ABSTRAK
Annisa Fahmiati Nurzaman (1002397). Penerapan Model Pembelajaran TAPPS dengan Pendekatan Saintifik dalam Peningkatan Kemampuan Problrm Solving Siswa SMP.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan problem solving siswa yang menggunakan model TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving) dengan pendekatan saintifik dengan model pembelajaran yang langkah-langkahnya diajukan pada buku pegangan guru kurikulum 2013; (2) mengetahui sikap siswa terhadap model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi-eksperimen, dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Cimahi tahun ajaran 2014/2015, dan sampel dalam penelitian ini adalah siswa pada kelas VII-6 dan VII-8 sekolah tersebut. Dimana salah satu kelasnya menjadi kelas eksperimen dan kelas yang lainnya menjadi kelas kontrol. Kelas eksperimen memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran TAPPS sedangkan kelas kontrol memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran yang langkah-langkahnya diajukan pada buku pegangan guru matematika SMP kurikulum 2013. Data penelitian ini diperoleh melalui tes kemampuan problem solving siswa, angket dan lembar observasi. Hasil penelitian yang didapatkan adalah: (1) tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan problem solving matematis antara siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran Thinking Aloud Pair
Problem Solving(TAPPS) dengan pendekatan saintifik dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran yang berpedoman pada buku pegangan guru matematika kurikulum 2013. Kualitas peningkatan kemampuan problem solving matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran model pembelajaran Thinking
Aloud Pair Problem Solving(TAPPS) dan siswa yang mendapatkan pembelajaran
yang berpedoman pada buku pegangan guru matematika kurikulum 2013 tergolong sedang; (2) sikap siswa yang mendapatkan pembelajaran model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving(TAPPS) sangat positif.
Kata Kunci : Model Pembelajaran TAPPS, Thinking Aloud Pair Problem
ABSTRACT
Annisa Fahmiati Nurzaman (1002397). Aplication of TAPPS Learning Model with Saintific Approach to Improving The Problem Solving Ability of Junior High School Students.
The research was distributed by low level of mathematical problem-solving ability of junior high school students. The purpose of this study is (1) to know the difference improvement problem solving ability of students who use the model Tapps (Thinking Aloud Pair Problem Solving) with a scientific approach with a scientific approach to the model of learning which the steps proposed in 2013 curriculum teacher handbook. (2) determine students' attitudes towards the learning model of Thinking Aloud Pair Problem Solving. The method used in this study was a quasi-experimental method with a non-equivalent control group. Population of this study were all students of VII grade of SMP 4 Cimahi in 2014/2015 academic year, and samples in this study are students of VII-8 VII-6 class at that school where one class became an experimental class and other classes became the control class. The Experimental class derive a learning with TAPPS models, while The control class derive a learning with a learning model that the steps are proposed in the junior high school math teacher handbook curriculum of 2013. This research data obtained through the student's problem solving ability test, questionnaire and observation sheet. The results of this research are : (1) There was no difference in mathematical problem solving ability improvement among students who get a learning model of Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) with a scientific approach with students who get a learning model based on the mathemathics teacher handbook curriculum of 2013. Quality improvement of mathematical problem solving ability of students who get learning model of Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) and students who get a learning model based on the mathemathics teacher handbook curriculum of 2013 are goes to medium; (2) attitudes of students who get the learning model of Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) are very positive.
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ...
LEMBAR PERNYATAAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Definisi Operasional ... 7
F. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9
A. Masalah dalam Matematika ... 9
B. Problem Solving ... 11
D. Pengertian Pendekatan Saintifik ... 15
E. Buku Pegengan Guru Matematika Kurikulum 2013 ... 17
F. Model Pembelajaran TAPPS dengan pendekatan Saintifik ... 21
G. Hasil Penelitian yang Relevan ... 21
H. Hipotesis Penelitian ... 22
BAB III METODE PENELITIAN ... 23
A. Metode dan Desain Penelitian ... 23
B. Instrumen Penelitian ... 24
C. Perangkat Pembelajaran ... 32
D. Prosedur Penelitian ... 32
E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37
A. Hasil Penelitian ... 3
1. Analisis Data Kuantitatif ... 38
2. Analisis Data Kualitatif ... 46
B. Pembahasan ... 51
1. Peningkatan Kemampuan Problem Solving Siswa ... 51
2. Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving ... 54
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 55
A. Simpulan ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 56
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Keterkaitan Antara langkah Pembelajaran dengan Kegiatan Belajar dan Maknanya... 16
Tabel 2.2 Rincian Isi Buku Pegangan Guru Matematika kelas 7 Kurikulum 2013 ... 18
Tabel 3.1 Kriteria Skor Kemampuan Problem Solving Siswa ... 25
Tabel 3.2 Interpretasi Validitas Nilai r ... 26
Tabel 3.3 Data Interpretasi Validitas Nilai Pretes... 27
Tabel 3.4 Data Interpretasi Validitas Nilai Pretes... 27
Tabel 3.5 Interpretasi Derajat Realiabitas... 28
