KEKERASAN ANTAR UMMAT BERAGAMA: SEBUAH ANALISIS PIERRE BOURDIEU ATAS KEHIDUPAN ANTAR UMMAT BERAGAMA DI INDONESIA
Oleh: Muh. Abdi Goncing
A. Pengantar
Masyarakat adalah suatu fenomena dialektik dalam pengertian bahwa masyarakat adalah suatu produk manusia yang tidak lain akan selalu memberikan timbal balik terhadap produsennya. Masyarakat adalah produk manusia. Masyarakat tidak mempunyai bentuk lain kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh aktifitas dan kesadaran manusia. Sehingga realitas sosial tak terpisahkan dari manusia itu sendiri, yang dengan demikian dapat dipastikan bahwa manusia adalah suatu produk masyarakat (Berger, 1991: 3). Untuk itu, segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia, sadar ataupun tidak merupakan sebuah keniscayaan yang ada disekitarnya.
Pada beberapa fenomena yang sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat, seringkali didapati berbagai bentuk kekerasan yang terjadi, khususnya dalam fenomena penyelesaian beberapa persoalan yang konflik atau persoalan pelik. Bahkan kekerasan seringkali dijadikan sebagai satu-satunya solusi untuk meredakan atau menghentikan konflik atau persoalan pelik yang sedang terjadi tersebut. Sehingga dalam hal ini, yang terjadi kemudian adalah kebalikan dari prinsip perusahaan Pegadaian, yakni menyelesaikan masalah dengan memunculkan masalah baru.
Hal yang sama juga seringkali ditemui dalam beberapa fenomena kehidupan ummat beragama, khususnya yang terjadi di Indonesia. Dalam beberapa fenomena misalnya, dijumpai beberapa tindakan yang mengarah kepada kekerasan yang sepertinya telah dirasuki semacam sebuah bentuk mekanisme ideology di dalamnya. Dalam hal ini ajaran agama kemudian dijadikan sebagai landasan dari ideology tersebut. Hal ini dikarenakan semua upaya untuk memahami secara sistematis tindakan sosial tidak bisa dilepaskan dari fenomena ideology (Haryatmoko, 2003: 16-17).
atau mendukungnya. Oleh karena itu, fenomena kekerasan yang seringkali melingkupi berbagai konflik atau persoalan yang terjadi, khususnya dalam konteks kehidupan ummat beragama, tidak bisa dilepaskan dari fenomena ideology yang telah merasuki kehidupan masyarakat tersebut.
Pada sisi yang lain, kekerasan juga tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang bernuansa politis yang cenderung disertai dengan tindak kejahatan. Hal tersebut disebabkan oleh karena penguasa sebagai pemegang monopoli kekerasan yang memiliki legitimasi bisa sewenang-wenang, semisal dalam beberapa kasus ketika masa orde baru berkuasa, yang mana ketika apa yang dilakukannya tersebut berbuah menjadi sebuah masalah, dengan berbagi legitimasi yang dimilikinya kemudian berusaha mempertahankan kekuasannya (Haryatmoko, 2003: 34), yang tentunya dengan tindakan kekerasan. Menurut Rene Girard dalam Haryatmoko (2003: 34), bukan hanya struktur social-politik yang mengkondisikan terjadinya kekerasan, namun struktur dasar hasrat mimetis manusia juga mendorong kekerasan karena hasrat dasar manusia adalah kemarahan.
Lebih parah lagi, dalam konteks keindonesiaan, agama sebagai salah satu wadah yang semestinya anti terhadap kekerasan, seringkali dijadikan sebagai sebuah alat ‘dominasi’ untuk melakukan atau melegitimasi sebuah tindakan kekerasan demi memaksakan ajaran agamanya. Agama sendiri dipahami oleh Bourdieu (1991) sebagai sebuah gagasan yang memberi kekuatan yang memobilisasi. Sehingga dalam hal ini, sangat memliki potensi untuk melakukan tindakan kekerasan sebagai sebuah alat dominasi politik keagamaan. Persoalan ini sejatinya telah menjadikan agama sebagai sebuah alat simbolis dalam pembenaran kekerasan dan juga sebagai landasan ideologis penggunaan kekerasan yang ada (Haryatmoko, 2003: 34).
