9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pengetahuan 2.1.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari melakukan pengindraan seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan rasa, terhadap suatu objek dimana setelahnya mendapatkan informasi dalam diri seseorang tersebut. Namun sebagian besar pengetahuan didapatkan melalui indra penglihatan dan indra pendengaran (Masturoh & T. Anggita, 2018).
Pengetahuan yang didapatkan akan berbeda sesuai dengan presepsi penginderaan masing-masing terhadap suatu objek. Dengan seseorang memiliki pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan dan mengambil keputusan dalam sebuah masalah (Fuadi, 2016)
2.1.2 Cara Memperoleh Pengetahuan
Dalam memperoleh pengetahuan terdapat empat cara diantaranya yaitu:
1. Metode keteguhan (Method of tenacity) yaitu dengan mempercayai pendapat yang sudah diyakini dari dahulu.
2. Metode otoritas (Method of authority) yaitu percaya terhadap para ahli dibidangnya masing-masing.
3. Metode Intuisi (Method of intuition) yaitu percaya terhadap keyakinan yang kebenarannya sudah terbukti dan tidak perlu pembuktian lagi.
4. Metode Ilmiah (Method of science) yaitu secara ilmiah sesuai keilmuan dan akan menghasilkan hasil yang sama meskipun dilakukan oleh beberapa orang (Masturoh & T. Anggita, 2018).
Namun ada juga cara memperoleh pengetahuan yaitu ada 2, diantaranya:
1. Cara Non Ilmiah atau Tradisional
Sebelum ditemukan cara ilmiah atau modern digunakan cara non ilmiah atau tradisional guna mendapatkan pengetahuan, diantaranya yaitu dengan cara coba salah (trial and error), secara kebetulan, cara
kekuasaan atau otoritas, pengalaman pribadi dalam diri seseorang, cara akal sehat, kebenaran melalui wahyu, kebenaran secara intitutif, melalui jalan pikiran, induksi dan deduksi (Masturoh & T. Anggita, 2018).
2. Cara Ilmiah atau Modern
Cara ilmiah atau modern dilakukan melalui proses yang panjang dengan menggunakan proses ilmiah, dan menggunakan cara yang logis dalam bentuk metode penelitian. Sebelumnya untuk mendapatkan hasil yang valid dan reliabel dilakukan uji coba terlebih dahulu kemudian dapat diambil kesimpulan dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (Masturoh & T. Anggita, 2018).
2.1.3 Klasifikasi Pengetahuan
Tingkatan pengetahuan terdapat 6 tahapan diantaranya yaitu:
1. Tahu (know)
Tingkat pengetahuan yang paling rendah yaitu tahu, seseorang dalam tahap ini hanya mampu mengingat kembali yang dipelajari sebelumnya, kemampuan seseorang tersebut seperti mendefinisikan, menyebutkan dan menyatakan.
2. Memahami (comprehension)
Pada tahap ini kemampuan seseorang dalam memahami, menjelaskan dan menginterpretasikan suatu objek dengan benar sesuai dengan materi yang telah didapatkan.
3. Aplikasi (application)
Tahap ini manusia yang memiliki pengetahuan dapat mengaplikasikan kepada keadaan sebenarnya dilapangan, tahap ini dinilai lebih tinggi harganya daripada tahap pemahan
4. Analisis (analysis)
Analisis berarti tahap seseorang mampu dalam menguraikan pengetahuan yang didapat ke dalam bagian-bagian yang ada hubungannya satu dan yang lain. Kemampuan pengetahuan
ditingkat ini dapat mengklasifikasikan dan juga membandingkan dengan objek yang lain.
5. Sintesis (synthesis)
Kemampuan sistesis yaitu kemampuan dimana seseorang mampu dalam menghubungkan objek menjadi struktur baru yang menyeluruh, seperti halnya menyusun dan merencanakan penyimpanan obat di gudang.
6. Evaluasi (evalution)
Tahap ini seseorang dapat melakukan penilaian terhadap suatu objek seperti dengan merencanakan pembuatan alternatife keputusan yang lain, dilakukan setelah melakukan tanya jawab, mencari sesuai pengalaman sebelumya.
