• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KAWAT SUPERKONDUKTOR BPSCCO DENGAN DOPAN Te MENGGUNAKAN TABUNG STAINLESS STEEL 316 DAN Ag DENGAN METODE PIT TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KAWAT SUPERKONDUKTOR BPSCCO DENGAN DOPAN Te MENGGUNAKAN TABUNG STAINLESS STEEL 316 DAN Ag DENGAN METODE PIT TESIS."

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KAWAT SUPERKONDUKTOR BPSCCO DENGAN DOPAN Te MENGGUNAKAN TABUNG STAINLESS STEEL 316 DAN Ag

DENGAN METODE PIT

TESIS

Oleh

ZEHAN YULIANA SITORUS 157026007/FIS

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(2)

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KAWAT SUPERKONDUKTOR BPSCCO DENGAN DOPAN Te MENGGUNAKAN TABUNG STAINLESS STEEL 316 DAN Ag

DENGAN METODE PIT

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Fisika pada Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ZEHAN YULIANA SITORUS 157026007/FIS

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(3)
(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Zehan Yuliana Sitorus

NIM : 157026007

Program Studi : Magister Ilmu Fisika Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan informasi kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif Free Right) atas Tesis saya yang berjudul :

Pembuatan dan Karakterisasi Kawat Superkonduktor BPSCCO dengan Dopan Te Menggunakan Tabung Stainless Steel 316 dan Ag dengan Metode

PIT

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non- Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, April 2018

NIM 157026007

Zehan Yuliana Sitorus

(5)

PERNYATAAN ORISINILITAS

Pembuatan dan Karakterisasi Kawat Superkonduktor BPSCCO dengan Dopan Te Menggunakan Tabung Stainless Steel 316 dan Ag dengan Metode

PIT

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, April 2018

NIM 157026007

Zehan Yuliana Sitorus

(6)

Telah diuji pada

Tanggal : 06 Februari 2018

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Perdinan Sinuhaji, MS

Anggota : 1. Dr. Agung Imaduddin, M.Eng 2. Dr. Kerista Tarigan, M.Eng,Sc 3. Dr. Syahrul Humaidi, M.Sc 4. Dr. Kurnia Sembiring, MS.

(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap berikut gelar : Zehan Yuliana Sitorus, S.Pd Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 16 Juli 1994

Alamat Rumah : Jl. Bajak II Gg Sekolah No. 269A Kec.Medan Amplas

E_mail : [email protected]

Telepon/Faks/Hp : 085275229938

DATA PENDIDIKAN

SD : SDN 101788 Medan Tamat : 2005

SMP : SMP Negeri 3 Medan Tamat : 2008

SMA : SMA Negeri 5 Medan Tamat : 2011

Strata-I : Universitas Negeri Medan Tamat : 2015

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT, Tuhan yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tak lupa

shalawat beriring salam penulis hantarkan kejujungan Rasulullah, Muhammad SAW, yang menuntunmanusia menuju

jalan penuh cahaya ilmu seperti saat ini.

Tesis ini penulis persembahkan untuk Mama Rasmiani Saragih dan Ayah Ambrosius Sitorus tercinta.

(9)

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. Mhum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara – Medan.

2. Dr. Kerista Sebayang, MS, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara – Medan sekaligus selaku pembimbing I saya yang telah banyak memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan tesis.

3. Dr. Kurnia Sembiring, MS., selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Fisika Universitas Sumatera – Medan sekaligus pembanding yang banyak memberikan masukan dalam menyelesaikan tesis.

4. Dr. Krista Tarigan, M.Eng, Sc., selaku Wakil Ketua Program Studi Pascasarjana Fisika Universitas Sumatera – Medan sekaligus pembanding yang banyak memberikan masukan dalam menyelesaikan tesis.

5. Dr. Agung Imaduddin, M.Eng, selaku pembimbing II dan pembimbing lapangan di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI Serpong yang telah banyak memberikan bimbingan selama melakukan penelitian dan menyelesaikan tesis.

6. Pius Sebleku, ST., selaku pembimbing lapangan di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI Serpong yang telah banyak memberikan bimbingan selama melakukan penelitian.

7. Satrio Herbirowo, M.Eng; Hendrik, M.Eng.Sc; Sigit Dwi Yudanto, M.Si;

dan Septian Adi Candra, ST. selaku pembimbing lapangan di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI Serpong yang memberikan bimbingan selama melakukan penelitian.

8. Dr. Ing. Andika W. Pramono, M.Sc selaku kepala Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI Serpong, Dr. Ika Kartika, S.T., M.T.

selaku Kepala Bidang Diseminasi dan Pengelolaan Hasil Penelitian - Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI Serpong, Pak Heri, Mba Nisa selaku operator SEM EDS, Pak Nauh dan Pak Syarifuddin selaku security P2MM yang banyak berjasa saat lembur hingga larut malam di laboratorium, serta seluruh karyawan Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI Serpong yang berjasa dalam pelaksanaan penelitian.

9. Nur Ikhwan selaku operator XRD di Teknologi Sistem Kebumian (Geostech) BPPT – Puspiptek Serpong.

10. Pak Juni selaku operator rolling machine di Laboraorium Logam Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) – Institut Teknologi Bandung.

11. Saudara kandung saya, Gustami Sitorus, Kakak Ipar Saya Fatma Chairiah dan kedua keponakan lucu saya Inayah dan Eca yang menjadi salah satu penyemangat buat saya.

12. Ibu Neneng dan Teh Lina Mariani, A.Md atas perhatian dan kasih sayang sebagaimana ibu dan saudara kandung selama melakukan penelitian di Tangerang Selatan.

(10)

13. Teman seperjuangan, Cindy Al Kindi Saragih, M.Si; Hilda Ayu, M.Si; dan Hariyati Lubis, M.Si atas semua perjalanan yang dilalui bersama selama menyelesaikan magister sains (fisika).

14. Untuk Pasangan saya yang sangat saya sayangi Khairizar Sapwan, S.Si yang selalu memberikan semangat dan perhatian kepada saya agar segera menyelesaikan Tesis ini.

15. Untuk sahabat kesayangan saya Yuni Delniza, S.Pd yang selalu menjadi pendengar setia saya yang baik.

16. Untuk teman – Teman Magister Ilmu Fisika 2016 Bg Adi, Mutia, Bg Irwanto, Sari, Heryani, dll yang selalu memberikan nasihat agar saya segera cepat selesai

17. Seluruh keluarga, saudara, dan teman - teman yang senantiasa mendukung dan mendoakan kelancaran penelitian dan penyelesaian tesis.

Dalam penulisan tesis ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan masukan pembaca demi kesempurnaan tesis ini sangat diharapkan. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Medan, Januari 2018

Zehan Yuliana Sitorus

(11)

Pembuatan dan Karakterisasi Kawat Superkonduktor BPSCCO dengan Dopan Te Menggunakan Tabung Stainless Steel 316 dan Ag

dengan Metode PIT

ABSTRAK

Pembuatan dan karakterisasi kawat superkonduktor BPSCCO dengan dopan Te menggunakan tabung stainless steel 316 (SS316) dan Ag dengan metode Powder In Tube telah dilakukan. Proses Pembuatan terdiri dari preparasi bahan, proses perlakuan panas, dan penarikan kawat. Proses Pembuatan kawat superkonduktor ini dilakukan dengan menggunakan metode PIT (Powder In Tube). Pembuatan Kawat BPSCCO dengan dopan Te menggunakan tabung Ag dilakukan secara insitu dimana proses sintering dilakukan setelah serbuk BPSCCO dengan dopan Te dimasukkan ke dalam tabung, sedangkan Pembuatan kawat BPSCCO dengan dopan Te menggunakan tabung Stainless Steel 316 terdiri dari 3 pembuatan , pada Pembuatan I dan II dilakukan secara insitu, namun pada Pembuatan III dilakukan secara exsitu dimana proses sintering dilakukan setelah serbuk BPSCCO dengan dopan Te dimasukkan ke dalam tabung. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kawat superkonduktor dengan suhu kritis (Tc) yang tinggi dan dapat menggantikan kawat konvensional serta penggunaan tabung SS316 dapat menggantikan tabung Ag karena harga SS316 yang jauh lebih terjangkau. Karakterisasi pada sampel dilakukan menggunakan cryogenic untuk menentukan suhu kritis (Tc), XRD untuk melihat fasa yang terbentuk, dan SEM EDS untuk melihat morfologi pada permukaan sampel.

Dari hasil yang diperoleh, kawat superkonduktor dengan tabung Ag memiliki sifat superkonduktifitas dengan Tc onset 84 K dan Tc zero 64,7 K serta fasa yang terbentuk yaitu (Bi,Pb)-2212. Pembuatan kawat superkonduktor BPSCCO dengan dopan Te menggunakan tabung SS316 masih belum dapat menggantikan tabung Ag.

Penggunaan tabung SS316 masih hanya terbentuk Tc onset dengan Tc onset tertinggi 72 K. Selain itu, penggunaan tabung SS316 juga meningkatkan porositas.

