• Tidak ada hasil yang ditemukan

CRITICAL SUCCESS FACTORS UNTUK PENGEMBAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CRITICAL SUCCESS FACTORS UNTUK PENGEMBAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

CRITICAL SUCCESS FACTORS UNTUK PENGEMBANGAN

Pengamatan terhadap implementasi kegiatan lesson study berbasis MGMP yang dilaksanakan di Kabupaten Sumedang mengindikasikan adanya berbagai perubahan pada budaya pembelajaran dan budaya komunitas pendidik di jenjang SMT/MTs. Pembelajaran aktif,

hands-on, kolaboratif, dengan peralatan buatan guru dari bahan lokal,

kolegialitas antarguru, kemitraan antara guru dan dosen perguruan tinggi, kesediaan guru untuk membuka kelasnya kepada publik, dan kepedulian birokrasi pendidikan pada pembelajaran, semakin membudaya di Kabupaten Sumedang. Keberhasilan yang dicapai oleh program kerjasama teknis JICA dan Depdiknas dalam mengembangkan lesson study ini bertali-temali dengan sejumlah critical success factor yang berperan. Faktor-faktor tersebut terkait pada berbagai pihak, antara lain Pemerintah Pusat dan Daerah, JICA, perguruan tinggi mitra, kepala sekolah, guru partisipan, serta peserta didik yang terlibat.

Critical success factor yang digali dari implementasi lesson study di

Kabupaten Sumedang ini, direkomendasikan untuk dijadikan informasi stratejik dalam perencanaan program lesson study di daerah lain ke depan.

Kata Kunci:

Lesson study, critical success factors, pembelajaran aktif, pembelajaran

kolaboratif, kolegialitas antarguru.

1. Pendahuluan

Sejak bulan Mei 2006 Departemen Pendidikan Nasional RI dan JICA

mengimplementasikan Program Kerjasama Teknis, yang diberi judul

Strengthening of In-Service Teacher Training of Mathematics and Science

Education at Junior Secondary Level (disingkat SISTTEMS). Program kerjasama

teknis yang akan berlangsung selama tahun hingga bulan Oktober 2008,

diimplementasikan di tiga situs, yakni Kabupaten Sumedang (Jawa Barat),

Kabupaten Bantul (DIY), dan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur). Program ini

bertujuan untuk mengembangkan model kegiatan MGMP yang menerapkan

(2)

matematika dan IPA (IDCJ, 2006). Semua SMP negeri dan swasta serta MTs

negeri di ketiga kabupaten dirancang untuk berpartisipasi dalam program ini.

Kendatipun evaluasi sumatif terhadap Program SISTTEMS belum

dilaksanakan, namun berlandaskan pemantauan berbagai pihak, termasuk para

stakeholders utama, yakni Direktorat Jenderal Pendidikan Peningkatan Mutu

Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) dan Pemerintah Kabupaten

setempat, teramati adanya perubahan budaya kerja pendidik dan budaya

pembelajaran ke arah yang prospektif bagi peningkatan mutu pendidikan

matematika dan IPA di kabupaten-kabupaten terkait. Dengan alasan ini

Pemerintah meluncurkan kebijakan untuk mendiseminasikan pengalaman dan

hasil yang dicapai Program SISTTEMS ke pihak manajemen dan praktisi

pendidikan di daerah lain di Indonesia, termasuk pelatih-pelatih guru pada

LPMP-LPMP di seluruh Indonesia. Lesson study juga mendapat perhatian dari perguruan

tinggi LPTK (Lembaga Pendidikan tenaga Kependidikan), karena dalam model

aktivitas MGMP yang dikembangkan, dosen-dosen LPTK melakukan peran

penting, yakni sebagai pendamping dan nara sumber bagi guru-guru.