B. Kekerasan Sebagai Bentuk Dominasi
Rangkaian konflik yang terjadi di Indonesia seakan tidak pernah terputus. Yang memilukan adalah hampir semua konflik mengandung kekerasan dengan berbagai bentuk dan intensitasnya. Bahkan Colombijn & Lindblad (2002) pernah menyatakan bahwa “Indonesia is a violent state” (Indonesia adalah sebuah negara gagal). Kekerasan bahkan telah menjadi sebuah komoditi sehari-hari untuk memaksakan kehendak dan masing-masing komponen masyarakat terbiasa untuk tega memaksakan kehendak melalui pendayagunaan tindak kekerasan. Konflik kemudian identik dengan kekerasan dan kehancuran serta tentu saja kerugian fisik dan non-fisik.
Hal yang sama juga terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini, dimana seringkali dijumpai beberapa bentuk kekerasan yang berlandaskan konflik antar ummat beragama. Padahal agama dapat dijadikan sebagai suatu faktor pemersatu, khususnya dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Namun dalam beberapa hal, agama dapat juga dengan mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah. Pakar Sosiologi Islam Klasik Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa perasaan seagama mungkin perlu, namun tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kelompok (group belonging) atau kesatuan sosial. Harus ada faktor-faktor lain yang lebih memperkuat dan mempertahankan kohesi sosial. Atas dasar ini, tidak heran jika muncul kelompok optimis dan kelompok pesimis terhadap agama. Kelompok optimis berpendapat manusia tidak mungkin dipisahkan dari agama, karena manusia itu sendiri sebagai zoon religion. Agama juga telah membuktikan peranannya di dalam mengangkat martabat kemanusiaan. Akan tetapi kelompok pesimis melihat agama sebagai pendorong untuk menganiaya sesama umat manusia (Rosmaniah Hamid, 2006: 1).
Inilah ironi baru yang sering terjadi dalam masyarakat bangsa Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Yang mana ironi tersebut seolah menggambarkan watak manusia bangsa ini yang identik dengan kekerasan ketika akan menyelesaikan sebuah persoalan, khususnya dalam kehidupan antar ummat beragama di negeri ini. Bukan hanya itu saja, khususnya dalam dua dekade terakhir ini, dampak yang paling signifikan yang bisa dilihat adalah adanya ancaman keteruraian bangsa ini menjadi seperti negeri Balkan yang terpecah berkeping-keping atau seperti negeri-negeri di Afrika yang konfliknya sampai sekarang tak tentu kapan berakhirnya.
direnungkan dan direfleksikan secara mendalam guna kebaikan hubungan ummat beragama di negeri ini. Sebagaimana dalam UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan setiap penduduk negeri ini untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Satu hal yang sering menjadi memicu konflik antar ummat beragama di negeri ini adalah adanya ukuran kesalehan seseorang yang berdasarkan simbol dan praktek formal keagamaan yang dilakukannya, yang mesti sama dengan masyarakat lainnya (Haryatmoko, 2003: 62). Padahal, kalau simbol-simbol dan praktek keagamaan yang formal tersebut yang dijadikan sebagai ukuran utama kesalehan seseorang, kapan agama bisa mengantarkan pemeluknya menuju kedalaman hidup dan penerimaan pluralitas? Begitupun juga ketika sektarianisme yang dijadikan sebagai pilar identitas penganutnya, maka bagaimana kemudian agama membangun institusi-institusi sosial yang lebih adil dan berkeadilan?
Hal inilah mungkin yang sering disebut sebagai dua wajah dalam agama yang saling kontradiksi. Pada satu sisi, agama merupakan tempat dimana orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan yang kukuh, bahkan banyak orang dan kelompok menimba kekuatan dan mendapatkan topangan ketika berhadapan dengan penderitaan, penindasan atau rezim totaliter. Namun pada sisi lain, agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan yang melingkupi ajaran agama tersebut, utamanya di Indonesia akhir-akhir ini. Apalagi adanya penyalahgunaan persoalan tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang kemudian menyulut kekerasan yang berlandaskan agama (Haryatmoko, 2003: 62-63).
Dalam konteks seperti diatas, telah terjadi semacam totemisme dalam agama. Dimana agama secara integral dimaknai sebagai sesuatu yang terkait dengan sistem organisasi kesukuan dan sebagai sebuah bentuk penandaan identitas kelompok dalam agama tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa agama tersebut sebagai sebuah bentuk totem yang dikuduskan, sebagaimana yang terjadi di Australia pada para penganut totemisme (Durkheim, 1965).