2.2 Konsep Penyimpanan
2.2.1 Definisi Penyimpanan Obat
Penyimpanan obat merupakan kegiatan menyimpan dan memelihara obat pada tempat yang aman dari pencurian dan juga tempat yang bisa menjaga yang didisribusikan (Octavia, 2019). Sebelum didistribusikan perlu dilakukan penyimpanan yang dapat memastikan kualitas dan keamaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai agar sesuai dengan persyaratan kefarmasian seperti stabilitas dan keamanan, kelembaban, sanitasi, ventilasi, cahaya, dan penggolongan jenis pada sediaan farmasi, alat kesehatan ataupun bahan medis habis pakai (Rusly, 2016) 2.2.2 Tujuan Penyimpanan
Tujuan penyimpanan obat yaitu (Munawaroh, 2020) :
1. Menjaga kualitas obat agar tidak terjadi kerusakan karena buruknya penyimpanan
2. Memudahkan saat pencarian dan pengawasan di gudang/ kamar penyimpanan
3. Mencegah penggunaan yang tidak bertanggung jawab 4. Menjaga ketersediaan stok obat
Sedangkan menurut (Qiyaam et al, 2016) tujuan penyimpanan obat yaitu:
1. Menjaga kualitas obat agar tidak terjadi kerusakan akibat penyimpanan yang tidak tepat.
2. Memudahkan dalam pencarian serta pengawasan obat-obatan.
2.2.3 Klasifikasi Penyimpanan Obat (1) Industri Farmasi
Penyimpanan pada industri obat harus diperhatikan dan dilakukan sebaik mungkin sesuai dengan aturan atau standar yang berlaku untuk menjaga mutu produk sehingga produk yang dihasilkan dapat bermanfaat dan memberikan efek yang diinginkan, kerusakan obat yang terjadi akan merugikan industri juga konsumen yaitu pasien yang mengkonsumsi (Karlida &
Musfiroh, 2017).
(2) Rumah sakit
Penyimpanan di rumah sakit dikendalikan oleh kepala instalasi farmasi, sebelum didistribusikan barang yang diterima di instalasi farmasi perlu dilakukan peyimpanan. Dalam penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan harus sesuai dengan persyaratan kefarmasian yang meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan.
Sistem penyimpanan juga dilakukan berdasar kelas terapi, bentuk sediaan, jenis sediaan, disusun alfabetis dengan metode First Expired First Out (FEFO), First In First Out (FIFO) atau Last In First Out (LIFO) disertai sistem informasi manajemen. Kemudian untuk obat-obatan dengan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike)/NORUM (Nama Obat Rupa Ucapan Mirip) tidak ditempatkan berdampingan dan diberi tanda khusus, lalu penyimpanan untuk obat emergensi ditempatkan di tempat yang mudah diakses dan terhindar dari pencurian (Rusly, 2016).
(3) Puskesmas
Salah satu pelayanan pelayanan kefarmasian di puskesmas yaitu pengelolaan obat yang salah satunya yaitu penyimpanan, penyimpanan yang sesuai dengan standar menjadi salah satu faktor yang mendukung penjaminan kualitas obat, penyimpanan disini mencakup beberapa hal yaitu pengaturan ruangan, penyusunan obat, dan pengamatan mutu fisik obat (Husnawati et al, 2016).
(4) Apotek
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek (Permenkes, 2016), penyimpanan di apotek memiliki beberapa ketentuan diantaranya:
1. Obat/ bahan obat harus disimpan diwadah/kemasan asli dari pabrik, namun jika dalam hal darurat diperbolehkan dipindah diwadah yang lain dengan ketentuan dicegah agar tidak terjadi kontaminasi dan terdapat inormasi yang jelas mengenai obat tersebut.
2. Obat/bahan obat disimpan sesuai dengan ketentuan agar tetap terjaga keamanan dan stabilitasnya.
3. Pada lemari penyimpanan tidak diperbolehkan digunakan untuk menyimpan barang yang lain yang menyebabkan kontaminasi.
4. Menggunakan sistem sesuai bentuk sediaan, kelas terapi dan secara alfabetis.
5. Menggunakan metode FEFO (First Expire First Out) dan FIFO (First In First Out)
2.2.4 Sistem Pendistribusian Obat
Terdapat sistem distribusi obat di unit pelayanan yaitu dengan cara (Permenkes, 2016) :
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
Stok obat yang berisi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang ada disetiap nurse station.
b. Sistem Resep Perorangan
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai berdasarkan Resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui Instalasi Farmasi.
c. Sistem Unit Dosis
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai berdasarkan Resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis tunggal atau ganda, untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem unit dosis ini digunakan untuk pasien rawat inap.
d. Sistem Kombinasi
Sistem pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b + c atau a + c.
