• Tidak ada hasil yang ditemukan

pengertian piutang dan hutang PIUTANG (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "pengertian piutang dan hutang PIUTANG (1)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

pengertian piutang dan hutang

PIUTANG

Piutang : klaim dalam bentuk uang terhadap perusahaan atau perseroan. ATAU

klaim terhadap pihak lain, agar pihak tersebut membayar sejumlah uang / jasa dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Kelompok Piutang :

a. Piutang Dagang ( Accounts Receivable )

piutang yang berasal dari penjualan barang atau jasa

dikelompokkan sebagai unsur Aktiva Lancar dalam Neraca

b. Wesel Tagih ( Notes Receivable )

Pemberian kredit kepada pelanggan --> didukung oleh suatu dokumen kredit --> yang

resmi Wesel atau Promes (Promissory Note)

Wesel --> janji tertulis untuk melunasi jumlah tertentu dalam jangka waktu tertentu . c. Piutang Lain-lain.

Pinjaman kepada karyawan, perusahaan afiliasi, piutang bunga, piutang pajak, dll

Pengendalian Intern atas Piutang :

 Memisahkan fungsi pegawai atau bagian yang menangani transaksi penjualan (operasi) dari “

Fungsi Akuntansi Untuk Piutang “

 Pegawai yang menangani akuntansi piutang, harus dipisahkan dari fungsi penerimaan hasil

tagihan piutang

 Semua transaksi pemberian kredit, pemberian potongan dan penghapusan piutang, harus

mendapatkan persetujuan dari pejabat yang berwenang.

 Piutang harus dicatat dalam buku-buku tambahan piutang (Accounts Receivable Subsidiary

(2)

 Perusahaan harus membuat daftar piutang berdasarkan umurnya (Aging Schedule).

Penilaian dan Pelaporan

Tujuan Pelaporan : Piutang dinilai sebesar jumlah yang diharapkan dapat diterima.

Piutang-piutang yang diperkirakan tidak dapat ditagih, dicatat sebagai beban atau biaya.

PIUTANG DAGANG :

Piutang Dagang xxx Penyisihan piutang tak tertagih (xxx) Piutang Dagang Neto xxx

Metode Pencatatan :

1. Metode Penyisihan / Metode Penghapusan Tidak Langsung (Allowance Method)

Perusahaan menentukan jumlah piutang tak tertagih berdasarkan taksiran atau estimasi. Metode :

a) --> Berdasarkan Persentase Penjualan .

menghitung beban piutang tak tertagih, berdasarkan % dari penjualan kredit bersih

b) -- > Berdasarkan Analisis Umur Piutang (Aging Schedule)

masing-masing piutang dagang dianalisis dan dikelompokkan menurut lamanya piutang tersebut beredar

Semakin lama suatu piutang dagang masih beredar, maka semakin kecil kemungkinannya akan tertagih.

2. Metode Penghapusan Langsung (Direct Write-Off Method)

--> Pencatatan piutang tak tertagih hanya akan dilakukan apabila piutang dagang dari debitur sudah dapat dipastikan tidak akan tertagih lagi

Mendebet akunt --> Beban Piutang Tak Tertagih Mengkredit akunt --> Piutang Dagang

Metode ini digunakan apabila :

(3)

b. Sebagian besar penjualan dilakukan dengan tunai

c. Jumlah piutang merupakan bagian yang relatif kecil dalam Aktiva Lancar

d. Jumlah pelanggan sedikit, dan berdasarkan pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya, tidak ada

piutang yang tak tertagih.

PIUTANG WESEL

Piutang wesel atau wesel tagih : tagihan atau piutang yang dinyatakan secara tertulis dalam bentuk surat perintah membayar (wesel) atau surat kesanggupan membayar (promes).

Wesel (Draft atau Bill of Exchange) : Surat perintah tidak bersyarat yang dibuat oleh kreditur untuk membayar sejumlah uang tertentu, pada tanggal tertentu di masa yang akan datang kepada pihak pembuat wesel / endosi wesel.

Promes (Negotiable Promisory Notes) : Surat janji untuk membayar kepada kreditur yang disebutkan namanya dalam promes atau endosi promes sejumlah uang tertentu pada tanggal yang telah ditentukan.

Wesel yang memiliki kekuatan hokum yang sah, apabila :

- ditandatangani dan dibubuhkan stempel resmi perusahaan debitur.

Terjadinya piutang wesel :

berasal dari penjualan

berasal dari penggantian piutang dagang menjadi piutang wesel berasal dari pemijaman kas oleh debitu

Jenis wesel tagih :

1. Berdasarkan masa jatuh temponya :  Wesel Tagih Jangka Pendek  Wesel Tagih Jangka Panjang

(4)

 Wesel Tagih tanpa bunga  Wesel Tagih Berbunga

3. Berdasarkan bisa atau tidaknya didiskontokan  Wesel Tagih yang tidak dapat didiskontokan  Wesel Tagih yang dapat didiskontokan

HUTANG LANCAR

Hutang : Jml uang yang dinyatakan ataskewajiban-kewajiban perusahaan untuk menyerahkan barang atau jasa kepada pihak lain di masa yang akan datang.

