Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work
non-commercially, as long as you credit the origin creator
and license it on your new creations under the identical
terms.
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Dalam tesis Shintya yang berjudul “Eksistensi Jurnalis Perempuan dalam Produksi Berita Politik” (2014), dipaparkan bahwa terdapat kesenjangan sosial diantara jurnalis perempuan dan laki-laki. Kesenjangan tersebut berupa kesempatan untuk mengambil keputusan di dalam redaksi, kesempatan untuk memiliki jenjang karier yang sama antara jurnalis perempuan dan laki-laki, dan perbedaan gaji. Tujuan penelitian yang dilakukan Shintya adalah untuk mengetahui eksistensi jurnalis perempuan Tempo yang ditugaskan untuk memproduksi berita politik, karena berita politik merupakan salah satu kesempatan para jurnalis untuk mendapatkan promosi menjadi redaktur.
Dalam penelitian tersebut Shintya menggunakan 2 teori, yaitu jurnalisme berperspektif gender dan hierarchy of influences on media content dengan metode penelitian deskriptif dan teknik pengumpulan indepth interview. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat ketimpangan antara jurnalis perempuan dan laki-laki dalam hal penulisan berita politik, yaitu didominasi oleh jurnalis laki-laki.
Penelitian yang dilakukan oleh Marisa Puspita Sary, yang berjudul
“Analisis Framing Jurnalisme Berspektif Gender Terhadap Pemberitaan Isu-
Isu Gender di Kompas dan Sinar Harapan” (2005), dipaparkan bahwa media
dalam mengukuhkan keyakinan gender yang sudah tertanam di alam bawah sadar perempuan dari seluruh dunia bahwa mereka ‘dikodratkan’ menjadi ibu rumah tangga. Melalui media massa, perspektif gender dapat secara efektif diperkenalkan kepada masyarakat mengingat media massa merupakan pembentuk opini publik yang potensial sehingga diharapkan memiliki peran yang besar dalam menyebarluaskan perspektif gender. Teori yang digunakan adalah teori konstruksi atas realitas dan hierarchy of influences. Penelitian ini penggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan analisis teks berita. Hasil dari penelitian ini adalah pemberitaan terhadap isu-isu gender yang ditampilkan Sinar Harapan menunjukkan bahwa untuk mewujudkan keadilan dan kesetaran gender di berbagai bidang tidak hanya diperlukan intervensi dari aparat hukum dan pemerintah, tetapi juga penanganan yang serius terhadap permasalahan yang menimpa kaum perempuan yang menyebabkan dirinya tertindas atau tersubordinasi.
Margaret Gallagher dalam penelitiannya “Reporting on Gender in Journalism: Why Do So Few Women Reach the Top?”, dipaparkan bahwa di
Eropa, terdapat sebuah tren dalam jurnalisme, yang menyebabkan para jurnalis
perempuan sulit menduduki posisi puncak dalam ruang redaksi. Penelitian ini
menggunakan teori Feminisme dan Jurnalisme Berspektif gender. Penelitian
ini mnggunakan metode deskriptif dengan teknik pengumpulan data indepth
interview. Hasilnya, di dalam ruang redaksi terdapat dominasi oleh laki-laki
melalui pengambilan keputusan. Pelecehan seksual pun masih sering dialami
oleh para jurnalis perempuan di Eropa.
Julia T.Wood dalam penelitian “Gendered Media on Views of Gender”, dipaparkan bahwa media telah berhasil mengonstruksikan bahwa perempuan memiliki derajat yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Media membangun persepsi tersebut melalui iklan atau tayangan yang menjadi konsumsi masyarakat. Metode penelitian yang yang digunakan adalah deskriptif dengan teknik pengumpulan in-depth interview. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa perempuan rentan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual karena paparan tayangan yang dihasilkan oleh media.
