• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 DAN PEMBANGUNAN N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UU NOMOR 12 TAHUN 2011 DAN PEMBANGUNAN N"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 DAN PEMBANGUNAN NEGARA HUKUM

I. PENDAHULUAN

Semenjak amandemen ketiga UUD 19451, Indonesia menasbihkan diri sebagai

negara hukum2. Mochtar Kusumaatmadja3 mengemukakan makna terdalam dari Negara

berdasarkan atas hukum adalah: “...kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum”. Hasil amandemen ketiga yang dilakukan pada tahun 2001 ini, menjawab seluruh keraguan yang merebak sebelumnya.

Sebagai konsekwensi dari pilihan sebagai Negara hukum ini, maka Negara menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut, disamping tentunya juga harus memenuhi beberapa pra-syarat atau elemen lainnya 4.

1 Indonesia, UUD 1945, Pasal 1 ayat (3)

2 Untuk menelusuri konsep tentang negara hukum pada dasarnya dapat dijelaskan melalui dua aliran pemikiran, yaitu konsep rechtsstaat dan the rule of law. Dalam perspektif historis, konsep “rechtssaat” berasal dari Jerman dan konsep “the rule of law” berasal dari Inggris. Istilah rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada, sedangkan istilah “the rule of law” mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1855 dengan judul Introduction to the Studi of the Law of the Constitution.

Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, sehingga sifatnya revolusioner. Sebaliknya, konsep the rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria rechtsstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “modern Roman law”, sedangkan konsep the rule of law bertumpu pada sistem hokum yang disebut “common Law” atau “Anglo Saxon”.

Rechtsstaat dan the rule of law dengan tumpuannya masing-masing mengutamakan segi yang berbeda. Konsep

rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rechtmatigheid, sedangkan the rule of law mengutamakan equality before The law. Akibat adanya perbedaan titik berat dalam pengoperasian tersebut, muncullah unsur-unsur yang berbeda antara konsep rechtsstaat dan konsep the rule of law.

3 Kusumaatmadja, Mochtar Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. (PT. Alumni, Bandung, 2002), hlm. 12.

4 Dalam konsep “Negara Hukum”, eksistensi peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur fundamental bagi penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan atas hukum. Hal itu tercermin dari konsep

Friedrich Julius Stahl tentang unsur-unsur utama negara hukum yang mencakup; 1) pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia; 2) pemisahan kekuasaan negara berdasarkan prinsip trias politika; 3) penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan 4) peradilan administrasi negara. Sementara itu, menurut Zippelius unsur-unsur negara hukum terdiri atas: 1) pemerintahan menurut hukum (rechtsmatigheid van bestuur); 2) jaminan terhadap hak-hak asasi; 3) pembagian kekuasaan; dan 4) pengawasan justisial terhadap pemerintah. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam Ashary, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan Menjernihkan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta pada tanggal 25 April, Jakarta, 1992, hlm.73, dan Attamimi A. Hamid S Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun waktu Pelita I - Pelita IV,

(2)

Pada tataran teknis, untuk menjalankan perintah konstitusi tersebut, maka diperlukan pengaturan tentang persyaratan dan mekanisme pembentukan undang-undang yang memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik. Dalam konteks inilah, pada tahun 2004 dilahirkan UU nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksudkan sebagai instrument untuk mendukung proses pembangunan hukum nasional dan membangun system koordinasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan 5. Kehadiran UU nomor 10 tahun 2004 ini sangat penting,

di samping untuk menjalankan mandat UUD 1945 6, namun juga untuk menghentikan

berbagai persoalan yang sebelumnya selalu melingkupi bangsa terkait dengan system pembentukan peraturan perundang-undangan 7.

5 Dalam penjelasan UU nomor 10 tahun 2004 secara tegas dinyatakan maksud dan tujuan pembentukan UU ini yakni untuk mendukung pengejaawantahan negara hukum melalui pembangunan tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Tertib Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya. Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik, penyusunan maupun pemberlakuannya

6 UUD 1945 Pasal 22A menyatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dengan undang-undang”.

(3)

Meskipun kehadiran UU nomor 10 tahun 2004 ini merupakan sebuah langkah progressif dalam konteks pengejawantahan asas negara hukum, namun dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, telah muncul banyak permasalahan, baik yang berasal dari kandungan materi pengaturan dalam UU tersebut maupun berbagai dinamika masyarakat yang menuntut diperlukannya perubahan dan perbaikan atas UU ini. Berbagai persoalan inilah yang selanjutnya mendorong DPR untuk mengubah, dan dalam perjalanannya rencana perubahan ini berevoluasi menjadi penggantian atas UU nomor 10 tahun 2004 melalui UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan.

