Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work
non-commercially, as long as you credit the origin creator
and license it on your new creations under the identical
terms.
9
BAB II
TELAAH LITERATUR DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
A. Corporate Social Responsibility (CSR) 1. Definisi CSR
Pemahaman mengenai CSR terus berkembang dari waktu ke waktu dan menghasilkan berbagai macam definisi terkait CSR. Definisi CSR menurut Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (World Business Council for Sustainable Development, 1999) di dalam Dahlsrud (2008) ialah komitmen berkelanjutan oleh bisnis untuk berperilaku secara etis dan berkontribusi untuk pembangunan ekonomi seraya meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan keluarga dan juga komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. Definisi CSR menurut Hopkins (2007) ialah terkait dengan memperlakukan stakeholder perusahaan secara etis atau dengan cara yang bertanggung jawab. “Secara etis atau bertanggung jawab” berarti memperlakukan stakeholder dengan cara yang dianggap diterima dalam budaya masyarakat. Tujuan yang lebih luas dari tanggung jawab sosial ialah menciptakan lebih tinggi lagi standard hidup, seraya memelihara profit bagi perusahaan, untuk orang-orang baik di dalam maupun di luar perusahaan. Mittal, Sinha, dan Singh (2008) mendefinisikan CSR sebagai pendekatan bisnis yang menghargai etika, masyarakat, komunitas, dan lingkungan sebagai strategi integral yang meningkatkan posisi kompetitif perusahaan.
10 Dahlsrud (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa CSR pada dasarnya mencakup lima dimensi yakni:
1. Dimensi lingkungan, merupakan dimensi yang mengarah kepada lingkungan alam
2. Dimensi sosial, merupakan dimensi yang mengarah kepada hubungan antara bisnis dan sosial
3. Dimensi ekonomi, merupakan dimensi yang mengarah kepada aspek sosial ekonomi atau keuangan, termasuk menjelaskan CSR di dalam hubungan operasi bisnis
4. Dimensi stakeholder, merupakan dimensi yang mengarah kepada stakeholder atau kelompok stakeholder
5. Dimensi voluntari, merupakan dimensi yang mengarah kepada tindakan yang tidak ditentukan oleh hukum atau peraturan
Terkait dengan dimensi lingkungan, sosial, dan ekonomi perusahaan harus melaksanakannya secara seimbang. Dimensi stakeholder mengungkapkan bahwa ketika tidak ada peraturan yang mengatur terkait CSR, maka yang menjadi acuan dari para pelaku bisnis ialah kepentingan para stakeholder. Sementara dimensi voluntari menjelaskan bahwa bisnis harus mematuhi regulasi yang ada sehingga kinerja yang terlaksana setidaknya sesuai dengan level minimum yang dapat diterima.
CSR menurut Suharto (2008) merujuk kepada perilaku perusahaan yang terkait dengan dua elemen kunci, yakni:
11 1. Good corporate governance: etika bisnis, manajemen sumber daya manusia,
jaminan sosial bagi pegawai, serta kesehatan dan keselamatan kerja;
2. Good corporate responsibility: pelestarian lingkungan, pengembangan masyarakat (community development), perlindungan hak azasi manusia, perlindungan konsumen, relasi dengan pemasok, dan penghormatan terhadap hak-hak pemangku kepentingan lainnya.
Werther dan Chandler (2010) mengungkapkan bahwa memahami CSR ialah sangat penting karena hal tersebut mewakili tidak kurang dari upaya mendefinisikan masa depan masyarakat kita. CSR menjadi hal penting karena CSR mempengaruhi semua aspek bisnis. Bisnis menjadi hal penting karena bisnis menciptakan banyak kekayaan dan kesejahteraan di masyarakat. Oleh karena itu, CSR semakin menjadi krusial untuk kesuksesan bisnis dan sosial (Werther dan Chandler, 2010).
Di dalam pelaksanaannya, CSR menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang menentang pelaksanaan CSR di dalam Siswoyo (2002) memberikan beberapa argumen yaitu:
1. Tujuan bisnis adalah mengejar keuntungan sebesar-besarnya
2. Keterlibatan sosial akan berdampak pada tujuan bisnis yang terbagi-bagi yang akan membingungkan perusahaan.
3. Keterlibatan sosial akan memunculkan beraneka ragam harapan terhadap perusahaan yang mustahil dapat dipenuhi semua oleh perusahaan
4. Biaya untuk pelaksanaan CSR dipandang akan memberatkan masyarakat karena pada kenyataannya biaya yang dikeluarkan bukanlah biaya dari
12 perusahaan namun biaya yang dikenakan pada produk yang dijual perusahaan sehingga biaya tersebut ditanggung oleh masyarakat.
