• Tidak ada hasil yang ditemukan

Green marketing dan Green Consumer Behavior di Indonesia jurnal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Green marketing dan Green Consumer Behavior di Indonesia jurnal"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

GREEN MARKETING DAN GREEN CONSUMER BEHAVIOR DI INDONESIA:

SEBUAH STUDI LITERATUR Tania Adialita

Fakultas Ekonomi, Universitas Jenderal Achmad Yani tania.adialita@lecture.unjani.ac.id

ABSTRACT

World population growth, including in Indonesia, influence the rise of consumer's demand on goods or products. However, the enhancement of consumer's demand inadequately followed by the availability of natural resources. Hence, the awareness of environmental issues may encourage several producers or companies in doing their activities, mainly in green marketing, which will be able to support environmental sustainability. This activity is also in line with the rise of consumers' awareness on environmental issues. However, how far the green marketing has been done? And how aware consumers of their role in improving and preserve ecological sustainability? This study portrays the development of green marketing movement also green consumer behavior, particularly in Indonesia. This study also reveals the development of green marketing and green consumer behavior in United States, Japan, and China to provide necessary comparison toward Indonesia. Finding from this study is purposed as information which can be used to address and improve current green marketing strategy to create environmental sustainability in the future.

Keywords: green marketing, green consumer behavior, environment sustainability

ABSTRAK

Seiring dengan pertumbuhan penduduk di dunia, termasuk di Indonesia, tuntutan permintaan akan produk pun semakin meningkat. Namun, pertumbuhan permintaan tersebut tidak sejalan dengan sumber daya alam yang tersedia sehingga keberlangsungan lingkungan terancam. Kesadaran akan isu lingkungan telah mendorong beberapa produsen di beberapa negara melakukan aktivitas pemasaran (green marketing) yang ramah lingkungan guna menjaga keberlangsungan lingkungan (environmental sustainability). Hal ini pun sejalan dengan semakin sadarnya konsumen akan perilaku konsumsi mereka yang dapat mempengaruhi keberlangsungan lingkungan. Tetapi sejauh mana aktivitas pemasaran sudah dilakukan? Dan seberapa sadar konsumen akan pentingnya peranan mereka dalam menjaga lingkungan, terutama di Indonesia? Studi ini menggambarkan perkembangan green marketing dan green consumer behavior di Indonesia dan beberapa negara lainnya seperti Amerika, Jepang dan China sebagai pembanding, guna memberikan informasi untuk dapat digunakan dalam memperbaiki strategi pemasaran hijau yang sudah dilakukan dalam rangka mendukung keberlangsungan lingkungan di masa yang akan datang.

Kata kunci: green marketing, green consumer behavior, environment sustainability

PENDAHULUAN

(2)

terus meningkat. Tetapi, meningkatnya permintaan produk tersebut tidak sejalan dengan ketersediaan bahan baku, seperti ketersediaan minyak bumi untuk bahan bakar atau ketersediaan hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu. Masalah lain pun timbul seperti masalah kerusakan lingkungan dikarenakan limbah industri, limbah konsumsi, kebakaran hutan, dan masalah lingkungan lainnya. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran dalam benak konsumen dan menyebabkan pola konsumsi yang cenderung berubah. Mayoritas konsumen telah menyadari bahwasanya pola konsumsi mereka dapat menimbulkan dampak langsung terhadap banyak sekali masalah lingkungan. Sehingga mereka menerapkan kesadaran tersebut pada pola konsumsi mereka dengan mempertimbangkan isu lingkungan dalam berbelanja, seperti memperhatikan apakah kemasan suatu produk dapat didaur ulang atau tidak (M. Laroche et al., 2001). Situasi tersebut merupakan tantangan bagi pemasar untuk dapat memenuhi permintaan yang terus meningkat dengan tetap bertanggung jawab secara sosial dan bertanggung jawab secara lingkungan, yakni tetap menjaga keberlangsungan atau kelestarian lingkungan (environmental sustainability) (Istantia, Kumadi, & Hidayat, 2016; Nair & Maram, 2015). Beberapa produsen pun mengganti strategi produksi dengan menggunakan bahan baku produksi yang aman bagi lingkungan dan menimbulkan fenomena baru dalam dunia pemasaran yang disebut green marketing atau pemasaran yang ramah lingkungan (Agustin, Kumadji, & Yulianto, 2015). Green marketing mengacu kepada pemasaran holistik dimana aktivitas pemasaran memanfaatkan sumber daya yang terbatas (Anika, 2014), diterapkan perusahaan dan akan memberikan dorongan kepada konsumen yang selektif dalam pembelian produk sehingga produk yang dihasilkan perusahaan yang menerapkan konsep tersebut akan lebih banyak dicari dan disukai oleh konsumen (Agustin et al., 2015). Di Indonesia, kesadaran terhadap lingkungan semakin meningkat, dapat dilihat dari tumbuhnya gerakan seperti hari bumi (earth day), pergi bekerja menggunakan sepeda (bike to work), hari bebas kendaraan (car free day) dan beberapa gerakan yang mendukung kegiatan pelestarian lingkungan maupun gerakan gaya hidup lebih sehat. Dengan didukung oleh pendidikan terhadap lingkungan yang semakin membaik, serta meningkatnya daya beli, Indonesia dapat menjadi pasar potensial bagi pemasar yang ingin menerapkan konsep green marketing. Tetapi, walaupun Indonesia seperti juga beberapa negara Asia lainnya memiliki potensi, informasi mengenai perilaku konsumen hijau (green consumer behavior) masih relatif sedikit dibandingkan dengan di negara-negara maju yang sudah lebih dulu memulai gerakan peduli lingkungan (Lee, 2014).

(3)

informasi untuk mahasiswa jurusan manajemen pemasaran mengenai perkembangan konsep pemasaran yang berbasis lingkungan (green marketing) serta informasi mengenai perubahan perilaku konsumen yang sudah mulai peduli atas dampak pola konsumsi terhadap lingkungan (green consumer behavior) di Asia, khususnya di Indonesia sehingga dapat memberikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi pemasaran di kemudian hari yang tidak hanya menguntungkan secara bisnis tetapi juga mendukung keberlangsungan lingkungan (environmental sustainability).

