• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Doktrin Essential Facilities Da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Aplikasi Doktrin Essential Facilities Da"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh :

Yudhi Priyo Amboro, S.H., M.Hum.1

Konsepsi Doktrin Essential Facilities

Doktrin Essential Facilities dikenal di dalam praktek persaingan usaha sejak tahun 1912 dengan adanya putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat antara US v.Terminal Railroad Assn of St. Louis. Kasus yang diputus oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat tersebut bercerita mengenai kartel perkeretaapian yang memonopoli jalan kereta ke St. Louis, yang akhirnya dinyatakan oleh pengadilan sebagai “a combination in restraint of trade”, dengan alasan bahwa tidak ada

alternatif jalan kereta api yang lain, dan adanya penolakan penggunaan jalan kereta api itu yang dilakukan oleh perusahaan pesaing. Pengistilahan essential facilities mulai digunakan dalam kasus Hecht v. Pro-Football, Inc. di tahun 1977, dimana kasus tersebut bercerita mengenai tim sepakbola Amerika yang baru yang menginginkan adanya akses untuk menggunakan stadium RFK di Washington.

1

(2)

Pengadilan dalam kasus ini menggunakan istilah teori essential facility dan menyamakannya dengan teori bottleneck2. Selain kasus-kasus di atas, pada kenyataannya banyak kasus yang bermunculan di Amerika Serikat yang berkaitan dengan Doktrin Essential Facilities. Meskipun perjalanan kasus yang berkaitan dengan Doktrin Essential Facilities di Amerika Serikat telah cukup banyak, akan tetapi pencapaian persamaan visi terhadap definisi doktrin ini ternyata masih terkendala.

Definisi mengenai Doktrin Essential Facilities sangatlah beragam. Definisi doktrin ini muncul seiring dengan perkembangan kasus yang ada berkaitan dengan essential facilities, sehingga terkadang memunculkan pandangan pro dan kontra mengenai definisi-definisi yang ada pada doktrin tersebut. Hal ini disebabkan karena tidak ada kepastian pegangan di dalam praktek peradilan di Amerika Serikat semenjak dikenalkannya Doktrin Essential Facilities pada tahun 1912. Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa doktrin ini berkembang di Amerika Serikat. Akan tetapi fakta perkembangannya lebih berada diranah pengadilan tingkat bawah3, sehingga pengistilahan essential facilities menjadi satu definisi yang pasti dan secara umum diterima tidak dapat ditemukan. Pengadilan di tingkatan ini telah menemukan bahwa Doktrin Essential Facilities mempunyai kecenderungan dapat diaplikasikan terhadap keadaan tertentu yang bersifat “extraordinary” dimana pelaku usaha

2

David B. Albeck, Defining “Essential Facilities” After Trinko, diunduh dari www.davidalbeck.com/writings/trinko.htm tanggal 1 Juni 2013.

3

(3)

menggunakan penguasaannya yang bersifat bottleneck untuk mengeliminasi pesaingnya atau setidaknya potensi pesaingnya. Sebagai contoh dalam kasus MCI Communications v. American Tel. & Tel. Co di tahun 1982, dimana meminta provider telekomunikasi untuk menyediakan akses local service network kepada pesaingnya dalam jasa telekomunikasi jarak jauh. Selain kecenderungan di atas, doktrin ini juga dapat diaplikasikan pada pelaku usaha yang melakukan penguasaan berlebihan terhadap aset yang menyediakan jasa supply yang sangat penting bagi pesaingnya dan pelaku usaha tersebut melakukan penolakan untuk memberikan akses terhadap jasa supply dimaksud. Hal ini dapat dicontohkan dalam kasus Aspen Highlands Skiing Corp. v. Aspen Skiing Co. di tahun 1984 yangmana mengaplikasikan doktrin ini kepada keputusan resort ski untuk menghentikan kerjasamanya dengan pesaingnya dalam melakukan penjualan tiket “multiarea” yang dapat memberikan kemudahan