Tabel 3.6 Interpretasi Daya Pembeda... 29
Tabel 3.7 Interpretasi Indeks Daya Pembeda Pretes... 29
Tabel 3.8 Interpretasi Indeks Daya Pembeda Postes... 29
Tabel 3.9 Interpretasi Indeks Kesukaran... 30
Tabel 3.10 Interpretasi Indeks Kesukaran Pretes... 31
Tabel 3.11 Interpretasi Indeks Kesukaran Postes... 31
Tabel 3.12 Klasifikasi Indeks Gain... 34
Tabel 3.13 Uji Hipotesis... 35
Tabel 4.1 Data Statistik Deskriptif Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis... 40
Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas Data Pretes ... 41
Tabel 4.3 Hasil Uji Mann Whitney Data Pretes... 42
Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Data Postes... 43
Tabel 4.5 Hasil Uji Mann Whitney Data Postes... 44
Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Data Indeks Gain... 45
Tabel 4.7 Hasil Uji Mann Whitney Data Indeks Gain... 46
Tabel 4.8 Data Pengolahan dan Interpretasi Data Indeks Gain... 47
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Skema Pendekatan Induktif Deduktif ... 15
Gambar 3.1 Skema Alur Pengolahan Data Kuantitatif ... 36
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A PERANGKAT PEMBELAJARAN
LAMPIRAN B INSTRUMEN PENELITIAN
LAMPIRAN C HASIL UJI INSTRUMEN TES
LAMPIRAN D PENGOLAHAN DATA
LAMPIRAN E CONTOH DATA HASIL PENELITIAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah merupakan teman terbaik kehidupan setiap manusia. Tak ada
manusia yang tak memiliki masalah dalam kehidupannya. Masalah timbul sebagai
pelengkap dan proses belajar. Munadir (Tarudin, 2012) mengemukakan bahwa
suatu masalah dapat diartikan sebagai situasi dimana seseorang diminta
menyelesaikan suatu persoalan yang belum pernah dikerjakan dan belum
memahami pemecahannya. Masalah juga merupakan hal baru yang harus
dicarikan solusi pemecahannya. Dalam artikel PISA 2012, dijelaskan bahwa “A
problem exists when a person has a goal but doesn’t know how to achieve it”
(Duncker, 1945). Suatu hal dikatakan masalah jika seseorang memiliki suatu
target yang harus dicapai namun ia tidak dapat mencapainya dengan mudah.
Berdasarkan penjelasan mengenai masalah tersebut, diperlukan suatu usaha untuk
mencapai setiap tujuannya. Usaha tersebut disebut juga sebagai suatu kemampuan
pemecahan masalah.
Pemecahan masalah menjadi hal yang sangat penting bagi perkembangan
kehidupan manusia. Seperti yang dikemukakan Polya (Surya, 2012) yang
mengatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu usaha mencari jalan
keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu segera
dapat dicapai. Sobandar (Sugandi, 2011:6) mengemukakan bahwa situasi
pemecahan masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan
dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Kemampuan
pemecahan masalah selayaknya menjadi sorotan utama bidang pendidikan.
Karena tujuan pendidikan adalah membuat kehidupan manusia menjadi lebih
baik. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional secara khusus
menunjukkan akan peran strategis pendidikan dalam pembentukan SDM yang
berkualitas
Pembelajaran matematika sekolah memiliki tujuan agar siswanya dapat
berpikir secara logis, kritis, terstruktur dan memiliki kemampuan pemecahan
masalah. Menurut Mulyono, (Heti Nurhanti, 2012) ada banyak alasan tentang
sarana berpikir yang jelas dan logis, (2) sarana untuk memecahkan masalah
kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi
pengalaman, (4) sarana untuk mengembangkan kreativitas, dan (5) sarana untuk
meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.
Menurut Lenchner (Turudin, 2012), memecahkan masalah matematika
adalah proses menerapkan pengetahuan matematika yang telah diperoleh
sebelumnya ke dalam situasi yang baru dikenal. Sedangkan menurut Sudjimat
(Saputra, 2012) mengatakan bahwa belajar pemecahan masalah pada hakikatnya
adalah belajar berpikir (learning to think) atau belajar bernalar (learning to
reason), yaitu berpikir atau bernalar mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan
yang telah diperoleh sebelumnya untuk memecahkan masalah-masalah baru yang
belum pernah dijumpai sebelumnya.
Namun dalam berbagai jenis tes yang diselenggarakan secara
internasional, seperti Programme for International Student Assessment (PISA)
dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) Indonesia
terdapat dalam kategori rendah di bidang matematika. Keterlibatan Indonesia
dalam PISA dan TIMSS salah satu tujuannya adalah sebagai suatu gambaran
sejauh mana perkembangan program pendidikan di Indonesia dibanding
negara-negara lain di dunia, khususnya pendidikan matematika.
Berdasarkan analisis hasil PISA 2009, kemampuan matematika siswa
Indonesia peserta PISA masih dibawah kemampuan matematika negara lain. Dari
6 (enam) level kemampuan yang dirumuskan di dalam studi PISA, hampir semua
peserta didik Indonesia hanya mampu menguasai pelajaran sampai level 3 (tiga)
saja, sementara negara-negara lain dapat mencapai level 4 (empat), 5 (lima), dan 6
(enam). Peringkat kemampuan matematika Indonesia pada PISA 2012 pun belum
mengembirakan. Indonesia berada di posisi 64 dari 65 negera yang berpartisipasi.
Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan studi TIMSS. Analisis hasil
TIMSS tahun 2007 dan 2011 di bidang matematika, Dari 5 (lima) level
kemampuan (very low, low, intermediate, high, advance) yang dirumuskan di
dalam studi TIMSS, lebih dari 95% peserta didik Indonesia hanya mampu
mencapai level menengah (intermediate). Sementara di Taiwan hampir 50%
mengukur kemampuan sampai level applying; high mengukur kemampuan sampai
level reasoning; dan advance mengukur kemampuan sampai level reasoning with
incomplete information. Peringkat kemampuan matematika Indonesia di TIMSS
2011 pun tidak membawa kabar baik bagi pendidikan Indonesia, karena
Insdonesia berada di urutan ke-40 dari 42 negara.
