4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Teori Liberalisme
Karya pertama yang disebut sebagai landasan awal pemikiran Liberalis/Idealis dalam Hubungan Internasional salah satunya adalah karya dari Immanuel Kant (1724-1804) yaitu Perpetual Peace a Philosophical Essay (1795). Bagian pertama dalam buku Perpetual Peace tersebut membahas mengenai mengapa perdamaian harus selalu diperjuangkan dan peperangan harus dihindari, argument Kant ini dirinci dalam beberapa pokok pikiran yaitu sikap antiperang, prinsip anti dominasi asing, prinsip demiliterisasi, pemisahan antara masalah ekonomi dengan hubungan militer, prinsip nonintervensi, dan prinsip non kekerasan. Bagian kedua dari buku Perpetual Peace ini membahas tentang bagaimana membangun dunia yang dapat menciptakan perdamaian abadi yang dirinci dalam beberapa pokok pikiran yaitu sistem negara yang cocok dengan perdamaian abadi adalah sistem republik,hukum internasional idealnya dirumuskan dalam konteks perserikatan negara negara sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan.
Pada bagian ketiga buku Perpetual Peace membahas mengenai bagaimana mewujudkan perdamaian abadi pada politik internasional. Menurut Kant perdamaian abadi akan terjadi jika negara negara yang merupakan aktor utama politik internasional secara sukarela untuk mengikatkan diri pada tiga komponen penting dalam politik internasional yaitu demokrasi, saling ketergantungan ekonomi, dan organisasi internasional, ketiga komponen ini disebut juga dengan segitiga Kantian. Demokrasi yang menjunjung penegakan hukum, toleransi, dan juga check and balance dalam lembaga lembaga negara mampu mencegah negara demokratis untuk tidak terlibat peperangan.Komponen kedua dalam segitiga Kantian yaitu saling ketergantungan ekonomi membuat negara negara lebih memberikan prioritas mereka bagi kerja sama dengan negara lain, hal ini kemudian akan mengurangi dorongan untuk berperang. Komponen ketiga yaitu organisasi internasional berani untuk mengkonversi kepentingan nasional untuk menjadi kepentingan bersama sehingga negara negara anggota dalam organisasi internasional tersebut berpikir mengenai pentingnya kerja sama.
Liberalisme menawarkan 4 dimensi praktis untuk mencapai suatu hubungan internasional yang ideal yaitu pemahaman mengenai “postive peace” , tumbuhnya “the spirit of commerce” dalam politik ekonomi internasional, adanya saling ketergantungan dan institusionalisme pada kerja sama regional maupun internasional, yang terakhir yaitu pentingnya penegakan pada prinsip hak asasi manusia (Hadiwinata,2017). Teori ini cocok
5
digunakan dalam menganalisa mengenai kerjasama pemerintah Indonesia, UNHCR, dan IOM terkait pengungsi karena seperti pada komponen ketiga dari segitiga Kantian, organisasi internasional dalam hal ini UNHCR dan IOM berhasil untuk mengkonversi kepentingan nasional Indonesia menjadi kepentingan bersama terkait pengungsi. Dimana meskipun Indonesia tidak merativikasi konvensi 1951 mengenai pengungsi, namun Indonesia dengan bantuan UNHCR dan IOM dapat menerima para pengungsi yang datang dan juga memberikan hak hak pengungsi atas dasar kemanusiaan sampai mereka dapat dipindahkan pada negara tujuan mereka.
1.2 Pengertian Pengungsi
Pada Konvensi 1951 tentang status pengungsi dijelaskan bahwa pengungsi merupakan
“orang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial dan partai politik tertentu, berada di luar negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari negara tersebut.” (UNHCR,2020)
Pengungsi dapat dikelompokan menjadi dua jenis :
1. Pengungsi yang diakibatkan karena terjadinya bencana alam (Natural Disaster).
Para pengungsi ini pada prinsipnya masih mendapat perlindungan dari negaranya untuk keluar menyelamatkan jiwanya
2. pengungsi yang disebabkan oleh suatu bencana yang dibuat oleh manusia. Pada prinsipnya pengungsi ini keluar dari negaranya karena menghindari persekusi dari negaranya. Pengungsi karena ulah manusia ini biasanya terpaksa untuk meninggalkan negaranya, sehingga tidak mendapatkan perlindungan lagi dari negara asalnya. (Riady,2018).
Pengungsi juga dapat dilihat dari 2 faktor yaitu faktor subjektif dan juga objektif: Faktor subjektif merupakan faktor yang terdapat dari diri pengungsi itu sendiri (yang meminta status pengungsi). Faktor inilah yang kemudian menentukan apakah pada diri pengungsi tersebut ada rasa ketakutan maupun kekhawatiran terhadap adanya persekusi dari negaranya, alasan ketakutan inilah yang kemudian menentukan orang tersebut layak atau tidak disebut pengungsi.
