• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Integrasi Imigran Turki ke

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Problematika Integrasi Imigran Turki ke"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Nama: Habibul Fuadi Arif NIM : 1401119385

Artikel Migrasi Global

Globalisasi dan Migrasi: Problematika Integrasi Imigran Turki ke dalam Masyarakat Jerman.

Migrasi atau perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain sebenarnya bukan fenomena baru. Sejak jaman dahulu, manusia sudah sering berpindah dari kampung halamannya ke daerah lain. Namun di era globalisasi sekarang ini, fenomena migrasi menemukan bentuk yang berbeda, baik dari segi motif, skala, jarak maupun akibat yang ditimbulkannya. Tidak seperti di masa lalu dimana migrasi kebanyakan terjadi di dalam satu wilayah negara, migrasi sekarang ini sudah melintasi batas teritorial negara, bahkan benua. Globalisasi meniscayakan adanya hubungan yang sangat integral antara satu masyarakat dengan yang lain yang diakibatkan oleh semakin kaburnya hambatan-hambatan jarak dan informasi. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bentuk dan pola migrasi kontemporer yang berbeda dengan era sebelumnya. Faktor-faktor pendorong dan penarik migrasi juga turut dikaji beserta dengan dampaknya baik kepada negara pengirim dan penerima. Studi kasus perpindahan imigran Turki ke Jerman digunakan sebagai alat teropong untuk memperlihatkan lebih jelas bentuk migrasi kontemporer.

Globalisasi dan Perpindahan Manusia

(2)

terdapat sekitar 214 juta orang tinggal di luar negara pengirim atau daerah asalnya.

Perkembangan teknologi telekomunikasi dan transportasi tak pelak membuat masyarakat dunia menjadi lintas batas, atau dalam bahasa Kenichi Ohmae (1999), borderless society. Periode modern perpindahan manusia ditandai tidak hanya semakin tingginya angka migrasi manusia lintas batas negara, tetapi juga pertumbuhan signifikan migrasi dalam secara ekonomis, sosial, kultural, dan politik (Castles dan Miller 2009 dalam Heywood 2011). Perdagangan dunia yang meniscayakan perpindahan modal, barang, dan jasa juga mengikutsertakan perpindahan manusia.

Dengan semakin derasnya arus informasi yang masuk dan semakin mudahnya akses transportasi mendorong arus perpindahan manusia menjadi semakin massif. Laporan dari IOM menyebutkan bahwa hingga hari ini terdapat 214 juta migran internasional, meningkat lebih dua kali lipat dari sebelumnya tahun 1975 sebanyak 85 juta orang. Ini berarti 1 dari 35 orang di dunia ini adalah migran. Angka sebesar ini merepresentasikan 3 % dari keseluruhan populasi dunia Globalisasi mempercepat perpindahan barang dan jasa di seluruh dunia melalui perdagangan bebas. Tetapi berbeda dengan perdagangan yang hanya sebatas menukar barang atau jasa, migrasi internasional juga melibatkan perpindahan manusia yang memiliki latar belakang budaya berbeda dengan budaya di negara tujuan. Perbedaan ini sedikit banyak akan menimbulkan permasalahan-permasalahan. Borjas (2005) mengatakan bahwa memindahkan tomat tentu saja berbeda dengan memindahkan pemetik tomat, karena pemetik tomat memiliki budaya yang berpotensi menyulut konflik dengan budaya masyarakat pribumi.

Faktor Push and Pull Migrasi Kontemporer

(3)

worker), pengungsi (refugee) atau pencari suaka (asylum seeker). Banyak faktor-faktor yang membuat mereka bermigrasi. Faktor dari negara asal bisa berupa bencana alam, pengangguran, tekanan pemerintah, perang. Sedangkan faktor penarik dari negara tujuan seperti daya tarik ekonomi, kesamaan kultur, mengenyam pendidikan, kesempatan mendapatkan kebebasan yang lebih dari yang didapatkan di negara asal.

Teori tentang migrasi manusia pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Ravenstein pada tahun 1889. Setelah memperhatikan data sensus penduduk di Inggris dan Wales kala itu, dia menyimpulkan bahwa migrasi dipengaruhi oleh proses “push-pull”, dimana kondisi tidak menguntungkan di satu tempat ‘mendorong’ manusia untuk keluar. Sebaliknya, kondisi yang menguntungkan di tempat lain akan ‘menarik’ manusia untuk pergi ke daerah tersebut. Banyak teoritisi mengikuti jejak Ravenstein. Teori-teori dominan yang diusung para akademisi kontemporer kurang lebih merupakan variasi dari kesimpulannya. Perpindahan Imigran Turki ke Jerman

(4)

Dari dalam negeri Turki sendiri, selama tahun 1960-an mengalami perubahan politik yang bervariasi; rezim Menderes digulingkan oleh tentara, konstitusi yang baru memberikan warga Turki hak untuk bepergian ke luar negeri. Perubahan politik 1960 memfasilitasi gerakan migrasi lebih lanjut sebagai bagian dari kebijakan "perencanaan populasi" dan "pertumbuhan ekonomi".

Pada gelombang pertama, sekitar 7 ribu pekerja Turki pergi menuju Jerman. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki berusia antara 20 sampai 35 yang datang sendiri tanpa keluarga. Pada periode antara 1963-1966 total sekitar 180.000 pekerja Turki kemudian menyusul ke Jerman Barat, sebagian kecil lainnya ke Belgia, Belanda dan Austria. Pada tahun 1966-1967 pemerintah Jerman menghentikan perekrutan pekerja migran menyusul krisis ekonomi. Krisis ini kemudian mendorong banyak pekerja Turki yang memutuskan kembali ke negaranya.