bagi pelanggan untuk menjelajahi area ski tanpa dibatasi adanya kewilayahan resort tertentu. Pengadilan ini menggambarkan bahwa tiket “multiarea” sebagai essential

facility, dengan menempatkan posisi pesaing keluar dari bisnis ski resort jika dilakukan penghentian tiket “multiarea”, sehingga niat untuk melakukan monopoli

ini dinyatakan terbukti sebagai tanggungjawab antitrust bagi pengadilan.4

Jalan penyatuan pandangan terhadap definisi Doktrin Essential Facilities

masih terus berkembang. Sejak kasus MCI Communications Corp v. American Tel &

4

(4)

Tel.Co di tahun 1982, unsur tuntutan dalam essential facilities sudah dapat ditentukan dan menjadi formulasi di dekade berikutnya. Setidaknya dengan adanya unsur-unsur ini, dapat ditentukan kemudian kelayakan definisi terhadap Doktrin

Essential Facilities. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut :5

1. Unsur “penguasaan terhadap essential facilities oleh pelaku usaha”

2. Unsur “pesaing yang pada kenyataannya atau secara patut tidak dapat meniru atau menduplikasi essential facilities

3. Unsur “penolakan untuk menggunakan fasilitas oleh pesaing” 4. Unsur “kelayakan untuk menyediakan fasilitas”

Selain itu, sebagaimana diungkap oleh Robert Pitofsky6, proses penyatuan definisi Doktrin Essential Facilities juga masih mempunyai jalan yang panjang. Ia menyatakan bahwa pengadilan Amerika Serikat mempunyai jalan yang sangat panjang untuk mengenali ketentuan umum mengenai pelaku usaha yang tidak mempunyai kewajiban untuk bersepakat dengan pesaingnya yangmana merupakan subyek yang mempunyai kekecualiannya, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Doktrin Essential Facilities. Dalam kasus Twin Labs, Inc v. Weider Health & Fitness di tahun 1990, juga dalam kasus Aspen Skiing Co. v. Aspen Highlands Skiing Corps. di

tahun 1984, Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa hak untuk

5 David B. Albeck,

Op.Cit.

6

(5)

menolak berhubungan usaha dengan pelaku usaha lainnya bukan berarti hak itu melanggar. Dalam kasus Eastman Kodak Co. v.Image Technical Servs, Inc di tahun 1992, Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa adalah hal yang benar apabila pelaku usaha dapat menolak berhubungan usaha dengan pesaingnya. Akan tetapi hak tersebut tidaklah bersifat absolut. Penolakan hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan persaingan usaha yang legal. Bahkan di dalam kasus Lorain Journal Co. v. United States di tahun 1951, Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa hak untuk menolak berhubungan usaha adalah bukan bersifat absolut dan dapat dibebaskan oleh peraturan perundangan. Dalam beberapa yurisprudensi tersebut, Robert Pitofsky berusaha menyimpulkan bahwa Doktrin Essential Facilities merupakan bagian dari “refusal to deal” yangmana memberikan pembatasan bagi pelaku usaha untuk menghalangi pesaing ataupun potensi pesaing dari persaingan usaha. Dalam salah satu persidangan banding terdapat pandangan bahwa Doktrin Essential Facilities membebankan tanggungjawab ketika pelaku usaha yang mempunyai penguasaan terhadap fasilitas penting (essential facilities) melakukan penolakan kepada pelaku usaha lainnya untuk mendapatkan akses terhadap fasilitas penting tersebut dan menyatakan bahwa pelaku usaha lain harus mendapatkan akses itu sendiri dalam rangka bersaing dengan pelaku usaha