Keberlangsungan Lingkungan (Environmental sustainability)

John Morelli dari Rochester Institute of Technology, mendefinisikan bahwa “environmental sustainability could be defined as a condition of balance, resilience, and interconnectedness that allows human society to satisfy its needs while neither exceeding the capacity of its supporting ecosystems to continue to regenerate the services necessary to meet those needs nor by our actions diminishing biological diversity” (Morelli, 2011). Artinya, keberlangsungan lingkungan adalah kondisi keseimbangan, ketahanan, dan keterkaitan yang memberikan keleluasaan pada manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa melebihi kapasitas ekosistem pendukung agar dapat terus memenuhi kebutuhannya tanpa memusnahkan keragaman hayati. Proses pemenuhan kebutuhan manusia tersebut tidak terlepas dari aktivitas belanja atau beli membeli. Dan produsen yang menyadari akan keberlangsungan akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan individu (konsumen) untuk waktu yang lama. Hal ini berarti mendesain dan memasarkan produk yang dapat digunakan oleh konsumen secara universal di seluruh dunia tanpa membahayakan baik konsumen maupun lingkungan (sustainable marketing) (Nandini, 2016). Pride dan Ferrell (1993) dalam (Nandini, 2016) mengungkapkan bahwa sustainable marketing juga dikenal sebagai environmental marketing atau green marketing, dan artikel ini akan menggunakan istilah green marketing yang mengacu pada aktivitas pemasaran yang tidak membahayakan lingkungan atau secara luas menjaga keberlangsungan lingkungan (environmental sustainability).

Pemasaran Hijau (Green Marketing)

(4)

lingkungan hidup; (2) Tahap greener, konsep pemasaran yang memiliki tujuan komersialisasi dan mengubah gaya konsumen dalam mengkonsumsi atau memakai produk perusahaan; (3) Tahap greenest, konsep pemasaran yang memiliki tujuan untuk mengubah budaya konsumen kearah yang lebih peduli terhadap sumber daya alam. Berdasarkan tiga tahap tersebut, tidak semua produsen berada pada tahap yang sama. Apakah konsep pemasaran hijau (green marketing) di Asia, khususnya di Indonesia sudah mempraktikan konsep pemasaran yang benar-benar berorientasi lingkungan atau masih dalam tahap pertama, yakni hanya sebatas mengkomunikasikan kepeduliannya terhadap lingkungan sebagai daya tarik pemasaran terhadap konsumen peduli lingkungan? Karena menurut Grant (2007) dalam bukunya “The Green Marketing Manifesto” konsep pemasaran hijau yang benar adalah yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan bukan hanya mencari nilai tambah yang membuat nama produknya terlihat baik (Silvia et al., 2014). Hal tersebut dapat dilihat dari strategi pemasaran perusahaan yang terdiri dari pengambilan keputusan dalam anggaran pemasaran, bauran pemasaran, serta alokasi pemasaran dalam hubungannya dengan kondisi kompetitif dan lingkungan yang diinginkan (Kotler & Keller, 2012).

Adapun bauran pemasaran pada green marketing adalah bauran pemasaran yang harus responsif terhadap masalah lingkungan karena bertujuan untuk kelestarian lingkungan (Agustin et al., 2015; Silvia et al., 2014) yang terdiri dari:

1. Green Product

Produk ramah lingkungan merupakan produk yang mengutamakan keamanan jangka panjang bagi penggunanya dan lingkungan (Istantia et al., 2016) yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi sumber daya dan polusi serta meningkatkan konservasi sumber daya yang langka (Tiwari, Tripathi, Srivastava, & Yadav, 2011).

2. Green Price

Biaya dalam menghasilkan green product yang memiliki kinerja, fungsi, desain, bentuk yang menarik dan menjadi faktor penentu antara nilai produk dan kualitas produk relatif lebih tinggi, seperti pemasangan teknologi baru, mesin, penggunaan sumber daya yang lebih mahal berpengaruh terhadap produk sehingga harga green product lebih mahal dibandingkan produk sejenis yang tidak berkonsep green marketing (Istantia et al., 2016).

3. Green Place

Pilihan saluran green place memilih tempat atau lokasi saluran yang meminimalkan kerusakan lingkungan serta membuat suatu produk tersedia sehingga memiliki dampak signifikan bagi konsumen (Istantia et al., 2016). 4. Green Promotion

Green promotion merupakan gerakan promosi yang membahas hubungan antara produk/ jasa dan lingkungan biofisik, promosi yang mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan dengan menyorot produk atau jasa, dan promosi yang menyajikan citra perusahaan dari tanggung jawab lingkungan (Istantia et al., 2016; Tiwari et al., 2011).

Terdapat tiga tipe green advertising (Nandini, 2016):

• Iklan yang menggambarkan hubungan produk yang diciptakan dengan lingkungan biofisikal.

(5)

• Iklan yang menggambarkan citra perusahaan dengan bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Selanjutnya, seiring dengan meningkatnya kepedulian konsumen akan kelestarian lingkungan, bauran pemaran hijau atau green marketing mix dapat disinergikan kedalam langkah-langkah strategi green marketing. Dibawah ini adalah beberapa strategi green marketing yang dapat diadaptasi (Nandini, 2016):

1. Succesful market segmentation and concentration on selected market segmentation (segmentasi pasar yang terkonsentrasi pada segmentasi pasar terpilih). Perusahaan harus fokus terhadap pasar yang meliputi green consumers.

2. Developing a new generation of green product (mengembangkan generasi baru dari green product). Perusahaan harus mempertimbangkan efek negatif sebuah produk terhadap lingkungan dan berusaha meminimalisasikannya sejak dari tahap awal pengembangan produk. 3. Green Positioning. Perusahaan yang tertarik untuk memposisikan

perusahaannya sebagai perusahaan yang “green” harus memastikan semua kegiatannya sesuai dengan citra yang dikomunikasikan dan tidak melakukan kebohongan termasuk kebohongan melalui media.

4. Applying Green Promotion. Kegiatan promosi perusahaan akan kepedulian terhadap lingkungan akan sia-sia jika aktivitasnya tidk sesuai dengan apa yang dipromosikan.

5. Green Packaging. Perusahaan yang memproduksi dan menggunakan kemasan pada produknya dapat mengganti kemasan produk dengan kemasan ramah lingkungan (eco-friendly). Kemasan tersebut dapat digunakan sebagai alat bantu untuk konsumen yang peduli terhadap lingkungan dalam memilih produk.

6. Deciding about Green Prices. Bersediakah konsumen membayar lebih untuk green product? Penetapan harga merupakan tantangan bagi perusahaan dalam menawarkan green product dikarenakan biaya produksi yang lebih tinggi dari produk biasa.

7. Applying “green” logistics. Mendesain kemasan yang efisien selain dapat memudahkan proses distribusi produk juga dapat mengurangi sampah dalam jumlah besar.