Keempat penelitian tersebut memiliki persamaan, yaitu meneliti mengenai isu-isu kesetaraan gender yang memengaruhi keadilan sosial bagi perempuan. Perbedaan yang ada di antara ke-empat penelitian tersebut adalah;
Penelitian yang dilakukan oleh Shintya dengan judul Eksistensi Jurnalis
Perempuan dalam Produksi Berita Politik fokus pada pembenaran terhadap
jurnalis perempuan yang seharusnya memiliki hak yang sama dengan jurnalis
laki-laki dalam karier di media karena penulisan berita oleh perempuan tidak
dipengaruhi oleh sensitivitas. Penelitian yang dilakukan oleh Marisa Puspita
Sary dengan judul Analisis Framing Jurnalisme Berspektif Gender Terhadap
Pemberitaan Isu-isu Gender di Kompas dan Sinar Harapan fokus pada kedua
media yang telah menjalankan perannya sebagai media massa yang
memberitakan kepada masyarakat mengenai kesetaraan gender. Penelitian
yang dilakukan oleh Margaret Gallagher dalam Reporting on Gender in
Journalism: Why Do So Few Women Reach the Top? Fokus pada
perempuan sangat sulit untuk berada pada posisi pengambilan keputusan.
Penelitian yang dilakukan oleh Julia T. Wood dalam Gendered Media on Views
of Gender fokus pada peran media massa yang telah mengkonstruksi gender
melalui film atau acara tv yang telah mereka buat.
2.2 Teori atau Konsep-Konsep yang Digunakan 2.2.1 Jurnalisme Berspektif Gender
Media merupakan sarana penyebaran dan sosialisasi, serta penguatan nilai- nilai tertentu termasuk nilai-nilai ketidaksetaraan gender. Di sisi lain, media juga bisa menjadi agen perubahan sosial. Media harus lebih banyak memberi ruang proses penguatan kesetaraan gender yang terwujud dalam konten media termasuk berita, feature, maupun iklan yang ditampilkan.
Media harus mulai mengimplementasikan jurnalisme berspektif gender.
Menurut Subono (2003, p. 363), jurnalisme berspektif gender adalah kegiatan atau praktik jurnalisme yang selalu menginformasikan atau bahkan mempermasalahkan dan menggugat secara terus menerus berbagai media terkait adanya hubungan yang tidak setara atau ketimpangan relasi antara laku-laki dan perempuan.
Menurut Yusuf (2004, p. 364), pengembangan jurnalisme sensitif gender
dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu kognitif, organisasi dan keterampilan teknis.
Tabel 2.1 Jurnalisme Berspektif Gender
Menurut Subono, (2003, p. 61-64) sebagaimana dikutip oleh Agnes Winarti (Jurnal Thesis 2005, p. 31-32), pendekatan dalam jurnalisme bisa dilihat dari pendekatan netral atau obyektif dan perspektif gender. Berikut skema pendekatan Jurnalisme Netral dan Jurnalisme Berspektif Gender.
KOGNITIF
Kesadaran Gender Kolektif/Individual
ORGANISASI INSTITUSI YANG SENSITIF GENDER
-Struktur
-Rekruitmen & Promosi -Pendelegasian Tugas
TEKNIK JURNALISTIK Jurnalisme yang Bersifat:
-Sensitif gender -Pilihan Fakta Sosial
-Angle Tulisan
-Teknik Penulisan
Tabel 2.1 Jurnalisme Berspektif Gender Fakta
Jurnalisme Netral (Obyektif) Jurnalisme Berspektif Gender
• Terdapat fakta yang nyata dan ini diatur oleh kaidah-kaidah atau hukum-hukum tertentu yang berlaku universal
• Berita adalah refleksi realitas sosial yang ada, karenanya, berita harus bisa
mencerminkan realitas yang diberitakan
• Pada dasarnya, fakta yang ada – budaya dalam masyarakat
• Berita yang terbentuk merupakan refleksi
kepentingan kekuatan yang dominan yang merupakan hasil dari ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender
Ini berkaitan dengan dominasi
kekuatan ekonomi politik dan
sosial telah menciptakan
ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender
Posisi Media
Jurnalisme Netral (Obyektif) Jurnalisme Berspektif Gender
• Media adalah sarana yang di dalamnya semua anggota masyarakat dapat
berkomunikasi dan berdiskusi dengan bebas, netral, dan setara
• Media adalah sarana yang menampilkan semua
pembicara dan kejadian yang ada dalam masyarakat secara apa adanya
• Mengingat media umumnya hanya dikuasai kepentingan dominan (patriarki) maka media seharusnya menjadi sarana untuk membebaskan dan memberdayakan
kelompok-kelompok marjinal khususnya perempuan.