Terkait dengan penggantian atas UU nomor 10 tahun 2004 dan lahirnya UU nomor 12 tahun 2011 ini kiranya sangat menarik untuk ditelusuri latar belakang dilakukannya penggantian serta mencermati berbagai masukan dari kelompok-kelompok masyarakat atas substansi usulan perubahan. Penelusuran ini diperlukan untuk melacak apakah UU nomor 12 tahun 2011 mengakomodir berbagai keresahan fundamental yang disampaikan oleh masyarakat. Persoalan kedua yang penting untuk dilacak adalah residu masalah yang masih tersisa dalam UU nomor 12 tahun 2011. Dari kedua hal tersebut, diharapkan dapat ditemukan substansi masalah dan rekomendasinya.

II. LANDASAN TEORITIK

I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang material 8.

Asas-asas yang formal meliputi:

a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); b. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan); c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel); d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); e. asas konsensus (het beginsel van consensus).

Asas-asas yang material meliputi:

(4)

a. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar; b. asas tentang dapat dikenali;

c. asas perlakuan yang sama dalam hukum; d. asas kepastian hukum;

e. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.

Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai berikut:

a. Cita Hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang berlaku sebagai “bintang pemandu”;

b. Asas Negara Berdasar Atas Hukum yang menempatkan Undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum, dan Asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi yang menempatkan Undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Pemerintahan.

c. Asas-asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum dan asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu meliputi juga:

a. asas tujuan yang jelas; b. asas perlunya pengaturan;

c. asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat; d. asas dapatnya dilaksanakan;

e. asas dapatnya dikenali;

f. asas perlakuan yang sama dalam hukum; g. asas kepastian hukum;

h. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.

Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas yang material, maka A. Hamid S. Attamimi cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam:

(5)

(1) asas tujuan yang jelas; (2) asas perlunya pengaturan; (3) asas organ/ lembaga yang tepat; (4) asas materi muatan yang tepat; (5) asas dapatnya dilaksanakan; dan (6) asas dapatnya dikenali;

b. Asas-asas material, dengan perincian:

(1) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara; (2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;

(3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar atas Hukum; dan

(4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan berdasar Sistem Konstitusi. Di samping beberapa asas yang penting untuk dipedomani dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan oleh I.C. van der Vlies dan Hamid Attamimy tersebut, sangat penting juga untuk mempertimbangkan teori Hans Kelsen tentang hirarki perundang-undangan dan pemikiran Lawrence M. Friedman tentang sistem hukum (legal system).

III. MENGAPA DAN BAGAIMANA ? 1. Latar Balakang Perubahan

Niatan untuk melakukan perubahan atas UU nomor 10 tahun 2004 didasari oleh banyaknya permasalahan yang muncul seiring dengan pemberlakuan UU tersebut. DPR selaku pengusul perubahan ini mengemukakan beberapa permasalahah antara lain hierarki, materi muatan undang-undang, materi muatan mengenai ketentuan pidana, Perencanaan Peraturan Perundang-undangan, Penyusunan Undang-Undang, Perpu, Perda, dan Pengundangan9.

Jika kita gunakan pendekatan M. Friedman untuk membedah masalah tersebut kita dapat menguraikan sebagai berikut:

(6)

1. Permasalahan legal substance. Menurut Friedman,” the substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave.” 10 Dalam

konteks UU nomor 10 tahun 2004, beberapa persoalan yang masuk dalam kategori materi substantive dan pengaturan tentang peran kelembagaan dari institusi yang terlibat dalam proses pembentukan perundang-undangan dapat diidentifikasi sebagai berikut:

a. Pengertian Peraturan Perundang-undangan yang terdapat dalam UU No.10 Tahun 200411 dinilai masih belum tepat dan makin menyempit. Pengertian

peraturan perundang-undangan yang dirumuskan tidak hanya makin limitative, melain juga “melupakan” beberapa prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang dituangkan dalam konstitusi. Akibat dari ketidaktepatan ini maka muncul banyak persoalan terkait dengan kedudukan beberapa peraturan misalnya Ketetapan MPR, peraturan Presiden, peraturan DPR, Peraturan BI , Peraturan Mahkamah Agung, dsb. Seharusnya setiap peraturan perundang-undangan yang mengikat umum, maupun peraturan pelaksanaannya haruslah senantiasa dipandang sebagai peraturan perundang-undangan. Dan yang membedakannya kemudian adalah ruang lingkup berlakunya, sifat dan fungsinya.