8. Changing the attitude towards waste. Menggunakan kemasan yang dapat didaur ulang dapat menciptakan pasar baru karena limbah produksi yang dapat didaur ulang dapat menjadi bahan baku untuk perusahaan lain.

Beberapa strategi green marketing lainnya yang tidak kalah penting juga diungkapkan oleh B. Nandini, yakni (Nandini, 2016):

1. Being genuine. Perusahaan yang sungguh-sungguh melakukan bisnis yang mengkampanyekan green marketing, seluruh kebijakan bisnis yang dirumuskannya pun secara konsisten mendukung segala aktivitas perusahaan yang mencerminkan kegiatan ramah lingkungan.

(6)

3. Give your customers an opportunity to participate. Menciptakan manfaat personal dengan melibatkan konsumen dalam kegiatan pelestarian lingkungan.

4. Know your customer. Hal pertama yang harus dilakukan oleh perusahaan sebelum menjual produknya adalah memastikan bahwa konsumen yang dituju adalah konsumen yang menyadari dan peduli terhadap isu yang ingin diatasi oleh perusahaan.

5. Empower consumers. Memastikan bahwa konsumen merasakan sendiri, maupun bersama-sama dengan konsumen lainnya dapat menciptakan perubahan. Pemberdayaan konsumen tersebut dapat merupakan alasan utama mengapa konsumen bersedia membeli green product.

6. Be transparent. Konsumen harus memiliki kepercayaan terhadap legitimasi perusahaan dalam mengkomunikasikan produk yang dihasilkan. Maka dari itu, perusahaan harus mengungkapkan informasi penting terkait untuk mencipatakan ekonomi ramah lingkungan.

Perilaku Konsumen Hijau (Green Consumer Behavior)

Sebagaimana diungkapkan pada strategi pemasaran di atas, bahwa perusahaan perlu untuk mengetahui konsumennya sebelum meluncurkan produknya (Nandini, 2016), maka pemasar perlu mengetahui ciri dari perilaku konsumen yang peduli terhadap lingkungan (green cosumer behavior). Menurut Engel, “a consumer behavior is an action that direct involved to get things, consumptions, and to use those things (product or services), including decision process before and follow that decision” (Engel & Blackwell, 1982). Maksudnya, perilaku konsumen adalah aksi yang secara langsung mempengaruhi bagaimana mendapatkan sesuatu, konsumsi, dan bagaimana menggunakan produk tersebut (produk dan jasa), termasuk proses sebelum dan sesudah memutuskan. Menurut Ujang Sumarwan (2011), perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi (Sumarwan, 2011). Lalu apa yang membedakan perilaku konsumen hijau (green consumer behavior) dengan konsumen lainnya?

(7)

proses produksi, kemasan, penggunaan, dan pembuangan produk (Lampe & Gazda, 1995). Green consumer didefinisikan sebagai mereka yang secara aktif mencari dan mendukung produk yang memuaskan kebutuhan mereka dan memiliki dampak yang paling kecil terhadap lingkungan (Ottman, 1995). Jika mereka dihadapkan kepada pilihan antara dua produk yang identikal, mereka akan lebih memilih produk yang ramah lingkungan (Pickett-Baker & Ozaki, 2008). Sedangkan environmental consumerism didefinisikan sebagai konsumen yang sadar akan kekhawatiran ekologi dan berusaha untuk melindungi dirinya dan planet bumi dengan membeli lebih banyak produk yang tidak memiliki dampak ekologi pada proses produksinya (Ottman, 1995). Dilandasi oleh kepedulian terhadap lingkungan tersebut, perilaku dari green consumer berbeda dengan konsumen pada umumnya (green consumer behavior).

Penelitian-penelitian terdahulu perihal green consumer behavior fokus terhadap perilaku yang dapat mengurangi sumber daya dan penggunaan energi (Gardner & Stern, 2002). Istilah “green” umumnya digunakan secara bergantian dengan istilah “pro-environmental” atau “eco-friendly” (Siringi, 2012). Tetapi, dikarenakan perbedaan definisi antara “green” dan “environment”, maka istilah-istilah tersebut digunakan untuk tujuan yang berbeda. Istilah “green” digunakan ketika hendak mengindikasikan kepedulian terhadap lingkungan fisik seperti udara, air, dan tanah (physical environment) (Siringi, 2012). Maka, “green consumer” adalah seorang individu yang perilakunya dipengaruhi oleh kepeduliannya terhadap lingkungan dan hal tersebut dicerminkan oleh bagaimana individu tersebut mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan membuang produk. Perilaku tersebut disebut “green consumer behavior” (Siringi, 2012). Sedangkan, sikap kepedulian terhadap lingkungan dijelaskan oleh Axelrod dan Lehman (1993) dalam (Andrew & Slamet, 2013), environmental behavior adalah “action which contribute towards environmental preservation and or conservation”. Action yang dimaksud mengacu pada proses dalam melakukan sesuatu, sedangkan contribute maksudnya adalah bergabung dengan yang lain untuk memberikan sesuatu (bantuan, uang, ide, dsb), maka dapat disimpulkan bahwa environmental behavior merupakan satu perilaku maupun tindakan yang berkontribusi dan memiliki dampak yang positif akan pelestarian lingkungan, sistem bumi, dan sumber daya alam. Perilaku konsumen yang peduli lingkungan akan mempengaruhi keinginannya untuk mengkonsumsi produk yang ramah lingkungan (Andrew & Slamet, 2013). Lebih rinci, environmental behavior seseorang ditentukan oleh tujuh variabel (Lee, 2008) yaitu:

1. Environmental attitude (sikap terhadap lingkungan) yang mengacu pada penilaian kognitif individu terhadap nilai dari perlindungan lingkungan (Lee, 2008).

2. Environmental concern (kepedulian terhadap lingkungan), yaitu tingkatan dari keterlibatan secara emosional dalam isu-isu lingkungan (Lee, 2008). 3. Perceived seriousness of environmental problems (pemahaman mengenai

(8)

mengungkapkan bahwa media, dalam hal ini diyakini memegang peranan besar dalam mengajarkan keseriusan dari masalah lingkungan.

4. Perceived environmental responsibility (pemahaman mengenai tanggung jawab atas lingkungan). Lai (2008) dalam (Andrew & Slamet, 2013) mengungkapkan, pengetahuan seseorang akan lingkungannya menjadi faktor yang menentukan seberapa pahamnya ia akan tanggung jawabnya terhadap lingkungan.