• Media adalah alat yang harus dimanfaatkan oleh kelompok- kelompok marjinal, terutama perempuan untuk
memperjuangkan kesetaraan
dan keadilan gender
Posisi Jurnalis
Jurnalis Netral (Obyektif) Jurnalisme Berspektif Gender
• Nilai atau ideologi jurnalis berada di “luar” proses peliputan atau pelaporan berita.
• Jurnalis memiliki peran sebagai pelapor yang non- partisan
• Landasan moral (etis)
• Profesionalisme sebagai keuntungan
• Tujuan peliputan dan penulisan: pemaparan dan penjelasan apa adanya
• Jurnalis sebagai bagian tim untuk mencari kebenaran
• Nilai atau ideologi jurnalis tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan atau pelporan peristiwa
• Jurnalis memiliki peran sebagai pegiat atau peserta kelompok – kelompok marjinal, khususnya perempuan yang ada di masyarakat
• Landasan ideologis
• Profesionalisme sebagai kontrol
• Tujuan peliputan dan
penulisan: pemihakan dan
pemberdayaan atas kelompok-
kelompok marjinal, terutama
perempuan
• Jurnalis sebagai pekerja yang memiliki posisi berbeda dalam kelas-kelas sosial
Hasil Peliputan dan Pemberitaan
Jurnalisme Netral (Obyektif) Jurnalisme Berspektif Gender
• Hasil liputan bersifat dua sisi atau dua pihak (seimbang) – gender netral
• Obyektif – netral, tidak memasukkan opini atau pandangan subyektif
• Memakai bahasa baku yang menimbulkan banyak penafsiran
• Hasil peliputan bersifat eksplanasi, prediksi, dan kontrol
• Hasil liputan merefleksikan ideologi jurnalis yang berspektif gender
• Subyektif karena merupakan bagian kelompok-kelompok marjinal yang diperjuangkan
• Memakai bahasa yang sensitive gender dengan pemihakan yang jelas
• Hasil peliputan bersifat kritis, transformatif, emansipatif, dan pemberdayaan sosial.
Sumber : Jurnalis Berspektif Gender, Imam Soebono
2.2.1 Jurnalis Perempuan di Indonesia
Di dalam media, khususnya jurnalis, sedikitnya ada 3 hal berkaitan yang
menggambarkan suramnya persoalan perempuan di dalam media tersebut, yaitu:
a) Masih adanya bias dalam menampilkan representasi perempuan di dalam media, baik cetak maupun elektronik.
b) Masih sedikitnya kalangan perempuan yang terlibat di dalam dunia jurnalis atau bekerja sebagai insan pers.
c) Berhubungan kepentingan-kepentingan kekuasaan, baik yang berasal dari luar maupun dalam yang memiliki kemampuan untuk mengangkat berita tertentu dan mengabaikan berita-berita lain, atau ikut mempengaruhi atau bahkan menentukan isi dari pemberitaan. (Imam Subono, 2003, p. 59-60) Menurut data yang dihimpun oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) di tahun 2012, saat ini jumlah jurnalis perempuan di Indonesia dibandingkan dengan jurnalis laki-laki hanya sekitar 1:4. Data juga menunjukkan hanya sekitar 6% jurnalis perempuan yang menduduki posisi sebagai redaktur maupun pengambil keputusan di redaksi. Selain itu, penelitian AJI di tahun 2012 menunjukkan bahwa:
a. Jurnalis perempuan umumnya masih mengalami kekerasan berbasis gender
b. Setelah berkarier dan berkeluarga, jurnalis perempuan kerap mengalami hambatan dalam berkarier.
c. Beberapa jurnalis perempuan mengakui, upah yang diterima lebih kecil dibandingkan jurnalis laki-laki.
d. Menyusui yang menjadi hak pekerja jurnalis perempuan terkadang tidak terpenuhi.
e. Jurnalis perempuan mengalami pelecehan seksual pada saat melakukan
peliputan.