b. Inkonsistensi dalam penggunaan frasa, yakni frasa “dibentuk” dan “ditetapkan”. Dalam konteks Undang-Undang dan Peraturan Daerah, frasa yang digunakan adalah “dibentuk”, untuk Perpu dan PP, frasa yang digunakan adalah “ditetapkan”, sedangkan Perpres dan Peraturan Desa

10 Lawrence Meir Friedman, The Legal System, Russel Sage Foundation, 1987, halaman 14 11 Pasal 1 angka 2 sampai dengan 8 UU nomor 10 tahun 2004, menyebutkan:

(2) Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

(3) Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.

(5) Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

(6) Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.

(7) Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah.

(7)

digunakan istilah “dibuat”. Hal ini menunjukkan inkonsistensi penggunaan istilah dan akhirnya menimbulkan pemaknaan berikut implikasi hukumnya yang tidak jelas.

c. Dalam konteks Undang-Undang dan Perpu, penggunaan istilah “dibentuk” sudah tepat karena sesuai dengan Pasal 20 UUD NRI 1945 ayat (1) 12.

Namun, dalam konteks Perda, penggunaan istilah “dibentuk” kurang tepat karena tidak sesuai dengan Pasal 18 UUD NRI ayat (6) yang menggunakan istilah “ditetapkan” 13 :

d. Dalam konteks Perpres dan Perdes yang digunakan istilah “dibuat” tidak ada rujukan konstitusinya mengingat UUD NRI 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan dua bentuk peraturan tersebut. Namun demikian penggunaan istilah “dibuat” tidak konsisten dengan ketentuan angka 2 UU 10/2004 yang menggunakan istilah “dibentuk”. Hal ini mengingat Perpres dan Perdes merupakan peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 10/2004.

e. Tidak jelas dan kurang efektifnya peranan DPD dalam proses pembahasan setiap rancangan peraturan perundang-undangan. Wewenang DPD untuk mengajukan rancangan undang-undang (yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah) jelas diakui dalam Pasal 22D ayat (1) UUD dan Pasal 42 ayat (1) UU 22/2003. Namun dalam UU nomor 10 tahun 2004, peran DPD masih sangat sumir.

f. Dalam undang-undang tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan kurang dijelaskan atau dijabarkan apa yang termasuk hal ilwah kegentingan yang memaksa yang dapat menjadi sebab lahirnya Perpu. Ketidakjelasan pendefinsian ini berpotensi menyebabkan Perpu dibuat karena adanya hal-hal

12 Pasal 20 UUD NRI 1945 ayat (1) yang berbunyi :”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”, sedangkan Pasal 5 UUD NRI 1945 ayat (2) berbunyi: ”Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya.”

(8)

yang bersumber dari kelalaian atau kesalahan pemerintah dalam mengelola pemerintahan atau dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Perpu sebaiknya tidak diterbitkan untuk masalah-masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah melalui tindakan pemerintah yang sekaligus menjadi tanggung jawab tugas eksekutif dalam mengurus negara dan pemerintahan. Dalam konteks ini, keperluan akan penjabaran mengenai rumusan UUD 1945 mengenai “hal ilwal kegentingan yang memaksa” itu sebenarnya bisa muncul dalam beberepa keadaaan.

g. UU nomor 10 tahun 2004 juga belum mengatur keadaan adanya kekosongan hukum (undang-undang) berkaitan dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan suatu pasal atau beberapa pasal atau terhadap suatu undang-undang. UU ini tidak memuat bagaimana tindak lanjut dan kapan batas waktu DPR dan pemerintah dalam merespon putusan MK tersebut. Hal ini tentunya akan mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum dalam jangka waktu yang tidak jelas dan cenderung lama.

