• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Tidak Menggunakan Hak Pilihnya Pada Pemilihan Umum Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 Di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Ketua Departemen Ilmu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Tidak Menggunakan Hak Pilihnya Pada Pemilihan Umum Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 Di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Ketua Departemen Ilmu "

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau sering kali disebut Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Pemilukada juga merupakan langkah maju dalam proses demokratisasi lokal di Indonesia. Dimana Pemilukada merupakan sebuah konsekuensi logis diberlakukannya otonomi daerah. Sebelumnya kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Secara sederhana pemilukada adalah merupakan cara individu warga negara yang mendiami suatu wilayah atau daerah tertentu untuk melakukan kontrak politik dengan orang atau partai politik yang diberi mandat menjalankan sebagian hak kewarganegaraan pemilih.

(2)

manivestasi dianutnya paham demokrasi dalam sistem pemerintahan negara kita, serta adanya otonomi daerah yang yang mengizinkan setiap warga negara yang telah memiliki hak pilih di masing-masing daerah di wilayah Indonesia untuk dapat menentukan kepala daerah dan wakil kepala daerahnya seperti yang tertuang dalam

Pasal 24 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu “Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang

bersangkutan”.1

Sebuah kehidupan bangsa yang demokratis selalu dilandasi prinsip bahwa rakyatlah yang berdaulat sehingga rakyat memiliki hak untuk terlibat secara langsung dalam aktivitas politik.

Ada beberapa argument bagi pemilihan umum kepala daerah terkait dengan kedaulatan rakyat, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut: Pertama, rakyat secara langsung dapat menggunakan hak-haknya secara utuh. Menjadikan kewajiban negara memberikan perlindungan terhadap pilihan rakyat. Salah satu cara hak politik rakyat adalah hak memilih calon pemimpin. Penundaan atau peniadaan hak pilih tidak hanya mengurangi signifikansi nilai-nilai demokrasi dalam pemilukada tetapi juga mengancam legitimasi pemimpin daerah. Kedua, wujud nyata asas pertanggungjawaban dan akuntabilitas publik seorang pemimpin merupakan landasan yang sangat penting guna menjaga kelangsungan sebuah kepemimpinan politik.

1Undang-undang Otonomi Daerah Terbaru

(3)

Melalui pemilukada, maka seseorang kepala daerah harus dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinan kepada rakyat yang memilih. Tingkat penerimaan rakyat kepada kepala daerah merupakan jaminan bagi peningkatan partisipasi politik rakyat yang akan menjaga kelanggengan sebuah kepemimpinan. Ketiga, menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya hubungan sinergi antara pemerintah dan rakyat. Pemerintah akan melaksanakan kehendaknya sesuai dengan kehendak rakyat. Keserasian dan keseimbangan hubungan antara ketiganya membawa pengaruh yang sangat menentukan bagi tegaknya suatu pemerintahan yang demokratis. 2

Sebuah negara yang menganut demokrasi harus melaksanakan pemilihan umum. Dalam demokrasi, pemilihan umum adalah bagian dari perwujutan hak-hak asasi yaitu kebebasan berbicara dan berpendapat, juga kebebasan berserikat. Melalui pemilihan ini pula rakyat membatasi kekuasaan pemerintah, sebab melalui pemilihan rakyat dapat mengangkat dan memberhentikan suatu rezim pemerintahan. Selain itu partisipasi politik merupakan aspek penting lainya dalam sebuah tatanan negara yang demokratis, dan sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Budiardjo secara umum mengartikan partisipasi politik sebagai suatu kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara secara langsung atau tidak langsung

2

(4)

mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kebijakan ini mencakup seperti memberikan suara pada pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi salah satu anggota partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen atau sebagainya.3

Berbicara mengenai perilaku pemilih sedikit banyak mempunyai kesamaan dengan konsep partisipasi politik. Partisipasi politik merupakan berbicara mengenai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Herbert McClosky, dalam International Encyclopedia of The Sosial Science, menyebutkan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga negara masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijakan umum.4 Sedangkan perilaku politik seseorang adalah pikiran dan tindakan yang berkaitan dengan pemerintah. Perilaku politik juga meliputi tanggapan-tanggapan seperti persepsi dan juga meliputi tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi an lain sebagainya.

Secara sederhana menurut Almond, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua: Pertama, partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu

3

Miriam Budiardjo, Partisipasi Dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1998, hal.2

4

(5)

partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga. Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya,prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri. 5

Sehingga dalam penelitian ini penulis merasa tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihanya. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan masyarakat dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warga negara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu secara sederhana menunjukan komitment partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tidak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasan terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput. Golput sendiri dapat berupa tindakan diam dengan tidak menggunakan hak memilihnya, dimana diam bukan berarti tidak memiliki sikap politik. Diam itu sendiri dapat dikatakan sebagai sikap politik, sebab dengan diam tidak berarti bahwa yang bersangkutan tidak memiliki pengkhayatan terhadap objek atau persoalan tertentu yang ada di sekitarnya. Diam adalah salah satu pilihan sikap. Oleh karena itu dibalik sikap itu terdapat suatu pertimbangan dan perasaan-perasaan tertentu atas objek yang ada di sekitarnya.6

5

G.Almond dalam P. Antonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa Press,2006.Hal.131-132

6

(6)

Rakyat memiliki kedaulatan penuh atas hak politiknya. Salah satu hak politik rakyat adalah memilih calon pemimpinnya. Penundaan atau peniadaan hak pilih tidak hanya mengurangi secara signifikan nilai-nilai demokrasi dalam pemilihan langsung. Namun bahkan setiap saat mengancam legitimasi pemimpin daerah. Perlu dikatagorikan bahwa ada beberapa katagori disebut pemilih resmi yang ditentukan oleh pemerintah. Diantaranya ada dua katagori yang relevan, yaitu katagori suara tak sah dan katagori yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam banyak media massa dua katagori ini dijadikan satu, dan golput dinyatakan termasuk di dalamnya7. Sehingga dapat saya simpulkan bahwa ada dua jenis golongan putih (golput), yaitu: Pertama golput yang tidak disengaja, yang terdiri dari suara tidak sah. Kedua, golput yang sengaja, yang terdiri dari pemilih yang tidak menggunkan hak pilihnya.