5. Perceived effectiveness of environmental behavior (pemahaman mengenai keefektifan dari perilaku lingkungan). Apabila seorang individu berpandangan bahwa keterlibatannya dalam kegiatan yang pro lingkungan akan memberikan perubahan yang besar dalam lingkungan, maka ia akan melakukan aktivitasnya dengan mempertimbangakn masalah lingkungan. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap environmental behavior – nya (Andrew & Slamet, 2013).

6. Perceived self-image in environmental protection (pemahaman mengenai self-image dalam perlindungan lingkungan). Ketika seseorang ingin menunjukkan jati dirinya, ia akan merfleksikannya dalam tindakannya. Sama halnya dalam kepedulian terhadap lingkungan, maka ia akan melakukan segala kegiatannya dengan menunjukkan bahwa ia peduli terhadap masalah lingkungan melalui kegiatan yang dilakukannya (Andrew & Slamet, 2013).

7. Peer influence (pengaruh teman sebaya). Pengaruh teman sebaya menjadi faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi dalam mempengaruhi perilaku pembelian seseorang. Jika seseorang tidak berperilaku sama dengan teman sebayanya, maka kemungkinan besar ia akan diperlakukan berbeda oleh lingkungan terdekatnya. Maka, ia akan berusaha untuk berperilaku sama dengan rekan sebayanya atau teman sepergaulannya (Lee, 2008).

Segmentasi Konsumen Peduli Lingkungan

Adapun segmentasi konsumen yang peduli terhadap lingkungan (Das, Dash, & Padhy, 2012):

1. True blue greens (30%): True blues adalah aktivis lingkungan. Mereka memiliki karakteristik memiliki pengetahuan mendalam perihal isu lingkungan. Dibandingkan dengan konsumen rata-rata, true blues lebih menunjukan perilaku sadar lingkungan, seperti peduli terhadap proses daur ulang dari sebuah produk maupun kemasan.

2. Greenback greens (10%): Mereka tidak sepenuhnya memiliki waktu untuk melakukan seluruh aktivitas pelestarian lingkungan, tetapi mereka masih memiliki kecenderungan untuk membeli green product.

3. Sprouts (26%): Konsumen yag cukup peduli terhadap lingkungan, tetapi hanya yang berhubungan dengan kebutuhan dirinya. Maka, mereka akan membeli produk yang ramah lingkungan selama produk tersebut sesuai dengan kebutuhannya.

(9)

5. Apathetics (18%). Apathetics tidak cukup peduli dengan lingkungan dan mereka juga percaya bahwa ketidakpedulian terhadap lingkungan merupakan hal yang umum (mainstream).

Berdasarkan literatur-literatur yang sudah dijabarkan perihal environmental sustainability, green marketing, dan green consumer behavior, artikel ini hendak menggambarkan perkembangan green consumer behavior dan strategi green marketing seperti apa yang sudah dilakukan dalam pasar green consumers di Asia, khususnya di Indonesia dengan mengacu pada beberapa penelitian-penelitian yang sudah dilakukan.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah tinjauan pustaka dengan menggunakan data sekunder yang diambil dari jurnal akademik serta material yang relevan dengan judul artikel. Teknis pencarian jurnal adalah sebagai berikut:

• Pencarian jurnal akademik menggunakan google scholar dengan kata kunci (key word) green marketing, environmental sustainability, green consumers dan green consumer behavior.

• Artikel-artikel yang ditemukan dipilah dengan mengacu pada abstrak, kata kunci, hasil penelitian dan kesimpulan guna mendapatkan pengertian perihal konsep dan teori, serta informasi lainnya tentang green marketing dan green consumer behavior yang dibutuhkan dalam menyusun artikel ini.

• Jurnal nasional yang dipilih adalah jurnal yang menggambarkan situasi green marketing dan green consumer behavior di Indonesia, sedangkan jurnal internasional dipilih untuk menggambarkan green marketing di Amerika, Jepang dan China.

• Rentang waktu yang digunakan berkenaan dengan perkembangan green marketing dan perkembangan green consumer behavior adalah tahun 2013 sampai dengan tahun 2015. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya penelitian tentang kedua topik tersebut baik masa lampau dan yang terkini, khususnya di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lebih dari 10 tahun terakhir, pasar produk organik meningkat mendekati 240%, sedangkan pasar produk tradisional meningkat 33%. Selain itu, praktik usaha konstruksi tradisional turun sebesar17%, sedangkan pembangunan green building meningkat mendekati 1700% (Green America, 2013). Angka ini cukup membenarkan pernyataan mengenai pasar yang berubah menjadi hijau (green) (Duquesne University, 2010).

Seiring dengan bergesernya pasar, green products dan service memiliki kesempatan yang luas (Ottman, 1993). Tetapi untuk memanfaatkan dan mengarahkan potensi tersebut merupakan tantangan yang tidak mudah, terutama untuk mempertahankan green product tetap berada pada pilihan utama dan pertama dalam benak konsumen hijau (green consumers) (Banerjee, 2016).

Perkembangan Green Consumer Behavior di Amerika, Asia dan Indonesia 1. Perkembangan Green Consumer Behavior di Amerika Serikat

(10)

12% dari populasi di Amerika bisa diidentifikasikan sebagai True Greens, konsumen yang aktif mencari dan membeli green products. 68% lainnya diklasifikasikan sebagai Light Greens (Banerjee, 2016) atau Greenback Greens (Das et al., 2012), konsumen yang sesekali membeli green product, dan menurut Mintel, Research Director dari David Lockwood dalam (Banerjee, 2016) , hal ini adalah poin kontak yang belum terlayani meskipun sejak tahun 1989 sampai dengan tahun 2016, konsumen Amerika semakin bersedia untuk membayar lebih untuk green products. Mulai dari 67% bersedia membayar 5 – 10% lebih mahal, kemudian meningkat di tahun 1991 dengan bersedia membayar 15 – 20% lebih mahal, dan di tahun 2016 lebih dari sepertiga warga Amerika bersedia membayar lebih untuk green products (Banerjee, 2016).