(6)

tahun 1980, yangmana pengadilan berpendapat bahwa bisnis atau kelompok bisnis yang mempunyai penguasaan terhadap fasilitas yang langka mempunyai kewajiban untuk memberikan akses kepada pesaingnya. Dalam kasus Associated Press v. United States di tahun 1945, dan juga kasus Hecht v. Pro-Football, Inc di tahun 1977, pengadilan berpendapat bahwa fasilitas yang dikuasai oleh pelaku usaha yang tidak dapat diperbanyak oleh pesaingnya, harus dibagikan dalam keadaan yang adil.7 Pandangan lain mengenai definisi Doktrin Essential Facilities, diungkap oleh David B. Albeck8, yang mengartikan Doktrin Essential Facilities sebagai teori mengenai kewajiban anti trust yang menyebutkan bahwa pelaku usaha ataupun kelompok pelaku usaha melakukan penguasaan sumber daya tertentu yang terbatas dapat dipaksa untuk membagikan sumber daya tertentu tersebut dengan pesaingnya.

Perkembangan doktrin ini ternyata tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja, tetapi juga berkembang di Eropa. Konsepsi Doktrin Essential Facilities tidak jauh berbeda dengan apa yang telah berkembang di Amerika Serikat. Perbedaannya terletak pada konsepsi monopoli berdasarkan section 2 Sherman Act di Amerika Serikat yang lebih umum daripada konsepsi penyalahgunaan posisi dominan menurut pasal 82 EC Treaty di Eropa. Doktrin ini telah dimasukkan ke dalam European Commision Law terutama di dalam pasal 82 EC Treaty, yang mengatur

larangan untuk melakukan penyalahgunaan posisi dominan dalam pasar umum.

7

Ibid., hlm 1-2. 8

(7)

Bahkan “refusal to deal” dapat dinyatakan sebagai bagian dari penyalahgunaan

posisi dominan berdasar pasal 82 EC Treaty tersebut. Dalam aplikasinya, European Commision menciptakan suatu restriksi atau pembatasan atas Doktrin Essential

Facilities yangmana membatasi pada situasi dimana pemilik fasilitas menguasai lebih dari posisi dominan. Restriksi ini disebut sebagai Bronner. Bronner mensyaratkan fasilitas tersebut harus memang sangat diperlukan. Selain sebagai restriksi, pada kenyataannya Bronner juga dapat digunakan sebagai tes yang mengarah pada jawaban apakah “refusal to deal” akan mengarah pada monopoli terhadap pasar

hilir.9

Doktrin Essential Facilities Dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia

Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa Doktrin Essential Facilities merupakan bagian dari “refusal to deal” dalam persaingan usaha. Ciri khas dari

doktrin ini adalah penolakan terhadap pesaingnya oleh karena berkaitan dan adanya fasilitas penting (essential facilities), jadi tidak hanya berkisar penolakan terhadap pelaku usaha lain semata. Doktrin Essential Facilities dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia termaktub di dalam Bab IV bagian ketiga, yang mengatur mengenai penguasaan pasar, khususnya pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Selain itu

doktrin ini juga memasuki jiwa dalam Bab V bagian pertama, khususnya pasal 25

9 James Kent Scholar dan Walter Gelhorn Prize,

(8)

ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;

b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada

pasar bersangkutan; atau

d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Sedangkan pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur bahwa Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:

a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau

b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Di dalam kedua ketentuan di atas terdapat unsur “refusal to deal” yang

(9)

maupun pengakhiran kepada pelaku usaha lainnya. Meskipun di dalam kedua ketentuan tersebut tidak dijelaskan dan disebutkan secara pasti mengenai hal fasilitas yang penting dalam konteks “refusal to deal” ini, akan tetapi dengan

ketentuan yang umum seperti ini justru dapat menjerat pelaku usaha yang berupaya melakukan larangan dalam Doktrin Essential Facilities. Selain itu, kedua ketentuan ini menunjukkan hubungan yang erat, sehingga unsur Doktrin Essential Facilities dapat masuk ke dalam kedua ketentuan tersebut. Hal ini sebenarnya telah ditunjukkan dalam penerapan ketentuan mengenai Doktrin Essential Facilities di Amerika Serikat yang cenderung mengaplikasikannya secara umum dan di Eropa yang cenderung mengaplikasikannya dalam bentuk penyalahgunaan posisi dominan. Hubungan diantara keduanya dapat dilihat dalam pandangan Susanti Adi Nugroho10 yang menyebutkan bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang umum terjadi dalam persaingan usaha yang salah satunya adalah menolak untuk bertransaksi (refusal to deal). Dalam pandangannya, refusal to deal digambarkan sebagai perusahaan dominan yang merupakan induk perusahaan (parent company), yang menolak bertransaksi baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli dengan perusahaan lainnya dengan alasan di pasar akan menambah pesaing bagi anak perusahaannya (subsidiary company). Begitu juga jika perusahaan dominan

