3
Budi seBagai
Nilai dasar
KomuNiKasi
etNiK melayu
Elok rumah karena sendi Rusak sendi rumah binasa,
Elok bangsa karena budi
Rusak budi bangsa celaka Kuat rumah karena sendi Rusak sendi rumah binasa, Kuat bangsa karena budi
Rusak budi bangsa binasa
Pantun Melayu
Rafael2. Dictionary of Common Sanskrit Spiritual Words secara tegas
mendeinisikan budi sebagai organ pikiran untuk menilai dan membedakan
perbuatan baik dan buruk (the organ of mind responsible for discrimination and judgement)3.
Secara paremiologis berbagai definisi budi yang menyamakannya dengan akal sebenarnya kurang begitu tepat. Berdasarkan penelusuran penulis, dari berbagai ungkapan tentang budi yang berjumlah 62 buah, hanya terdapat tujuh istilah yang terkait akal di antaranya akal budi, sebudi akal,
dan lautan akal tepian budi. Padalah, menurut logika, bila budi diartikan sebagai akal, jumlah entri yang memadukan kedua kata tersebut akan lebih banyak. Lebih dari itu, apabila budi diartiakan sebagai akal, tidak akan ada istilah “akal budi” yang diartikan sebagai pikiran yang sehat4.
Dalam konsep budi ada dimensi pikiran atau akal, tetapi itu hanya satu bagian. Bagian lainnya yang lebih besar adalah rasa dan spiriitualitas yang terpadu dalam organ metaforik yang disebut hati. Jadi budi merupakan per-paduan antara akal dan hati. Dengan demikian benar adanya jika Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan budi sebagai “organ batin yang merupakan perpaduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk”5. Terdapat berbagai penolakan terkait penekanan aspek hati dalam
mendeinisikan konsep budi, misalnya oleh Takdir Alisyahbana yang menegas
kan bahwa manusia yang berbudi adalah mereka yang seharusnya mengguna-kan akalnya, individualitasnya dan daya inteleknya untuk hidup. Namun, berdasarkan penelusuran paremiologis tampak jelas bahwa budi Melayu adalah organ batin yang didominasi aspek perasaan atau hati. Lebih tepatnya sangat terkait dengan hati nurani.
Di samping pendeinisian budi sebagai organ batin, para ahli umumnya
mengartikan budi sebagai nilai. Konsep budi sebagai nilai (values) dapat diartikan sebagai kebaikan tertinggi atau kearifan yang secara berhadap-hadapan dilawankan dengan konsep Badi6 yang dipandang sebagai disvalues atau sumber dari segala keburukan.
lebih sempit lagi, budi bisanya diartikan sebagai kebaikan berperilaku dalam hubungan sesama manusia. Sebagai suatu bentuk kebaikan, maka nilai budi menjadi sesuatu yang diingini dalam kehidupan bersama orang Melayu. Sementara badi yang mereprensentasikan keburukan menjadi sesuatu yang selalu dihindari.
Analisis terhadap ke-62 pribahasa atau ungkapan terkait budi sebagian besar memposisikan budi sebagai nilai. Kim Lim Hui6, Tenas Effendy, Zainal Kling7, hingga Wan Hussin Wan Norhasniah8, memperlakukan budi sebagai nilai yang diidamkan masyarakat Melayu, bahkan diposisikan sebagai nilai utama. Pemberlakuan budi sebagai nilai juga dapat dirujuk pada dua kamus utama di kawasan Melayu yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Dewan (Malaysia), yang mendeinisikan budi sebagai suatu bentuk nilai. Bab
ini selanjutnya akan membahas budi sebagai nilai utama Orang Melayu dan kaitannya dengan cara pandang Orang Melayu tentang komunikasi. Akan tetapi sebelum kita membicarakan hal tersebut, terlebih dahulu kita telusuri bagaimana sejarah konsep budi ini muncul di kawasan Nusantara.
riWayat Budi seBagai Nilai utama
Pada umumnya dipercayai bahwa konsep budi yang menjadi nilai dasar atau
nilai akhir dalam ilsafat hidup Orang Melayu berasal dari bahasa Sansekerta,
buddhi. Kata budi ini menurut sebagian ahli juga menjadi akar pembentukan kata budhaya (bentuk jamak dari buddhi) atau diindonesiakan menjadi budaya yang kemudian membentuk kata kebudayaan atau culture9 dalam Bahasa Inggris.
Belum diketahui secara pasti kapan kata budi10 ini diserap dalam Bahasa Melayu atau bahasa lainnya di Nusantara yang juga menggunakan kata ini sebagai bagian dari sistem nilai mereka. Tampaknya perlu pengkajian tersendiri untuk mengungkap asal-usul kata yang sangat penting bagi ber-bagai etnik di kepulauan Nusantara ini.
Sumatera, Jawa, Pesisir Kalimantan, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, Kamboja, sebagian Vietnam, dan Filipina12.
Di tanah Kamboja dan Thailand, Kerajaan Sriwijaya meninggalkan berbagai candi bercorak Budha Vajrayana di antaranya peninggalan Wat (candi) Kaew yang berada di Chaiya Thailand Selatan13. Sedangkan di tanah Jawa berdasarkan Prasasti Kota Kapur, Sojomerto dan Prasasti Kedukan Bukit14. Kerajaan Sriwijaya bahkan sempat melahirkan wangsa Syailendra yang mengembangkan konsep dan sistem kerajaan yang maju, menyebarkan kosa kata Melayu yang berakar pada BahasaSanskerta15 dan kemudian juga membangun Candi Borobudur.
Sebagai kerajaan induk, pengaruh Kerajaan Sriwijaya tidak hanya dalam menerapkan bahasa Melayu kuno sebagai bahasa perantara (lingua franca) tetapi sekaligus menyebarkan tradisi filsafat dan paham agama Budha, ter masuk konsep budi, ke lingkungan kerajaan-kerajaan yang men-jadi wilayah pengaruhnya.
Pada saat imperium Sriwijaya mengalami kemunduran dan akhirnya runtuh, pemakaian konsep budi tersebut tampaknya tetap dipertahankan oleh kerajaan Melayu Dharmasraya dan Pagaruyung yang menjadi pewaris hegemoni Kerajaan Melayu Sriwijaya di wilayah Nusantara.
Ketika Kesultanan Melaka yang dibangun oleh keturunan Kerajaan Melayu asal Palembang (yang berazaskan Islam) berkembang pada abad ke 15 Masehi, konsep budi tersebut tampaknya telah termelayukan dan mem peroleh arti, fungsi, dan nilai tersendiri dalam masyarakat Melayu dan terlepas dari pengertian awal kata ini yang bernuansa religius. Kata ini kemudian diislamisasi dan dipertahankan pemakaiannya serta tetap menjadi konsep kearifan lokal untuk penanaman nilai-nilai dan karakter kemelayuan
(Malayness Character) pada masyarakat Melayu.
Andaya16 menyebut masa Kesultanan Melaka adalah masa peralihan antara Budha dan Islam. Menurutnya, hingga pertengahan abad ke-15 lingkungan Istana Melaka belum sepenuhnya ber-Islam dan menjalankan pemerintahan berdasarkan Islam. Proses peralihan nilai dan sistem keper cayaan masyarakat Melayu dari sisa-sisa budhisme ke dalam Islam tampak nya berjalan alamiah dan bertahap, dipelopori oleh pihak istana.
agama resmi Kesultanan Melaka tampaknya tidak serta merta menghilangkan nilai-nilai asli dan identitas kemelayuan. Kemungkinan besar berbagai konsep pemikiran Melayu, khususnya menyangkup nilai-nilai utama yang terkait dengan identitas kemelayuan, tetap dipelihara dan kemudian disesuaikan dengan Islam. Beberapa konsep yang penting di antaranya kata budi dan bhakti
yang tampaknya menjadi konsep penting dalam sistem nilai Sriwijaya.
Menurut pandangan penulis, konsep budi yang dibangun pada masa sriwijaya ini berhasil menjadi semacam pandangan hidup (way of life) dan mampu menanamkan perilaku hidup yang baik dan kompetitif. Dua argumen yang dapat diajukan tentang hal ini adalah adanya cacatan pedagang Arab, Edrisi, tahun 1158 yang menyebutkan bahwa masyarakat Sriwijaya di Wilayah Zhabag18 (Gabriel Ferrand meyakini kata Zhabag ini merujuk pada pulau Sumatera yang saat itu masih dianggap satu kesatuan dengan wilayah Jawa) memiliki reputasi yang baik dalam kejujuran dan keadilan (fairness), berperilaku terpuji (good conduct), perilaku bertanggung jawab, serta sistem pelabuhan dan fasilitas perdagangan yang baik. Karena alasan ini, lanjut Edrisi, banyak sekali pedagang Cina yang membawa lari modal mereka ke wilayah Sriwijaya ketika di Cina terjadi kekacauan19. Argumentasi kedua adalah catatan Yijing20 (It-Sing) yang menyebutkan bahwa pendidikan keagamaan di wilayah Sriwijaya sangat maju dan menjadi pusat pengkajian Budha aliran Mahayana di dunia. Yijing melihat ada lebih dari seribu rahib yang belajar agama Budha dengan guru spiritual terkemuka Acarya Dharmakitri. Pada Dharmakitri inilah berguru pendeta besar (Atisa) Dipankara Srijnana yang kemudian menjadi pendeta dengan kedudukan paling tinggi di biara Vikramasila di India21.