2.2.2 Gender
Menurut Herien (2013), istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering sekali mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati (gender). Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya.
Menurut, Alifiulahtin (2017) kata gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak
bersifat kodrati. Oleh karenanya gender bervariasi dari satu tempat ke tempat
lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya. Gender tidak bersifat kodrati,
dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya
tergantung waktu dan budaya setempat.
2.2.3 Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender dibatasi dengan kesetaraan di depan hukum, kesetaraan kesempatan (termasuk kesetaraan dalam upah kerja dan kesetaraan akses terhadap sumber daya manusia dan sumber daya produktif lainnya yang membuka peluang), serta kesetaraan dalam menyalurkan aspirasi (kemampuan untuk mempengaruhi dan mendukung dalam proses pembangunan). (World Bank, 2017, p.3)
Menurut UNESCO, kesetaraan gender merupakan sebuah penekanan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak untuk mendapatkan, berpartisipasi dan berkontribusi dalam kehidupan sosial. Kesetaraan gender mengacu pada persamaan hak, tanggung jawab, dan peluang yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Hal ini menyiratkan bahwa kepentingan, kebutuhan, dan prioritas bagi perempuan dan laki-laki telah dipertimbangkan, mengakui keragaman kelompok yang berbeda-beda antara perempuan dan laki-laki.
Kesetaraan gender merupakan prinsip hak dasar asasi manusia, prasyarat untuk pembangunan berkelanjutan, pengembangan pada diri seseorang, tujuannya adalah diri sendiri. (UNESCO, 2012)
Pada tahun 1979, PBB secara resmi mengadopsi sebuah instrumen hukum secara khusus terkait dengan hak perempuan, yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention of Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/ CEDAW).
Indonesia telah merativikasinya menjadi Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
Konvensi ini menjabarkan definisi diskriminasi berbasis jenis kelamin sebagai perbedaan perlakuan atas jenis kelamin yang:
a. Secara sengaja maupun tidak disengaja merugikan perempuan
b. Mencegah masyarakat secara keseluruhan mengakui hak perempuan di ranah privat maupun publik
c. Mencegah perempuan menikmati hak asasi manusia dan kebebasan fundamental yang menjadi haknya.
Sementara itu, UU No. 39/ 1999 tentang HAM memiliki bagian khusus yang membahas hak perempuan, terutama pada Pasal 49 ayat 1-3, yaitu:
1. Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
2. Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
3. Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
2.2.4 Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Akibat Diskriminasi Gender
Fakih seperti yang dikutip Achmad Muthali‘in (2001, p.33) menjelaskan bahwa, ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem tersebut. Setidaknya ada 5 isu gender yang dialami perempuan akibat ketidakadilan gender;
1. Marginalisasi. Marginalisasi perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender. Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampung halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender.
2. Subordinasi. Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki- laki.
3. Stereotipe. Stereotipe adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan.
4. Kekerasan. Berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan
sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk. Kata kekerasan
merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti pemerkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non- fisik, seperti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik.
5. Beban ganda. Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan.
2.2.5 Ideologi dalam Media Massa
Menurut Gramsci dalam Sobur (2002, p.76) media sebagai ruang di
mana berbagai ideologi direpresentasikan. Di satu sisi media bisa menjadi
sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana
publik. Di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap
kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi
dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi
instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan
ideologi tandingan. Dikatakan juga bahwa, pada dasarnya media massa bukan
sumber informasi atau sumber berita yang bebas, yang dapat menjadi cermin
realitas seperti apa adanya, karena tanpa disadari media adalah subjek yang
mengkonstruksi realitas.
kekuatan dan sistem politik yang ada serta unsur-unsur masyarakat (pasar) yang dominan. Berita tidaklah dibentuk dalam ruang hampa. Berita diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu wilayah kompetensi tertentu.
Sebuah teks tak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. (Eriyanto, 2001, p.32-48)
2.3 Alur Pikir Penelitian
Bagan 1: Alur Pikir Penelitian