Namun, setelah tahun 1968, migrasi tenaga kerja dari Turki ke Eropa Barat terus tumbuh hingga mencapai 525.000 pekerja, 80% di antaranya bermigrasi ke Jerman. Setelah periode ini, arus migrasi didominasi oleh migrasi dari anggota keluarga dari guestworker. Pada tahun 1974, reunifikasi keluarga meningkat menyebabkan satu juta penduduk kebangsaan Turki menetap di Jerman, dengan hanya 600.000 yang merupakan pekerja. Besarnya arus migrasi dalam proses reunifikasi tersebut salah satunya juga didorong instabilitas ekonomi dan politik dalam negeri Turki. Faktor tersebut membuat keluarga dari pekerja migran Turki memilih menyusul ke Jerman.

(5)

Dampak Positif dan Negatif Perpindahan Imigran Turki ke Jerman Dimensi Ekonomi

Menurut Coppel et.al. (2001 dalam Drinkwater et.al. 2002) ada empat konsekuensi besar dari proses migrasi internasional. Pertama adanya efek kepada pasar buruh dari host country. Kedua, imigrasi dapat meningkatkan pemasukan bagi negara tujuan. Ini diperoleh dari uang yang dihabiskan imigran melalui konsumsi, perawatan kesehatan, fasilitas pendidikan, dan pajak di negara tujuan. Ketiga, imigrasi merupakan solusi bagi negara yang memiliki masalah dengan tingkat penduduk tua yang tinggi. Keempat, imigrasi bisa membawa dampak positif bagi negara pengirim, terutama melalui remitansi.

Jumlah masyarakat Turki yang bermigrasi ke luar sekitar 4 juta orang, setara dengan 5 % dari total populasi nasional Turki. Dengan jumlah yang signifikan tersebut, dapat mereduksi permasalahan pengangguran dalam negeri serta menurunkan biaya penyediaan fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, transportasi, dan sebagainya. Namun remitansi merupakan alasan paling penting pemerintah dan warga Turki untuk tetap tinggal di Jerman. Jumlah besar kiriman uang dari pekerja migran Turki telah dan masih merupakan pendapatan yang penting dan sumber devisa bagi perekonomian Turki sejak awal 1960-an. Remitansi memiliki peran signifikan bagi perekonomian Turki. Upaya pemerintah nasional Turki selalu diarahkan kepada peningkatan jumlah remitansi, karena itu merupakan cara terbaik untuk membiayai utang luar negeri Turki, pembayaran bunga, pembayaran kembali pinjaman. Pemerintah mengandalkan remitansi karena semua bentuk pembiayaan lain seperti bantuan luar negeri dan pinjaman hanya datang sesekali pada kondisi tertentu.

Dimensi Sosial

(6)

perlakuan diskriminatif dari masyarakat Jerman. Kenyataan bahwa orang Turki beragama Islam dan memiliki budaya yang jauh berbeda dengan budaya Jerman menyebabkan tingginya tingkat diskriminasi dan xenophobia terhadap komunitas Turki, terlebih setelah peristiwa 11 September 2001.

Selain masalah agama, diskriminasi yang menimpa masyarakat Turki di Jerman juga dilatarbelakangi kondisi sosial mereka yang miskin dan kurang berpendidikan. Ditambah lagi eksklusifitas orang Turki sendiri yang kurang intens bergaul dengan komunitas lain di luar mereka. Ini yang menyebabkan kurangnya kemampuan berbahasa dan berwawasan Jerman dari komunitas Turki. Dengan eksklusifitas yang dibangunnya tersebut, tidak aneh jika komunitas Turki menjadi target sasaran perlakuan rasis. Tidak adanya komunikasi yang terbangun membuat kelompok-kelompok sayap kanan dan neo-Nazi Jerman menganggap mereka alien yang harus dibasmi.

Upaya Integrasi Imigran Turki ke dalam Masyarakat Jerman

Menurut Sita Bali (1997), fenomena migrasi memberikan perubahan warna pada sifat dari negara dan hubungan antar komunitas dalam negara. Konsep tradisional mengenai negara-bangsa ialah masyarakat yang disatukan oleh kesamaan sejarah, kultur, agama dan bahasa. Masuknya orang-orang yang berbeda latar belakang dan menjadi warganegara otomatis mengubah imajinasi persatuan sejarah masyarakat yang sebelumnya dianut. Gelombang kedatangan migran yang besar meniscayakan pembauran batas-batas kultural yang kaku. Jika perbedaan antar komunitas masyarakat dibiarkan, maka konflik yang terjadi akan semakin meningkat. Oleh karena itu dibutuhkan perumusan kebijakan yang adil oleh pemerintah untuk memayungi proses integrasi kelompok keturunan migran, dengan masyarakat pribumi.

(7)

sanguinis yang memberikan kewarganegaraan berdasarkan keturunan, bukan tempat kelahiran.

Kesimpulan

Fenomena perpindahan manusia selalu menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif. Apalagi jika perpindahan tersebut melibatkan dua kebudayaan yang jauh berbeda, perasaan saling curiga seringkali mewarnai keduanya. Karena itu diperlukan proses integrasi sebagai upaya mendekatkan kedua entitas kebudayaan. Migrasi kontemporer bisa dibilang mempercepat proses integrasi, dengan ketersediaan informasi masing-masing kebudyaan sehingga dapat mendekatkan perbedaan antara kedua kebudyaan. Namun integrasi sendiri tidak akan sukses kecuali ada proses dua arah; adanya keinginan dari masyarakat untuk menerima imigran asing di satu sisi, serta kemauan imigran melakukan tindakan nyata untuk berintegrasi dengan masyarakat di sisi lain.

Referensi

Dokumen terkait