Di samping kata budi dan bakti, para cendekiawan Melayu juga tetap menggunakan ungkapan atau kata Melayu yang berakar pada Bahasa Sanskerta untuk memahami konsep dan ajaran Islam. Bukti terpenting tentang hal ini misalnya tampak dalam penggunaan kata-kata-kata spiritual seperti dosya (dosa), pahala, syurga (surga), naraka (neraka), syiksya
identitas kemelayuan dan keislaman dapat dipadukan. Konsep budi menjadi identitas kemelayuan dan konsep takwa menjadi identitas keislaman.
Para pemimpin Melayu di berbagai wilayah, khususnya Pulau Sumatera, menyadari bahwa identitas kemelayuan sudah terbentuk dengan solid. Tidak semua penduduk menganut agama yang sama (Islam), tetapi mereka tetap merupakan warga negara kerajaaan Melayu/Sriwijaya. Karena alasan ini, nilai dan konsep kemelayuan harus dijaga sebagai identitas sekaligus perekat seluruh masyarakat Melayu.
Tradisi intelektual dan penulisan di lingkungan Kesultanan Melaka pada abad 1522 memicu berkembangnya beragam bentuk gagasan dan hasil pemikiran tentang berbagai aspek kehidupan bersama yang tertuang dalam beragam bentuk ungkapan, peribahasa, pantun, bidal, gurindam, ataupun petatah-petitih. Belum diketahui manakah dari khazanah peribahasa yang ada di lingkungan masyarakat Melayu saat ini yang merupakan warisan pra-Islam dan mana pula yang merupakan hasil pengembangan pemikiran masyarakat Melayu setelah ber-Islam. Satu hal yang pasti adalah bahwa tradisi intelektual yang terbangun pada masa Kesultanan Melaka memicu berkembangnya tradisi intelektual di kesultanan Islam berikutnya yang kemudian mewariskan pemikiran dan gagasan tentang kemelayuan yang melimpah dan masih dapat ditelusuri.dengan mudah23 .
Beberapa buku yang penting yang dihasilkan pada masa berkembang-nya intelektualisme di lingkungan Melayu menurut James T. Collins di antaranya Malay Anal atau Sejarah Melayu yang ditulis Tun Sri Lanang,
Taj al-Salatin oleh Bukhari Al Jauhari; Bustan al-Salatin oleh Nuruddin Ar-Raniri; dan teks abad ke 16 Al Aqaid al-Nasai yang, menurut Asmah Hj Omar, menggunakan 82% Bahasa Melayu yang kata-katanya masih digunakan pada saat ini24.
dikatakan sistem gagasan dan nilai-nilai hidup yang berlaku di lingkungan Orang Melayu saat ini adalah nilai-nilai Islam. Ada kemungkinan penyebar-an nilai-nilai kemelayupenyebar-an Islam termasuk konsep budi ypenyebar-ang bernupenyebar-ansa Islam ke seluruh kepulauan Nusantara (Malay archipelago) terjadi pada masa kejayaan Melaka di bawah Sultan Mansyur Sah (1458-1477), yang wilayahnya meliputi hampir seluruh Semenanjung Malaysia dan sebagian besar wilayah Sumatera25.
Merujuk pada Wan Husin26, sejak ber-Islamnya Raja Melaka, kata budi mulai direkonstruksi dan diselaraskan dengan sistem keyakinan dan prinsip-prinsip ajaran Islam (Islamic teaching principles)27. Penyelarasan ini menjadi relatif mudah dilakukan karena banyak sistem gagasan dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Melayu yang berkesuaian dengan ajaran Islam. Beberapa inti gagasan masyarakat Melayu yang sejalan dengan ajaran Islam tersebut di antaranya terungkap dalam peribahasa “berbuat baik akan mendapatkan kebaikan” atau “umpan yang baik akan menangkap ikan yang baik pula” yang mencerminkan inti dari nilai dasar kebudian yakni “berbuat baik” dan keyakinan bahwa setiap perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan pula. Pernyataan ini sejalan dengan salah satu gagasan dasar ajaran Islam yang mengatakan “Hal Jazaa’ul Ihsaan Illa al Ihsaan28 yang artinya “tidak ada balasan bagi suatu kebaikan kecuali kebaikan juga”.
Klinkert, penulis Belanda yang pertama kali menginventarisasi peri-bahasa Melayu pada 1863, kemudian dilanjutkan oleh Maxwell (peneliti Inggris) pada 1878, menganalisis 301 peribahasa Melayu, dan menemukan prinsip pertengahan atau kewajaran dalam masyarakat Melayu yang ternya-ta kan dalam ungkapan “(ber)buat baik berpada-pada, (ber) buat jahat jangan sekali”. Prinsip kewajaran ini dalam Islam dikenal dengan istilah
wasathaniyyah (pertengahan) dan tawazzun (keseimbangan).
apabila datang seorang fasiq membawa berita maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum karena suatu kebodohan, sehingga kalian menyesali perbuatan yang telah kalian lakukan”. Masih sangat banyak contoh peribahasa Melayu lainnya yang sejalan atau memuat nilai-nilai ke-Islaman, termasuk peribahasa sederhana yang berbunyi “Ketam menyuruhkan anaknya berjalan betul” yang berarti seseorang menyuruh orang lain melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak melakukannya. Nasihat ini sejalan dengan ayat Al-Quran “Kabura Maqtaan ‘Indallaahi an taquuluu maa laa taf”aluun”, yang terjemahannya kira-kira “Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.30 Hal ini juga sejalan dengan cara berpikir Orang Melayu yang mementingkan satunya kata dan perbuatan yang secara khusus akan dibahas dalam bab tentang aturan-aturan komunikasi yang baik.
Penyelarasan cara hidup Melayu dengan nilai-nilai Islam merupakan realisasi adagium utama adat Melayu yakni “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Pernyataan ini menegaskan bahwa norma-norma, nilai-nilai, dan praktik kehidupan (termasuk praktik komunikasi) hendaknya didasarkan pada ajaran Islam. Itu sebabnya maka konsep budi sebagai nilai dasar (core values)Orang Melayu kemudian mengalami rekonstruksi sesuai ajaran Islam. Sebaliknya ajaran Islam kemudian dibumikan di alam kehidupan Orang Melayu sehingga menghasilkan identitas Orang Melayu yang beragama Islam tapi tetap menjadi Orang Melayu. Konsep memelayukan berbagai aspek atau anasir asing yang baik dalam masyarakat Melayu dapat disebut dengan istilah Melayu jadi.
ke dalam tiga kategori yakni adat yang sebenar adat, adat yang diadatkan
dan adat yang teradat. Masing-masing jenis adat tersebut memiliki daya tahan dan daya pengaruh yang berbeda-beda. Adat yang sebenar adat mungkin dapat katakan sebagai adat yang paling sulit diubah karena ia menjadi penciri kemelayuan yang berbasis ajaran Islam32.
Adat yang bersifat normatif merupakan patokan perilaku yang bersifat khas yang diterima sebagai bentuk perilaku yang normal dalam menjalani kehidupan bersama. Aturan-aturan tersebut merupakan rujukan eksternal yang diberlakukan berdasarkan kesepakatan bersama. Keberlakukan aturan ini sangat bergantung dari ekspektasi sosial dan kesepakatan orang-orang yang menjalankan aturan ini. Bila disepakati bahwa tantangan, lingkungan atau zaman telah berubah, maka patokan atau aturan-aturan yang adapun dapat dengan mudah menyesuaikan diri kapan pun diperlukan. Tentang hal ini peribahasa Melayu menyatakan “adat tumbuh atas mufakat, adat beralih atas sepakat”33 yang berarti semua norma-norma adat budaya yang menjadi rujukan eksternal Orang Melayu adalah hasil kesepakatan masyarakat, dan untuk mengubahnya juga diperlukan kesepakatan kecuali adat yang seberadat yang berbasiskan pada Al-Quran dan sunah.
Sebagai nilai dasar, konsep budi tampaknya bukan hanya menjadi patokan berperilaku Orang Melayu, tapi juga selama berabad-abad konsep ini telah menjadi semacam semangat dan energi hidup (elan vital) Orang Melayu. Bila ditelusuri lebih jauh dapat dipastikan nilai-nilai kebudian merupakan mata rantai terpenting dalam mengeksplorasi dan menelusuri sistem gagasan dan warisan pemikiran Orang Melayu sejak masa kejayaan Sriwijaya baik di Palembang, Jambi, maupun Muara Takus (Riau) hingga berakhirnya kerajaan-kerajaan Melayu Islam di Nusantara. Dari analisis paremiologis juga tampak bahwa cita-cita hidup Orang Melayu termasuk dalam merengkuh kemuliaan, kehormatan, keberadaban, dan kegemilangan sebagai sebuah bangsa atau etnik terletak pada pencapaian budi. Beberapa pernyataan yang meneguhkan tentang hal ini misalnya peribahasa “putih tulang di kandung tanah, budi baik dikenang jua” yang mencerminkan nilai kehormatan hidup Orang Melayu, atau pernyataan “orang kaya bertabur harta orang mulia bertabur budi”, dan “baik bangsa karena budi, rusak bangsa karena budi” yang memperlihatkan kemuliaan dan keberadaban bangsa mesti didasarkan pada pencapaian budi.