Selain itu, hasil Ujian Nasional yang dilakukan sebagai salah satu alat ukur
kemampuan siswa dalam negeri menunjukkan hal yang sama. Dalam Konpres UN
SMP 2013 tanggal 13 Mei 2013 dikatakan bahwa terdapat penurunan jumlah
kelulusan siswa sebesar 0,02% dari tahun sebelumnya. Dengan nilai matematika
yang tergolong rendah Hal itu menjadi suatu gambaran bahwa kemampuan
matematika siswa masih rendah.
Untuk meningkatkan kemampuan siswa dan dapat bersaing dengan
masyarakat global, Indonesia kemudian menerapkan kurikulum baru yang
diharapkan mampu meningkatkan kemampuan siswa secara lebih baik.
Kurikulum 2013 menganut pandangan dasar bahwa pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari guru ke siswa. Pembelajaran dalam kurikulum 2013
harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk untuk mencari, mengolah,
mengkonstruksi dan menggunakan pengetahuan dalam proses kognitifnya
(Permendikbud, 2013). Kurikulum 2013 juga menuntut agar dalam pembelajaran
terjadi aktivitas aktif dan berpusat pada siswa. Guru sebagai fasilitator dalam
pembelajaran juga diharapkan dapat merancang suatu proses pembelajaran agar
siswa mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang kontekstual dan
nyata.
Proses pembelajaran pada kurikulum 2013 untuk semua jenjang
dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik
dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam
mengenal, memahami berbagai materi menggunakan pendekatan ilmiah. Untuk
dapat disebut ilmiah, model pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada
bukti-bukti objek yang dapat diobservasi, empiris dan terukur dengan
prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu model ilmiah umumnya memuat
serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau eksperimen,
menguji hipotesis. Oleh karena itu kondisi pembelajaran yang diharapkan dapat
mendorong peserta didik dalam mencari berbagai informasi keilmuan dari
berbagai sumber melalui proses-proses penemuan secara ilmiah melalui observasi.
Ramon Mohandas, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dalam sebuah artikel mengemukakan bahwa
kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika, sains dan membaca dapat
ditingkatkan dengan perubahan dalam model pembelajaran di kelas, antara lain
dengan memperbanyak praktik. Hal tersebut disampaikan di radio KBR 68 H,
pada Rabu (11/12). Dengan demikian diharapkan tingkat kemampuan matematika
peserta didik berkembang menjadi berpikir tingkat tinggi.
Berdasarkan pola perubahan berpikir kuikulum 2013, model-model
pembelajaran yang mendukung kurikulum 2013 adalah model pembelajaran yang
menganut paham kontrukstivisme. Pada kurikulum 2013, peserta didik dipandang
mampu mengkontruksi sendiri pengetahuan menjadi pengetahuan baru. Tugas
pendidik adalah menjadi fasilitator pengetahuan agar peserta didik mampu
mengkontruksi sendiri pengetahuannya.
Model pembelajaran yang mampu melibatkan siswa secara aktif dalam
pembelajaran salah satunya adalah model Pembelajaran kooperatif tipe Thinking
Aloud Pair Problem Solving (TAPPS). Ide dasar pembelajaran menggunakan
TAPPS adalah memotivasi siswa dalam kelompok agar mereka dapat saling
membantu dan mendorong satu sama lain dalam menguasai materi yang disajikan.
Johnson & Chung (1999:2) dalam jurnalnya yang berjudul The Effect Of
Thingking Aloud Pair Problem Solving On The Troubleshooting Ability Of
Aviation Techinician Student mengungkapkan beberapa kelebihan menurut para
ahli, yakni:
1. Setiap anggota pada pasangan TAPPS dapat saling belajar mengenai
strategi problem solving satu sama lain sehingga mereka sadar tentang
proses berpikir masing-masing. (Johnson & Chung, 1999)
2. TAPPS menuntut seorang problem solver untuk berpikir sambil
3. Dialog pada TAPPS membantu membangun kerangka kerja kontekstual
yang dibutuhkan untuk meningkatkan pemahaman siswa (Mac\\Gregor,
1990)
4. TAPPS memungkinkan siswa untuk melatih konsep, mengaitkannya
dengan kerangka kerja yang sudah ada, dan menghasilkan pemahaman
materi yang lebih mendalam (Slavin, 1995)
Model pembelajaran TAPPS ini dapat dengan baik dikolaborasikan dengan
pendekatan saintifik, yang merupakan pendekatan khusus sebagai salah satu ciri
khas dalam implementasi kurikulum 2013. Pendekatan ilmiah atau pendekatan
saintifik dinilai mampu menjadi titian emas perkembangan dan pengembangan
sikap, keterampilan dan pengetahuan peserta didik. Dalam pendekatan atau proses
kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan penelaran
induktif dibandingkan penalaran deduktif. Proses ini harus berbasis pada
bukti-bukti objek yang dapat diobservasi, empiris dan terukur dengan prinsip-prinsip
penalaran yang spesifik. Karena itu pendekatan ilmiah atau pendekatan saintifik
umumnya memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau
eksperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian
memformulasi dan menguji hipotesis. Pendekatan saintifik ini akan membantu
siswa untuk memahami pelajaran matematika dengan model TAPPS tersebut.
Dengan serangkaian kegiatan yang dilakukan sesama siswa yang berperan sebagai
Listener dan Problem Solver.
Karena paparan diatas, penulis merasa yakin model pembelajaran TAPPS
mampu meningkatkan kemampuan problem solving peserta didik pada jenjang
SMP. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving Dengan Pendekatan Saintifik Dalam Peningkatan Kemampuan Problem Solving Siswa SMP”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan problem solving siswa
dengan pendekatan saintifik dengan metode pembelajaran yang
langkah-langkahnya diajukan pada buku pegangan guru kurikulum 2013?
2. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan
menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui :
1. Mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan problem solving siswa
yang menggunakan model TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving)
dengan pendekatan saintifik dengan model pembelajaran yang
langkah-langkahnya diajukan pada buku pegangan guru kurikulum 2013.
2. Mengetahui sikap siswa terhadap model pembelajaran Thinking Aloud Pair
Problem Solving.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Hasil pengkajian ini diharapkan dapat menambah ilmu, khususnya dalam
bidang pendidikan mengenai kemampuan problem solving matematis
dengan pembelajaran melalui model pembelajaran TAPPS dengan
pendekatan saintifik.
2. Manfaat praktis
Adapun manfaat praktis dari pengkajian penelitian ini adalah:
a. Memberikan manfaat kepada calon guru bahwa model pembelajaran
TAPPS dapat dipakai dalam proses pembelajaran yang menerapkan
pendekatan saintifik sesuai pada kurikulum 2013, khususnya dalam proses
pembelajaran matematika.
b. Diharapkan dalam pengkajian materi ini dapat menjadikan model TAPPS
dengan pendekatan saintifik sebagai salah satu alternatif metode
pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2013.
c. Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang
penggunaan metode pembelajaran TAPPS dengan pendekatan saintifik
E. Definisi Operasional
Menghindari penafsiran yang berbeda dalam penelitian ini, berikut diberikan
beberapa penjelasan istilah:
1. Problem solving atau kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan
siswa untuk menyelesaikan masalah. Dalam penelitian ini dikhususkan
pada penyelesaian masalah matematis dengan berpedoman pada proses
penemuan jawaban yang dikemukakan oleh Sumarmo yaitu, (1)
Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan
kecukupan unsur yang diperlukan. (2) Merumuskan masalah matematik
atau menyusun model matematik. (3) Menerapkan strategi untuk
menyelesaikan berbagai masalah dalam atau di luar matematika. (4)
Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan awal. (5)
Menggunakan matematika secara bermakna.
2. TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem solving) adalah model
pembelajaran problem solving yang melibatkan beberapa orang siswa yang
bekerjasama secara berpasangan untuk memecahkan masalah. Satu pihak
berperan sebagai problem solver yang memecahkan masalah dan
menyampaikan semua gagasan dan pemikirannya selama proses
memecahkan masalah pasangannya. Pasangannya sebagai listener yang
mengikuti dan mengoreksi dengan ara mendengarkan seluruh proses
problem solving dalam memecahkan masalah.
3. Pendekatan Saintifik adalah pendekatan yang dilakukan dengan
melakukan serangkaian kegiatan ilmiah meliputi: aktivitas pengumpulan
data melalui observasi atau eksperimen, mengolah informasi atau data,
menganalisis, kemudian memformulasi dan menguji hipotesis. Pedoman
Umum Pembelajaran dinyatakan bahwa Proses pembelajaran terdiri atas
lima pengalaman belajar pokok yaitu: mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan.
4. Buku pegangan guru kurikulum 2013 adalah buku panduan pengajaran dan
materi ajar yang disediakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia guna membantu memudahkan pengajaran di sekolah saat
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran kerangka penulisan hasil penelitian ini,
diberikan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Memberikan pengantar yang melatar belakangi dilakukannya penelitian,
meliputi latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah penelitian,
batasan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi
operasional, dan struktur organisasi penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Membahas mengenai landasan teori yang berkaitan dengan permasalahan
dalam penelitian serta hipotesis untuk penelitian ini.
BAB III METODE PENELITIAN
Berisi hal-hal yang bersifat prosedural dalam penelitian, meliputi metode dan
desain penelitian, perangkat/instrumen penelitian, partisipan, alur penelitian,
dan teori mengenai pengolahan dan analisis data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi paparan hasil penelitian, pengolahan, analisis data, dan pembahasan
mengenai hasil penelitian, serta pengambilan keputusan untuk membuat
kesimpulan.
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
Berisi kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi penelitian berdasarkan hasil
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode dan Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen semu (kuasi eksperimen). Adalah metode eksperimen yang
pengontrolannya hanya dilakukan terhadap satu variabel saja, yaitu variabel yang
dianggap paling dominan. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah
metode pembelajaran TAPPS dengan pendekatan saintifik, sedangkan variabel
terikatnta adalah kemampuan problem solving matematis.
Ruseffendi (2010:36) menjelaskan bahwa pada kuasi eksperimen, subjek
tidak dikelompokkan secara acak, karena pengelompokkan baru secara acak, di
lapangan tidak dimungkinkan. Hal ini sesuai dengan pemilihan sampel yang akan
dilakukan.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain
kelompok kontrol non-ekivalen. Pada penelitian ini terdapat dua kelompok
penelitian, yakni kelompok kelas eksperimen yang mendapatkan perlakuan model
pembelajaran TAPPS dengan pendekatan saintifik. Dan kelompok kontrol yang
menggunakan metode pembelajaran sesuai tuntunan langkah-langkah pada buku
panduan guru matematika kurikulum 2013.