h. Berdasarkan UU 10/2004, ada satu tahap penting dalam proses legislasi, yaitu proses perencanaan, yang dibuat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas, Pasal 15 ayat (1) UU 10/2004). Dikatakan dalam Pasal 16 ayat (1) UU 10/2004 bahwa penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi, dalam hal ini Badan Legislasi. Sementara itu, dalam Pasal 17 ayat (1) UU 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa rancangan undang-undang, baik yang berasal dari DPR, presiden, maupun DPD disusun berdasarkan Prolegnas. Pasal ini merupakan ketentuan mengenai tahap pembentukan undang-undang. Pengaturan tentang mekanisme perencanaan legislasi melalui instrument prolegnas ini merupakan kemajuan progressif dalam rangka mendorong terbentuknya tertib hukum dan memperbaiki sistem pembangunan hukum.

(9)

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan penjabaran pelaksanaan delegasi kewenangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid) dari Pasal 22 A jo Pasal 20 jo Pasal 20 A ayat (1), Pasal 21 UUD 1945, masih terdapat distorsi atas kuasa parlemen tersebut. Pasal 16 ayat (4) UU nomor 10 tahun 2004 menyebutkan bahwa: Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Program Legislasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

j. Dengan pendelegasian ini maka (meminjam istilah Dr. Irman Putrasidin) sesungguhnya DPR mematisurikan lengannya sendiri sebagai pemegang kekuasaan pembentukan UU yang diberikan oleh konstitusi dengan menyetujui kekuasaan eksekutif cq Presiden mengatur lebih lanjut tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas dalam UUPPP dengan bingkai Perpres, yang notabene merupakan pintu pertama proses legislasi nasional khususnya pembentukan UU.

2. Persoalan Legal Structure

“The structure of a system is its skeleton framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the though rigid nones that keep the process flowing within bounds..”,

Selama 7 tahun pemberlakuannya, masih terdapat banyak persoalan legal structure yang dihadapi meliputi:

a. Kualitas Sumber daya yang rendah dalam aspek teknis perancangan perundang-undangan

b. Campur tangan politik (politic interest) dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sampai pada aspek teknis perancangan (legal drafting) c. Dominasi kelompok kepentingan yang menguasai akses pembentukan

peraturan perundang-undangan

d. Improvisasi penyusunan peraturan perundang-undangan tanpa dipandu oleh tuntunan normative dan keahlian di bidang perancangan (legislative drafting)

(10)

3. Persoalan Legal Culture

The legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation. Legal culture refers, then,to those ports of general culture customs, opinions ways of doing and thinking that bend social forces toward from the law and in particular way.

Persoalan Legal Culture ( Budaya Hukum ) dalam arah kebijakan politik hukum nasional adalah meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kembali budaya hukum yang sepertinya semakin hari semakin memudar (terdegradasi). Apatisme dan menurunnya tingkat appresiasi masyarakat pada hukum dewasa ini sudah sangat mengkhawatirkan, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran para pelaku kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat bahkan di depan aparat penegak hukum merupakan gambaran nyata semakin menipisnya budaya hukum masyarakat. Sehingga konsep dan makna hukum sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan individu dan sosial hampir sudah kehilangan bentuknya yang berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum yang tercipta melalui proses pembenaran perilaku salah dan menyimpang bahkan hukum sepetinya hanya merupakan instrumen pembenar bagi perilaku salah, seperti sweeping yang dilakukan oleh kelompok masa, oknum aparat yang membacking orang atau kelompok tertentu, dan lain sebagainya.

(11)

dan dapat diterapkan apabila masyarakat menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan hak dan kewajibannya serta bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan sesuai dengan jalur hukum yang benar dan tidak menyimpang.

Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah ditetapkan sasaran politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk bias gender); terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan.

Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun suatu program pembangunan politik hukum, antara lain dengan melakukan:

a. program perencanaan hukum; b. Program pembentukan hukum;

c. program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya;

d. program peningkatan kualitas profesi hukum; dan

e. program peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia.

IV. BEBERAPA PERUBAHAN PENTING DALAM UU NO. 12 TAHUN 2011

Mencermati UU nomor 12 tahun 2011, dapat kita lihat bahwa UU nomor 12 tahun 2011 lebih mampu memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan baik dari sisi isi muatan maupun prosedur dan kewenangan lemabag pembentuk peraturan perundang-undangan.