Hutang : a. Lancar b.Japan c.Bersyarat

I. HUTANG LANCAR (HL)

Kewajiban-kewajiban yang akan diselesaikan pembayarannya dengan menggunakan sumber-sumber ekonomi yang diklarifikasikan sebagai antara lain :

HL --> Hutang yang jumlahnya dapat ditentukan secara pasti jumlah dan tanggal jatuh temponya pasti

Co : Hutang Dagang, Hutang Wesel, Hutang Deviden, Hutang Biaya

-->Hutang yang jumlahnya ditaksir

Jumlahnya secara pasti tidak dapat ditentukan Co : Hutang Garansi, Hutang Hadiah

-->Hutang Bersyarat

Kewajiban-kewajiban yang kepastian akan jumlah dan tanggal jatuh temponya , kepada siapa kewajiban tersebut harus dibayar masih tergantung pada terjadi atau tidak terjadinya satu atau

lebih peristiwa-peristiwa dimasa yang akan datang --> ada unsur ketidak pastian dalam neraca

ditulis dalam bentuk catatan atau footnote.

Hutang yang jumlahnya dapat ditentukan secara pasti

1. Hutang Dagang

Berasal dari transaksi pembelian barabg dagangan, bahan baku dan penolong dll yang diperlukan di dalam kegiatan normal perusahaan biasanya dinyatakan dengan syarat pembayaran co : 2/n, n/30

2. Hutang Wesel

didukung dengan surat pengakuan hutang atau surat pernyatan kesediaan untuk membayar.

(5)

Jml yang dijanjikan secara tertulis akan dibayar kpd pemasok brg dan jasa

By. Garansi dibebankan pd saat dikeluarkan - Metode Dasar Akrual (Accrual Basis)

a. Pendekatan by. Garansi (Accrual Method)

Diperhitungkan sbg ongkos dlm periode thn buku penjualan terjadi. b. Pendekatan penjualan garansi (Defernal Method)

Ada % tertentu dari harga jual yang ditangguhkan pengakuannya sebagai penghasilan sampai dengan saat terjadinya pengeluaran utk garansi atau berakhirnya masa garansi.

HUTANG JAPAN

Meliputi semua hutang atau kewajiban keuangan yang jatuh temponya lebih dari satu periode akutansi terhitung sejak tanggal laporan keuangan (neraca)

(6)

Srt Obligasi --> Kontrak -->Janji membayar sejml uang pd tgll JT yg tlh ditetapkan. -->bunga periodik dengn tgt ttt dari nominal

Diskonto --> Obligasi dijual di bawah nilai nominal tgt bunga efektif lebih > dari (Disagio) bunga nominal.

Premium --> Obligasi dijual di bawah nilai nominal tgt bunga efektif lebih < dari

(Agio) bunga nominal.

Tingkat Bunga Efektif (Tgt Bunga Pasar)

Tgt bunga sesungguhnya yg diperoleh para pemegang obligasi

Tingkat bunga Nominal

Tgt bunga yg tercantum dlm sertifikat Obligasi

AKUTANSI UTK PENGELUARAN OBLIGASI

1. Obligasi dikeluarkan pd tgl pembayaran sebesar nilai nominal

2. Obligasi dikeluarkan pd tgl pembayaran bunga denga premium atau diskonto 3. Penjualan diantara tgl Pembyran bunga.

 Term Bond : Obligasi Biasa

 Serial Bond : Obligasi berseri

 Debeture Bond : Obligasi yang tidak dijamin

 Collateral Bond : Obligasi yang dijamin dengan saham

 Convertible Bond : Obligasi yang dapat ditukar dengan sekuritas

 Caollable Bond : Obligasi yg dilunas sebelum JT.

(7)

PIUTANG, AKTIVA TETAP BERWUJUD, UTANG JANGKA PENDEK,

UTANG JANGKA PANJANG, DAN EKUITAS

Sembari minum kopi di pagi hari, R. Sumodiningrat terlihat sedang serius melihat laporan keuangan PT. Indofood Sukses Makmur,Tbk. pada koran harian nasional yang sedang dipegangnya. Ya, sebagai salah satu pemegang saham perusahaan tersebut, R. Sumodiningrat perlu dan berhak untuk mengetahui kondisi perusahaannya. Kondisi perusahaan, khususnya kondisi keuangan perusahaan tercermin dalam sebuah laporan keuangan. Melalui laporan keuangan, pemilik saham dapat mengetahui dan memantau kondisi keuangan perusahaan paling tidak setiap tahunnya. Kini, R. Sumodiningrat sedang membaca bagian neraca. Di dalam neraca beliau dapat melihat pos-pos penting, beberapa diantaranya adalah Piutang, Aset Tetap Berwujud, Utang, Utang Jangka Panjang, dan pos-pos pada Ekuitas.

I.PIUTANG

Piutang termasuk salah satu pos dalam Aset. Piutang adalah hak yang berhak untuk ditagih oleh pihak satu ke pihak lainnya karena terjadinya suatu transaksi, biasanya karena transaksi penjualan secara kredit. Dalam pengertian akuntansi secara konvensional, terdapat beberapa macam piutang, yaitu piutang dagang, piutang wesel, piutang gaji,dll. Piutang ini dapat termasuk dalam Aset Lancar jika diperkirakan dapat ditagih dalam waktu kurang dari satu tahun. Piutang yang termasuk dalam Aset Lancar adalah piutang dagang, piutang wesel dan piutang lain-lain (yang jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun). Sedangkan untuk piutang yang jatuh tempo pada lebih dari satu tahun digolongkan dalam Aset Tidak Lancar.