2.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Penyimpanan
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyimpanan suatu obat, diantaranya:
1. Faktor lingkungan A. Suhu
Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi VI (2020), suhu penyimpanan obat diantaranya yaitu lemari pembeku, dingin, sejuk, suhu ruang dingin terkendali, suhu ruang, suhu ruang terkendali, hangat dan panas berlebih, perlindungan dari pembekuan, tempat kering.
1. Lemari pembeku: Ruangan penyimpanan dengan suhu dipertahankan secara termostatik antara -25º dan -10º
2. Dingin: termasuk dingin pada suhu kurang dari 8 ° C, suhu ini berasal dari dalam lemari pendingin dengan rentang 2 ° sampai dengan 8 ° C.
3. Sejuk: termasuk sejuk pada rentang suhu 8 ° dan 15 ° C, jika tidak disebutkan, obat yang perlu disimpan pada suhu sejuk dapat disimpan disuhu dingin
4. Suhu ruang dingin terkendali: suhu yang dipertahankan secara termostatik antara 2º dan 8º dan berdasarkan pengalaman penyimpangan antara 0º dan 15º. Lonjakan suhu hingga 25º diperbolehkan jika terdapat keterangan demikian dan tidak boleh lebih dari 24 jam kecuali didukung oleh data stabilitas atau produsen menyarankan.
5. Suhu ruang: suhu pada ruang kerja tidak lebih dari 30°C 6. Suhu ruang terkendali: Suhu yang dipertahankan secara
termostatik antara 20º dan 25º, dengan toleransi penyimpangan antara 15º dan 30º dengan rata-rata suhu kinetik tidak ≥ 25º. Boleh pada lonjakan suhu 40 ° C. tetapi tidak lebih dari 24 jam.
7. Hangat: disebut hangat jika suhu pada rentang 30° dan 40°C.
8. Panas berlebih jika suhu lebih dari 40° C
9. Perlindungan dari pembekuan: Biasanya terdapat keterangan pada etiket bahwa zat harus terhindar dari pembekuan agar tidak terjadi kerusakan isi.
10. Tempat kering: Tempat dengan kelembaban tidak lebih dari 40% pada suhu ruang terkendali.
B. Kelembapan
Penyimpanan obat atau produk farmasi merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga kualitas atau mutu produk agar memenuhi syarat. Salah satu faktor dalam penyimpanan yang perlu dikhawatirkan yaitu kelembaban, nilai kelembaban ruangan yang baik yaitu 50-70% (Sasono et al., 2020).
C. Cahaya
Faktor lingkugan yang menjadi hal yang penting diperhatikan yaitu cahaya, dimana cahaya diruangan tidak hanya boleh jika dari lampu saja, menurut standar yang berlaku, cahaya matahari dan udara dari luar yang masuk melalui ventilasi juga dibutuhkan untuk mengatasi kelembaban ruangan agar obat tidak
mengalami kerusakan fisika ataupun kimia. (Husnawati et al, 2016).
2. Faktor penyusunan obat A. Berdasarkan Abjad
Penyimpanan dengan mengurutkan nama obat/merk obat sesuai berdasarkan abjad dapat memudahkan dalam penyimpanan dan pengambilan (Asyikin, 2018).
B. FIFO (First In First Out)
Pada metode ini diterapkn obat yang datang lebih dulu harus dikeluarkan terlebih dahulu, tujuan dari metode ini dikarenakan obat yang biasanya datang lebih awal memiliki tangal kadaluarsa yang lebih awal pula (Pondaag, 2020).
C. FEFO (First Expire First Out)
Metode ini berarti obat yang memiliki taggal kadaluarsa lebih cepat harus dikeluarkan terlebih dahulu agar tidak terjadi expired date (Pondaag, 2020).
D. Berdasarkan bentuk sediaan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek (Permenkes, 2016) disebutkan untuk sistem penyimpnanan salah satunya digolongkan menurut bentuk sediaan obat, dalam hal ini sediaan yang dimaksud dengan menggolongkan sediaan padat, setengah padat, dan cair maupun injeksi diletakkan di tempat yang berbeda kemudian diberikan pelabelan pada rak penyimpanan (Octavia, 2020).