Terbentuknya fasa impurity seperti CaTeO4 dan CuO menjadi penyebab belum terbentuknya fasa (Bi,Pb)-2212 ataupun (Bi,Pb)-2223 pada Pembuatan kawat BPSCCO dengan dopan Te menggunakan tabung SS316.

Kata kunci : Ag, Stainless steel 316, kawat superkonduktor BPSCCO, Powder In Tube.

(12)

Preparation and Characterization of Superconducting Wire BPSCCO with Dopant Te Using Stainless Steel 316 and Ag Tubes

with PIT method

ABSTRACT

Preparation and characterization of superconducting wire with dopant Te BPSCCO using stainless steel 316 and Ag tubes by Powder In Tube method has been done.

Process consists of the preparation of materials, heat treatment process, and wire drawing. The process of making superconducting wire is done by using PIT (Powder In Tube). Making Wire BPSCCO with dopant Te using the tube Ag conducted in situ where the sintering process carried out after the powder BPSCCO with dopants Te inserted into the tube, while the manufacture of wire BPSCCO with dopant Te using the Stainless Steel 316 tube consists of 3 manufacture, the manufacture of I and II do insitu, but in Preparation III carried exsitu wherein the sintering process is done before BPSCCO powder with dopant Te inserted into the tube. This study aims to obtain a superconducting wire with a critical temperature (Tc) is high and can replace conventional wires and using SS316 tube can replace Ag tube because the prices are much more affordable SS316. Characterization of the samples was done using cryogenic to determine the critical temperature (Tc), XRD to see the phases formed, and SEM EDS for the morphology of the sample. From the results obtained, the superconducting wire with Ag tubes have properties onset Tc superconductivity with Tc 84 K and 64.7 K zero and formed phase of (Bi, Pb) -2212. Manufacture of superconducting wire with dopant Te BPSCCO using SS316 tube still can not replace the Ag tube. The use of tubes SS316 still only formed Tc onset with high onset Tc 72 K in addition, use SS316 tube also increases porosity. The formation of impurity phase such as CaTeO4 and the cause has not been established CuO phase (Bi, Pb) - 2212 or (Bi, Pb) -2223 on wire Manufacture BPSCCO with Te dopants using SS316 tube.

Keywords: Ag, 316 Stainless steel, BPSCCO, superconducting wires, the critical temperature, Powder In Tube, Te, Cryogenic.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Batasan Penelitian 3

1.3 Rumusan Masalah 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Sejarah Superkonduktor 5

2.2 Efek Mesissner 7

2.3 Temperatur Transisi 11

2.4 Superkonduktor Temperatur Kritis 12

2.4.1 Superkonduktor Suhu Rendah 12

2.4.2 Superkonduktor suhu tinggi 12

2.5 Bahan Superkonduktor Material Basis-Bi 14

2.6 Superkonduktor Berbasis Bi-Sr-Ca-Cu-O 15

2.6.1 Struktur Kristal 15

(14)

2.6.2 Diagram Fasa 17

2.7 Bahan Superkonduktor BSCCO 18

2.8 Dopan pada Superkonduktor 18

2.9 BSCCO untuk Aplikasi Industri Energi 19

2.10 Selubung Tabung Ag 21

2.11 Selubung Tabung Stainless Steel 316 22

2.11.1 Sifat Karakterisasi SS316 22

2.12 Karakterisasi Kawat Superkonduktor 25

2.12.1 Uji SEM EDS 25

2.12.2 Uji Cryogenic Magnet 26

2.12.3 Difraksi Sinar-X (XRD) 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 28

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 28

3.1.1 Tempat Penelitian 28

3.1.2 Waktu Penelitian 28

3.2 Peralatan dan Bahan 28

3.3 Tahapan Penelitian 30

3.3.1 Penimbangan Bahan 30

3.3.2 Kalsinasi 31

3.3.3 Sintering 31

3.3.4 Karakterisasi 31

3.3.5 Diagram Alir Pembuatan Kawat 32

superkonduktor dengan tabung SS316

3.3.5.1 Pembuatan 1 (In Situ) 33

3.3.5.2 Pembuatan 2 (In Situ) 34

3.3.5.3 Pembuatan 3 (Ex Situ) 34

3.3.6 Diagram Alir Pembuatan Kawat 36

(15)

Superkonduktor dengan Tabung Ag

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 38

4.1 Pengujian Suhu Kritis 38

4.1.1 Suhu Kritis (Tc) pada Pembuatan Kawat BPSCCO 38 dengan dopan Te diselubungi SS316

4.1.1.1 Pembuatan I 38

4.1.1.2 Pembuatan II 39

4.1.1.3 Pembuatan III 41

4.1.2 Suhu Kritis (Tc) pada Pembuatan Kawat BPSCCO 43 dengan dopan Te yang diselubungi Ag

4.2 Pengujian XRD 47

4.2.1 Analisis Fasa Kawat Superkonduktor 48 dengan Dopan Te Diselubungi SS316 dengan XRD

4.2.2 Analisis Fasa Kawat BPSCCO dengan 49

Dopan Te yang diselubungi Ag menggunakan XRD

4.3 Hasil Pengujian SEM EDS 52

4.3.1 Pengamatan Morfologi Pada Kawat 52

BPSCCO Dopan Te Diselubungi SS316

4.3.2 Pengamatan Morfologi Pada Kawat 54

BPSCCO Dopan Te Diselubungi Ag

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 60

5.1 Kesimpulan 60

DAFTAR KEPUSTAKAAN 61

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Suhu Kritis Superkonduktor suhu rendah 12

Tabel 2.2 Suhu Transisi Superkonduktor 13

Tabel 2.3 Melting Range for A Number Of Austenitic 23 Stainless Steels

Tabel 2.4 Komposisi kimia (wt%) 24

Tabel 3.1 Alat Penelitian 29

Tabel 3.2 Bahan Penelitian 29

Tabel 3.3 Tabel Jenis - Jenis Tabel 30

Tabel 3.4 Kuantitas bahan dasar dalam satuan gr 31 Tabel 4.1 Hasil Pengujian Suhu kritis Pembuatan I 39 Tabel 4.2 Hasil Pengujian Suhu kritis Pembuatan II 40 Tabel 4.3 Pengujian Cryogenic pada Pembuatan III 43 Tabel 4.4 Pengujian Suhu kritis kawat BPSCCO pada 44 tabung Ag

Tabel 4.5 Perbandingan fraksi volume 51

Tabel 4.6 Perbandingan ukuran kristal 52

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hasil dari plot original Resistansi Listrik dan Temperatur oleh 5 Kamilingh Onnes (1911)

Gambar 2.2 Pengaruh Temperatur terhadap resistamsi terhadap logam 6 superkonduktor dan variasi resistansi dari konduktor dan

semikonduktor terhadap temperatur

Gambar 2.3 Kurva induksi Normal 9

Gambar 2.4 Kurva Histerisis Magnet 9

Gambar 2.5 Skematik dari pengaplikasian medan Ha dan Densitas Fluks 10 Magnetik B dalam Percobaan FC dan ZFC

GambR 2.6 Penurunan resistansi untuk superkonduktor suhu tinggi 11 Gambar 2.7 Struktur kristal Sistem BSCCO

Gambar 2.8 Diagram suhu versus konsentrasi (skematis) 17

Gambar 2.9 Diagram Skematik Proses PIT 20

Gambar 2.10 Struktur kristal FCC 22

Gambar 4.1 Pengaruh resistansi terhadap temperatur pada sampel C5 40 Gambar 4.2 Pengaruh resistansi terhadap temperatur pada sampel D5 40 Gambar 4.3 Pengujian Efek Meissner dalam bentuk pelet BPSCCO 42 Gambar 4.4 Pengaruh resistansi terhadap temperatur pada sampel H5 43 Gambar 4.5 Pengaruh resistansi terhadap temperatur pada sampel A4 45 Gambar 4.6 Pengaruh resistansi terhadap temperatur pada sampel F4 45 Gambar 4.7 Pengaruh resistansi terhadap temperatur pada sampel B4 46 Gambar 4.8 Pengaruh resistansi terhadap temperatur pada sampel G4 47

Gambar 4.9 Pola difraksi sampel D5 48

Gambar 4.10 Hasil XRD sampel referensi atau tanpa dopan dan sampel dengan 49 dopan Te

(18)

Gambar 4.11 Morfologi sampel D5 53

Gambar 4.12 Morfologi Sampel A4 54

Gambar 4.13 Mapping sampel A4 menggunakan SEM 55

Gambar 4.14 Morfologi sampel B4 56

Gambar 4.15 Mapping sampel B4 menggunakan SEM 57

Gambar 4.16 Morfologi sampel F4 58

Gambar 4.17 Mapping sampel F4 menggunakan SEM 59

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Superkonduktor merupakan material yang dapat mengalirkan arus listrik tanpa adanya hambatan (ρ = 0), sehingga dapat menghantarkan arus listrik tanpa kehilangan daya sedikitpun. Gejala superkonduktivitas pertama kali ditemukan oleh H.K Onnes pada tahun 1911 dengan mendinginkan merkuri (Hg) menggunakan helium cair. H.K Onnes menemukan pada temperatur 4,2 K hambatan listrik Merkuri menurun dari 0,03 Ω menjadi 3 x 10-6

Superkonduktor sistem bahan dasar Bi-Sr-Ca-Cu-O ditemukan oleh (Maeda et al. 1998). Berdasarkan penelitian yang dilakukannya teridentifikasi bahwa superkonduktor BSCCO memiliki 3 fasa yaitu fasa 2201, fasa 2212, dan fasa 2223 dan memiliki suhu kritis masing – masing 10 K, 80 K, dan 110 K. BSCCO ini memiliki sifat mekanik yang bagus sehingga mudah dibentuk, tidak mudah patah, tidak beracun dan dapat dikembangkan untuk pembuatan lapisan tipis. Fase 2223 paling potensial untuk aplikasi dibandingkan dengan fasa – fasa lainnya karena suhu kritisnya tinggi (Purwati, 2002).