Keatraktifan lesson study sebagai wahana peningkatan kompetensi dan

profesionalisme guru di Indonesia patut disyukuri, karena inovasi ini turut

memecahkan kebekuan upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia sejak

krisis ekonomi akhir tahun 1990-an. Namun, persoalannya adalah apakah

keberhasilan suatu inovasi di situs ujicobanya menjamin keberhasilan inovasi

tersebut di daerah lain? Dalam banyak kasus, ketidakberhasilan adopsi suatu

inovasi yang sesungguhnya berhasil di negara asalnya, lebih disebabkan oleh

adopsi inovasi tersebut hanya dilakukan dengan cara mengalihkan prosedur

inovasi tersebut tanpa memperhatikan faktor-faktor pendukung keberhasilannya

(Galvis, 2004). Dengan demikian kuatnya animo untuk mengadopsi lesson study

di derah lain melahirkan tantangan baru untuk mengidentifikasi faktor-faktor

pendukung keberhasilan lesson study di Kabupaten Sumedang, yang dalam

konsep manajemen stratejik dikonseptualisasi sebagai Critical Success Factors

(CSFs). Diharapkan temuan-temuan yang diketengahkan dapat menjadi rujukan

(3)

lesson study ke depan di Indonesia, agar program yang dilaksanakan berhasil,

sebagaimana terjadi di Kabupaten Sumedang.

Makalah ini lebih lanjut akan memaparkan sejumlah keberhasilan yang

dicapai oleh program SISTTEMS di Kabupaten Sumedang, yang dilanjutkan

dengan paparan tentang CSFs untuk program inovasi tersebut. CSFs yang

dikemukakan merupakan hasil inferensi dari hasil observasi dan inerviu dengan

pihak-pihak terkait selama ikut memonitor implementasi program tersebut pada

bulan Januari hingga Juni 2007.

2. Lesson Study di Kabupaten Sumedang

Sebagaimana terjadi di Jepang sejak puluhan tahun lalu, satu siklus lesson

study (Jugyokenkyu) oleh komunitas guru, terdiri atas tiga tahap studi, yakni

identifikasi masalah bersama dalam pembelajaran dan perancangan pembelajaran

yang dikaji (tahap Plan), pelaksanaan rancangan pembelajaran dalam kelas nyata

yang diobservasi oleh sejawat guru partisipan (tahap Do), serta tahap reviu dan

evaluasi terhadap rancangan pembelajaran yang telah dilaksanakan (tahap See)

(Wiburg & Brown, 2007). Diskusi-diskusi kelompok guru yang dilakukan pada

tahap perencanaan dan reviu pembelajaran berlangsung secara bersahabat, santun,

setara, kolaboratif, tanpa situasi saling menyalahkan, serta berorientasi pada

kepentingan belajar peserta didik.

Lesson study di Kabupaten Sumedang digunakan oleh komunitas guru

untuk mentransformasikan kurikulum yang direncanakan (planned curriculum)

secara nasional, yakni Standar Isi (SI) yang disusun BSNP, menjadi kurikulum

yang terimplementasikan (implemented curriculum) di tingkat kelas sesuai

konteks sekolah masing-masing. Kegiatan ini dilaksanakan pada tingkat MGMP

wilayah (terdapat 8 wilayah MGMP di Kabupaten Sumedang), yang melibatkan

guru-guru mata pelajaran sejenis dari setiap SMP/MTs negeri maupun swasta.

Satu SMP di masing-masing wilayah ditetapkan sebagai Base Camp, yakni tempat

guru-guru berkumpul melaksanakan kegiatan lesson study. Namun, dalam

pelaksanaan open lesson (fase do dan see), dimungkinkan sekolah lain bertindak

(4)

Kegiatan lesson study masing-masing mata pelajaran di tiap wilayah

diikuti oleh 5-15 guru partisipan yang didampingi oleh 1-2 orang dosen UPI yang

berkeahlian terkait sebagai nara sumber. Kegiatan lesson study di masing-masing

wilayah dikelola oleh dua orang fasilitator MGMP, yang dapat berasal dari

sekolah Base Camp atau sekolah lain. Dalam satu siklus kegiatan lesson study,

fase perencanaan dilaksanakan dalam 2-3 pertemuan, untuk mengidentifikasi

masalah, merencanakan pembelajaran dan mengujicoba perangkat pembelajaran,

fase implementasi dan refleksi dilaksanakan dalam 2 pertemuan. Satu siklus

lesson study ditutup dengan kegiatan penyempurnaan rencana pembelajaran yang

telah dilaksanakan berdasarkan masukan-masukan dari pengamat. Oleh karena

pertemuan lesson study dilaksakanan tiap dua minggu sekali, maka satu silklus

kegiatan lesson study berbasis MGMP memerlukan 2-3 bulan. Sejak awal

pelaksanaanya, kini kegiatan lesson study berbasis MGMP di Kabupatem

Sumedang sedang memasuki akhir siklus ke-3.