Menurut Kelley dan Stahelski (1970), persepsi mengenai tidak adanya alternatif yang baik dalam menyelesaikan konflik tersebut, kadang-kadang memang bersifat realistis. Hal ini sangat sering diakibatkan oleh zero-sum thinking, yaitu suatu cara berfikir bahwa keuntungan saya adalah kerugianmu dan begitupun sebaliknya. Cara berpikir semacam ini sepertinya timbul dari disposisi kepribadian yang cenderung otoritarian, yang mengarah pada suatu pandangan bahwa dunia adalah rimba, dimana setiap orang tidak dapat menghindari konflik dengan orang lain.
Jika dilihat dari kacamata Bourdieu, kekerasan antar ummat beragama yang diuraikan diatas, merupakan sebuah bentuk kekerasan guna menunjukkan dominasi, yang mana dalam hal ini berlaku logika mayoritas (yang dominan) dan logika minoritas (yang di dominasi). Hal tersebut dikarenakan, dalam melakukan sebuah proses dominasi, menurut Bourdieu (1998: 54) diperlukan sebuah arena (fields), yang mana konsep arena tersebut menunjukkan tempat pertarungan kekuatan dan wadah perjuangan untuk mempertahankan atau mengubah struktur hubungan-hubungan yang terdapat dalam kekuasaan. Dengan kata lain, agama pun dijadikan sebagai sebuah arena guna melakukan praktek dominasi yang berbentuk perilaku kekerasan.
Ajaran agama pun kemudian dijadikan sebagai sebuah kekuatan simbolik dalam melalukan praktek dominasi dengan kekerasan tersebut. Kekuatan simbolik disini dimaksudkan sebagai sebuah bentuk kekuasaaan yang diberlakukan atas tubuh secara langsung dan seperti sihir. Kekuasaan yang ada tersebut kemudian diberlakukan atas tubuh tanpa menggunakan kekangan fisik apa pun. Namun, sihir tersebut tidak akan bekerja kecuali didukung dengan disposisi-disposisi yang sudah tersimpan dalam alam bawah sadar yang terdapat dalam tubuh (Bourdieu, 2010: 54).
Dalam kondisi seperti diatas, terkadang pada posisi sebuah konflik internal dalam ajaran keagamaan, semua bentuk emosi dapat dikategorikan sebagai cara atau bentuk persetujuan tersembunyi (secara simbolik) yang dilakukan oleh tubuh. Sebab dalam kondisi seperti demikian, tubuh sejatinya telah menyerah pada sebuah arahan kesadaran dan keinginan yang kemudian melahirkan hasrat-hasrat dalam diri kaum yang terdominasi menjadi sebuah habitus. Hasrat-hasrat habitus yang terdominasi tersebut merupakan relasi sosial yang tersomatisasi, yakni hukum sosial yang dikonversikan menjadi sebuah bangunan hukum yang mesti untuk dipatuhi (Bourdieu, 2010: 56). Inilah kemudian yang menjadikan kekerasan tersebut menjadi sebuah hal yang legal, sebab praktek kekerasan demi dominasi tersebut juga diamini oleh yang terdominasi (minoritas tersebut), yang selain itu juga kekerasan ini menjadi sebuah lembaga (dilembagakan) yang legal untuk dipraktekkan.
Hal semacam inilah mungkin yang dikatakan oleh Fromm (1973: 167) sebagai bagian dari sebuah sindrom, dimana kekerasan dan agresifitas yang ditimbulkan oleh manusia bukanlah merupakan sebuah sifat yang berdiri sendiri, melainkan keduanya ditemukan secara bersamaan dengan sifat-sifat yang lain di dalam sebuah system seperti sebuah hierarki yang kaku, memiliki ikatan dominasi yang kuat dan terbaginya masyarakat ke dalam kelas-kelas, yang pada akhirnya bertransformasi ke dalam sebuah bentuk yang dapat dipahami sebagai sebuah karakter social yang dibentuk secara kultural dalam masyarakat. Dengan kata lain, jika menggunakan pendekatan Bourdieu, hal tersebut sejatinya telah menjadi sebuah habitus, yang mana kekerasan dirasakan sebagai sebuah kebiasaan yang dilakukan dalam setiap proses dominasi atas individu atau kelompok dengan individu atau kelompok yang lainnya, terkhusus dalam berbagai kasus kekerasan antar ummat beragama yang seringkali terjadi di negeri ini.
Bourdieu mengungkapkan dalam Dominasi Maskulin, sejatinya keadaan yang demikian itu harus diakui bahwa disposisi-disposisi yang tertundukkan (yang terjadi dalam bentuk kekerasan ini) kadang digunakan orang untuk menyalahkan korban yang merupakan produk dari strutur-struktur yang objektif. Kemudian struktur-struktur itu tidak akan berhasil kecuali dengan tanpa didukung oleh disposisi-disposisi yang dihidupkannya serta memberi andil dalam produksi dari struktur-struktur objektif itu (Bourdieu, 2010: 57).
Pada posisi yang seperti ini, kekerasan (kekerasan simbolik) berdasar bukan pada kesadaran-kesadaran yang termistifikasi, melainkan berada dalam disposisi-disposisi yang disesuaikan dengan struktur-struktur dominasi yang telah melahirkan disposisi-disposisi tersebut. Oleh karena itu, orang tidak bisa mengharapkan adanya suatu pemisahan antara relasi pendukung yang diberikan oleh korban dominasi kepada kaum yang mendominasi, kecuali jika terjadi suatu transformasi radikal atas kondisi-kondisi social produksi atas disposisi-disposisi tersebut yang membuat kaum yang terdominasi tersebut berada diatas kaum yang mendominasi dan kemudian kaum yang terdominasi menggunakan sudut pandang kaum yang mendominasi atas diri mereka sendiri.
Olehnya itu, terlepas dari berbagai paradox yang ada tersebut, dalam konteks kehidupan antar ummat beragama di Indonesia, perlu ditanamkan sikap toleransi, solidaritas, dialog dan komunikasi lintas agama yang nantinya dapat dijadikan sebagai sebuah agenda bersama dalam pemikiran filosofis, sosilogis, budaya dan keagamaan agar dapat menciptakan suatu generasi masa depan yang lebih toleran, inklusif, damai, ramah dan tidak lagi menganggap dirinya sebagai yang superior dan dominan, yang kemudian lebih mengedepankan sikap saling menghargai dan saling pengertian yang mutual diantara seluruh elemen-elemen bangsa yang plural. Sehingga apa yang dikatakan oleh Richard Rorty dalam Piliang (2005: 87) sebagai masyarakat toleran dapat terwujud.
Akhirnya, dalam model yang demikian segala bentuk kekerasan dalam konteks kehidupan antar ummat beragama di negeri ini, dapat dengan mudah diurai. Yang jelas esensi dari kekerasan yang dilakukan oleh kelompok atau ajaran agama tertentu dapat dipahami sebagai sebuah bentuk dari dominasi semata terhadap ajaran atau agama yang lain, terkhusus bagi ajaran atau agama yang dikategorikan sebagai agama atau ajaran yang minoritas. Puncak dari hal ini, ketika tidak ada lagi kekerasan yang mengatasnamakan agama yang bertujuan mendominasi pihak-pihak tertentu adalah rehumanisasi kehidupan antar ummat beragama dalam bingkai kebersamaan (ke-Bhinneka Tunggal Ika-an akhirnya dapat terwujud dalam bingkai kehidupan keagamaan).
Daftar Pustaka
Berger, Peter L, 1991, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono, LP3ES, Jakarta.
Bourdieu, Pierre, 1984, Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste, Harvard University Press, Cambridge Mass., USA
__________, 1991, Language and Symbolic Power, Standford University Press, Standford. __________, 1990, Outline of a Theory Practice, Cambridge University Press, Cambridge. __________, 1990, The Logic of Practice, Stanford University Press, Standford.
__________, 1998, Practical Reason, Standford University Press, Standford.
__________, 2010, Dominasi Maskulin, terj.: Stephanus Aswar Herwinarko, Jalasutra, Yogyakarta.
Colombijn, Freek and Lindblad J. Thomas (eds.), 2002, Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective, ISEAS, Singapore.
Durkheim, Emile,1965, The Elementary Forms of The Religious Life, New York Press, New York.
Fromm, Erich, 1973, The Anatomy of Human Destructiveness, Holt, Rinehart and Winston, New York.
Hamid, Rosmaniah, 2006, Dialog Agama-Agama Dalam Konteks Pluralisme, Makalah. Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Kelley, H.H. dan Stahelski, A.J., 1970. Social Interaction Basis of Cooperator’s and Competitor’s Beliefs About Others, Holt Press, New York.
Kristeva, Julia, 1982, Power of Horror: An Essay on Abjection, Colombia University Press, USA.
Piliang, Yasraf Amir, 2005, Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas, Jalasutra, Yogyakarta dan Bandung.