Faktor objektif merupakan keadaan dari tempat asal pengungsi, dimana pada negara asal pengungsi tersebut apakah benar benar terdapat persekusi terhadap orang orang tertentu, contohnya persekusi terhadap perbedaan ras, perbedaan agama, pandangan politik yang berbeda, dll. Seseorang dinyatakan tidak layak sebagai pengungsi apabila (Riady,2018). :
6
1. orang orang yang ingin menjadi pengungsi ini melarikan diri ke luar negeri karena alasan ekonomi agar bisa menjadi lebih baik
2. kaum Emigran, mereka tidak bisa disebut sebagai pengungsi
3. pindah ke suatu negara hanya untuk mendapatkan kenikmatan pribadi
Pada Peraturan Presiden (PERPRES) No. 125 Tahun 2016, Pasal 1 tertulis : Pengungsi dari luar negeri adalah orang asing yang berada pada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disebabkan karena ketakutan yang beralasan akan persekusi dengan alasan suku, ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, dan pendapat politik yang berbeda serta tidak menginginkan perlindungan dari negara asalnya dan/ atau telah mendapatkan status pencari suaka atau status pengungsi dari Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indornesia. Kemudian terdapat beberapa pasal mengenai penanganan pengungsi sebagai patokan dalam kerjasama UNHCR dan juga pemerintah Indonesia yaitu :
Pasal 2 Peraturan Presiden (PERPRES) No. 125 Tahun 2016
1. Penanganan Pengungsi dilakukan berdasarkan dari Kerjasama antara pemerintah pusat dengan Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indonesia dan/atau organisasi internasional”
2. Organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan organisasi internasional di bidang urusan migrasi atau di bidang kemanusiaan yang memiliki perjanjian dengan pemerintah pusat.
Pasal 28 G Ayat 2 UUD 1945
“ Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
Pasal 33 Konvensi 1951
“Tidak ada Negara Pihak yang akan mengusir atau mengembalikan (refouler) pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah wilayah dimana hidup dan kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, atau politiknya. Akan tetapi, keuntungan dari ketentuan ini tidak boleh diklaim oleh para pengungsi di mana terdapat alasan alasan yang layak untuk menganggap sebagai bahaya terhadap keamanan negara di mana pengungsi tersebut berada, atau karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan hakim yang bersifat final atas tindak pidana sangat berat dan ia merupakan bahaya pada masyarakat negara tersebut”.
7 2.3 Konsep Human Security
Human security mendefinisikan kembali pendekatan keamanan melalui fokus semata mata kepada manusia secara Individual. Dasar dari konsep ini disebutkan pada human development report 1994; New dimensiofis of human security, yang dipublikasikan pada tahun 1994 oleh United Nation Development Porgramme (UNDP). Inti utama dari konsep ini adalah mengenai kehidupan dan martabat manusia yang sehubungan dengan keamanan. Pendekatan UNDP terhadap keamanan yang berfokus kepada individu ini dikembangkan dengan tujuh komponen universal dan interdependent yang disebut keamanan ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, personal, komunitas, dan politik. (Tadjbakhsh,2007)
Terdapat 2 aturan yang mengantisipasi ancaman terhadap human security. Secara luas yaitu freedom from want, yaitu kebebasan atau perlindungan dari masalah kronis seperti kelaparan, penyakit, ataupun kemiskinan. Lalu secara sempit yaitu freedom from fear, yang mencakup kebebasan dan perlindungan dari kejadian sehari hari yang tiba tiba dan menyakitkan, yang berhubungan dengan personal security karena aspek pskiologis yang terlibat. (Gierszewsk,2017)
Fen Osler Hampson dalam analisisnya terhadap personal security, menunjukan 3 interpretasi terhadap gagasan tersebut. Pertama, mendefinisikan keamanan individual berdasarkan hukum alam dan aturan hukum. Kedua berhubungan dengan gagasan humaniter dan aksi yang bertujuan untuk memperkuat hukum internasional pada genosida dan kejahatan perang, menyingkirkan senjata khususnya yang berbahaya bagi warga negara, dan intervensi kemanusian. Lalu yang ketiga berkaitan dengan keadilan sosial. (Gierszewsk,2017)
3 interpretasi terhadap personal security tersebut fokus terutama pada masalah yang berhubungan dengan pada perkembangan dan perlindungan hak asasi manusia, yang mana sesuai dengan freedom from want, dan intervensi kemanusiaan yang bertujuan untuk melindungi hidup dan hak dari individual, condong kepada freedom form fear.