melakukan hal tersebut karena alasan akan menambah pesaing bagi perusahaan

10 Susanti Adi Nugroho,

(10)

yang tergabung dalam grup perusahaan mereka (company group). Dalam hal ini, Penulis berpendapat bahwa konsep “refusal to deal” yang digambarkan oleh Susanti

Adi Nugroho di atas adalah konsep yang umum, belum secara spesifik menunjuk fasilitas tertentu yang penting, sehingga kasus yang digambarkan di atas belum tentu dapat disebut sebagai aplikasi dari Doktrin Essential Facilities.

Oleh karena Doktrin Essential Facilities juga terkait dengan fasilitas penting yang menjadi salah satu unsurnya, dan pengaturan “refusal to deal” yang ada di

dalam pasal 19 dan pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak menunjuk khusus obyeknya, maka penentuan faktor essential facilities sangat tergantung pada kasus yang dihadapi.

Aplikasi Doktrin Essential Facilities Dalam Kasus

Telah banyak kasus yang dipaparkan, terutama di negara asal Doktrin Essential Facilities muncul, yaitu di Amerika Serikat, sebagaimana dipaparkan di atas. Kasus-kasus tersebut telah banyak menggambarkan bahwa Doktrin Essential Facilities telah berkembang dari kasus ke kasus, dan dari masa ke masa. Salah satunya lagi adalah kasus Perusahaan Alumunium America (Alcoa) yang terjadi sebelum Perang Dunia II. Dalam kasus ini, Alcoa merupakan satu-satunya

(11)

perusahaan batangan alumunium yang melakukan daur ulang alumunium. Alcoa memiliki posisi dominan yang memproduksi alumunium dengan teknologi yang telah dipatenkan sehingga dengan teknologi tersebut Alcoa dapat memproduksi alumunium dengan biaya yang relatif rendah. Alcoa memegang hak paten dan dengan demikian teknik produksi Alcoa dilindungi oleh hak paten. Namun setelah tahun 1909 hak paten tersebut telah kedaluwarsa dan Alcoa harus mempertahankan posisi tersebut. Pemerintah mencoba menuntut Alcoa melakukan aksi monopoli terhadap pasar batangan alumunium, karena Alcoa, dituduh melakukan pembelian bauksit melebihi dari jumlah yang dibutuhkan oleh perusahaannya sehingga menyebabkan perusahaan lain yang menjadi potensi pesaingnya tidak bisa mendapatkan bahan dasar yang dibutuhkan untuk memproduksi batangan alumunium. Pemerintah juga menyatakan bahwa Alcos telah menandatangani kontrak dengan Perusahaan Listrik Publik (PLN Amerika Serikat) yangmana kontrak tersebut didesain sedemikian rupa sehingga perusahaan yang bergerak sebagai produsen batangan alumunium, yang menjadi saingan Alcoa, tidak bisa mendapatkan listrik dengan harga yang murah. Karena untuk memproduksi batangan alumunium, dibutuhkan listrik yang besar. Dalam pandangan pengadilan, pemerintah dipandang tidak berhasil membuktikan bahwa Alcoa telah berupaya

(12)

fakta bahwa Alcoa telah melakukan monopoli alumunium batangan yang dengan demikian telah bertentangan dengan section 2 Sherman Act. Faktor yang mendukung tuduhan tersebut adalah perluasan kapasitas produksi yang dilakukan oleh Alcoa.11