Ω. Teknologi superkonduktor mulai berkembang pesat sejak ditemukannya superkonduktor suhu kritis tinggi pada tahun 1986. Suhu kritis tinggi adalah berupa bahan oksida atau keramik yang berinduk pada senyawa kuprat (Cu-O) dengan komposisi kimiawi yang multi komponen. Bahan ini telah banyak dikembangkan dalam aplikasi teknologi yang bervariasi luas, mulai dari aplikasi piranti elektronik, transmisi daya berkapasitas besar, peralatan yang menggunakan medan magnet berkekuatan tinggi, sampai dengan berbagai peralatan teknik yang menggunakan efek levitasi magnetik (Nurmalita, 2013).

Penambahan (doping) Pb pada superkonduktor system BSCCO dalam sintesis superkonduktor system bismuth, selain memudahkan pembentukan senyawa

(20)

bersangkutan dengan tingkat kemurnian fase yang tinggi, juga berperan menentukan sifat senyawa yang dihasilkan. Karena kemiripan ukuran ion dan valensi dari atom Pb, maka penambahan Pb sebagai doping menghasilkan substitusi atom Bi oleh atom Pb pada lapisan ganda Bi-O (Ningrum, 2006).

Sampel superkonduktor BSCCO 2212 yang di doping Tellurium dengan rumus kimia Bi2xTexSr2CaCu2O8mempengaruhi mikrostruktur dari sampel. Pada konsentrasi Te yang rendah, kepadatan permukaan dan konektivitas butir lebih tinggi.

Pergantian Bi3+ oleh Te4+ di fase 2212 pada konten Te yang tinggi, fase 2212 berubah ke fase 2201 didorong oleh pembentukan fase CaTeO4

Suhu sintering optimal adalah sekitar 845

dalam sampel. Doping Ion Te dapat meningkatkan mobilitas beberapa kekosongan oksigen disekitarnya yang membuat beberapa perubahan karakteristik pada suhu yang rendah (Sekkina. 2011).

Pada metode doping rangkap Pb dan Te yang mensubstitusikan Bi dapat menekan pertumbuhan kristal dari whisker BPSCCO. Doping rangkap Pb dan Te dapat bertindak sebagai katalisator untuk mendorong dekomposisi fase BSCCO atau membentuk kontak isolasi (Yamaki. 2013).

0C, yang merupakan nilai kepadatan tertinggi dan fraksi volume tertinggi Bi-2223 berdasarkan hasil XRD. Selain itu, hasil XRD menunjukkan bahwa dengan meningkatnya suhu sintering hingga 8450C, fraksi fase Bi-2212 menurun. Hasil SEM menunjukkan bahwa morfologi permukaan sampel ditingkatkan dengan peningkatan temperatur sintering sampai 845 Β°C (Kocabas et al.2009). Diketahui bahwa peningkatan suhu sintering efektif dalam mengkontrol butiran morfologi dan grains coupling untuk meningkatkan sifat superkonduktor seperti Tc, Jc dan Fp

Sejak ditemukannya superkonduktor BPSCCO suhu tinggi, banyak upaya telah dilakukan untuk menyiapkan kawat superkonduktor dengan kinerja yang lebih baik. Di antara banyak teknik, Powder In Tube (PIT) telah diakui baik untuk meningkatkan kerapatan arus kritis pada suhu kritis tinggi. Metode PIT menggunakan selubung Ag banyak diterapkan oleh peneliti untuk mencapai kapasitas arus tinggi dengan suhu kritis yang tinggi. Ag telah diterima oleh para riset sebagai bahan

( Sharmaet al.2013 ).

(21)

selubung yang disukai karena tidak beracun. Ag sebagai material selubung bermanfaat dalam menurunkan dan memperluas proses suhu yang optimal dan permeabilitasnya terhadap oksigen. Ini berarti bahwa dalam setiap teknik, proses PIT yang meningkatkan area antarmuka perak menjadi keramik mengurangi tidak homogeny dari mikrostruktur di dalam inti dan dapat meningkatkan tekstur keseluruhan dan konektivitas butir (Aloysius.2002).

Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan penelitian dengan judul

β€˜Perbandingan Penggunaan Tabung SS316 dan Ag pada Pembuatan Kawat Superkonduktor BPSCCO Dopan Te Menggunakan Metode PIT”.

1.2 Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bahan superkonduktor BPSCCO fase 2223 yang berasal dari Bismuth Oksida, Timbal Oksida, Stronsium Carbonat, Calsium Carbonat dan Cooper Carbonat yang Di doping dengan Tellurium dan diselubungi oleh Ag dan Stainless Steel 316 dengan menggunakan metode Powder In Tube (PIT). Kemudian dilakukan pengujian Resistivitas dengan alat Cryogenic, SEM dan XRD.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dituliskan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pembuatan kawat superkonduktor BPSCCO fasa 2223 dopan Te menggunakantabung SS316dan Ag dengan metode PIT ?

2. Bagaimana pengaruh dopan Te terhadap pembentukan superkonduktor BPSCCO fasa 2223 menggunakan dengan tabung SS316 dan Ag?

3. Bagaimana perbandingan penggunaan tabung SS316 dan Ag pada pembuatan kawat superkonduktor?

(22)

1.4 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk membuat dan mengetahui karakteristik kawat superkonduktor BPSCCO dan tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Membuat kawat superkonduktor BPSCCO fasa 2223 dopan Te menggunakan tabung SS316 dan Ag dengan metode PIT

2. Mengetahui pengaruh penambahan dopan Te terhadap suhu kritis yang dihasilkan dari Pembuatan kawat BPSCCO

3. Menentukan pengaruh jenis tabung yang digunakan (yaitu SS316 dan Ag) terhadap suhu kritis yang dihasilkan dari Pembuatan kawat superkonduktor BPSCCO dengan dopan Te

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Memberikan informasi tentang karakteristik kawat superkonduktor BPSCCO fasa 2223 dopan Te menggunakan tabung SS316 dan Ag dengan metode PIT

2. Dapat digunakan dalam pengembangan superkonduktor di masa yang akan datang

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Superkonduktor

Suatu bahan superkonduktor merupakan material yang dapat menghantarkan arus listrik tanpa adanya hambatan, sehingga dapat mengalirkan arus listrik tanpa kehilangan daya sedikitpun. Awal 1990an, beberapa saat setelah Kamerlingh Onnes menemukan bagaimana cara mencairkan helium, dia mulai menyelidiki tentang resistansi listrik dari logam murni pada temperatur rendah. Pada waktu itu, belum diketahui bagaimana karakteristik resistansi listrik pada temperatur rendah. Prediksi berkisar dari hambatan listrik yang turun secara linear dengan suhu mendekati nol, menghilangkan beberapa nilai resistansi sisa, atau mulai meningkatkan beberapa titik karena mekanisme hamburan elektron lainnya. Salah satu logam paling murni yang tersedia saat itu adalah merkuri. Pada 1911, Kamerlingh Onnes mengukur hambatan listrik merkuri murni sebagai sebagai fungsi temperatur saat ia menemukan bahwa resistansi merkuri tiba-tiba turun ke nol di bawah 4 K (De Bruyn Ouboter et al. 2012;

Kamerlingh Onnes. 1911).

(24)

Gambar 2.1 Hasil dari Plot Original Resistansi Listrik Hg Versus Temperatur oleh Kamirlingh Onnes (1911)

Pada Gambar 2.1 menunjukkan plot original resistansi listrik Hg (merkuri) versus temperatur yang ditemukan oleh Onnes, dimana pada gambar tersebut menunjukkan kurva karakteristik material superkonduktor. Berbeda dengan material lainnya (seperti konduktor dan semikonduktor), pada material superkonduktor resistansi turun secara tiba – tiba menuju nol. Perbedaan hubungan resistivitas terhadap temperatur pada material superkonduktor, semikonduktor, dan konduktor ditunjukkan pada Gambar 2.2 sebagai berikut.

(25)

Gambar 2.2(a) Pengaruh Temperatur terhadap Resistansi terhadap Logam dan superkonduktor Hg (Puri, 2008) dan (b) Variasi Resistansi dari Konduktor dan Thermistor (Semikonduktor) terhadap Temperatur (Kaufman, 1984).