2. Perkembangan Green Consumer Behavior di Asia

Pada studi ini, Jepang dan China terpilih menjadi perwakilan negara untuk menggambarkan pergerakan green consumers di Asia. Jepang merupakan negara maju yang sudah melakukan gerakan pro-lingkungan sebelum negara lainnya di Asia melakukannya, dimana pada tahun 2000, Jepang menerbitkan “Law on Promoting Building a Cyclic Society” untuk mempromosikan organisasi publik dan organisasi internasional agar memimpin gerakan pembelian hijau (green purchasing), dalam rangka memfasilitasi pemberian informasi perihal produk yang dapat memelihara lingkungan dan untuk menciptakan masyarakat yang mengembangkan keberlangsungan lingkungan (Hongwei, 2012). Sedangkan China adalah negara yang dianggap sebagai elemen penting dalam proses rantai pasokan dunia dalam pasar konsumen, sedang menghadapi kekhawatiran berkaitan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, dimana perusahaan-perusahaan di China mengalami tuntutan untuk mengatasi masalah lingkungan yang bisa menjadi elemen penting terhadap perubahan sosial di China (Zhu & Sarkis, 2015).

Jepang

Kampanye hijau (green campaign) di Jepang menekankan pada beberapa hal di bawah ini (Hongwei, 2012):

• Kepentingan meninjau pembelian yang dapat mengurangi beban lingkungan, yang berarti bahwa bukan hanya faktor ekonomi seperti kualitas dan harga yang dipertimbangkan dalam proses pembelian, melainkan memprioritaskan produk dan jasa yang ramah lingkungan.

• Jepang telah mengadopsi sistem label (eco-labeling) perlindungan lingkungan untuk memberikan informasi yang sederhana dan terarah untuk meningkatkan pembelian hijau (green purchasing), dan Eco-labeling pada produk yang dikonsumsi oleh konsumen memiliki pengaruh positif terhadap konsumsi ramah lingkungan.

(11)

perkembangan sosial, sekitar setengah dari mereka cenderung tidak terlalu peduli terhadap lingkungan, sehingga proporsi konsumen yang mengimplementasikan perilaku peduli lingkungan tanpa motivasi ekonomi, seperti pembelian produk dengan eco-label, belanja pada toko-toko yang ramah lingkungan dan membeli produk dengan kemasan minimal, masih relatif rendah (Hongwei, 2012).

China

Beberapa tahun ke belakang, konsumen hijau (green consumers) dan keberlangsungan lingkungan hidup telah menerima perhatian dari pemerintah China, publik, dan media masa. Studi konsumerisme hijau di China (Chinese green consumerism study) mengkonfirmasi bahwa (Zhu & Sarkis, 2015):

• Perbedaan jenis kelamin dalam mempertimbangkan isu lingkungan masih belum menunjukkan perbedaan yang jelas. Beberapa penelitian menemukan pria lebih peduli terhadap lainnya, tetapi beberapa penelitian lainnya menemukan sebaliknya, dimana wanita lebih peduli terhadap lingkungan, dan ada penelitian yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti.

• Dalam kaitannya dengan status pernikahan, di China, pasangan lebih aktif dalam praktik hijau (green practice).

• 25 tahun adalah usia rata-rata yang berkomitmen terhadap lingkungan.

• Terdapat hubungan positif antara sikap terhadap lingkungan (green attitudes) dengan level edukasi individual.

• Konsumen yang memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung memiliki pengetahuan lebih mengenai isu lingkungan.

• Konsumen hijau (green consumers) cenderung memiliki posisi tinggi di perusahaan. Manajer dan jajaran eksekutif memiliki sikap pro-lingkungan yang lebih kuat.

Walaupun secara demografi terungkap perihal karakteristik green consumers di China, tetapi penelitian lebih jauh tentang karakter psikografis green consumers China belum ada, sehingga informasi yang lebih rinci perihal green consumer behavior masyarakat China masih perlu diteliti lebih lanjut sehingga dapat menggambarkan gambaran yang lebih jelas (Zhu & Sarkis, 2015).

3. Perkembangan Green Consumer Behavior di Indonesia

Salah satu tren yang sedang berkembang, terutama diantara pengecer-pengecer di Indonesia adalah praktik ramah lingkungan (eco-friendly), seiring dengan kesadaran konsumen yang meningkat perihal isu lingkungan global. Supermarket-supermarket besar seperti Giant dan Hero mendorong konsumennya untuk menggunakan karton dan kantong plastik jenis biodegradable1 (International Markets Bureau, 2011). Perkembangan tren eco-shopping pun diharapkan untuk terus berlanjut, terutama konsumen

1

(12)

tingkat menengah dan menengah-atas yang terus mencari pilihan produk ramah lingkungan (eco-friendly) (International Markets Bureau, 2011).

Biro Pasar Internasional (International Markets Bureau) dari Agriculture and Agrifood Canada juga melaporkan bahwa konsumen Indonesia, terutama kelas menengah dan menengah atas juga mengalami peningkatan kesadaran akan kesehatan (International Markets Bureau, 2011). Euromonitor International (2007) dalam (International Markets Bureau, 2011) melaporkan, meskipun berdasarkan karakter demografi Indonesia, daya beli masyarakatnya untuk membeli produk premium masih menjadi minoritas, tetapi angkanya dapat mencapai sepuluh juta orang, sehingga konsumen Indonesia dianggap cukup signifikan sebagai konsumen produk premium (International Markets Bureau, 2011).

Dari sisi perilaku konsumen, berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2013 tentang environmental behavior, terungkap bahwa keputusan pembelian konsumen di Indonesia diwakili oleh responden di kalangan anak muda generasi C2 pada green product dipengaruhi oleh teman/ kerabat sebayanya (peer influence) (Andrew & Slamet, 2013). Hal ini diungkapkan pula oleh (Lee, 2008), bahwa peer influence merupakan faktor yang penting bagi generasi muda dalam mempengaruhi environmental behavior mereka. Sedangkan keenam varabel lain, yakni environmental attitude, environmental concern, perceived seriousness of environmental problems, perceived environmental responsibility, perceived effectiveness of environmental behavior dan concern for self-image in environmental protection menunjukan hasil yang tidak signifikan. Akan tetapi, variabel environmental attitude dan perceived environmental responsibility nilainya mendekati signifikan. Hal ini diperkirakan karena tingkat pengetahuan seseorang akan masalah lingkungan. Penelitian di tahun 2014 memperkuat temuan tersebut, responden wanita yang telah menikah, berdomisili di kota besar di pulau Jawa, Indonesia (Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya), mengenyam pendidikan tinggi, memiliki pekerjaan dan memiliki pendapatan keluarga tergolong menengah ke atas (diatas Rp. 9.000.000,00), adalah responden yang memiliki pengatahuan cukup baik akan green product khususnya produk organik. Diungkapkan bahwa pengetahuan organik secara positif dan signifikan memiliki pengaruh terhadap sikap pada makanan organik. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pengetahuan lingkungan dari konsumen maka semakin baik sikap pada green product, sebaliknya semakin rendah tingkat pengetahuan lingkungan dari konsumen maka semakin buruk sikap pada green product, khususnya produk organik (Wijaya, 2014).