E. Berdasarkan kelas terapi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek (Permenkes, 2016) menyebutkan dalam penyimpanan obat juga digolongkan berdasarkan kelas terapinya, seperti golongan antibiotic dikelompokkan dengan golongan antibiotic, golongan analgetik-antipiretik digolongankan dengan golongannya dll.
Tujuan digolongkannya obat berdasar kelas terapi yaitu untuk mempermudah dalam pengambilan dan penyimpanan obat (Julyanti et al., 2017).
F. Berdasarkan jenis obat
Tujuan dari penggolongan obat yaitu agar tepat sasaran sehingga aman untuk pengguna obat juga keamanan distribusi, penggolonga menurut jenisnya digolongkan menjadi obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras, narkotika dan psikotropika.
1. Obat Bebas
Obat yang dijual dipasaran dan bisa didapatkan tanpa menggunakan resep dari dokter biasanya digunakan untuk mengobati atau meringankan gejala penyakit. Obat golongan bebas dinilai obat yang paling aman dan dapat dibeli di apotek ataupun di warung-warung. Obat bebas memiliki logo lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam, misalnya paracetamol, bedak salicyl dan lain lain (Nuryati, 2017).
Gambar 2.1 Logo Obat Bebas 2. Obat Bebas Terbatas
Obat yang dalam jumlah tertentu aman dikonsumsi namun jika dikonsumsi dalam jumlah banyak akan memberikan efek yang berbahaya. Obat golongan ini bisa didapatkan tanpa menggunakan resep dokter. Logo dari obat golongan bebas terbatas yaitu biru terpi berwarna hitam.
Contoh: Antimo, Decolgen, dan lain lain. Pada obat bebas terbatas memiliki peringatan pada kemasan sebagai berikut:
P No. 1: Awas! Obat Keras. Bacalah aturan, memakainya ditelan
P No. 2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dikumur, jangan ditelan
P No. 3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari badan
P No. 4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar
P No. 5: Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan
P No. 6: Awas! Obat Keras. Obat Wasir, jangan ditelan (Nuryati, 2017)
Gambar 2.2 Logo Obat Terbatas 3. Obat wajib apotek
Obat keras yang diserahkan langsung oleh apoteker sehingga didapatkan tanpa resep dokter melainkan dengan diserahkan langsung oleh apoteker di apotek. Bertujuan agar konsumen dapat memberi pertolongan pada diri sendiri dengan tepat, aman, dan rasional. Contoh obatnya yaitu:
anatasid, ranitidine dan lain-lain (Nuryati, 2017).
4. Obat keras
Obat yang berbahaya dan mendapatkannya harus menggunakan resep dokter, efek yang diberikan sangat keras sehingga tidak diperkenankan untuk menggunakan sembarangan karena penggunaan yang tidak sesuai dapat memperparah penyakit hingga menyebabkan kematian. Obat keras memiliki logo berwarna merah tepi hitam dengan tulisan
“K” ditengah. Contoh obat keras yaitu antibiotic, obat jantung, obat hipertensi dan lain-lain (Nuryati, 2017).
Gambar 2.3 Logo Obat Keras
5. Psikotropika
Psikotropika yaitu obat yang bertujuan untuk memberi pengaruh secara selektif pada sistem syaraf pusat sehingga menyebabkan perubahan aktivitas mental dan perilaku, obat ini masih dalam golongan obat keras, contohnya diazepam, fenobarbital dan lain-lain (Nuryati, 2017).
6. Narkotika
Obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang menyebabkan penurunan kesadaran, sampai hilangnya kesadaran, mengurangi nyeri dan obat ini dapat menimbulkan ketergantungan. Logo obat narkotika lingkaran berwarna merah yang di tengahnya terdapat symbol palang (+) (Nuryati, 2017).
Gambar 2.4 Logo Obat Narkotika 2.3 Sediaan Steril
Sediaan steril merupakan sediaan yang memiliki persyaratan sterilitas yaitu sediaan yang terbebas dari kontaminasi pirogenik, endotoksin, partikulat, juga sediaan yang stabil secara fisika dan kima, mikrobiologi, isotonis dan juga isohidris (Dewantisari & Musfiroh, 2020). Sediaan steril diantaranya yaitu injeksi, infus dan tetes mata.