(12)

ASPEK PERUBAHAN UU 12/2011 CATATAN

Pendefinisian tentang Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

akademik ini diharapkan

akan mampu

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Hirarki Pasal 7

Dalam ketentuan tentang Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas, dicakup pula Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

Jenis peraturan lain Pasal 8

(13)

setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat

Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. memiliki dampak positif

untuk memperbaiki

sistem perencanaan

peraturan. Pasal 24

Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah.

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 30

Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden.

Pasal 31

Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Presiden.

Perencanaan di

Badan/Lembaga

Pasal 42

Perencanaan penyusunan Peraturan

Perundang-undangan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau instansi masing-masing.

(14)

(satu) tahun. Sistem Penyusunan PP secara

terintegrasi

Pasal 54

Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia antar kementerian dan/atau lembaga pemerintah non-kementerian.

Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan

Peraturan Pemerintah

dikoordinasikan oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan:

 otonomi daerah;

 hubungan pusat dan daerah;  pembentukan, pemekaran, dan

daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.

Keikutsertaan DPD dalam

pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I.

Keikutsertaan DPD dalam

(15)

materi muatan Rancangan Undang-Undang yang dibahas.

DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Pembatasan waktu penetapan

Peraturan Pemerintah Pasal 74Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan

Undang-Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan

akuntabilitas dalam pem bentukan perundang-undangan, sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip

Good Governance

Keterlibatan Expert Pasal 99

Pada tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi,

dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota, para pembentuk undang-undang dan peraturan dapat mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli.

Pengaturan ini juga

merupakan langkah

progressif dalam rangka meningkatkan kualitas proses dan hasil perundangan

Eksistensi Surat Keputusan Pasal 100

Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan

Gubernur, Keputusan

(16)

V. RESIDU PERMASALAHAN PASCA PERUBAHAN

Meskipun UU nomor 12 tahun 2011 sebagai pengganti UU nomor 10 tahun 2004 telah mengalami banyak kemajuan yang progressif, namun sayangnya masih menyisakan beberapa residu persoalan.

A. TAP MPR menjadi bagian dalam Hirarki Perundang-undangan

Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memasukkan kembali TAP MPR dalam tata hierarki peraturan perundang-undangan14. Sebelumnya dalam UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR dikeluarkan dari

hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. TAP MPR memang sempat masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam TAP MPRS No. XX Tahun 1966 dan TAP MPR No. III Tahun 2000. Namun, akhirnya TAP MPR dikeluarkan dari hierarki dengan berlakunya UU No. 10/2004.

Pencantuman TAP MPR dalam herarki perundang-undangan ini nampaknya hanya bertujuan untuk memberikan kerangka landasan hukum terhadap sisa-sisa TAP MPR yang masih exist saja, dan tidak dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi munculnya TAP MPR baru mengingat telah terjadinya pergeseran posisi MPR dalam strutur ketatanegaraan di Indonesia 15. Artinya, pencantuman ketentuan pasal 7 ini

tidak dimaksudkan untuk melegitimasi lahirnya TAP MPR baru.

Meskipun maksud pencantuman TAP MPR dalam herarki perundang-undangan ini sedemikian jelas, namun pencantuman ini tetap saja menimbulkan implikasi masalah baru, yakni bagaimana mekanisme pengujian terhadap TAP MPR ini ? Siapa yang berwenang mengujinya ?

14 Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 memuat hierarki peraturan perundang-undangan yakni sebagai berikut:

0 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

2 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3 Peraturan Pemerintah;

4 Peraturan Presiden;

5 Peraturan Daerah Provinsi; dan 6 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(17)

Dalam konteks pengujian peraturan perundang-undangan, Pasal 9 UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa:

(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).

Namun, dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan TAP MPR, atau TAP MPR dipertanyakan konstitusionalitasnya, maka hal tersebut tidak diatur mekanisme pengujiannya oleh UU No. 12 Tahun 2011. MPR pun tidak punya wewenang untuk menguji undang-undang yang diduga bertentangan dengan TAP MPR. Karena berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 wewenang MPR adalah mengubah dan menetapkan UUD, serta melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Jimly Asshiddiqie menyatakan sebenarnya penempatan TAP MPR di atas UU adalah keliru. Menurutnya, TAP MPR seharusnya sederajat dengan UU sehingga bisa dibatalkan jika bertentangan dengan konstitusi melalui pengujian ke MK.