Bagi Entitas Syariah, dimana Entitas menggunakan prinsip-prinsip Akuntansi Syariah yang telah diatur dalam PSAK no. 59, 101-106, piutang digolongkan pula berdasarkan asal terjadinya. Diantara jenis-jenis piutang tersebut adalah sebagai berikut:

(8)

perolehan barang. Pembayaran murabahah bisa dilakukan secara tangguh, oleh karena itu muncul lah piutang murabahah.

Piutang murabahah disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan, artinya sebesar piutang yang diperkirakan akan dapat ditagih.

2) Piutang Salam, piutang salam timbul akibat adanya salam, yaitu akad jual beli barang pesanan dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual dan pelunasannya dilakukan oleh pemebeli pada saat akad disepakati (PSAK No.103). Karena pembayaran dilakukan saat akad disepakati, berarti saat itu pembeli melunasi sejumlah uang kepada penjual untuk digunakan sebagai modal usaha. Di sini, yang bertindak sebagai pemegang hak piutang adalah si pembeli. Sedangkan penjual memiliki kewajiban untuk melunasi pesanan si pembeli. Kewajiban yang timbul ini diakui saat penjual telah menerima modal usaha dari pembeli dengan besar yang sesuai dengan jumlah modal usaha yang diberikan.

3)Piutang Istishna’, piutang istishna’ timbul akibat adanya istishna’, yaitu akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu (dengan spesifkasi tertentu) yang disepakati oleh pemesan dengan penjual/pembuat. Pembayaran barang pesanan dapat dilakukan secara tunai maupun tangguh. Pembayaran secara tangguh inilah yang mengakibatkan timbulnya piutang istishna’.

4) Piutang pendapatan Ijarah, untuk lebih mudahnya adalah piutang yang timbul akibat aktivitas sewa. Ijarah adalah perpindahan kepemilikan jasa dengan imbalan yang sudah disepakati menurut para fuqaha. Ijarah mempunyai 3 unsur, yaitu adanya pemilik aset yang disewakan dan si penyewa, objek yang disewakan, dan bentuk penawaran atau persetujuan itu sendiri.

(9)

Piutang tersebut mungkin terjadi di periode yang berbeda dengan periode pelaporan keuangan (mungkin terjadi tahun lalu dan si pembeli berjajni untuk melunasi utangnya tahun ini). Tidak ada kepastian bahwa si pembeli akan melunasi seratus persen utang-utangnya di tahun ini atas utangnya yang terjadi di tahun lalu. Lalu bagaimana perusahaan mengakui piutang yang merupakan haknya?

Untuk itu, perusahaan biasanya membuat estimasi mengenai jumlah piutang yang kira-kira dapat ditagih. Sebenarnya ada dua metode dalam menghadapi masalah ini:

1. Dengan Metode Penghapusan Langsung, dalam metode ini, perusahaan tidak perlu membuat estimasi apapun. Piutang akan dikredit ketika piutang tersebut benar-benar tidak dilunasi. Dan pada sisi debit dicatat sebagai Kerugian Piutang dan akan dilaporkan dalam Laporan Laba Rugi.

Menurut penulis pribadi, metode ini kurang bagus. Apabila piutang tidak berhasil ditagih, maka pada sisi debit aan mencatat Kerugian Piutang yang di-submit pada Laporan Laba Rugi. Sepengetahuan saya, Laporan Laba Rugi digunakan untuk melaporkan aktivitas operasi-non operasi selama satu tahun atau satu periode akuntansi. Padahal, selalu ada kemungkinan bahwa piutang yang dihapus tadi adalah pitang yang bukan berasal dari aktivitas perusahaan pada periode yang bersangkutan, misalnya berasal dari piutang tahun lalu. Oleh karena itu, metode ini tidak memenuhi Matcing Principle. Selain itu, karena tidak ada kepastian berapa jumlah piutang yang mungkin dapat ditagih, pengguna laporan keuangan mungkin akan berekspetasi terlalu tinggi terhadap jumlah piutang yang mungkin dapat ditagih.

(10)

Kerugian Piutang àdicatat dalam Laporan Laba Rugi xxx

Cadangan Kerugian Piutang àdilaporkan dalam Neraca sebagai pengurang rekening Piutang (contra-account)

xx x

Jika ada sejumlah piutang yang tidak dilunasi, maka sejumlah itu akan didebit pada rekening Cadangan Kerugian Piutang dan dikredit pada rekening Piutang. Dengan metode ini, jumlah piutang yang dapat ditagih dapat diperkirakan dan diketahui oleh pengguna laporan keuangan, sehingga dapat lebih membantu mereka dalam mengambil keputusan. Maka dari itu, perusahaan-perusahaan tidak disarankan untuk menggunakan metode penghapusan langsung. Perusahaan menggunakan metode cadangan untuk mengakui jumlah piutang yang tidak berhasil ditagih.

Dalam hukum Islam itu sendiri, masalah yang timbul mungkin adalah berkaitan dengan proses transaksi, apakah sudah sesuai dengan prinsip syariah itu sendiri. Terdapat lima prinsip transaksi syariah:

1.Persaudaraan (ukhuwah)

2.Keadilan (‘adalah)

3.Kemaslahatan (maslahah)

4.Keseimbangan (tawazun)

5.Universalisme (syamuliyah)

Dalam melakukan transaksi, mungkin penjual tidak menyebutkan harga pokok barang, cacat barang, dan tindakan lainnya yang dianggap lazim di masyarakat tetapi sebenarnya tidak sesuai dengan kelima prinsip di atas demi mendapatkan keuntungan yang sebesar mungkin.