1. Injeksi
Menurut Farmakope Indonesia Edisi VI (2020) merupakan sediaan yang digunakan dalam penyuntikan melalui kulit atau batas jaringan eskternal lain kemudian mengalir ke pembuluh darah, organ, atau jaringan.
Sediaan injeksi berupa obat dalam air yang diberikan secara intravena kemudian dikemas pada wadah 100 ml atau kurang, biasanya menggunakan wadah berupa vial ataupun ampul.
2. Infus
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV infus yaitu sediaan steril cair yang mengandung obat dikemas pada wadah 100 ml atau lebih digunakan untuk manusia, infus merupakan sediaan parenteral volume besar.
3. Tetes Mata
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, sediaan tetes mata yaitu larutan steril yang terbebas dari partikel asing, sediaan ini dikemas sedemikian rupa digunakan pada mata, hal yang perlu diperhatikan pada pembuatan obat mata yaitu toksisitas bahan obat, nilai isotonisias, kebutuhan akan dapar, kebutuhan akan pengawet, sterilisasi dan kemasan yang tepat.
2.4 Wadah
Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik wadah merupakan kemasan yang langsung bersentuhan dengan produk. Pada umumnya sediaan steril menggunakan wadah vial ataupun ampul (Dewantisari & Musfiroh, 2020).
1. Ampul
Ampul merupakan wadah bening yang memiliki bagian leher menyimpit dibagian ujungnya, wadah ampul berisi obat yang didalamnya untuk pemberian parenteral untuk dosis tunggal. Untuk cara membuka wadah dengan mematahkan bagian lehernya (Bactiar & Madjid, 2014).
Contoh sediaan ampul yaitu Furosemide, Diphenhydramine HCl, Piracetam, Cortidex, Norages dan Roculax.
2. Vial
Vial adalah wadah kecil terbuat dari kaca dengan tutup karet, dosis yang digunakan pada vial biasanya yaitu multiple dose atau dosis ganda sehingga jika disimpan dengan baik dapat digunakan berkali-kali. Wadah dosis ganda merupakan wadah yang jika sudah dibuka atau digunakan dapat dipakai kembali tanpa adanya perubahan pada kekuatan,dan kualitas. Untuk cara menggunakannya dengan membuka logam tipis penyegel pada tutup sehingga dapat digunakan dengan menyuntikkan
jarum spuit pada bagian karet penutup vial (Bactiar & Madjid, 2014).
Contoh sediaan vial yaitu Flumazenil, Ceftazidime, Simprazol, Omeprazol.
2.5 Expired Date dan Beyond Use Date 1. Expired Date
Expired Date (ED) atau waktu kadaluarsa obat yaitu batas waktu dimana obat yang setelah diproduksi oleh pabrik farmasi terdapat batas waktu penggunaan obat sebelum kemasan obat dibuka. Hal ini disebabkan karena obat sudah tidak layak digunakan sebab mutu, kualitas, juga potensi yang ada didalamnya sudah menurun (Mustafa, 2019).
2. Beyond Use Date
Beyond Use Date (BUD) merupakan batas waktu penggunaan produk obat setelah kemasan primer dibuka, beyond use date juga merupakan batas waktu dimana suatu obat masih dalam keadaan stabil dalam penggunaannya (Mustafa, 2019).
2.6 Tenaga Kesehatan
Menurut UU RI NO.36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, Tenaga kesehatan yaitu seseorang yang mengabdikan dirinya dalam suatu bidang kesehatan dan telah memperoleh pengetahuan serta keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan pekerjaan kesehatan.
1. Perawat
Dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan dijelaskan bahwa perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan baik dalam maupun luar negri yang telah diakui oleh pemerintah sesui dengan Peraturan Perundang-undangan.
Pelayanan yang diberikan didasarkan pada ilmu yang diperoleh kepada individu, kelompok, atau masyarakat dalam keadaan sehat ataupun sakit.