Kelahiran golput dalam sistem politik di Indonesia diawali dengan keprihatinan yang mendalam terhadap perilaku politik elite yang hanya bercerita tentang kekuasaan dan bagaimana mempertahankannya. Golput ditandai dengan tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu (waktu itu tahun 1971). Terdapat dekonstruksi terhadap mainstream perilaku politik sebagai manivestasi pembangkaan sipil. Taktik ini dimaksudkan sebagai perimbangan posisi tawar menawar antara elite dengan kontituen pemilih yang selama ini timpang. Delegitimasi pemilu mungkin saja terjadi dalam bentuk angka statistic persentase jumlah perolehan suara. Semakin

7

(7)

rendah persentase jumlah pemilih dibanding angka golput menjadi penanda awal bahwa pemenang pemilu tidak kredibel di mata rakyat.8

Menurut Muhammad Asfar dalam Presiden Golput yang merupakan hasil penelitianya pada pertengahan 2003 terdapat para pemilih yang memastikan tidak akan menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2004 alias golput.9 Asfar menggambarkan bahwasanya ada bebrapa faktor yang mempengaruhi perilaku golput di Indonesia. Pertama, karakteristik kepribadian dan pengalaman sosial politik, persepsi dan evaluasi terhadap sistem politik dan sistem pemilu. Kedua, faktor sistem politik dan pemilu. Ketiga, rendahnya kepercayaan politik masyarakat. Keempat, latar belakang sosial ekonomi.

Di Indonesia sendiri baru memberlakukan pemilihan kepala daerah secara langsung ketika dikeluarkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan petunjuk pelaksanaannya tertuang dalam Peraturan Pemerintahan No. 6 Tahun 2005 tentang tata cara pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah . Undang-Undang ini memberikan perubahan yang sangat signifikan dalam tata pemerintahan dan bahkan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung. Ini berarti semangat untuk memberikan kesempatan yang seluasnya bagi masyarakat daerah untuk berbenah sesuai dengan

8

http://hestiyanto.wordpress.com/2010/06/24/golput-dan-hippies-politik/ diakses pada tanggal 15 maret 2012 pukul 22.00wib

9

(8)

keinginanya. Dan pada akhirnya setiap kepala daerah akan terasa lebih dekat dengan rakyatnya. Artinya, semua kebijakan yang akan diambil kepala daerah benar-benar berdasarkan kubutuhan rakyat yang sesungguhnya. Selain itu setiap kandidat calon kepala daerah tentunya akan berusaha bersaing untuk merebut suara pemilih dalam memenangkan kompetisi pemilukada tersebut. Dalam iklim politik yang penuh dengan persaingan terbuka dan transparan, setiap kontestan membutuhkan suatu metode yang dapat memfasilitasi mereka dalam memasarkan inisiatif politik, gagasan politik, isu politik, ideologi partai, karakteristik pemimpin dan program kerja kepada masyarakat.10 Salah satu kelemahan pemilihan kepala daerah secara langsung ialah aktifitas rakyat terganggu, kesibukan warga menjalankan aktivitas sehari-hari dengan mudah bisa terganggu karena pelaksanaan pemilihan secara langsung ini.

Kabupaten Deli Serdang sebagai salah satu kabupaten yang ada di Indonesia juga sepertinya tidak mau ketinggalan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung tersebut. Hal ini dapat kita lihat dengan antusiasme para putra dan putri daerah Kabupaten Deli Serdang maupun tokoh-tokoh masyarakat yang mencalonkan diri pada pemilukada yang dilaksanakan pada 27 Oktober 2008. Dimana ada sembilan pasangan calon yang bertarung dalam pemilihan tersebut. Berikut ini adalah daftar pasangan calon kepla daerah Kabupaten Deli Serdang yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Deli Serdang tahun 2008:

10

(9)

Tabel1.1

Daftar Nama Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

(10)

Drs. H. PUTRAMA ALKHAIRI

8

H. M. SUPRIYANTO dan

DICKY ZULKARNAIN, SE

Independent

9

Drs. RABU ALAM SYAHPUTRA dan

Ir. RAHMAD SETIA BUDI, M.Sc

Independent

Sumber: KPUD Kabupaten Deli Serdang

(11)

Tabel 1.2

Perbandingan Tingkat Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu

No Pemilu Jumlah

(12)

partisipasi masyarakat pada pemilu bupati dan wakil bupati 55,8 %. Pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan pada tahun 2009, jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) 58.882 pemilih, dimana jumlah suara sah 35.005 dan suara tidak sah 871 suara. Dengan demikian partisipasi masyarakat pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden 60,93 %.11

Tingginya persentasi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya di daerah ini pada setiap pemilihan umum menjadikan saya tertarik untuk mengetahui alasan masyarakat di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu tidak mempergunakan hak pilihnya pada pemilihan umum. Untuk menganalisis faktor-faktor tersebut peneliti menggunakan pendekatan behavioralism atau pendekatan tingkah laku, yang merupakan salah satu pendekatan ilmu politik guna memahami realitas fenomena politik.