Pada gambar 2.2 (a) menunjukkan bahwa hubungan resistansi dengan temperatur untuk material superkonduktor dan konduktor. Dimana kurva superkonduktor dengan bahan Hg yang telah diselidiki Onnes, menunjukkan bahwa resistansi turun secara tiba-tiba mencapai 0 ohms pada suhu 4.2 K. Sedangkan pada material konduktor normal (biasa) terlihat bahwa pada suhu 0 K resistansi sekitar 0.1 ohms (Puri, 2008). Sedangkan pada gambar 2.2 (b) menunjukkan hubungan resistansi terhadap suhu pada material thermistor (yang merupakan material semikonduktor) dan konduktor, dimana material semikonduktor memiliki karakteristik yang sangat sensitif terhadap perubahan temperatur dan menyebabkan resistansinya tidak linear (Kaufman, 1984).

Bahan superkonduktor bertambah terus sejak ditemukannya superkonduktor keramik oleh (Bednorz dan MΓΌller, 1986), Maeda menemukan superkonduktor sistem bahan dasar Bi-Sr-Ca-Cu-O (Maeda et al. 1998) masih merupakan salah satu bahan superkonduktor yang paling banyak dikaji oleh para ahli. Bahan ini memiliki suhu kritis (Tc) sekitar 110 K, yang terletak di antara Tc dari bahan baku YBCO 93 K, dan sistem Tl-Ba-Ca-Cu-O 125 K (Sheng et al. 1988). Bahan ini juga dikenal lebih stabil dari YBCO, tidak memerlukan pengendalian kadar oksigen dan tidak beracun seperti

(26)

sistem yang mengandung bahan Tl. Dengan tidak adanya hambatan, maka arus dapat mengalir tanpa kehilangan energi.

Permasalahan yang ditemukan dalam superkonduktor berbasis bismuth ini adalah upaya peningkatan suhu kritis dan memperkecil tingkat kerapuhan materialnya. Karena itu, diupayakan cara untuk meningkatkan suhu kritis melalui berbagai variasi suhu pada saat pembentukan superkonduktor dan variasi proses pendinginan material superkonduktor ketika berada di dalam tungku pemanas (Abbas, etal. 2012).

2.2 Efek Meissner

Pada 1933, Meissner dan Ochensenfield (1933) mulai menyelidiki sifat magnet dari superkonduktor tipe I. Mereka menemukan bahwa ketika superkonduktor didinginkan dalam aplikasi medan magnet stabil H, kemudian pada temperatur transisi superkonduktivitas Tc, garis-garis medan magnet dikeluarkan dan superkonduktor berperilaku seperti diamagnetik sempurna dengan magnetisasi M = - H/4Ο€ atau M = - H (cgs/mks). Tipe dari pengukuran magnetisasi ini menunjukkan percobaan field-cooled (FC) dan skemanya ditunjukkan pada gambar 2.4 (kiri).

Perilaku ini jauh berbeda dabandingkan percobaan zero-field-cooled (ZFC) dan tidak dapat dijelaskan hanya dengan asumsi bahwa superkonduktor merupakan konduktivitas sempurna (bergerak bebas yang tak berbatas). Sebaliknya, efek Meissner menyatakan bahwa flux density B dalam material diidentifikasikan nol (B=0) untuk temperatur di bawah Tc

𝐡𝐡� = πœ‡πœ‡0(𝐻𝐻� + 𝑀𝑀�) = 0 (2.1)

. Gejala efek Meissner pada superkonduktor dinyatakan oleh Persamaan 2.1

dengan, 𝐡𝐡�: induksi magnet (Weber/Ampere) 𝐻𝐻�: medan magnet luar (Ampere/meter) 𝑀𝑀�: magnetisasi bahan (Ampere/meter)

πœ‡πœ‡0: permeabilitas ruang hampa (4Ο€ Γ— 10βˆ’7Weber/Ampere.meter)

(27)

Pada bahan anisotropik linier besarnya magnetisasi adalah :

𝑀𝑀� = πœ’πœ’π‘šπ‘šπ»π»οΏ½ (2.2)

dengan, πœ’πœ’π‘šπ‘š: suseptibilitas magnetik bahan superkonduktor (πœ’πœ’π‘šπ‘š= -1) dinamakan keadaan diamagnetisme sempurna.

Substitusi Persamaan (2.1) ke Persamaan (2.2), maka diperoleh : 𝐡𝐡� = πœ‡πœ‡0(𝐻𝐻� + 𝑀𝑀�)

𝐡𝐡� = πœ‡πœ‡0(𝐻𝐻� + πœ’πœ’π‘šπ‘šπ»π»οΏ½) 𝐡𝐡� = πœ‡πœ‡0𝐻𝐻� + πœ‡πœ‡0πœ’πœ’π‘šπ‘šπ»π»οΏ½

𝐡𝐡� = πœ‡πœ‡0(1 + πœ’πœ’π‘šπ‘š)𝐻𝐻�

𝐡𝐡� = πœ‡πœ‡0(1 + (βˆ’1)𝐻𝐻�

𝐡𝐡� = πœ‡πœ‡0(1 βˆ’ 1)𝐻𝐻�

𝐡𝐡� = πœ‡πœ‡0𝐻𝐻� (0)

𝐡𝐡� = 0 (2.3)

Hubungan antara induksi magnetik (B) pada suatu material dengan medan magnetik yang menimbulkan (H) ditunjukkan oleh kurva histerisis. Kurva histerisis diperoleh dengan cara memberikan medan magnetik yang besar pada suatu arah kemudian diperkecil hingga menuju nol dan selanjutnya dibalikkan pada arah yang berlawanan. Bentuk umum kurva induksi magnet (B) sebagaifungsi medan magnet yang menimbulkannya (H) terlihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.3 Kurva Induksi Normal

(28)

Gambar 2.3menunjukkan kurva tidak berbentuk garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara B dan H tidak linier. Dengan kenaikan harga H, mula-mula B turut naik dengan lancar, tetapi mulai dari satu titik tertentu harga H hanya menghasilkan sedikit kenaikan B dan makin lama B hampir konstan. Keadaan ini disebut dengan kedaan saturasi, yaitu keadaan di mana medan magnet B tidak banyak berubah. Harga medan magnet untuk keadaan saturasi disebut dengan Bs atau medan magnet saturasi. Bila sudah mencapai saturasi intensitas magnet (H) diperkecil ternyata harga B tidak terletak pada kurva semula. Pada harga H = 0, induksi magnet atau rapat fluks B mempunyai harga B β‰  0. Harga Br ini disebut dengan induksi remanen atau remanensi bahan. Kurva histerisis magnet ditunjukkan pada Gambar 2.5 berikut.

Gambar 2.4 Kurva Histerisis Magnet

Bila setelah mencapai nol harga intensitas magnet H dibuat negatif (dengan membalik arus pada lilitan), kurva B-vs-H akan memotong sumbu H pada harga - Hc.

Intensitas Hc inilah yang diperlukan untuk membuat rapat fluks B=0 atau menghilangkan fluks dalam bahan.

(29)

Gambar 2.5 Skematik Perilaku dari Pengaplikasian Medan Ha dan Densitas Fluks Magnetik B dalam Percobaan Field-Cooled (FC) dan Zero-Field-Cooled (ZFC) Superkonduktor Tipe I dan Material Non-Superkonduktor dengan Konduktivitas Sempurna. Dimana Percobaan ZFC (a οƒ  b), Mengikuti Aplikasi dari Medan Magnet Ha

(Disesuaikan dari Rose-Innes Rhoderick (1978, hal.18 dan 20)

(c) dan Penghilangan Medan Magnet (d), Ditandai oleh Superkonduktivitas

Jika superkonduktor hanya merupakan konduktor sempurna dengan konduktivitas tak terbatas (Οƒ = ∞) dan didinginkan dibawah Tc dengan kehadiran medan magnet dalam keadaan stabil H, dimana tidak ada fluks magnet yang keluar (B = 0) pada Tctertentu dengan dH/dt.Konduktor sempurna didinginkan pada keadaan dasar medan magnet pada keadaan stabil dan Tc tidak akan terjadi. Namun, di sisi lain konduktor sempurna telah didinginkan di medan magnet nol kemudian medan magnet yang diterapkan (yaitu dH/dt > 0), maka konduktor sempurna tersebut akan menolak fluks.

Percobaan magnetisasi jenis ini disebut sebagai ZFC dan secara skematis ditunjukkan pada gambar 2.6 (kanan). Dengan demikian, diamgnetisme yang sempurna diamati dari efek Meissner dengan eksperimen magnetisasi FC yang ditandai oleh superkonduktivitas.

(30)

2.3 Temperatur Transisi

Meskipun transisi teoritis dari normal ke keadaan superkonduktor sangat tajam, terkadang eksperimental terjadi secara bertahap dan terkadang tiba-tiba.

Gambar 2.5 menunjukkan penurunan bertahap resistivitas pada Tc yang dilaporkan oleh Bednorz dan MΓΌller (1986) pada terbitan artikel pertama tentang superkonduktor baru. Kita lihat dari angka ini bahwa suhu sekitar 37 di mana resistivitasnya berubah dari nilai keadaan normalnya menjadi nol yang sebanding dengan suhu transisi.