Desain penelitian kelompok control non-ekivalen pada penelitian ini
adalah sebagai berikut :
0 X 0
---
0 0
Keterangan:
0 : Pretest dan postes
X : Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran TAPPS
dengan pendekatan saintifik
--- : Subjek penelitian tidak dikelompokan secara acak
Pada penelitian ini masing-masing kelas dilakukan pretes dan kemudian
dilakukan pembelajaran yang berbeda. Pada tahap akhir pembelajaran kedua kelas
tersebut diberikan postes. Hasil postes atau gain (besarnya peningkatan hasil tes)
kedua kelompok ini selanjutnya dibandingkan untuk menentukan ada tidaknya
perbedaan antara kedua kelompok tersebut.
B. Instrumen Penelitian
Instrumen Untuk mendapatkan data, maka jenis instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Tes
Tes diberikan untuk mengukur atau mengetahui kemampuan kognitif
siswa terhadap materi yang diajarkan. Pada penelitian ini, tes yang digunakan
terbagi ke dalam dua macam tes, yaitu:
a. Tes awal (pretes) dilakukan di awal sebelum pelaksanaan pembelajaran
dimulai. Pretes digunakan untuk mengteahui pengetahuan awal siswa di
kedua kelas dan untuk mengetahui kesetaraan atau tingkat homogenitas
kemampuan di kedua kelas.
b. Tes akhir (postes) dilakukan setelah pembelajaran selesai. Postes digunakan
untuk mengetahui tingkat penguasaan dan pemahaman siswa setelah
pembelajaran.
Tipe tes yang akan diberikan berupa tes subjektif (bentuk uraian) karena
bentuk uraian cocok untuk mengukur kemampuan problem solving siswa. Tes
soal yang disajikan dalam pretes dan postes berbeda namun memiliki indikator
dan cakupan permasalahan yang sejenis. Dalam menjawab tes, siswa dituntut
untuk memahami materi yang akan diteskan sehingga dengan tes ini dapat
diketahui kemampuan siswa sampai sejauh mana dalam penguasaan materi.
Melalui kedua tes di atas, maka dapat terlihat perbandingan kemampuan
problem solving kedua kelas sebelum dan sesudah pembelajaran. Format tes
kemampuan problem solving matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol
adalah sama. Adapun kriteria skor yang digunakan adalah kriteria skor yang
Tabel 3.1
Kriteria Skor Kemampuan Problem solving Siswa
Respon Siswa Skor
Tidak ada penyelesaian dan tidak menunjukkan
pemahaman terhadap masalah
0
jawaban salah atau tidak ada penyelesaian tetapi
menunjukkan problem solving
2
jawaban salah atau tidak selesai, sebagian proses
penyelesaian benar
4
jawaban benar alasan tidak relevan 6
Jawaban benar, alasan benar, tetapi kurang jelas 8
Jawaban Benar, alasan benar, dan jelas 10
Instrumen yang telah disusun, perlu diuji coba terlebih dahulu untuk
mengukur kualitas instrumen tersebut. Untuk mendapatkan kualitas yang baik
data yang diperoleh dari hasil uji instrumen diolah dengan bantuan Software
Anates V4.0.5 tipe uraian., perlu diperhatikan beberapa kriteria yang harus
dipenuhi antara lain adalah sebagai berikut:
a. Validitas
Suatu alat evaluasi disebut valid (Suherman, 2003:103) jika ia dapat
mengevaluasi dengan tepat sesuatu yang dievaluasi itu.
Cara menentukan tingkat (indeks) validitas kriterium ini ialah dengan
menghitung koefisien korelasi antara alat evaluasi yang akan diketahui
validitasnya dengan alat ukur lain yang telah dilaksanakan dan diasumsikan
telah memiliki validitas yang tinggi (baik), sehingga hasil evaluasi yang
digunakan sebagai kriterium itu telah mencerminkan kemampuan siswa
sebenarnya.
Salah satu cara untuk mencari koefisien validitas alat evaluasi adalah
dengan menggunakan rumus korelasi produk-momen memakai angka kasar
(raw score) (Suherman, 2003:120) dengan rumus yaitu
r = N ∑ XY − ∑ X ∑ Y
Keterangan:
r : koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y N : banyak siswa
X : nilai hasil tes yang akan dicari koefisien validitasnya
Y : rata-rata nilai harian
Untuk menentukan tingkat validitas dapat digunakan kriteria
(Suherman, 2003:113) pada Tabel di bawah ini.
Tabel 3.2
Interpretasi Validitas Nilai r
Dari hasil uji instrumen yang telah diberikan sebelum penelitian, diperoleh
data sebagai berikut:
Tabel 3.3
Data Interpretasi Validitas Nilai Pretes
No. Butir
Soal Korelasi
Intrepretasi Validitas (Suherman, 2003)
Intrepretasi Validitas (Sugiyono, 2013)
1 0,656 Sedang Valid
2 0,717 Tinggi Valid
3 0,712 Tinggi Valid
4 0,746 Tinggi Valid
Nilai Validitas
0,90 ≤r ≤ 1,00 sangat tinggi (sangat baik)
0,70 ≤ r < 0,90 tinggi (baik)
0,40 ≤ r <0,70 sedang (cukup)
0,20 ≤ r <0,40 rendah (kurang)
0,00 ≤ r <0,20 sangat rendah
Tabel 3.4
Data Interpretasi Validitas Nilai Postes
No. Butir
Soal Korelasi
Intrepretasi Validitas (Suherman, 2003)
Intrepretasi Validitas (Sugiyono, 2013)
1 0,526 Sedang Valid
2 0,822 Tinggi Valid
3 0,577 Sedang Valid
4 0,807 Tinggi Valid
b. Reliabilitas
Realibilitas suatu alat ukur atau alat evaluasi dimaksudkan sebagai suatu alat
yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten, ajeg). Suatu alat evaluasi
(tes dan non tes) disebut reliabel apabila hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika
digunakan untuk subjek yang sama. Karena bentuk tes yang digunakan adalah
bentuk uraian, maka rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas
bentuk uraian dikenal dengan rumus Alpha (Suherman, 2003:154) seperti di
bawah ini.