Pendapat senada juga dikemukakan Pengajar Ilmu Peraturan Perundang-undangan Universitas Indonesia Sonny Maulana Sikumbang menilai masuknya TAP MPR ke dalam hierarki merupakan langkah mundur. Karena, menurut Sonny, dahulu TAP MPR sudah dikeluarkan dari hierarki peraturan perundang-undangan. Sonny menilai kembalinya TAP MPR ke dalam hierarki (baca Tarik Menarik dalam Menyusun Hierarki Peraturan Perundang-undangan).

(18)

ada lagi TAP yang memberikan mandat ke presiden. MPR, menurutnya, tidak berwenang membuat ketetapan yang bersifat mengatur, tapi sebatas ketetapan MPR yang bersifat beshicking (baca Status TAP MPR tentang HM Soeharto Pasca Amandemen UUD).

B. Masih Adanya Ketidakjelasan Kedudukan Beberapa Produk Hukum

Suatu hal yang baru dalam UU No 12 Tahun 2011 adalah adanya peraturan lain selain dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang sudah disebutkan. Peraturan lain tersebut yakni mencakup peraturan yang ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Kedudukan dan kekuatan hukum dari peraturan yang dibentuk lembaga-lembaga/instansi tersebut diakui keberadaaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan16.

Kehadiran norma pasal 8 ini mengandung 3 aspek penting; pertama memberikan kejelasan cakupan produk hukum lain di luar yang disebut dalam pasal 7, sekaligus memberikan penegasan tentang status kekuatan hukum dan daya ikatnya. Penegasan ini sangat penting mengingat dalam tataran praktis empirik, terdapat banyak produk hukum yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga dan badan yang berisi

(19)

norma hukum dan mengikat secara umum, misalnya berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh BI, MA, KPU, dan lain-lain17.

Kedua, (sayangnya) rumusan pasal 8 tidak mencakup beberapa produk peraturan atau keputusan yang dibuat secara bersama-sama oleh beberapa pihak yang hingga saat ini masih lazim dipraktekkan misalnya surat keputusan bersama menteri (SKB menteri). Hal ini menimbulkan setidaknya 2 persoalan turunan (derivative problems), pertama bagaimana kedudukan hukum dan daya ikat SKB ? Kedua, bagaimana mekanisme pengujian terhadap SKB ?

Terkait dengan kedudukan hukum dan daya ikat SKB, agaknya sulit untuk mendefinisikannya, karena terdapat kontradiksi antara ketentuan pasal 1 angka 2 dengan pasal 8 ayat 1. Dari segi prasyarat materiil, SKB dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, namun dengan mencermati ketentuan pasal 8 ayat (1), maka terlihat bahwa ketentuan ini pada dasarnya membatasi jenis peraturan yang dianggap sah dan memiliki kedudukan hukum diluar jenis peraturan yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). Sehingga dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bentuk peraturan bersama sebagaimana SKB tidak dapat dikategorikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, sehingga layaknya harus dicabut.

Ketiga, rumusan pasal 8 ini juga masih cenderung kontradiktif dengan penjelasan UU yang masih menyebut tentang produk peraturan yang dikeluarkan oleh pejabat di bawah Menteri misalnya Dirjen, dan lain-lain18.

C. Tidak dimuatnya norma kewenangan legislatif preview dan review Pemerintah terhadap Perda.

Kewenangan pengujian (preview maupun review) Peraturan Daerah selama ini diberikan kepada Pemerintah dan kewenangan ini diatur dalam UU Pemerintah Daerah. Mengingat bahwa kewenangan tersebut secara substansi menyangkut atau

17 Rumusan norma pasal 1 angka 2 menyebutkan: Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

(20)

berkaitan dengan mekanisme pembentukan perundang-undangan, maka seharusnya kewenangan tersebut dinyatakan/diatur dalam UU nomor 12 tahun 2011 ini.

VI. TANTANGAN KE DEPAN

Berbagai perubahan dan perbaikan yang diatur dalam UU nomor 12 tahun 2011 pada dasarnya membutuhkan treatment pendukung untuk memastikan bahwa misi yang ingin dicapai dalam memperbaiki sistem pembangunan hukum dan perundang-udnangan dapat dicapai.