Selain kasus Alcoa, aplikasi Doktrin Essential Facilities juga terjadi dalam kasus hak siar liga Inggris yang telah diputus oleh KPPU dengan No. 03/KPPU-L/2008, kasus Telkom SLI 001 yang telah diputus oleh KPPU dengan No. 02/KPPU-I/2004 dan kasus JICT yang telah diputus oleh KPPU dengan No. 04/KPPU-I/2003. Dalam kasus hak siar liga Inggris (BPL), komisi berpendapat bahwa siaran BPL dianggap sebagai konten yang penting untuk pasar bersangkutan downstream, selain itu proses perolehan hak eksklusif siaran BPL dilakukan dengan cara yang tidak kompetitif, dan terdapat dampak anti persaingan pada pasar bersangkutan upstream dan/atau downstream. Permasalahan di dalam kasus ini adalah cara menentukan hak siar liga Inggris sebagai essential facilities, yang menurut Komisi ditentukan dari pasar yang terbentuk. Sedangkan dalam kasus Telkom SLI 001, kaitannya dengan essential facilities, secara umum komisi berpandangan bahwa jasa SLI 001 adalah essential facilities, sehingga segala perbuatan yang mengarah pada “refusal to deal” yang diatur di dalam pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menjadi penghambat

bagi persaingan. Kasus JICT dalam kaitannya dengan Doktrin Essential Facilities,

11

(13)

secara umum komisi berpandangan bahwa produksi pelayanan bongkar muat petikemas merupakan essential facilities, sehingga perbuatan yang mengarah pada

“refusal to deal” dalam pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan

penyalahgunaan posisi dominan dapat dikatakan menghambat persaingan.

Di dalam kasus-kasus di atas, terlihat beberapa hal yang perlu digarisbawahi sebagai bagian dalam aplikasi Doktrin Essential Facilities. Pertama, adalah penerapan hak paten yang memberikan hak eksklusif bagi pemegangnya, sehingga dapat mengakibatkan potensi “refusal to deal” berkaitan dengan essential facilities.

Jika batangan alumunium diasumsikan sebagai essential facility, sehingga Alco mempunyai akses yang lebih murah untuk melakukan produksi batangan alumunium, karena teknologi yang dimilikinya dengan hak paten tersebut. Atau jika teknologi SLI 001 didapatkan dengan hak paten, akan memberikan eksklusifitas Telkom dalam penguasaan teknologi saluran telepon internasional. Dengan demikian, Alco dan Telkom akan dapat lebih eksis menjalankan bisnisnya daripada perusahaan lain, oleh karena biaya produksinya lebih murah daripada perusahaan lain. Sedangkan disatu sisi, penyebab dari produksi murah adalah teknologi yang telah mempunyai hak paten, dan oleh karenanya tidak dapat dimiliki atau dikuasai oleh pihak lain, kecuali Alco maupun Telkom memberikan lisensi untuk itu.

(14)

aplikasi Doktrin Essential Facilities menjadi kabur ketika berhadapan dengan hak atas kekayaan intelektual. Artinya, oleh karena adanya hak atas kekayaan intelektual tersebut mengakibatkan Doktrin Essential Facilities menjadi tidak dapat diberlakukan. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa pelaku usaha yang tadinya tertuduh karena pelanggaran Doktrin Essential Facilities, menjadi bebas dari tuduhan karena adanya hak atas kekayaan intelektual. Justru Robert Pitofsky12 mengingatkan bahwa hak atas kekayaan intelektual tersebut dapat menjadi alasan pembenaran terhadap aplikasi Doktrin Essential Facilities, meskipun di dalamnya telah terpenuhi unsur “penguasaan terhadap essential facilities oleh pelaku usaha”, unsur “pesaing yang pada kenyataannya atau secara patut tidak dapat meniru atau

menduplikasi essential facilities”, unsur “penolakan untuk menggunakan fasilitas oleh pesaing”, dan unsur “kelayakan untuk menyediakan fasilitas”. Sehingga kasus

semacam ini, sangat direkomendasikan oleh the United States antitrust enforcement agencies untuk tetap diberlakukannya Doktrin Essential Facilities, meskipun kasus tersebut mempunyai kandungan hak atas kekayaan intelektualnya.