Gambar 2.6 Penurunan resistansi menuju nol untuk superkonduktor suhu tinggi (Bednorz dan MΓΌller,1986).

Fasa pada umumnya memiliki keterbatasan lebar, dan pendekatan yang Untuk mendefinisikan suhu kritis Tc dimana titik tersebut berubah secara cepat dari fasa lama ke fasa baru, eksponen kritis terletak mendekati suhu kritis Tc. Terjadinya superkonduktivitas sangat penting dari sudut pandang fisika karena menunjukkan superkonduktor pada daerah sedang terbentuk, yakni hambatan mendekati, medan magnetic sama dengan nol sehingga bisa menghasilkan arus yang besar dengan merekayasa material superkonduktor tersebut.

(31)

2.4 Superkonduktor Berdasarkan Temperatur Kritis 2.4.1 Superkonduktor Suhu Rendah

Superkonduktor suhu rendah merupakan superkonduktor yang memiliki suhu kritis di bawah suhu nitrogen cair (77K). Sehingga untuk memunculkan superkonduktivitasnya digunakan helium cair sebagai pendingin (Windartun, 2008).

Tabel 2.1 Suhu Kritis Superkonduktor Suhu Rendah

Material Tc (K) Tc (Β°C)

Hg 4.2 -268.9

Pb 7.2 -265.8

Nb 9.2 -263.8

NbN0.96 15.2 -257.8

Nb3Sn 18.1 -254.9

Nb3(Al3/4Ge1/4) 20-21 -(253-252)

Nb3Ga 20.3 -252.7

Nb3Ge 23.2 -249.8

BaxLa5-xCu5Oy 30-35 -(243-238)

(La0.9Ba0.1)2CuO4-𝜹𝜹 52 -221

(Poole, dkk. 2014)

2.4.2 Superkonduktor Suhu Tinggi

Suhu tinggi-Tc superkonduktor dimulai di tahun 1986 ketika Bednorz dan Muller menemukan fakta tentang superkonduktor pada suhu sekitar 30 K dalam keramik La- Ba-Cu-O.

(32)

Tabel 2.2 Suhu Transisi Superkonduktor Berdasarkan Tahun Penemuan

Material TC (K) TC ( 0C) Tahun

Hg 4.1 -268.9 1911

Pb 7.2 -265.8 1913

Nb 9.2 -263.8 1930

NbN0.96 15.2 -257.8 1950

Nb3 Sn 18.1 -254.9 1954

Nb3(Al3/4 Ge ΒΌ) 20-21 -(253-252) 1966

Nb3 Ga 20.3 -252.7 1971

Nb3Ge 23.2 -249.8 1973

Bax La 5-x Cu5Oy 30-35 -(243-238) 1986

(La 0.9 Ba0.1 )2 CuO4-Ξ΄ 52 -221 1986

YBa2 Cu3O7- Ξ΄ 95 -178 1987

Bi2Sr2 Ca2 Cu3 O10 110 -163 1988

TI2Ba2Ca2Cu3O10 125 -148 1988

TI2Ba2Ca2Cu3O10 at 7 Gpa 131 -142 1993

HgBa2Ca2Cu3 O8+ Ξ΄ 133 -140 1993

HgBa2Ca2Cu3 O8+ Ξ΄ at 25 155 Gpa

-118 1993

Hg0.8 Pb 0.2 Ba2Ca2Cu3Ox 133 -140 1994 HgBa2Ca2Cu3O8+ Ξ΄ at 10 164

GPa

-109 1994

(Poole, et.al.2014)

Penemuan yang luar biasa terbarukan yang sangat menarik mengenai superkonduktor ditemukan. Ditahun 1987, kelompok di Universitas Alabama dan Houston oleh M. K. Wu dan P. W. Chu, ditemukannya superkonduktor Y-Ba-Cu-O pada suhu 93 K. Ditahun 1988 Bi-TI basis superkonduktor ditemukan memiliki suhu kritis Tc = 110 dan 125 K. Tahun 1993 Hg-sebagai basis superkonduktor dengan suhu kritis Tc = 135 K (ketika tekanan diperbesar maka suhu kritis Tc dapat mencapai 164 K) (Poole,et al. 2014).

(33)

Penemuan yang luar biasa terbarukan yang sangat menarik mengenai superkonduktor ditemukan. Ditahun 1987, kelompok di Universitas Alabama dan Houston oleh M. K. Wu dan P. W. Chu, ditemukannya superkonduktor Y- Ba-Cu-O pada suhu 93 K. Ditahun 1988 Bi-TI basis superkonduktor ditemukan memiliki suhu kritis Tc = 110 dan 125 K. Tahun 1993 Hg-sebagai basis superkonduktor dengan suhu kritis Tc = 135 K (ketika tekanan diperbesar maka suhu kritis Tc dapat mencapai 164 K) (Poole,et.al 2014).

2.5 Bahan Superkonduktor Material Basis-Bi

Superkonduktivas material basis-Bi ditemukan untuk pertama kali pada sistem Bi-Sr-Cu-O oleh Michel et al. Sampel komposisi nominal Bi2Sr2Cu2O7+Ξ΄ memiliiki suhu transisi 22K. Senyawa superkonduktor yang kemudian diidentifikasi sebagai 2201. Maeda et al. (1988) diperoleh suhu kritis di atas 105K dalam system Bi-Sr-Ca- Cu-O untuk komposisi nominal BiSrCaCuzOy. Struktur cuprates superkonduktor berbasis Bi membentuk seri dengan rumus umum. Bi2Cn_lCunO2n + 4 dengan terutama Sr dan Ca pada masing-masing pada letak Bi dan C, masing-masing. SenyawaBi- 2201 (n = 1) dan 2212 (n = 2) memiliki homogenitas yang cukup besar, dan senyawa Bi-2223 (n = 3) umumnya dipersiapkan dengan parsial substitusi Bi oleh Pb. Suhu transisi superkonduktor meningkat dengan semakin banyaknya lapisan CuO2

2.6 Superkonduktor Berbasis Bi-Sr-Ca-Cu-O

hingga 110 K.. Perpindahan terjadi secara progresif, mengakibatkan terbentuknya rongga yang cukup besar menampung atom oksigen ekstra dan modulasi yang tidak sesuai.

Periode modulasi tergantung pada substitusi parsial dan pada kandungan oksigen, namun untuk komposisi tertentu, strukturnya dapat dengan mudah dijelaskan dalam supercells besar ( Poole, 2000).

2.6.1 Struktur Kristal

Dari penemuan H. Maeda teridentifikasi bahwa material superkonduktor BSCCO (bismuth strontium calcium copper oxide) memiliki 3 fasa yaitu fasa 2201,

(34)

fasa 2212, dan fasa 2223, dimana temperatur kritis dari fasa-fasa tersebut berturut- turut adalah 10 K, 80 K, dan 110 K.

Struktur kristal dari fasa yang terbentuk dalam material superkonduktor akan sangat berpengaruh terhadap temperatur kritisnya (Tc). Derajat ketidakteraturan struktur fasa yang tinggi sangat diperngaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah temperatur sintering dan lamanya waktu sintering saat dilakukan proses manufaktur dari material superkonduktor tersebut. Gambar 2.7(a) menunjukkan fasa BSCCO- 2201 yang disusun oleh bidang (BiO)/SrO/CuO/SrO/(BiO) dimana piramida Cu berada diantara dua bidang SrO. BSCCO-2201 memiliki parameter kisi a = b = 5,39Γ… dan c = 24,6Γ…. Bidang BiO berada pada bagian ujung struktur dan atom Cu dihubungkan dengan 6 atom oksigen dalam struktur oktahedral. Sedangkan pada gambar 2.7(b), fasa BSCCO-2212 disusun oleh bidang senyawa (BiO)/SrO/CuO/CaO/CuO/SrO/(BiO) dimana piramida atom Cu dipisahkan oleh adanya bidang Ca. Struktur kristal berbentuk tetragonal ini memiki parameter kisi a = b = 5,4Γ… dan c = 30,7Γ…[6] Struktur kristal dari fase Bi-2223 membentuk struktur orthorombik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7(c). Rantai Sr–Sr memiliki ikatan yang paling lemah, sedangkan atom Cu(1) sebagai kation yang paling tidak stabil memiliki tiga rantai ikatan yaitu Cu(1)-Ca, Cu(1)-O(1) dan Cu(1)-Cu(2). Rantai ikatan Cu(1)-O(1) merupakan ikatan yang paling kuat (r = 1,916 Θ¦). Atom oksigen O(3) hanya memiliki satu rantai ikatan dengan atom Bi yang memiliki panjang ikatan sebesar 2,231Θ¦ [6]. Hal ini terjadi karena struktur kristalnya tidak stabil, akibat adanya derajat ketidakteraturan yang tinggi antara lapisan bidang-bidang CuO, SrO, BiO, dan CaO. Ketidakteraturan itu terjadi karena reaksi padat pembentukan fasa berlangsung pada temperatur mendekati titik leleh senyawa (β‰ˆ870Β°C), disaat mana mobilitas ion penyusun sangat tinggi (Engkir dkk., 1996).

