• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membuka Prodi, Menjamin Mutu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Membuka Prodi, Menjamin Mutu"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Membuka Prodi, Menjamin Mutu1

Oleh Jejen Musfah, Dosen Pascasarjana FITK UIN Jakarta; Pemred Majalah Suara Guru

Kasus jual beli ijazah yang diduga dilakukan oleh sebuah PT di Bekasi mencuat di Mei 2015 ini. Ini bukan isu baru, jual beli ijazah sudah dilakukan puluhan tahun lalu, dan akan terus terjadi jika pemerintah tidak melakukan langkah tegas dan mendasar. Maknanya, kontrol pemerintah terhadap mutu pendidikan tinggi—khususnya swasta, sangat lemah. Karena itu, evaluasi internal yang berbasis mutu adalah mutlak dilakukan oleh setiap PT, khususnya Prodi.

Pemimpin dan dosen tidak berorientasi materialistik dalam dunia pendidikan, sehingga menghalalkan segala cara. Dengan demikian, meski banyak permintaan menjual ijazah, mereka bergeming. Lain halnya dengan mereka yang memang sejak semula mendirikan PT untuk kepentingan tersebut.

Tujuan pendirian Prodi, khususnya pascasarjana adalah melahirkan ilmuwan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014), “Ilmuwan adalah orang yang ahli atau memiliki banyak pengetahuan mengenai suatu ilmu. Dalam arti yang lain, ilmuwan adalah orang yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan.”

Komitmen Prodi

Sebagaimana dijelaskan di atas, kunci mutu PT ada pada niat baik dan komitmen PT itu sendiri, khususnya Prodi—bukan pihak lain semisal pemerintah. Beberapa aspek perlu diperhatikan secara serius dan perbaikan terus-menerus sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pertama, mutu dosen. Pembukaan Prodi di samping berdasarkan kebutuhan pasar, sebaiknya diikuti dengan perekrutan dosen tetap sesuai bidang keilmuan Prodi. Untuk sementara, kekurangan dosen bisa diatasi dengan mengundang dosen dari fakultas, Prodi, atau PT lain, yang punya keahlian sesuai Prodi. Namun dalam jangka menengah, perlu segera dilakukan perekrutan dan penguliahan dosen ke jenjang S-3. Penambahan dosen disesuaikan dengan peningkatan jumlah mahasiswa.

Kedua, kurikulum. Alumni Prodi MPI diharapkan menjadi dosen, peneliti, konsultan, dan manajer—seperti kepala sekolah. Untuk mencapai keluaran seperti tersebut, harus didukung mata kuliah yang sesuai dengan kompetensi profesi sebagaimana yang diharapkan.

Pembelajaran dilakukan dengan proporsional, antara teori dan praktik. Di samping membaca dan menelaah buku dan jurnal, menulis makalah, mahasiswa juga diminta melakukan mini riset ke lembaga pendidikan. Bagi mahasiswa yang berasal dari S-1 pendidikan atau dari Prodi non-manajemen pendidikan diwajibkan mengikuti mata kuliah remedial—paling tidak tiga mata kuliah dengan sks atau non-sks.2

1 Disampaikan dalam Workshop Kurikulum Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Program Magister FITK, UIN

Jakarta, di Syahida Inn, Senin-Selasa, 25-26 Mei 2015.

2 Prodi MPI FITK UIN Jakarta menetapkan MK matrikulasi sebagai non-sks dan Prodi Administrasi UPI

(2)

Penguasaan Bahasa asing, seperti Arab dan Inggris penting agar mahasiswa bisa mengakses sumber-sumber berbahasa asing tersebut. Karena itu, diperlukan program remedial Bahasa asing bagi mahasiswa yang belum memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh masing-masing kampus, semisal skor TOEF dan TOAFL minimal 450.

Mengharapkan lulusan menjadi dosen, peneliti—sebagaimana tagihan KKNI, konsultan, dan manajer dalam waktu dua hingga empat tahun jelas bukan pekerjaan yang mudah. Dengan input yang beragam, baik kompetensi, bahasa, dan latar budaya mahasiswanya, Prodi dituntut mampu menyediakan proses pendidikan yang bermutu, sehingga apa yang diinginkan tercapai.