(11)

murabahah, misalnya, besarnya piutang yang diakui adalah sebesar nilai realisasi bersihnya yaitu saldo piutang dikurangi dengan cadangan kerugian piutang. Untuk piutang salam, piutang dianggap lunas ketika si penjual telah memenuhi kewajibannya dengan menyerahkan barang pesanan kepada pembeli. Piutang yang tadinya diakui oleh pembeli adalah sebesar modal usaha yang telah ia setorkan kepada penjual.

II. UTANG

Utang adalah suatu kewajiban yang harus dilunasi sesuai kesepakatan dengan pihak kreditur. Utang ini sama halnya seperti piutang, yaitu dapat diklasifkasikan ke dalam Utang Jangka Pendek dan Utang Jangka Panjang.

Utang jangka pendek adalah utang yang diperkirakan akan dilunasi dalam waktu kurang dari satu tahun. Dalam akuntansi konvensional, utang dikelompokkan berdasarkan jenis kepentingannya. Yang termasuk dalam utang jangka pendek diantaranya adalah utang dagang, utang gaji, pendapatan diterima dimuka, utang wesel (yang jatuh temponya kurang dari satu tahun), utang pajak, dan bagian dari utang jangka panjang yang jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun.

Dalam akuntansi syariah, selain utang-utan yang lazim kita jumpai pada entitas non syariah (seperti utang gaji, utang pajak, utang wesel, dll), utang juga diklasifkasikan berdasarkan jenis transaksi yang terjadi, yaitu utang salam dan utang istishna’.

Utang salam adalah utang yang timbul akibat transaksi salam, seperti yang telah dijelaskan pada topik piutang sebelumya), dan utang istishna’ adalah utang yang timbul akibat transaksi istishna’. Untuk memperjelas bentuk neraca entitas syariah, penulis telah menyajikan contoh neraca dari entitas syariah untuk kemudian dapat dibandingkan dengan neraca entitas non syariah pada bagian lampiran.

(12)

bahkan hanya untuk membayari bunga utangnya. Apabila sebuah entitas tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada minimal dua kreditur, entitas dapat dimintakan pernyataan pailitnya ke Pengadilan Niaga. Oleh karena itu, dalam ekonomi konvensional perusahaan harus memperhitungkan proporsi untuk pendanaannya.

Dalam ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) tidak dikenal istilah bunga. Sebab bunga utang sama dengan riba yang haram hukumnya. Istilah bunga muncul sebagai dalih dari time value of money yang dalam Islam kita pun tidak mengenal istilah tersebut. Oleh karena itu, apabila entitas melakukan bisnis (misalnya jual beli dengan ditangguhkan), keuntungan yang diperoleh

adalah murni dari hasil usaha tersebut, yaitu selisih dari harga jual dengan harga perolehan, dan keuntungan itu pun telah disepakati oleh pihak penjual dan pembeli.

Secara lebih sederhana, jika kita meminjam sejumlah dana misalnya Rp1.000.000,00 dari orang lain, tidak dibenarkan bahwa kita berjanji, diminta atau apapun untuk mengembalikan sebesar Rp1.200.000,00 tahun depan. Kita hanya harus mengembalikan sejumlah dana yang sama seperti yang kita pinjam, yaitu satu juta rupiah. Hanya saja, sebaiknya kita memberikan hadiah kepada orang tersebut (apabila dari hasil pinjaman tersebut ternyata mendatangkan keuntungan bagi usaha kita), sebagai tanda terimakasih sebab dia sudah berbaik hati mau merelakan uangnya (yang mungkin bisa dia gunakan untuk keperluan lain) untuk dipinjamkan kepada kita.

Sejauh prinsip ini kita pegang, tidak ada masalah seberapa besar proporsi pendanaan yang kita pakai, yang pasti adalah kita mempunyai cukup dana untuk melunasi utang kita. Entitas tidak perlu memikirkan bahwa ia akan rugi sebabkan oleh bunga hutang yang tinggi. Sebab dalam akuntansi syariah, prinsip yang dipakai adalah bagi hasil.

III. ASET TETAP BERWUJUD

(13)

diperjual-belikan layaknya dalam kegiatan normal perusahaan. Aset ini diharapkan dapat digunakan dan memberikan manfaat dalam waktu yang lama. Hanya saja, manfaat yang diberikan oleh aset ini diperkirakan akan terus turun semakin lama digunakan, untuk itu perusahaan melakukan depresiasi terhadap aktiva tetap (kecuali tanah).

Pengertian aset tetap berujud antara konvensional dengan syariah adalah sama. Bahwa aset tetap dicatat sebesar harga perolehannya. Harga perolehan di sini adalh harga yang dikeluarkan entitas untuk membuat aset tersebut siap dimanfaatkan. Misanya tanah, untuk dapat digunakan, tanah perlu sertifkat. Biaya pembuatan sertifkat tersebut ikut dibebankan ke dalam harga perolehan aset tetap tanah.