2. Tenaga Kefarmasian
Tenaga kefarmasian merupakan tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, diantaranya yaitu Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
Apoteker adalah seorang sarjana farmasi yang telah lulus apoteker dan
telah mengucap sumpah jabatan Apoteker, sedangkan Tenaga Teknis Kefarmasian diantaranya sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker, merupakan tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian (Permenkes, 2016).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik, Dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Pekerjaan kefarmasian yang maksudkan diantaranya pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Dalam perannya tenaga kefarmasian (apoteker, tenaga teknis kefarmasian dan asisten tenaga kefarmasian) harus mampu memberikan informasi mengenai asuhan kefarmasian (pharmaceutical care), dengan memberikan informasi yang jelas tentang obat yang akan dikonsumsi pasien (Muharni et al., 2015).
2.7 Definisi Obat Furosemid
Obat menurut (Permenkes, 2016) adalah zat atau campuran zat, termasuk produk biologi yang digunakan menyelidiki keadaan fisiologi dan patologi untuk penentuan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, rehabilitasi, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi pada manusia.
1. Indikasi
Untuk indikasi dari furosemide yaitu jika terjadi udem karena penyakit jantung, hati, dan ginjal juga pada udem pulmonari akut dan udem otak yang diharapkan memperoleh onset diuresis yang kuat juga cepat (BPOM, 2015).
Pada Injectable Drug Guide dijelaskan furosemide adalah diuretic loop dengan indikasi edema jantung, paru, hati dan ginjal. Furosemide IV digunakan ketika pasien tidak dapat menerima obat dengan rute oral sehingga terapi menjadi tidak efektif.
2. Dosis Furosemide
Pada obat furosemide terdapat 2 sediaan, yaitu sediaan oral dan injeksi, pada sediaan oral dosis yang di gunakan yaitu 20mg, 40mg, dan 80 mg. Dijelaskan pada Drug Information Handbook bahwa pemberian dosis obat furosemide oral diawal yaitu 20 mg - 80 mg per dosis, lalu untuk pemeliharaan dilakukan peningkatan dosis secara bertahap dari 20 mg – 4mg setiap 6-8 jam. Sedangkan pada sediaan injeksi intravena atau intrmuskular dosis awal yang di gunakan yaitu 20 mg – 40 mg, kemudian dosis bisa di tingkatkan sebesar 20 mg tiap interval 2 jam hingga efek terapi (BPOM, 2015)
3. Karakteristik dan Sifat Fisika Kimia Bahan
Pemerian : Serbuk kristalin, putih kekuningan, tidak bebau.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan diklormetan; sedikit larut dalam alkohol; sangat mudah larut dalam aseton, dalam
dimetilformamid, dan dalam larutan alkali hidroksida, sangat sedikit larut dalam kloroform, sedikit larut dalam eter, larut dalam metil alkohol (Musyahida, 2016).
4. Penyimpanan
Injeksi furosemide harus disimpan pada suhu dengan rentang 15°- 30° atau dalam suhu kamar, dan terlindung dari cahaya (Depkes, 2020).
furosemide injeksi setelah direkonstitusi stabil digunakan dalam 14 hari dan disimpan dalam lemari pendingin (Depkes, 2020).
5. Kerusakan Obat Furosemide
Injeksi furosemide harus terlindung dari cahaya karena jika terjadi perubahan warna menjadi kuning lebih baik tidak digunakan, begitupula dengan tablet furosemide juga harus terlindung dari cahaya karena akan mengakibatkan perubahan warna yang dapat mempengaruhi kestabilan obat (pubchem ncbi, 2021). Penyimpanan injeksi perlu di perhatikan karena menurut Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas Dapertemen Kesehatan RI, (2009) menyatakan bahwa sediaan cairan, larutan, dan injeksi akan lebih cepat rusak karena pengaruh sinar matahari, Namun terdapat hasil penelitian oleh
Khoirurrizza et al (2019) di Puskesmas Teling Atas melalui wawancara dan observasi langsung mengenai sinar matahari, mengatakan bahwa pengaturan sinar matahari di ruang penyimpanan obat atau gudang obat sudah baik karena terdapat tirai pada jendela sehingga dapat melindungi obat dari sinar matahari secara langsung.
6. Obat Satu Golongan
Spironolakton merupakan salah satu obat yang satu golongan dengan furosemide yaitu golongan diuretik. Spironolakton merupakan diuretika hemat kalium yang merupakan antagonis aldosterone, spironolakton bekerja meningkatkan retensi kalium dan ekskresi natrium di tubulus distal (BPOM, 2015).