Kata budi pada kenyataanya bukan hanya menjadi konsep penting di lingkungan masyarakat Melayu, tapi juga dalam kehidupan beragam etnik lain di kepulauan Nusantara (Indonesia) seperti Jawa, Sunda,35 bahkan Ternate36. Pada suku Jawa penggunaan kata budi misalnya tampak dalam peribahasa
tansah ajeg mesu budi lan raga nganggo cara ngurangi mangan lan turu
(kurangi makan dan tidur yang berlebihan agar kesehatan jiwa dan raga kita senantiasa terjaga) dan ungkapan bhuda bhudi, jawa jawi, mata siji yang mengambarkan kesadaran bahwa keutamaan manusia adalah menggunakan akal budi, pengertian yang benar, dan mata batin dalam berbuat sesuatu. Dalam naskah klasik Serat Centhini yang menjadi rujukan penting dalam filsafat Jawa, kata budi juga sudah digunakan untuk menggambarkan makhluk suprahuman, yakni entitas spiritual yang menjadi penghubung antara manusia dan Tuhan37.
Sedangkan pada orang Ternate39 salah satu representasi kata budi dalam peribahasa mereka adalah gudu-gudu to tede suba korana ni ronga budi sebahasa yang berarti pentingnya memiliki budi yang baik, berakhlak tinggi dan memelihara nama baik agar memperoleh kehormatan di masyarakat. Tersebarnya konsep budi di seluruh wilayah Nusantara menunjukan bahwa nilai budi memang merupakan nilai penting yang dianut berbagai etnik di kawasan ini.
meNgeKPlorasi Nilai Budi
Pada awal bab ini penulis telah menjelaskan bahwa konsep budi memiliki dua dimensi penting yakni aspek perasaan (hati) dan pikiran. Di samping itu penulis juga telah memaparkan penempatan budi sebagai suatu nilai utama masyarakat Melayu. Dalam bagian ini kita akan menelusuri lebih jauh berbagai dimensi tentang budi tersebut secara lebih komprehensif.
Dalam khazanah peribahasa dan ungkapan Melayu sendiri kata budi memiliki beragam arti meliputi; (1) kemuliaan atau kearifan, seperti ter-tuang dalam peribahasa “orang kaya bertabur harta, orang mulia bertabur budi”; (2) akhlak, seperti ternyatakan dalam peribahasa “budi elok perangai terpuji” atau “meski ilmu setinggi tegak, tidak berbudi apa gunanya”; (3) perbuatan baik, misalnya dalam ungkapan “bertanam budi”, “membalas budi”, atau “berbudi jangan meminta ganti” atau ungkapan seperti “hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua”; (4) akal, seperti terungkap dalam pernyataan “akal budi” atau “laut budi tepian akal”; (5) terkait dengan perasaan, sopan santun, dan keramah-tamahan, seperti dalam pernyataan “ budi elok basa setuju” atau “ yang elok budi yang indah basa”, (6) beradaptasi dan bertindak, di antaranya dalam peribahasa “kurang budi teraba-raba, tiada ilmu suluh padam”; dan (7) kecakapan melakukan sesuatu secara baik dan berterima, seperti terungkap dalam pernyataan “hidup kalau tak berbudi, ke mana pergi ke mari canggung”.
Deinisi budi sebagai kemuliaan mencerminkan pengertian konsep budi
manusia yang bertindak atau berbuat. Berdasarkan pengertian ini maka nilai manusia akan ditentukan oleh perbuatan yang dia lakukan dalam hidupnya. Manusia yang berbuat baik dan mengarahkan hidupnya untuk menciptakan kebaikan bersama di sebut sebagai manusia berbudi. Sebaliknya orang yang tidak dapat berbuat baik dengan sesamanya atau tidak dapat membalas budi dianggap sebagai orang yang tidak berbudi.
Berbuat baik merupakan inti dari konsep budi. Hidup adalah untuk berbuat baik. Orang Melayu mengajarkan manusia untuk tidak ragu-ragu berbuat baik (“menanam budi”) terhadap orang lain atau sesama makhluk (“berbaik-baik sesama umat, berpatut-patut sesama makhluk”). Mereka juga harus percaya bahwa manusia adalah makhluk yang berkecederungan baik. Oleh karena alasan ini maka Orang Melayu percaya bahwa setiap perbuatan baik akan dibalasi dengan kebaikan pula cepat atau lambat (“umpan yang baik akan menangkap ikan yang baik”). Mereka juga percaya bahwa segala perbuatan yang diawali dengan niat baik akan berakhir dengan kebaikan juga (“awal yang baik memberikan akhir yang baik”). Meskipun Orang Melayu meyakini bahwa perbuatan baik selalu akan dibalas kebaikan, dalam melakukan perbuatan baik ternyata Orang Melayu dilarang untuk mengharapkan balasan dari orang lain. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam peribahasa “berbudi jangan meminta ganti”.
Perbuatan baik sebagai niat dasar dalam berperilaku, menurut sistem gagasan Orang Melayu harus melibatkan perasaan dan akal. Akal menjadi pemandu perilaku yang logis, objektif dan deskriptif, sedangkan perasaan menjadi pemandu hubungan antarmanusia yang hangat, ramah, saling menghargai, saling bertenggang rasa, dan didasarkan pada niat yang baik. Meskipun kata “akal” sering digunakan lebih dulu dari pada “rasa”. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, dalam kegiatan komunikasi sehari-hari Orang Melayu lebih mendahulukan rasa atau emosi. Bahkan dapat dikatakan komunikasi Orang Melayu adalah komunikasi yang didasarkan pada emosi atau bertolak dari hati. Kim Lim Hui40 bahkan menyatakan hati sebagai pusat kehidupan, ruh, nafsu, intuisi dan jiwa..
masalah dan membangun hidup yang lebih berkulitas. Bila manusia telah mampu hidup dengan niat baik, menggunakan akal dan hati, dan mampu bersiasat dengan benar maka dalam perspektif Orang Melayu disebut sebagai orang yang cakap. Orang seperti ini dapat menjalani hidup dengan baik dan benar, mudah menyesuaikan diri dan juga mudah diterima oleh orang lain di mana pun berada.
Orang yang dapat menjalani hidup secara kompeten akan mampu meninggalkan nama yang baik setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam nilai dasar kebudian, hidup manusia hendaknya ditujukan untuk mampu mengukir nama yang baik, meninggalkan jejak-jejak kebaikan yang berguna bagi manusia lain. Hanya dengan torehan kebaikan, manusia itu akan tetap dimuliakan meskipun yang bersangkutan telah lama meninggal dunia. Salah satu peribahasa Melayu terkenal yang mencerminkan pemikiran ini adalah “putih tulang dikandung tanah, budi baik dikenang jua”.
Kedelapan pengertian konsep budi yang parsial tadi kemudian dapat
diintegrasikan dalam deinisi konsep budi yang luas seperti dalam pernyataan
“baik bangsa karena budi, rusak budi bangsa binasa”. Dalam peribahasa ini pengertian budi sudah bersifat menyeluruh dan mengandung elemen kemuliaan, hidup berakhlak, berbuat baik, menggunakan akal, berperasaan dan bersopan santun, serta kemampuan melakukan sesuatu secara memadai sesuai tuntutan peran yang diharapkan. Seluruh elemen tersebut menjadi pembentuk nilai-nilai personal yang memandu cara hidup bersama dan berinteraksi di lingkungan masyarakat Melayu.
Muatan nilai budi yang demikian lengkap menyeluruh, membuat konsep budi menjadi inti gagasan Orang Melayu tentang kehidupan bersama manusia. Budi menjadi nilai dasar atau nilai akhir yang dikehendaki bersama oleh masyarakat Melayu dalam membentuk karakter mereka. Dalam konteks ini pernyataan Kling41 dan Kim Lim Hui42 terasa tepat ketika menyimpulkan konsep budi sebagai inti dari sistem keyakinan masyarakat Melayu. Demikian halnya ketika Wan Husin menyebutkan bahwa budilah yang menjadi dasar sistem nilai yang membentuk kepribadian dan mental Orang Melayu43.
Konsep nilai dasar atau nilai akhir merupakan gagasan yang penting
dalam membicarakan ilsafat sebagai pandangan hidup. Para ilsuf mengartikan
(summum bonum) yang dikejar oleh semua orang44. Nilai akhir ini berdasarkan penelusuran Bagus45 ternyata berbedabeda antara ilsuf yang satu dengan ilsuf yang lain atau antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya. Aristoteles misalnya menganggap “kebahagiaan” sebagai nilai akhir yang harus dikejar oleh manusia dalam hidup mereka, Albert Camus menyebut “solidaritas kemanusiaan” yang paling penting dan besar artinya bagi kemanusiaan. Filsuf Comte berpendapat lain lagi. Ia memandang kemajuan dan keteraturanlah sebagai yang paling pokok dalam hidup manusia, sedangkan Ortega Y. Gasset dan Jean-Paul Sartre memandang otentisitas sebagai hal terpenting dalam
hidup dan menjadi nilai inal bagi manusia.
Bila kita telusuri berbagai gerakan filsafat yang ada, mereka juga menyodorkan nilai final yang berbeda-beda, misalnya kaum neohegeliaan yang merekonstruksi pandangan eudamonistik Aristoteles berpendapat bahwa realisasi diri atau pemenuhan diri sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan, sedangkan gerakan Stoisisme menekankan apathia atau ketenangan berpikir sebagai nilai final yang mesti dicari. Gerakan filsafat abad 21 yang mengeksplorasi nilai-nilai universal untuk menghadapi persoalan yang timbul akibat globalisasi dan lompatan teknologi informasi meyakini bahwa kebenaran, penghargaan terhadap manusia, dan pantangan menyakiti orang yang tak bersalah merupakan tiga pilar utama nilai kemanusiaan46.