Sedangkan mengenai 72 sks untuk program magister, sebagaimana dijelaskan Permendikbud RI No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, pasal 12 ayat 2 dan 3, sudah cukup jelas sebagaimana surat klarifikasi Dikti ke PTN maupun Kopertis bahwa, sebagian besar jumlah sks yang membengkak adalah untuk keperluan penelitian dan publikasi. Sebagai contoh untuk proporsinya: 1) perkuliahan: ± 32 sks, 2) proposal tesis: ± 5 sks, 3) penelitian dan penulisan tesis: ± 20 sks, 4) seminar: ± 5 sks, 5) karya ilmiah: ± 10 sks.

Ketiga, fasilitas. Fasilitas kampus harus mendukung terbentuknya budaya akademik, seperti perpustakaan, taman baca, koneksi internet, tempat menulis, dan kelas berpendingin ruangan. Budaya akademik adalah suatu keadaan di mana civitas akademik kampus terbiasa membaca, berdiskusi, meneliti, dan menulis terkait pengembangan keilmuan di Prodi masing-masing, sehingga banyak lahir karya-karya ilmiah dari mereka, baik berupa buku, artikel jurnal, maupun artikel pendidikan.

Budaya akademik bukan suatu hal yang taken for granted, melainkan diupayakan dengan sungguh-sungguh (by design) oleh pimpinan puncak kampus, kemudian diikuti oleh para pimpinan di bawahnya dan seluruh civitas akademik kampus. Ibarat kapal, ke mana ia akan berlayar dan mendarat sangat tergantung kepada nakhkodanya. Pemenuhan fasilitas merupakan satu contoh komitmen pemimpin dalam membentuk budaya akademik.

PT tidak hanya menyediakan fasilitas pembelajaran tetapi juga memerhatikan pemeliharaannya agar masa berlakunya maksimal. Tidak rusak sebelum waktunya. Jangan sampai, kampus besar yang visinya menjadi universitas kelas dunia, ternyata ruang kelas perkuliahannya tidak nyaman karena suasananya panas.

Fasilitas kampus terus dikembangkan sesuai dengan penambahan jumlah mahasiswa, sehingga tetap nyaman dan sesuai standar. Faktanya, penambahan jumlah mahasiswa dan Prodi tidak diikuti dengan penambahan fasilitas, seperti ruang kelas, perpustakaan, dan toilet.

Keempat, riset kolaboratif. Kelemahan yang dimiliki banyak kampus adalah bidang penelitian. Penelitian bisa dilakukan secara individual maupun kelompok, baik dosen dari Prodi, Fakultas, Kampus, yang sama atau lintas Prodi, Fakultas, Kampus—dalam maupun luar negeri. Riset dosen yang melibatkan mahasiswa juga diperlukan.

(3)

pelaksananya silih berganti (biasanya dari unsur dosen). Apalagi, saat ini jurnal dituntut terbit secara on line.

Mahasiswa

Masukan mahasiswa sangat berpengaruh terhadap kualitas Prodi. Berbeda dengan mahasiswa S-1, mahasiswa S-2 umumnya sudah bekerja dan berkeluarga. Karena itu, waktu untuk belajar mahasiswa S-2 lebih sempit dibanding mahaiswa S-1.

Secara faktual, ada beberapa kategori mahasiswa. Mahasiswa regular dan non-reguler. Pengkategorian ini merujuk pada waktu perkuliahan, di mana yang pertama kuliah antara Senin hingga Jumat, sedangkan yang kedua kuliah Jumat dan Sabtu atau Sabtu dan Minggu. Biasanya, ia juga menunjukkan perbedaan uang kuliah.

Mengingat karakter mahasiswa S-2 di atas, membuka kelas non-reguler merupakan pilihan bijak—tentu tanpa mengurangi mutu proses perkuliahan semisal jumlah pertemuan, tugas mandiri dan kelompok, dan mutu dosen. Dengan demikian, kelas non-reguler tidak identik dengan kelas khusus yang memeroleh sederet privacy semisal mudah lulus, meskipun ada fakta yang demikian.

Pengkategorian lain bisa dimunculkan di sini, seperti mahasiswa fresh graduate dan non-fresh graduate, mahasiswa full time dan non-full time, mahasiswa beasiswa dan non-beasiswa, dan mahasiswa tugas belajar dan izin belajar.