Dan yang terkini dari penelitian di tahun 2015, dengan 501

2

(13)

responden mahasiswa di tiga kota besar di Indonesia, tentang green consumer behavior, terungkap tujuh faktor yang mempengaruhi pembelian produk yang tergolong green. Ketujuh faktor tersebut adalah nilai personal (personal value), motivasi internal, referensi, kemasan, label, komunitas dan informasi eksternal. Diutarakan, sebagai aktor potensial di masa depan, sebagai target pasar maupun sebagai pemasar, kesadaran generasi muda Indonesia akan konsumsi green products akan secara positif memberikan kontribusi dalam membangun gaya hidup pro lingkungan (Widjojo & Yudianto, 2015).

Perkembangan Green Marketing di Amerika, Asia, dan Indonesia 1. Perkembangan Green Marketing di Amerika Serikat dan Asia:

Amerika Serikat danJapan

Di Amerika, perkembangan green marketing didorong oleh regulasi dari pemerintah. Sejak tahun 1990 Federal Trade Commission dan National Association of Attorneys-General telah mengembangkan dokumen yang berkaitan dengan isu green marketing (Polonsky, 1994). Sehingga banyak perusahaan menyadari bahwa mereka adalah anggota dari komunitas yang sangat luas sehingga mereka harus mencapai tujuan yang dapat melindungi lingkungan seiring dengan mencapai profit. Alhasil, perusahan-perusahaan tersebut mengintegrasikan isu lingkungan ke dalam budaya perusahaan (Polonsky, 1994). Sedangkan lebih spesifik, aktivitas menjaga keberlangsungan lingkungan di Jepang ditandai dengan banyaknya produsen-produsen yang mempromosikan isu lingkungan sebagai bagian dari green marketing. Sebagai salah satu produsen elektronik terbesar didunia, Jepang dikenal sudah menggunakan eco-label untuk memberikan pengaruh positif terhadap konsumsi produk ramah lingkungan (Hongwei, 2012). Pada tahun 2007, produk Jepang yang menggunakan eco-label mencapai 4,600 merek. Tetapi kebanyakan dari merek tersebut adalah merek untuk pasar bisnis, sehingga tidak banyak juga produk eco-label yang dibeli oleh konsumen akhir.

China

Menurut Holslag (2015) dalam (Zhu & Sarkis, 2015), perusahaan-perusahaan di China telah meningkatkan keinginan mereka untuk mejaga posisi saing mereka dengan mulai memasukan isu ligkungan yang terukur (Qi et al., 2011). Contohnya, industri mobil mensyaratkan pemasok bahan baku maupun komponen mereka untuk disertifikasi ISO 140013. Sertifikat ISO 14001 juga digunakan sebagai indikator apakah suatu perusahaan serius menanggapi isu lingkungan sehingga dapat digunakan untuk tujuan pemasaran industri maupun konsumen (Zhu & Sarkis, 2015). Sedangkan dari sisi strategi pemasaran, perkembangan green marketing di China adalah sebagai berikut:

3

(14)

Product – literatur yang ditelaah oleh (Zhu & Sarkis, 2015) mengungkapkan bahwa green product yang ditawarkan termasuk produk yang menghemat energi, menghemat air, menghemat biaya, bersifat organik, dan menggunakan bahan kimia alami selain produk eco-design.

Price – menurut Mohanasundaram (2012) dalam (Zhu & Sarkis, 2015) terdapat tiga hal yang dipertimbangkan ketika menentukan green pricing, yakni orang (people), planet, dan keuntungan (profit) atau disingkat 3P. Belum banyak literatur yang membahas masalah harga untuk green products, tetapi situasi di China dapat mendorong strategi harga yang berbeda dikarenakan lingkungan yang unik, masalah geografi, dan sosio-politik (Zhu & Sarkis, 2015).

Place – Strategi distribusi berdasarkan perspektif pemasaran yang berkenaan dengan isu green sangatlah terbatas, terutama penelitian pada pemasaran hijau di China sehingga distribusi industri China (Zhu & Sarkis, 2015). Sehingga strategi distribusi, selain daripada logistik dan material bergerak, membutuhkan investigasi mendalam.

Promotion – green advertising di China masih pada perkembangan awal dimana hanya beberapa yang fokus terhadap green consumers. Hal ini merefleksikan masih terbatasnya penelitian pada area ini sehingga penelitian di masa yang akan datang khususnya pada efektivitas pesan promosi dan edukasi pelanggan dapat lebih dikembangkan (Zhu & Sarkis, 2015).

2. Perkembangan Green Marketing di Indonesia

Indonesia merupakan negara le-124 dari lebih 140 negara yang meratifikasi Protokol Kyoto dan merupakan salah satu negara pendukung Copenhagen Accord yang merupakan hasil dari KTT ke-15 Perubahan Iklim dari United Nation for Climate Change Conference (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, bulan Desember 2009. Indonesia telah mentargetkan penurunan emisis gas rumah kaca 26% pada 2020 dengan berbagai program mitigasi (Retnawati, 2011). Dalam mencapai target tersebut, sebagai bagian dari strategi green marketing, merek (brand) merupakan hal penting untuk dikelola sebagai elemen yang dapat direferensikan sebagai merek yang telah menyeimbangkan antara kebutuhan produk sekaligus kepedulian pada lingkungan. Maka dari itu, green branding seharusnya diasosiasikan sebagai produk dengan konservasi lingkungan (environmental conservation) dan menjadi praktek bisnis yang berkelanjutan (sustainable business) (Retnawati, 2011). Dalam merespon isu lingkungan dan kesadaran konsumen akan pentingnya menjaga lingkungan yang secara bertahap meningkat, beberapa produsen di Indonesia melakukan strategi-strategi dibawah ini (Retnawati, 2011):

a. Menciptakan produk dengan karakter dan komposisi yang berdampak lingkungan kecil.

b. Penggunaan bahan mentah dengan lebih efisien dengan menggunakan bahan-bahan daur ulang secara masif.

(15)

terjadinya krisis energi.

d. Peningkatan daya tahan produk.