5. Bisnis mempunyai kekuasaan yang sudah memadai sehingga tidak membutuhkan lagi dukungan kekuatan dari masyarakat
6. Kurangnya tenaga yang memiliki keterampilan di bidang kegiatan sosial 7. Perusahaan tidak mampu membuat pilihan moral karena perusahaan adalah
makhluk buatan yang tidak berasio, tidak mempunyai kemauan, dan tidak mempunyai suara hati
8. Masalah-masalah sosial akan selalu ada dan tidak akan pernah terselesaikan sehingga aktivitas CSR tidak akan menyelesaikan masalah-masalah sosial tersebut
9. Pemberian tanggung jawab sosial terhadap perusahaan akan menambah kekuasaan perusahaan menjadi semakin besar. Penambahan kekuasaan tersebut akan semakin berbahaya bagi seluruh masyarakat
10. Kurangnya dukungan terkait pelaksanaan CSR
Sementara itu, Suharto (2008) menemukan bahwa pelaksanaan CSR memiliki berbagai manfaat seperti memperkuat kinerja dan keuntungan ekonomi yang lebih efisien dan berkelanjutan, meningkatkan komitmen pada pekerja, memantapkan akuntabilitas perusahaan terkait investasi sosial dan kemasyarakatan, mengurangi kerentanan dan instabilitas operasi perusahaan, serta mempertegas reputasi dan citra perusahaan. Suharto (2008) mengungkapkan perkembangan CSR di Indonesia mulai populer sejak tahun 1990-an dengan nama Corporate Social Activity (CSA) dimana konsepnya mendekati konsep CSR. Di
13 masa awal, pelaksanaan aktivitas sosial ini hanya dipandang sebagai ajang agar perusahaan terlihat baik. Namun, pada akhirnya perusahaan memahami bahwa konsep CSR tidak hanya sekedar mencari popularitas semata. CSR harus merupakan konsep yang memberdayakan masyarakat lokal sehingga konsep ini tidak sekedar berbuat dan terlihat baik (do good and to look good), tetapi juga untuk membuat menjadi lebih baik (make good) (Suharto,2008).
2. Pengukuran CSR
Pengukuran pelaksanaan CSR perusahaan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti mengirimkan kuesioner ke perusahaan, menggunakan indeks reputasi perusahaan, laporan kepuasan karyawan, kontribusi perusahaan terhadap kegiatan sosial, dan lain sebagainya. Berbagai cara pengukuran tersebut memiliki berbagai kendala seperti banyaknya waktu yang diperlukan untuk pelaksanaannya. Salah satu contoh ialah mengirimkan kuesioner ke perusahaan, kemungkinan akan terkendala di transparansi, dan mungkin akan diisi oleh orang yang berbeda di perusahaan, dengan pendekatan dan pengetahuan yang berbeda (jika perusahaan tidak memiliki departemen khusus CSR, maka pegawai di bagian pemasaran, sumber daya manusia, atau orang lain kemungkinan mengisi kuesioner ini). Hal ini mengakibatkan inkonsistensi dalam pengukuran CSR (Burak dan Morante, 2007).
Solusi untuk mengatasi kendala tersebut ialah mengukur CSR berdasarkan pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan. Pengungkapan CSR sendiri oleh Sembiring (2005) diidentifikasikan sebagai proses pengkomunikasian dampak
14 sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Selanjutnya, menurut Gray et. al., (1995b) di dalam Sembiring (2005), terdapat dua pendekatan yang berbeda secara signifikan dalam melakukan penelitian tentang pengungkapan CSR. Pertama, pengungkapan CSR mungkin diperlakukan sebagai suatu suplemen dari aktivitas akuntansi konvensional dimana masyarakat keuangan dianggap sebagai pemakai utama pengungkapan CSR dan cenderung membatasi persepsi tentang CSR yang dilaporkan. Pendekatan alternatif kedua meletakkan pengungkapan CSR pada suatu pengujian peran informasi dalam hubungan masyarakat dan organisasi. Pandangan ini telah menjadi sumber utama kemajuan dalam pemahaman tentang pengungkapan CSR dan sekaligus merupakan sumber kritik yang utama terhadap pengungkapan CSR.
B. Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan dari sudut pandang The Anglo Saxon mengenai tanggung jawab utama perusahaan yakni menghasilkan return bagi para pemilik perusahaan (Kim dan Dam, 2003). Proses penciptaan nilai perusahaan menurut Widjaja dan Amin (2001) di dalam Natalia dan Widjaja (2006) dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu:
a. Peningkatan rate of return (tingkat pengembalian) dari modal yang ada, sehingga laba operasi yang dihasilkan dapat meningkat tanpa memasukkan lebih banyak dana kedalam perusahaan
15 b. Melalui penambahan modal yang diinvestasikan, dimana nilainya lebih besar daripada biaya atau pengorbanan untuk mendapatkan tambahan modal tersebut
c. Meningkatkan investasi pada proyek yang menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih besar daripada biaya modalnya, dan mengurangi atau menghentikan investasinya pada proyek yang tingkat pengembaliannya lebih rendah dibandingkan biaya modalnya.
Aupperle et. al, (1985), Ullman (1985), Moskowitz (1972), dan Alexander dan Buchholz (1982) di dalam Bird et. al, (2007) menulis temuan terkait dengan pelaksanaan CSR dan nilai perusahaan, yaitu:
a. Pandangan neo-klasik menyatakan bahwa segala pengeluaran terkait aktivitas CSR akan menaruh perusahaan pada kerugian kompetitif dan menghasilkan hubungan yang negatif antara aktivitas ini dengan kinerja pasar.
b. Tidak terdapat hubungan antara aktivitas CSR dan kinerja perusahaan.
c. Terdapat hubungan yang positif antara aktivitas CSR dan kinerja perusahaan dan/atau manajer yang memulai aktivitas seperti itu merupakan manajer yang lebih baik yang akan mampu untuk menghasilkan profitabilitas yang tinggi dan juga kinerja pasar yang baik.
Kim dan Dam (2003) juga meneliti keterkaitan antara pelaksanaan CSR terkait dengan reputasi perusahaan yang berujung kepada kenaikan nilai pasar perusahaan. Utama dan Afriani (2005) melakukan penelitian antara praktek corporate governance yang merupakan salah satu unsur dari CSR dengan nilai perusahaan yang diwakili oleh EVA dan rasio market value added to invested
16 capital (MV/IC). Hasilnya ialah terhadap hubungan positif antara corporate governance dengan nilai perusahaan yang diukur dengan EVA. Namun, terhadap nilai perusahaan yang diukur dengan rasio MV/IC, hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif signifikan. Pelaksanaan CSR dikaitkan juga dengan kepuasan pelanggan dimana Fornell et. al, (2006) di dalam Luo dan Bhattacharya (2006) menemukan hubungan yang positif antara kepuasan pelanggan dan nilai pasar.
Sementara itu aktivitas CSR menurut Bird et. al, (2007) dapat dilihat dalam berbagai cara yakni:
a. Aktivitas yang menghasilkan penghematan biaya dengan segera dimana akan mengalir untuk meningkatkan profitabilitas dan diperkirakan meningkatkan nilai pasar perusahaan.
b. Aktivitas lain yang membawa keuntungan reputasi (goodwill) ke perusahaan dimana meningkatkan baik profitabilitas maupun nilai pasar dalam jangka panjang.
c. Aktivitas lain yang menghalangi kegiatan pemerintah dan lembaga peraturan lainnya di masa depan dimana akan membebankan biaya yang signifikan atas perusahaan. Contoh dalam hal ini ialah ketika perusahaan dengan sukarela mengontrol emisi polusi tetapi dihalangi pemerintah dengan mengeluarkan peraturan dan/atau pajak terhadap perusahaan yang dimana akan membebankan biaya yang besar dan juga menghasilkan pengikisan lebih besar bagi nilai pasar perusahaan
17 Junior (2009) juga menemukan bahwa perusahaan yang melaksanakan aktivitas CSR memiliki nilai pasar yang tinggi dibandingkan yang tidak melaksanakan.