Bagi Prodi yang baru berdiri atau kurang peminat—meski sudah lama berdiri, muncul istilah penjaringan bukan penyaringan. Maknanya, Prodi belum bisa secara ketat menyaring mahasiswa yang secara akademik memiliki kualifikasi terbaik. Misalnya, dari 30 mahasiswa yang mendaftar, hanya 20 atau 25 yang diterima, atau bahkan semuanya diterima.

Prodi yang menerima mahasiswa yang sedang atau rendah secara akademik, biasanya mengalami kesulitan dalam mendidik mahasiswa sampai pada kompetensi yang diharapkan, khususnya saat menulis tesis. Diskusi dan penulisan makalah yang menjadi pendekatan dalam kuliah pascasarjana terasa kering dan hambar karena mahasiswa mengerjakannya tidak serius, karena tidak memahami materi maupun tidak biasa menulis. Budaya membaca dan menulis mahasiswa rendah.

Tesis

Tesis yang baik dihasilkan dari mahasiswa yang memiliki tradisi membaca yang baik, menguasai Bahasa asing, dan terampil dalam menulis. Meski banyak mahasiswa pascasarjana yang lulus dengan tesis, bukan berarti kemampuan meneliti dan menulis mereka bagus. Tesis kerap kali ditulis sekedar memenuhi syarat memeroleh gelar magister. Kualitasnya tidak diperhatikan secara serius, karena beragam pertimbangan masing-masing kampus.

Kualitas tesis bisa diukur dari proses pembuatannya, juga dari proses pengujiannya. Tesis yang hanya dua kali diujikan—termasuk ujian proposal, tentu akan berbeda dengan tesis yang diujikan empat kali. Banyaknya tahapan ujian tesis menunjukkan jaminan mutu dan keseriusan Prodi, sebaliknya tesis yang diujikan hanya dua kali menunjukkan lemahnya proses.

(4)

pengawas, atau kepala bagian tata usaha di sekolah/fakultas/universitas harus punya kompetensi menulis dan meneliti?

Dengan demikian, untuk penyelesaian S-2 sebaiknya disediakan pilihan sesuai kemampuan mahasiswa, misalnya penelitian, pengajaran, atau pengabdian kepada masyarakat. Berbeda dengan tesis, mahasiswa bisa melakukan riset dengan format laporan dalam bentuk artikel dalam jurnal ilmiah, yaitu 20 hingga 25 halaman saja. Siapa berhak melakukan tugas akhir apa ditentukan berdasarkan pilihan mahasiswa dan/atau penilaian konsorsium dosen.

Masa Studi

Studi S-2 bisa diselesaikan dalam dua tahun, tetapi mahasiswa tidak bisa selesai tepat waktu karena beragam alasan. Faktor terbesarnya adalah manajemen waktu, antara kuliah dan bekerja. Pembayaran uang kuliah yang tidak mengalami pengurangan, meski tinggal menulis tesis—semester 3 ke atas, tidak mampu mendorong secara signifikan mahasiswa untuk selesai tepat waktu.

Karena itu, beberapa kebijakan harus diambil oleh Prodi seperti, saat seleksi mahasiswa menyerahkan proposal tesis, mulai menulis tesis sejak semester 2, dan materi ujian komprehensif difokuskan pada penguasaan teori tesis. Ketika semua kebijakan tersebut tidak berhasil, apakah ada cara lain yang lebih efektif?

Jika ada, semoga bukan dengan membiarkan mahasiswa melakukan plagiasi, membuatkan tesis mahasiswa, tidak serius dalam membimbing tesis mahasiswa, atau bahkan jual beli ijazah!

Akhirnya, membuka Prodi merupakan awal perjuangan untuk memberikan jaminan mutu dalam semua standar nasional pendidikan tinggi. Tentu dilakukan dengan cara bertahap dan gotong-royong. Bukan sebaliknya, berani membuka Prodi, tetapi menutup mutu.

Referensi

http://sps.upi.edu, diakses 18 Mei 2015

https://ppsunp.wordpress.com/, diakses 18 Mei 2015

http://pasca.uin-malang.ac.id/program-studi/prodi-s2/manajemen-pendidikan-islam/, diakses 18 Mei 2015

Permendikbud RI No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi

(5)

Jejen Musfah, menyelesaikan studi di Fakultas Tarbiyah (Jurusan Pendidikan Bahasa Arab) IAIN Jakarta (2000), lulus S2 PAI UIN Jakarta (2004). Pada 2006-2007 mengikuti Diploma Pendidikan Bahasa Arab di LIPIA Jakarta. Pada 2011 lulus S3 Ilmu Pendidikan UNINUS Bandung. Mengajar di FITK UIN Syahid sejak 2005-sekarang. Dia adalah Sekretaris Program Magister FITK (2012-2016).