Kedua, adalah penentuan essential facilities dalam kasus. Untuk dapat menentukan sesuatu tersebut termasuk kategori fasilitas penting (essential fasilities) di dalam kasus sangat tidak mudah, mengingat peraturan penetapan seperti itu

belum tercipta, apalagi dalam praktek di Indonesia. Doktrin Essential Facilities

12

(15)

mempunyai tujuan untuk mencegah pelaku usaha melakukan penguasaan yang berlebihan pada aset penting dan melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan tidak adanya pesaing. Dalam salah satu pernyataan pengadilan di Amerika Serikat didapatkan suatu adagium bahwa perusahaan yang mempunyai kekuatan untuk menguasai secara berlebihan terhadap fasilitas penting tidak diperkenankan untuk menolak ketersediaan akses kepada pihak lain terhadap fasilitas tersebut, dimana tidak ada alasan bisnis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum untuk melakukan penolakan itu.13 Dalam hal suatu fasilitas itu merupakan fasilitas yang sangat penting bagi persaingan usaha dan fasilitas tersebut merupakan hal yang jarang dan “extraordinary”, serta tidak ada alasan pembenaran

bisnis, dan adanya bukti niat untuk menciderai pesaingnya, maka fasilitas semacam ini dapat terkategori sebagai fasilitas penting yang dimaksud di dalam Doktrin Essential Facilities.14 Setidaknya pandangan Robert Pitofsky di atas dapat dijadikan acuan sebagai bagian dalam menentukan essential facilities. Selain pandangan Robert Pitofsky itu, adanya ketidakmampuan pesaing untuk menduplikasi fasilitas tersebut menjadi unsur yang menentukan di dalam essential facilities, sebagaimana dipaparkan dalam kasus-kasus sebelumnya. Untuk itu, perlu juga memasukan unsur “ketidakmampuan pesaing dalam menduplikasi fasilitas” ke dalam penentuan

essential fasilities.

13

Ibid., hlm 10. 14

(16)

Ketiga, adalah penetapan standar unsur sehingga dapat mengaplikasi Doktrin

Essential Facilities dalam praktek, terutama praktek penegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa setelah adanya kasus MCI Communications Corp v. American Tel & Tel.Co di tahun 1982, unsur tuntutan dalam essential facilities sudah dapat ditentukan. Unsur-unsur tersebut adalah unsur “penguasaan terhadap essential facilities oleh pelaku usaha”, unsur “pesaing yang pada kenyataannya atau secara patut tidak dapat meniru atau

menduplikasi essential facilities”, unsur “penolakan untuk menggunakan fasilitas oleh pesaing” dan unsur “kelayakan untuk menyediakan fasilitas” 15

. Setidaknya keempat unsur yang telah dipaparkan ini dapat menjadi standar awal bagi terlaksananya Doktrin Essential Facilities dalam mengukur suatu kasus. Standar ini patut ditambah dan disesuaikan dengan jalur ketetapan yang telah disepakati oleh founding fathers Indonesia. Jalur ketetapan yang utama adalah Pancasila dan jalur ketetapan selanjutnya adalah UUD 1945 beserta perubahannya. Berkaitan dengan perekonomian negara Indonesia, penerapan sila kelima Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” telah merasuk pada ketentuan pasal 33 UUD 1945.