Selain itu, dari industri minuman ringan sebagai industri yang data pertumbuhannya berkembang dari tahun ke tahun sebagai tuntutan gaya hidup manusia yang menuntut kepraktisan dan menyebabkan sebagian besar produk minuman siap minum dikemas dalam botol plastik, melakukan aktivitas go green dengan mengemas menggunakan kemasan botol kaca (returnable glass bottling). Kemasan tersebut dapat digunakan untuk mengemas kembali setelah produk dikonsumsi (recycle) dan bisa digolongkan menjadi produk yang ramah lingkungan (eco-friendly). Ciri-ciri go green4 yang dilakukan di Indonesia menurut Shamdasami et al (1993) dalam (Sumarsono & Giyatno, 2012), yaitu menggunakan komponen yang aman, tidak beracun, dapat diaur ulang serta menggunakan kemasan yang ramah lingkungan untuk mengurangi dampak negatif konsumsi produk terhadap lingkungan. Sedangkan dari sektor jasa, dalam studi ini, industri pariwisata dipilih menjadi salah satu objek untuk melihat perkembangan aktivitas green marketing di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar untuk destinasi wisata yang dapat berdampak positif bagi masayrakat. Tetapi banyak dari pengelola industri ini tidak mengindahkan keterbatasan sumber daya, kelestarian lingkungan, pengembangan kualitas hidup, budaya dan kesejahteraan masyarakat lokal, sehingga kerusakan lingkungan banyak terjadi dimana-mana. Terungkap, bahwasanya di Indonesia masih sangat jarang sekali perusahaan mengklaim untuk menjadi perusahaan yang ramah lingkungan dan memanfaatkan ide tersebut untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar (Setiaji, 2014). Selain itu, pengetahuan konsumen tentang pentingnya keberlangsungan lingkungan juga akan mempengaruhi keberhasilan program go green di Indonesia, sehingga beberapa strategi masih perlu dilakukan dalam rangka mempromosikan green marketing. Diantaranya selain menciptakan serta menggunakan menggunakan komponen yang ramah lingkungan, produsen dapat mencantumkan label ramah lingkungan (eco-labelling) dalam melakukan standarisasi, sertifikasi serta komunikasi bahwa produk yang ditawarkan masuk ke dalam klasifikasi ramah lingkungan (Septifani, Achmadi, & Santoso, 2014).

KESIMPULAN

Dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Amerika, Jepang dan China, aktivitas green marketing serta perilaku konsumen yang pro-lingkungan (green consumer behavior) di Indonesia masih relatif lebih sedikit atau rendah. Berdasarkan beberapa literatur yang digunakan pada studi ini, beberapa faktor turut mempengaruhi, diantaranya yang paling penting adalah kesadaran konsumen akan pentingnya peran mereka dalam menjaga keberlangsungan lingkungan dengan mengubah perilaku konsumsi mereka. Kesadaran konsumen akan timbul dan

4

(16)
(17)

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, R. D., Kumadji, S., & Yulianto, E. (2015). PENGARUH GREEN MARKETING TERHADAP MINAT BELI SERTA DAMPAKNYA PADA KEPUTUSAN PEMBELIAN ( Survei Pada Konsumen Non-Member

Tupperware Di Kota Malang ). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), 22(2), 1– 10. Retrieved from administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id

Andrew, & Slamet, F. (2013). Pengaruh Environmental Behavior Terhadap Green Purchasing Behavior Pada Anak Muda Generasi C Di Jakarta. Peran

Perbankan Syariah Dalam Penguatan Kapasitas Umkm Menuju Kemandirian Ekonomi Nasional, 1993(April), 10–20.

Anika. (2014). A Survey on Green Marketing. International Journal of

Engineering Sciences Paradigms and Researches, 15(1), 37–42. Retrieved from www.ijesonline.com

Banerjee, S. (2016). Environmental Marketing ( Green Marketing Rudiments ). IOSR Journal of Business and Management, 69–74.

Das, S. M., Dash, B. M., & Padhy, P. C. (2012). Green Marketing Strategies for Sustainable Business Growth. Journal of Business Management & Social Sciences Research, 1(1), 82–87. Retrieved from

http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.829.5447&rep=rep 1&type=pdf

Duquesne University. (2010). Green marketing. Pittsburgh, Pennsylvania, United States of America: Duquesne University: Center for Green Industries and Sustainable Business Growth of Duquesne University, Pittsburgh, PA. http://doi.org/10.1108/02580540810868041

Engel, J. F., & Blackwell, R. D. (1982). Consumer behavior. Dryden Press. Retrieved from

https://books.google.co.id/books/about/Consumer_Behavior.html?id=aHsHN CvBpecC&redir_esc=y

Gardner, G. T., & Stern, P. C. (2002). Environmental problems and human behavior. Pearson Custom Pub.

Green America. (2013). The Big Green Opportunity For Small Businesses in the US 2013.

Hongwei, D. (2012). Environment Policy and Consumer Behavior in Japan (The 6th Consortium on Global perspectives in Japanese Studies: International Workshop “Consumption and Consumerism in Japanese Culture”). 比較日

本学教育研究センター研究年報, 8(1), 165–170. Retrieved from

http://teapot.lib.ocha.ac.jp/ocha/bitstream/10083/51900/1/26_165-170.pdf International Markets Bureau. (2011). The Indonesian Consumer Behaviour ,

Attitudes and Perceptions Toward Food Products. Ottawa. Istantia, S., Kumadi, S., & Hidayat, K. (2016). PENGARUH GREEN

MARKETING TERHADAP CITRA MEREK DAN KEPUTUSAN PEMBELIAN ( Survei pada Pengguna Produk Ramah Lingkungan Lampu Philips LED di Perum Kepanjen Permai 1, RW 4, Desa Talangagung, Kec. Kepanjen, Malang, Jawa Timur). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), 32(1), 174–182.

(18)

Kusminah, I. L. (2018). Penyuluhan 4r ( Reduce , Reuse , Recycle , Replace ) dan Kegunaan Bank Sampah Sebagai Langkah Menciptakan Lingkungan yang Bersih dan Ekonomis di Desa Mojowuku Kabupaten Gresik. Jurnal Pengabdian Masyarakat LPPM Untag Surabaya, 3(1), 22–28.