Menulis buku, 1) Doa Ajaran Ilahi, bersama A. Masykur. Hikmah: 2000; 2) Risalah Puasa. Risalah: 2002; 3) Bahkan Tuhan pun Bersyukur. Hikmah: 2003; 4) Rindu Kematian. Hikmah: 2003; 5) Tuhan Tak Pernah Memaksa/ Shifât Al-Âmir bi Al-Ma’rûf wa Al-Nâhi bi Al-Munkar (Penerjemah). Hikmah: 2004; 6) Doa Harian Ajaran Rasulullah. Risalah: 2004; 7) Doa Ajaran Sahabat Rasulullah. Hikmah: 2005; 8) Meraih Makrifat. Mizan: 2006; 9) Indeks Al-Quran Praktis. Hikmah: 2007; 10) Qishash Al-Thair wa Al-Hayawânat fî Al-Qurân Al-Karîm (Penerjemah). Mizan: 2009; 11) Peningkatan Kompetensi Guru Melalui Pelatihan dan Sumber Belajar. Kencana: 2011. Cetakan Ketiga; 12) Pendidikan Holistik; Pendekatan Lintas Perspektif (Editor). Kencana: 2012. 13) Manajemen Pendidikan; Teori, Kebijakan, dan Praktik. Kencana: 2015. 14) Tips Menulis Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Kencana (Dalam proses terbit). Menulis artikel di beberapa Jurnal Ilmiah: Mimbar Agama, Didaktika Islamika, Tahdzib, dan Jurnal Pendidikan Islam. Menulis opini pendidikan di koran nasional dan lokal: Republika, Koran Sindo, Go Cakrawala, dan Radar Bogor.

Melakukan penelitian, 1) Pemetaan Best Practices dan Potensi Pendidikan Karakter Bangsa Tingkat Dasar di Lingkungan Pondok Pesantren, 2010 [anggota tim], 2) Madrasah sebagai Pendidikan Alternatif Bermutu, 2011 [anggota tim], 3) Kajian Pengembangan PTAI; Program Studi Agama Unggulan; STAIN Tulungagung, 2011 [ketua tim]. 4) Pembentukan Budaya Sekolah, 2012 [anggota tim], 5) Pelatihan Kurikulum 2013 bagi Guru PAI, 2013 [anggota tim]. Nomor HP yang bisa dihubungi 081222380111 atau email: jejen@uinjkt.ac.id

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan audit mutu akademik di Prodi Teknik Mesin dilakukan oleh Tim Gugus Kendali Mutu Fakultas (GKMF). GKMF terdiri dari masing-masing satu dosen utusan prodi

Kegiatan audit mutu akademik di Prodi Teknik Mesin dilakukan oleh Tim Gugus Kendali Mutu Fakultas (GKMF). GKMF terdiri dari masing-masing satu dosen utusan prodi

Berdasarkan hal tersebut, maka pada penelitian ini dikembangkan sebuah sensor menggunakan 2 buah kamera yang dipasang sejajar dan dipisahkan oleh jarak untuk estimasi

Prodi disetiap Fakultas yang ada diuniversitas harus menjadi wadah untuk menfasilitasi terbentuknya merdeka belajar kampus merdeka salah satunya prodi Bimbingan dan

Aktivitas pada kelompok III dapat dilakukan apabila seseorang menunjukkan respon yang stabil terhadap latihan dan orang tersebut mampu menjalankan latihan fisik dengan intensitas

Kesimpulan dari hasil perhitungan gejala autisme dilakukan menggunakan metode fuzzy Tsukmoto dengan 3 kriteria yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku

Persiapan media kultur yang dilakukan yaitu meliputi persiapan botol kultur bervolume 500 ml dan persiapan air laut. Botol kultur yang telah disterilisasi diisi air laut

Seperti yang dinyatakan oleh beberapa pengkaji (Asad bin Awang, 1995; Jeyakumar Govindan, 1998; dan Mohd. Azidan Abdul Jabar, 1998) bahawa bahan bantu yang digunakan dalam