Selain terdapat kesamaan dalam hal pengakuan harga perolehan pada aset tetap menurut pengertian syariah juga dilakukan depresiasi terhadap aset tetap tersebut. Penghitungan

depresiasi atau penyusutan dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya adalah metoda garis lurus, metoda saldo menurun, metoda jumlah angka-angka tahun, dan metoda satuan hasil. Manakah dari keempat metoda ini yang paling baik untuk digunakan?

Hal ini tergantung pada jenis aset tetapnya. Misalnya, untuk metoda satuan hasil, metoda ini mungkin bagus diterapkan untuk aset seperti kendaraan angkutan atau mesin. Tetapi metoda ini kurang cocok untuk digunakan dalam depresiasi gedung. Untuk menyusut nilai ekonomis gedung, mungkin lebih cocok menggunakan metoda garis lurus. Dari semua metoda, perusahaan mungkin lebih suka untuk menggunakan metoda garis lurus, sebab metoda ini adalah metoda yang paling mudah untuk diimplementasikan.

(14)

IV. UTANG JANGKA PANJANG

Dalam akuntansi konvensional, pengertian utang jangka panjang sama dengan pengertian utang jangka pendek kecuali pada jatuh temponya. Utang jangka pendek jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun, sedangkan utang jangka panjang jatuh tempo dalam waktu lebih dari satu tahun. Hanya saja, dalam contoh neraca entitas syariah yang ada pada bagian lampiran tidak ada pengklasifkasian antara utang jangka panjang dan utang jangka pendek. Pengklasifkasian utang dalam akuntansi syariah (seperti yang sudah dijabarkan di atas) adalah menurut jenis transaksi yang terjadi seperti utang salam dan utang istishna’.

Salah satu topik yang cukup menarik di sini adalah masalah obligasi. Obligasi biasanya digolongkan dalam kewajiban atau utang jangka panjang, Karen jangka waktunya lebih dari satu tahun. Obligasi menurut ekonomi konvensional adalah surat tanda utang yang diterbitkan oleh suatu entitas dengan tujuan untuk mendapatkan dana segar. Dalam ekonomi konvensional, pemegang obligasi akan mendapatkan imbalan berupa bunga tetap setiap tahunnya, atau yang lebih dikenal dengna nama coupon rate. Coupon rate dalam obligasi tersebut termasuk dalam riba dan bersifat haram.

Dalam pengertian konvensional, obligasi diartikan sebagai surat tanda utang, sehingga sebenarnya tidak dibenarkan untuk sengaja mengambil keuntungan semacam riba dari utang tersebut. Namun dalam pengertian Islam obligasi syariah atau yang dikenal dengan nama sukuk adalah sebuah instrument untuk investasi, sehingga pemegang sukuk berhak mendapatkan keuntungan yang tentu saja sesuai dengan prinsip pembagian keuntungan syariah yaitu dengan cara bagi hasil.

(15)

V. EKUITAS

Menurut SAK 2007, Ekuitas adalah hak residual atas aset perusahaan setelah dikurangi dengan kewajiban. Kata hak residual mungkin agak membingungkan, namun jika dilihat dari persamaan akuntansinya, hal ini akan lebih mudah dimengerti.

Aset = Kewajiban + Ekuitas

Bahwa ekuitas (yang pada dasarnya merupakan hak pemilik modal) diperoleh setelah aset perusahaan (harta perusahaan) dikurangi dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilunasi oleh perusahaan.

Sebagai tanbahan, baik menurut ekonomi konvensional maupun syariah pengertiannya sama. Hanya saja, dalam neraca entitas syariah ada tambahan pos selain aset, kewajiban, dan ekuitas, yaitu pos Dana Syirkah Temporer. Pos kewajiban, dana syirkah temporer, dan ekuitas jumlahnya harus sama dengan yang ada pada aset. Sehingga persamaan akuntansinya mungkin menjadi berbeda dengan persamaan akuntansi konvensional.

Aset = Kewajiban + Dana Syirkah Temporer + Ekuitas

Dana syirkah temporer adalah dana yang diterima oleh entitas syariah diman entitas syariah berhak untuk mengelola dan menginvestasikan dana tersebut sesuai dengan kebijakan entitas itu sendiri atau dengan batasan dari pemilik dana. Berdasarkan pengertian tersebut, dana syirkah temporer ini memang tidak bisa diklasifkasikan ke dalam kewajiban dan ekuitas.

(16)

temporer pun tidak bisa digolongkan ke dalam ekuitas sebab dana syirkah temporer memiliki jatuh tempo, berbeda dengan ekuitas (sebagai simbol kepemilikan entitas) dimana perusahaan diperkirakan akan terus berdiri (going concern). Contoh dari dana syirkah temporer adalah penyertaan dana (modal) dalam mudharabah.

Pertanyaan yang mungkin muncul adalah mengenai pembagian keuntungan. Pembagian keuntungan dan kerugian berdasarkan prinsip bagi hasil. Teknis pelaksanaan penbagian keuntungan dan kerugian tergantung dari jenis kerjasama itu sendiri. Contohnya adalah pada mudharabah

Tuan A (bertindak sebagai pemilik dana)

menyetorkan dana Rp50.000.000,00

Tuan B (bertindak sebagai pengelola) pada awal perjanjian telah desepakati nisbah keuntungan 60% : 40%

dari hasil usaha tersebut menghasilkan laba Rp10.000.000,00

Keuntungan yang berhak dimiliki tuan A

= 60% x Rp10.000.000,00 = Rp6.000.000,00

Keuntungan yang berhak dimiliki tuan B

= 40% x Rp10.000.000,00 = Rp4.000.000,00

Yang perlu diingat adalah pembagian keuntungan dan kerugian tidak berdasarkan nilai rupiahnya, tetapi berdasarkan persentase. Kasus yang lebih rumit adalah jika ternyata tuan B juga menyetorkan dana sebesar Rp100.000.000,00. Ini disebut sebagai Mudharabah Musytarokah.

Tuan A (bertindak sebagai pemilik dana)

(17)

Tuan B

(bertindak sebagai pemilik dana sekaligus pengelola)

menyetorkan Rp100.000.000,00

dari hasil usaha tersebut menghasilkan laba Rp15.000.000,00

Keuntungan yang berasal dari dana tuan A

= 5/15 x Rp15.000.000,00 = Rp5.000.000,00

(keuntungan sebesar 5 juat ini masih harus dibagi dengan tuan B, sebab tuan B juga ikut mengelola, misalnya dengan nisbah 60% : 40% yang sudah disepakati pada waktu akad).

Keuntungan yang berhak dimiliki tuan B

= 10/15 x Rp15.000.000,00 = Rp10.000.000,00

Laba manakah yang dibagi dalam mudharabah ini? Menurut PSAK No.105, pembagian keuntungan bisa didasarkan pada bagi hasil atau bagi laba. Dalam bagi hasil, maka dasar pembagian keuntungan adalah laba kotor (gross proft) dimana pendapatan (penjualan) dikurang dengan kos barang terjual. Apabila prinsip yang digunakan adalah bagi laba, maka yang dibagi adalah laba bersihnya, yaitu penjualan setelah dikurangi dengan beban-beban yang timbul akibat kepengelolaan dana. Sedangkan rugi akibat pengelolaan dana tersebut dibebeankan kepada pemilik dana dengan mengurangkan rugi ke dalam dana yang disetor oleh pemilik dana. Kecuali jika rugi tersebut terjadi akibat kelalaian dari pihak pengelola.

(18)

saja melaporkan laba yang lebih kecil dari yang sebenarnya. Maka dari itu, kejujuran adalah pondasi yang kuat untuk melakukan bisnis.

Dalam perusahaan skala besar sudah dikenal bentuk saham sebagai bentuk penyertaan modal. Baik konvensional dan syariah sama-sama telah mengenal cara tersebut. Gambaran mengenai komponen-komponen penyusun ekuitas telah disediakan di bagian lampiran.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Buku catatan kuliah Agam Islam II

Standar Akuntansi Keuangan per 1 September 2007

www.badilag.net

Jusup, Al. Haryono. Dasar-Dasar Akuntansi. 2005. STIE YKPN: Yogyakarta

http://ekawidyaputriarumdini.blogspot.com/2010/05/piutang-aktiva-tetap-berwujud-utang.html

Utang Piutang dalam Islam

10.36 Anshari88 No comments

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya utang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan.

(19)

Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian utang piutang? 2. Bagaimana hukum utang piutang?

3. Bagaimana peringatan keras tentang utang? 4. Bagaimana syarat piutang menjadi amal sholih? 5. Bagaimana adab islami dalam utang piutang? 6. Bagaimana hukum bunga bank?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui apa pengertian utang piutang 2. Mengetahui bagaimana hukum utang piutang

3. Mengetahui bagaimana peringatan keras tentang utang 4. Mengetahui bagaimana syarat piutang menjadi amal sholih 5. Mengetahui bagaimana adab Islami dalam utang piutang 6.  Mengetahui bagaimana hukum bunga bank

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Utang Piutang

Di dalam fiqih Islam, utang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan utang.

Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.

Atau dengan kata lain, Utang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.

B. Hukum Utang Piutang

Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya utang piutang ialah sebagaimana berikut ini:

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah swt:

) َنوُعَج ْرُت ِهْيَلِإَو ُطُسْبَيَو ُضِبْقَي ُ ااَو ًةَريِثَك اًفاَعْضَأ ُهَل ُهَفِعاَضُيَف اًنَسَح اًضْرَق َ اا ُضِرْقُي يِذالا اَذ ْنَم

245 (

(20)

Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi saw pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,

“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan utang.”

Nabi saw juga bersabda:

ًةارَم اَهِتَقَدَصَك َناَك الِإ ِنْيَتارَم اًضْرَق اًمِلْسُم ُضِرْقُي ٍمِلْسُم ْنِم اَم

“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud. Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil

(no.1389).)

Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya utang piutang (peminjaman).

C. Peringatan Keras Tentang Utang:

Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi saw pernah berutang. Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena utang, menurut Rasulullah saw, merupakan

penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah saw (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila

berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).

Rasulullah saw pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah saw bersabda:

َنْيادلا الِإ ٍبْنَذ ُلُك ِديِهاشلِل ُرَفْغُي

“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash).

Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah saw, bahwa Beliau bersabda:

» ِنْيادلاَو ِلوُلُغْلاَو ِرْبِكْلا َنِم َةانَجْلا َلَخَد ٍثَلَث ْنِم ٌءىِرَب َوُهَو َدَسَجْلا ُحوُرلا َقَراَف ْنَم«

“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan utang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: « ُهْنَع ىَضْقُي ىاتَح ِهِنْيَدِب ٌةَقالَعُم ِنِمْؤُمْلا ُسْفَن »

“Jiwa orang mukmin bergantung pada utangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani). Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda:

« ٌمَه ْرِد َلَو ٌراَنيِد امَث َسْيَل ِهِتاَنَسَح ْنِم َىِضُق ٌمَهْرِد ْوَأ ٌراَنيِد ِهْيَلَعَو َتاَم ْنَم »

(21)

maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

Dari Abu Qatadah, bahwasannya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah saw kepadanya “Ya, jika engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan utang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197).

D. Syarat Piutang Menjadi Amal Sholih

1. Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.

2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.

3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).

4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.

E. Beberapa Adab Islami dalam Utang Piutang:

Bagaimana Islam mengatur berutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:

1. Utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan. Dalilnya firman Allah swt:

(22)

walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang-orang lelaki, maka (boleh) seorang-orang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)

2. Pemberi utang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berutang.

Kaidah fikih berbunyi: اًبِر َوُهَف اًعْفَن ارَج ٍضْرَق ُلُك

“Setiap utang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.

3. Melunasi utang dengan cara yang baik Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:

– َلاَقَف ُهاَضاَقَتَي ُهَءاَجَف ِلِبِلا َنِم ٌنِس – ملسو هيلع ا ىلص – ِىِبانلا ىَلَع ٍلُجَرِل َناَك َلاَق – هنع ا ىضر – َةَرْيَرُه ىِبَأ ْنَع . َكِب ُ اا ىافَو ، ىِنَتْيَفْوَأ َلاَقَف . « ُهوُطْعَأ » َلاَقَف . اَهَقْوَف اًًنِس الِإ ُهَل اوُدِجَي ْمَلَف ، ُهانِس اوُبَلَطَف . « ُهوُطْعَأ » – ملسو هيلع ا ىلص ءاَضَق ْمُكُنَس ْحَأ ْمُكَراَيِخ انِإ » – ملسو هيلع ا ىلص – ُىِبانلا َلاَق»

Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Nabi mempunyai utang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah swt membalas dengan setimpal”. Maka Nabi saw bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (utang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)

ىِنَداَزَو ىِناَضَقَف ٌنْيَد ِهْيَلَع ىِل َناَكَو – ِدِجْسَمْلا ىِف َوُهَو – ملسو هيلع ا ىلص – اىِبانلا ُتْيَتَأ َلاَق ِ اا ِدْبَع ِنْب ِرِباَج ْنَعو Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: “Aku mendatangi Nabi saw di masjid, sedangkan beliau mempunyai utang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)

Termasuk cara yang baik dalam melunasi utang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima utang), melunasi utang di rumah atau tempat tinggal pemberi utang, dan semisalnya.

4. Berutang dengan niat baik dan akan melunasinya

Jika seseorang berutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:

a. Berutang untuk menutupi utang yang tidak terbayar b. Berutang untuk sekedar bersenang-senang

c. Berutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah utang agar mau memberi.

d. Berutang dengan niat tidak akan melunasinya.

(23)

ُ اا ُهَفَلْتَأ اَهَفَلْتِإ ُديِرُي َذَخَأ ْنَمَو »

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah swt akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah swt akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257)

5. Berupaya untuk berutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal. Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa n

menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah.

Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.

6. Tidak berutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.

Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.

Tidak sepantasnya berutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya. 7. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan utang atau peminjaman

Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang mengutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi saw:

ٌعْيَبَو ٌفَلَس ُلِحَي َل

“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.)

Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan. 8. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berutang

memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.

Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang mengutangkan.

Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah utang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

9. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

َىِدَؤُت ىاتَح ْتَذَخَأ اَم ِدَيْلا ىَلَع » َلاَق -ملسو هيلع ا ىلص- ِىِبانلا ِنَع َةَرُمَس ْنَع »

Dari Samurah, Nabi saw bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.)

10. Diperbolehkan bagi yang berutang untuk mengajukan pemutihan atas utangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.

Hal ini sebagaimana hadits berikut ini (artinya):

(24)

dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau saw pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak

disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405) 11. Bersegera melunasi utang

Orang yang berutang hendaknya ia berusaha melunasi utangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan utangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan utang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:

ٍىِلَم ىَلَع ْمُكُدَحَأ َعِبْتُأ اَذِإَف ، ٌمْلُظ ِىِنَغْلا ُلْطَم » َلاَق – ملسو هيلع ا ىلص – ِ اا َلوُسَر انَأ – هنع ا ىضر – َةَرْيَرُه ىِبَأ ْنَع ْعَبْتَيْلَف »

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah.)

12. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo.

Allah swt berfirman:

َنوُمَلْعَت ْمُتْنُك ْنِإ ْمُكَل ٌرْيَخ اوُقادَصَت ْنَأَو ٍةَرَسْيَم ىَلِإ ٌةَرِظَنَف ٍةَرْسُع وُذ َناَك ْنِإَو

“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

F. Hukum Bunga Bank

Mengenai hukum bunga bank sangat berkaitan dengan pembahasan tentang riba dalam Islam. Pada prinsipnya, para ulama sepakat bahwa hukum riba adalah haram, sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah (2): 275: ”Dan Allah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba.”