Berdasarkan pemaparan data di atas dapat dilihat bahwa pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang tahun 2008 merupakan pemilihan umum dengan tingkat partisipasi pemilih yang terrendah yaitu hanya 55,80%, dan sebanyak 44,20% pemilih yang tidak menguunakan hak pilihnya. Tindakan untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum yang dilakukan oleh masyarakat tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor.Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti akan berusaha untuk menemukan faktor-faktor penyebab

11

(13)

masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilinya pada pemilihan umum sekaligus meneliti kecendrungan partisipasi politik masyarakatnya. Untuk itu peneliti akan melakukan penelitian dengan judul: FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI MASYARAKAT TIDAK MENGGUNAKAN HAK

PILIHNYA PADA PEMILIHAN UMUM BUPATI DAN WAKIL BUPATI

KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2008 DI DESA TANJUNG ANOM

KECAMATAN PANCUR BATU.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka dengan demikian permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemilih di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang 2008?

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian terfokus terhadap permasalahanya, akan lebih baik jika dibuat pembatasan masalah. Pada penelitian ini adapun masalah yang ingin diteliti adalah:

(14)

Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang 2008 di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu

2. Analisis studi pada penelitian ini akan lebih terfokus pada perolehan suara hasil Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang 2008.

D. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Memahami faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat di Desa Tanjung

Anom Kecamatan Pancur Batu untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang 2008. 2. Mengetahui tingkat partisipasi masyarakat di Desa Tanjung Anom Kecamatan

Pancur Batu pada Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang 2008.

E. Manfaat Penelitian

Selain beberapa tujuan, sebuah penelitian juga diarahkan agar banyak berdayaguna dan memiliki manfaat bagi peneliti maupun masyarakat luas oleh sebab itu adapun manfaat dari penelitian ini antara lain ialah :

(15)

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk menambah khasanah keilmuan dan mengembangkan konsep maupun teori yang berhubungan dengan partisipasi politik masyarakat.

3. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat menambah informasi dan pengetahuan tentang prilaku pemilih dan factor-faktor yang mempengaruhinya.

4. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan tentang partisipasi politik masyarakat multikultural agar dapat meminimalisir terjadinya golongan putih (Golput)

5. Bagi masyarakat hasil penelitian ini dapat menjadikan sebagai sarana pendidikan politik dan menjadi sarana pembelajaran dalam memberikan pilihan pada pemilukada.

F. Kerangka Teori

F.1 Perilaku Golongan Putih (Golput)

F.1.1 Pengertian Golongan Putih (Golput)

(16)

mereka rasakan. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa setiap orang yang kecewa secara langsung bergabung dengan golput. Golput menjadi pilihan bagi mereka yang mempunyai gambaran jelas tentang hambatan perkembangan demokrasi di dalam kehidupan politik. Mereka paham tentang fungsi pemilihan umum terhadap penciptaan legitimasi sistem politik. Oleh karena itu mereka secara sadar menggunakan hak pilih tanpa mengikuti peraturan yang berlaku dengan maksud membatalkan penyerahan suaranya kepada kontestan pemilihan umum dengan jalan menusuk lebih dari satu tanda gambar atau menusuk kartu di luar suara gambar kontestan.12 Dalam konteks lain golput adalah suatu sikap politikyang tidak menggunkan hak pilih pada saat hari H pemilihan umum karena faktor tidak adanya motivasi.13

Menurut pandangan Mc Closky, golput merupakan suatu sikap acuh tidak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai masalah politik, ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan minoritas dimana ketidakikutsertaan merupakan hal terpuji. Ada sekelompok sarjana lainya yang mengemukakan bahwa mungkin saja orang tidak ikut memilih dalam pemilihan umum karena berpendapat bahwa keadaan

12

Arbi Sanit (Eds). Aneka Pandangan Fenomena Politik Golput. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1991. Hal.32

13

(17)

yang ada tidak terlalu buruk dan dia percaya bahwa siapapun yang akan dipilih tidak akan merubah keadaan itu, sehingga dia tidak merasa perlu untuk memanfaatkan hak pilihnya. Golput adalah gerakan protes politik yang berakar kepeda segenap bangsa, akan tetapi semuanya dapat dipulangkan kepada demokrasi. Sasaran protes mereka adalah pemilu, akan tetapi tujuannya ialah mewujudkan demokrasi disegenap kehidupan masyarakat dan kenegaraan sebagai cita-cita kemerdekaan.

F.1.2. Bentuk-Bentuk Perilaku Golongan Putih (Golput)

Ada beberapa katagori disebut pemilih resmi yang ditentukan oleh pemerintah. Diantaranya ada dua katagori yang relevan, yaitu katagori suara tak sah dan katagori yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam banyak media massa dua katagori ini dijadikan satu, dan golput dinyatakan termasuk di dalamnya14. Sehingga dapat saya simpulkan bahwa ada dua jenis golongan putih (golput), yaitu: Pertama golput yang tidak disengaja, yang terdiri dari suara tidak sah. Kedua, golput yang sengaja, yang terdiri dari pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Di balik golput setidaknya terdapat dua kecendrungan, yaitu:

a. Bentuk Penolakan Politik

Pemilihan umum sebagai proses dalam mencari pemimpin baru yang berkualitas dan sesuai dengan pilihan rakyat menjadi terdelegitimasikan oleh aksi mogok dan aksi apatis masyarakat untuk tidak memilih. Itu artinya, siapapun calon