Dalam konteks masyarakat, kita melihat bangsa Jepang dan bangsa Cina juga memiliki nilai akhir yang berbeda meskipun sama-sama dipengaruhi oleh ajaran budhisme. Orang Jepang memandang harmoni kelompok sebagai nilai dasar (key values) yang terpenting dan sepenuhnya memandu hidup orang Jepang, sementara orang Cina yang hidup dalam tradisi konfusianisme memandang jen ((kemanusiaan) dan li (kepantasan) sebagai nilai final mereka47. Lalu bagaimana dengan Orang Melayu? Sebagaimana telah dikemukakan sejak awal tulisan ini, masyarakat Melayu menetapkan budi atau kebudian sebagai nilai akhir yang harus mereka bangun.
hidupnya. Peribahasa seperti “badan hancur dikandung tanah budi baik dikenang jua” menunjukkan bahwa dalam pikiran Orang Melayu konsep budi bukan hanya terkait dengan kehidupan saat ini tetapi juga kehidupan sesudah mati. Perilaku berbudi ini tampaknya membimbing manusia Melayu dalam segala tahapan kehidupan (life developmental).
Dalam membangun karakter Orang Melayu yang berbudi, masyarakat Melayu mengembangkan konsep tunjuk ajar yang berisikan tentang budi. Tunjuk ajar adalah sejenis petuah, petunjuk, nasihat, amanah, pengajaran, contoh teladan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kedudukan
tunjuk ajar bagi Orang Melayu sangat tinggi dan penting, Orang yang tidak memahami dan mengamalkan tunjuk ajar disebut kurang ajar. Orang yang tidak mengamalkan tunjuk ajar juga dianggap sebagai orang tidak berbudi.
Merujuk pada Effendy, tunjuk ajar tersebut meliputi dimensi bertanam budi dan membalas budi. Berikut adalah konsep tunjuk ajar tersebut48;
Apa tanda Melayu jati Elok perangai mulia budi pekerti
Sakit senang menanam budi
Apa tanda Melayu jati Hidupnya tahu membalas budi
Apa tandanya Melayu jati, Membalas budi sampailah mati
Apa tanda Melayu jati, Karena budi berani mati
Apa tanda Melayu Jati, Termakan budi ia takuti
Apa tanda Melayu pilihan Bertanam budi jadi amalan
Apa tanda Melayu pilihan, Termakan budi ia elakkan, bertanam budi ia galakkan
Apa tanda Melayu terbilang Jujur di muka, lurus dibilang
Apa tanda Melayu bertuah Batinnya jujur dan lembut lidah.
Dimensi membalas budi secara khusus terungkap dalam syair tunjuk ajar berikut;
Apa tanda orang tersesat membalas budi tiada ingat
Apa tanda orang celaka, termakan budi ianya lupa
Apa tanda orang malang, tidak mengingat budi orang
Tanda tidak bermalu membalas budi ia tak mau
Tanda orang tak berakhlak membalas budi ia mengelak
Tanda orang tak senonoh, membalas budi bertangguh-tangguh
membalas budi sambil mengumpat
Tanda orang tidak amanah membalas budi sambil menyumpah
Tanda orang tidak berperasaan membalas budi ianya enggan
Tanda orang terkutuk budi baik dibalas buruk
Tanda orang haram jadah
Budi baik dibalas itnah
Tanda orang keji, budi baik dibalas maki
Tanda orang celaka Membalas budi mengambil muka
Kedua dimensi tunjuk ajar Melayu ini merupakan nilai-nilai yang secara tradisional ditanamkan kepada anggota-anggota masyarakat Melayu sepanjang perkembangan hidup mereka sejak masa kanak, remaja hingga dewasa.
Orang Melayu tampaknya menempatkan konsep budi sebagai nilai dasar dalam memaknai hidup (the meaning of life). Hidup adalah budi. Hidup mesti didasari oleh tindak kemuliaan dan kebaikan yang mewujud dalam perintah menggunakan hati dan logika secara benar, melakukan ikhtiar untuk kebaikan, membangun akhlak atau watak yang baik, dan dapat bersopan santun dalam menjalin komunikasi antarmannusia dan kehidupan bersama. Dalam sistem gagasan Orang Melayu hanya hidup yang berbudi yang dapat membangun keharmonisan hidup bersama.
Konsep budi dalam masyarakat Melayu, menurut Alisyahbana49 dan Kim Lim Hui50 memiliki dua dimensi penting yakni pikiran (reasoning) dan perasaan (emotion). Kedua aspek ini pada kenyataanya menjadi modal penting dalam menjalani kehidupan bersama manusia. Hidup yang bermodal akal saja tidaklah lengkap dan pula tidak seimbang karena sisi emosi atau hati yang sejatinya adalah bagian karakter kemelayuan menjadi tersisihkan. Menurut Takdir51, manusia bukan hanya makhluk berpikir, melainkan juga makhluk yang merasa. Sisi emosilah sebenarnya yang lebih banyak memicu
perselisihan dan konlik antarmanusia ketimbang aspek pikiran. Sisi emosi
pula yang menyatukan dan mengharmoniskan manusia. Oleh karena itu keseimbangan keduanya dalam praktek kehidupan sehari-hari menjadi penting. Menurut Alisyahbana, Orang Melayu atau Indonesia beruntung memiliki konsep budi yang memadukan akal (reasoning) dengan emosi (feeling), Sementara tradisi ilsafat barat sebagaimana disesalkan Frithjof
Schuon dalam bukunya The Transiguration of Man (1995)52, memisahkan atau mendikotomikan kedua aspek terpenting dalam diri manusia tersebut.
Dalam perspektif komunikasi, integrasi pikiran dan emosi (rasa) ini menegaskan bahwa dalam berkomunikasi kita tidak melulu menyampaikan pesan pikiran (logika) tapi juga pesan perasaan (hati). Kedua jenis pesan ini harus dapat diekspresikan secara baik dan tepat. Integrasi tersebut juga menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi penekananan bukan hanya diberikan pada aspek kebenaran isi pesan (truth) tetapi terutama malah pada aspek pemeliharaan hubungan (relationship) di antara orang-orang yang terlibat di dalamnya.
komuni kasi yang dilakukan dapat merusak hubungan yang ada. Bagi Orang Melayu apalah artinya kita memonopoli kebenaran, merasa diri paling benar, atau memenangkan kebenaran dalam percakapan sementara pihak lain yang berkomunikasi dengan kita dipermalukan, merasa bodoh, kehilangan muka, kehilangan harga diri, dan akhirnya memupus atau merusak hubungan yang seharusnya terjalin lebih kuat sebagai hasil dari komunikasi.
Komunikasi yang dilandasai semangat bertanding (kompetisi) memenang-kan kebenaran, memosisimemenang-kan diri lebih superior atau lebih pintar dari orang lain, atau lebih berpengaruh terhadap orang lain hanya akan menghasilkan komunikasi yang penuh ketegangan, dingin, kaku, kering, penuh konflik terpen dam, dan memuakkan.
Kebenaran menjadi sesuatu yang cair dalam komunikasi Orang Melayu. Dalam konteks ini bukan substansi kebenarannya yang bersifat cair melainkan cara kita mempercakapkannya menjadi sangat lentur. Untuk sampai pada kebenaran tidak perlu menggunakan cara hitam putih atau dengan menyata-kan secara tegas bahwa seseorang salah atau keliru apalagi dengan intonasi yang keras dan merendahkan. Cara seperti itu akan mempermalukan orang lain. Oleh karena itu ketika kita meragukan atau mempersoalkan kebenaranan suratu pesan, cukup misalnya balik bertanya kepada penyampai pesan sambil menyelipkan jawaban dalam pernyataan kita atau sekadar membiarkan percakapan yang berisi informasi salah tersebut berlalu apabila memang bukan hal yang penting untuk diluruskan. Hubungan antar pelaku komunikasi lebih bernilai untuk dijaga daripada sekadar menjaga atau meluruskan informasi yang keliru dan tidak penting.
Untuk menjaga hubungan antarpribadi Orang Melayu menyatakan “Beria kalau berkata, berkawan kalau berjalan”, yang artinya komunikasi itu lebih baik dimulai dengan mengatakan ‘iya’ saja terlebih dahulu, dengan begitu kita membangun perasaan nyaman, kesediaan berdialog, atau mem-buka ruang penerimaan dalam komunikasi, dengan beria berarti kita mencari teman bersanding dalam komunikasi, bukan lawan bertanding.
untuk mempenaruhi dan menaklukakan orang lain agara berperilaku seperti yang kita kehendaki. Karena cara pandang komunikasi yang demikian maka benar atau salah dalam berkomunikasi, sepakat atau tidak sepakat dengan sebuah gagasan, bersetuju atau tidak dengan sebuah argumentasi bukan menjadi sesuatu yang utama.
Kenikmatan, kenyamanan, kehangatan berkomunikasi sejatinya bukan diperoleh ketika orang tidak saling berlomba menjadi yang paling benar, paling pintar, paling fasih, atau paling berpengaruh. Kenikmatan komunikasi terjadi justru ketika setiap orang saling mnyesuaikan diri, saling menguatkan, saling menjaga muka satu sama lain, saling menggembirakan dan saling mencerahkan atau menuntun ke arah kebenaran dengan cara yang santun dan patut. Inilah yang disebut sebagai komunikasi cara bersanding bukan bertanding. Prinsip persandingan adalah prinsip bahu membahu, tolong menolong dengan semangat persaudaraan untuk saling memperoleh manfaat dari komunikasi yang dilakukan. persandingan karenanya mementingkan kesetaraan, kerjasama, saling mengisi dan mengembangkan satu sama lain. Bersanding pada intinya menempatkan komunikasi sebagai tindakan dialogis.