Prinsip ini mengajarkan bahwa kesejahteraan yang dianut oleh sila kelima Pancasila menekankan pentingnya peran negara dalam menyelenggarakan barang dan jasa

yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mengembangkan partisipasi serta

15

(17)

emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan. Hal ini yang membedakan antara paham kapitalisme ekonomi dengan ekonomi berbasis Pancasila, dimana di dalam paham kapitalisme tidak ada tempat bagi keadilan sosial karena ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar semata.16

Kesimpulan

Sebagaimana dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa penentuan

essential facilities menjadi topik awal bagi pengimplementasian doktrin ini kepada suatu kasus di Indonesia, dan selanjutnya pengimplementasian kasus terhadap unsur “penguasaan terhadap essential facilities oleh pelaku usaha”, unsur “pesaing

yang pada kenyataannya atau secara patut tidak dapat meniru atau menduplikasi essential facilities”, unsur “penolakan untuk menggunakan fasilitas oleh pesaing” dan unsur “kelayakan untuk menyediakan fasilitas” yang menjadi ruang lingkup

Doktrin Essential Facilities berdasar kesesuaian Indonesianisasi. Sebagai tolok ukurnya, standar unsur tersebut setidaknya harus dapat menjawab pertanyaan “kapan pelaku usaha yang memiliki fasilitas mempunyai kewajiban untuk “deal” dengan pihak lain?”17 dan “kapan “refusal to deal” dapat dijustifikasikan?”18

16

Antonius Widyarsono, Peta Permasalahan Pancasila Dewasa Ini, Jurnal Filsafat Driyarkara, Jakarta, Tahun XXXII no.3/2011, hlm 7-8.

17 James Kent Scholar dan Walter Gelhorn Prize,

Op.Cit., hlm 30. 18

(18)

Penerapan Doktrin Essential Facilities dalam penegakkan hukum di Indonesia, masih perlu mendapatkan kejelasan, mengingat konsepsi essential

facilities masih belum mempunyai ketetapan yang tegas di dalam peraturan yang ada. Dalam rangka mengimplementasikan doktrin ini, langkah “jurisprudence” maupun “leglisasi” perlu dipercepat, sehingga arah Doktrin Essential Facilities

(19)

Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal

Adi Nugroho, Susanti, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia: Dalam Teori dan Praktik serta Penerapan Hukumnya, Penerbit Kencana, Jakarta, 2012.

B. Albeck, David, Defining “Essential Facilities” After Trinko, diunduh dari www.davidalbeck.com/writings/trinko.htm, tanggal 1 Juni 2013.

Pitofsky, Robert, The Essential Facilities Doctrine Under United States Antitrust Law, paper untuk the European Commission dalam rangka mendukung National Data Corporation dalam kasus essential facitilities melawan IMS, Georgetown University Law Center.

Scholar, James Kent, dan Walter Gelhorn Prize, Essential Facilities in The European Union: Bronner and Beyond, Columbia Journal of European Law, LLM Columbia Law School, Vol.10, 2004.

Widyarsono, Antonius, Peta Permasalahan Pancasila Dewasa Ini, Jurnal Filsafat Driyarkara, Jakarta, Tahun XXXII no.3/2011.

Peraturan Perundang-undangan

Sherman Act 1890

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menentukan variabel-variabel penentu yang akan dipilih, dilakukan analisis variabel penentu dengan cara menganalisis berbagai kombinasi antara variabel bebas yang potensial

Perkara hukum yang langsung mendiskusikan legitimasi pidana mati di dalam konteks hukum Indonesia tentu saja adalah landmark case yang diputus oleh Mahkamah

Adiatma Yudistira Manogar Siregar, SE.,MEconSt Riki Relaksana, SE., M,S.i.. I

Di dalam kasus ahli waris pengganti di desa Kalisoka, peneliti menyimpulkan bahwa pembagian harta ahli waris pengganti tidak sesuai dengan pembagian yang ada di

2. Melampirkan Hasil Uji Barang Aman sesuai standard SNI yang berlaku dari Lembaga Uji yang terakreditasi Nasional. Melampirkan hasil Scan Cover Buku Panduan

Dengan diterbitkannya buku ini, aktivitas wisata dan konservasi Hiu Paus di Perairan Botubarani diharapkan dapat menjadi barometer pengelolaan yang baik dan berkelanjutan

Image. Atas pertimbangan pemikiran yang telah di kemukakan di atas maka saya sebagai peniliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “ ANALISIS.. PENGARUH SERVICE

Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu menetapkan Jenis dan