1. Economic Value Added (EVA)
Pengukuran nilai perusahaan oleh karena itu harus menggunakan alat ukur yang tepat. Alat ukur nilai perusahaan diantaranya ialah EVA dan MVA (Young dan O’Byrne, 2000). EVA merupakan metode yang dikembangkan oleh Stern Stewart
& Co pada tahun 1993. EVA menurut Utama (1997) merupakan indikator tentang adanya penciptaan nilai dari suatu investasi. EVA yang positif menandakan perusahaan berhasil menciptakan nilai bagi pemilik perusahaan, sehingga hal ini sejalan dengan tujuan memaksimumkan nilai perusahaan. EVA melihat pada nilai perusahaan lebih daripada sekedar melihat pada profit yang dihasilkan. Hal ini penting karena perusahaan-perusahaan yang telah go public ingin meningkatkan harga sahamnya, dan banyak perusahaan swasta ingin nilai perusahaannya lebih tinggi di masa yang akan datang dibandingkan dengan saat ini (Sjam, 2008). EVA menghubungkan profit dengan nilai sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai profit tersebut (Hansen dan Mowen, 2007). Savarese (2001) mengungkapkan bahwa EVA tidak hanya mengukur apakah suatu bisnis menciptakan nilai, tetapi juga mengukur seberapa banyak nilai tersebut diciptakan.
Perbedaan antara EVA dengan pengukuran kinerja akuntansi yang konvensional menurut Sjam (2008) adalah EVA mencoba mengukur nilai tambah
18 yang dihasilkan suatu perusahaan dengan cara mengurangi beban biaya modal yang timbul sebagai akibat investasi yang dilakukan, dimana dalam pengukuran yang konvensional biaya modal ini tidak dimasukkan kedalam perhitungan.
Manfaat penggunaan EVA sebagai alat ukur bagi nilai perusahaan sudah dirasakan oleh berbagai pihak. Lehn dan Makhija (1996) di dalam Utama (1997) melakukan penelitian terkait alat ukur kinerja perusahaan. Mereka meneliti kaitan antara berbagai pengukuran kinerja seperti EVA, return on assets (ROA), dan return on equity (ROE) dengan tingkat pengembalian saham (stock return). Hasil penelitian menunjukkan bahwa EVA mempunyai hubungan yang paling erat dengan tingkat pengembalian saham.
Utama (1997) menjelaskan manfaat dari penggunaan EVA sebagai alat ukur kinerja perusahaan, yakni:
1. Perhatian manajemen sesuai dengan kepentingan pemegang saham sehingga para manajer akan berpikir dan bertindak seperti halnya pemegang saham, yaitu memilih investasi yang memaksimumkan tingkat pengembalian dan meminimumkan tingkat biaya modal sehingga nilai perusahaan dapat dimaksimumkan
2. EVA akan menyebabkan perusahaan untuk lebih memperhatikan kebijakan struktur modalnya
3. EVA dapat digunakan untuk mengidentifikasi kegiatan atau proyek yang memberikan pengembalian lebih tinggi daripada biaya modalnya
Mittal (2008) melakukan penelitian terhadap data 50 perusahaan untuk tahun 2001-2005 yang terdapat di Standard & Poor’s CRISIL National Stock
19 Exchange of India Ltd. Index 50 (S&P CNX Nifty). S&P CNX Nifty merupakan indeks utama pada National Stock Exchange of India Ltd. (NSE) yang terdiri dari 50 indeks saham yang terbesar dan likuid. Perusahaan-perusahaan tersebut dibagi kedalam dua bagian yakni perusahaan yang mengungkapkan CSR di dalam laporan tahunan mereka dan perusahaan yang tidak mengungkapkannya di laporan tahunan mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan positif signifikan antara CSR dan EVA.
Hipotesis alternatif terkait pengungkapan CSR dan EVA ialah sebagai berikut:
Ha1 : Tingkat pengungkapan CSR di dalam laporan keuangan berpengaruh secara signifikan pada nilai perusahaan yang diproksikan dengan Economic Value Added (EVA).