= � − 1 1 −� ∑ �
Keterangan:
� : banyak butir soal (item)
∑ � : jumlah varians skor setiap soal (item) : varians skor total
Koefisien reliabilitas yang menyatakan tingkat (derajat) keterandalan alat
evaluasi, dinyatakan dengan . Tolak ukur untuk menginterpretasikan derajat
reliabilitas alat evaluasi dapat digunakan tolak ukur yang dibuat J.P. Guilford
Tabel 3.5
Interpretasi Derajat Reliabilitas
Nilai Derajat Reliabilitas
≤ 0,20 sangat rendah
0,20 < ≤ 0,40 Rendah
0,40 < ≤ 0,60 Sedang
0,60 < ≤ 0,80 Tinggi
0,80 < ≤ 1,00 sangat tinggi
Berdasarkan hasil uji instrumen yang telah dilakukan diperoleh nilai
realiabilitas untuk soal pretes sebesar 0,64 dan reliabilitas soal postes sebesar
0,74. Tergolong pada reliabilitas tinggi untuk pretes dan sangat tinggi untuk
postes.
c. Daya Pembeda
Daya pembeda (DP) dari suatu butir soal menyatakan seberapa jauh
kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara testi yang
mengetahui jawabannya dengan benar dengan testi yang tidak dapat menjawab
soal tersebut (atau testi yang menjawab salah). Dengan kata lain, daya
pembeda sebuah butir soal adalah kemampuan butir soal itu untuk
membedakan antara siswa yang pandai atau berkemampuan tinggi dengan
siswa berkemampuan rendah. Menurut Galton (Suherman, 2003:159)
berasumsi bahwa suatu perangkat alat tes yang baik harus bisa membedakan
antara siswa yang pandai, sedang (rata-rata), dan yang bodoh, karena dalam
suatu kelas biasanya terdiri dari ketiga kelompok tersebut.
Derajat daya pembeda dapat ditentukan dengan menggunakan rumus
(Suherman, 2003:160) sebagai berikut.
DP =X̅ − X̅SMI
dengan:
DP : daya pembeda
X̅ : rata-rata skor kelompok atas
X̅ : rata-rata skor kelompok bawah
Kriteria daya pembeda tiap butir soal yang akan digunakan adalah seperti pada
Tabel di bawah ini.
Tabel 3.6
Interpretasi Indeks Daya Pembeda
Nilai Daya Pembeda
0
DP sangat jelek
20 , 0
0DP Jelek
40 , 0 20
,
0 DP Cukup
70 , 0 40
,
0 DP Baik
00 , 1 70
,
0 DP sangat baik
Berdasarkan uji instrumen, didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 3.7
Interpretasi Indeks Daya Pembeda Pretes
Nilai Daya Pembeda
0,3714 Cukup
0,4857 Baik
0,4571 Baik
0,3429 Cukup
Tabel 3.8
Interpretasi Indeks Daya Pembeda Postes
Nilai Daya Pembeda
0,325 Cukup
0,725 Sangat baik
0,375 Cukup
d. Indeks Kesukaran
Suatu soal dikatakan memiliki derajat kesukaran yang baik bila soal tersebut
tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar.
Derajat kesukaran suatu butir soal dinyatakan dengan bilangan yang disebut
Indeks Kesukaran (difficulty index). Bilangan tersebut adalah bilangan real
pada interval (kontinum) 0,00 sampai 1,00.
Rumus Indeks Kesukaran untuk soal uraian, yaitu :
SMI X IK
Keterangan:
IK = Indeks Kesukaran
�̅ = Rerata
SMI = Skor Maksimal Ideal
Klasifikasi indeks kesukaran tiap butir soal yang digunakan adalah seperti
pada Tabel di bawah ini.
Tabel 3.9
Interpretasi Indeks Kesukaran
Nilai Interpretasi
IK = 0,00 soal terlalu sukar
0,00 < IK 0,30 soal sukar
0,30 < IK 0,70 soal sedang
0,70 < IK <1,00 soal mudah
Berdasarkan hasil uji instrumen, diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 3.10
Interpretasi Indeks Kesukaran Pretes
Nilai Interpretasi Tingkat Kesukaran
0,6429 Sedang
0,6714 Sedang
0,3714 Sedang
0,6857 Sedang
Tabel 3.11
Interpretasi Indeks Kesukaran Postes
Nilai Interpretasi Tingkat Kesukaran
0,5125 Sedang
0,4625 Sedang
0,6375 Sedang
0,6250 Sedang
2. Instrumen Non Tes
a. Lembar observasi
Observasi (Suherman, 2003:62) adalah “suatu teknik non tes yang
menginventarisasikan data tentang sikap dan kepribadian siswa dalam kegiatan belajarnya.”
Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lembar
observasi siswa dan lembar observasi guru.
1) Lembar observasi siswa diisi oleh para observer, baik itu guru yang
melaksanakan pembelajaran pada kelas eksperimen maupun observer
lainnya. Observasi ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai kegiatan
siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung.