(35)

Gambar 2.7Struktur Kristal Sistem BSCCO untuk Fasa : (a) 2201, (b) 2212 dan (c) 2223(Lehndroff, 2001)

Penggunaan doping Pb dalam sintesis superkonduktor sistem Bismut, selain memudahkan pembentukan senyawa bersangkutan dengan tingkat kemurnian fasa yang tinggi, juga berperan menentukan sifat senyawa yang dihasilkan.Karena kemiripan ukuran ion dan valensi dari atom Pb, maka penambahan Pb sebagai doping menghasilkan substitusi atom Bi oleh atom Pb pada lapisan ganda BiO (Nurmalita, 2011).Selain itu, pendopingan Pb juga bertujuan mempercepat pertumbuhan dan peningkatan fraksi volumenya (Mizuno, 1988; Suharta, 1997).

Untuk metode sintesis fasa tunggal superkonduktor sistem bismuth, khususnya fasa temperatur tinggi (fasa 2223) yang mempunyai temperatur kritis sekitar 110 K, sulit untuk mendapatkan kualitas tinggi karena mempunyai struktur modulasi dengan periode 26 Γ… sepanjang arah sumbu b pada sistem kristalnya.

Dalam hal ini jangkauan temperatur pembentukan superkonduktor fasa 2223 menjadi sangat pendek.Untuk dapat mensintesis senyawa Bi2223 yang stabil, maka distorsi modulasi harus dihilangkan atau setidak-tidaknya dikurangi.Pengurangan modulasi

(36)

dapat dilakukan dengan mensubsitusi sebagian atom Bi dengan atom Pb, sehingga dapat memperpanjang jarak modulasi menjadi 46Γ… (W. Prasuad, 1994).

Lain halnya dengan material BSCCO yang memiliki fasa 2223 dengan sifat mekanik mudah dibentuk, tidak mudah patah, tidak beracun dan dapat dikembangkan untuk pembuatan lapisan tipis. Fasa 2223 adalah fasa yang paling potensial untuk aplikasi dibandingkan dengan fasa-fasa lainnya karena temperatur kritisnya tinggi.

Kendala yang dihadapi dalam mendapatkan fasa 2223 murni adalah saat proses sintesa, karena ketika mensintesa fasa 2223 pada umumnya masih tercampuri dengan fasa lain yang tidak menguntungkan maupun pengotor seperti Ca3CuO2, CuO, Ca2PbO4(Widodo, 2009).

2.6.2 Diagram Fasa

Diagram fasa superkonduktor berbasis Bi dapat dilihat pada Gambar 2.8 Fasa yang terbentuk pada temperatur 650 – 840 Β°C adalah fasa Bi 2201, Ca2CuO3 dan CuO, sedangkan pada temperatur 840 – 890 Β°C diperoleh fasa 2212 dan 2223, dengan waktu penahanan yang digunakan adalah 90 jam (Lusiana, 2011).

(37)

Gambar 2.8 Diagram Suhu Versus Konsentrasi (Skematis) Berada dalam Kisaran antaraBi2Sr2CuO6 dan Bi2Sr2Ca2.6Cu3.6O11.2 (Majewski, 1997)

Dengan variabel Bi, Sr, Ca, dan Cu berbeda dengan komposisi ideal 2: 2: 1: 2.

Variasi Sr/Ca berada dalam rasio interaksi dengan konten Bi. Stoikiometri oksigen dapat berfluktuasi antara 8-8,3 tergantung suhu dan tekanan parsial oksigen.

Koherensi untuk sifat superkonduktif dan kandungan oksigen diterima dan dilaporkan. Sedangkan sedangkan 2212 stabil sampai 895 Β°C dan kemudian secara tidak koheren melelehkan wilayah stabilitas bebas Pb fase 2223 secara substansial lebih kecil dengan sekitar 50 K. Dengan Pb sebagai substituen untuk formasi Bi dan rentang stabilitas dapat diperbesar, namun jumlah fase ekuilibrium juga meningkat (Majewski, 1997).

2.7 Bahan Superkonduktor BSCCO

Superkonduktor BSCCO dapat disintesis dengan menggunakan senyawa- senyawa oksida. Seperti Bismuth III Oksida (Bi2O3), Strontium Oksida (SrO),

(38)

Kalsium Oksida (CaO), Copper II Oksida (CuO). Penggunaan senyawa oksida dalam sintesis superkonduktor memiliki keunggulan dapat menghasilkan BSCCO dengan kemurnian yang tinggi bila dibandingkan dengan senyawa-senyawa nitrat maupun karbonat.Berikut ini nilai titik leleh dan kapasitas kalor untuk bahan superkonduktor senyawa oksida beserta bahan dopingnya.

Tabel 2.6 Titik Lebur dan Kapasitas Kalor Bahan Superkonduktor BSCCO

No Nama Bahan Titik

Lebur(Β°C)

Kapasitas Kalor (J/mol K)

1 Bismuth III Oksida (Bi2O3) 817 113,5

2 Strontium Karbonat (SrCO3) 1.494 81,4

3 Kalsium Karbonat (CaCO3) 1.339 83,5

4 Copper II Oksida (CuO) 1.326 42,3

5 Timbal IV Oksida (PbO2) 290 64,6

2.8 Dopan Pada Superkonduktor

Dopan dapat berupa subtitusi artinya mengganti atom asli didalam superkonduktor dengan atom dopan yang ukurannya tidak jauh berbeda dengan

ukuran atom aslinya, atau dopan juga dapat berupa penambahan artinya menambahkan atom-atom dopan kedalam atom-atom asli superkonduktor.

Superkonduktor suhu tinggi (Tc) dapat diekstensifikasi melalui subtitusi khusus dari elemen-elemen tunggal (Nurmalita. 2011).

Doping pada superkonduktor sistem bismut dapat menstabilkan struktur dan meningkatkan suhu kritis. Substitusi parsial Bi oleh Pb meningkatkan persiapan materi hampir satu fase 2223 dan peningkatan Tc (Sunshine et al. 1998 dalam Zakaullah K.H., 2008).

(39)

Pengukuran parameter kisi menunjukkan bahwa sampel murni, subsitusi Na,dan subsitusi Mg memiliki struktur Tetragonal dimana a=b≠c. Namun, subsitusi Yb mengalami perubahan bentuk struktur dari Tetragonal menjadi Orthorombic dimana a≠b≠c (Hawa et al, 2012).

2.9 BSCCO untuk Aplikasi Industri Energi (Metode PIT pada kawat BSCCO menggunakan Tabung Ag)

Dasar penggunaan superkonduktor suhu tinggi di semua aplikasi adalah kinerja teknis dan efisiensi ekonomis selama operasi. Pada saat itu daerah aplikasinya menentukan bentuk produk. Untuk penggunaan aplikasi kabel dan pita diperlukan, disamping itu pada mikroelektronika untuk semua film tipis juga diperlukan (Balachandran and Iyer, 1996).

Proses berselubung atau powder in tube (PIT), adalah salah satu yang pertama dikembangkan untuk pembuatan konduktor HTS.Di IFW Dresden pembuatan pita BSCCO/Ag yang diproses oleh teknologi PIT yang telah dilakukan sejak akhir tahun 80-an, penelitian dilakukan terutama pada struktur kristal dan sifat superkonduktif.

Pada tahun 1991-2001 penelitian mendasar dilakukan pada kerangka kerja proyek BMBF pada formasi fasa dalam konduktor pita dan juga teknologi penyelidikan mengenai optimalisasi berbagai tahapan proses kerja sama dengan industri Siemens Erlangen dan VAC Hanau. Setelah sintesis bubuk prekursor awal di skala laboratorium berdasarkan reaksi solid state termasuk oksida masing-masing karbonat inidiadopsi pada tahap awal oleh industri dan Merck resp. Hoechst. Dengan demikian, kelompok kerja IFW Dresden merupakan salah satu situs utama dan utama pengembangan pita multi filamen BSCCO di Eropa. Proses PIT sekarang banyak digunakan di laboratorium dan perusahaan di seluruh dunia kadang-kadang digunakan untuk Bi-2212 dan Tl-1223 dan hampir selalu digunakan untuk memproses Bi-2223 menjadi konduktor (Dou and Liun, 1993; Balachandran and Iyer, 1996; Tsakriridou, 1998).

(40)

Gambar 2.9 Diagram Skematik Proses PIT (Powder in Tube) untuk Kabel atau Tape Bi-2223, Bi-2212, dan Tl-1223 (Yamada et al., 2007).

Proses pada gambar 2.6 memainkan peran berikut setelah : kalsinasi adalah reaksi awal yang terbentuk fase akhir 2223 dari serbuk asli; penggilingan mendukung homogenitas dari bubuk yang dikalsinasi; selubung Ag merupakan stabilizer mekanik dan termal; dan proses rolling dan pressing sejajarkan kristal, densifikasi inti oksida dan mendukung reaksi bubuk pada perlakuan panas, rolling dan pressing yang diulang beberapa kali untuk meningkatkan kesejajaran kristal, kerapatan inti oksida, dan fraksi volume fase 2223. Hellstrom et al. (2005) dan Kikuchi et al. (2006) telah mempresentasikannya karya terbaru yang merupakan teknik sintering overpressure yang digunakan untuk mendapatkan filamen yang jauh lebih padat dan dengan kerapatan arus kritis yang lebih tinggi.