Fase open lesson terbuka untuk siapa saja, sehingga selain guru partisipan,

dalam kegiatan ini adakalanya hadir pengamat tamu dari daerah (kabupaten/kota)

lain serta widyaiswara LPMP, sehingga pada umumnya kegiatan open lesson

dihadiri 20-30 pengamat. Fase open lesson dipandu oleh Kepala Sekolah setempat

atau Fasilitator MGMP, dan semua pengamat memperoleh kesempatan untuk

mengemukakan amatan dan gagasannya dalam fase diskusi refleksi dalam pada

open lesson ini.

3. Perubahan Budaya Komunitas Pendidikan di Kabupaten Sumedang

Dalam rangka implementasi program SISTTEMS di Kabupaten

Sumedang, FPMIPA UPI membentuk Tim Monev (evaluasi dan pemantauan)

sebagai instrumen manajemen program untuk melaksanakan evaluasi untuk

perencanaan, evaluasi formatif, dan evaluasi sumatif terhadap program. Suatu

baseline survey telah dilakukan untuk mengumpulkan seperangkat data kuantitatif

dan kualitatif yang diperlukan untuk prencanaan program dan evaluasi sumatif

pada akhir program. Tim monev melakukan evaluasi formatif secara on-going,

untuk menyediakan informasi bagi pihak manajemen dalam mengawal

(5)

terjadi dalam implementasi SISTTEMS. Pemantauan program berfokus pada

kolegialitas group dalam aktivitas lesson study di MGMP, serta efektivitas setiap

tahap proses lesson study dalam mengembangkan pembelajaran yang berbasis

hands-on dan kolaboratif, dengan menggunakan peralatan yang dibuat guru

dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal yang mudah diperoleh, termasuk

barang-barang bekas.

Pemantauan dilakukan Tim Monev FPMIPA UPI melalui observasi

partisipatif terhadap setiap tahap kegiatan dalam lesson study berbasis MGMP di

sekolah target, workshop evaluasi sertiap akhir siklus kegiatan lesson study, serta

forum-forum MGMP di Kabupaten Sumedang dalam konteks implementasi

SISTTEMS. Temuan-temuan pemantauan (Tim Monev, 2007a; Tim Monev,

2007b) memperlihatkan terjadinya perkembangan positif, yang ke arah

pencapaian indikator-indikator keberhasilan implementasi SISTTEMS. Beberapa

perkembangan yang teridentifikasi dipaparkan di bawah ini.

Kolegialitas

Pada siklus pertama implementasi lesson study di Kabupaten Sumedang,

partisipan cenderung pasif, menunggu stimulasi dari nara sumber dalam

mengungkap masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi partisipan dalam

tugas profesinya. Demikian juga halnya dengan keberanian mengemukakan

gagasan-gagasan untuk memecahkan masalah tersebut berdasarkan pengetahuan,

pengalaman, dan penalaran masing-masing.

Pada tahap pengembangan rencana pembelajaran dan perangkat

pembelajaran (teaching materials) terjadi ketidaklancaran pengambilan keputusan

kelompok, karena masing-masing membawa rancangan berbeda dan enggan untuk

perdebatkan, dan keputusan akhir penyusunan rencana pembelajaran diserahkan

pada guru yang ditugasi menjadi guru model (guru yang mengimplementasikan

rencana pembelajaran dalam fase do). Pandangan nara sumber pada tahap ini

sangat berpengaruh pada formulasi akhir rencana pembelajaran dan perangkat

pembelajaran.

Situasi berbeda terjadi pada siklus kedua implementasi lesson study.