Kata bersanding selama ini seolah hanya diartikan peristiwa perkawinan atau perjodohan. Padahal, substansi kata tersebut adalah dekat/men dekati atau damping/mendampingi karena kata ini dapat digunakan untuk segala bentuk ‘perjumpaan’ atau interaksi di antara manusia. Jadi kalau orang bersanding pengertian sebenarnya adalah saling mendekati satu sama lain, baik dari aspek pikiran, perasaan, atau harapan. Dengan cara itu, mempertemukan apa yang ada di dalam pikiran dan perasaan seseorang menjadi lebih mudah. Dengan saling mendekati orang mau saling mendengarkan, saling memberi, saling menerima, dan saling menggenapi satu sama lain. Dalam konteks ini setiap orang berusaha untuk mendampingi orang lain sehingga berada dalam posisi memberikan dorongan atau penguatan sehingga satu sama lain mampu menyatakatan diri secara penuh, tanpa takut dievaluasi, disalahkan, atau direndahkan.
saling menyepahami. Ungkapan yang sesuai dengan hal ini adalah “bersanding menggenapi, bertanding melukai”.
Dalam perspektif komunikasi, berbudi lebih dipandang sebagai tindakan kerjasama yang melibatkan kedua belah pihak yang dilandasi oleh hati dan akal atau oleh logika (kebenaran isi pesan) dan perasaan (hubungan baik). Dalam konteks ini, komunikasi harus dilakukan dengan memenuhi dua prinsip dasar yakni prinsip penyesuaian rasa atau (bertimbang rasa) dan prinsip penyesuaian isi. Prinsip penyesuaian rasa terkait dengan bagaimana cara kita berhubungan dengan orang-orang disekitar kita. Orang yang berbeda akan diperlakukan sesuai karakteristiknya sehingga kehormatan dan harga dirinya tetap terjaga. Dalam kaitan ini dikenal konsep kata mendaki, kata mendatar dan kata menurun. Sedangkan dalam prinsip penyesuai isi, setiap pembicaraan dipandang menuntut cara berpikir dan mengode kata secara berbeda, yang menghendaki penggunaan akal dan pertimbangan. Dalam konteks ini dikenal konsep “bercakap dengan adab, berbual dengan akal, berkata bertimbang rasa, dan berbicara berkira-kira”. Integrasi kedua aspek itu memungkinkan manusia bertindak terbuka (lugas) dan sensitif sekaligus sehingga pengungkapan pikiran atau gagasan dalam komunikasi dapat dilakukan dengan baik tanpa harus merusak hubungan yang ada.
Dengan demikian, komunikasi yang berbudi berarti tindakan komunikasi yang memadukan kebenaran isi pesan dengan pertimbangan rasa agar pesan dapat berterima di antara kedua belah pihak dan hubungan tetap tejaga. Komunikasi yang seperti ini dalam perspektif budi Melayu harus didasarkan pada pikiran yang jernih dan hati yang bersih.
Konsep budi dalam masyarakat Melayu secara tegas mengatakan penting-nya hubungan (relationship) antarmanusia dalam membangun kehidupan bersama. Hubungan antarmanusia merupakan faktor pengikat dan pembentuk harmoni masyarakat. Semua aktivitas kehidupan bersama manusia pasti melibatkan komunikasi mulai dari perawatan anak, persahabatan, kehidupan keluarga, bermasyarakat, bersekolah, bekerja, berorganisasi, hingga berpolitik.
Nilainilai ilosois masyarakat Melayu mendorong bahwa hubungan tersebut
harus dilakukan dengan cara berbudi menggunakan akal dan perasaan secara tepat. Melalui konsep Budi, Orang Melayu menempatkan hubungan antarmanusia dalam tempat yang istimewa yang harus dipelihara sehingga dapat menghasilkan kerukunan (harmoni) dan kebaikan bersama. Hubungan yang dibangun atas dasar budi akan mampu bertahan dan berkembang karena semua didasarkan pada perilaku kebaikan yang saling memberikan manfaat.
Konsep Budi yang memuliakan diri sendiri dan orang lain serta me men -ting kan pemeliharaan hubungan di antara orang yang terlibat dalam komunikasi, secara lebih jauh dapat dilihat pada salah satu definisi budi yakni berbuat baik. Perbuatan baik inilah yang mendasari cara pikir Orang Melayu dalam membangun hubungan dengan sesama manusia. Manurut Orang Melayu ketika seseorang berkenalan maka tindakan itu harus ditujukan untuk membangun kebaikan dalam bentuk persahabatan berjangka panjang. Keyakinan ini misalnya didukung oleh peribahasa yang berbunyi “Diulas supaya lebar, disambung supaya panjang” yang berarti berkenalan hendaknya bertambah sahabat. Sebuah hubungan yang dibangun melalui komunikasi harus diniatkan untuk kebaikan dan saling memberikan manfaat.
Kehidupan bersama manusia bagi masyarakat Melayu merupakan kenis-caya an yang tak terhindarkan. Untuk dapat hidup bersama secara harmonis maka orang harus mengembangan cara pikir (mindset) membangun hubungan baik dengan sesama manusia daripada membangun hubungan yang buruk dan
penuh konlik dengan orangorang disekitarnya. Setiap manusia terlepas dari
berpatut-patut sesama makhluk” dan pernyataan “adat hidup tolong menolong, adat bercakap berelok-elok”.
Berbagai pernyataan tersebut menegaskan bahwa manusia itu dihormati karena ia adalah manusia. Sebagai manusia seseorang memiliki hak hidup yang tak dapat diganggu gugat, sedangkan embel-embel lainnya hanyalah penyerta atau identitas belaka yang harus dipahami dan bukan disalahpahami. Cara berpikir seperti ini mirip dengan peribahasa Latin homo homini socius yang berarti manusia merupakan sahabat bagi sesamanya. Prinsip manusia bersahabat ini di Indonesia dikembangkan oleh filsuf Driyarkara53 yang secara konsisten menggaungkan pandangan bahwa manusia sudah dari ‘sananya’ merupakan makhluk yang cenderung hidup bersama dengan jiwa yang bersahabat.
Keyakinan bahwa Orang Melayu merupakan manusia yang memiliki jiwa bersahabat, senang bekerja sama, menghargai orang lain, dan mengedepankan kerukunan hidup (harmoni) juga didukung oleh sistem nilai-nilai komunikatif dalam hubungan antarmanusia di lingkungan masyarakat Melayu. Menurut Wan Husin54 secara tradisional nilai-nilai tersebut muncul dalam bentuk nilai kompromi (compromise), penghargaan (respect), kerjasama (cooperation), toleransi (tolerance), kerendahan hati (modesty), permaafaan (forgiveness), dan kesabaran (patience).
Ketujuh nilai yang dikemukakan Wan Husin tersebut sebenarnya bukan seluruh nilai sosial Orang Melayu dalam memandang hubungan dan komuni-kasi antarmanusia. Apabila ditelusuri lebih jauh—dengan menggunakan analisis paremiologis— nilai-nilai yang menjadi patokan dalam komunikasi antarmanusia di lingkungan Melayu sesungguhnya lebih luas, yakni meliputi juga nilai keseimbangan (balance), kebenaran (truthfulness), penyesuain diri (adaptability), kepahaman (understanding), kredibilitas (credibility), dan nilai timbal balik (reciprocity).
menurut Gouldner57 dapat dipastikan nilai-nilai ini menjadi nilai sosial utama diberbagai bangsa atau etnik. Dalam lingkungan masyarakat Melayu sendiri nilai ini berakar sangat kuat dan mendalam, hal ini terbukti dengan banyaknya ungkapan dan peribahasa yang menekankan pentingnya saling menolong, saling membantu, dan saling membalas budi. Ungkapan ‘saling’ tersebut dalam masyarakat Melayu diekspresikan lewat berbagai peribahasa seperti dalam pernyataan “adat hidup balas membalas” atau “kalau berlebih beri-memberi, kalau kurang isi-mengisi,
kalau sempit sama berhimpit, kalau lapang sama melenggang”.
Dalam nilai dasar budi terdapat prinsip saling membalas budi yang mencerminkan tindakan resiprositas dan keseimbangan dalam komunikasi di antara masyarakat Melayu. Orang Melayu selalu berpikir bahwa apapun yang dilakukan dalam menjalni hidup harus didasarkan prinsip resiprositas. Dalam konteks ini, konsep budi yang memadukan perasaan (feeling) dan otak (reasoning) juga termasuk dari representasi pentingnya nilai resiprositas dalam masyarakat Melayu.
Konsep budi yang terkait dengan pikiran dan perasaan secara konsisten direpresentasikan dalam khazanah peribahasa Melayu melalui pengaitan kata budi dengan kata akal dan kata budi dengan kata basa serta kata budi dengan bicara. Kata akal dan basa pada prinsipnya merupakan dua konsep yang melekat pada nilai dasar budi. Kedua kata ini meneguhkan dua dimensi penting budi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yakni ‘pikiran’ dan ‘perasaan’. Kata basa lebih terkait dengan dimensi perasaan yang terwujud dalam bentuk etiket (sopan santun) atau manner (tatacara bertingkah laku) yang membuat orang merasakan kenyamanan, kesenangan, kehangatan, ketulusan, dan keindahan berkomunikasi. Sedangkan kata akal digunakan sebagai cara bertindak yang rasional, objektif dan deskriptif dalam menjalin komunikasi antarsesama manusia.
Kata akal dalam bahasa sehari-hari Orang Melayu sering disebut dengan kata pikiran, ilmu atau istilah lainnya yang merepresentasikan akal. Dari beragam istilah yang ada, kata pikiran lebih dominan digunakan untuk mendorong Orang Melayu menggunakan akal. Bahkan untuk menegaskan pentingnya kesatuan akal dan hati digunakan ungkapan “pikir itu pelita hati”. Nafsu, hasrat, rasa, bahkan jiwa manusia terletak di hatinya. Segala bentuk hasrat keserakahan, keangkuhan, kemarahan, tindakan tidak sewenang-wenang hingga hasrat-hasrat yang baik seperti kedermawanan atau keramahan, bersemayam dalam hati manusia. Apabila hasrat ini tidak terkendali, akibat yang dihasilkan adalah rusaknya kehidupan bersama manusia. Itu sebabnya masyarakat Melayu mengajarkan penting menggunakan pikiran untuk mengendalikan hati.
Hati juga dalam banyak ungkapan dan peribahasa diartikan sebagai
perasaan bahkan sebagian besar ungkapan dan peribahasa Melayu mendeinisi
kan hati dalam pengertian ini. Beberapa contoh penggunaan kata hati untuk mengartikan perasaan misalnya: “hati bagai pelepah, jantung bagi jantung pisang, telinga bagai telinga rawah” yang mencerminkan orang yang tidak memiliki perasaan dan tidak merasakan apa-apa mendengar perkataan orang yang menyindir atau menghina dirinya.
Meskipun salah satu pengertian budi bagi masyarakat Melayu adalah ‘pikiran’ yang cerminannya muncul dalam bentuk penguasaan pengetahuan atau ilmu, keluasan pengetahuan atau ilmu sesorang bagi masyarakat Melayu bisa jadi tidak merepresentasikan budi secara keseluruhan. Itu sebabnya Orang Melayu menyatakan penyesalan terhadap orang berilmu tapi tidak berbudi sebagaimana ternyatakan dalam peribahasa “meski ilmu setinggi tegak tidak berbudi apa gunanya”. Di sini kata budi diartikan lebih dari sekadar ilmu atau pikiran, tapi sudah diartikan sebagai akhlak dan kebaikan hati dalam menjalani hidup. Kata budi dalam peribahasa ini juga tampak dinilai lebih tinggi dari ilmu atau kemampuan orang mengolah pikir.
pentingnya dimensi perasaan dalam membangun hubungan antarmanusia. Terjaganya perasaanlah yang membuat hubungan antarmanusia terjalin dan terpelihara. Seringkali peribahasa, gurindam, atau ungkapan-ungkapan bijak menyatakan bahwa budi seseorang akan tercermin dalam bahasanya. Ungkapan yang secara tegas menyatakan hal ini di antaranya “budi baik basa sesuai”. Bahasa yang sesuai disini ditujukan untuk komunikasi yang baik. Pernyataan ini mencerminkan bahwa tujuan komunikasi adalah untuk menciptakan harmoni dalam hubungan antarmanusia.
Harmoni dalam hubungan antarmanusia tidaklah tercipta begitu saja tetapi harus diniati dan diupayakan lewat pembentukan perilaku berbahasa (komunikasi) yang baik. Konsep budi basa disini tampak menjadi satu kesatuan yang menegaskan bahwa komunikasi yang tepat dan bermanfaat hanya dapat dilandasi oleh budi yang baik. Konsep ini juga menegaskan bahwa budi merupakan titik mula bagi sebuah perilaku komunikasi yang baik. Menurut Orang Melayu pada budi yang baik tersimpan bahasa yang baik. Jadi sebelum orang mengolah kata maka ia harus mengolah budi terlebih dahulu.
Jadi ungkapan budi dan basa sebenarnya merupakan satu kesatuan nilai. Budi sebagai dimensi internalnya dan basa sebagai dimensi eksternal nya. Budi sebagai dimensi etisnya dan basa sebagai aspek etiketnya. Pengertiannya dapat menjadi basa yang baik mencerminkan budi yang baik, atau budi yang baik adalah pangkal dari perilaku komunikasi tepat dan penuh sopan santun. Di sini juga terkandung pengertian bahwa basa yang sesuai harus diniati untuk tujuan yang baik. Berbasa yang sesuai harus dilakukan dengan kerelaan (keikhlasan) semata demi kebaikan. Bila ini yang dilakukan maka saling pemahaman, saling penyesuaian, atau saling berempati menjadi sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan.
komunikasi dapat tetap tersampaikan secara lugas tanpa perlu menimbulkan ketersinggungan atau kemarahan.
Bahasa dalam sistem keyakinan Orang Melayu memang banyak dikaitkan dengan emosi. Ungkapan seperti “orang berbudi kita berbahasa, orang memberi kita merasa” menjelaskan betapa eratnya kaitan antara bahasa dengan perasaan. Bahasa dalam sistem keyakinan Orang Melayu diyakini memiliki kekuatan untuk mengubah suasana hati, meredam emosi dan mengendalikan kemarahan seperti terungkap dalam pernyataaan “hanya air dingin jua yang dapat memadamkan api”. Kata ‘air dingin’ dalam pernyataan merupakan metafora untuk kata-kata yang lembut dan dapat menyejukkan hati.
Masyarakat Melayu sangat percaya dengan kekuatan komunikasi untuk
menyelesaikan masalah dan konlik. Segala persoalan hendaknya diselesaikan
melalui komunikasi terlebih dahulu sebisa mungkin. salah satu pernyataan yang terkait dengan hal ini adalah peribahasa “setelah beralur baru beralu” yang berarti menyelesaikan masalah lewat komunikasi adalah pilihan
utama, dan cara kekerasan isik adalah pilihan terakhir ketika semua tindakan
komunikatif telah ditempuh. Peribahasa lain yang terkait penggunaan konsep budi untuk penyelesaian masalah di antaranya “bose diombat dengan adat, kocik dilocut dengan budi” (besar diembat dengan adat, kecil dilecut dengan budi) yang menegaskan bahwa segala persoalan serius dan melibatkan banyak orang perlu diselesaikan menggunakan norma-norma (adat) yang berlaku, tetapi jika permasalahan tersebut kecil dan atau bersifat pribadi cukup diselesaikan dengan budi baik.
Sebagai masyarakat yang menekankan hidup berbudi, Orang Melayu hanya berupaya mencari teman dan sahabat dalam hidup dan dilarang mencari musuh. Prinsip ini tampaknya benar-benar berlaku di lingkungan Melayu sehingga peribahasa yang ada juga sangat sedikit menggunakan kata “musuh”, berbeda dengan kata budi, adat, akal, elok atau bahkan kata mulut dan mata yang dinyatakan dalam banyak peribahasa. Pernyataan tentang musuh ini pun lebih kepada mengingatkan agar berhati-hati atau mempersiapkan diri menghadapi musuh yang datang.
darah, utang nyawa dibayar nyawa’’ atau “daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang” atau “daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah” yang mencerminkan sikap terhormat dalam menjawab penghinaan atau menghadapi musuh. Namun demikian sikap dasar Orang
Melayu terhadap pertikaian isik adalah “kalah jadi abu menang jadi arang”
yang mencerminkan perbuatan yang sia-sia.
Penyandingan kata budi dan basa juga dapat memiliki pengertian yang lain seperti dalam peribahasa “elok basa kan bekal hidup, elok budi kan bekal mati” yang memperlihatkan bagaimana basa dan budi memiliki keterkaitan yang erat antara hidup dan mati. Masyarakat Melayu meyakini bahwa hidup manusia tidak hanya di dunia saja ttapi juga ada kehidupan setelah mati (akhirat), oleh karenanya bekal untuk kehidupan selanjutnya menjadi penting dan perlu dipersiapkan. Bekal kehidupan akhirat adalah perbuatan baik atau perbuatan yang bermanfaat bagi sesama manusia. Orang yang bermanfaat bagi sesama manusia disebut sebagai orang berbudi. Sementara orang yang dapat menjaga hubungan baik sesama manusia disebut sebagai orang berbudi bahasa.
Dalam perspektif komunikasi, dapat dikatakan bahwa budi basa merupa-kan satu kesatuan nilai yang menegasmerupa-kan bahwa komunikasi yang baik harus didasarkan pada niat dan keadaan diri yang baik. Basa yang sesuai mudah dilakukan ketika orang memiliki keadaan diri yang baik. Atau orang berbudi baik akan mampu berbahasa/berkomunikasi sesuai dengan tuntutan situasi. Budi basa menjadi inti dari seluruh tindakan komunikasi. Budi basa memberikan pengertian bahwa persoalan komunikasi bukan hanya masalah kebenaran (truth) seperti dikatakan Wojtyla (Drozdz, 2009)58 dan Korzybski59 melainkan juga melibatkan aspek hati yang di dalamnya berpadu aspek perasaan dan spiritulitas. Kedua aspek ini sangat terkait dengan kehormatan dan kenyamanan orang-orang yang terlibat dalam komunikasi.
Tugas pelaku komunikasi juga menafsirkan pesan sesuai dengan fakta dan maksud yang dimiliki penyampai pesan. Dalam hal penafsiran pesan secara benar ini, Orang Melayu tampaknya memiliki pandangan yang sama seperti terungkap dalam peribahasa “kena-kena seperti santan bergula, tak kena-kena bagai antan pukul kepala” yang berarti menafsirkan pesan secara benar sesuai dengan fakta apa adanya tidaklah akan mendatangkan masalah.
Pandangan Wojtyla yang mengedepankan bahkan menempatkan peng-ungkapan kejujuran dan kebenaran sebagai ukuran keberhasilan ko mu ni kasi
mendapat dukungan dari berbagai ilsuf di antaranya Klaus Steig leder, Konrad
Adenaeur, Virginia Woolf, dan Immanuel Kant60 yang juga menem patkan kebenaran (truthfulness) sebagai aturan dasar berkomunikasi. Bahkan, menurut Dietmar Mieth, apapun situasinya kebenaran harus disam paikan, karena hanya dengan cara begitu maka komunikasi menjadi bernilai, dapat membangun saling pemahaman, saling percaya, dan dapat dipertang gungjawabkan.
Secara lebih gamblang Woolf menyatakan61 persoalan komunikasi adalah persoalan kebenaran. Kewajiban bagi setiap oranglah untuk mengungkapkan pikiran-pikirannya yang tersembunyi yang membahayakan, tanpa kepuraan-puraan dan tanpa menutup-nutupi. Apabila kita menyayangi teman-teman kita maka biarkana mereka tahu apa yang ada dalam pikiran kita. Menurut Clifford G. Christians62 sikap tegas dalam mengomunikasikan kebenaran sangat
dipengaruhi oleh rasionalisme etis yang menjadi dasar ilsafat moral Barat.
Jadi cara pandang yang menekankan kebenaran, sebenarnya hanya refleksi dari pandangan dunia orang Barat yang menekankan rasionalitas,
keterukuran, keterbukaan, keeisiensienan, dan kefektivan. Dari cara pandang
seperti itu kemudian muncul berbagai panduan dan konsep komunikasi cara Barat, seperti assertiveness, self-disclosure, general semantics, keeisienan dan
keefektivan pesan, hingga konsep maksim kerjasama dari Paul Grice.
Konsep komunikasi Grice atau lebih dikenal dengan maksim kerjasama Grice (Gricean Cooperative Maxim) merepresentasikan cara Barat dalam memandang komunikasi yang menekankan aspek kuantitas (maxim of quantity), kualitas(maxim of Quality), relevansi (maxim of relation), dan aspek cara (maxim of manner). Keempat maksim tersebut, menurut ilsuf Kent Bach,
merupakan sistem keyakinan orang Barat tentang komunikasi yang menekankan
pentingnya eisiensi, efektivitas, ketertiban, dan kebenaran pesanpesan yang
Aspek kebenaran dan akurasi dalam komunikasi juga disampaikan oleh Alfred Korzybski yang secara sangat sistematik dan argumentatif me-nyam paikan bahwa komunikasi yang baik adalah yang seakurat mungkin mereprensentasikan pesan yang hendak dinyatakan dengan sekecil mungkin ambiguitas atau kemungkinan salah persepsi. Di sini Korzybski menegaskan bahwa komunikasi yang baik adalah yang dilandasi oleh kemampuan sesorang menyatakan sesuatu secara benar. akurat dan faktual64.
Sejalan dengan pandangan para ilsuf dan ahli ilsafat tersebut, nilai
nilai kemelayuan juga menempatkan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran berkomunikasi pada posisi yang sangat penting. Beberapa peribahasa bahkan menujukkan secara absolut bahwa berkomunikasi merupakan tindakan yang didasari laku kejujuran dan kebenaran. Kedua nilai itu mutlak adanya untuk membangun masyarakat yang saling percaya. Beberapa peribahasa yang menegaskan tentang hal ini di antaranya: “bercakap lurus berkata benar, putih diluar putih di dalam, pepat diluar pepat di dalam” atau peribahasa “bercakap menuju benar” yang kedua-duanya secara gamblang menujukkan arti penting kebenaran dan kejujuran dalam komunikasi antarmanusia.
Namun demikian, dalam pandangan Orang Melayu kebenaran atau kejujuran yang harus disampaikan bukanlah kebenaran yang bersifat ‘telanjang’. Orang Melayu melakukan pemilahan dan pemilihan terhadap pesan-pesan yang dapat disampaikan secara tersurat atau tersirat. Bagi Orang Melayu banyak cara untuk menyampaikan kebenaran tersebut dan tidak semata melalui pernyataan verbal langsung. Karena alasan itu, menurut Orang Melayu kebenaran haruslah dikemas sesuai isi pesan dan situasi yang dihadapi sehingga pesan dapat diterima secara baik. Inilah cara berbudi menyampaikan kebenaran. Orang tidak hanya mempertimbangkan penerimaan pesan secara
received (diterima secara fisik) tapi juga secara accepted (diterima secara hati). Dalam tunjuk ajar Melayu, pendekatan ini dinyatakan dengan pantun “apa tanda Melayu terbilang, Jujur di muka lurus dibilang; Apa tanda Melayu bertuah, batinnya jujur dan lembut lidah”.
berhadapan dengan situasi sulit yang menyebabkan pesan komunikasi akan menimbulkan efek yang buruk atau fatal bagi kelangsungan hubungan dan kehidupan bersama. Pada ungkapan batin yang “jujur dan lembut lidah” juga terkandung ajaran bahwa kejujuran betatapun adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Batin kita tidak bisa berbohong, tetapi kebenaran dalam batin tidak harus diungkapkan dengan lidah yang tajam. Kebenaran harus berterima, dan lidah yang lembut akan memudahkan keberterimaan pesan tersebut.
Menurut Neuliep65, orang-orang barat yang rasional dan bergaya komunikasi low context cultur (menafsirkan pesan cukup dari pesan itu sendiri) pada umumnya mampu memisahkan antara isu yang dipercakapkan dengan orang yang diajak berkomunikasi. Sehingga ketika isu atau pendapat mereka diserang, mereka dapat tetap nyaman dan melanjutkan diskusi tanpa bersikap emosional. Sementara orang-orang Asia yang berkomunikasi dengan gaya high context culture (menafsirkan pesan harus melihat konteksnya) yang bergaya tidak langsung atau tidak terlalu langsung, umumnya kesulitan memisahkan dirinya dengan isu yang dibicarakan. Sehingga ketika pendapat mereka dikritik, diserang atau dibantah, mereka merasa dirinyalah yang diserang dan pada ujungnya hubungan emosional antar pelaku menjadi tergangu.
Bagi Orang Melayu hubungan antarmanusia memiliki posisi yang sangat penting. Begitu pentingnya sehingga pengungkapan kebenaran pun harus dilakukan dengan lidah yang lembut. Bagi Orang Melayu apabila pengungkapan kebenaran akan menimbulkan masalah serius atau merusak hubungan, pilihannya adalah lebih baik menunda pengungkapan kebenaran tersebut hingga waktunya tepat atau mengungkapkanya dengan berbagai cara lain yang telah menjadi bagian praktik komunikasi Orang Melayu sehari-hari seperti sindiran atau merajuk.
Dengan kata lain komunikasi yang berhasil dalam pandangan Orang Melayu adalah komunikasi yang mampu mengonstruksi pemahaman yang benar dan dapat diterima di antara pihak-pihak yang terlibat. Gagasan komunikasi yang demikian didukung pula oleh sistem keyakinan komunikasi Orang Melayu yang berbasiskan nilai-nilai bertimbang rasa, kewajaran, nilai timbal balik, penghargaan, kerjasama, kerendahan hati, permaafaan, penyesuaian diri, dan keseepahaman. Seluruh nilai –nilai ini secara berurutan akan dikupas pada bab berikutnya.
Catatan Kaki
1 Lihat uraian Abdul hadi WM tentang pendapat Takdir Alisyhbana tentang manusia dan budi : “Pada satu sisi ia adalah makhluk alam dan pada sisi lain ia adalah makhluk budi. Sebagai makhluk alam manusia itu tunduk kepada hukum alam yang menguasai kehidupan lahir dan jasmaninya. Sedangkan sebagai makhluk budi ia dikuasai oleh hukum budi (Geist dalam bahasa Jerman, mind dalam bahasa Inggeris, buddhi dalam bahasa Sanskerta, al-`aql dalam bahasa Arab; penulis Melayu abad ke-16 seperti Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari menggunakan kata ’akal-budi’ atau ’budi’ saja untuk pertama kali dalam bahasa Melayu)”. Diakses melalui ; https://fajartimur.wordpress.com/2008/02/26/ sutan-takdir-alisyahbana-dan-pemikiran-kebudayaannya/, pada tanggal 1 Februari 2015. 2 Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan dalam Perpektif Ilmu Budaya Dasar .
Jakarta; Rineka Cipta, 2007. Hal 24
3 Ini adalah pengertian awal kata budi berdasarkan akar kata bahasa Sansekerta. Untuk lebih jelas lihat artikel The common sanskrit spiritual words melalui http://www.advaita. org.uk/sanskrit/terms_b.htm. Pengertian budi dalam budaya melayu sendiri telah berkembang dan menjadi khas Melayu.
4 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 2003. Jakarta PN Balai Pustaka. Hal 18 dan 170
5 Ibid KBBI hal 170
6 Lihat Kim Hui, Lim. Budi as the Malay Mind: A Philosophical Study of Malay Ways of Reasoning and Emotion in Peribahasa Melalui :http://www.sabrizain.org/malaya/library/ budi.pdf, diakses tanggal 27mei 2012
Lihat Kim Hui, Lim. Budi as the Malay Mind: A Philosophical Study of Malay Ways of Reasoning and Emotion in Peribahasa Melalui :http://www.sabrizain.org/malaya/library/ budi.pdf, diakses tanggal 27mei 2012
7 Zainal Kling dalam Nilai-nilai Melayu (2010) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian doktoralnya yang dilakukan sepanjang tahun 1971-1972 menemukan bahwa konsep Budi merupakan nilai terpenting masyarakat melayu. Seluruh nilai-nilai melayu meneurut kling akan bermuara pada gugus konsep budi
8 Wan Hussin Wan Norhasniah. Budi-Islam: It’s Role in the Construction of Malay Identity in Malaysia. Journal of Humanities and Social Sciences. Vol 1 no 12 , September 2011. 9 Lihat entri budaya dalam ensiklopedi Indonesia. Terjadi perdebatan tentang kesahihan
kata ‘budaya’ berasal dari bahasa sansekerta ‘budhaya’ oleh karena bahasa sansekerta sendiri menggunakan kata ‘sanskriti’ untuk kata yang berarti culture dalam bahasa Inggris. 10 Menurt Bahaman, 2003 dalam artikelnya berjudul Peranan Kebudayaan Melayu dalam
11 Menurut catatan pengembara Cina Fa Hien yang dikutip J Pryluski dalam artikelnya ‘Indian Colonisation in Sumatra before Seventh Century’, Agama Budha sudah ada di sumatera sejak tahun 414 masehi dan menyebar lebih luas pada dekade pertama abad ke-6 masehi. Persebaran di wilayah Sumatera ini diduga terjadi bersamaan dengan persebaran agama Budha ke Wilayah Asia Timur khususnya Cina.
12 Di Pulau Luzon Filipina pada tahun 1989 ditemukan Prasasti yang disebut Keping Tembagaa Laguna yang bertahun 900 masehi yang menggunakan bahasa melayu Kuno peninggalaan kerajaan sriwijaya. Lihat Andaya, Leonard Y. 2004. The Search for the “Origins’ of Melayu. Dalam Contested Malayness : Malays identity Across Boundaries. Singapore: National University of Singapore.
13 Andaya, Leonard Y. 2004. The Search for the “Origins’ of Melayu. Dalam Contested Malayness: Malays identity Across Boundaries. Singapore: National University of Singapore. Lihat Halaman 64dan 65 yang menjelaskan berbagai catatan pedagang dan pengembara Arab dan Persia tentang kehidupan di Sriwijaya. Dan lihat juga situs http:// id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya
14 Dinasti Sriwijaya didirikan oleh pangeran yang cerdas dan pemberani dari dinasti Sailodbhava atau sailendra India. Lebih lanjut lihat O.C. Gangoly, Relation between Indian and Indonesian Culture, hal 109
15 Contoh salah satu versi Bahasa Melayu kuno yang ditertulis dalam prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh abad ke 7 sebagai t berikut; “Swastie syrie warsaatieta 605 ekadasyii syuklapakasa wulan waisyaakha dapunta hyang naayik di saamwan mangalap siddayatra di saptami syuklapaksa wulan jyestha dapunta hyang marlapas dari minanga taamwam” yang artinya ; Selamat pada tahun syaka 605 hari kesebelas pada masa terang bulan waisyaakha, tuan kita yang mulia nik di perahu menjemput siddayaatra. Pada hari ketujuh, pada masa terang bulan jyestha, tuan kita yang mulia berlepas dari minanga taamwan…). Kata yang ditulis miring merupakan kata yang umumnya dikenal sebagai bagian dari bahasa jawa.
Dikutip dari Ariin & Asa. Cermat Berbahasa Indonesia, Penerbit Akademika Pressindo,
Jakarta, 2009.
16 Andaya, Leonard Y. 2001. Aceh’s Contribution to Standards of Malayness. Dalam Archipel 61. Paris.
17 Lihat pendapat Tom Pires tentang asal usul pendiri kesultanan Melaka dalam Andaya, Leonard Y. 2004. The Search for the “Origins’ of Melayu. Dalam Contested Malayness : Malays identity Across Boundaries. Singapore: National University of Singapore. Lihat hal 66.
18 Gabriel Ferrand dalam Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya, Yogyakarta: LKIS.
19 Andaya, Leonard Y. 2004. The Search for the “Origins’ of Melayu. Dalam Contested Malayness : Malays identity Across Boundaries. Singapore: National University of Singapore. Lihat Halaman 64dan 65 yang menjelaskan berbagai catatan pedagang dan pengembara Arab dan Persia tentang kehidupan di Sriwijaya..
20 Ibid hal catatan kaki 11
21 C.A. Gangoly. Relations Between Indian and Indonesian Culture dalam. hal 109. lihat juga Kalidas Nag,1960.Greater India, Bombay: The Book Centre Private Limited. hal 19-21. 22 Lihat James T. Collins, 2005. Bahasa melayu Bahasa Dunia yang diterbitkan Yayasan
Obor Jakarta. Dalam buku ini secara panjang lebar Collins memaparkan perkembangan pemikiran dan tradisis intelektual di wilayah Melaka dan wilayah Melayu lainnya. Lihat juga tentang tumbuhnya tradisi intelektual dan penulisan di lingkungan Melayu melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu
penyesuaian berdasarkan teras di atas, dan terakhir (8) berikir secara rasional. Budaya berikir rasional ini merupakan kontribusi terbesar Islam dalam membangun nilainilai
Kemelayuan.
24 Asmah Hj Omar, Bahasa melayu abad ke 16; satu analisis teks berdasarkan Teks melayu. Kuala lumpur ; Dewan bahas dan pustaka Malaysia, 1991.
25 Lihat artikel berjudul Menyoal (kembali) ‘dwitunggal’ melayu-islam. Melaui ttp:// adeirawan74.wordpress. com/ 2010/02/02/kerajaan-kerajaan-islam-di-indonesia/ 26 Wan Hussin Wan Norhasniah. Budi-Islam: It’s Role in the Construction of Malay
Identity in Malaysia. Journal of Humanities and Social Sciences. Vol 1 no 12 , September 2011. 27 Lihat Peranan kebudaya Melayu dalam sejarah, Bazrul bin Bahaman, dalam Alam Melayu;
Sejumlah Gagasan Menjemput Keagungan, Unripress, 2003. Dalam tulian ini dijelaskan bahwa sebelum kedatangan Islam budaya Melayu berasaskan pada siste kepercayaan tempatan dan Hindu.
28 Lihat Al Qur’an Surat Ar-Rahmaan ayat 60 29 Lihat Al Qur”an Surat Al Hujurat ayat 6 30 Lihat Al Qur’an Surat As-Saf ayat 2-3
31 Banyak literature yang membahas tentang melayu dan Islam memandang keduanya sebagai satu kesatuan. Raditya di antaranya menyebut ini dengan istilah ‘dwitunggal’ lihat melalui; .http://melayuonline.com/ ind/article/read/976/menyoal-kembali-dwitunggal-islam-dan-melayu Demikian halnya dengan Pahrol Muhammad Juoi yang menulis buku Dilema Melayu-Islam yang merekonstruksi kembali kosep kemelayuan dan keislamaan.. 32
33 Lihat peribahasa Melayu Riau dalam Iman Budhi Santosa, kumpulan Peribahasa Indonesia hal 216.
34 Rokeach dalam Antar Venus, Manajemen Kamppanye, 2004.mengartikan nilai sebagai sistem keyakinan yang bersifat abadi. Nilai tersebut mencakup nilai terminal dan instrumental.
35 Lihat Kamus Basa Sunda dari Lembaga Basa Jeung sastra Sunda, Penerbit Terate Bandung 1980.
36 Imam Budhi Santosa. 2009. Kumpulan Peribahsa Indonesia. Yogyakarta: Indonesia Tera. Hal 278
37 Penelusuran melalui artikel ini akan menemukan pandangan Alisyahbana tentang budi Lihat http://en.wikibooks.org/wiki/Introduction_to_Indonesian_Philosophy/The_Inner_ Faculty_of_Budi
38 Djayawiguna, Buldan & U. kadarisman.1983. Kumpulan Babasan jeung Paribasa Sunda. 39 Peribahasa Ternate menganl konsep budi sebagai niali penting dalam mengelola perilaku
sosial, lihat dalam Iman Budhi Santosa, kumpulan Peribahasa Indonesia hal 216.
40 Lihat Kim Lim Hui. How Malay Proverbs Encode and Evaluate Emotion? A Paremio-logical Analysis diterbitkan dalam Sari -International Journal of the Malay World and Civilisation 28(1) (2010): 57-81.
41 Zainal Kling dalam Nilai-nilai Melayu (2010) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian doktoralnya yang dilakukan sepanjang tahun 1971-1972 menemukan bahwa konsep Budi merupakan nilai terpenting masyarakat melayu. Seluruh nilai-nilai melayu meneurut kling akan bermuara pada gugus konsep budi.
42 Kim Lim Hui secara panjang lebar menulis tentang konsep budi sebagai nilai dasar komunikasi dalam disertasinya tahun 2002 yang berjudul “Budi as the malay mind: A philosophical study of malay ways of reasoning and emotion in peribahasa
43 Lihat Wan Husin pada catatn kaki no 31 yang mengartikan 'Budi as Set of Internal Values that Shape Mentality and Personality.
44 Lihat Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat yang secara komprehensif menjelasakan tentang Nilai