14

(18)

pemimpin pilihan rakyat belum menunjukan keinginan mayoritas warga. Pada umumnya perilaku golput ini lebih sering disebut dengan Golput pasif, tidak datang ke Tempat Pemunggutan Suara (TPS) karena dorongan pribadi dan untuk diri sendiri tanpa berusaha mempengaruhi orang lain.

b. Bentuk Pembangkangan Sipil

Motif Golput katagori ini bukan sekedar apatisme, melainkan sebuah kritik. Reproduksi wacana golput menjadi sarana kritik dan ruang koreksi bagi laju demokrasi bangsa. Hal ini karena perilaku memutuskan tidak memilih di dasarkan pada penilaian-penilaian terhadap para elite politik.15

F.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Golongan Putih (Golput)

Berikut ini akan dipaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya dilihat dari perspektif tingkah laku dan perspektif struktur ataupun sistem yang diterapkan, antara lain:

1. Faktor Psikologis

15

(19)
(20)

Bagi pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik seringkali berada di luar kontrol para pemilih. Anomi menunjukan pada sikap tidak mampu, terutama pada keputusan yang dapat diantisipasi. Individu-individu mengakui kegiatan politik sebagai sesuatu yang berguna. Ia merasa bahwa ia benar-benar tidak dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa dan kekuatan-kekuatan politik. Sedangkan alienasi merupakan perasaan keterasingan secara aktif dan merupakan perasaan tidak percaya terhadap pemerintah. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan politik. Pemerintah diangap tidak mempunyai pengaruh, terutama pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang.

2. Faktor Latar Belakang Status Sosial-Ekonomi

(21)

proporsi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku tidak memilih. Artinya, jika tinggi tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan seseorang berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih.

3. Faktor Kepercayaan Politik

(22)

4. Faktor Sistem Politik

Konsep sistem disini tidak semata-mata dalam pengertian prosedur dan aturan main, tetapi lebih mengarah pada kebijakan pemerintah dan kinerjanya dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan tersebut. Salah satunya adalah sistem politik yang sedang dikembangkan oleh rezim yang berkuasa dinilai tidak mampu membangun demokrasi yang sehat, baik ditingkat elite maupun massa. Ketidakpercayaan pada sistem politik yang ada dapat mempengaruhi tingginya angka ketidakhadiran pemilih. Dimana alasan pemilih tidak hadir dalam pemilihan umum karena merasa puas dengan keadaan yang ada. Ketidakhadiran pada saat pemilu merupakan petanda rendahnya kepercayaan pada sistem politik. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi atau penyebab rendahnya kepercayaan politik ialah: Pertama, tidak berfungsinya lembaga perwakilan rakyat. Kedua, tidak berfungsinya lembaga peradilan. Ketiga, praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pemerintah. Keempat, praktik-praktik kebohongan dan inkonsistensi yang dilakukan oleh pemerintah. Kelima, berbagai kebijakan politik pemerintahaan yang tidak kondusif.

5. Sistem Pemilihan Umum

(23)

kehidupan politik dujalankan melalui cara demokrasi, namun pemilu itu sendiri tidak dijalankan dengan semangat dan cara-cara demokratis. Fungsi pemilu lebih berperan sebagai upaya untuk memproduksi kekuasaan dari pada implementasi kehidupan berdemokrasi. Artinya pemilu lebih dimaknai sebagai sarana untuk mempertahankan status quo penguasa dibandingkan sebagai sarana untuk melakukan perubahan politik.

16

Selain faktor-faktor di atas, Lipset membagi faktor-faktor yang mempengaruhi kehadiran dan ketiakhadiran pemilih ke dalam empat katagori, yaitu:

1. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah.

Kelompok yang mempunyai kepentingan secara langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti pegawai negeri, para pensiunan, petani dan semacamnya, menunjukan tingkat kehadiran yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mempunyai kepentingan secara langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti kaum buruh, buruh tani, buruh bangunan dan lain sebagainya.

2. Akses terhadap informasi.

Seseorang yang mempunyai akses terhadap informasi yang lebih lengkap akan cendrung tinggi tingkat kehadiranya. Akses informasi ini biasanya berkaitan dengan tingkat pendidikan, di samping keterlibatannya dalam organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan.

16

(24)

3. Berkaitan dengan adanya tekanan untuk memilih atau tidak memilih dari kelompok tertentu.

Jika tekanan kelompok tertentu untuk tidak memilih begitu kuat dan calon pemilih terpengaruh, maka hal ini akan didikapi dengan tidak hadir dalam pemilihan umum.

4. Berkaitan dengan adanya tekanan menyilang (cross pressure)

Ketika seseorang ditekan untuk memilih partai yang berbeda, mereka mungkin menyelesaikan konflik ini dengan menarik diri sama sekali dalam pemilihan umum.

F. 2 Teori Partisipasi Politik

F.2.1 Pengertian Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara yang demokratis, namun merupakan sebuah ciri khas adanya modrenisasi politik. Partisipasi politik juga merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah.

(25)

langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kebijakan ini mencakup seperti memberikan suara pada pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi salah satu anggota partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen atau sebagainya.17

Berbicara mengenai partisipasi politik yakni berbicara mengenai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalm proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Herbert McClosky, dalam International Encyclopedia of The Sosial Science, menyebutkan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga negara masyarakat melaui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijakan umum.18

Selain pandapat dari ahli sebelumya, Samuel P.Huntington dan Joan. H. Nelson mengatakan bahwa partisipasi politik adalah sebuah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, karena partisipasi bisa bersifat individu atau

17

Miriam Budiardjo. Partisipasi Dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.1998. hal.2

18

(26)

kolektif, terorganisi atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.19

Jika dikaji dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi, partisipasi politik itu akan menjadi bervariasi bersamaan dengan perbedaan-perbedaan sistem politik yang berlangsung dalam suatu negara, akan tetapi pola dasarnya adalah sama. Penelitian Milbrath membuktikan ini, sehingga ia menyimpulkan bahwa partisipasi politik bervariasi yang berkaitan dengan empat faktor, yaitu: pertama, sejauhmana orang menerima berkaitan perangsang politik. Kedua, karakteristik pribadi seseorang. Ketiga, karakteristik sosial seseorang. Keempat, keadaan politik atau lingkungan politik dalam mana seseorang dapat menemukan dirinya sendiri. Keempat hal tersebut yang menjadi dasar dari pada individu untuk berpartisipasi dalam sistem politik.20

Partisipasi sebagai suatu kegiatan politik dapat dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Yang termasuk kedalam partisipasi aktif adalah mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, megajukan suatu alternatife kebijakan umum yang berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pimpinan pemerintahan. Partisipasi aktif merupakan kegiatan yang

19

Samuel P.Huntington dan Joen Nelson. Partisipasi Politik Di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta,1990.Hal.2

20

(27)

berorientasi pada proses input dan output politik. Sebaliknya partisipasi pasif

merujuk pada kegiatan yang menaati pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah. Partisipasi pasif berorientasi kepada proses output. Disamping itu terdapat sejumlah masyarakat yang tidak tergolong kedalam katagori aktif maupun pasif karena mereka menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Kelompok ini disebut apatis atau golongan putih (golput).21

F.2.2 Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Secara sederhana menurut Gabriel A. Almond, jenis partisipasi politik dapat dibedakan atas dua bentuk yaitu:

1. Partisipasi secara konvensional, yaitu seuatu bentuk partisipasi di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga.

2. Partisipasi secara non-konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi di mana prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri. 22

Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk partisipasi politik dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.3

21

Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widya Sarana.1992. Hal.182

22

(28)

Bentuk-bentuk Partisipasi Politik Sumber: Gabriel A. Almond (dalam Leo Agustino, 2007:61)

(29)

Di Indonesia istilah Golput lebih dikenal daripada istilah apati dalam setiap pemyelenggaraan pemilu. Istilah ini muncul tahun 1970-an, mengacu pada sikap dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilihan umum Orde Baru karena dinilai tidak demokratis. Golput adalah proses politik, merupakan refleksi ketidakpercayaan terhadap partai politik dan pemerintahan yang menggunakan pemilu untuk melegitimasi rezim otoritarian.23

Sementara bentuk partisipasi politik yang kedua, biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan tidak jarang merusak fasilitas umum.

Selain itu Michael Rush dan Philip Althoff juga mengajukan hierarki partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hierarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau administratif. Sedangkan hierarki terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan aktifitas politik apapun. Semakin tinggi hierarki partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang-orang, seperti yang diperlihatkan dalam tabel hierarki partisipasi

23

(30)

politik di bawah ini dimana garis vertikal segitiga menunjukan hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukan kuantitas dari keterlibatan orang-orang.

Tabel 1.4

Hierarki Partisipasi Politik

Menduduki jabatan politik atau administratif

Mencari jabatan politik atau administratif

Keanggotaan aktif suatu organisasi politik

Keanggotaan pasif suatu organisasi politik

Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik

Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik

Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya

Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam politik

Voting (Pemberian Suara)

Apati total

Sumber: Diadaptasi Michael Rush dan Philip Althoff (Dalam Damsar,2010:184)

F.2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik

(31)

1. Pendidikan

Tinggi rendahnya tingkat pendidikan seseorang akan banyak mempengaruhi keinginan seseorang (manusia) dalam memenuhi kehidupan. R.Hayar mengatakan bahwa pendidikan itu adalah usaha untuk membentuk manusia menjadi partisipan yang bertanggung jawab dalam politik dan kekuasaan. Pendidikan politik itu merupakan proses mempengaruhi individu agar dapat memperoleh informasi lebih lengkap, wawasan yang jernih dan keterampilan yang mantap. Oleh karena itu, pendidikan tinggi bisa memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan politik, bisa mengembangkan kecakapan menganalisa, dan menciptakan minat dan kemampuan berpolitik. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat menjadikan semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikannya, maka semakin rendah pula tingkat kesadaran politiknya.

2. Status Sosial Ekonomi

(32)

jabatan atau kedudukan tinggi dalam masyarakat akan memiliki tingkat partisipasi politik yang cendrung lebih tinggi dari pada orang yang hanya memiliki status sosial yang rendah. Orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi lebih aktif daripada yang bersatatus rendah.

Setidaknya ada dua indikator yang biasa digunakan untuk mengukur variabel status sosial ekonomi, yaitu tingkat pendapatan dan tingkat pekerjaan. Lazimnya variabel status sosial ekonomi digunakan untuk menjelaskan perilaku pemilih. Namun dengan dengan menggunakan preposisi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku tidak memilih pada masyarakat. Artinya, jika tingginya tingkat pendapatan berhubungan dengan kehadiran pemilih, itu berarti rendahnya tingkat pendapatan berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih, begitu juga dengan indikator tingkat pekerjaan.

3. Aktifitas Kampanye Dan Media Massa

Biasanya kampanye-kampanye politik hanya dapat mencapai pengikut setia partai dengan memperkuat komitmen mereka untuk memberikan suara. Namun demikian yang menjadi persoalan dalam kaitannya dengan tingkat dan bentuk partisipasi politik masyarakat adalah terletak dalam kedudukan partisipasi tersebut.24

24Mochtar mas’oed dan

(33)

Media massa berfungsi sebagai penyampaian informasi tentang perkembangan politik nasional maupun lokal. Media massa, baik cetak maupun elektronik, mempunyai pengaruh kuat tidak saja bagi masyarakat tetapi juga bagi pemerintah. Media massa dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai kebijakan dan media massa juga mencerminkan jiwa zaman dari suatu pemberitaan.25 Media massa juga mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dikarenakan para calon kandidat menyampaikan visi dan misinya melalui media yang ada, baik itu media elektronik seperti tv, radio, dan media cetak lainya seperti koran atau majalah.

4. Faktor Budaya Politik

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya seperti masyarakat umum dan para elitnya. Kehidupan manusia di dalam masyarakat memiliki peranan yang penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lainya untuk berinteraksi dalam berupaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Almond dan Verba mendefenisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada dalam sistem tersebut.

25

(34)

Dengan memahami budaya politik, maka kita akan memperoleh setidaknya dua manfaat, yakni: Pertama, sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik akan mempengaruhi tuntutan-tuntutan, tanggapan, dan dukunganya serta orientasinya terhadap sistem politik itu. Kedua, dengan memahami hubungan antara budaya politik dengan sistem politik, maksud-maksud individu melakukan kegiatan dalam sistem politik atau faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik dapat dimengerti. Almond dan Verba melihat bahwa pandangan tentang objek politik terdapat tiga komponen yakni:

Orientasi Kognitif

Yaitu berupa pengetahuan dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibanya serta proses input dan outputnya.

Orientasi Afektif

Yaitu berupa perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilanya.

Orientasi Evaluatif

Yaitu keputusan dan pendapat tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

Bentuk-bentuk Budaya Politik

Bentuk-bentuk budaya politik dapat dibedakan berdasarkan dua hal yakni:

(35)

Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks menuntut kerja sama yang luas untuk memadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap seseorang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecendrungan sikap militan dan sifat toleransi.

 Budaya Politik Militan

Budaya politik militan adalah suatu budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha untuk mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi krisis, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan mencari sumber masalah yang disebabkan oleh peraturan yang salah.

 Budaya Politik Toleransi

Budaya politik toleransi adalah suatu budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalau membuka pintu untuk bekerja sama.

2. Berdasarkan Orientasi Politiknya

(36)

politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut:

Budaya Politik Parokial (Parochial Political ulture), yaitu dimana tingkat partisipasinya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif, misalnya tingkat pendidikan relatif rendah. Menyangkut budaya politik yang terbatas pada wilayah atau lingkup yang kecil, sempit misalnya yang bersifat provincial. Karena wilayah yang terbatas acapkali pelaku politik sering memainkan peranannya seiring dengan diferiensiasi, maka tidak terdapat peranan politik yang bersikap khas dan berdiri sendiri. Yang menonjol dalam dalam budaya politik jenis ini adalah kesadaran anggota masyarakat akan adanya kewenangan dan kekuasaan politik dalam masyarakat.

(37)

saja atas segala kebijakan dan keputusan para pemegang pembuat kebijakan tersebut.

Budaya Politik Partisipan (Participant Political Culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi. Masyarakat dalam budaya ini memiliki sikap yang kritis untuk memberikan penilaian terhadap sistem politik dan hampir pada semua aspek kekuasaan.

Menurut pandangan Morris Rosenberg bahwa ada tiga alasan mengapa orang-orang enggan berpartisipasi politik dikarenakan oleh sebab berikut ini:

1 Konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktifitas politik pada umumnya. Karena dengan ikut serta dalam aktifitas politik tertentu dilihat sebagai suatu ancaman terhadap berbagai aspek kehidupan mereka.

2 Bahwa individu dapat menganggap aktifitas politik sebagai kerja yang sia-sia saja. Individu merasa ada jurang pemisah antara cita-citannya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah yang sedemikian besarnya sehingga dianggap bahwa tidak ada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjebatani.

(38)

individu maupun masyarakat lebih merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai sifat pribadi daripada sifat politiknya. 26

F.3 Perilaku Politik

Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Yang melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat, kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi dua yaitu fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan fungsi-fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat.27

Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antarlembaga pemerintahan dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan salah satu aspek dari prilaku politik. Prilaku politik merupakan salah satu dari perilaku secara umum karena disamping perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti prilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya. Perilaku politik merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politik.28

Prilaku politik dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku aktor politik dan warga negara yang telah saling memiliki hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga-lembaga pemerintah dan antara kelompok masyarakat

26

Michael rush, Philip Althoff, Op.Cit, hal.147

27

Ramlan Surbakti. Op.Cit. Hal.131

28

(39)

dalam rangka proses pembuatan, pelasanaan, dan penegakan keputusan politik.29 Yang berhak melakukan kegiatan politik adalah warga negara yang mempunyai jabatan di pemerintahan dan warga negara biasa. Juga yang berhak membuat dan melaksanakan keputusan politik adalah pemerintah. Namun masyarakat dapat dan berhak untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan tersebut, dan dengan adanya sikap tersebut maka masyarakat telah melakukan perilaku politik tersebut.

Berkaitan dengan prilaku politik, sesuatu yang perlu dibahas adalah sikap politik. Sikap mengandung tiga komponen yaitu, kognisi berkenaan dengan ide dan konsep, afeksi menyangkut kehidupan emosional, sedangkan konasi merupakan kecendrungan bertingkah laku. Maka sikap politik dapat diartikan sebagai kesiapan untuk bereaksi terhadap objek tertentu yang bersifat politik, sebagai hasil penghayatan terhadap objek tersebut dengan munculnya sikap tersebut maka dapat diperkirakan perilaku politik akan muncul juga.

F.4 Konfigurasi Pemilih

Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih sebagai objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan empat konfigurasi pemilih:

29

(40)

1. Pemilih Rasional

Dalam konfigurasi pertama terdapat pemilih rasional, dimana pemilih memiliki orientasi tinggi pada policy-problem-solving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau platform partai bisa dianalisi dalam dua hal: Pertama, kinerja partai di masa lampau. Kedua, tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. Pemilih tidak hanya melihat program kerja atau platform partai yang berorientasi ke masa depan, tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai atau orang tersebut di masa lampau. Kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanivestasikan pada reputasi dan citra yang berkembang di masyarakat. Dalam konteks ini yang lebih utama bagi partai politik dan kontestan adalah mencari cara agar mereka bisa membangun reputasi di depan publik dengan mengedepankan kebijakan untuk mengatasi masalah nasional.

(41)

2. Pemilih Kritis

Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Untuk menjadi pemilih kritis, seseorang melalui dua hal yaitu, pertama jenis pemilih ini menjadikan nilai-nilai ideologis sebagai pinjakan untuk menentukan kepada partai mana mereka kan mengkritisi kebijakan yang berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau telah dilakukan. Kedua, bisa terjadi sebaliknya dimana pemilih tertarik dahulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai atau kontestan pemilu, baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan paham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih ini adalah pemilih kritis artinya mereka akan selalu menganalisa kaitan antara ideologi partai dengan kebijakan yang akan dibuat.

3. Pemilih Tradisional

(42)

mudah dimobilisasi selama masa kampanye dan mereka memiliki loyalitas sangat tinggi.

4. Pemilih Skeptis

Pemilih ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi terhadap sebuah partai politik, pemilih ini juga tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, mereka berkeyakinan bahwa siapa pun yang menjadi pemenang, hasilnya akan sama saja dan tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi daerah, masyarakat maupun negara. 30

F.5 Pemilihan Umum Kepala Daerah

Pemilihan umum merupakan sarana bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam menentukan wakil-wakilnya baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, juga merupakan srana ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Kelahiran pemilihan kepala daerah langsung merupakan salah satu kemajuan dari proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan umum kepala daerah secara langsung berarti mengembalikan hak-hak dasar masyarakat di daerah untuk menentukan kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang mereka kehendaki. Pemilihan kepala daerah langsung juga merupakan salah satu bentuk penghormatan

30

(43)

terhdap kedaulatan rakyat, karena melalui pemilukada ini rakyat dengan bebas untuk menentukan pilihanya.

Proses pemilihan umum kepala daerah dilaksanakan melalui beberapa tahapan, dimulai dari tahap pendaftaran, penyaringan, penetapan pasangan calon, rapat paripurna, pengiriman berkas pemilihan, pengesahan dan pelantikan. Dalam rangka menyelenggarakan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki peranan yang sangat penting dibidang penyelenggaraan pemerintahan, pengembangan dan pelayanan masyarakat dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalanya pemerintahan daerah.31

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUd 1945, dimana kepala daerah dipilih secara demokratis, dan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang diajukan oleh partai politik ataupun gabungan partai politik.

Berdasarkan perkembangan hukum dan politik untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan akuntabel sesuai dengan aspirasi masyarakat, pemilihan kepala darah dan wakil kepala daerah perlu dilakukan secara lebih terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh

31

(44)

karena itu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sabagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu dilakukan perubahan dengan memberikan kesempatan bagi calon perseorangan untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

G. Metodologi Penelitian

G.1 Jenis penelitian

Berangkat dari uraian serta tujuan penelitian maupun kerangka teori diatas, maka jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif dengan format deskriptif. Dengan maksud untuk menggambarkan, menjelaskan berbagai kondisi dan situasi yang terjadi antara variable yang ada dan kemudian data dimasukan ke dalam tabel-tabel tersebut dinalisa dengan menjabarkannya secara koprehensif guna memberikan gambaran yang jelas dari hasil temuan tersebut.

G.2 Lokasi Penelitian

(45)

G.3 Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditetapkan kesimpulanya. Dalam hal ini populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya serta suara yang tidak sah dalam pemilihan kepala daerah di Desa Tanjung Anom yaitu berjumlah 2.896.32

2. Sampel

Sampel adalah merupakan sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi. Untuk menentukan jumlah sampel dalam penelitian ini, digunakan rumus Taro Yamane:

n= 𝑁

𝑁.𝑑2 + 1

keterangan:

n = Jumlah sampel

N= Jumlah Populasi

d= Presisi, ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

32

(46)

Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah:

n = 2.896

2.896 × (10%)2+ 1

n

=

2.896

29,96

n = 96,6

Berarti ada 97 sampel yang akan dijadikan responden dalam penelitian ini.

Kemudian untuk mengambil sampel yang akan dijadikan sebagai responden sebanyak 97 sampel yang telah ditentukan maka teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Teknik ini merupakan teknik pengambilan sampel dengan memilih unsur yang paling mudah diperoleh dan unsur yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan penelitian.

G.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

(47)

jawab langsung dengan beberapa orang yang memiliki pengaruh pada lokasi penelitian atau daerah yang akan diteliti. Dan juga melakukan wawancara koesioner terhadap masyarakat atau pemilih yang ada di Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang.

2. Data Sekunder: yaitu penelitian kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku, peraturan-peraturan, laporan-laporan, jurnal, koran dan media atau literatur lainnya yang dapat menambah bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian. Dengan demikian diharapkan diperoleh data sekunder sebagai kerangka kerja teoritisnya.

G.5 Teknik Analisa Data

Teknik yang digunakan untuk menganalisa data dalam penelitiaan ini adalah dengan analisa deskriptif kualitatif . Data yang telah diperoleh sebelumya di lapangan, baik data primer atau data sekunder akan dikaji dalam bentuk table dan uraian dengan menggunakan teori-teori yang berhubungan dengan masing-masing variabel, yang kemudian akan diperoleh suatu kesimpulan yang mampu menjawab pertanyaan penelitian ini.

G.6 Definisi Konsep

(48)

fenomena sosial. Hal ini bertujuan untuk agar tidak terjadi kesalahan atau makna ganda dari definisi konsep yang ada.

Berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah yang telah dipilih oleh peneliti, maka yang menjadi definisi konsep dalam penelitian ini adalah:

1. Perilaku tidak memilih

Perilaku tidak memilih (Golput) adalah suatu sikap politik yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat hari H pemilihan umum karena dipengaruhi beberapa faktor.

2. Pemilihan Umum

Pemilihan umum merupakan salah satu sarana atau alat bagi masyarakat untuk memberikan dukungan dengan menempatkan orang-orang yang memiliki kemampuan untuk dapat duduk di pemerintahan sebagai wakil dari masyarakat.

G.7 Definisi Operasional

Pada dasarnya adalah petunjuk bagaimana mengukur suatu variabel, sehingga dapat diketahui indikator apa saja yang melekat dalam variabel sebagai pndukung untuk dianalisis ke dalam variabel tersebut.

Berikut ini dapat diuraikan variabel yang diteliti beserta indikator-indikator yang dipakai sebagi alat pengukurnya:

(49)

- Faktor Psikologis, dengan indikatornya ciri-ciri kepribadian seseorang dan orientasi kepribadian seseorang terhadap pemilu.

- Faktor Latar Belakang Status Sosial-Ekonomi, dengan indikatornya: tingkat pekerjaan, tingkat pendapatan,

a. tingkat pendidikan, dengan indikatornya:

pendidikan formal yaitu pendidikan yang diperoleh melalui pendidikan yang penyelenggaraannya berjenjang. Jenjang pendidikan formal terdiri dari:

1. Jenjang Jendidikan Dasar meliputi sekolah dasar (SD), sekolah luar biasa (SLB) tingkat dasar, dan sekolah menengah pertama (SMP) 2. Jenjang Pendidikan Menengah meliputi sekolah menengah atas (SMA) sederajat.

3. Jenjang Pendidikan Tinggi meliputi program gelar mencakup pendidikan sarjana dan pendidikan diploma

b. Tingkat Pekerjaan

Pekerjaan adalah pekerjaan yang dilakukan masyarakat sebagai mata pencaharian hidupnya baik itu pekerjaan tetap maupun pekerjaan sampingan

c. Tingkat Pendapatan

(50)

1. Rendah, jika pendapatan perbulan kurang dari Rp.500.000

2. Sedang, jika pendapatan perbulan antara Rp. 500.000 – Rp. 1.500.000

3. Tinggi, jika pendapatan perbulan lebih dari Rp. 1.500.000

- Faktor Kepercayaan Politik, dengan indikatornya tidak mempunyai pilihan dalam pemilu, bentuk protes kepada pemerintah, kekecewaan terhadap kinerja pemerintah, kepercayaan terhadap pemerintah. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah, dengan indikatornya individu memiliki kepentingan langsung dengan kebijakan yang dibuat pemerintah.

- Faktor Sistem Politik, dengan indikatornya tidak adanya kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan sendiri pilihan politiknya.

- Sistem Pemilihan Umum, dengan indikator : intensitas mengikuti kampanye

H. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

(51)

Pada bab ini akan digambarkan secara umum segala sesuatu mengenai objek penelitian yaitu gambaran umum tentang lokasi penelitian Kecamatan Pancur Batu yang dilihat dari geografis dan luas wilayah, komposisi penduduk, perekonomian masyarakat, sarana dan prasarana dan lain sebagainya.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

Bab ini berisi penyajian data yang diperoleh dari lapangan yaitu dari hasil wawancara dan interview yang telah diberikan beserta sumber-sumber lainya untuk menjawab pertanyaan penelitian.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian.

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum

A.1 Letak Secara Geografis

Gambar

Tabel 1.2
Tabel 1.4

Referensi

Dokumen terkait

Partisipasi politik dalam defenisi umum yang diartikan oleh Doktor Ilmu Politik, Miriam Budiardjo, adalah sebagai sebuah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut aktif

 Berdasarkan faktor latar belakang status sosial-ekonomi dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya kebanyakan dari

Miriam Budiardjo (1982) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam

Sedangkan menurut Miriam Budiarjo (2008:311) partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yakni dengan

Miriam Budiardjo dalam tulisannya mengenai partisipasi dan partai politik mendefinisikan partisipasi politik secara umum sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang

kesimpulan bahwa partisipasi politik adalah hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seseorang atau sekelompok orang secara sukarela dalam hal penentuan atau pengambilan

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Tidak Menggunakan Hak Pilihnya Pada Pemilihan Umum Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 Di Desa

Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan