PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN LINGKAR WISATA MAFU JOU-MOTIR VERBOND 1322-1343 M
Kasus Objek Wisata Alam dan Sejarah di Pulau Moti yang Terlupakan1
PROTECTION AND UTILIZATION TOUR CIRCLE OF MAFU JOU-MOTIR VERBOND 1322-1343 BC
Case of Nature and History Tour Object at Moti Island that be Forgotten
Oleh: Abd. Rahman, S.S., M.Si.
Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Maluku Utara
HP. 081342525122/e-mail: [email protected]
ABSTRACT
If Moti Island looked at only from natural physical side merely, so Moti only a isle doesn't have a meaning anything, but when does Moti Island looked at from historic side, so Moti is a giant history dig very rich and interesting. Moti Island, in history context concern four principal kingdoms ever there and still in this spices archipelago. those kingdoms: Ternate, Tidore, Makian (Bacan), and Moti (Jailolo). After Moti Meeting at year 1322 BC, those kingdoms is then more eksis as Islamic kingdoms (sultanate) at these area. This study related to watchfulness development need and Ternatanese historiography according to konfrehensif for education and culture now and period to come. That need includes in it history event Motir Verbond (Moti Partnerships), 1322-1343 BC. Tour environment of Mafu Jou-Motir Verbond cover sub-district Tadenas-Tuanane and also at Tafamutu, island Moti district, Ternate city. Nature tour object and history trace that found at surround this Kadato Ici Palace at Tafamutu, Solo Pece Port, Ake Boki, and Mafu Jou self, all in Tadenas village. Hope and another target that is maintenance, protection, and history valuable nature tour objects preservation at Moti City, as part from environment preservation efforts. Watchfulness method that uncover this matter historical science watchfulness method, with approach interdisipliner.
Keywords: Tourism Zone-Mafu Jou-Motir Verbond- Moti Island
I. PENDAHULUAN
Jika Moti dipandang hanya dari sisi fisik alamiah belaka, maka Moti hanyalah sebuah pulau kecil yang tidak bermakna apa-apa, akan tetapi ketika Moti dipandang dari sisi historis, maka Moti adalah sebuah galian sejarah raksasa yang sangat kaya dan menarik. Moti, dalam konteks sejarah adalah menyangkut empat kerajaan yang pernah ada dan yang masih ada di kawasan kepulauan rempah-rempah ini. Kerajaan-kerajaan itu adalah: Ternate, Tidore, Makian, dan Moti
sendiri. Setelah Persekutuan Moti, kerajaan-kerajaan itu kemudian menjadi kerajaan-kerajaan Islam atau kesultanan di kawasan Nusantara Timur. Karena itu, dalam proses perkembangan sejarah berikutnya, mereka kemudian berubah menjadi Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Di samping untuk keperluan pengembangan pengkajian, penelitian, dan penulisan sejarah Ternate
secara konfrehensif untuk kepentingan pendidikan dan kebudayan, yang di dalamnya mencakup peristiwa sejarah Motir Verbond, 1322-1343 M ini, maka yang juga menjadi harapan dan target bersama ialah pemeliharaan, perlindungan, dan pelestarian objek-objek wisata sejarah yang ada di kota ini. Termasuk di dalamnya adalah situs sejarah Motir Verbond di Kelurahan Tadenas-Tuanane dan juga di Tafamutu, Kecamatan Moti, sebagai suatu aset sejarah daerah. Dalam konteks ”spasial” (ruang/tempat), peristiwa Motir verbond ini akan dikaji dari segi tempat terjadinya peristiwa diadakannya Pertemuan Moti, yang mana dalam peristiwa ini telah terlahir suatu ”konfederasi” empat raja dan kerajaan di Moloku Kie Raha, yaitu Ternate (Gapi), Tidore (Duko), Bacan (Makian), dan Moti (Tuanane-Tadenas) yang kemudian pusat pemerintahannya berpindah ke Jailolo. Desa Tadenas Kecamatan Pulau Moti adalah lokasi dan objek utama penelitian.
Penelitian ini terkait dengan beberapa landasan hukum dan alasan yang mendasarinya yaitu: 1) Pasal 32 UUD 45 tentang Kebudayaan Bangsa & Fungsi warisan budaya 2) GBHN Tap MPR tahun 1988 yang berbunyi: ”Tradisi dan peninggalan sejarah yang memberi corak khas kebudayaan bangsa serta hasil-hasil pembangunan yang mempunyai nilai perjuangan bangsa, kebanggaan, dan kemanfaatan nasional perlu dipelihara dan dibina untuk menumbuhkan kesadaran sejarah, semangat perjuangan, dan cinta tanah air serta memelihara kelestarian budaya dan kesinambungan pembangunan bangsa”. 3) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1992: Benda Cagar Budaya (BCB). 4) Surat Keputusan Gubernur Maluku Utara No. 462/KEP.B-11/MU/2002 tentang Perlindungan, Pelestarian dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Yang Tersebar Di Wilayah Propinsi Maluku Utara belum mampu mencegah proses kehancuran benda cagar budaya di propinsi ini. 5) Diperlukan pengkajian, penelitian, penulisan, dan publikasi secara akademik ilmiah yang bersifat khusus tentang sejarah Persekutuan (konfederasi) Moti atau Motir Verbond 1322-1343 M untuk kepentingan IPTEKS, Pendidikan, dan Pariwisata. 6) belum pernah dilakukan oleh pihak manapun dan dari siapa pun. Ini sangat disayangkan, padahal Motir Verbond 1322-1343 M, adalah salah satu unit sejarah lokal yang perlu diangkat untuk melengkapi perbendaharaan dan informasi sejarah lokal Maluku Utara, yang dalam konteks masa lalu disebut Moloku Kie Raha. 7) Pulau Moti, dalam konteks sejarah adalah menyangkut empat kerajaan utama yang pernah ada dan yang masih ada di kawasan kepulauan rempah-rempah ini. Kerajaan-kerajaan itu adalah: Ternate, Tidore, Makian, dan Moti
(Jailolo) sendiri. 8) Setelah Persekutuan Moti, kerajaan-kerajaan itu kemudian menjadi kerajaan-kerajaan Islam atau kesultanan di kawasan Nusantara Timur. Karena itu, dalam proses perkembangan sejarah berikutnya, mereka kemudian berubah menjadi kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Bacan, dan Kesultanan Jailolo. 9) Keperluan pengembangan pengkajian, penelitian, dan penulisan sejarah Ternate secara konfrehensif untuk kepentingan pendidikan dan kebudayan, yang di dalamnya mencakup peristiwa sejarah Motir Verbond, 1322-1343. 10) Terdapatnya harapan dan target bersama dalam pemeliharaan, perlindungan, dan pelestarian situs-situs Benda Cagar Budaya (BCB) dan objek-objek wisata sejarah lainnya yang ada di kota Ternate. Dan 11) Diperukannya referensi historis tentang situs sejarah Motir Verbond di Kelurahan Tadenas-Tuanane dan Tafamutu, Kecamatan Pulau Moti, sebagai salah satu aset sejarah daerah.
II. METODE PENELITIAN
bukti-bukti yang telah dinilai itu dalam bentuk tertulis. Untuk mengungkap peristiwa sejarah pertemuan Empat Kolano Moloku Kie Raha di Moti saat itu, peneliti mengadakan studi lapangan yang meliputi empat hal penting sebagai dasar metode guna memperoleh gambaran tentang: 1. Pengamatan terhadap situasi sosio-kultural (penggunaan bahasa) pada masyarakat setempat, dan umumnya kerajaan-kerajaan di Moloku Kie Raha, 2. Pengamatan terhadap sumber-sumber benda yang diduga sebagai tempat dilaksanakannya pertemuan empat sultan di Moti. Dokumen-dokumen tertulis, baik sumber-sumber yang berasal dari penulis-penulis asing dan penulis-penulis lokal di Maluku Utara, maupun sastra lisan (dola bololo) yang terdapat pada masyarakat Ternate dan Tidore. Penggunaan alat bantu satelit (baik dari NASA-USA, maupun sistem Eropa) melalui internet website google dan yahoo, yang juga digunakan untuk keperluan pengambilan foto dari udara pada lokasi (situs) yang diduga merupakan lokasi atau tempat-tempat yang mempunyai kaitan dengan pertemuan Moti itu.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Letak Geografis dan Administrasi
Pulau Moti secara geografis berbatasan dengan Pulau Mare (wilayah Kecamatan Tidore Selatan) di bagian Utara, dengan Kecamatan Makian di sebelah Selatan, dengan selat Halmahera dan Kecamatan Oba di bagian Timur, dan di bagian Barat berbatasan dengan Laut Maluku. Kedudukan Pulau Moti terletak pada posisi 0028’51.67’’N, 0028’51.67’’N dan 127026’23.11’’E, 127022’54.19’’E. Secara administrasi, Pulau Moti merupakan sebuah kecamatan yang cakupan wilayahnya hanya terbatas pada Pulau Moti, terdiri atas enam kelurahan yang tersebar mengelilingi pulau ini. Kecamatan Moti berada di dalam wilayah administrasi Kota Ternate, Propinsi Maluku Utara. Ke enam kelurahan itu, masing-masing adalah: Kelurahan Kota Moti, ibukota kecamatan, Kelurahan Tadenas, Kelurahan Tafaga, Kelurahan Takofi, Kelurahan Figur, dan Kelurahan Tafamutu. Pulau Moti terbentuk sebagai sebuah kecamatan definitif pada tanggal 15 Agustus 2001 berdasarkan Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor 10 Tahun 2001. Sejak terbentuknya Pulau Moti sebagai kecamatan definitif di tahun 2001 hingga tahun 2008, kini telah dipimpin oleh empat orang Camat, masing-masing: Yasin Marsaoly, B.A. (2001 – 2002), Isnain Hi. Ibrahim, B.Sc. (2002 – 2003), Drs. Sahril Fadli (2003 – 2007), dan A. Sadik Marsaoly, B.A. (2007 – Sekarang). Luas wilayah Pulau Moti adalah sekitar 16 kilometer persegi. Keadaan alamnya terdiri dari pesisir pantai dengan dataran berbukit dan bergunung. Ketinggian puncak gunung Moti yang dikenal dengan nama Tuanane mencapai sekitar 650 meter di atas permukaan laut. Peralihan dari pantai ke dataran berbukit kelihatannya bergelombang, diperkirakan berkisar antara 15 meter sampai dengan 150 meter di atas permukaan laut. Umumnya pesisir pantai Pulau Moti dikelilingi oleh mangrove (hutan bakau) serta laut. Secara alamiah Pulau Moti yang dikelilingi mangrove membuat pulau ini terlindung dari kemungkinan adanya badai ombak yang sewaktu-waktu akan terjadi, terutama pada musim Barat, yaitu pada bulan Desember dan Januari. Pada musim Barat ini ketinggian gelombang laut bisa mencapai sekitar tiga sampai empat meter. Kenyataan ini membuat Pulau Moti menyimpan berbagai potensi ekonomi kelautan cukup besar yang apabila dikelola secara baik dan profesional justru akan menambah income (jumlah penghasilan) masyarakat di sekitarnya berikut benefit (keuntungan) lain bagi kepentingan pembangunan daerah Kota Ternate khususnya dan Propinsi Maluku Utara pada umumnya. Dari keenam kelurahan yang ada di Kecamatan Moti, Kelurahan Kota Moti merupakan kelurahan yang tergolong berpenduduk padat, yaitu berjumlah 1.171 orang, disusul Kelurahan Takofi dengan jumlah penduduk 864 orang, Kelurahan Tafamutu 844 orang, Kelurahan Tafaga 759 orang, Kelurahan Figur 579 orang, dan Kelurahan Tadenas 495 orang. Sarana jalan darat yang menghubungkan keenam kelurahan di Kecamatan Moti telah dibangun oleh pemerintah Kota Ternate semenjak kecamatan ini dikukuhkan statusnya menjadi kecamatan difinitif pada tahun 2001 yang lalu.
Dalam konteks hubungan antar kerajaan di dalam liga ikatan raja-raja Moloku Kie Raha jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke kawasan Moloku Kie Raha telah ada suatu bentuk ikatan raja-raja. Liga tersebut untuk memadukan kekuatan rakyat di Moloku Kie Raha ini dari ekspansi dan rongrongan-rongrongan dari luar. Karena di kepulauan Moloku Kie Raha terdapat cengkih sebagai hasil hutan yang menduduki posisi sangat penting di dunia perniagaan dan bahan niaga yang sangat dibutuhkan dengan harga tinggi, yang selalu menjadi incaran bajak-bajak laut.
Untuk menanggulangi hal tersebut maka pada tahun 1322 M terbentuklah suatu Persekutuan di Pulau Moti “verbond”2 sebagaimana yang diungkapkan oleh James Haire: By the fourteenth century, however, there had developed the four-kingdoms of Jailolo, Ternate, Tidore, and Bacan in 1322 at Moti these four settled their boundaries, although war broken out between them in 1343 (bagaimanapun juga pada abad ke-14, di wilayah ini telah terbentuk empat kerajaan Maluku yaitu Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan di mana keempat rajanya telah pernah melakukan pertemuan di Moti pada tahun 1322 M. Dalam pertemuan itu telah disepakati pula mengenai penentuan batas-batas wilayah masing-masing, namun pada tahun 1343 M pecah perang di antara mereka, sehingga kesepakatan itu pun telah terlanggar).3 Walaupun kadang terjadi sengketa antara raja-raja di Moloku Kie Raha itu sendiri, namun jika ada salah satu dari kerajaan-kerajaan ini diserang dari luar maka keempat kerajaan itu bersatu menghadapi musuh-musuh tersebut, justru dari sini muncullah rasa persatuan dan kebersamaan serumpun Maloko Kie Raha. Hubungan Ternate dengan Tidore oleh pengarang asing disebut dengan traditional rivals (musuh tradisional).4 Demikian pula pertemuan antara keempat Sultan di Kota Janji Ternate, sebagai kelanjutan dari Persetujuan Moti 1322 M. Pertemuan keempat Sultan yaitu: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo.5
C. Pulau Moti Tempat Pertemuan Bahasa
Pulau Moti berdasarkan pandangan dan catatan Jusuf Abdulrahman mangatakan bahwa dalam beberapa hal, Moti dapat dipandang dan dibaca dengan atribut “moti” atau “mortir-Motir”. atribut ini dapat diterima apabila ditinjau dari segi volks etimologies atau saintific etimologis, sosio-linguistik, atau sosiokultural6. Dari segi sosiolinguistik beliau mengatakan sebagai berikut: 1) Pulau Moti adalah tempat pertemuan kelompok bahasa Austronesia dan non-Austronesia yang terwakili di Pulau Moti yaitu: a. Bahasa Autronesia: Bahasa Makian Dalam (Makian Timur-East Makian-Kelompok Halmahera Selatan) di Desa Tafaga dan Takofi. b. Bahasa non-Austronesia: Bahasa Tidore Kota (Kelompok Halmahera Utara) di desa Tadena dan Tafamutu berbarengan dengan Bahasa Makian Dalam. Bahasa Makian Luar (West Makian-Kelompok Halmahera Utara) di Desa Takofi dan Tafamutu. Bahasa Tidore Kota (Tumalou/Gurabati) dominan di desa Takofi, sedangkan Bahasa Makian Dalam (Ngofagita/Ngofakiaha) dominan di desa Tafaga. Desa-desa lainnya terjadi “diglosia” (dwibahasa) bahkan poliglots
(multibahasa), yaitu pembauran sedikitnya 4 (empat) bahasa yaitu: a) Makian Dalam (Ngofagita-Ngofakiaha), b) Makian Luar (Sabale-Talapao), c) Tidore (Gurabati-Tumalou), dan d) Ternate (Sulamadaha-Hiri). 2) Adalah sangat menarik apabila Kita berwisata bahasa Moloku Kie Raha ke Pulau ini. Penduduk setempat menjemput tamunya dengan Bahasa Ternate sebagai lingua franca di Moloku Kie Raha. Tetapi kalau tamunya kebetulan orang Tidore, maka pembicaraan beralih ke Tidore dan selanjutnya untuk bahasa Ngofagita atau Talapao sesuai kondisi kebahasaan tamu tersebut. 3) Desa
2 D.G. Stibbe. 1918. Encyclopaediae van Nederlandsch Oost Indie, hlm. 772 . dalam Abdulrahman, ibid., hlm. 38. Selain itu dapat pula dilihat dalam Ensiklopaediae van Nederlandsche Indie, Tweede Druk, Onder Redactie van D.G. Stibbe (Boitengewoon Hoogleeraar Aan De Ned. Handels-Hoogeschool) en C. Spat (Bijzonder Hoogleeraar Aan De Rijksuniversiteit te Utrecht. Met medewerking van E.M. Uhlenbeck Oud Luitenant-Kolonel der Infantrie N.I.L, Vifde Deel, MN. Alles Komt Tereght, ‘sGraven Hage, Martinus Nijhoff, Leiden: N.V. V/H. E.J. Brill. 1927. Isinya membahas antara lain mengenai Batjab (Sult.) I 204; A.288., Batjan of Seki I 205; A288, dan Batjansch I 206; A288. Lihat pada Werven en Dokken-Batjan, hlm. 287-290.
3 J.Haire. 1979. The Character and Theological Strugglr of The Church in Halmahera-Indonesie 1941-1979. Verslag van Peter Delang. Frankfurt: Ammain, hlm. 90. Terjemehan kutipan dari Haire ini dilakukan oleh peneliti.
4 Paramitha A. Rahman, dalam Abdulrahman, Op.Cit.
5 Crab, Op.Cit., hlm. 390. Sumber lain dari Crab, dapat pula dilihat dalam karyanya yang berjudul De Moluksche Eilanden: Reis van z.e den Gouverneur-Generaal Charles Ferdinand Pehud door den Molukschen Archipel. Batavia: Lange, dan lihat pula terbitan tahun 1878.
18-Tadenas, diperkirakan sebagai lokasi pertemuan liga bangsa-bangsa (bukan negara atau kerajaan) se-Moloku Kie Raha yang disebut Motir Verbond itu (Abdulrahman, menyebutnya Moti Verbond). Istilah “moti”-diasal-usulkan secara keratabahasa (volks etimologie) dari perkataan: 1) “Mote” (-bahasa Ternate) berarti ikut, mengikuti, 2) Dari perkataan “mo-te” (-bahasa Ngofagita/Ngofakiaha), berarti: marilah bersama, marilah bersatu, 3) Dari kata “motiq”, yang berarti: berikan, dan 4) Tiruan bunyi letusan (senjata-gunung) “mortir”, yang selanjutnya mengalami reduksi menjadi “motir”: - “Motir Verbond”. 4) Bahasa adalah “rekaman budaya”, maka oleh karena itu Pulau Moti dengan asal-usul katanya (etimologisnya) merupakan tempat perpaduan budaya dan adat se-Moloku Kie raha dengan bahasa pengantarnya adalah Bahasa Ternate (lingua franca). Dari Pertemuan Moti (Motir Verbond) pulalah terlahir suatu “proklamasi” tentang bahasa Ternate sebagai “bahasa jati diri” orang-orang Moloku Kie Raha (Maluku Utara) di samping fungsi-fungsi lainnya yaitu: a. Bahasa Administrasi para Sultan di Maluku Utara dengan menggunakan aksara pegon (sejenis tulisan Arab yang dimodifikasi). b. Bahasa antar suku di Moloku Kie Raha, atau bahasa persatuan. c. Bahasa (sebagaimana dikemukakan di bagian sebelumnya) adalah rekaman Budaya Moloku Kie Raha. d. Jati diri orang-orang Moloku Kie Raha, di samping piranti-piranti lainnya. Pulau Moti, secara historis merupakan salah satu kerajaan di Maluku (Moloku Kie Raha) yang pada masa lampau pernah memainkan peranan penting dalam dunia perdagangan yaitu sebagai salah satu produsen cengkih terbesar dunia selain Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore, dan Kerajaan Makian. Lebih lanjut P. van der Crab mengatakan bahwa Moti adalah salah satu kerajaan di Maluku penghasil cengkih terbesar dunia.
D. Pertemuan Moti
Kolano Ternate, Patsyaranga Malamo (1317-1322) berhasil memindahkan pusat perdagangan rempah-rempah dari Hitu di Ambon ke Ternate pada tahun 1317 M, beberapa saat setelah ia naik tahta. Tindakan ini sangat relevan dengan konsekuensi: Pertama: Ternate tumbuh dan berkembang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Maluku Utara. Para pedagang Nusantara (Jawa dan Melayu) dan mancanegara (Cina, Arab, India/Gujarat) mulai menetap di Ternate dan mendirikan pos-pos niaga rempah-rempah di berbagai kota di Maluku Utara seperti Tidore, Makian, Moti, dan Bacan. Selain rempah-rempah diperdagangkan juga berbagai barang kebutuhan pokok seperti alat-alat rumah tangga, peralatan pertanian, dan jasa-jasa. Pelabuhan Talangame makin ramai disinggahi kapal-kapal dan junk-junk (perahu-perahu dagang tradisional Cina).Kedua:Karena perekonomian tumbuh pesat, maka pendapatan rakyat Ternate juga meningkat dan pundi-pundi kerajaan juga terisi penuh oleh pajak dan retribusi yang disebut ngase. Kemakmuran Ternate bertambah ketika Sida Arif Malamo naik tahta menggantikan Patsyaranga. Tingkah laku dan pergaulannya yang luas dengan pedagang-pedagang asing, telah menebarkan pesona tersendiri. Tetapi pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran rakyat Ternate, membawa konsekuensi yang serius. Valentijn mencatat dalam bukunya Oud en Nieuw Ooast Indien, Vol. 1b (1724) halaman 135, bahwa selama beberapa tahun Ternate mengalami gangguan keamanan dan tindak kriminal. Tiap malam sejumlah besar perampok yang datang dengan perahu dari Tidore, Moti, dan Bacan beroperasi dalam kota. Sasarannya: para pedagang dan rakyat yang dipandang sudah mapan sosial-ekonominya. Mereka menggedor setiap gudang dan rumah dan membawa pergi apa saja yang mereka temukan. Keadaan ini sangat meresahkan para pedagang, baik Nusantara maupun asing. Mereka meminta agar kolano Ternate turun tangan.
mereka dengan memilih Pulau Moti sebagai tempat pertemuan dengan alasan, bahwa pulau ini letaknya sangat sentral (strategis) untuk kolano yang datang dari Bacan, Tidore, maupun Jailolo. Loloda turut pula diundang. Kerajaan yang dianggap miskin ini walaupun dari segi politik kurang relevan, tetapi untuk menghormatinya sebagai salah satu kerajaan yang tua iapun tetap diundang. Sesuai mitos Biku Sagara, Loloda juga lahir dari “tetas telur naga suci” yang merupakan cikal bakal kerajaan-kerajaan Maluku Utara. Yang hadir pada saat pertemuan dibuka adalah: 1. Sida Arif Malamo, Kolano Ternate, 2. Mategena, Kolano Tidore, 3. Sida Hasan, Kolano Bacan, 4. Rampala, Kolano Moti (Jailolo). Wakil Loloda tidak sempat hadir, karena angin ribut menerpa perahunya. Ia dengan selamat mendarat di Dufa-Dufa Ternate, setelah perahunya rusak.
E. Agenda Pertemuan
Hal-hal dan issu yang dibahas dalam Pertemuan Moti berdasarkan hasil hasil yang dicapai setelah pertemuan usai dapat direkonstruksikan bahwa pertemuan itu berupaya untuk mencapai solusi yang berfokus pada: 1. Upaya untuk meredakan ketegangan di antara rakyat Ternate yang berhadapan dengan rakyat Tidore, Moti, dan Bacan yang tindakan-tindakannya meresahkan para pedagang Nusantara maupun asing yang bermukim di Ternate. 2. Mencari jalan untuk menciptakan suatu Maluku Utara yang aman, damai, dan tentram, 3. Menetapkan peringkat dan senioritas kerajaan-kerajaan di Maluku Utara 4. Membahas tentang rempah-rempah dan harga jualnya yang memadai, dan 5. Menjajaki unformitas adat , seremoni kerajaan, dan keraton. Setelah beberapa hari bersidang, pertemuan berhasil mencapai kesepakatan berikut: 1. Membentuk sebuah persekutuan yang disebut Persekutuan Moti (Motir Verbond) untuk bekerja sama di berbagai bidang, guna kepentingan rakyat dan kerajaan masing-masing, 2. Menetapkan Kerajaan Jailolo pada peringkat pertama dalam senioritasnya, disusul Ternate, Tidore, dan Bacan, 3. Pranata-pranata adat dan seremoni kerajaan yang akan dipakai adalah pranata Kerajaan Ternate, sebagai patokan, dan akan disesuaikan dengan kepentingan masing-masing kerajaan, 4. Tentang tata niaga rempah-rempah, diserahkan sepenuhnya pada situasi masing-masing kerajaan, 5) Tidore menetapkan harga jual cengkih lebih tinggi dari Bacan dan Ternate, tetapi untuk cengkih raja, ditetapkan tersendiri. Ia lebih mahal ketimbang cengkih ”si putih” yang dihasilkan Bacan dan Tidore.
F. Alasan Pulau Moti Sebagai Tempat Pertemuan
kabasaran se ma istiadat rimoi bato, 4. Jou ngon ka dada madopo, Fangare ngom ka alam madiki (untuk Ternate). Artinya: 1. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, 2. Berasal dari kerajaan yang berbeda tetapi kita adalah satu, 3. Empat kerajaan Maluku berasal dari satu keturunan dengan kejayaan dan adat-istiadat yang satu pula, 3. Kalian sebagai penguasa pulau, dan kami sebagai penguasa alam (ditujukan kepada Ternate) Ungkapan-ungkapan Dola Bololo dalam Versi Lain, mengatakan bahwa di dalam pertemuan empat kolano kerajaan Moloku Kie Raha tersebut, harus mengajukan ”Dola Bololo” atau ”Saluma” (semacam sastra lisan berupa pantun), sebagai berikut: 1. Dola Bololo atau Saluma Raja Makian (Bacan=Kie Besi): ”Mago Daga Duka Nena Magu Garu Naro-Naro”. 2. Dola Bololo atau Saluma Raja Moti (Tuanane) menjawab: ”Mio Na Ngone Bato Maku Gosa Jira Ifa, 3. Dola Bololo atau Saluma Raja Ternate (Gapi) menjawab: ”Ino Fomakati Nyinga Doka Gosora Sabualawa Om Daro Mako Mote Maku Gogoru Maku Do Dara”, dan Dola Bololo atau Saluma Raja Tidore (Kie Doku), menjawab: ”Ena Ge Mau-Mau Ngone Musti Fo Mari Moy Garo Laha Fomaku Mote Senagam Yodadi Jang”.
G. Isi Pertemuan Moti
Berdasarkan empat ungkapan dalam ”Dola Bololo” tersebut di atas, akhirnya empat orang raja tersebut berkesimpulan: ”Doku Nena Marimoi Ngone Foturu”. Dari ungkapan ini maka lahirlah konsep ”Moloku Kie Raha”. Adapaun isi pertemuan keempat raja di Tadenas, Pulau Moti, itu adalah sebagai berikut: 1. Harus bantu-membantu satu sama lain apabila salah satu di antaranya diserang oleh musuh dari luar, 2. Membantu muballiq-muballiq dari Arab, Aceh, dan Jawa untuk menyebarluaskan Syariat Islam di kawasan Moloku Kie Raha, 3. Membendung arus monopoli dagang pala dan cengkih dari koloni-koloni kasing, 4. Menetapkan tapal batas masing-masing kerajaan.
Gambar 4: Tampak dari atas permukaan yang datar: Mafu Jou (batu raja/sultan) nampak dari arah dapan. Subuah bukit batu cadas (Tuanane) yang di atas permukaannya pernah dijadikan sebagai tempat Pertemuan Moti, oleh empat kolano dari empat kerajaan utama Moloku Kie Raha: Jailolo, Makian (Bacan), Tidore, Ternate. Pertemuan (sidang/rapat) mereka menghasilkan Motir Verbond 1322 M (Persekutuan Moti), biasa juga disebut sebagai Traktat Moti. Isi perjanjian itu berlaku hingga tahun 1343 M.
dikemukakan bahwa Pertemuan Moti pada tahun 1322 M itu berhasil membicarakan berbagai hal yang bersangkutan dengan kondisi kerajaan-kerajaan yang ada di kawasan Moloku Kie Raha. Adapun isi dari pertemuan itu adalah sebagai berikut: 1. Membahas upaya perdamaian yang sekaligus meredam ketegangan antar kerajaan yang ada di kawasan Moloku Kie Raha, 2. Penyeragaman bentuk-bentuk kelembagaan kerajaan, 3. Penentuan peringkat dan senioritas peserta musyawarah. Pertemuan Moti akhirnya berhasil menyepakati seluruh agenda, kecuali masalah peringkat dan senioritas kerajaan dan kolano-kolanonya yang ada di Moloku Kie Raha. Dalam masalah peringkat dan senioritas, Bacan menuntut bahwa justru kerajaan Bacanlah yang layak dipilih sebagai kerajaan yang paling senior, dengan alasan bahwa Bacan berasal dari Buka anak tertua Jafar Sadek dan Nursifa (dalam konteks legenda dan mitologis). Tuntutan Bacan untuk ditempatkan sebagai kerajaan yang paling senior ditolak oleh peserta yang lain, karena secara kenyataan, bahwa sebelum kerajaan Bacan, Tidore, dan Ternate berdiri, sudah ada Jailolo yang harus dianggap sebagai kerajaan yang paling senior. Adapun bukti-bukti fisik alamiah dari Persekutuan Moti, yaitu: 1. Pelabuhan Solo Pece. 2. Ake Boki (Kolam Pemandian Permaisuri) .3. Mafu Jou (Batu Raja/Kolano/Sultan). 4. Kedato Ici (Keraton Kecil) Istana Kerajaan Moti di Tafamutu.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan
Telah terjadi Pertemuan di Moti yang melahirkan Motir Verbond (Persekutuan Moti, 1322-1343 M), dengan masa berlaku 21 tahun dan Sida Arif Malamo (1322-1331), raja Ternate ke-7 adalah perintisnya. Isi Perjanjian Moti dihapuskan pada tahun 1343 oleh Raja Tulu Malamo (1343-1347) dari Kerajaan Ternate. Pemahaman kaum Populis di Ternate bahwa Motir Verbond sesungguhnya juga telah melahirkan Konfederasi Moti, tidaklah tepat apabila dilihat dari segi Hukum Tata Negara. Alasan terbentuknya Persekutuan Moti (Motir Verbond 1322), karena: seringya terjadi gangguan keamanan dan ketegangan internal antar empat kolano dan kerajaan bersaudara di negeri Moloku Kie Raha yang diakibatkan oleh perebutan kekuasaan (hegemoni) perdagangan rempah-rempah terutama cengkih di kawasan ini. Situasi ini terjadi pada abad-abad ke-14 M, yang kemudian diperparah ketika masuknya bangsa-bangsa Eropa. Para kolano (raja) yang hadir dalam Pertemuan Moti di tahun 1322 M adalah:1. Sida Arif Malamo, Kolano Ternate. 2. Mategena, Kolano Tidore. 3. Sida Hasan, Kolano Bacan.4. Rampala, Kolano Moti (Jailolo). Alasan dijadikannya Pulau Moti, tepatnya di Tadenas sebagai tempat pertemuan oleh empat kolano Moloku Kie Raha karena: 1. Posisi Moti bersifat netral, dengan letak yang jauh dari Ternate, Tidore, Makian(Bacan), dan Jailolo. 2. Posisi Moti, dianggap lebih aman. Ketika itu Ternate nyaris tidak aman, karena seringnya terjadi gangguan keamanan.3. Ada yang mengatakan bahwa, Moti ini justru adalah kerajaan yang bungsu (paling muda) dari empat kerajaan lainnya di Moloku Kie Raha, namun hal ini masih menimbulkan tanda tanya dan diperlukan penelitian lebih lanjut. Realisasinya memang Moti sekarang masuk ke dalam wilayah Ternate yang dianggap sebagai kerajaan bungsu namun terbesar pengaruhnya di kawasan ini.
Membentuk sebuah persekutuan yang disebut Persekutuan Moti (Motir Verbond) untuk bekerja sama di berbagai bidang, guna kepentingan rakyat dan kerajaan masing-masing. 9. Menetapkan kerajaan Jailolo pada peringkat pertama dalam hal senioritasnya, disusul Ternate, Tidore, dan Makian (Bacan). 10. Pranata-pranata adat dan seremoni kerajaan yang akan dipakai adalah pranata Kerajaan Ternate, sebagai patokan, dan akan disesuaikan dengan kepentingan masing-masing kerajaan. 11. Tentang tata niaga rempah-rempah, diserahkan sepenuhnya pada situasi masing-masing kerajaan.12 Tidore menetapkan harga jual cengkih lebih tinggi dari Bacan dan Ternate, tetapi untuk cengkih raja, ditetapkan tersendiri. Ia lebih mahal ketimbang cengkih ”si putih” yang dihasilkan Bacan dan Tidore.
Tempat-tempat yang menjadi Situs Sejarah Motir Verbond 1322-1343 M adalah: Pelabuhan Solo Pece (tempat bersandarnya perahu kora-kora dari para kolano yang menjadi peserta pertemuan Moti 1322 M, Ake Boki (Kolam Pemandian Permaisuri). Istri para Kolano. Mafu Jou (Batu Raja/Sultan) di Tuanane. Kedato Ici (Keraton Kecil) Istana Kerajaan Moti di Tafamutu. Seluruh jejak sejarah persekutuan Moti (Motir Verbond) semuanya hampir tidak terawat dan senantiasa terancam kerusakan. Baik oleh karena kondisi alam yang selalu berubah, maupun oleh campur tangan manusia yang tidak memiliki kesadaran sejarah dan tidak memiliki lingkungan. Hal ini diakibatkan karena perhatian pemerintah, swasta, dan masyarakat terhadap objek wisata alam dan sejarah ini belum ada. Terbukti dari brlum adanya upaya-upaya pemerintah terutama yang paling berkompeten untuk melakukan tindakan yang nyata dan segara dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, di tingkat daerah propinsi dan Sembilan kabupaten kota yang ada di Maluku Utara.
Apapun alasannya, Pertemuan Moti tetap menghasilkan perdamaian dan keamanan selama hampir 21 tahun, di antara sesama kerajaan lokal di Moloku Kie Raha. Kemudian apabila merujuk pada istilah “verbond” (bahasa Belanda) dalam berbagai arti kamus, dapat dikatakan bahwa “konfederasi” (persekutuan negara) telah tercipta ketika itu di Moloku Kie Raha (Jailolo (Moti), Bacan (Makian), Ternate, dan Tidore), dan apabila hasil-hasil kesepakatan di “Mafu Jou” (batu kolano/batu raja)” itu juga dirujuk kembali arti dan maknanya, bahwa Ternate selain sebagai pengagagas pertama pertemuan Moti, sekaligus juga adalah sebagai penguasa seluruh “Alam Maluku” dan hal itu disepakati oleh tiga kerajaan saudaranya yang lain.
Tindakan minimal yang dapat dilakukan dengan segera adalah sosialisai dari sejumlah pranata hukum, peraturan, dan perundang-undangan (regulasi) yaitu: Pasal 32 UUD 45 tentang Kebudayaan Bangsa & Fungsi warisan budaya, GBHN Tap MPR tahun 1988 yang berbunyi: ”Tradisi dan peninggalan sejarah yang memberi corak khas kebudayaan bangsa serta hasil-hasil pembangunan yang mempunyai nilai perjuangan bangsa, kebanggaan, dan kemanfaatan nasional perlu dipelihara dan dibina untuk menumbuhkan kesadaran sejarah, semangat perjuangan, dan cinta tanah air serta memelihara kelestarian budaya dan kesinambungan pembangunan bangsa”, Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1992: Benda Cagar Budaya (BCB), Surat Keputusan Gubernur Maluku Utara No. 462/KEP.B-11/MU/2002 tentang Perlindungan, Pelestarian dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Yang Tersebar Di Wilayah Propinsi Maluku Utara belum mampu mencegah proses kehancuran benda cagar budaya di propinsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrahman, Jusuf. 2002. Kesultanan Ternate dalam ”Jou Ngon Ka Dada Madopo Fangare Ngom Ka Alam Madiki” (Moti Verbond 1322), Cet. I. Manado: Media Pustaka.
Alfian, T. Ibrahim. 1994. Metode Penelitian Sejarah (diktat/makalah ceramah/sarasehan Kesejarahan), Jumat, 22 April. Yogyakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Yogyakarta-Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta-Kanwil Depdikbud Propinsi DIY.
Adnan Amal, M. Adnan. 2007. Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Makassar: Bakti.
Andaya, Leonard. 1993. The world of Maluku. Honolulu: University of Hawaii.
Crab, P. Van der. 1862. De Moluksche Eilanden: Reis van z.e den Gouverneur-Generaal Charles Ferdinand Pehud door den Molukschen Archipel. Batavia: Lange.
De Clercq, F.S.A. 1890. De Bijdragen tot de Kennis de Residentie Ternate. Leiden: Brill. Fraassen, Ch. F. Van.1987. Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipelago, 2 Vols.
Leiden: Universitas Leiden.
Hasan, Riyana. 2007. Ekspansi Kekuasaan Kerajaan Ternate. Ternate: Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Khairun (Laporan Hasil Penelitian Skripsi Sarjana).
Jacobs, Hubert Th.Th. M. 1971. ”A Treatise on The Moluccas (c.1544): Probably Preliminary Version of Antonio Galvao’s Lost”, Historia Das Moluccas, Edited, Annotated, and Translated in to English from The Portuguese Manuscript in The Archivo General de Indies, Seville. Rome, Italy: Jesuit Historical Institute via dei Penitenzieri 20 00193, St. Louis University, St Louis, Mo. 63103, USA.
Jafar, Nani, dkk. 2007. Profil Sejarah dan Budaya Halmahera Barat (hasil penelitian). Ternate: Fakultas Sastra dan Budaya-Unkhair.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana-Jurusan Sejarah UGM. Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.