

Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dasar meliputi membaca, menyimak, berbicara, menulis. Membaca diarahkan pada kemampuan memahami isi bacaan, makna suatu bacaan ditentukan oleh situasi dan konteks dalam bacaan. Kegiatan menyimak pada hakikatnya sama dengan kegiatan membaca hanya saja pada menyimak merupakan pemahaman teks lisan. Kegiatan menulis diarahkan untuk mengembangkan kemampuan mengungkapkan gagasan, pendapat, pesan dan perasaan secara tertulis. Kegiatan berbicara diarahkan pada kemampuan mengungkapkan gagasan, pendapat, pesan dan perasaan secara lisan dengan menggunakan bahasa Jawa. Program Pengajaran Bahasa Jawa, lingkup mata pelajaran bahasa Jawa meliputi penguasaan kebahasaan, kemampuan memahami mengapresiasi sastra dan kemampuan menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa mempunyai tiga ragam bahasa yaitu ngoko, madya, dan krama.

b. Bentuk Unggah-Ungguh Bahasa Jawa

Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (101-127) unggah-ungguh bahasa Jawa secara emik dapat dibedakan menjadi dua yaitu bentuk ngoko (ragam ngoko) dan krama (ragam krama). Kedua bentuk tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

(19)

1. Ragam Ngoko

Yang dimaksud dengan ragam ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam ngoko adalah leksikon ngoko, bukan leksikon lain. Afiks yang muncul dalam ragam semuanya menggunakan ragam ngoko yaitu afiks di-, -e, dan –ake. ragam ngoko dapat dibedakan menjadi dua yaitu ngoko lugu dan ngoko alus.

a. Ngoko Lugu Yang dimaksud dengan ngoko lugu adalah bentuk unggah- ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko atau netral (leksikon ngoko lan netral) tanpa terselip krama, krama inggil, atau krama andhap. Afiks yang digunakan dalam raga mini adalah afiks di-, -e, dan –ake bukan afiks dipun-, -ipun, dan –aken. Berikut ini disajikan contoh sebagai berikut.

1) Akeh wit pelem kang ditegor seperlu dijupuk pathin. ‘banyak pohon mangga yang ditebang untuk diambil sarinya’.

2) Bengi iku uga Yogi mlebu rumah sakit diterake bapak lan ibune. ‘malam itu juga Yogi dibawa ke rumah sakit diantar bapak dan ibunya’

b. Ngoko Alus Yang dimaksud dengan ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh yang didalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap, dan krama.

Afiks yang dipakai dalam ngoko alus ini yaitu di-, -e, dan –ne. Berikut ini disajikan contoh ngoko alus.

1) Dhuwite mau wis diasta apa durung, Pak?

‘Uangnya tadi sudah dibawa atau belum, Kak?’

2) Sing ireng manis kae garwane Bu Rosi

(20)

‘Yang hitam manis itu suami Bu Rosi’

2. Ragam Krama

Yang dimaksud dengan ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama, bukan leksikon lain. Afiks yang digunakan dalam ragam krama yaitu afiks dipun-, -ipun, dan –aken. Ragam krama mempunyai dua bentuk varian yaitu krama lugu dan krama alus.

a) Krama lugu

Ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan kadar kehalusannya. Masyarakat awam menyebut ragam ini dengan sebutan krama madya. Ragam krama lugu sering muncul afiks ngoko di-, -e, dan –ake daripada afiks dipun-, -ipun, dan – aken. Selain afiks ngoko, klitik madya mang- juga sering muncul dalam ragam ini. Berikut ini disajikan beberapa contoh krama lugu.

1) Mbak Nida, njenengan wau dipadosi bapak.

‘Mbak Nida, Anda tadi dicari bapak.’

2) Griya tipe 21 niku sitine wiyare pinten meter? ‘Rumah tipe 21 itu luas tanahnya berapa meter?’

b) Krama Alus

Yang dimaksud dengan krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Meskipun begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk

(21)

krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko tidak pernah muncul di dalam tingkat tutur ini. Leksikon krama inggil dan andhap selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara. Dalam tingkat tutur ini afiks dipun-, - pun, dan –aken cenderung lebih sering muncul daripada afiks di-, -e, dan – ake.

Berikut ini akan disajikan beberapa contoh krama alus.

1) Sapunika ngaten kemawon Mbak, Dhik Fauzi punika dipunsuwuni bantuan pinten?

‘Sekarang begini saja Mbak, Dik Fauzi dimintai bantuan berapa?