Lampe, M., & Gazda, G. M. (1995). Green marketing in Europe and the United States: An evolving business and society interface. International Business Review, 4(3), 295–312. http://doi.org/10.1016/0969-5931(95)00011-N Lee, K. (2008). Opportunities for green marketing: young consumers. Marketing

Intelligence & Planning, 26(6), 573–586. http://doi.org/10.1108/02634500810902839

Lee, K. (2014). Predictors of Sustainable Consumption among Young Educated Consumers in Hong Kong. Journal of International Consumer Marketing, 26(3), 217–238. http://doi.org/10.1080/08961530.2014.900249

Lloyd’s Register LRQA. (2015). Sertifikasi ISO 14001 (EMS) - LRQA Indonesia | LRQA Indonesia. Retrieved August 7, 2017, from

http://www.id.lrqa.com/standards-and-schemes/iso14001/

M. Laroche, J. Bergeron, G.Barbaro-Forleo, Laroche, M., Bergeron, J., &

G.Barbaro-Forleo. (2001). Targeting consumers who are willing to pay more for environmentally friendly products. Journal of Consumer Marketing, 18(6), 503–520.

Morelli, J. (2011). Environmental Sustainability: A Definition for Environmental Professionals. Journal of Environmental Sustainability, 1(1), 1–27.

http://doi.org/10.14448/jes.01.0002

Nair, S. R., & Maram, H. K. (2015). Towards Sustainable Consumption:

Analyzing Green Consumer Behaviour Towards Sustainable Consumption: Analyzing Green Consumer. In Contemporary Issues and Emerging Trends (pp. 1–13). SDMIMD Mysuru.

Nandini, B. (2016). GREEN MARKETING A WAY TO SUSTAINABLE

DEVELOPMENT. Anveshana’s International Journal Reserach in Regional Studies, Law, Social Science, Journalism and Management, 1(5), 20–26. Ottman, J. A. (1993). Green marketing. McGraw-Hill.

Ottman, J. A. (1995). Green marketing. Chicago: Ntc Pub. Group.

Pickett-Baker, J., & Ozaki, R. (2008). Pro-environmental products: marketing influence on consumer purchase decision. Journal of Consumer Marketing, 25(5), 281–293. http://doi.org/10.1108/07363760810890516

Polonsky, M. J. (1994). Peer Reviewed Title: An Introduction To Green Marketing Author: Polonsky , Michael Jay , University of Newcastle Publication Date: Publication Info: Electronic Green Journal , UCLA Library , UC Los Angeles Permalink: Abstract: The scope and importan. Electronic Green Journal, 1(2).

Qi, G. Y., Zeng, S. X., Tam, C. M., Yin, H. T., Wu, J. F., & Dai, Z. H. (2011). Diffusion of ISO 14001 environmental management systems in China: Rethinking on stakeholders’ roles. Journal of Cleaner Production, 19(11), 1250–1256. http://doi.org/10.1016/j.jclepro.2011.03.006

Retnawati, B. B. (2011). PENINGKATAN NILAI MEREK-MEREK ASLI INDONESIA DENGAN GREEN BRANDING. Dinamika Sosial Ekonomi, 7(1), 1–9.

(19)

Pengetahuan dan Minat Membeli terhadap Keputusan Pembelian. Jurnal Manajemen Teknologi, 13(2), 201–218.

Setiaji, Y. (2014). Pengaruh Green Marketing Terhadap Keberlanjutan Lingkungan, Profitabilitas Perusahaan dan Ekonomi Masyarakat Lokal. Jurnal Media Wisata, 12(November), 116–138.

Silvia, F., H, A. F. D., & Kusumawati, A. (2014). PENGARUH PEMASARAN HIJAU TERHADAP CITRA MEREK SERTA DAMPAKNYA PADA KEPUTUSAN PEMBELIAN ( Survei pada Konsultan Independen di Oriflame Cabang Surabaya ). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), 14(1), 1–9. Siringi, R. (2012). Determinants of Green Consumer Behavior of Post graduate

Teachers. IOSR Journal of Business Management, 6(3), 19–25. Retrieved from www.iosrjournals.org

SSI SCHAFER. (n.d.). Limbah biodegradable - SSI SCHAEFER. Retrieved August 5, 2017, from

http://www.ssi-schaefer.co.id/pengolahan- limbah/penampung-sampah-dan-daur-ulang/pecahan-limbah-dan-material-daur-ulang/limbah-biodegradable.html

Sumarsono, & Giyatno, Y. (2012). Analisis Sikap Dan Pengetahuan Konsumen Terhadap Ecolabelling Serta Pengaruhnya Pada Keputusan Pembelian Produk Ramah Lingkungan. Performance, 15(1), 70–85.

Sumarwan, U. (2011). Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran | Publikasi MB-IPB (2nd ed.). Bogor: Ghalia Indonesia. Retrieved from http://publikasi.mb.ipb.ac.id/?p=73

Tiwari, S., Tripathi, D. M., Srivastava, U., & Yadav, P. K. (2011). Green Marketing - Emerging Dimensions. Journal of Business Excellence, 2(1), 18–23.

Widjojo, H., & Yudianto, B. R. (2015). Factors considered by Indonesian youth in buying green product. Purusharta, 8(1), 13–26.

Wijaya, T. (2014). Nilai Dan Pengetahuan Sebagai Prediktor Intensi Beli Makanan Organik. Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, 16(1), 69–81. http://doi.org/10.9744/jmk.16.1.69–82

Referensi

Dokumen terkait

H 3 : Green marketing dan service value mempengaruhi impulse buying secara positif pada Manic Organik Rertaurant.. E-Jurnal Manajemen Unud, Vol. Lokasi ini dipilih

Hasil analisis linieritas variabel Green Marketing Strategic, Nilai-Nilai Lingkungan Personal, Nilai-Nilai Lingkungan Organisasi dan Peran Pemerintah terhadap total variabel

Dewasa ini perkembangan teknologi informasi dan pemasaran melalui digital marketing diramalkan akan menjadi titik perubahan teknikmemasarkan suatu produk barang dari

Dalam penjelasan strenght sebelumnya, green sukuk mempunyai kekuatan yaitu: Perusahaan di Indonesia sudah dapat menerapkan konsep green dalam manajemen perusahaan, Indonesia

Berdasarkan Tabel 4.4 menunjukkan bahwa pada variabel green marketing strategy pada indikator The Body Shop menyediakan informasi seputar keunggulan green product sebagai

Pertentangan hukum ( conflict of norm ) di bidang lingkungan hidup adalah tantangan serius bagi implementasi konsep green konstitusi, karena pertentangan hukum selalu

menjadikan green marketing ini berpengaruh adalah karena orang-orang yang dalam perusahaan Tupperware yang selalu menerapkan strategi pemasaran hijau, adapun promosi

Vol.03, Issue 09, Conference IC-RASEM Special Issue 01, September 2018 Available Online: www.ajeee.co.in/index.php/AJEEE 7 Polanski 1994, has characterized ―green marketing as all