2) Lembar observasi guru diisi oleh siswa maupun observer lainnya. Observasi
ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai kegiatan guru dalam
Lembar observasi dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data yang
berkaitan dengan kendala-kendala dalam pembelajaran matematika dengan
mengamati secara langsung perilaku siswa dari suatu peristiwa pada peristiwa
lainnya
b. Angket
Angket adalah kumpulan dari pertanyaan yang diajukan secara tertulis
kepada seseorang (yang dalam hal ini disebut responden), dan cara menjawab
juga dilakukan dengan tertulis (Arikunto, 2009:101). Angket ini digunakan
untuk memperoleh sikap atau respon siswa terhadap pendekatan saintifik.
Angket diberikan kepada seluruh siswa kelas ekperimen setelah berakhirnya
pelaksanaan kegiatan pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik.
Angket yang disusun peneliti merupakan angket tertutup dalam bentuk skala
Likert. Setiap pernyataan dalam angket penelitian ini memiliki lima alternatif
jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), Netral (N),
Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju.
C. Perangkat Pembelajaran
Penelitian ini menggunakan dua macam perangkat pembelajaran, yakni
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Kelompok (LKK).
RPP dan LKK yang digunakan pada kelas eksperimen berisikann proses
pembelajaran dari Model TAPPS dengan pendekatan saintifik. Selain itu,
perangkat lain yang digunakan adalah model dan alat peraga berupa jam dinding,
busur derajat dan penggaris. Sedangkan pada kelas kontrol digunakan buku
panduan pengajaran baik buku pegangan guru maupun buku pegangan siswa.
D. Prosedur Penelitian
Tahap-tahap penelitian ini meliputi tiga tahap kegiatan, yaitu tahap
persiapan, tahap penelitian, dan tahap analisis data.
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap ini, penulis membuat proposal penelitian yang diawali dengan
studi literatur mengenai pendekatan Saintifik, dan kemampuan problem solving
matematis siswa. Proposal penelitian diajukan kepada dosen koordinator
Pendidikan Indonesia. Dalam proposal penelitian terdapat instrumen-instrumen
penelitian yang disusun oleh penelitian dengan bantuan bimbingan dari dosen
pembimbing. Setelah instrumen disetujui, selanjutnya penulis menguji coba
instrumen, menganalisis data hasil uji coba, kemudian membuat perencanaan
pembelajaran dan menentukan sekolah yang akan dijadikan subjek penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Tahap pelaksanaan penelitian ini diawali dengan berkonsultasi kepada guru
bidang studi matematika untuk menentukan kelas mana yang cocok untuk
dilakukan penelitian. Setelah terpilih kelas mana yang menjadi kelas
eksperimen dan kelas kontrol, selanjutnya instrumen yang telah dibuat
diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol melalui pretes, untuk
mengetahui pengetahuan awal siswa dalam kemampuan komunikasi
matematis. Pretes dilakukan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dalam
waktu yang bersamaan. Setelah pretes selesai dilaksanakan, dilanjutkan dengan
pelaksanaan kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan pada kelas
kontrol. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran meliputi, proses pembelajaran,
observasi tehadap kelas eksperimen dengan guru sebagai observernya. Setelah
pelaksanaan pembelajaran selesai, peneliti memberikan postes kepada kedua
kelas untuk mengetahui peningkatan kemampuan representasi matematis siswa.
Selain itu, dilakukan pula pemberian angket siswa, dan pemberian lembar
observasi guru.
E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis untuk menguji
hipotesis yang telah dirumuskan kemudian diinterpretasikan sesuai dengan hasil
yang didapatkan. Dalam pebelitian ini akan dianalisis kedua jenis data yaitu data
kuantitatif dan data kualitatif.
1. Pengolahan Data Kuantitatif
Data kuantitatif berupa instrumen tes. Instrumen tes yang digunakan
adalah pretes dan postes. Kedua tes tersebut memiliki soal yang berbeda namun
solving pada siswa. Memberikan skor jawaban siswa sesuai sistem penskoran
yang digunakan. Data kuantitatif yang berupa pretes dan postes selanjutnya diolah
melalui tahapan sebagai berikut.
a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan sistem
penskoran yang digunakan.
b. Membuat tabel skor hasil pretes dan postes siswa kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol.
c. Peningkatan kompetensi yang terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran
dihitung dengan rumus g faktor (Indeks Gain) sebagai berikut.
� = � −� �
���� −� � (Hake (dalam Mandasari 2012:50))
Keterangan:
� : Skor Postes
� � : Skor Pretes
���� : Skor Maksimum
Hasil perhitungan Indeks Gain kemudian diinterpretasikan dengan
menggunakan kalsifikasi dari Hake, yaitu:
Tabel 3.12
Klasifikasi Indeks Gain (g)
Besarnya g Interpretasi
g > 0,7 Tinggi
0,3 ≤ g ≤ 0,7 Sedang
g < 0,3 Rendah
Indeks gain digunakan untuk mengetahui hubungan peningkatan kemampuan
yang diperoleh siswa dengan latar belakang yang dimilikinya, serta
mengklasifikasikan peningkatan yang diperolehnya berdasarkan pengetahuan
yang dimilikin sebelumnya. Untuk menentukan uji statistik yang digunakan,
terlebih dahulu ditentukan normalitas data dan homogenitas varians dengan
d. Menguji normalitas data menggunakan uji statistik Shapiro-Wilk dengan taraf
signifikansi 0,05.
e. Menguji normalitas data menggunakan uji statistik Levene dengan taraf
signifikansi 0,05.
f. Menguji kesamaan dua rata-rata (pretes dan postes) menggunakan uji dua
pihak untuk mengetahui kemampuan problem solving matematis awal
(melalui pretes) dan kemampuan problem solving matematis akhir (melalui
postes). Sedangkan menguji kesamaan dua rata-rata menggunakan uji satu
pihak untuk mengetahui peningkatan kemampuan eksplorasi siswa.
Jika kedua data berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen,
maka uji kesamaan dua rata-rata dilakukan dengan uji t.
Jika kedua data berasal dari populasi yang berdistribusi normal tetapi tidak
homogen, maka uji kesamaan dua rata-rata dilakukan dengan uji t’.
Jika salah satu atau kedua data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi
normal, maka uji kesamaan dua rata-rata dilakukan dengan uji non parametrik
menggunakan uji Mann-Whitney.
g. Uji Hipotesis Penelitian
Untuk menguji hipotesis penelitian dilakukan uji hipotesis yang dipaparkan
dalam tabel berikut:
Tabel 3.13
Uji Hipotesis
Hipotesis
Data
yang
Diuji
Uji Statistik
Terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan
problem solving antara
siswa yang mendapatkan
pembelajaran Model
Thingking Aloud Pair
Indeks
Gain
- Uji t (independent sample t-test) jika
kedua data berasal dari populasi yang
berdistribusi normal dan homogen.
- Uji t dengan asumsi varians tidak sama
(uji independent sample t-test dengan
Problem Solving dengan
siswa yang mendapatkan
pembelajaran yang
berpedoman pada buku
pegangan guru kurikulum
2013
data berasal dari populasi yang
berdistribusi normal tetapi tidak
homogen.
- Uji non parametrik menggunakan uji
Mann-Whitney jika salah satu atau kedua
data berasal dari populasi yang
berdistribusi tidak normal.
Secara singkat, alur pengolahan data kuantitatif dijelaskan pada bagan berikut:
2. Pengolahan data kualitatif
Data kualitatif berupa lembar observasi, dan angket.
a. Pengolahan Data Hasil Observasi
Lembar observasi aktivitas guru memberikan gambaran mengenai aktivitas
pembelajaran menggunakan Model Thingking Aloud Pair Problem Solving
dengan pendekatan saintifik. Sedangkan lembar observasi aktivitas siswa
memberikan gambaran aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung.
Data yang diperoleh dari lembar observasi tersebut diolah dan dianalisis
secara deskriptif.
Data Skor Pretest dan Indeks Gain
Uji Normalitas
Uji Homogenitas Uji Kesamaan Dua
Rata-rata / Uji Non Parametrik
Uji Kesamaan Dua Rata-Rata Uji t
Uji Kesamaan Dua Rata-Rata Uji t’
Ya Tidak
Homogen
Tidak Homogen
Gambar 3.1
b. Pengolahan Data Angket
Pengolahan data angket dilakukan dengan menggunakan Skala Likert. Data
yang diperoleh dari angket dikelompokkan berdasarkan jawaban Sangat
Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS)
untuk tiap pertanyaan. Setiap jawaban memiliki bobot tertentu. Untuk
pernyataan bersifat positif (favorable), jawaban Sangat Setuju (SS) diberi
skor 5, Setuju (S) diberi skor 4, Tidak Setuju (TS) diberi skor 2, dan Sangat
Tidak Setuju (TS) diberi skor 1. Sedangkan untuk pernyataan bersifat negatif
(unfavorable), jawaban Sangat Setuju (SS) diberi skor 1, Setuju (S) diberi
skor 2, Tidak Setuju (TS) diberi skor 4, dan Sangat Tidak Setuju (TS) diberi
skor 5. Jika rata-rata yang diperoleh lebih besar dari tiga, maka responden
menyatakan sikap positif terhadap pembelajaran yang dilakukan. Namun
apabila rata-rata yang diperoleh kurang dari tiga, maka sikap siswa terhadap
\
Berikut adalah alur metodelogi penelitian yang dilakukan:
Studi Kepustakaan
Penyusunan Proposal
Seminar Proposal dan
Penyusunan Instrumen dan Bahan Ajar
Uji Instrumen
Revisi Instrumen
Pretes
Kelas Kontrol:
Metode yang langkah-langkah pembelajarannya sesuai pada buku panduan guru kurikulum Kelas Eksperimen:
Metode Thingking Aloud Pair Problem Solving dengan
Pendekatan Saintifik
Angket
Postest
Pengumpulan Data
Analisis Data Pengolahan Data
Penarikan Kesimpulan
[image:31.595.105.519.165.768.2]Annisa Fahmiati Nurzaman, 2015
BAB V
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data pada Bab IV, kesimpulan
yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan problem solving
matematis antara siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model
pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dengan
pendekatan saintifik dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran yang
berpedoman pada buku pegangan guru matematika kurikulum 2013. Kualitas
peningkatan kemampuan problem solving matematis siswa yang
mendapatkan pembelajaran model pembelajaran Thinking Aloud Pair
Problem Solving(TAPPS) dan siswa yang mendapatkan pembelajaran yang
berpedoman pada buku pegangan guru matematika kurikulum 2013 tergolong
sedang.
2. Sikap siswa yang mendapatkan pembelajaran model pembelajaran Thinking
Aloud Pair Problem Solving(TAPPS) sangat positif.
B. Rekomendasi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan serta kesimpulan yang
diperoleh, maka implikasi dan rekomendasi yang dapat dibeerikan penulis
berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Model pembelajaran TAPPS dan metode pembelajaran yang berpedoman
pada buku pegangan guru matematika kurikulum 2013 dapat digunakan untuk
pembelajaran di kelas untuk meningkatkan kemampuan problem solving
matematis siswa.
2. Sebaiknya bahan ajar seperti LKK yang digunakan lebih spesifik
menggambarkan peran yang harus dijalani siswa.