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan untuk tercapainya tujuan penelitian, maka model dari penelitian ini dengan variabel pengungkapan CSR dan EVA ialah sebagai berikut:
2. Market Value Added (MVA)
Selain EVA cara lain untuk mengukur nilai perusahaan ialah dengan menggunakan MVA yang merupakan perbedaan antara nilai pasar perusahaan (termasuk ekuitas dan hutang) dan total modal yang diinvestasikan (Young dan O’Byrne, 2000). Lee (1996) di dalam Utama dan Afriani (2005) menyatakan bahwa nilai perusahaan
PENGUNGKAPAN CSR
EVA
20 dapat dinyatakan sebagai penjumlahan dari total modal yang diinvestasikan ditambah nilai sekarang dari total EVA perusahaan di masa datang atau disebut MVA. Pengukuran MVA berdasarkan prediksi kinerja perusahaan di masa yang akan datang dan dapat dikatakan bahwa MVA merupakan present value dari EVA di masa yang akan datang (Young dan O’Byrne, 2000). MVA menurut Walbert (1994) di dalam Kim (2004) dipandang sebagai nilai kekayaan yang diciptakan manajemen perusahaan dari modal yang dipercayakan investor kepada manajemen. MVA yang positif mewakili nilai kekayaan perusahaan yang tercipta sedangkan MVA yang negatif menunjukkan jumlah modal yang telah dihancurkan manajemen. MVA konsisten dengan memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham karena merefleksikan risiko dan perkiraan net cash flow di masa depan (Kim, 2004).
Terdapat berbagai penelitian terkait dengan hubungan antara EVA dan MVA. Stern, Stewart dan Chen (1995) di dalam Kramer dan Pushner (1997) melaporkan bahwa perubahan EVA selama 5 tahun menjelaskan 50% perubahan di dalam MVA periode yang sama. Sementara Kramer dan Pushner menemukan bahwa perubahan MVA berhubungan negatif terhadap EVA. Namun, mereka menemukan bahwa perubahan MVA berhubungan positif terhadap NOPAT yang merupakan salah satu komponen untuk perhitungan EVA. Rousana (1997) melakukan penelitian terhadap 30 perusahaan terbuka di Bursa Efek Jakarta untuk periode penelitian 1989-1993 yang mewakili industri makanan dan minuman, industri tekstil, industri kertas dan pulp, industri semen, industri kabel, dan industri jasa perhotelan dan biro perjalanan serta properti. Hasil penelitian
21 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara EVA dan MVA atau dengan kata lain EVA independen terhadap MVA. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Dewanto (1998) di dalam Sartono dan Setiawan (1999). Dewanto melakukan penelitian di dalam periode penelitian yang berbeda dari Rousana yakni tahun 1994-1996 dan medapatkan kesimpulan bahwa EVA tidak berkorelasi secara signifikan terhadap MVA.
Verschoor (1998) dalam Wah (1999) menemukan hubungan yang kuat antara komitmen perusahaan dalam melaksanakan etika dan MVA perusahaan.
Verschoor membandingkan MVA 300 perusahaan di Amerika Serikat. Delapan puluh tujuh (87) perusahaan yang memasukkan hal-hal terkait kode etik di dalam laporan tahunan perusahaan, memiliki rata-rata MVA sebesar 8,1 miliar dollar Amerika Serikat atau 2,5 kali lebih besar dibandingkan perusahaan yang tidak menyebutkan kode etik atau melakukannya. 47 perusahaan yang menampilkan atau menjelaskan komitmennya terhadap etika secara lebih jauh atau lebih eksplisit bahkan memiliki rata-rata MVA yang jauh lebih besar yakni 10,6 miliar dollar Amerika Serikat atau hampir 3 kali lipat dibandingkan perusahaan yang tidak menjelaskan mengenai komitmen terhadap etika di dalam laporan perusahaan. Hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Mittal (2008) yang menemukan hubungan positif dan siginifikan antara CSR dan MVA selama tiga periode analisis. Melo (2009) melakukan penelitian mengenai dampak antara kinerja perusahaan berdasarkan penilaian pasar yang dalam hal ini diukur dengan MVA pada brand value dibandingkan dengan CSR.
22 Hasil penelitian menunjukkan bahwa brand value lebih sensitif terhadap CSR dibandingkan MVA.
Hipotesis alternatif untuk pengungkapan CSR dan MVA ialah:
Ha2 : Tingkat pengungkapan CSR di dalam laporan keuangan berpengaruh secara signifikan pada nilai perusahaan yang diproksikan dengan Market Value Added (MVA).
Terkait pengungkapan CSR dan MVA, berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan untuk tercapainya tujuan penelitian, maka model penelitian ialah sebagai berikut: