BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kereta Api
Menurut Suryo (2006), teknologi sarana dan prasarana kereta api terus berkembang
termasuk dalam mengatasi masalah polusi, kebisingan dan getaran. Polusi udara, baik oleh gas
buang maupun partikel dan kebisingan serta getaran oleh kereta api dibandingkan dengan moda
transportasi kendaraan bermotor darat lainnya relatif kecil, apalagi untuk jenis kereta listrik,
apalagi bila dihitung berdasarkan jumlah penumpang/barang yang terangkut.
Dalam pengoperasian kereta api tentunya akan terdapat jalur yang digunakan untuk
melintas. Jalur kereta api menurut UU nomor 23 tahun 2007 menyatakan jalur kereta api adalah
jalur yang terdiri atas rangkaian petak jalan rel yang meliputi ruang manfaat jalur kereta api,
ruang milik kereta api, dan ruang pengawasan jalur kereta api, termasuk bagian atas dan
bawahnya yang diperuntukan bagi lalu lintas kereta api. Untuk penjelasannya sebagaimana
tercantum dalam UU nomor 23 tahun 2007, pasal 36 sampai dengan 45 adalah sebagai berikut :
1. Ruang manfaat kereta api
Terdiri dari jalan rel dan bidang tanah di kiri dan kanan jalan rel beserta ruang di kiri,
kanan, atas, dan bawah yang digunakan untuk konstruksi jalan rel dan penempatan
fasilitas operasi kereta api serta bangunan pelengkap lainnya. Batas ruang manfaat jalan
diukur dari terluar jalan rel beserta bidang tanah di kiri dan kanannya yang digunakan
2. Ruang milik jalur kereta api
Ruang milik jalur kereta api adalah bidang tanah di kiri dan kanan ruang manfaat jalur
kereta api yang digunakan untuk pengamanan konstruksi jalan rel. Ruang milik jalur
kereta api di luar ruang manfaat jalur kereta api dapat digunakan untuk keperluan lain
atas izin dari pemilik jalur dengan ketentuan tidak membahayakan konstruksi jalan rel
yang terletak pada permukaan tanah di ukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan
ruang manfaat jalur kereta api dengan lebar paling rendah 6 meter.
3. Ruang pengawasan jalur kereta api
Ruang pengawasan jalur kereta api adalah bidang tanah atau bidang lain di kiri dan kanan
ruang milik jalan kereta api untuk pengamanan dan kelancaran operasi kereta api.
Kawasan ini di ukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan daerah milik jalur kereta
api, dengan lebar paling rendah 9 meter.
2.2 Suara atau Bunyi
Suara adalah sensasi yang dihasilkan di alam telinga sebagai akibat dari fluktuasi tekanan
udara di sekitar gendang telinga propagansi energi getaran dari suatu sumber getar. Suara
dirambatkan melalui udara sebagai gelombang dengan cara yang sama seperti riak permukaan
danau pada waktu batu dilempar ke dalamnya. Gelombang suara di udara merambat dalam
fluktuasi tekanan positif dan negatif dalam bentuk sinusoida.Perbedaan antara tekanan positif
dan negatif disebut sebagai amplitudo, jadi amplitudo sangat mempengaruhi tekanan udara,
semakin besar amplitudo maka semakin besar tekanan suaranya.Tekanan suara terkecil yang
dapat di dengar oleh manusia adalah 2 x 10-5N/m2 yang biasa disebut juga dengan ambang
mempunyai dua definisi : (1). Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran
partikel dalam medium elastik seperti udara yang disebut dengan bunyi objektif. (2). Secara
fisiologis, bunyi adalah sensasi pendengaran yang disebabkan pendengaran fisis yang dijelaskan
di atas yang disebut dengan bunyi subjektif (Doelle, 1993).
Suara atau bunyi adalah suatu kelainan fisik didalam udara dan berupa energi mekanik
yang berasal dari permukaan yang bergetar, ditransmisikan oleh getaran-getaran yang teratur dari
materi-materi molekul yang mengadakan tekanan dan gesekan dimana suara itu dihasilkan.
Hobbs (1995) mendefinisikan bunyi adalah energi yang disebarkan dari suatu sumber
dalam gelombang longitudinal yang bergerak pada kecepatan sekitar 340 m/detik melalui udara
pada ketinggian muka laut, karena gangguan ini terus berulang maka membentuk gelombang
harmonis dan ditandai dengan suatu frekuensi dan panjang gelombang yang pasti. Daya rata-rata
yang dipancarkan oleh gelombang bunyi per satuan luas disebut intensitas I tetapi lebih mudah
diukur sebagai tekanan bunyi.
2.3 Sumber Bunyi
Sumber bunyi dihasilkan oleh benda-benda yang bergetar sehingga terjadi penyimpangan
tekanan udara dan terdengarlah bunyi. Sumber bunyi yang dihasilkan oleh kereta api sehingga
menghasilkan kebisingan berasal dari :
1. Tenaga penggerak lokomotif
a. Bising akibat pembakaran, terjadi karena gesekan piston dengan dinding silinder yang
menghasilkan frekuensi tinggi sebagai bunyi dan frekuensi rendah sebagai getaran
b. Bising akibat mekanik, disebabkan oleh getaran bagian mesin seperti sistem poros
engkol, sistem roda daya, rantai dan sistem injeksi bahan bakar.
c. Bising akibat pembakaran dan mekanik, disebabkan karena adanya gesekan dari
piston dengan dinding silinder.
2. Interaksi antara roda dan rel.
3. Getaran suara yang terjadi saat melewati bangunan atau jembatan.
2.4 Defenisi Bising
Bising adalah suatu bunyi yang tidak dikehendaki. Akan tetapi sebagian besar dari sistem
transportasi akan mengakibatkan suatu dampak, selain dampak polusi juga terdapat dampak
suara, hal seperti dapat dikategorikan sebagai gangguan. Menurut Doelle (1993), bising diartikan
sebagai semua bunyi yang dapat mengalihkan perhatian, mengganggu, atau berbahaya bagi
kegiatan sehari-hari (kerja, istirahat, hiburan, atau belajar) dianggap sebagai bising. Sedangkan
menurut Murwono (1999), kebisingan merupakan suara yang tidak diinginkan dan
pengukurannya menimbulkan kesulitan besar karena bervariasi diantara perorangan dalam situasi
yang berbeda. Jadi dapat disimpulkan bahwa kebisingan adalah pencemaran suara karena
masuknya suara yang tidak diinginkan ke dalam suatu lingkungan yang menyebabkan
menurunnya kualitas lingkungan, sehingga pada beberapa aktivitas tertentu kebisingan yang
terjadi akan sangat mengganggu kegiatan yang sedang berlangsung pada lingkungan tersebut,
bahkan bila tingkat kebisingan yang terjadi telah melampaui batas yang dapat diterima oleh
2.5 Sumber Kebisingan
Sumber bunyi dihasilkan oleh benda-benda yang bergetar sehingga terjadi penyimpangan
tekanan udara yang menyebabkan terdengarnya bunyi. Menurut Mediastika (2005), sumber
kebisingan dapat dibedakan menjadi sumber yang diam dan sumber yang bergerak. Contoh dari
sumber yang diam adalah industri/pabrik dan mesin-mesin konstruksi. Sedangkan contoh dari
sumber yang bergerak adalah kendaraan bermotor, kereta api, dan pesawat terbang.
2.5.1 Kebisingan Industri/pabrik
Kebisingan yang dihasilkan oleh mesin-mesin pabrik juga dapat merambat ke luar
bangunan pabrik, sehingga selain dirasakan secara langsung oleh pekerja pabrik, kebisingan itu
juga dirasakan oleh masyarakat yang berada disekitar pabrik.
2.5.2 Kebisingan Kereta Api
Kebisingan kereta api yang muncul datang dari mesin kereta api, klakson, dan gesekan
antara roda dan rel yang seringkali menghasilkan bunyi berdecit. Kebisingan dari kereta api
dirasakan oleh mereka yang berada di dalam stasiun kereta api dan bangunan yang dibangun di
sekitar jalur kereta api.
2.5.3 Kebisingan Pesawat Terbang
Kebisingan yang terjadi dari pesawat terbang umumnya diderita oleh bangunan yang
berlokasi dekat dengan pelabuhan udara dan beberapa ratus meter dari pelabuhan udara tersebut
2.5.4 Kebisingan Jalan Raya
Kebisingan jalan raya disebabkan oleh pemakaian kendaraan bermotor, baik yang beroda
dua, yang beroda empat, maupun yang beroda lebih dari empat.
Menurut Doelle (1993), sumber bising utama dalam pengendalian bising lingkungan
dapat diklasifikasikan dalam kelompok, yakni :
a. Bising Interior
Berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga, atau mesin-mesin gedung.
b. Bising Luar
Berasal dari lalu lintas, transportasi, industri, alat-alat mekanis yang terlihat dalam
gedung, tempat pembangunan gedung-gedung, perbaikan jalan, kegiatan olahraga dan
lain-lain diluar gedung, dan iklan (advertising).
c. Bising Pesawat Udara
2.6 Dampak kebisingan
Suara yang tidak diinginkan akan memberikan efek kurang baik terhadap kesehatan.
Suara merupakan gelombang mekanik yang dihantarkan oleh suatu medium yaitu umunya oleh
udara. Kualitas dan kuantitas suara ditentukan antara lain oleh intensitas (loudness), frekuensi,
periodesitas (kontinyu atau terputus) dan durasinya. Faktor-faktor tersebut juga ikut
mempengaruhi dampak suatu kebisingan terhadap kesehatan.
Menurut Mansyur (2003), pengaruh buruk kebisingan, didefenisikan sebagai suatu
perubahan morfologi dan fisiologi organisme yang mengakibatkan penurunan kapasitas
terhadap pengaruh efek faktor lingkungan yang merugikan, termasuk pengaruh yang bersifat
sementara maupun gangguan jangka panjang terhadap suatu organ atau seseorang secara fisik,
psikologis atau sosial.
Kebisingan akan memberikan efek yang kurang baik bagi kesehatan apabila intensitas
kebisingan, frekuensi kebisingan dan lamanya waktu paparan terhadap kebisingan sudah
melewati batas yang wajar.
Menurut Mediastika (2005), tiap individu memiliki subjektivitas terhadap noise,
begitupun sesungguhnya tiap individu juga memiliki subjektivitas terhadap kebisingan. Sanders
dan McCormick (1987) menyatakan bahwa toleransi manusia terhadap kebisingan bergantung
pada faktor akustikal dan non-akustikal.Faktor akustikal meliputi : tingkat kekerasan bunyi,
frekuensi bunyi, durasi munculnya bunyi, fluktuasi kekerasan bunyi, fluktuasi frekuensi bunyi,
dan waktu munculnya bunyi. Sementara faktor non akustikal meliputi : pengalaman terhadap
kebisingan, kegiatan, perkiraan terhadap kemungkinan munculnya kebisingan, manfaat objek
yang menghasilkan kebisingan, kepribadian, lingkungan dan keadaan. Semua faktor tersebut
harus diperhitungkan setiap kali mengukur tingkat kebisingan pada suatu tempat, sehingga data
yang dihasilkan menjadi sah dan solusi yang diterapkan lebih tepat.
Menyadari dampak yang ditimbulkan oleh kebisingan, pemerintah Negara maju telah
mengupayakan agar permasalahan kebisingan dipahami oleh masyarakat umum dan diatur dalam
perundangan yang ketat disertai sanski bagi yang menghasilkan kebisingan tersebut.Meski
demikian, negara-negara berkembang sering menghadapi kendala untuk menetapkan peraturan
Kebisingan membawa dampak yang merugikan bagi kesehatan, jika berlangsung secara
terus-menerus. Kebisingan tidak hanya merupakan ancaman bagi telinga manusia, akan tetapi
dapat juga mempengaruhi perkembangan mental, tingkah laku sosial dan dalam proses belajar.
Tingkat kebisingan yang dapat ditoleransi oleh seseorang tergantung pada kegiatan apa yang
sedang dilakukan oleh orang tersebut. Seseorang yang sedang sakit atau beribadah akan
terganggu oleh kebisingan yang rendah sekalipun. Sebaliknya seseorang yang berada di studio
musik akan dapat menerima kebisingan yang lebih tinggi. Kehilangan pendengaran yang
disebabkan oleh kebisingan akan terjadi secara bertahap dan tanpa rasa sakit. Namun demikian,
seringkali terjadi seseorang menyadari akan kehilangan pendengaran pada saat yang sudah
sangat terlambat.
Suratmo (1995) menyatakan bahwa akibat dari kebisingan pada manusia dapat dibagi ke
dalam :
1. Perubahan ketajaman pendengaran
Akibat pada pendengaran manusia karena kebisingan dapat berbentuk sebagai berikut
:
a. Perubahan ambang batas sementara (temporary threshold shift = TTS).
Gejalanya berbentuk berkurangnya kemampuan pendengaran pada suara yang
pelan, tetapi gejala tersebut akan hilang lagi setelah beberapa jam sampai empat
minggu.
b. Kehilangan pendengaran secara tetap (noise-induced permanent threshold shift =
Penderita yang mengalami kehilangan pendengaran ini tidak dapat sembuh
lagi.TTS meningkat linier dengan rata-rata tingkat kebisingan antara 80-130
dBA.Peningkatan tersebut sebanding dengan lamanya terkena kebisingan.
c. Menimbulkan tekanan fisiologis yang akan mempengaruhi syaraf pengatur
saluran darah, tegangan otot-otot, keluarnya hormon adrenal yang menyebabkan
syaraf menjadi tegang, denyut jantung meningkat.
2. Mengganggu pembicaraan
3. Mengganggu kenyamanan
4. Pengaruh lain
Pengaruh bising dengan jangkauan dari mengalihkan perhatian sampai sangat
mengganggu.Bahkan bising yang lembut dapat mengganggu saat mendengarkan pidato
atau musik menyebabkan pengaruh menutupi (masking) dan menaikkan ambang yang
dapat di dengar (threshold of audibility).Kebisingan dapat mengganggu istirahat dan tidur
dan bahkan dapat mengacaukan atau mencegah mimpi.Bising yang cukup keras diatas 70
dB, dapat menyebabkan kegelisahan (nervousness), kurang enak badan, kejenuhan
mendengar, sakit lambung dan masalah peredaran darah.Bising yang sangat keras diatas
85 dB, dapat menyebabkan kemunduran yang serius pada kondisi kesehatan seseorang
dan bila berlangsung lama, kehilangan pendengaran sementara atau permanen dapat
terjadi.Bising yang berlebihan dan berkepanjangan terlihat dalam masalah-masalah
Kebisingan dapat menyebabkan berbagai gangguan seperti gangguan fisiologis,
gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian.
1. Gangguan fisiologis
Bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputus-putus atau yang
datannya tiba-tiba.Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan
nadi, kontruksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat
menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
2. Gangguan psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentransi, susah
tidur, cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan
penyakit psikomatik berupa gastitis, stress, kelelahan dan lain-lain.
3. Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran
yang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan
dengan cara berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan terganggunya, sampai pada
kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda
berbahaya, gangguan komunikasi ini secara tidak langsung membahayakan
keselamatan kerja.
4. Gangguan keseimbangan
Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan diruang angkasa atau
melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing
5. Efek pada pendengaran
Efek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena dapat menyebabkan
ketulian.Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara dan akan segera
pulih kembali bila menghindar dari sumber bising, namun bila terus menerus bekerja
di tempat bising, daya dengar akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih
kembali.
2.7 Jenis-Jenis Bising
Kebisingan yang terjadi di sekitar kita dibedakan menjadi :
1) Kebisingan latar belakang
Adalah tingkat kebisingan yang terpapar terus menerus pada suatu area, tanpa adanya
sumber-sumber bunyi yang muncul secara signifikan.Sebagai contoh, dalam suasana
malam yang sepi, kebisingan latar belakang berupa lalu lalang kendaraan di kejauhan
dapat menumbuhkan rasa tenang karena menggambarkan suasana dunia nyata.Pada
umunya kebisingan latar belakang tidak menimbulkan kebisingan yang berarti karena
berada pada tingkat keras maksimum 40 dB.
2) Kebisingan ambien
Adalah total kebisingan yang terjadi pada suatu area, meliputi kebisingan latar belakang
dan kebisingan lain yang muncul pada suatu waktu dengan tingkat keras melebihi tingkat
keras kebisingan latar belakang dan merupakan hasil kompilasi kebisingan, baik yang
sumbernya dekat maupun jauh. Kebisingan ambient merupakan kebisingan yang
dianggap perlu mendapat perhatian yang serius karena jenis kebisingan ini umunya
3) Kebisingan tetap
Adalah tingkat kebisingan yang berubah-ubah dengan fluktuasi (naik-turun) maksimum 6
dB.
Menurut Tambunan (2005), kebisingan pada lingkungan tempat kerja diklasifikasikan ke
dalam dua jenis golongan besar, yaitu :
a. Kebisingan yang tetap (steady noise) dipisahkan menjadi dua jenis, yaitu :
1) Kebisingan dengan frekuensi terputus (Discrete Frequency Noise)
Kebisingan ini merupakan “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam.
2) Kebisingan tetap (Brod band Noise)
Kebisingan dengan frekuensi terputus dan Brod Band Noise sama-sama digolongkan
sebagai kebisingan tetap (steady noise).Perbedaannya adalah Brod band noise terjadi
pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan “nada murni”).
b. Kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1) Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise)
Kebiisngan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu.
2) Intermitent Noise
Kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan
lalu lintas.
3) Kebisingan implusif (Implusive Noise)
Kebisingan ini dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakkan telinga)
2.8 Kriteria Daerah Bising
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 718 tahun 1987 tentang kebisingan yang
berhubungan dengan kesehatan menyatakan pembagian wilayah dalam empat zona, yaitu :
1. Zona A :
Adalah zona untuk tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan atau
sosial.Tingkat kebisingannya sekitar 35 - 45 dB.
2. Zona B
Adalah zona untuk perumahan, tempatpendidikan, dan rekreasi.
Tingkat kebisingannya sekitar 45 - 55 dB.
3. Zona C
Adalah zona untuk perkantoran,pertokoan, perdagangan, pasar.
Tingkat kebisingannya sekitar 50 - 60 dB.
4. Zona D
Adalah zona untuk lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta api, dan terminalbus.
Tingkat kebisingannya sekitar 60 - 70 dB.
Berdasarkan Pedoman Konstruksi dan Bangunan Pd T-10-2004-B tentang Prediksi
Kebisingan Akibat Lalu Lintas, daerah bising adalah suatu jalur daerah dengan jarak (lebar)
tertentu yang terletak di kedua sisi dan sejajar memanjang dengan jalur jalan, yang didasrkan
pada tingkat kebisingan tertentu (Leq), lamanya waktu pemaparan (jam/hari) dan peruntukan
a. Daerah Aman Bising (DAB)
• Daerah dengan lebar 21 s/d 30 m dari tepi perkerasan jalan
• Tingkat kebisingannya kurang dari 65 dB Leq
• Lama waktu pemaparan (60 dB – 65dB) maksimum 12 jam/hari
• Lama waktu paparan malam < 3 jam/hari
b. Daerah Moderat Bising (DMB)
• Daerah dengan lebar 11 s/d 20 m dari tepi perkerasan jalan
• Tingkat kebisingannya 65 dB s/d 75 dB Leq
• Lama waktu pemaparan (65 dB – 75dB) maksimum 10 jam/hari
• Lama waktu paparan malam < 4 jam/hari
c. Daerah Resiko Bising (DRB)
• Daerah dengan lebar 0 s/d 10 m dari tepi perkerasan jalan
• Tingkat kebisingannya lebih dari 75 dB Leq
• Lama waktu pemaparan (75 dB – 90 dB) maksimum 10 jam/hari
• Lama waktu paparan malam < 4 jam/hari
Kebisingan dapat diartikan sebagai keramaian atau hiruk pikuk yang berasa di telingga
seakan-akan pekak perlu didefenisikan secara ilmiah ke dalam angka-angka.Selain melalui
tingkat keras, kebisingan juga dikaitkan dengan lama paparannya.Semakin keras tingkat bunyi,
Tabel2.1 Lama Paparan Kebisingan
Tingkat Keras
(dB)
Lama paparan diizinkan / hari
82 16 jam
85 8 jam
88 4 jam
91 2 jam
97 1 jam
100 0,25 jam (15 menit)
2.9 Pembagian Zona-Zona Peruntukan
Setiap fungsi bangunan tertentu memiliki baku tingkat kebisingan yang dianut agar
kenyaman di dalam bangunan terjaga. Untuk Indonesia, baku tingkat kebisingan yang diacu
masih berupa baku yang longgar dan belum ada sanski berat bagi yang melanggar. Sementara itu
di beberapa negara maju juga dikenal istilah Noise Criteria (NC) yang disarankan untuk
fungsi-fungsi bangunan tertentu.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 Tanggal 25
November 1996, baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan
gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Baku Tingkat Kebisingan
Peruntukan Kawasan / Lingkungan Kegiatan Tingkat Kebisingan (dB)
a. Peruntukan Kawasan
1. Perumahan dan Pemukiman
2. Perdagangan dan Jasa
3. Perkantoran
4. Ruang Terbuka Hijau
5. Industri
6. Pemerintahan dan Fasilitas Umum
- Bandar Udara
- Stasiun Kereta Api
- Pelabuhan Laut
- Cagar Budaya
b. Lingkungan Kegiatan
1. Rumah Sakit atau sejenisnya
2. Sekolah atau sejenisnya
3. Tempat Ibadah atau sejenisnya
70
70
70
60
55
55
55
Sumber : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996
Tabel 2.3 Pembagian Zona-Zona Peruntukan
Zona Peruntukan
Tingkat Kebisingan (dBA)
Maksimum di dalam Bangunan
Dianjurkan Diperbolehkan
A Laboratorium, Rumah Sakit, Panti Perawatan 35 45
B Rumah, Sekolah, Tempat Rekreasi 45 55
D Industri, terminal, Stasiun KA 60 70
Sumber : Per.Men.kes No.781/Menkes/Per/XI/87
2.10 Alat pengukur kebisingan (Sound Level Meter)
Pengukuran kebisingan umumnya dilakukan dengan memakai alat sound level meter atau
dapat dihitung dengan model yang telah dikembangkan. Maka untuk memperkirakan dampak
yang ditimbulkan oleh kebisingan kereta api lebih menitikberatkan pada analisa nilai intensitas
kebisingan ekivalen pada waktu pengukuran dengan beban terpadat dan atau kegiatan lain pada
waktu kondisi puncak atau yang lebih dikenal dengan istilah Leq (equivalent sound level).
SLM adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan, yang terdiri
dari mikrofon, amplifier, sirkuit "affenuator" dan beberapa alat lainnya. Alat ini mengukur
kebisingan antara 30 - 130 dB dan dari frekwensi 20 - 20.000 Hz. SLM dibuat berdasarkan
standar ANSI ( American National Standard Institute ) tahun 1977 dan dilengkapi dengan alat
pengukur 3 macam frekwensi yaitu A, B dan C yang menentukan secara kasar frekwensi bising
tersebut :
1. Jaringan frekwensi A mendekati frekwensi karakteristik respon telinga untuk suara
rendah yang kira-kira dibawah 55 dB.
2. Jaringan frekwensi B dimaksudkan mendekati reaksi telinga untuk batas antara 55 - 85
dB.
Gambar 2.1 Sound level meter type extech
2.11 Pengukuran Tingkat Kebisingan
Pengukuran tingkat kebisingan ditujukan untuk membandingkan hasil pengukuran yang
terukur di lapanagn dalam periode waktu tertentu dengan standar yang telah ditetapkan serta
dapat dijadikan sebuah langkah awal atau bahan pertimbangan untuk pengendalian.Pengukuran
tingkat kebisingan pada suatu area dapat diukur dengan menggunakan Sound Level Meter
(SLM).Untuk mengetahui secara jelas pola kebisingan pada suatu area yang berdekatan dengan
objek yang menghasilkan kebisingan, pengukuran dengan SLM, tidak dapat sekedar dilakukan
sesaat dalam waktu tertentu.Idealnya pengukuran dilakukan selama beberapa saat dalam suatu
periode tertentu.Cara ini penting untuk mendapatkan gambaran pasti terhadap pola kebisingan
sesungguhnya, terutama kebisingan yang muncul secara fluktuatif, seperti kebisingan jalan raya
Menurut Mediastika (2005), pengukuran dengan sistem angka penunjuk yang paling
banyak digunakan adalah angka penunjuk ekuivalen (equivalent index (Leq)). Angka penunjuk
ekuivalen adalah tingkat kebisingan yang berubah-ubah (fluktuatif) yang diukur selama waktu
tertentu, yang tertentu, yang besranya setara dengan tingkat kebisingan tunak(steady) yang
diukur pada selang waktu yang sama. Apabila rentang waktu pengukuran diperpendek, maka
angka penunjuk ekuivalen yang diperoleh lebih tinggi daripada pengukuran dalam rentang waktu
yang lebih panjang. Meskipun menunjukkan hasil yang berbeda, sesungguhnya total energi
sumber bunyi tersebut sama.
Karena tingkat bising yang diukur pada satu sisi jalan berubah dari waktu ke waktu atau
bahkan dari saat ke saat, maka umunya penggunaannya terbatas untuk membentuk tingkat bising
“rata-rata” dengan mengambil tingkat pembacaan tingkat bising untuk beberapa menit dengan
meter tingkat bunyi. Doelle (1993) menyatakan untuk jenis bangunan tertentu (kantor, sekolah,
gereja dan lain-lain) pengukuran tingkat bising eksterior hanya dibutuhkan pada siang hari.
1. Tingkat Bising Sinambung Equivalen (Leq)
Leq adalah suatu angka tingkat kebisingan tunggal dalam beban (weighting Network) A,
yang menunjukkan energi bunyi yang equivalen dengan energi yang berubah-ubah dalam selang
waktu tertentu, secara matematis adalah sebagai berikut :
Leg = 10 Log (1/100 ∑ fi . 10 Li/10) ……… (1)
Dimana :
Leg = Tingkat bising sinambung equivalen dalam dB(A)
fi = Fraksi waktu
Adapun Leg untuk distribusi Gaussian dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Leg = L50 + (L10 – L90) 2 /60 ……… (2)
Dimana :
L10 = Tingkat tekanan suara untuk 10% waktu pengukuran yang dilampaui.
L50 = Tingkat tekanan suara untuk 50% waktu pengukuran yang dilampaui.
L90 = Tingkat tekanan suara untuk 90% waktu pengukuran yang dilampaui.
Konsep Leg digunakan untuk penelitian tentang resiko berkurangnya pendengaran, dan
menurut EPA (Environmental Protection Agency), Besarnya Leg adalah 70 dB(A).
2. Tingkat Polusi Kebisingan (LNP)
Tingkat polusi kebisingan (Noise Polution Level) adalah kriteria kebisingan, yang biasa
digunakan untuk menilai tanggapan manusia terhadap eksposure suatu kebisingan, secara
matematis adalah sebagai berikut :
LNP = Leg + 2,56 σ ……… (3)
Dimana :
Leg = Tingkat bising sinambung equivalent
Sedangkan LNP untuk distribusi Gaussian adalah sebagai berikut :
LNP = L50 + (L10 – L 90)2 /60 + (L10 – L90) ……… (4)
Dari gambaran dan anlisis didapatkan harga sebagai berikut :
LNP 62 dBA = Selalu dapat diterima
62 dBA LNP 74 dBA = Umumnya diterima
72 dBA LNP 82 dBA = Umumnya tidak dapat diterima
LNP 88 dBA = Tidak dapat diterima
3. Indeks Kebisingan Lalu Lintas
Indeks kebisingan lalu lintas adalah angka yang menunjukkan hubungan antara perbedaan
tingkat kebisingan maksimum dan minimum dengan gangguan yang ditimbulkan oleh
kebisisngan lalu lintas.
TNI = 4 (L10 – L90) + L90 – 30 ……… (5)
Dimana :
TNI = Indeks kebisingan lalu lintas
2.12 Faktor yang mempengaruhi tingkat kebisingan kereta api
Beberapa faktor yang diasumsikan sebagai penyebab terjadinya kebisingan dalam memodelkan
tingkat kebisingan kereta api adalah :
1. Jenis lokomotif kereta api
Tenaga yang biasanya digunakan sebagai penggerak kereta api adalah mesin diesel dan
mesin listrik. Untuk menggerakkan kereta api, tenaga yang digunakan berkisar antara
ratusan kilowatt sampai dengan megawatt. Untuk tenaga penggerak mesin listrik tingkat
kebisingan yang dihasilkan biasanya berasal dari suara kipas pendingin yang digunakan.
2. Kecepatan kereta api
Kecepatan merupakan paramater penting dalam menentukan tingkat kebisingan, dimana
semakin tinggi kecepatan maka tingkat kebisingan juga akan semakin tinggi. Hal tersebut
disebabkan karena pada kecepatan tinggi, putaran mesin akan tinggi dan pada putaran
mesin yang tinggi akan menghasilkan suara yang keras.
Pada Perencanaan Konstruksi Jalan Rel (PD 10), kecepatan adalah laju perjalanan yang
biasanya dinyatakan dalam kilometer per jam (km/jam) dan dibagi menjadi empat jenis,
yaitu :
a. Kecepatan perancangan (design speed) adalah kecepatan yang digunakan dalam
perancangan struktur jalan rel dan perancangan geometrik jalan rel.
b. Kecepatan maksimum (maximum speed) adalah kecepatan tertinggi yang diijinkan
dalam operasi suatu rangkaian kereta api pada suatu lintasan. Kecepatan maksimum
ini dapat digunakan untuk mengejar keterlambatan yang terjadi karena
c. Kecepatan operasi (operational speed) adalah kecepatan kereta api pada petak jalan
tertentu. Kecepatan operasi ini tergantung pada kondisi jalan rel dan kereta/kendaraan
rel yang beroperasi di atas jalan rel yang dimaksud.
d. Kecepatan komersial (commercial speed) adalah kecepatan yang dijual kepada
konsumen. Kecepatan komersial ini diperoleh dengan cara membagi jarak tempuh
dengan waktu tempuh.
Kecepatan kereta api umumnya dipengaruhi oleh jenis lokomotif, jumlah rangkaian atau
gerbong yang diangkut, geometrik jalan rel, dan muatan yang dibawa oleh kereta api.
3. Frekuensi kereta/pengoperasian kereta
Semakin banyak frekuensi kereta api yang lewat tentunya akan semakin meningkatkan
tingkat kebisingan dari daerah yang dilalui. Jika tingkat kebisingan pada kendaraan
dipengaruhi oleh kendaraan yang lewat, semakin tinggi volume lalu lintas maka semakin
tinggi tingkat kebisingannya. Hal ini juga dapat digunakan pada moda kereta api,
semakin tinggi frekuensi kereta api yang lewat tentunya akan semakin meningkatkan
kebisingan yang dihasilkan.
4. Panjang rangkaian kereta api
Biasanya setiap rangkaian kereta api yang dibawa oleh satu lokomotif, baik untuk kereta
2.13 Metode survey waktu tempuh kendaraan
Kecepatan adalah jarak yang ditempuh suatu kendaraan dalam satuan waktu.
Metode survey waktu tempuh kendaraan dibagi atas 3 metode yaitu kecepatan setempat (Spot
Speed), kecepatan rata-rata kendaraan selama bergerak (Running Speed) dan kecepatan rata-rata
kendaraan yang dihitung dari jarak tempuh dibagi dengan waktu tempuh (Journey Speed).
• Metode Kecepatan Setempat (Spot Speed)
Survei kecepatan sesaat umunya dilakukan di lokasi yang tepat di jalan yang
dimaksudkan untuk mengukur kecepatan setempat sesaat pada lokasi tertentu dengan
kondisi yang ada saat survey dilakukan.Ada dua jenis pengukuran kecepatan setempat
yaitu pengukuran tidak langsung (metode dua pengamat) dan pengukuran langsung
(menggunakan radar gun speed meter).
Tabel 2.4 Rekomendasi Panjang Jalan untuk Studi Kecepatan Setempat
Perkiraan Kecepatan Rata-Rata Penggal jalan Arus Lalu Lintas (Km/jam) (m)
< 40 25
40 – 65 50
> 65 75
Hasil survey kecepatan dapat dihitung dengan mengunakan rumus :
K = 3,6 J / W
dimana :
K = Kecepatan Setempat (km/jam)
J = Panjang Jalan (m)
2.14 Analisis Korelasi
Metode ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel dan mengukur
kekuatan hubungan antar variabel tersebut. Apabila terdapat hubungan antar variabel maka
perubahan-perubahan yang terjadi pada salah satu variabel akan mengakibatkan perubahan pada
variabel lainnya. Di dalam uji statistik ini, antar sesama peubah bebas tidak boleh saling
berkorelasi, sedangkan antara peubah tidak bebas dengan peubah bebas harus ada korelasi yang
kuat (baik positif maupun negatif). Korelasi yang terjadi antara 2 (dua) variabel dapat berupa :
• Persamaan uji korelasi memiliki nilai r (-1 ≤ r ≤ +1).
• Korelasi positif : apabila nilai r mendekati +1 dimana kedua peubah tersebut saling
berkorelasi positif negatif (peningkatan nilai salah satu peubah akan menyebabkan
peningkatan nilai peubah lainnya).
• Korelasi negatif :apabila nilai r yang mendekati -1 dimana kedua peubah tersebut saling
berkorelasi negatif (peningkatan nilai salah satu peubah akan menyebabkan penurunan
nilai peubah lainnya dan sebaliknya).
• Tidak ada korelasi : apabila nilai r yang mendekati 0 dimana tidak terdapat korelasi
antara kedua peubah tersebut.
Tabel 2.5 Interpretasi nilai koefisien korelasi ( r )
Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 - 0,199 Sangat Rendah
0,20 - 0,399 Rendah
0,40 - 0,599 Sedang
0,60 - 0,799 Kuat
2.15 Analisis Regresi
Algifari (2000) menyatakan bahwa dalam persamaan regresi terdapat dua macam
variabel, yaitu variabel terikat (dependent variabel) dan variabel bebas (independent variabel).
Hubungan antar kedua variabel tersebut akan membentuk suatu hububgan fungsional sebagai
berikut:
Y=f(x1,x2,….,xa)
Analisi regresi merupakan teknik untuk mebangun persamaan yang dapat
menggambarkan hubungan antara dua atau lebih variabel dan menaksir nilai variabel terikat
berdasarkan nlai tertentu dari variabel bebasnya.
Dalam analisis tingkat kebisingan, variabel bebas yang digunakan adalah jumlah
rangkaian dan kecepatan kereta api yang melintas dan analisis regresi linier digunakan untuk
mengembangkan model matematis guna mendapatkan hubungan anatra masing-masing variaebrl
bebas dengan variabel terikatnya. Secara umum model matematis persamaan regresi yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
Y=a0+a1x1+a2x2+ …+anxn
Y = Variabel Terikat
a0 = Konstanta
a1,a2.a3,…an = Koefisien Regresi
2.15.1 Analisis regresi linier sederhana
Menurut Tamin (2000), analisis ini digunakan untuk memprediksi hubungan antara
peubah tidak bebas Y dengan peubah bebas X. Secara umum dapat dinyatakan dalam bentuk
persamaan :
Y = A + B X
dimana :
Y = peubah tidak bebas
X = Peubah bebas
A = intersep atau konstanta regresi
B = koefisien regresi
2.15.2 Analisis regresi linier berganda
Metode analisis regresi digunakan untuk menghasilkan hubungan dalam bentuk numerik
dan untuk melihat bagaimana dua atau lebih variabel-variabel saling berhubungan satu sama lain.
Y = A + B1X1 + B2 X2 + ….. + Bz Xz
dimana :
Y = Peubah tidak bebas
X1….Xz = Peubah bebas
B1…..Bx = Koefisien regresi
Ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan dalam analisis regresi liniear berganda,
yaitu :
• Nilai peubah, khususnya peubah bebas, mempunyai nilai tertentu atau merupakan nilai
yang terdapat dari hasil survey tanpa kesalahan yang berarti.
• Peubah tidak bebas (Y) harus mempunyai hubungan korelasi liniear dengan peubah bebas
(X). Jika hubungan tersebut tidak liniear, tranformasi liniear harus dilakukan, meskipun
batasan ini akan mempunyai implikasi lain dalam analisis residual.
• Efek peubah bebas pada peubah tidak bebas merupakan penjumlahan dan harus tidak ada
korelasi yang kuat antara sesame peubah bebas
• Variasi peubah tidak bebas terhadap garis regresi harus sama untuk semua nilai peubah
bebas
Proses penyeleksian variabel harus sesuai dengan syarat metode analisis regresi linear
berganda dimana variabel bebas yang akandigunakan dalam persamaan adalah yang
mempunyai korelasi dengan kategori sedang-tinggi terhadap variabel terikat.
Di dalam regresi liniear berganda, sesama variabel bebas tidak boleh memiliki nilai
korelasi yang tinggi. Apabila terdapat korelasi yang tinggi antar variabel bebas makan akan
2.15.3 Koefisien determinasi
Uji determinasi ini dilakukan unutk mengetahui hubungan linier antara 2 variabel yang
kita asumsikan memiliki keterkaitan atau keterhubungan yang kuat, apakah kuat atau tidak.
Kalau hubungan variabel terikat y dengan variabel bebas x ternyata tidak memiliki keterkaitan
yang kuat (lemah)
Secara manual, r dapat dicari melalui perumusan berikut :
(
)
r = koefisien korelasi sederhana
x dan y = variabel
n = jumlah pengamatan
Σ = simbol penjumlahan
Koefisien determinasi sederhana (r2) merupakan nilai yang dipergunakan untuk
mengukur besar kecilnya sumbangan / kontribusi perubahan variabel bebas terhadap perubahan
variabel terikat yang sedang kita amati, yang secara manual dapat ditentukan cukup dengan cara
mengkuadratkan nilai r yang sudah kita dapatkan dari formulasi diatas. Dari variabel – variabel
yang telah diolah dengan program SPSS melalui analisis regresi linear maka di dapatkan
lintas sebagai variabel bebas.Setiap model tersebut mempunyai Nilai R Square atau Koefisien
Determinasi atau R2 dapat dilihat pada hasil pengolahan data bagian Model Summary seperti
yang sudah dijelaskan di atas.
2.16 Pengujian Hipotesis persamaan regresi
2.16.1 Uji T
Uji Hipotesis secara Parsial (Uji T) digunakan untuk mengetahui pengaruh signifikan dari
masing-masing (secara parsial) variabel bebas terhadap variabel terikat dengan membandingkan
antara nilai thitung masing-masing variabel dengan ttabel dengan tingkat kepercayaan 5% yang
ditetapkan yang dinyatakandengan menerima atau menolak hipotesis.Apabila thitung lebih kecil
dari ttabel maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima atau dengan kata lain tidak ada pengaruh
dari variabel bebas terhadap variabel terikat dan sebaliknya apabila thitung lebih besar dari ttabel
maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak atau dengan kata lain ada pengaruh dari variabel
bebas terhadap variabel terikat.
Tahap-tahap pengujian sebagai berikut :
1. Hipotesis:
Ho : Variabel terikat secara parsial tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
variabel bebas.
H1 : Variabel terikat secara parsial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
variabel bebas.
2. Menentukan taraf signifikansi dengan kepercayaan 5%.
3. Pengambilan keputusan
Thitung< Ttabel, maka Ho diterima
Thitung> Ttabel, maka Ho ditolak
b. Berdasarkan nilai signifikan, jika
Sig t > 0,05 maka Ho diterima
Sig t < 0,05 maka Ho ditolak
2.16.2 Uji F
Uji Hipotesis secara Serempak (Uji F) digunakan untuk mengetahui pengaruh dari
variabel bebas secara keseluruhan terhadap variabel terikat dengan membandingkan antara nilai
Fhitung dengan Ftabel dengan tingkat kepercayaan 5% yang ditetapkan yang dinyatakandengan
menerima atau menolak hipotesis.Apabila Fhitung lebih kecil dari Ftabel maka dapat disimpulkan
bahwa Ho diterima atau dengan kata lain secara keseluruhan tidak ada pengaruh dari variabel
bebas terhadap variabel terikat dan sebaliknya apabila Fhitung lebih besar dari Ftabel maka dapat
disimpulkan bahwa Ho ditolak atau dengan kata lain secara keseluruhan ada pengaruh dari
variabel bebas terhadap variabel terikat.
Tahap-tahap pengujian sebagai berikut :
1. Hipotesis:
Ho : Variabel terikat secara parsial tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
variabel bebas.
H1 : Variabel terikat secara parsial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
variabel bebas.
2. Menentukan taraf signifikansi dengan kepercayaan 5%.
3. Pengambilan keputusan
Fhitung< Ftabel, maka Ho diterima
Fhitung> Ftabel, maka Ho ditolak
d. Berdasarkan nilai signifikan, jika
Sig F > 0,05 maka Ho diterima
Sig F < 0,05 maka Ho ditolak
2.16.3 Uji Linearitas
Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel mempunyai hubungan
yang linear atau tidak secara signifikan.Uji ini biasanya digunakan sebagai prasyarat dalam
analisis korelasi atau regresi linear.Dua variabel dikatakan mempunyai hubungan yang linear bila
signifikansi (Linearity) kurang dari 0,05.
Langkah-langkah pada program SPSS
1. Masuk program SPSS
2. Klik variable view pada SPSS data editor
3. Pada kolom Decimals angka ganti menjadi 0 untuk variabel x dan y
4. Buka data view pada SPSS data editor
5. Klik Analyze - Compare Means – Means
6. Klik variabel X dan masukkan ke kotak Dependent List, kemudian klik variabel Y
dan masukkan ke Independent List.
7. Klik Options, pada Statistics for First Layer klik Test for Linearity, kemudian klik
Continue