Hanya saja, para ulama berbeda pendapat apakah bunga bank termasuk riba yang diharamkan tersebut ataukah tidak? Munculnya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena sistem perekonomian perbankan belum ada pada zaman dulu, apalagi pada zaman Rasulullah saw.. Bahkan, pembahasan tentang bunga bank itu sendiri baru dapat ditemukan dalam literatur-literatur fiqih kontemporer.

Wahbah az-Zuhali, seorang pakar fiqih asal Syria, berpendapat bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan oleh Islam. Wahbah az-Zuhaili mengatagorikan bunga bank sebagai riba an-nasii`ah karena –menurutnya- bunga bank itu mengandung unsur kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima, dengan menggunakan tenggang waktu.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, Kairo. Para ulama yang tergabung dalam lembaga ini berpendapat bahwa meskipun sistem perekonomian suatu negara tidak bisa maju tanpa bank, namun karena sifat bunga itu merupakan kelebihan dari pokok utang yang tidak ada imbalan bagi orang yang berpiutang dan sering menjurus kepada sifat adh’aafan mudhaa’afatan (berlipat ganda) apabila utang tidak dibayar tepat waktu, maka lembaga ini pun menetapkan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan syara’.

(25)

orang lain merasa teraniaya atau tertindas maka ia tidak dikatagorikan sebagai riba yang diharamkan, meskipun dilakukan dengan sistem bunga. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah Muhammad Rasyid Ridha, seorang mufasir dari Mesir. Menurutnya, tidaklah termasuk ke dalam pengertian riba bila seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu baginya dari hasil usaha tersebut. Hal ini disebabkan karena transaksi seperti itu menguntungkan kedua belah pihak.

Sementara itu, Muhammad Quraish Shihab –mufasir Indonesia-, setelah menganalisa ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, asbab an-nuzulnya, dan pendapat berbagai mufasir, menyimpulkan bahwa ’illat (sebab) dari keharaman riba itu adalah sifat azh-zhulm (aniaya), seperti yang disebutkan di akhir ayat 279 dari Surah Al-Baqarah. Oleh sebab itu, yang diharamkan itu adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang.

Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam utang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan utang. Amin.

BAB III PENUTUP

Simpulan

Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan

mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.

Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya utang piutang.

Islam menyuruh umatnya agar menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena utang, menurut Rasulullah saw, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah saw (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).

Syarat Piutang Menjadi Amal Sholih: Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, Pemberi piutang tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman, Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.

(26)

kepada orang yang memberikan pinjaman, (9) Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin, (10) Diperbolehkan bagi yang berutang untuk mengajukan pemutihan atas utangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya, (11) Bersegera melunasi utang, dan (12) Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2007. Mukhtashar Al-Imam Al Bukhari. Jakarta: Pustaka Azzam

_____________________________. 2006. Shahih Sunan At-Tarmidzi. Jakarta: Pustaka Azzam Al-Khalidi, Muhammad Abdul Aziz. 2007. Sunan Ad-Dariami. Jakarta: Pustaka Azzam

Al-Asqalany, Ibnu Hajar. 2008. Buluqhul Maram Min Adillatil Ahkaam. Tasikmalaya: Pustaka Al-Hidayah

http://organisasi.org/hutang_piutang_menurut_ajaran_islam_definisi_pengertian_hukum_rukun_ manfaat_dari_hutang_piutang_pendidikan_agama_islam

http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2061522-pengertian-piutang/ http://www.getbookee.org/ruang-lingkup-manajemen-piutang/

http://id.shvoong.com/business-management/accounting/2174446-definisi-pengertian-piutang-dan-jenis/

Ibrahim, T. 2006. Penerapan Fikih, Jilid 3. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Majalah Pengusaha Muslim, Edisi, Tanggal 15 November 2010

Miftahul Huda. Buletin Cahaya, Nomor 22 Tahun Ke-14 22 Jumadil Akhir 1431 H / 4 Juni 2010 Nasrun, Haroen. Fiqh Muamalah. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama

Referensi

Dokumen terkait

(4) Keanggotaan tim ahli bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas unsur-unsur perguruan tinggi, asosiasi profesi, masyarakat ahli, dan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan dari penelitian mengenai Pengaruh perputaran piutang dan

Lampiran 6 Return Realisasi Saham AALI Lampiran 7 Return Realisasi Saham ADRO Lampiran 8 Return Realisasi Saham AKRA Lampiran 9 Return Realisasi Saham ASII Lampiran 10

Pengaruh Kecepatan Potong, Gerak Makan, Dan Kedalaman Potong Terhadap Getaran Pahat Pada Proses Bubut Dengan Tail Stock; Yusca Permana Setya, 061910101024; 2011: 48

Implementasi One-Gate System sebagai sarana meningkatkan pelayanan lalu lintas yaitu adanya sumber daya manusia Polri yang memahami tugas pokok fungsi masing-masing,

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi petani dalam kegiatan penyuluhan adalah umur, pelatihan, magang, persepsi, motivasi, kegiatan penyuluhan dan faktor

Sebanyak 40% kepala sekolah juga yang selalu memastikan guru-guru untuk mencari materi dengan memanfaatkan internet untuk melakukan tugas mata pelajarannya (pada butir 8), namun

Senin 10-11 KAPITA SELEKTA BIOLOGI ABDULKADIR R. Dekan Pembantu Dekan