Dapat disimpulkan kosnep human security mempunyai :
1. Sifat yang universal terhadap semua kemanusiaan (tanpa melihat teritori) 2. Bergantung kepada semua sub area (dimensi)
4. Kemampuan untuk mencapai tujuan melalui pencegahan bukan intervensi.
5. Fokus pada manusia, bukan negara (Gierszewsk,2017)
8 2.4 Penelitian Sebelumnya
Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
David Fernando,dkk (2021)
Kerjasama Direktorat Jenderal Imigrasi Dengan
UNHCR (United Nations High Commissioner For
Refugees)
Kerjasama Indonesia dengan UNHCR sudah berlangsung sejak tahun 1979 melalui Agreement between the Govermnment of th Republic of Indonesia and United Nation High Commissioner for Refugees rgarding the Establishment of the Office of the UNHCR Representative for Indonesia yang tealh ditandatangani pada 15 Juni 1979. Intinya perjanjian tersebut
menyatakan bahwa UNHCR
diperbolehkan untuk membuka kantor regional di Indonesia dan membantu Indonesia dalam penanganan masalah pengungsi.
Strategi yang dirancang oleh UNHCR dan juga Kemenkumham yang paling utama adalah dengan memperkuat komunikasi dalam hal pencarian, penemuan, sampai pertolongan pengungsi yang ada di Indonesia
Persamaan : penulis dan juga peneliti sebelumnya sama sama membahas mengenai peran UNHCR dan juga lembaga keimigrasian Indonesia dalam menangani pengungsi
Perbedaan : peneliti sebelumnya hanya berfokus pada fungsi UNHCR dan Kemenkumham sedangkan penulis juga membahas mengenai bagaimana human security dari pengungsi yang ada di Indonesia
Indra (2020)
Analisis Yudiris Terhadap Hak Pengungsi Ditinjau dari Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 Di
Indonesia
Sebelum adanya Perpres No.125 Tahun 2016 Keterbatasan dari regulasi di Indonesia terhadap pengungsi membuat pemerintah kesusahan dalam menangani pengungsi, pencegahan sementara yang kemudian dilakukan adalah dengan menggunakan UU No. 6/2011 tentang keimigrasian.
Setelah di sahkannya Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 penanganan pengungsi menjadi lebih jelas dan sesuai ketentuan internasional yang berlaku umum dan sesuai dengan peraturan perundang undangan, dan juga Perpres
9
ini memberikan beberapa hak dasar dari pengungsi dan prinsip prinsip yang berkaitan dengan Konvensi 1951 dan Protokol 1967 diantaranya ada pada pasal 6, pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29, dan pasal 39 dari Perpres no, 125 tahun 2016.
Persamaan : Penulis dan juga peneliti sebelumnya sama sama membahas mengneai bagaimana pemerintah Indonesia mengatasi masalah pengungsi Perbedaan : Peneliti Sebelumnya lebih fokus kepada hukum atau regulasi pemerintah Indonesia dalam menganai pengungsi. Sedahkan penulis ingin melihat lebih dalam mengnai human security pengungsi yang ada di Indonesia, dan ingin melihat peran pemerintah, UNHCR dan juga IOM dalam menjamin human security pengungsi tersebut
Ninna Nyberg Sorensen,dkk (2017)
Europe and The refugee situation Human Security
Implications
Dalam penelitian ini peneliti membahas mengenai kebijakan Uni Eropa dalam menangani lonjakan pengungsi yang datang ke Eropa.
kebijakan pertama yaitu perjanjian antara Uni Eropa dan Turki pada Maret 2016, dimana tujuan utama dalam perjanjian ini adalah untuk menghentikan kedatangan pengungsi dari Turki menuju Greece dan mengembalikan semua pengungsi irregular
Kemudian ada Uni Eropa-Afganistan
“Joint Way Forward”. Terdapat jumlah yang signifikan dari pencari suaka afganasitan yang ditolak di Eropa, untuk mempercepat dan menaikan volume dari pengembalian para pencari suaka yang ditolak tersebut,maka Uni Eropa membentuk Joint Way Forward pada isu migrasi antara Afganistan dan Uni Eropa pada 5 Oktober 2016.
lalu ada Uni Eropa Emergency Trust Fund For Africa, dimana pada November 2015 Uni Eropa dan 36 negara Afrika melakukan Valeletta Summit. Pertmuan tersebut diadakan di Malta dimana pemimpin Afrika dan Uni Eropa berkomitmen untuk
10
mengabungkan deklarasi politik dan mengmbangkan action plan dibiayai oleh 1.8 milyar Euro Uni Eropa Emergency Trust Fund untuk stabilisasi dan mengatasi akar masalah dari migrasi iregular dan orang yang terlatar di afrika.