Material pilihan untuk tabung adalah perak (Ag) atau paduan perak.Perak permeabel terhadap oksigen, tidak bereaksi dengan bahan inti HTS, menurunkan titik leleh bahan HTS berbasis Bi selama pengolahan termal, dan membentuk template dimana material HTS dapat tumbuh.Inisial Bahan untuk pengolahan 2223 kaset adalah bubuk prekursor pra-reaksi dengan dioptimalkan Komposisi kimia untuk fase superkonduktif yang ditargetkan (Zheng et al., 2003). Biasanya, tabung diisi dengan bubuk HTS, kemudian diekstrusi atau ditarik ke kawat berdiameter 1-2 mm. Untuk multifilamen konduktor, kawat ditarik dalam bentuk heksagonal, dipotong lebih pendek, dan dibentuk menjadi tumpukan filamen berukuran 7, 19, 37, 55, 61, 85, atau

(41)

lebih tinggi. Tumpukan ini kemudian dimasukkan tabung lain, dan komposit diekstrusi atau ditarik ke kawat. Penyusunan kembali dan drawing kembali untuk kawat monofilamen. Untuk kawat bulat, langkah terakhir adalah perlakuan panas, tapi kebanyakan konduktor dibuat dengan bentuk "pita" datar yang diraih dengan memutar kabel ke rasio aspek dari ~ 10: 1. Langkah sintering, tergantung tekanan parsial oksigen diefektifkan antara 800 Β°C Dan 870 Β°C dan berlangsung antara 24 jam dan 150 jam (Dou et al., 1993; Balachandran, 1996). Kabel multifilamen diperoleh dengan cara ini menggunakan metode yang biasanya mengandung sekitar 70 vol%

Ag dan superkonduktor 30 vol% (Grivel, 2007; Majewski, P. 1997) dan dengan demikian memiliki sifat mekanik yang baik (Masur et al., 1999; Schwartz, 1994).

Masalah lebih lanjut dari metode PIT adalah perlakuan termo-mekanis dari konduktor itu termasuk langkah proses yang sangat rumit. Mengkoreksi kaset dengan kerapatan arus kritis yang optimal Hanya bisa dilakukan saat langkah sintering serta pembentukan kawat (mekanis).Langkah dioptimalkan dan disesuaikan dengan komposisi serbuk prekursor (Nilson, 2009).

2.10 Selubung Tabung Ag

Tabung Ag banyak digunakan sebagai selubung dikarenakan tidak beracun dan memungkinkan oksigen meresap. Namun sifat mekaniknya tidak cukup untuk diperkuat terhadap tegangan tinggi (Motowidlo, 1993)BSCCO sendiri adalah keramik yang memiliki kerapuhan, tapi penggunaan filamen panjang-tebal 10ΞΌm dan panjang 200 ΞΌm-pada matriks Ag mengurangi bentuk keretakan dan regangan kritis pada sekitar persepuluh persen (S.Eckroad, 2009). Selubung Ag biasanya dicampur dengan satu atau lebih logam lain untuk memperbaiki sifat mekanik kawat dan untuk mendapatkan sifat karakterisi superkonduktor suhu tinggi di dalamnya (I. E. Chew, 2010; Hull. J 2003).

(42)

2.11 Selubung Tabung Stainless Steel 316 2.11.1Sifat Karakterisasi SS316

Stainless Steel mengandung unsur Carbon C 0,08% Max, Chromium Cr 16- 18%, Nickel Ni 10-14%, Silikon Si 1% Max, Molybdenum Mo 2-3% Max, Mangan Mn 2% Max, Fosfor P 0,045% Max, Sulfur S 0,03%Max.(Simply Bearings Ltd).

Stainless Steel 316-L memiliki struktur kristal FCC (face centered cubic). Contoh logam yang mempunyai struktur kristal FCC antara lain Fe , Al, Cu, Ni, Pb. Sel satuan FCC terdiri dari satu titik kisi pada setiap sudut dan satu titik kisi pada setiap sisi kubus. Setiap atom pada struktur kristal FCC dikelilingi oleh 12 atom, jadi bilangan koordinasinya adalah 12. Dari gambar di bawah sel satuan terlihat bahwa atom -atom dalam struktur kristal FCC tersusun dalam kondisi yang cukup padat. Ini terbukti dengan tingginya harga APF (Callister,1994). Harga APF dari sel satuan FCC yaitu 74% dibandingkan dengan APF sel satuan BCC. Sel satuan FCC mempunyai 8 x 1/8 (pada sudut kubus) + 6 x Β½ (pada pusat sisi kubus) = 4 atom per sel satuan.

Gambar 2.10 Struktur Kristal FCC a) Penggambaran Satu Unit Sel Bola Pejal, b) Gambar Unit Sel dengan Ukuran Bola Pejal yang Sudah Diperkecil, c) Kumpulan dari Banyak Atom (Callister,2003).

(43)

Tabel 2.3 Melting Range for A Number Of Austenitic Stainless Steels The American Iron & Steel

Institue (AISI )

Solidus (0

Liquidus C) (0

Solidus-liquidus

C) (0C)

202 1398 1454 56

302 1400 1447 47

304 1405 1448 43

304L 1394 1440 46

305 1400 1435 35

310 1350 1395 45

314 1322 1388 66

316 1392 1444 52

316L 1405 1445 40

316Ti 1378 1432 54

316Nb 1370 1431 61

321 1398 1448 50

347 1394 1446 52

(Khatak,H.Set.al., 2002; hal 26) Paduan austenitik merupakan kelompok terbesar dari baja tahan karat digunakan, membuat hingga 65 sampai 70% dari total. Paduan austenitic menempati posisi dominan bukan hanya karena ketahanan korosi yang sangat baik, tetapi juga karena suatu inventarisasi luas sifat tambahannya dan kemudahan fabricability termasuk mampu las.

(44)

Tabel 2.4 Komposisi kimia (wt%)

Elements 304 SS 316 SS 316(N)SS 316 LN SS

Carbon 0.040 0.054 0.043 0.030

Nitrogen 0.087 0.053 0.075 0.086

Chromium 18.3 16.46 17.18 16.6

Nickel 9.25 12.43 10.23 12.2

Molybdenum - 2.28 1.85 2.61

Manganese 1.660 1.69 1.54 1.54

Phosphorous 0.023 0.025 0.022 0.024

Sulphur 0.003 0.006 0.005 0.003

Silicon 0.375 0.64 0.585 0.29

Vanadium - - 0.061 0.092

Copper - - 0.207 0.09

Cobalt - - 0.230 -

Boron - - - 0.0012

Iron Balance balance balance balance

(Khatak,H.Set.al., 2002; hal 121) Paduan austenitik memiliki sifat ketahanan korosi yang sangat baik, tetapi juga memiliki sifat tambahan inventarisasi yang luas serta kemudahan pada fabrikasi termasuk mampu las (Khatak, H.S et al. 2002 ) meskipun tergantung pada komposisi dan beberapa termomekanis. Tabel 2.10 menunjukan titik lebur pada sejumlah stainless steel jenis austenitic. Pada stainless steel tipe 314/314 L memiliki selisih titik lebur yang tinggi dibandingkan dengan jenis stainless steel lainnya yakni sebesar

(45)

66 0C, stainless steel tipe 316/316 L sebesar 52 0

Tabel 2.8 merupakan komposisi kimia (wt%) stainless steel jenis austenitic menunjukkan straight grades dari stainless steel austenitic yang mengandung maksimum 0.08% karbon. Ada kesalahpahaman bahwa nilai straight mengandung minimal 0,03 % karbon. Selama bahan memenuhi persyaratan fisik yang sesuai, tidak ada persyaratan minimum karbon. Grade ”L” yang digunakan untuk memberikan ketahanan korosi ekstra setelah pengelasan. Huruf ”L” setelah jenis stainless steel menunjukkan karbon rendah (seperti dalam 304L) . Kandungan Karbon untuk 0.03%

atau di bawahnya untuk menghindari presipitasi karbida. Karbon dalam baja ketika dipanaskan sampai suhu dalam apa yang disebut rentang kritis ( 800 derajat F 1600 derajat F ) presipitat keluar, Carbon C

C. Hal ini dapat menunjukkan bahwa karbon,pada suhu tinggi membuat kekuatan fisik yang besar.

6

2.12 Karakterisasi Sampel Kawat Superkonduktor

dengan kromium Cr dan mengumpulkan pada batas butir. Ini membuat baja dari kromium larut/mengendap berdekatan dengan batas butir. Untuk mengendalikan jumlah karbon, (ini diminimalkan).

2.12.1 Uji SEM EDS

Mikroskop pindaian elektron (SEM) adalah mikroskop yang menggunakan hamburan elektron sebagai pengganti cahaya untuk membentuk bayangan atau gambar yang dapat digunakan untuk pengamatan dan pengkajian morfologi material padatan berskala mikro sampai nanometer dengan resolusi hingga 3 nm dan pembesaran hingga 50.000 kali.