Terkait dengan hal tersebut, kiranya perlu dicatat beberapa tantangan kedepan yang harus diperbaiki:

a. Kesiapan Sistem. Kesiapan sistem ini sangat diperlukan untuk mendukung upaya membangun sistem pembentukan perundang-undangan yang baik. Salah satu isu penting yang perlu diperhatikan adalah pentingnya membangun dan memperbaiki sistem informasi peraturan perundang-undangan yang computer and IT based, terintegrasi dan accessable. Sistem informasi perundang-undangan ini telah mulai diinisiasi di beberapa kementerian dan lembaga, namun belum sempurna dan belum terintegrasi. Pembangunan sistem ini sangat penting untuk diprioritaskan guna mencegah terjadinya overlapping dan mempermudah proses singkronisasi dan harmonisasi rancangan peraturan.

b. Kesiapan SDM. Kesiapan SDM ini sangat penting untuk diperhatikan, baik di internal lembaga pemerintahan dan parlemen, maupun di kalangan masyarakat. Peran serta masyarakat dalam menyediakan SDM yang menguasai substansi isu-isu tertentu yang akan menjadi materi pengaturan, sangat penting, dan hal ini dapat dibangun melalui pool of expert. Di sisi lain, dalam konteks kesiapan SDM di lembaga pemerintahan dan parlemen, keberadaan para ahli legal drafting sangat mendesak untuk dipenuhi. c. Kesiapan anggaran. Perbaikan sistem pembentukan perundang-undangan yang salah

(21)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet.1. Jakarta: Kontitusi Press, 2005.

Attamimi, A. Hamid S Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun waktu Pelita I - Pelita IV, Disertasi, Jakarta : Universitas Indonesia, 1990

Black's Law Dictionary. 7th Edition1999

Bagir Manan, Akibat Hukum di dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional (Tinjauan Hukum Tata Negara). Focus Group Discussion tentang Status Perjanjian INternasional dalam Sistem Hukum Nasional . Departemen Luar Negeri-Universitas Padjajaran, 29 November 2008

Der Vlies, I.C. van, Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving, ’s-Gravenhage: Vuga, 1984

DPR RI, Laporan Singkat Panitia Khusus RUU tentang Pembentukan PEraturan Perundang-undangan, tanggal 13 Desember 2010

Dicey, Albert Venn tahun Introduction to the Studi of the Law of the Constitution, 1855.

Djokosoetono, Ilmu Negara, Catatan Kuliah yang dihimpun oleh Harun Alrasid, 2006

Indrati, S, Maria Farida., Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Jakarta: Kanisius

Friedman, Lawrence Meir, The Legal System, Russel Sage Foundation, 1987

(22)

Kusumohamidjojo, Budiono, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Bandung: Binacipta, 1986

INTERNET

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=225491, Senin, 27 April 2009, diakses tanggal 1 April 2012

PERUNDANG-UNDANGAN

UUD 1945

UU 12 Tahun 2011

Referensi

Dokumen terkait

Endapan yang diperoleh disaring dan dikeringkan pada temperatur 100 o C, kemudian dipanaskan dalam furnace pada temperatur 800 o C.. Serbuk putih yang dihasilkan diuji

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi ini adalah hasil dari proses penelitian saya yang telah dilakukan sesuai dengan prosedur penelitian yang benar

good will untuk mengelolanya. Sumber daya alam hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil dari masyarakat sementara masyarakat yang lebih luas yang lingkungan hidupnya menjadi

tanah dalam Desa Siddo Kecamatan Soppeng Riaja dan pembangunan irigasi sumur. tanah dalam Desa Lompoko Kecamatan Balusu, jangka waktu pelaksanaan

Berdasarkan deskripsi temuan penelitian melalui tabel analisis data konflik batin dan nilai-nilai sosial dalam novel Azimah karya Arum Faiza dapat penulis

Choose fruits and vegetables, whole grains, lean meats, poultry, seafood, eggs, beans, nuts, and low-fat (1%) and fat-free dairy foods or fortified soy beverages (often marketed

Sebaiknya ceiling dibuat tinggi (bahkan bisa mengikuti bentuk kuda-kuda) sehingga bisa tercipta suasana yang lebih lapang. - Selain ceiling, yang perlu diperhatikan

Should you need more information or assistance in completing the application form, please contact our admission officer via email at admissions@sgpp.ac.id or telephone at +62 21