2) Ing wekdal semanten kathah tiyang sami risak watak lan budi pakartinipun.

‘Saat itu banyak orang yang rusak perangai dan budi pekertinya’.

3. Kajian Tentang Berbicara a. Ketrampilan Berbicara

Haryadi (2010: 59) berbicara sebagai salah satu unsur kemampuan berbahasa sering dianggap sebagai suatu kegiatan yang berdiri sendiri. Hal ini dibuktikan dari kegiatan pengajaran berbicara yang selama ini dilakukan. Dalam praktiknya, pengajaran berbicara dilakukan dengan menyuruh murid berdiri di depan kelas untuk berbicara, misalnya bercerita atau berpidato. Siswa yang lain diminta mendengarkan dan tidak mengganggu. Akibatnya, pengajaran berbicara di sekolah-sekolah itu kurang menarik. Siswa yang mendapat giliran merasa tertekan sebab di samping siswa harus mempersiapkan bahan sering kali guru melontarkan kritik yang berlebih-lebihan. Sementara itu, siswa yang lain merasa kurang terikat pada kegiatan itu kecuali ketika mereka mendapatkan giliran.

Pengajaran berbicara mempunyai aspek komunikasi dua arah dan fungsional. Pendengar selain berkewajiban menyimak dia berhak untuk

(22)

memberikan umpan balik. Sementara itu, pokok persoalan yang menjadi bahan pembicaraan harus dipilih hal-hal yang benar-benar diperlukan oleh partisipan.

Tugas pengajar adalah mengembangkan pengajaran berbicara agar aktivitas kelas dinamis, hidup, dan diminati oleh anak sehingga benar-benar dapat dirasakan sebagai sesuatu kebutuhan untuk mempersiapkan diri terjun ke masyarakat.

Pembicara yang baik memberikan kesan kepada pendengar bahwa orang itu menguasai masalah, memiliki keberanian dan kegairahan akan terlihat pada penampilan kualitas suara, dan humor.

Jadi, Pembelajaran berbahasa yang dimaksud yaitu pembelajaran keterampilan berbicara dimana siswa diajarkan untuk bercerita maju ke depan.

Siswa dipanggil secara acak sehingga tidak merasa tegang untuk maju.

b. Tujuan Ketrampilan Berbicara

Setiap kegiatan berbicara yang dilakukan manusia selalu mempunyai maksud dan tujuan. Tarigan (2010: 15) menguraikan tujuan utama berbicara adalah berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka sebaiknya sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikombinasikan, dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasi terhadap pendengarnya, dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala sesuatu situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.

Tujuan berbicara meyakinkan ialah meyakinkan apabila pembicara berusaha mempengaruhi keyakinan, pendapat, atau sikap para pendengar sedangkan tujuan menggerakkan yaitu apabila pembicara menghendaki adanya tindakan atau perbuatan dari para pendengar.

(23)

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa seseorang melakukan kegiatan berbicara selain untuk berkomunikasi juga bertujuan untuk mempengaruhi orang lain dengan maksud apa yang dibicarakan dapat diterima oleh lawan bicaranya dengan baik. Adanya hubungan timbal balik secara aktif dalam kegiatan berbicara antara pembicara dengan pendengar akan membentuk kegiatan berkomunikasi menjadi lebih efektif dan efisien.

B. Kajian Penelitian Yang Relevan

Tabel 1 2.1 persamaan dan perbedaan penelitian dengan penelitian terdahulu No. Identitas peneliti Judul

Penelitian

Persamaan Perbedaan 1. Syamsudin Fadhli

(2017) Universitas Muhammadiyah Malang

Analisis Karakter Siswa Dalam

Pembelajaran Bahasa Jawa Kelas V SDN Mulyorejo 1 Malang

Penelitian ini sama-sama meneliti tentang karakter siswa dalam lingkup pembelajaran bahasa jawa di Sekolah Dasar

Perbedaannya adalah pada penelitian sebelumnya meneliti mengenai pembelajaran di kelas

sedangkan penelitian ini mengenai kebiasaan berbicara menggunakan bahasa Jawa 2. Ria Nurdayani (2014),

Universitas Bengkulu

Studi Deksriptif Implementasi Muatan Lokal Bahasa Rejang Dalam

Menanamkan Rasa Cinta Tanah Air Siswa Kelas IV SDN 04 Kecamatan Kerkap

Bengkulu Utara

Persamaan penelitian ini adalah sama- sama meneliti mengenai rasa cinta tanah air menggunakan bahasa daerah.

Perbedaan penelitian terdahulu ialah penelitiannya mengenai muatan lokal bahasa rejang sedangkan penelitian ini meneliti mengenai pembiasaan berbicara bahasa jawa.

3. Reni Lailatul Safitri (2018), Mahasiswi jurusan PGSD UMM.

Analisis Penerapan Pendidikan Karakter Dalam Proses

Pembelajaran Bahasa Jawa Siswa Kelas IV

Persamaan penelitian ini adalah sama- sama

menggunakan jenis penelitian kualitatif dan meneliti

Perbedaan penelitian terdahulu mengenai pelaksanaan pendidikan karakter pada pembelajaran

(24)

No. Identitas peneliti Judul Penelitian

Persamaan Perbedaan Di SDN

Kalangan 2 Ngunut

penerapan pendidikan karakter

muatan lokal bahasa jawa, sedangkan penelitian ini penerapan nilai karakter cinta tanah air melalui pembiasaan berbicara bahasa Jawa

(25)

C. Kerangka Berpikir

Gambar 1 2.1 kerangka berfikir Hasil :

1. Mendeksripsikan penguatan pendidikan karakter dengan menggunakan pembiasaan berbicara bahasa jawa dikelas 4 SDN Wiyoro 1 Pacitan

2. Mendeksripsikan faktor pendukung dan penghambat kegiatan penguatan pendidikan karakter dengan

menggunakan pembiasaan berbicara bahasa jawa dikelas 4 SDN Wiyoro 1 Pacitan

Teknik analisis:

1.Pengumpulan data 2.Reduksi data 3.Display data 4.Verifikasi Pelaksanaan kegiatan pembiasaan berbicara bahasa Jawa di SDN Wiyoro 1 Pacitan

Kondisi Sekolah :

SDN Wiyoro 1 Pacitantelah melaksanakan berbagai macam kegiatan pembiasaan berbicara bahasa Jawa dan Pelaksanaan kegiatan pembiasaan berbicara bahasa Jawa terdapat nilai-nilai karakter yang ditanamkan kepada siswa. Nilai karakter tersebut dapat ditanamkan melalui pendidikan karakter.

Faktor pendukung dan penghambat kegiatan pembiasaan berbicara bahasa Jawa di SDN Wiyoro 1 Pacitan

Penguatan Pendidikan Karakter

Teknik Pengumpulan data : 1.Observasi

2.Wawancara 3.Dokumentasi

Teori :

Bahasa jawa sebagai alat komunikasi sebagian besar penduduk Jawa (Kurikulum Bahasa Jawa, 2004:1) Kondisi Ideal :

Bahasa Jawa adalah suatu bahasa daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional Indonesia, yang hidup dan tetap dipergunakan dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan.

Bahasa Jawa yang terus berkembang maka diperlukan penyesuaian ejaan huruf Jawa.

(26)

Gambar

Tabel 1 2.1 persamaan dan perbedaan penelitian dengan penelitian terdahulu  No.  Identitas peneliti  Judul
Gambar 1 2.1 kerangka berfikirHasil :

Referensi

Dokumen terkait

Prima Abadi Karya Area Morowali serta dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul “Perencanaan perluasan stockyard untuk mendukung peningkatan produksi bijih nikel

Berdasarkan hasil simulasi secara vegetatif pada kondisi penggunaan lahan saat ini laju erosi sebesar 168.51 ton/ha/th dan penggunaan lahan skenario laju erosi

Pemerintah telah membuat aturan agar masyarakat wajib menggunakan masker. Peraturan ini sempat membuat harga masker menjadi sangat tinggi. Hal ini mengakibatkan masker menjadi

Adapun hasil penelitian didapatkan bahwa tidak ditemukan korelasi yang cukup kuat antara usia dengan tingkat stress pada tenaga kesehatan di RSUD Daya

Masing-masing rencana aksi mitigasi emisi GRK akan dilaksanakan oleh masing-masing lembaga/instansi yang terkait seperti yang dijabarkan pada Bab III dan Bab V. Sementara,

penulisan skripsi bagaimana tradisi upacara adat mappogau hanua (mpogau hnua ) di Karampuang kabupaten sinjai agar kajian skripsi ini lebih terfokus maka pokok

Perceraian, meskipun diizinkan, namun tetaplah menjadi suatu perbuatan yang tidak dianjurkan dalam agama, terutama agama Islam yang menganggap perceraian sebagai

Pada akhirnya kondisi tersebut berdampak pada anak-anak, yaitu anak tumbuh dan berkembang dengan kurang memiliki jiwa sosial terutama sikap toleransi terhadap