SEM merupakan tipe mikroskop elektron yang menggambarkan permukaan sampel melalui proses scan dengan menggunakan pancaran energi tinggi dari elektron dalam suatu pola scan raster.

SEM sangat berguna untuk proses karakterisasi karena data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 100 Β΅m – 2 Β΅m dari permukaan. SEM juga digunakan untuk mengetahui struktur mikro suatu material meliputi tekstur, morfologi, komposisi dan informasi

(46)

kristalografi permukaan sampel. Morfologi yang teramati oleh SEM berupa bentuk, ukuran dan susunan partikel. Skema SEM dapat dilihat pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11Skema Komponen SEM

Prinsip kerja SEM sama dengan mikroskop optik, namun SEM menggunakan elektron sebagai sumber pencitraan dan lensa magnetik sebagai lensanya. Berkas elektron yang ditembakkan dari electron gun diteruskan menuju sampel melalui anoda, lensa magnetik, scanning coil yang berada dalam ruang hampa.

Setelah berkas mengenai sampel, berkas dipantulkan dan ditangkap oleh detektor.

Detektor mengumpulkan X-ray, backscatteredelectron dan elektron sekunder.

Kemudian diubah menjadi sinyal yang dikirim ke layar monitor menghasilkan citra akhir yang mirip tampilan foto tiga dimensi. Energi elektron sekunder ≀ 50 eV dan energi inbackscattered electrons β‰₯ 50 eV (Suga et al., 2014)

2.12.2 Uji Cryogenic Magnet

Dalam fisika, cryogenics merupakan studi tentang produksi dan perilaku bahan pada suhu yang sangat rendah.Pengujian Cryogenic Magnet dapat digunakan untuk mengukur resistivitas, efek Hall, dan rapat arus listrik suatu superkonduktor.

Cryogenicmagnet adalah teknologi vakum dan pemampatan/ekspansi gas berdasarkan

(47)

prinsip Four Point Probe (FFP) berguna dalam menurunkan suhu gas Helium, sehingga dapat menciptakan kondisi suhu super rendah yang jauh lebih sederhana.

Metode pengukuran ini merupakan salah satu metode untuk mengukur resistivitas (Callister and Rethwisch, 2007; Schuetze, 2004).

2.12.3 Difraksi Sinar-X (XRD)

Difraksi sinar-X (XRD) digunakan untuk menganalisa fasa kristalin dalam struktur material dengan menentukan parameter struktur kisi. Selain itu, alat ini juga digunakan untuk mendapatkan ukuran partikel dengan memanfaatkan radiasi sinar-X.

Orientasi dan interplanar jarak dari bidang didefenisikan oleh 3 bilangan bulat h, k, l yang disebut indeks . Sebuah himpunan bidang dengan indeks h, k, l memotong sebuah sumbu dari sel satuan a di bagian h, b sumbu di bagian k dan sumbu c di bagian l. Angka 0 menunjukkan bahwa bidang sejajar dan sesuai sumbu. Misalnya, (220) bidang memotong a dan sumbu b setengah , tetapi sejajar dengan sumbu c.

Gambar 2.12 Kisi dan orientasi bidang kristal

Hasil yang diperoleh dari sampel adalah intensitas relatif dan sudut hamburan (2πœƒπœƒ).

Ketika foton sinar-X bertumbukan dengan elektron-elektron pada atom maka beberapa dari sinar datang akan dihamburkan secara elastis oleh atom dari sampel.

Gambar 2.13 menunjukkan perjalanan sinar-X sesuai hukum Bragg.

(48)

Gambar 2. 13 Perjalanan sinar-X sesuai hukum Bragg (Beiser, 1992)

Jarak antar kisi kristal (d) dapat diketahui dengan menyelesaikan persamaan Bragg sebagai berikut :

𝑛𝑛λ = 2 dhkl sinΞΈ (2.4)

dhkl adalah jarak antar bidang kristal, ΞΈ adalah sudut difraksi, Ξ» adalah panjang gelombang. Nilai 2ΞΈ adalah refleksi yang ditentukan oleh dimensi sel satuan. Namun, intensitas refleksi ditentukan oleh distribusi elektron dalam sel satuan. Kerapatan elektron tertinggi ditemukan disekitar atom. Oleh karena itu, intensitas tergantung pada jenis atom yang di difraksi serta keberadaannya. Bidang akan melalui daerah dengan kerapatan elektron tinggi dan akan memantulkan kembali dengan kuat, bidang dengan kerapatan elektron rendah akan memberikan intensitas lemah.

Jarak antar bidang kristal sejajar yang berdekatan merupakan fungsi dari indeks Miller (hkl) dan tetapan kisi (a). Persamaan dhkl

π‘‘π‘‘β„Žπ‘˜π‘˜π‘˜π‘˜ = βˆšβ„Ž2+ π‘˜π‘˜π‘Žπ‘Ž2+π‘˜π‘˜2 (2.5) untuk kristal kubus dapat dilihat pada Persamaan (2)

Dari persamaan (2.1) dan (2.2) untuk n = 1 dapat diperoleh persamaan (2.3) berikut:

𝑠𝑠𝑠𝑠𝑛𝑛2πœƒπœƒ

(β„Ž2+ π‘˜π‘˜2+π‘˜π‘˜2)= 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑛𝑛𝑠𝑠2πœƒπœƒ = 4π‘Žπ‘Žπœ†πœ†22 (2.6)

(49)

Menurut Wang Lu (2014) kisi bravais kristal sistem heksagonal dengan sumbu sel konvensional adalah a = b β‰  c, Ξ± = Ξ² = 90 odan Ξ³ = 120o. Jarak dhkl

1

𝑑𝑑2β„Žπ‘˜π‘˜π‘˜π‘˜ = 43οΏ½β„Ž2+ β„Žπ‘˜π‘˜+ π‘˜π‘˜π‘Žπ‘Ž2 2οΏ½ + π‘π‘π‘˜π‘˜22 (2.7) antar bidang hkl dapat dicari menggunakan Persamaan (2.4)

Kombinasi persamaan (2.1) dengan persamaan (2.4) diperoleh:

1

𝑑𝑑2β„Žπ‘˜π‘˜π‘˜π‘˜ = 43οΏ½β„Ž2+ β„Žπ‘˜π‘˜+ π‘˜π‘˜π‘Žπ‘Ž2 2οΏ½ + π‘π‘π‘˜π‘˜22 = 4π‘ π‘ π‘ π‘ π‘›π‘›πœ†πœ†22πœƒπœƒ (2.8) Persamaan (2.5) dapat ditulis menjadi:

𝑠𝑠𝑠𝑠𝑛𝑛2πœƒπœƒ = πœ†πœ†42οΏ½3 4οΏ½β„Ž2+ β„Žπ‘˜π‘˜+ π‘˜π‘˜π‘Žπ‘Ž2 2οΏ½ + π‘π‘π‘˜π‘˜22οΏ½ (2.9) Uji diffraksi sinar x (XRD) dilakukan untuk menentukan fasa yang terbentuk setelah serbuk mengalami proses kalsinasi.

Dari data yang akan dihasilkan dapat diprediksi ukuran kristal serbuk dengan bantuan software Xpowder dan Match.

Berdasarkan hasil XRD dapat ditentukan parameter kristal seperti kisi konstan, rasio kisi parameter, d-spacing dan ukuran kristal (D). Parameter kisi ( a dan c) dari fase hexagonal dengan persamaan :

π‘Žπ‘Ž = √3 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑛𝑛 πœƒπœƒπœ†πœ† βˆšβ„Ž2+ β„Žπ‘˜π‘˜ + π‘˜π‘˜2 (2.10) dan

𝑐𝑐 = 2 sin πœƒπœƒπœ†πœ† π‘˜π‘˜ (2.11) Sedangkan untuk menentukan nilai volumenya menggunakan persamaan :

𝑉𝑉 = √32 (π‘Žπ‘Ž)2 𝑐𝑐 (2.12)

Kisi regangan (Τ‘) dihitung dengan menggunakan rumus tangen :

πœ€πœ€ = (4 tan πœƒπœƒ)𝛽𝛽 100% (2.13)

Ukuran kristalin ditentukan dengan pelebarah puncak difraksi sinar x yang muncul.

Gambar

Gambar 2.1  Hasil dari Plot Original Resistansi Listrik Hg Versus Temperatur oleh  Kamirlingh Onnes (1911)
Gambar 2.3  Kurva Induksi Normal
Gambar 2.5 Skematik Perilaku dari Pengaplikasian Medan H a  dan Densitas Fluks  Magnetik  B  dalam Percobaan Field-Cooled  (FC) dan Zero-Field-Cooled  (ZFC)  Superkonduktor Tipe I dan Material Non-Superkonduktor dengan Konduktivitas  Sempurna
Gambar 2.7Struktur Kristal Sistem BSCCO untuk Fasa : (a) 2201, (b) 2212 dan (c)  2223(Lehndroff, 2001)
+7

Referensi

Dokumen terkait