Persamaan : Peneliti sebelumnya dan penulis sama sama membahas mengenai pengungsi
Perbedaan : Peneliti Sebelumnya secara spesifik membahas masalah human security dan solusi dari Uni Eropa untuk mengurangi lonjakan pengungsi yang datang ke Eropa, sedangkan penulis secara spesifik membahas mengenai pengungsi yang ada di Indonesia
Ignatius Hubert, Windy Dermawan
(2020)
Paradiplomasi Pemerintah Jakarta Barat terhadap Publik Global dalam Isu
Pengungsi di Kalideres
Dalam penelitian ini peneliti membahas mengenai bagaimana pemerintah Jakarta Barat mengatasi konflik horizontal antara pengungsi yang tinggal di gedung eks-Kodim dengan masyarakat sekitar, dimana pengunggsi yang melakukan demonstrasi di kantor perwakilan UNHCR untuk pemenuhan hak hak dan juga menuntut agar pemindahan mereka dipercepat membuat warga resah. Untuk mengatasi hal ini peneliti melihat kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi Jakarta Barat, dan UNHCR dari perspektif paradiplomasi dalam menyalurkan bantuan seperti makanan, sarana kebersihan, dan juga tempat tinggal sementara di gedung eks- kodim yang mengalami perpanjangan izin tinggal tanpa batas waktu.
persamaan : peneliti sebelumnya dan penulis sama sama membahas mengenai pengungsi yang menginginkan hak haknya untuk dipenuhidan juga agar dipercepat pemindahan ke negara tujuan mereka.
perbedaan : peneliti sebelumnya fokus pada cara pemerintah Jakarta Barat menangani konflik antara pengungsi dan masayarakat setempat. Sedangkan penulis lebih fokus kepada human security dari pengungsi tersebut
11 Ida Susilowati, Adha
Amir Ariefudien, Adhitya Sandy
Wicaksono (2021)
Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Ditinjau dari
Hukum Islam
Dalam penelitian ini peneliti membahas mengenai hak hak pengungsi dan juga kebijakan pemerintah dalam upaya untuk memenuhi hak hak pengungsi tersebut dari perspektif hukum Islam.
Dimana menurut penulis Konsep Islam yang berlandaskan pada keluhuran moral atas manusia menjadikannya sebagai konsepsi yang universal. Jika ditinjau dari hukum Islam, banyak sekali perlakuan pemerintah terhadap pengungsi yang ada di Indonesia yang perlu diperhatikan, khususnya mengenai bagaimana pengungsi dan menyambung hidupnya di Indonesia, dan hak hak fundamental mereka yang belum terpenuhi.
persamaan : peneliti sebelumnya dan penulis sama sama membahas mengenai hak hak fundamental dari pengungsi yang ada di Indonesia
perbedaan : peneliti sebelumnya membahas mengenai hak asasi pengungsi dari perspektif hukum Islam, sedangkan penulis melihatnya dari konsep human security
12 2.5 Kerangka Pikir
Indonesia bukan negara yang merativikasi konvensi pengungsi 1951 oleh karena itu dalam hal menerima pengungsi Indonesia hanya sebagai negara rransit. Meskipun begitu seperti pada teori liberalisme yang melihat kemanusiaan setiap individunya, pemerintah Indonesia dan juga masyarakatnya menerima pengungsi yang terombang ambing di laut atas dasar kemanusiaan. Namun karena penempatan pada negara ketiga semakin dibatasi, mengakibatkan pengungsi di Indonesia harus menetap lama. Tinggal lama di Indonesia tanpa boleh bekerja dan juga hanya mendapatkan sedikit uang mengakibatkan pengungsi merasa cemas dan juga khawatir akan masa depan mereka yang akhirnya membuat mereka melakukan tindakan protes untuk segera ditempatkan pada negara ketiga, salah satu aksi protes yang ekstrim yang dilakukan para pengungsi yaitu ada yang membakar diri bahkan juga sampai bunuh diri. Oleh karena itu penulis ingin melihat bagaimana kerjasama Pemerintah Indonesia,UNHCR dan IOM terkait pengungsi sehingga human security dari para pengungsi yang ada di Indonesia dapat terpenuhi.
Indonesia sebagai negara transit tidak merativikasi Konvensi Pengungsi 1951
Pengungsi diterima di Indonesia atas dasar Kemanusiaan
Pengungsi di Indonesia terlalu lama tinggal tanpa kepastian
Peran Pemerintah Indonesia dalam menangani pengungsi di Indonesia Peran UNHCR dalam menangani
pengungsi di Indonesia
Peran IOM dalam menangani pengungsi di Indonesia Teori
Liberalisme
Konsep human Security