(6)

tanpa keraguan akan dampak psikologis pada sejawatnya. Perbedaan-perbedaan

gagasan diselesaikan melalui diskusi yang santun dan rasional. Semua partisipan

berbagai pekerjaan dan menunjukkan kesediaan untuk direviu bersama, sehingga

secara keseluruhan diskusi dan kerja kelompok bersifat produktif.

Fakta di atas mengindikasikan bahwa pada kegiatan lesson study berhasil

mengembangkan kolegialitas (kesejawatan) antarpartisipan. Partisipan berhasil

menumbuhkan kepercayaan (trust) satu sama lain, dan pada saat yang bersamaan

partisipan menumbuhkan keterbukaan pada pikiran dan gagasan sejawat. Hal ini

yang menyebabkan kelompok guru dengan lancar berbagi pendapat, gagasan, dan

pengalaman. Kekakuan pada awal kegiatan dapat juga disebabkan oleh minimnya

pengalaman mengembangkan rencana pembelajaran secara bersama, yang

membentuk pandangan bahwa penyusunan rencana pembelajaran merupakan

urusan personal. Bekembangnya kolegialitas antarguru menjadi pra-kondisi untuk

peningkatan keberhasilan kegiatan lesson study ke depan.

Kesediaan guru membuka kelasnya

Keengganan menjadi guru model merupakan fenomena umum yang terjadi

pada siklus pertama lesson study di Kabupaten Sumedang. Setiap partisipan

mengharapkan sejawat lain untuk tampil sebagai guru model, sehingga kelompok

tidak terlalu mudah mengambil keputusan tentang guru model. Namun,

pemberlakuan “kewajiban” bagi guru di sekolah base camp untuk menjadi guru

model, akhirnya memaksa guru di sekolah tempat kegiatan MGMP umumnya

tampil sebagai guru model. Interviu yang dilakukan untuk menggali faktor di

balik fenomena ini, menunjukkan bahwa keengganan menjadi guru model bukan

karena keraguan pada kemampuan profesionalnya, melainkan lebih banyak

disebabkan ketidakbiasaan melakukan tugas mengajar yang dihadiri sejawat guru

lain. Situasi keengganan menjadi guru model sirna pada siklus kedua lesson study

di Kabupaten Sumedang. Sejak awal siklus kedua banyak partisipan menyatakan

minatnya untuk menjadi guru model.

Munculnya keberanian ini secara internal didorong oleh rasa percaya

(trust) guru secara internal keberanian guru dipicu oleh kepercayaan kepada

(7)

memberikan masukan secara santun dan bersahabat. Di samping itu guru telah

meyakini bahwa menjadi guru model bukan berarti menjadi terdakwa atau

dikorbankan, namun justru akan memainkan peran yang lebih besar dalam

mengembangkan pembelajaran. Menjadi guru model disadari akan memberikan

pengalaman berharga, menumbuhkan kepercayaan diri sekaligus wahana untuk

aktualisasi diri dalam kompetensi profesionalnya. Guru juga yakin bahwa fase

refleksi yang tidak akan memojokkan atau mempersalahkan dirinya. Fakta ini

mengindikasikan bahwa kegiatan lesson study telah menghilangkan miskonsepsi

pada benak partisipan, baik yang menjadi guru model maupun pengamat, tentang

observasi pada open lesson sebagai penilaian kinerja guru. Pada saat yang sama

partisipan mengembangkan konsepsinya bahwa fase open lesson dan refleksi

sebagai self-assessment kelompok secara bersama-sama terhadap rancangan

pembelajaran yang dikaji dan dikembangkan kelompok.

Orientasi pembelajaran ke arah pembelajaran hands-on

Base-line survey mengindikasikan di masa lalu pembelajaran matematika

dan IPA pada jenjang SMP di Kabupaten Sumedang lebih didominasi oleh

pembelajaran ekspositoris. Proporsi jam pembelajaran lebih banyak diisi oleh

eksplanasi guru tentang materi pembelajaran secara chalk & talk, dengan sedikit

tanya jawab dan percontohan menyelesaikan soal secara klasikal. Dari diskusi

partisipan dalam kegiatan lesson study terungkap bahwa budaya pembelajaran

seperti itu disadari memudahkan pekerjaan guru, namun menimbulkan berbagai

masalah, antara lain rendahnya keantusiasan belajar siswa. Implementasi

rancangan pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik melalui kegiatan

manipulatif, observasi, dan eksperimentasi (hands-on) secara berkelompok

(kolaboratif) yang dilakukan dalam lesson study, ternyata mengubah situasi

pembelajaran menjadi lebih atraktif dan mudah dimengerti. Perubahan situasi ini

terungkap pada wawancara dengan siswa yang mengikuti pembelajaran pada fase

implementasi pembelajaran dalam lesson study. Diskusi partisipan kegiatan lesson

study pada fase refleksi memperlihatkan munculnya keyakinan guru bahwa

(8)

Kesediaan mengembangkan sendiri alat-alat pembelajaran dari bahan lokal.

Verbalisme dalam pembelajaran matematika dan IPA adalah fenomena

yang terjadi di banyak sekolah di Indonesia. Faktor ini berakibat pada rendahnya

motivasi belajar dan efektivitas proses pembelajaran. Salah satu penyebabnya

adalah ketiadaan peralatan dan bahan yang diperlukan. Investasi sarana dan

prasarana laboratorium IPA yang dilakukan Pemerintah pada tahun 1970-1980,

kini hanya sebagian kecil masih dapat digunakan karena kerusakan. Semetara itu

kemampuan sekolah untuk memperbarui sarana laboratorium itu sangat terbatas.

Di sisi lain pendidik kurang difasilitasi untuk mendayagunakan peralatan yang

masih ada dan mengembangkan sendiri peralatan sederhana, murah, dapat

diperoleh dari sekitar untuk menunjang pembelajaran matematika dan IPA.

Implementasi SITTEMS membawa misi mengembangkan motivasi guru

mendayagunakan peralatan yang tersedia di sekolah dan mengkreasi peralatan

sederhana dari bahan yang ada di masyarakat, baik bahan yang dapat dibeli

maupun barang-barang bekas (dipopulerkan dengan istilah local materials).

Agenda pengembangan pembelajaran yang bersifat hands-on dalam kegiatan

lesson study mengkondisikan partisipan membuat dan mengujicobakan peralatan

pembelajaran pada satu sesi khusus dalam rangkaian kegiatan lesson study.

Agenda ini juga mengkondisikan manajemen sekolah untuk memasukan

pengembangan sarana pembelajaran dalam APBS-nya.

Pembelajaran menjadi isu sentral manajemen pendidikan

Berbagai forum dalam konteks implementasi lesson study di Kabupaten

Sumedang, baik itu forum MGMP, pelatihan fasilitator, workshop evaluasi,

maupun open lesson, mengkondisikan berbagai lapisan pada komunitas

pendidikan duduk bersama untuk mendiskusikan masalah pembelajaran, termasuk

di dalamnya kepala dinas, kepala bidang, pengawas, kepala sekolah dan pengelola

MGMP. Situasi ini dipandang oleh berbagai pihak tidak biasa sebelumnya. Situasi

itu pula yang membuat semua lapisan manajemen pendidikan meyakini peran

kunci proses pembelajaran di kelas dalam membangun mutu pendidikan secara

lebih luas. Akibat lebih lanjut dari pemahaman akan hal itu adalah terjadi

(9)

finansial untuk keterlibatan guru dalam kegiatan MGMP, serta menghidupkan

kegiatan lesson study MGMP sekolah, bukan hanya untuk mata pelajaran

matematika dan IPA, melainkan juga mata pelajaran lain.

4. Critical Success Factors Program SISTTEMS di Sumedang

Fenomena yang terpapar pada bagian 3 makalah ini memperlihatkan bahwa

setelah satu tahun kegiatan lesson study berbasis MGMP diimplementasikan,

terjadi berbagai kemajuan, ditinjau dari perspektif perubahan budaya

pembelajaran dan budaya komunitas pendidikan di Kabupaten Sumedang.

Fenomena ini menunjukkan lesson study berhasil membangun kolegialitas

(kesejawatan) antarguru, dan antara guru dan administrator pendidikan serta dosen

perguruan tinggi. Lesson study juga telah mengubah orientasi pembelajaran ke

arah yang lebih mengaktifkan peserta didik, menstimulasi berpikir, memanfaatkan

lingkungan sekitar, dan mendayagunakan peralatan yang ada di sekolah dan

peralatan buatan guru.

Keberhasilan program lesson study di Kabupaten Sumedang tidak terlepas

dari sejumlah faktor penunjang keberhasilan, yang dikonseptualisasikan sebagai

critical success factors (CSF). Terdapat berbagai pandangan mengenai CSF,

tetapi pada umumnya mengkonsepsikan Critical Success Factors sebagai

faktor-faktor (karakteristik, kondisi, variable) tertentu yang penting sifatnya pada

keberhasilan organisasi, dalam arti bahwa tanpa keberadaan faktor-faktor tersebut

menjadi sulit bagi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya (Houtary &

Wilson, 2001). Dalam konteks inovasi pendidikan, CSF dipandang sebagai

faktor-faktor yang jika tersedia, akan secara signifikan meningkatkan implementasi suatu

proyek inovasi mendidikan (Kirschner, et al, 2004).

Dari analisis kualitatif terhadap situasi kegiatan lesson study di Kabupaten

Sumedang, dapat disimpulkan bahwa CSF lesson study di Kabupaten Sumedang

terkait pada berbagai pihak, antara lain Pemerintah, FPMIPA UPI, sekolah, guru,

(10)

CSF terkait pada Pemerintah

Kebijakan Dirjen PMPTK memposisikan lesson study sebagai satu model pengembangan profesional guru. Sejak penandatanganan kesepakatan

kerjasama penyelenggaraan program SISTTEMS, Dirjen PMPTK, membuat

kebijakan memasukkan kegiatan lesson study sebagai pilot program

pengembangan profesional guru. Kebijakan dan tindakan-tindakan stratejik

yang diambil dalam konteks ini dikemukakan Dirjen PMPTK pada sebuah

presentasi panel dalam Japan Education Forum III bulan Februari 2006 (Jalal,

2006). Kebijakan ini berimplikasi pada penyediaan anggaran penunjang untuk

memfasilitasi implementasi SISTTEMS, serta diseminasi secara bertahap hasil

program ke seluruh wilayah di Indonesia melalui jaringan LPMP yang ada di

tiap propinsi.

• Kepedulian Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang terhadap implementasi program SISTTEMS. Rasa memiliki, kerjasama dan kepemimpinan para

pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang menyebabkan kelancaran

koordinasi dalam Perencanaan dan implementasi SISTTEMS, khususnya

dalam pengerahan pengawas, kepala sekolah, dan guru dalam kegiatan lesson

study MGMP di seluruh wilayah Kabupaten Sumedang.

CSF terkait pada JICA

• Tenaga ahli JICA yang profesional. Profesionalisme tenaga ahli JICA yang ditugaskan, baik dalam kemampuan pedagogik maupun perilaku kesejawatan

dalam melakukan pelatihan, memberikan pemahaman tentang pelaksanaan

lesson study, sekaligus menjadi model peran bagi fasilitator MGMP dalam

melaksanakan tugasnya dalam kegiatan lesson study di MGMP.

CSF terkait pada UPI

Kebijakan UPI berpartisipasi aktif dalam SISTTEMS. Sebagai perintis lesson

study di Indonesia, FPMIPA UPI berperan sebagai inisiator dan fasilitator

implementasi SISTTEMS, sejak tahap perencanaan, pengorganisasian,

implementasi, serta diseminasi hasil.

(11)

MGMP dalam setiap fase lesson study. Sebagai pendamping, dosen FPMIPA

berperan sebagai fasilitator penumbuhan kolegialitas dan mengembangkan

profesionalisme guru dalam merencanakan dan mengimplementasikan

pembelajaran.

• Partisipasi dosen-dosen FPMIPA sebagai Tim Monev, yang melakukan pengembangan rancangan monitoring dan evaluasi (desain, instrumen, dan

prosedur), mengumpulkan data, memberikan informasi formatif kepada

manajemen program agar implementasi program SISTTEMS berjalan secara

efektif.

CSF terkait pada Manajemen Sekolah

• Komitmen kepala sekolah terhadap lesson study. Komitmen ini berimplikasi pada ketersediaan dana penunjang (untuk perjalanan dan penyediaan bahan)

bagi guru partisipan untuk dapat hadir di Base Camp MGMP dan

berpartisipasi aktif dalam kegiatan lesson study. Perlu dipahami bahwa cukup

banyak partisipan lesson study harus menempuh perjalanan 10-15 km untuk

mencapai Base Camp.

• Leadership kepala sekolah. Pengaturan internal yang dilakukan banyak kepala sekolah, misalnya pengosongan tugas mengajar pada hari tertentu untuk guru

matematika dan IPA, memungkinkan guru dapat berpartisipasi penuh dalam

kegiatan lesson study berbasis MGMP, dan menstimulasi penerapan hasil

lesson study dalam kelasnya serta menyampaikannya kepada sejawatnya di

sekolah.

CSF terkait pada guru

• Motivasi guru untuk meningkatkan pelaksanaan tugas profesional dalam pembelajaran. Motivasi ini yang membuat guru secara antusias aktif

berpartisipasi dalam setiap fase kegiatan lesson study, yang menuntut

kesungguhan dan kerja keras.

(12)

CSF terkait pada peserta didik

Keadaptifan peserta didik. Kelas yang dipakai dalam lesson study akan menghadapi situasi yang tak biasa. Pertama, kehadiran pengamat dalam

jumlah banyak dalam kelas. Kedua, proses pembelajaran yang berbeda dari

biasanya, sebagai akibat dari inovasi dalam pengelolaan kelas dan pendekatan

pembelajaran. Perilaku peserta didik yang normal dalam kegiatan open lesson

bertemali dengan keberhasilan pengembangan pembelajaran inovatif, sebab

informasi yang dipakai untuk mengevaluasi efektivitas inovasi itu adalah

perilaku belajar peserta didik.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Sejumlah critical success factor berkontribusi pada keberhasilan program

SISTTEMS dalam membudayakan lesson study di Kabupaten Sumedang.

Faktor-faktor tersebut terkait pada kebijakan Pemerintah Pusat, keterlibatan Pemerintah

Daerah, partisipasi perguruan tinggi mitra, komitmen dan kepemimpinan kepala

sekolah, motivasi dan kesediaan untuk berubah dari guru partisipan lesson study,

serta keadaptifan siswa pada situasi baru.

Critical success factor yang teridentifikasi dari implementasi lesson study di

Kabupaten Sumedang perlu dijadikan sebagai informasi stratejik dalam

perencanaan program adopsi lesson study di daerah lain di Indonesia ke depan.

Dengan cara itu daerah lain akan dapat mencapai keberhasilan dalam

mengimplementasikan lesson study berbasis MGMP, sebagaimana yang telah

terjadi di Kabupaten Sumedang.

Referensi

Galvis, A. H. (2004). Critical success factors implementing multimedia case-based teacher professional development. Project Report [Online] Tersedia http://www.educoas.org/portal/bdigital/lae-ducation/ [17 Juni 2007]

Huotary, M. & Wilson, T. D. (2001). Determining organizational needs; the Critical success factor approach. Information Research, 6(3),1-33.

IDCJ (2006). Inception report of program for strengthening in-service teacher training of

mathematics and science education at junior secondary level (SISTTEMS).

Tokyo: International Development Center of Japan.

Jalal, F. (2006). Teachers’ quality improvement in Indonesia: New paradigm and

(13)

Kirschner, P. A., Cordewener, B., Paas, F., Wopereis, I. & Hendriks, M. (2004). Determinants for failure and success of innovation projects: The road to sustainable education innovation. ERIC Abstract [Online] Tersedia: http://eric.ed.gov/ [Juni 2007].

Monev Team (2007). Laporan hasil monitoring dan evaluasi program SISTTEMS di

Sumedang Putaran I dan Putaran II. Bandung: FPMIPA UPI.

Referensi

Dokumen terkait